• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Konsentrasi Polutan Karbon Monoksida (Co) Dan Nitrogen Dioksida (NO2) Di Terminal Terpadu Amplas Medan Dengan Model Screen3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Konsentrasi Polutan Karbon Monoksida (Co) Dan Nitrogen Dioksida (NO2) Di Terminal Terpadu Amplas Medan Dengan Model Screen3"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer

Komposisi atmosfer secara alamiah adalah gas yang jumlahnya dapat tetap atau berfluktuasi dari waktu ke waktu seiring dengan adanya aktivitas makhluk hidup di muka bumi yang menyumbangkan zat-zat lain ke dalam atmosfer. Atmosfer sendiri berfungsi mencegah terjadinya pemanasan atau pendinginan yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu yang berguna bagi kehidupan organisme di permukaan bumi. Atmosfer merupakan media yang bersifat dinamis karena memiliki kemampuan-kemampuan seperti: penyebaran, pengenceran, difusi, dan transformasi fisika-kimia dalam mekanisme pergerakan atmosferik. Pergerakan atmosferik inilah yang menjadi faktor besar-kecilnya keberadaan polutan setelah diemisikan dari sumber emisinya (Ruhiyat, 2009).

Udara pada lapisan troposfer relatif homogen karena tercampur secara merata dan cepat asalkan udara tersebut tidak tercemar. Komposisi gas-gas utama di atmosfer adalah oksigen (20%), karbon dioksida (0,03%), nitrogen (79%), air (jumlahnya bervariasi tergantung pada penguapan, pembentukan awan, dan presipitasi yang terjadi pada suatu daerah), serta gas-gas mulia dalam jumlah sedikit. Semua komposisi udara umumnya merupakan komposisi utama pembentuk makhluk hidup kecuali gas nitrogen. Gas-gas tersebut mempunyai siklus yang mekanismenya dapat berupa penyerapan langsung oleh organisme, perubahan menjadi senyawa-senyawa yang lebih kompleks, atau dalam bentuk ion yang larut dalam air (Akhadi, 2009). Komposisi atmosfer dalam keadaan normal dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal

(2)

Jenis Komponen Kadar Komponen Catatan: 1 ppm adalah satu bagian per sejuta, 1 ml gas dalam 1 juta

Sumber: Ryadi (1982)

2.2 Pencemar Udara

Pencemar udara adalah substansi yang ada di atmosfer dimana pada kondisi tertentu keberadaannya dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan merusak bahan bangunan (Oke, 1978 dalam Ruhiyat, 2009).

2.2.1 Karbon Monoksida (CO)

2.2.1.1 Pembentukan Karbon Monoksida (CO)

Secara umum terbentuknya gas CO adalah melalui proses pembakaran bahan bakar fosil dengan udara dimana pemakaian udaranya tidak stoikhiometris atau tidak sempurna yaitu harga ER (equivalent ratio)> 1 dimana bahan bakar yang digunakan lebih banyak dari udara (Wardhana, 2004; Akhadi, 2009). Reaksi yang terjadi adalah:

2C + O2 2CO

Selain itu, pembakaran yang terjadi pada tekanan rendah dan suhu tinggi mengakibatkan terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan karbon C yang menghasilkan gas CO seperti pada pembakaran internal mesin kendaraan bermotor. Gas CO juga dapat dihasilkan oleh gas CO2 yang terurai kembali menjadi gas CO pada suhu tinggi, dengan reaksi:

CO2 + C CO

Gas CO dapat terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna pada proses industri dan pembakaran pada mesin kendaraan bermotor. Selain itu, gas CO juga dapat terbentuk secara alamiah walupun konsentrasinya sedikit yaitu dari letusan gunung

(3)

berapi, proses biologi, dan lain sebagainya (Wardhana, 2004). Gas CO yang ada di udara diperkirakan sekitar 80% bersumber dari sektor transportasi. Konsentrasi gas ini di perkotaan berbanding lurus dengan kepadatan lalu lintas. Umur gas CO di udara diperkirakan selama 0,3 tahun, setelah itu gas CO akan berubah menjadi gas CO2 apabila bereaksi dengan oksigen. Proses oksidasi ini dapat berlangsung apabila terdapat sinar matahari yang cukup dan berjalan kurang lebih 0,1 persen per jam (Akhadi, 2009).

2.2.1.2 Dampak Polutan Karbon Monoksida (CO)

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, rata-rata terjadi beberapa kasus kematian tiap tahunnya akibat paparan gas CO dalam konsentrasi yang tinggi. Sebagian besar terjadi di dalam ruangan yang menggunakan pemanas ruangan dengan ventilasi yang buruk, pada parkiran ketika mobil dalam kondisi idle/diam, dan juga pada beberapa industri. Gas CO dapat membahayakan kesehatan karena dapat mengikat hemoglobin di dalam darah dan membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kekuatan ikatan CO dengan hemoglobin sekitar 220 kali lebih kuat daripada dengan oksigen, sehingga walaupun gas CO dihirup dalam konsentrasi yang sedikit dapat menyebabkan sejumlah besar hemoglobin dalam darah diikat sebagai COHb. Hal ini menyebabkan fungsi peredaran darah tidak normal karena darah tidak mengangkut oksigen, sehingga sel-sel di dalam tubuh kekurangan oksigen (Nevers, 2000).

