• Tidak ada hasil yang ditemukan

citra perempuan dalam perspektif sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "citra perempuan dalam perspektif sosial"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang isu perempuan telah memunculkan tanggapan yang sangat beragam. Fakih (2008: 145) mengatakan bahwa tanggapan pertama memandang bahwa sesungguhnya tidak ada masalah bagi kaum perempuan sehingga sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan saat ini adalah yang terbaik dan karena itu kondisi dan posisi kaum perempuan tidak perlu dipersoalkan. Pada umumnya, kelompok ini berasal dari mereka yang tengah menikmati dan diuntungkan oleh sistem dan struktur hubungan laki-laki dan perempuan yang ada, maka berusaha melanggengkannya.

Fakih (2008: 146) juga menambahkan bahwa responsi kedua datang dari mereka yang menganggap bahwa saat ini kaum perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang ditindas dan dieksploitasi. Narwoko dan Suyanto (2004: 318) berpendapat bahwa pembedaan laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan, karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa melihat akar permasalahannya, yaitu pembedaan atas dasar jenis kelamin.

(2)

manusia dikembangkan, direkayasa, dipaksa, dicegah, atau bahkan diberlakukan secara berlawanan (kontradiksi) dengan dasar alamiah tadi. Kehidupan manusia direkayasa oleh lingkungan, baik alam maupun tangan serta pikiran manusia. Murniati juga menambahkan bahwa dalam kehidupan berbudaya, manusia menciptakan berbagai aturan untuk mengatur hubungan antarmanusia dan hubungan dengan Tuhan. Agama merupakan salah satu wujud dari kebudayaan manusia. Manusia secara pribadi berhubungan dengan Tuhan. Namun, cara-cara itu menjadi tradisi yang berkembang menjadi aturan atau prosesi ritual bersama.

Nugroho (2008: 33) mengatakan bahwa gender bukanlah kodrat Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku, yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat.

Fakih (2008: 8) mengatakan bahwa konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.

(3)

yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga, atau urusan domestik, seperti memasak, mencuci dan merawat anak acapkali dianggap kodrat wanita. Padahal peran gender seperti itu adalah hasil konstruksi sosial dan kultural dalam masyarakat.

Patel (2005: 5) mengatakan bahwa dalam peradaban masyarakat Arab, kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan bukanlah suatu hal yang mengherankan. Muslikhati (2004: 22) mengatakan seorang laki-laki berhak mengawini perempuan sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai budaknya yang bisa diwariskan jika suaminya telah meninggal. Para istri tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengeluarkan pendapat, mereka harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dan jika tidak dapat memiliki keturunan, sering kali hukuman mati adalah sebagai akhir hidupnya. Diskriminasi laki-laki dan perempuan ini seperti telah disampaikan sebelumnya terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk juga pada bangsa Eropa

(4)

Pandangan itu kemudian lebih dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan demikian laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk menguasai perempuan. Kemudian hubungan laki-laki dan perempuan ini dianggap sudah benar. Menurut Murniati (2004: XIX-XX) situasi tersebut merupakan hasil belajar manusia dari budaya patriarkhi. Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul di berbagai bidang dan bentuk. Ketidakadilan gender tersebut terdapat dalam berbagai wilayah kehidupan, yaitu wilayah Negara, masyarakat, organisasi, atau tempat bekerja, keluarga, dan diri pribadi. Bentuk dari berbagai ketidakadilan gender ini, bisa berupa marginalisasi, streotip, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan.

Seperti yang dikatakan juga oleh Fakih (2008: 13) bahwa untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

(5)

laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya memercayai bahwa peran gender itu seolah-olah kodrat.

Murniati (2004: 141) mengatakan bahwa perilaku kehidupan tersebut, diturunkan melalui tradisi. Dalam proses perkembangan zaman akhirnya perilaku tersebut menjadi sistem dari berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik (kekuasaan), keamanan, dan kepercayaan (agama). Semakin lama aspek-aspek kehidupan tersebut saling mempengaruhi. Perkembangan manusia secara pribadi dan kelompok tidak homogen lagi. Oleh karena itu, terjadilah struktur sosial tertentu yang membuat manusia semakin bersifat melembaga. Sifat ini yang menyebabkan struktur sosial menjadi terkunci mati, seolah tak tergoyahkan. Inilah yang membuat sengsara kelompok masyarakat tertentu, khususnya yang berada di pinggiran, kaum miskin, kaum perempuan, kaum buruh, dan sebagainya.

