• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAFSIR AYAT AYAT TENTANG MANUSIA AYAT AY (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAFSIR AYAT AYAT TENTANG MANUSIA AYAT AY (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA

AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG MANUSIA

I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat kompleks sekali, terbukti dengan beratus bahkan beribu-ribu syaraf dan organ yang ada di dalam tubuh manusia. Manusia yang tercipta dari tanah itu pun yang kemudian menjadi pemimpin di bumi. Bahkan sebagai makhluk terbaik (dalam penciptaannya) dibanding makhluk yang lain seperti hewan, jin bahkan malaikat sekalipun. Apakah benar adanya?

Untuk itu dalam makalah ini akan kami kaji dan paparkan dari berbagai tafsiran ayat-ayat Al-Quran mengenai masAlah-masAlah yang berhubungan dengan manusia.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kami dapat merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan posisi manusia sebagai puncak ciptaan Tuhan di antara makhluk-makhluk sosial lain!

2. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan struktur potensi manusia: jasadiyah dan ruhiyah!

3. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan misi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi!

4. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan sikap seorang khalifah Allah di bumi!

II. PEMBAHASAN

1. Posisi Manusia sebagai Puncak Ciptaan Tuhan di antara Makhluk-makhluk Lain QS At-Tin: 4-5 dan QS. Al-Isra’: 70

QS. Al-Tin: 4-5

            

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),[1][2]

(2)

penggunaan kata ganti jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Di tempat lain Allah menegaskan bahwa Dia adalah ahsan Al Khaliqin/sebaik-baik Pencipta (QS. Al- Mu’minun [23]:14). Ini menunjukkan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang lain itu sebagai “pencipta” sama sekali tidak seperti Allah, melainkan sebagai alat atau perantara.

Kata (ناسنلا) Al-insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al-Qurthubi adalah banyak manusia-manusia yang durhaka pada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Bahkan Bint asy-Syathi’ merumuskan bahwa semua kata Al-insan dalam Al-Qur’an yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan kata sandang Al berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.

Kata ( ميوقت) taqwiim barakar dari kata ( موق) qawama, yang darinya terbentuk kata qaa’imah, istiqomah, aqimu dan sebagainya, yang keseluruhannya menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( اوميقا) aqimu yang digunakan untuk perintah melakasanakan shalat, berarti bahwa shalat harus dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.

Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki (qowama) qiwam yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Qur’an, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat keistimewaaan manusia disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Jadi, kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Jika demikian, tidaklah tepat memahami ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian fisik semata-mata. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk fisik. Apalagi secara tegas Allah mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.

(3)

antara lain berarti mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali.”

Manusia yang telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal sehingga kemudian kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya ke tingkat yang serendah-rendahnya.

Mengenai makna dari kalimat (نيلفس لفسا ) asfala safilin, para ahli tafsir mengemukakan dalam tiga pendapat, yaitu:

Pertama, keadaan kelemahan fisik dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat berikut:

karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata لاilla diterjemahkan tetapi bukan kecuali.

Kedua, neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini pun disoroti dengan suatu pertanyaan, yaitu, apakah sebelum ini manusia pernah berada di sana? Kalau tidak - dan memang tidak, maka mengapa dikatakan “Kami mengembalikannya?” pendapat ini dapat diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya. Ketiga, keadaan ketika ruh Ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat inilah yang dianggap lebih tepat.

Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi, apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.[3]

Munasabah ayat di atas (antar ayat) adalah: QS. Al-Tin: 6

        

Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

(4)

Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan:

QS. Al-Isra 70

                 

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataannya-Nya dengan kata (دق) qad, ayat ini menyatakan bahwa dan Kami, yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah dan memilih. Dan kami angkut mereka dari daratan dan di lautan dengan aneka alat transportasi yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka, atau yang Kami ilhami mereka pembuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka.

Dan Kami beri juga mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka, lagi lezat dan bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. Kami lebihkan mereka dari hewan, dengan alat dan daya cipta sehingga menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat atas ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa tantangan.

Kata (انمررك) terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan sesuai objeknya.

(5)

انقلخ نممريثك ىلع مهانلضف (Faddalnaa hum ‘Ala katsiriin mimman kholaqna).