Gejala awal dapat berupa pusing, penurunan tingkat kewaspadaan, kelainan fungsi saraf, perubahan fungsi jantung dan paru-paru, serta sesak nafas. Bila kadar CO dalam udara sebesar 250 ppm dapat menyebabkan pingsan dan dapat mengakibatkan kematian bila kadarnya lebih dari 750 ppm (Akhadi, 2009). Dampak paparan gas CO dalam berbagai konsentrasi di dalam darah terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia % Hemoglobin dalam Darah yang

Berubah Menjadi CoHb Dampak

0.3 – 0.7 Gangguan fisiologis bagi orang yang bukan perokok 2.5 – 3.0 Penurunan fungsi kardio; perubahan aliran darah; dan

setelah paparan yang cukup lama dapat mengubah konsentrasi sel darah merah

(4)

Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia (Lanjutan) % Hemoglobin dalam Darah yang

Berubah Menjadi CoHb Dampak

3.0 – 8.0 Pada perokok akan merusak sel darah merah

10.0 – 20.0 Sakit kepala ringan, lesu, susah bernapas, pembesaran sel darah merah di bawah kulit, gangguan penglihatan, dan dapat mengganggu perkembangan janin

20.0 – 30.0 Sakit kepala berat, mual, penurunan ketangkasan 30.0 – 40.0 Otot-otot melemah, mual, muntah, penglihatan kabur,

sakit kepala berat, iritasi

50.0 – 60.0 Pingsan, koma

60.0 – 70.0 Koma, sulit bernapas, terkadang berdampak fatal

>70.0 Fatal, kematian

Sumber: Nevers (2000)

2.2.2 Nitrogen Dioksida (NO2)

2.2.2.1 Pembentukan Nitrogen Dioksida (NO2)

Nitrogen dioksida (NO2) merupakan salah satu jenis nitrogen oksida (NOx). Terdapat berbagai jenis nitrogen oksida yaitu termasuk dinitrogen oksida (N2O), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), nitrogen trioksida (N2O3), dan nitrogen pentaoksida (N2O5). Namun, NO dan NO2 adalah jenis nitrogen oksida yang paling banyak menimbulkan pencemaran udara. NO adalah gas yang tidak berwarna dan pada reaksi fotokimia dapat menghasilkan kabut. Sementara itu, NO2 berwarna cokelat kemerahan yang memberi warna pada kabut dan berkontribusi menghasilkan opasitas pada gas buang cerobong (Schnelle dan Brown, 2002).

Pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri dan transportasi menyumbang gas NO sebesar 98% dari total gas NOx yang terbentuk. Di Amerika Serikat, sektor transportasi diperkirakan mengemisikan sekitar 50% dari kadar NO dalam atmosfer setiap tahunnya. Di dalam udara, gas NO bersifat tidak stabil dan dapat teroksidasi menjadi gas NO2 (Akhadi, 2009). Pembentukan gas NO dan NO2 dapat dilihat pada reaksi berikut ini:

N2 + O NO + N

N + O2 NO + O

(5)

Reaksi pertama dan kedua dikenal dengan mekanisme Zeldovich. Reaksi pertama mempunyai energi aktivasi yang relatif tinggi (suhu tinggi), karena kebutuhannya untuk memecah ikatan N2 yang kuat. NO pada suhu yang tinggi akan memecah atom N2 menjadi atom tunggal yang selanjutnya akan menghasilkan NO. NO yang dihasilkan dengan reaksi ini disebut NO termal. Pada reaksi kedua, NO terbentuk oleh proses oksidasi nitrogen organik yang terdapat dalam bahan bakar. Seperti misalnya, bahan bakar minyak residu mengandung 0,2 sampai 0,8 % nitrogen, sedangkan bahan bakar batubara mengandung 1 sampai 2 % nitrogen. Pada saat pembakaran mesin, nitrogen tersebut akan teroksidasi menjadi NO. NO yang dihasilkan dengan proses ini disebut NO bahan bakar (Flagan dan Seinfield, 1988).

2.2.2.2 Dampak Polutan Nitogen Dioksida (NO2)

Tingkat toksisitas NO2 empat kali lebih tinggi dari NO. NO2 akan menyerang paru-paru manusia sehingga paru-paru mengalami pembengkakan dan penderita akan kesulitan bernafas dan dapat berakibat fatal yaitu kematian. Bila terpapar dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kelumpuhan (Wardhana, 2004).