Maka dari pengalaman-pengalaman berbagai ketidakadilan gender yang dirasakan kaum perempuan inilah pada masa selanjutnya perempuan melakukan pemberontakan dengan membentuk gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia, serta menuntut kesetaraan gender. Gerakan ini mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari keterpurukannya dan meyakinkan mereka bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gerakan inilah yang pada akhirnya dikenal sebagai gerakan feminisme.

(6)

Dalam pengertian yang khusus, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Berhubungan dengan emansipasi wanita dan persamaan hak, dalam ilmu sosial kontemporer dikenal sebagai gerakan kesetaran gender.

Karya sastra merupakan ekspresi dari masyarakat dan mengandung kerangka sosial historis. Dengan demikian, karya sastra dapat berfungsi sebagai dokumen sosial seperti dinyatakan oleh Wellek dan Warren (dalam Budianta, 1990: 20) bahwa karya sastra dapat menjadi dokumen sosial yang mengungkapkan sejarah dan peradaban suatu masyarakat pada waktu tertentu dan karya sastra selalu menggambarkan fenomena sosial pada zamannya.

(7)

psikologis perempuan lalu menghubungkannya dengan kebudayaan, gender, dan patriarki.

Penulis menetapkan dua novel Nawal El-Saadawi yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu Memoar Seorang Dokter Perempuan (1988) dan Perempuan di Titik Nol (1989). Kedua novel ini dianggap dapat mewakili isu ketidakadilan gender yang dialami perempuan di negeri-negeri Arab. Menurut Mochtar Lubis dalam kata pengantar yang ditulisnya dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, bahwa negeri-negeri Arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat terbelakang jika dibandingkan dengan hasil-hasil perjuangan persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dan lelaki yang telah tercapai.

Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol dipilih karena menggambarkan potret perempuan dan proses menuju kemandirian untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Tokoh perempuan dalam novel ini mengalami dominasi dalam keluarganya, ia kehilangan hak-hak fundamental seperti mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga terperangkap di ranah domestik sehingga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri.

(8)

dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai.

Kedua novel karya Nawal El Saadawi yang disebutkan di atas perlu untuk diteliti, karena perjuangannya melawan ketidakadilan gender memiliki relevansi dengan pemahaman feminisme. Gagasan dan ide disampaikan melalui tokoh-tokoh utama dalam novel dan pengalamannya sendiri dalam keluarganya dan saat bersama suaminya. Tokoh utama ini dapat digolongkan ke dalam perempuan korban laki-laki berbudaya patriarkhi. Dia mengungkapkan penderitaannya di balik lembaga perkawinan yang tidak harmonis. Pilihan tokoh “Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan tokoh “Firdaus” dalam novel Perempuan di Titik Nol yang sama-sama memilih jalan hidup untuk menikah dengan laki-laki dan akhirnya meninggalkannya merupakan hal yang menarik untuk dikaji sebagai suatu gerakan pertentangan bagi kaum perempuan.

(9)

Masalah-masalah perempuan ini perlu dibicarakan karena masih banyak perempuan yang “terperangkap” dalam lembaga perkawinan yang berubah menjadi tempat penyiksaan yang tersembunyi. Banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak bersuara karena hal ini dianggap tabu mengungkapkan aib keluarga. Dominasi di ranah domestik juga termasuk dalam perjuangan ideologi feminisme untuk membebaskan perempuan dari berbagai opresi.

Tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut beragam latar belakang sosial budayanya. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh tokoh perempun, cara mereka mengatasi persoalan yang dihadapi dapat menampilkan citra perempuan tokoh tersebut. Konsep citra perempuan diartikan sebagai kesan mental, bayangan visual atau yang mewakili sesuatu yang tidak tampak, atau gambaran mengenai perempuan yang dijadikan tokoh dalam cerita novel. Hal ini berpadanan dengan konsep citra perempuan Effendi dkk (1995: 25) yang mengatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran angan atau imaji yang timbul dalam proses pembacaan. Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi perempuan.

(10)

Menurut Sugihastuti (2000: 14) citra perempuan itu merupakan tanda dalam karya sastra, maka unsur itu berelevansi kuat dalam hubungannya dengan struktur karya, pencipta, pembaca, dan semestaannya. Tegangan unsur citra perempuan dengan keempat komponen itu dapat diungkapkan untuk memahaminya secara lebih memadai, terutama hasil pengungkapan pembaca perempuan. Sugihastuti menambahkan bahwa wujud dari citra perempuan itu dibatasi pada masalah pikiran dan perasaan perempuan dalam tingkah laku keseharian sebagai pribadi (individu), sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat. Wujud citra perempuan dapat dihubungkan dengan aspek fisis, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya citra perempuan.

Dengan demikian, perbedaan keadaan sosial dan kondisi budaya dapat memberi gambaran citra perempuan yang tidak sama. Seperti diungkapkan oleh Fakih (2001: 8) bahwa konsep yang melekat pada perempuan yang dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan berdasarkan perubahan waktu dan tempat.

(11)

selayaknya ilmu sosiologi. Akan tetapi, dokumen dalam sastra itu lebih dari itu ; sebagai sebuah karya seni, sastra bukan hanya sebuah deskripsi dan objektif semata, atau memasukkan kehidupan masyarakat secara permukaan saja, namun juga memperlihatkan cara-cara pengalaman dan perasaan masyarakat.

(12)

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, masalah yang akan dianalisis dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El-Saadawi dan apakah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kedua novel tersebut?

2. Bagaimanakah citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El-Saadawi ditinjau dari perspektif sosial budaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menggambarkan ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El-Saadawi dan menggali pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kedua novel tersebut.

2. Mengungkapkan citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El-Saadawi berdasarkan perspektif sosial budaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat memperkaya kajian sastra, khususnya dalam kajian gender, feminisme dan sosiologi sastra.

(13)

membantu bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan masalah-masalah perempuan dalam karya sastra.

3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada mahasiswa agar lebih banyak memahami mengenai novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi khususnya tentang citra perempuan yang terdapat di dalamnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk mengubah cara pandang dan sikap agar tercapai hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, sebagai mitra yang sejajar, yang satu tidak lebih dominan dari yang lain.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh penentu kebijakan untuk membuat peraturan yang dapat melindungi kepentingan perempuan di ranah publik dan domestik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Yang Relavan

(14)

berbeda. Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang citra perempuan dalam perspektif sosial budaya dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Penelitian yang relavan dan dapat dijadikan acuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Miyatul Ummah tahun 2009 melakukan penelitian dengan judul Kritik Sastra Feminis Dalam Novel Imra’ah Indha Nuqthah Al-Shifr Karya Nawal A-Saadawi. Penelitian ini melihat karakteristik dan pikiran yang dituangkan Nawal El-Saadawi dalam karyanya serta kontroversi masyarakat dalam menanggapi pikiran-pikiran pengarang. Penelitian yang dilakukkan oleh Ummah ini juga mengemukakan pokok-pokok pemikiran feminisme yang terdapat dalam novel tersebut. Perbedaan penelitian yang dilakukan Ummah ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah metode pendekatannya. Ummah memakai pendekatan kritik sastra feminis untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam penelitiannya. Sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan feminisme. Penelitian tersebut dapat memberi konstribusi yang akan dilakukan penulis karena novel yang dipilih Ummah sebagai objek penelitian merupakan salah satu novel yang akan diteliti oleh penulis. Karena Ummah mengungkapkan pikiran-pikiran pengarang dalam penelitiannya sedangkan penulis mengungkapkan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang maka untuk membantu menemukan tujuan penelitian tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Ummah.