Pertama, penggalan ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah melebihkan manusia atas semua ciptaan atau kebanyakan ciptaan-Nya, tetapi banyak di antara ciptaan-Nya. Atas dasar itu sungguh ayat ini tidak dapat dijadikan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia. Kedua, ayat di atas mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan ciptaan Allah dari siapa yang telah diciptakan-Nya. Kata dari siapa merupakan terjemahan dari lafad mimman yang terdiri dari kata min dan man. Kata man biasanya ditujukan untuk makhluk yang berakal. Di satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk berakal, maka tentu saja lebih-lebih lagi makhluk tidak berakal. Di sisi lain kita juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Quran yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan dibanding dengan banyak -bukan semua- jin dan malaikat . Tentu saja manusia-manusia yang taat.

2. Struktur Potensi Manusia: jasadiyah dan ruhiyah[4] QS. Asy-syams: 7

 

Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),”

QS. Asy-syams 8-10

     

     

Artinya: “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

(6)

Sesungguhnya manusia ini adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dan yang kami maksudkan dengan kata “kompleks” itu adalah dalam batasan bahwa dengan tabiat penciptaannya (yang merupakan campuran antara tanah dari bumi dan peniupan ruh ciptaan Allah padanya), maka ia dibekali dengan potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Ia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu untuk mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini terkandung dan tersembunyi di dalam wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan oleh Al Qur’an dengan ilham,

Di samping potensi-potensi fitrah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir dan pengarah di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan pertanggungjawaban. Maka, barang siapa mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan dan membersihkan dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan potensi kejelekannya, niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan ini dan menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.

Dengan demikian, di sana terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.

Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.

3. Misi Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi QS. Al-Baqarah: 29[5]

       

    

    

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(7)

             

   

          [6]

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."”

[7] - Khalifah : Artinya jenis lain dari makhluk sebelumnya. Bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap umat manusia.

Kandungan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmat-nikmat Allah, yang dengan nikmat-nikmat itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur, dan dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur Alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi, hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah.

Pada ayat ini dan sebelumnya juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia. Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkapkan dalam bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan. Ayat ini termasuk ayat mutasyabih (tidak mungkin hanya ditafsirkan dengan makna zahir-nya saja). Sebab, jika kita artikan Allah mengadakan musyawarah dengan hamba-Nya, diartikan pemberitahuan Allah kepada para Malaikat, yang kemudian Malaikat mengadakan sanggahan (bantahan). Pengertian seperti ini pun tidak bisa dinisbatkan kepada Allah maupun Malaikat.

4. Sikap Seorang Khalifah Allah di Muka Bumi

(8)

bermasyarakat dengan baiklah yang mampu menjadi pewaris tuhan Yang

Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekAli-kAli tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."”

 اهيف مكرمعتساو ضرلا نم مكاشناوه(Huwa an-sya-a kum minal ar-dhi was ta’marokum

fihaa).

Allah menjadikan kamu sebagai orang-orang yang memakmurkan bumi dengan cocok tanam, membangun dan membina hingga terdapatlah di bumi itu rumah-rumah yang tinggi, yang dibuat oleh tukang yang pandai-pandai. Allah menjadikan bumi dan pohon-pohon yang rindang dan buah-buahan yang sedap dan lezat rasanya.

 هيلا اوبوت مث هورفغتساف(Fastagh-firuuhu tsumma tuubu ilaihi).

Maka mohonlah kepada Allah supaya Dia mengampuni dosa-dosamu, kemudian bertobatlah kepada-Nya, ketika tiap-tiap dari kamu mengerjakan sesuatu dosa dan beramallah dengan amalan yang saleh.

(9)

 اذه لبقاوجرم انيف تنكدق حلاصاياولاق(qaalu yaa shaAlihu qad kunta fiina marjuwwan qabla haa-dzaa).

Kamu (Shaleh) adAlah orang yang kami harapkan dapat menyelesaikan urusan-urusan kami yang penting. Kamu adalah seorang yang berakal kuat, berpikiran cerdas, dan karena kau keturunan tinggi. Sekarang telah putus harapan kami padamu.

 انءاباء دبعي ام دبعن نا انىهنتا(A tanhaanaa an na’buda maa ya’budu aabaa-unaa).

Sungguh mengherankan kamu mencegah kami menyembah apa yang telah disembah oleh orang-orang tua kami dahulu. Kami hanya mengikuti langkah mereka.

 بيرم هيلا انوعدت امم كش ىفل اماو(Wa innanaa lafii syakkim mim maa tad’uunaa

ilaihi muriib).

Sungguh kami ragu-ragu dan curiga terhadap apa yang kau seru.

Huud Ayat 63

                        

Artinya: “Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.”