Apabila gas NO2 masuk ke dalam paru-paru akan terbentuk asam nitrit (HNO2) dan asam nitrat (HNO3) yang dapat merusak jaringan mucous. Konsentrasi gas NO2 sebesar 50 – 100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru walau hanya terpapar beberapa menit. Jika konsentrasi NO2 mencapai 150 – 200 ppm dapat menyebabkan pemampatan

bronchioli dan penderita dapat meninggal dalam kurun waktu 3 – 5 minggu. Bila konsentrasi NO2 mencapai lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan kematian dalam waktu 2 – 5 hari saja. Selain itu, asam nitrit dan asam nitrat dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan sehingga menimbulkan diare (Akhadi, 2009).

2.3 Sumber Pencemar Udara

(6)

Pencemaran udara juga dapat diartikan sebagai adanya penambahan bahan-bahan tertentu atau zat-zat asing ke dalam udara yang dapat mengubah susunan atau komposisi di dalam udara tersebut sehingga komposisinya berbeda dari keadaan normal. Adanya penambahan za-zat asing ini pada konsentrasi tertentu dan waktu yang lama dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan (Wardhana, 2004).

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah pasal 1 ayat 3, sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Berdasarkan jenisnya, sumber pencemar dapat dikategorikan menjadi sumber pencemar alamiah dan sumber pencemar akibat dari aktivitas manusia. Sumber pencemar alamiah contohnya serbuk sari tanaman, debu terbang akibat pergerakan angin, dan letusan gunung berapi. Sumber pencemar akibat aktivitas manusia contohnya kegiatan transportasi, proses industri, pembangkit, incinerator, dan lain sebagainya (Liu, 1999).

Selain itu, sumber pencemar juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah dan distribusi spasialnya yaitu sumber titik, garis, dan area (Liu, 1999). Contoh dari sumber titik adalah industri manufaktur yang mempunyai cerobong, boiler di hotel, dan lain-lain. Sumber area dapat diwakili oleh stasiun pengisian bahan bakar, terminal bus, dan lain-lain, sedangkan sumber garis contohnya seperti kegiatan transportasi di jalan raya (KLH, 2013).

Sumber pencemar yang termasuk emisi gas antara lain karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NOx). Sedangkan sumber pencemar yang termasuk emisi partikulat adalah termasuk asap dan debu yang diemisikan dari berbagai sumber. Seringnya, suatu sumber pencemar udara menghasilkan kedua jenis emisi gas dan polutan (Liu, 1999).

(7)

monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), gas metan (CH4) dan partikulat. Sedangkan polutan sekunder adalah polutan yang selama berada di udara mengalami perubahan dari bentuknya semula karena reaksi foto-kimia dan reaksi oksida katalis. Umumnya polutan sekunder ini merupakan hasil antara polutan primer dengan kontaminan lain yang ada di udara. Polutan sekunder antara lain hidrokarbon dan oksidan fotokimia (Ryadi, 1982).

Menurut Kusminingrum dan Gunawan (2008), sektor transportasi merupakan sumber pencemaran udara terbesar di wilayah perkotaan yaitu sebesar 70%. Hal ini dapat disebabkan oleh pesatnya pembangunan dalam bidang industri dan teknologi sehingga meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Akibatnya udara yang kita hirup sehari-hari tercemar oleh gas yang diemisikan oleh kendaraan bermotor tersebut (Wardhana, 2004). Hal-hal seperti ini banyak dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan karena tingkat mobilitas penduduk yang tinggi sehingga kebutuhan akan jumlah kendaraan bermotor juga tinggi.

2.4 Faktor Emisi

Salah satu pendekatan untuk memprediksi jenis dan memperkirakan jumlah emisi adalah dengan menggunakan faktor emisi. Faktor emisi adalah tingkat rata-rata polutan yang dilepaskan ke udara sebagai hasil dari aktivitas manusia seperti proses industri lalu dibagi dengan tingkat aktivitas tersebut. Faktor emisi berhubungan dengan jenis dan jumlah polutan yang dikeluarkan, jumlah bahan bakar yang digunakan, atau jarak tempuh kendaraan (Liu, 1999).

Apabila faktor emisi dan tingkat aktivitas diketahui, maka perkalian antara keduanya akan menghasilkan beban emisi. Faktor emisi memungkinkan perkiraan beban emisi dari beberapa sumber emisi. Faktor emisi yang biasa digunakan untuk polutan CO dan NO2 ditunjukkan pada Tabel 2.3. Untuk menghitung beban emisi yang berasal dari aktivitas transportasi dapat menggunakan Persamaan (2.1) (Hidayatullah, 2012).