(15)

dkk.Tujuan penelitian tersebut untuk mendeskripsikan citra wanita dalam novel “Imro’ah Inda Nuqthah Ash-Shifr karya Nawal El-Sa’dawi.Penelitian ini menggunakan teori kritik sastra feminis. Dalam penelitian ini citra wanita terdiri dari citra wanita mesir dalam segi fisik, psikis, dan sosial dalam pandangan feminisme. Ada beberapa perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini. Salah satunya adalah teori yang dipakai. Penelitian tersebut menggunakan teori kritik sastra feminis. Sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan feminisme. Salah satu novel yang dijadikan objek penelitian dalam penelitian tersebut sama dengan novel yang digunakan sebagai objek penelitian yang sekarang ini. Dalam penelitian yang sekarang ini juga mengungkapkan ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh perempuan dalam novel untuk dapat menunjukkan citra perempuan dalam perspektif sosial dan budayanya.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Cinta Raga Suci Prestiyono (2013) Penelitiannya yang berjudul Ketidakadilan Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi ini menunjukkan adanya konflik fisik dan konflik batin yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel PDTN. Penelitian tersebut relevan dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang ini karena pada penelitian ini pada rumusan masalah pertama membahas ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini melakukan analisis pragmatik yang dititik beratkan pada ketidakadilan gender meliputi: marginalisasi, subordinasi, strotipe, dan kekarasan. Sementara penelitian ini menunjukkan citra perempuan dalam novel yang tergambar dari ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel tersebut.

(16)

“Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawal El-Saadawi. Judul jurnal tersebut adalah Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan Psikologis Tokoh. Penelitian tersebut mengkaji aspek psikologi tokoh yang muncul dalam novel tersebut antara lain kekecewaan, kemarahan, kebencian, kemunafikan, ketidakpuasan, kegagalan, perlawanan, kesunyian, dan kerinduan tokoh “Aku”. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu pendekatan yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan psikologi sementara penelitian yang sekarang ini dengan pendekatan sosiologi. Dengan adanya penelitian tersebut yang mangkaji psikologi tokoh maka dapat membantu penelitian ini untuk melihat bagaimana tokoh tersebut dalam aspek fisis, psikis, sosial dan budaya.

(17)

2.2 Landasan Teori

Teori dan metode jelas sangat penting sebab di satu pihak, melalui teorilah objek penelitian dapat dipahami sebaik-baiknya.Teori merupakan jendela yang melalui objek dapat dilihat secara jelas.Teori juga membatasi skop penelitian sebab besar kecilnya jendela menentukan luas dan sempitnya objek yang harus dikaji.Teori merupupakan akumulasi konseptual sepanjang sejarahnya, baik yang diperoleh secara evolusi maupun revolusi.Teori pulalah yang dapat menjawab keseluruhan problematika yang timbul dalam penelitian. Tanpa teori suatu penelitian ilmiah hamper tidak dapat dilakukan. Meskipun demikian, dalam penelitian teori bukan segala-galanya.Teori tetap alat sehingga yang lebih penting tetap objek itu sendiri. Objeklah yang menentukan teori apa yang harus digunakan, bukan sebaliknya.

Teori terdiri atas konsep utama dan konsep-konsep lain sebagai pelengkap. Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer.

(18)

Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian merupakan kerangka dasar dalam penelitian.Dengan tampilnya sosiologi sastra sebagai disiplin yang otonom, khususnya sesudah timbulnya kesadaran bahwa analisis strukturalisme memiliki keterbatasan, sebagai metode yang mengaliensikan karya terhadap struktur sosial yang menghasilkannya, lahirlah teori-teori yang secara spesifik, yang secara konseptual paradigmatis ditunjukkan dalam analisis sosiologi sastra.Teori yang relavan dengan objek penelitian ini untuk memecahkan rumusan masalah mengenai citra perempuan dalam aspek sosial dan budaya adalah teori sosiologi sastra dan teori feminisme marxis dan sosialis.