 ةمحر هنم ىنىتاءو بر نم ةنيب ىلع تنك نا متيءرا موق اي لاق(Qaala yaa qaumi a ra-aitum in

kuntu ‘alaa bayyinatim mir rabbi wa aataanii minhu rahmatan)

Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan, wahai kaumku, jika aku benar-benar mempunyai hujjah dari Tuhanku bahwa apa yang aku dakwahkan kepadamu Alah benar-benar dari Allah. Dan Allah memang telah memberikan suatu rahmat yang istimewa kepadaku, yakni Dia jadikan aku seorang nabi yang diutus kepadamu

 هتيصع نا هللا نم ىنرصني نمف (Fa may yan- shurunii minallahi in ‘a-shaituhuu).

Siapakah yang menghindarkan aku dari azab Allah, jika aku menyembunyikan wahyu-Nya atau aku menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu. Tak ada orang yang menolak azab dari aku. Oleh karenanya, aku tidak memedulikan tindakan-tindakanmu.

(10)

Jika kamu tidak menambah sesuatu kepadaku jika kau memenuhi harapanmu dan jika aku takut kepada berburuk sangka, selain kau menjatuhkan aku ke dalam kebinasaan.[8]

III. ANALISIS

Pada surat At-Tin:4-5 ini dijelaskan betapa perhatiannya Allah dalam menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya, susunan yang sebaik-baiknya, dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Perhatian ini tampak di dalam penciptaannya dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, baik dalam susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan. Meskipun pada diri manusia juga terdapat kelemahan dan adakalanya penyimpangan dari fitrahnya, hal ini menunjukkan bahwa urusan tersendiri dengan Allah.

Akan tetapi, manusia juga berpotensi untuk mencapai derajat terendah yang tidak ada makhluk lain mencapai derajat serendah itu (bahkan binatang sekalipun). Hal ini terjadi pada manusia yang mengingkari Tuhannya dan menuruti hawa nafsunya, sehingga ia jatuh ke lembah kehinaan terendah yang binatang pun tidak sampai jatuh pada kerendahan tersebut.

Dalam surat Asy-Syams ayat 8-10 menjelaskan mengenai hakikat yang sangat besar tentang jiwa manusia dan tabiatnya yang berkaitan dengan alam semesta, pemandangan-pemandangannya, dan fenomena-fenomenanya. Manusia merupakan makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dengan demikian, ia dibekali dengan potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan, dan sebagainya.

Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia di hadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang harus menunjukkan sifat pengabdian dan kepatuhan.

(11)

cara menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut Al-Quran manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah; pertama, menyembah kepada Allah SWT. (beriman). Kedua, memakmurkan Alam semesta untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut Al-Quran, tugas atau tujuan pokok hidup manusia di muka bumi ini sebenarnya sangatlah sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan “berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari makhluk Allah lainnya.

IV. PENUTUP

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992. Al-Qarni, ‘Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008.

Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004. Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009. Syihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

[1] Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Al-lah S.95:5 mengandung arti ke tingkat pikun (seperti bayi lagi). Oleh karena itu Rasulullah saw. ditanya tentang

(kedudukan) orang yang telah pikun itu. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (S.95:6) yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih sebelum pikun akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.

(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al--'ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.

[2] Departemen Agama, Al--Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit

AJ-ART, 2004).

[3] M. Quraish Syihab, Tafsir Al--Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet X, hAl-. 377-382.

[4].Sayyid Quthb. Tafsir Fi zhilalil qur’an. (Jakarta: Gema Insani. 2001). Hal. 281-282

[5] Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).

[6] Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, (Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Hal.

181.

[7] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), Cet. II, Hal. 130-131.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Holahan dan Gilbert dalam Schabracq (1996) yang menjadi sumber terjadinya konflik peran adalah saat seseorang memiliki anak, komitmen seseorang terhadap

Selain dari pada pemicu munculnya hal yang mampu memberikan kesulitan kepada konselor dalam mencapai kefektifan komunikasi konseling, maka komunikasi dalam

[r]

Namun pada lapang pandang yang menggunakan air perasan buah merah ( Pandanus sp.) dan aquadest (1:2) masih terlihat banyak kotoran sebagai pengganggu dan tidak memberi

Gambar 1.1c: Kartun Politik atau karikatur politik memiliki unsur satiris sebagai media mengkritik pada rubrik tajuk rencana di suatu surat kabar dan bentuknya berupa

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. PAGE

Penggunaan Noni dan Temo dalam Serial Drama Jepang dan Buku Teks Bahan Ajar : Kajian Sintaktis dan Semantis.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]