Beban emisi (g/jam) = jumlah kendaraan per jam × faktor emisi (g/km)

(8)

Tabel 2.3 Faktor Emisi Gas Buang Kendaraan di Indonesia Kategori CO (g/km) NO2 (g/km)

Sepeda Motor 14 0,29

Angkot 43,1 2,1

Mobil 32,4 2,3

Pick-Up 31,8 2

Minibus 24 1,55

Bus 11 11,9

Truk 8,4 17,7

Sumber: KLH (2010)

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Pencemar Udara

Manusia yang terkena dampak penyebaran polutan udara adalah mereka yang berada pada daerah penyebaran polutan. Sebuah metode untuk memprediksi konsentrasi polutan di atmosfer sangat diperlukan untuk mencegah atau meminimalisir dampak pencemaran udara (Rosmeika, 2014). Penyebaran pencemar udara bergantung pada kecepatan angin, arah angin, turbulensi udara dan topografi. Penyebaran pencemar udara yang berbentuk gas atau material padat di atmosfer bergantung pada pengadukan alami udara (natural mixing) yang disebabkan oleh turbulensi udara. Turbulensi ini tergantung pada radiasi energi matahari dan tutupan awan yang bervariasi dari pagi hingga malam hari pada waktu dan tempat yang berbeda (Noll dan Miller, 1977).

Menurut Vyankatesh (2014), model dispersi polutan memprediksi kualitas udara dalam bentuk konsentrasinya pada berbagai polutan di berbagai tempat. Secara keseluruhan, model ini membutuhkan 2 (dua) input data yaitu:

1. Informasi mengenai polutan udara yang berasal dari satu sumber atau lebih;

2. Informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penyebaran polutan di udara seperti kecepatan dan arah angin, adanya bangunan-bangunan tinggi, adanya perbukitan di sekitar kota, dan lain-lain.

(9)

2.5.1 Stabilitas Atmosfer

Keadaan udara menjadi tidak stabil ketika terdapat pencampuran vertikal. Hal ini terjadi saat radiasi matahari kuat (siang hari) dan kecepatan angin rendah. Penyerapan radiasi matahari menyebabkan permukaan bumi memanas sehingga menghangatkan lapisan udara di dekat permukaan bumi. Udara yang hangat ini akan meningkat dan menyebabkan pencampuran vertikal (vertical mixing). Kondisi yang stabil terjadi pada saat permukaan bumi lebih dingin dari udara di atasnya (seperti saat malam hari yang cerah) (Cooper dan Alley, 1994).

Pada akhir 1960-an, Pasquill mengembangkan suatu metode untuk mengklasifikasikan atmosfer yang kemudian dimodifikasi oleh Gifford pada tahun 1975 dan memunculkan enam kelas stabilitas atmosfer dengan label A – F. Metode ini didasarkan pada radiasi matahari, awan, dan kecepatan angin (Liu, 1999). Penggambaran kelas stabilitas atmosfer berdasarkan Pasquill-Gifford tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kriteria Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford

Kecepatan Angin (m/detik)

Siang Hari

Intensitas Radiasi Matahari Malam Hari Kuat

Sumber: Turner (1969) dalam Goyal dan Kumar (2011)

Keterangan:

A = sangat tidak stabil D = netral

B = tidak stabil E = agak stabil

C = agak tidak stabil F = stabil

(10)

menghasilkan hembusan (fanning) kepulan yang tidak besar dan cenderung sempit (kecil) seperti terlihat pada Gambar 2.1a.

Keadaan dimana kepulan saat turbulensi udara dalam keadaan sedikit stabil (fumigasi) ditunjukkan pada Gambar 2.1b. Hal ini terjadi saat konveksi panas radiasi matahari pada pagi hari. Kelas stabilitas D adalah netral, dengan kecepatan angin yang sedang dan pencampuran udara yang seimbang. Kondisi ini menghasilkan kepulan yang kerucut (coning) (Gambar 2.1c). Kelas stabilitas A, B, dan C menggambarkan kondisi atmosfer yang tidak stabil yang ditandai dengan variasi pencampuran udara yang tinggi. Kondisi ini dapat menghasilkan putaran (looping) kepulan seperti ditunjukkan Gambar 2.1d. Bila ketinggian efektif cerobong melebihi ketinggian pencampuran udara (mixing height), kepulan diasumsikan tetap berada di atasnya (lofting) dan konsentrasi polutan di atas permukaan tanah tidak dihitung seperti pada Gambar 2.1e (Liu, 1999).

Daerah yang tidak rata meningkatkan turbulensi udara dan merubah kondisi udara ambien, biasanya akan menaikkan kelas stabilitas atmosfer 1 (satu) tingkat. Umumnya, kepulan pada kelas stabilitas A mempengaruhi suatu area dengan cepat dan mengakibatkan konsentrasi polutan tinggi di dekat sumber emisi. Pada kelas stabilitas F, kepulan mencapai permukaan tanah dalam waktu yang lama, sehingga konsentrasi polutan rendah (Liu, 1999).