2.2.1 Teori Sosiologi Sastra

(19)

Novel dan karya sastra lainnya berasal dari gejala sosial dan sangat terikat dengan waktu tertentu dalam sejarah sosial. The form and content of the novel derive more closely from social phenomena and often seem bound up with particular moments in the history of society, (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 35). Para pengarang menganalisis “data” dari kehidupan sosial, menginterprestasikannya, memberinya bentuk dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sastra lahir dari hasil observasi rasional dan merupakan pengalaman dari realitas yang dirancang dengan baik.

Levin (dalam Elizabeth, 1973: 66) mengatakan bahwa sastra dengan isinya yang asli adalah seni yang dengan berani mengekspresikan kedalaman jiwa dan keseluruhan realitas sisial, dapat merupakan ekspresi dari individu dan juga ekspresi kolektif dari masyarakat. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa “a novel is a kind of portable mirror which can be conveyed everywhere and which is most convenient for reflecting all aspects of nature and life”. Novel itu seperti cermin kecil yang dapat dibawa ke mana-mana dan merefleksikan dengan jelas apa pun yang ada di depannya alam dan kehidupan manusia.

(20)

atau sekelompok orang dengan demikian sastra tidak hanya “To make sense of our lives but also to make nonsense of our lives” (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 31). Persamaan dunia fiktif dengan dunia nyata membuat karya sastra seperti asli dan bermakna yang membuat kita memahami dunia nyata dengan lebih baik.

Swingewood (dalam Yasa 2012: 21) mengatakan bahwa novel sebagai jenis karya sastra utama dalam karya masyarakat, dilihat sebagai usaha setia untuk menciptakan kembali kehidupan masyarakat itu berhubungan dengan keluarganya, politiknya, negaranya, peraturan, konflik, dan tegangan konflik antar kelompok dan kelas sosial. Sebagai sebuah dokumen murni, satu hal yang dapat dilihat bahwa novel banyak memiliki kesamaan sosial, ekonomi, dan politik selayaknya ilmu sosiologi. Akan tetapi, dokumen dalam sastra lebih dari itu; sebagai sebuah karya seni, sastra bukan hanya sebuah deskripsi dan objektif semata, atau memasukkan kehidupan masyarakat secara permukaan saja, namun juga memperlihatkan cara-cara pengalaman dan perasaan masyarakat.

Swingewood (dalam Yasa 2012: 22) membuat tiga perspektif dalam melihat fenomena sosial dalam karya satra. Pertama, perspektif yang paling populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada cermin zaman. Perspektif ini memfokuskan perhatian pada teks sastra sebagai objek kajian dengan asumsi dasarnya adalah bahwa karya merupakan cermin zaman.

(21)

diarahkan pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Perspektif kedua ini bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan cermin situasi sosial penulis.

Ketiga, perspektif ketiga menuntut satu keahlian yang lebih tinggi, mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra benar-benar diterima oleh masyarakat tertentu dan pada suatu momen sejarah tertentu. Perspektif ketiga ini memfokuskan perhatian pada penerimaan masyarakat terhadap karya sastra terkait dengan momen sejarah. Asumsi dasarnya adalah karya sastra sebagai refleksi peristiwa sejarah.

Pada kutipan di bawah dapat dilihat bahwa novel adalah karya sastra yang dapat mewakili manusia secara eksplisit dari perspektif sejarah dan sosial. Keberadaan novel seolah menegaskan bahwa tidak ada masyarakat tanpa sejarah dan juga tidak ada sejarah tanpa masyarakat. Dengan adanya novel, masyarakat masuk ke dalam sejarah dan sejarah masuk ke dalam masyarakat.

Implicit in the text of the novel are the propositions that man have lives by himself and above all, that he has a past, a present and a future. The novels emergence as an art form affirms, essentially, that there was no society without history, nor history without society. With the novel, society enters history and history enters into society (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 39).

(22)

Swingewood (dalam Yasa, 2012: 22) menyampaikan bahwa pengarang besar tidak sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah, tetapi ia mengemban tugas yang mendesak, yaitu memainkan tokoh-tokoh ciptaannya dalam satu situasi rekaan untuk mengungkapkan nilai dan makna dalam dunia sosial. Dalam masyarakat, sesungguhnya, manusia berhadapan dengan norma dan nilai. Dalam sastra, juga dicerminkan nilai dan norma yang secara sadar difokuskan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, kemungkinan sastra tersebut bisa merupakan salah satu ukuran sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.