Gambar 2.1 Variasi Jenis Kepulan Polutan dan Stabilitas Atmosfer

(11)

2.5.2 Arah dan Kecepatan Angin

Pegunungan, lembah, dan garis pantai sangat mempengaruhi arah angin. Pada malam hari yang cerah (tidak berawan), permukaan tanah mengalami pendinginan akibat radiasi dari luar angkasa dan lapisan udara yang terbentuk di permukaan tanah akan menjadi lebih dingin dan lebih padat dari lapisan udara diatasnya. Jika kondisi topografi datar, maka lapisan udara yang terbentuk juga akan datar. Sebaliknya, jika kondisi topografi tidak datar, maka lapisan udara akan menjadi lebih padat dan akan cenderung menuruni bukit. Pada daerah lembah, udara yang dingin akan mengalir turun dan berkumpul menuruni lembah mengikuti arah aliran sungai. Pada siang hari terjadi sebaliknya, sinar matahari memanaskan udara di permukaan tanah, kemudian udara ini akan bergerak naik akibat gaya apung (buoyancy). Biasanya, salah satu sisi lembah yang terpapar sinar matahari akan lebih panas dari sisi yang lain sehingga udara akan mulai naik pada sisi itu menyebabkan perputaran aliran udara dengan porosnya sepanjang sumbu lembah (Nevers, 2000).

Kecepatan angin meningkat seiring dengan tingkat elevasi permukaan tanah. Hal ini dikarenakan adanya gaya gesek di permukaan tanah yang dapat memperlambat kecepatan angin. Biasanya angin akan mencapai kecepatan gesekannya (kecepatan gradien atau geostrofik) pada ketinggian 500 m (1.640 kaki). Daerah di bawah ketinggian ini, dimana masih terdapat gaya gesekan tanah yang kuat, disebut planetary boundary layer. Kecepatan angin pada permukaan tanah sangat bergantung pada seberapa baik lapisan ini bergabung dengan lapisan di atasnya. Saat stabilitas atmosfer stabil dan terjadi inversi, ada sedikit pergerakan angin vertikal sehingga penghubung antara planetary boundary layer dan geostrofik melemah. Dengan demikian, inversi dan stabilitas atmosfer biasanya terkait dengan rendahnya kecepatan angin di permukaan tanah (Nevers, 2000).

(12)

2.5.3 Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu wilayah sangat memengaruhi pola pergerakan angin dan suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan intensitas radiasi matahari pada topografi yang cenderung datar dan topografi yang berlereng mengakibatkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya (Supriyadi, 2009).

Pada siang hari, udara yang berdekatan dengan bukit memanas dengan cepat dan terus meningkat. Udara ini lalu turun ke lembah yang udaranya lebih dingin, menghasilkan putaran angin dengan pola naik lalu turun, seperti pada Gambar 2.2. Pada malam hari, udara yang lebih dingin di daerah bukit akan langsung turun ke lembah (Cooper dan Alley, 1994).

Gambar 2.2 Pola Aliran Angin di Daerah Bukit dan Lembah

Sumber: Cooper dan Alley (1994)

Kondisi topografi dapat mempengaruhi pola pergerakan angin lokal. Salah satu contohnya adalah angin darat dan angin lepas pantai. Contoh lainnya adalah adanya

(13)

2.6 Model SCREEN3

SCREEN3 adalah model steady-state Gaussian yang menggunakan data meteorologi terburuk (worst-case) untuk memperkirakan konsentrasi pencemar yang dihasilkan dari sumber emisi kontinu tunggal (EPA, 1995). SCREEN3 adalah salah satu model dispersi pencemar udara yang dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) yaitu suatu badan perlindungan lingkungan hidup di Amerika Serikat. Model SCREEN3 dapat dijalankan dalam Windows 10/8/7 dengan menggunakan program (interface) SCREEN ViewTM versi 4.0. SCREEN ViewTM versi 4.0 adalah aplikasi berbasis Microsoft® Windows® dan berjalan pada 32-bit dan 64-bit (Thé et al, 2016).

Model kualitas udara yang dikeluarkan oleh EPA dibagi menjadi model penyaringan (screening model) dan model lanjutan (advanced model). Model SCREEN3 termasuk ke dalam jenis model penyaringan yang biasanya digunakan untuk mengetahui kualitas udara dari sumber emisi yang tidak terlalu besar. Model ini dikembangkan untuk memberikan metode perhitungan konsentrasi polutan yang mudah berdasarkan prosedur penyaringan sederhana untuk menentukan apakah suatu sumber emisi dikategorikan tidak menimbulkan masalah kualitas udara atau ada potensi menimbulkan masalah kualitas udara (EPA, 1992). Sumber emisi dari model ini merupakan sumber emisi tunggal. Bila dalam suatu lokasi penelitian terdapat beberapa sumber emisi, maka sumber-sumber emisi tersebut harus digabungkan menjadi satu sumber emisi yang representatif terhadap sumber emisi lainnya (EPA, 1995). Hasil perhitungan model

SCREEN3 menunjukkan kualitas udara yang cenderung konservatif, sehingga untuk mendapatkan hasil kualitas udara yang realistik terhadap keadaan sebenarnya diperlukan model lanjutan (advanced models) (Schnelle dan Brown, 2002).

(14)

Berdasarkan EPA’S SCREEN3 model user’s guide (1995), secara umum pertimbangan-pertimbangan yang terdapat pada SCREEN3 yaitu:

1. Memperhitungkan Briggs plume rise yaitu kepulan gas yang keluar dari sumber emisi. Model SCREEN3 menghitung plume rise menggunakan persamaan Briggs dimana persamaan ini menghitung plume rise dengan mempertimbangkan stabilitas atmosfer. Perhitungan Briggs plume rise pada model SCREEN3 digunakan untuk menghitung konsentrasi polutan dari sumber titik. Persamaan yang digunakan adalah:

( )

[

s

]

s s

b gv d T T

F = 2 ∆ 4

(2.2)

dimana Fb adalah buoyancy flux, vs adalah kecepatan keluaran gas dari cerobong

(m/s), g adalah konstanta gravitasi (9,8 m/s2), ds adalah diameter cerobong (m), Ts

adalah temperatur keluaran gas (K), dan ∆Tadalah selisih dari Ts dan Ta

(temperatur udara ambien) (K).

2. Boundary layer menggunakan kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford (P-G); 3. Perhitungan konsentrasi pencemar udara menggunakan persamaan Gaussian; 4. Memperkirakan tarikan bangunan (building downwash);

5. Menggunakan simple, elevated, dan complex terrain dengan ketentuan:

a. Complex terrain: ketinggian daerah sebaran melebihi tinggi keluaran sumber emisi (cerobong);

b. Elevated terrain: ketinggian daerah sebaran di atas dasar cerobong tetapi dibawah tinggi cerobong;

c. Simple terrain: ketinggian daerah sebaran tidak melebihi tinggi dasar cerobong. 6. Lokasi penerima (reseptor) menggunakan discrete distance atau array option; 7. Menggunakan data meteorologi terburuk (worst-case) dengan kelas stabilitas

atmosfer P-G dan kecepatan angin;

8. Terdapat pilihan daerah sebaran untuk wilayah perkotaan atau pedesaan; 9. Mempertimbangkan fumigasi;

10.Tidak mempertimbangkan reaksi kimia polutan di atmosfer;

(15)

Pada sumber area, pilihan dataran sebaran polutan dalam model SCREEN3 hanya simple terrain. Sedangkan pada sumber titik, pilihan dataran sebaran polutan berupa simple terrain dan complex terrain. Oleh karena itu, untuk sumber area model SCREEN3

hanya dapat menghitung perkiraan konsentrasi 1 jam (short-term).

Model dispersi SCREEN3 memberikan simulasi perhitungan penyebaran polutan dari sumber titik dan sumber area. Hasil perhitungan diberikan dari skenario terburuk untuk emisi dari sumber titik seperti cerobong dan flare, serta sumber area seperti kebakaran. Hasil perhitungan selanjutnya dapat dijadikan panduan dalam pemilihan peralatan dan sistem pengendalian pencemaran udara dengan skenario dispersi polutan yang berbeda-beda (Cheremisinoff, 2002).

SCREEN3 area source menggunakan persamaan Gaussian dimana sumber area diibaratkan berbentuk persegi panjang. Berdasarkan EPA’S SCREEN3 model user’s guide (1995) persamaan Gauss sumber area (area sources) yang digunakan adalah:

dx QA = laju emisi sumber area (g/s/m

2 )

K = skala koefisien untuk mengkonversi konsentrasi terhitung ke unit yang diinginkan (nilai standar = 1 × 106 untuk QA dalam g/s/m2 dan konsentrasi dalam µg/m3)

V = hubungan vertikal dari berbagai faktor distribusi Gaussian seperti ketinggian sumber emisi, ketinggian reseptor, dan ketinggian campuran.

(mixing height).

Ketinggian campuran (mixing height) pada model SCREEN3 menggunakan pilihan

(16)

Diagram alir model SCREEN3 sumber area dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sementara itu, beberapa asumsi dalam model ini adalah: (EPA, 1995; Leonard, 1997 dalam Ruhiyat, 2009):

1. Polutan yang diemisikan bersifat kontinu;

2. Polutan tidak mengalami transformasi secara kimia di udara;

3. Kondisi meteorologi seperti kecepatan angin, arah angin, dan turbulensi dari sumber emisi ke reseptor konstan;

4. Kepulan polutan tidak mengalami proses penyisihan apapun selama berada di udara seperti deposisi basah atau kering.

5. Komponen polutan yang mencapai permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan;

Model SCREEN3 membutuhkan input data sumber emisi dan data meteorologi. Tahapan awal perhitungan konsentrasi CO dan NO2 prediksi dengan model SCREEN3

adalah mengolah data meteorologi berupa kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari dengan menggunakan metode Pasquill-Gifford untuk mendapatkan kelas stabilitas atmosfer. Selanjutnya, input data sumber emisi berupa laju emisi polutan per unit area, tingggi sumber emisi (tinggi knalpot kendaraan bermotor = 0,3 m), panjang dan lebar terminal, dan pilihan jarak sebaran. Pilihan jarak sebaran dikategorikan menjadi discrete distances dan automated distances. Pada pilihan automated distances

(17)

Gambar 2.3 Diagram Alir Model SCREEN3

Perhitungan konsentrasi pada jarak yang sesuai dengan arah angin tergantung pada orientasi area tersebut terhadap arah angin. Model SCREEN3 menyediakan 2 (dua) pilihan dalam menentukan arah angin, yaitu:

1. Ya: Bila memilih pilihan ini, model SCREEN3 akan menghitung konsentrasi maksimum polutan melalui berbagai arah angin. Penentuan arah angin berdasarkan aspek rasio dari sumber area, stabilitas atmosfer, dan jarak yang sesuai dengan arah angin (downwind distance). Pilihan ini merupakan pengaturan standar model

SCREEN3 dan yang direkomendasikan untuk pengguna.

2. Tidak: Bila memilih pilihan ini, pengguna harus memasukkan data orientasi arah angin yang relatif terhadap panjang dari sumber area. Pilihan ini digunakan untuk memperkirakan konsentrasi polutan untuk spesifik penerima (reseptor).

(18)

2.7 Validasi Model dengan Persamaan Index of Agreement

Validasi yang digunakan untuk membandingkan data prediksi hasil pemodelan dan data observasi dilapangan pada penelitian ini adalah persamaan index of agreement. Index of agreement adalah suatu bentuk persamaan yang menggunakan d untuk mewakili indeks yang dikembangkan oleh Wilmott pada tahun 1981 (Robeson, 2012). Menurut Willmott dalam Rahayu (2012), Index of agreement merupakan suatu derajat keakuratan yang menunjukkan seberapa akurat data prediksi suatu model dengan data observasi di lapangan. Persamaan Index of agreement yang digunakan ditunjukkan pada Persamaan (2.4):

Omean = Konsentrasi CO dan NO2 rata-rata dari hasil sampling

Nilai d dari index of agreement bervariasi dari 0 sampai 1 dengan nilai d yang lebih tinggi menunjukkan nilai model Pi memiliki keakuratan yang lebih baik dengan nilai pengamatan, Oi. Nilai d dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu Sempurna (d=1), Baik (0,8 ≤d< 1), Sedang (0,7 d < 0,8), dan Kurang Baik (d < 0,7).

2.8 Visualisasi Model dengan Program Surfer 11

(19)

Penggunaan program Surfer 11 dalam pemetaan kualitas udara mengganti nilai ketinggian atau kedalaman pada nilai Z menjadi nilai konsentrasi polutan. Program

Surfer 11 akan mengkalkulasikan data-data XYZ dan merubahnya ke dalam pola spasial dalam bentuk peta isopleth konsentrasi polutan.

Suryati dan Khair (2017) telah melakukan penelitian mengenai pemetaan konsentrasi gas karbon monoksida (CO) di Kota Medan menggunakan program Surfer. Penelitian dilakukan pada 12 titik sampling yang tersebar di Kota Medan. Gambar 2.5 menunjukkan peta isopleth konsentrasi CO di Kota Medan. Peta isopleth konsentrasi dibagi ke dalam beberapa tingkatan konsentrasi yang ditandai dengan warna-warna yang berbeda. Perubahan warna terjadi seriring adanya peningkatan konsentrasi CO.

Mulai

Program Surfer 11

Garis bujur titik sampling

(X)

Garis lintang titik sampling

(Y)

Konsentrasi CO dan NO2

prediksi (Z)

Run program

Overlay dengan peta Terminal Terpadu Amplas

Peta sebaran CO dan NO2

Peta isopleth konsentrasi CO dan

NO2

Gridding

File Grid

Selesai

(20)

Warna hijau menunjukkan tingkat konsentrasi CO terendah (1-5 ppm) dan warna biru menandakan konsentrasi CO tertinggi ( 17-29 ppm).

Gambar 2.5 Peta Konsentrasi Gas Karbon Monoksida (CO) di Kota Medan

Sumber: Suryati dan Khair (2017)

Berdasarkan Gambar 2.5, terlihat bahawa Terminal Terpadu Amplas yang berlokasi di Kecamatan Medan Amplas (titik sampling UA3) sudah termasuk kawasan dengan konsentrasi CO yang tinggi dan dari ISPU termasuk kategori tidak sehat (Suryati dan Khair, 2017).

2.9 Gambaran Umum Terminal Terpadu Amplas Medan

(21)

2.9.1 Sejarah Singkat Terminal Terpadu Amplas

Terminal Terpadu Amplas dibangun pada tanggal 15 Juli 1991. Tahun 1991-2002 Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dan Perusahaan Daerah Pembangunan. Tahun 2003-2009 Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan. Tahun 2009-sekarang Terminal Terpadu Amplas dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Medan dibantu oleh kepolisian untuk menertibkan keamanan di area sekitar terminal.

Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Medan tahun 2012, luas area Terminal Terpadu Amplas ini mencapai ± 42.134,625 m2 dengan batasan lokasi terminal adalah:

a. Sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk b. Sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Rawa

c. Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk d. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Panglima Denai

Terminal tipe A adalah terminal yang telah memenuhi beberapa persyaratan khusus, seperti:

1. Terletak dalam jaringan trayek Antar Kota Antar Provinsi dan/atau angkutan lalu lintas batas negara;

2. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA;

3. Jarak antara dua terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya 20 km di Pulau Jawa, 30 km di Pulau Sumatera, dan 50 km di pulau lainnya;

4. Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 Ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera, dan 3 Ha di pulau lainnya;

5. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar kendaraan dari terminal dengan jarak sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 km di pulau lainnya, dihitung dari jalan ke pintu keluar atau masuk terminal.

2.9.2 Fasilitas-Fasilitas yang Ada di Terminal Terpadu Amplas

(22)

agar fungsi terminal dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas tahun 2016, ada sebanyak 11 orang personil Dinas Perhubungan, 4 personil kepolisian, dan 3 personil satpam per harinya yang bertugas di Terminal Terpadu Amplas. Menurut staf Dinas Perhubungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Terpadu Amplas, fasilitas-fasilitas yang ada di terminal ini sudah cukup baik. Fasilitas-fasilitas tersebut yaitu:

1. Gedung induk

Gedung ini terdiri dari 2 (dua) lantai, pada lantai pertama terdapat loket-loket bus yang jumlahnya sekitar 35 unit dan ruang tunggu penumpang. Selain itu, pada gedung induk ini juga terdapat ruang administrasi, ruang pengawas, dan ruang kantor yang masing-masing jumlahnya 1 unit. Sedangkan pada lantai kedua digunakan untuk aktifitas-aktifitas lain di terminal.

2. Gedung sarana pendukung

Gedung ini terletak di sebelah gedung induk dimana merupakan tempat kios-kios kecil dan warung makan. Pada gedung ini juga masih terdapat loket-loket bus. 3. Gudang

4. Pelataran Parkir

Pelataran parkir terdiri dari pelataran parkir AKAP, AKDP, angkutan kota, dan kendaraan pribadi.

5. Loket masuk

Loket masuk terletak di gerbang masuk Terminal Terpadu Amplas. Setiap kendaraan yang hendak memasuki terminal dikenakan biaya. Untuk AKAP sebesar Rp 5.000 per unit, AKDP sebesar Rp 2.500 per unit, angkutan kota sebesar Rp 1.000 per unit, dan mobil penumpang sebesar Rp 1.000 per unit.

6. Ruang service dan bengkel kendaraan 7. Mushalla

8. Kantin/Warung makan 9. Toilet umum

10.Pos Pemadam Kebakaran 11.Pos Polisi

(23)

Gambar

Tabel 2.1 Komposisi Atmosfer pada Keadaan Normal  (Lanjutan)
Tabel 2.2 Dampak Karbon Monoksida (CO) pada Manusia
Tabel 2.3 Faktor Emisi Gas Buang Kendaraan di Indonesia
Tabel 2.4 Kriteria Stabilitas Atmosfer Pasquill-Gifford
+5

Referensi

Dokumen terkait

Wajib pajak terdaftar dapat dikatakan bahwa mereka adalah wajib pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun, wajib pajak yang terdaftar tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian masker alami untuk mengurangi kerutan pada kulit wajah dan untuk mendapatkan formulasi masker pasta yang tepat

Dari pengujian DMRT diperoleh bahwa diameter puli pada alat pemeras santan sistem screw press memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas efektif alat dan

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa proses pembelajaran menggunakan model aspek penggunaan

Populasi yang diteliti adalah semua anak usia 2 – 4 tahun di Posyandu Ngronggo Wilayah Kerja Puskesmas Wilayah Selatan Kota Kediri dengan menggunakan metode purposive sampling

pada alat pemeras santan sistem screw press terhadap kapasitas efektif, rendemen dan persentase bahan tertinggal di alat.

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan peneliti pada Bab IV, dapat disimpulkan bahwa: (1) Penerapan media Mind Mapping dengan menggunakan pembelajaran

Dari 50 citra, 49 citra teridentifikasi sebagai citra dengan jenis kerusakan retak, sementara 1 citra teridentifikasi sebagai lubang. Sementara 2 citra