Swingewood (dalam Yasa, 2012: 23) juga mengatakan bahwa sastra merefleksikan langsung berbagai segi sosial, hubungan keluarga, konflik kelas, dan mungkin kecenderungan pemisahan susunan masyarakat. Dalam konteks ini, seorang sosiolog sastra berusaha menghubungkan karakter tokoh-tokoh dan situasi yang ada dalam cerita dengan situasi sejarah yang melingkupi kehidupan penulis. Dia harus mengubah arti tema dan gaya dalam karya sastra yang sifatnya pribadi menjadi bersifat sosial.

(23)

tokoh-tokoh ciptaannya dalam situasi yang dihadapinyauntuk mengetahui nasib mereka sendiri dan kemudian menunjukkan nilai dan arti dalam dunia sosial.

Swingewood (dalam, Yasa 2012: 23-24) menambahkan bahwa sastra sebagai sebuah cermin, merefleksikan situasi zamannya. Setiap zaman mengenal pertentangan kelas dan hasil sastra mengarah pada suara kelas tertentu sehingga ia merupakan alat perjuangan kelas. Ia menambahkan bahwa kompromi kelas menggarisbawahi perkembangan masyarakat Inggris. Ia menyampaikan bahwa seperti halnya pendekatan sosiologi sastra yang lain, Marxisme merumuskan, antara lain, sastra sebagai refleksi sosial. Keadaan sosial selalu ditandai dengan pertentangan kelasdan seorang penulis akan menyuarakan kelasnya. Kesan pertentangan kelas ini akan ditemui dalam karya sastra sehingga tokoh-tokoh di dalamnya merupakan tokoh yang representatif (representatif figure) yang mewakili kelas sosial tertentu. Swingewood menegaskan pula bahwa karya sastra adalah suatu jagat yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia karena di samping sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial, maka dinamika sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Ia menyampaikan bahwa sinkronisasi antara fakta imajiner dengan fakta realitas sebagai bukti bahwa sastra adalah refleksi sosial.

(24)

2.2.2 Teori Feminisme

Feminis, dari kata femme, berarti perempuan. Feminisme adalah bidang teori dan politik yang plural, dengan perspektif dan rumusan aksi yang saling bersaing. Secara umum biasa dikatakan bahwa feminisme melihat seks/kelamin sebagai sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tidak bisa direduksi yang sampai saat ini, telah menempatkan perempuan di bawah lelaki. Dengan demikian, perhatian utama feminisme adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan.Para feminis melihat bahwa subordinasi perempuan terjadi di berbagai lembaga dan praktik, atau, dengan kata lain, bahwa subordinasi tersebut bersifat struktural. Subordinasi struktural inilah yang disebut sebagai patriarkhi, bersama dengan makna-makna turunannya tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritas.

Groos (dalam Ollenburger dan Moore, 1996) mengatakan bahwa tujuan-tujuan politik feminis pada tahun 1960-an terfokus pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan diremehkan oleh disiplin-disiplin patriarkhi, wanita berusaha masuk menjadi objek penyelidikan. Teori-teori tradisional kerap dimodifikasi oleh kaum feminis untuk menerangkan penindasan wanita. Dengan memusatkan pada pencantuman persamaan wanita ke dalam kerangka teoritis masa lalu itu, kesamaan-kesamaan wanita dengan laki-laki ditekankan.

2.2.2.1 Feminisme Marxis dan Sosialis

(25)

bahwa perbedaan antara dua kelompok pemikiran ini lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah substansi. Feminis Marxis cenderung untuk menunjukkan penghargaan mereka langsung kepada Marx, Engels, dan pemikir abad 19 lain. Mereka juga cenderung untuk mengidentifikasi kelasisme (classism) dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap perempuan. Sebaliknya, Tong mengatakan bahwa feminis sosialis tampaknya dipengaruhi oleh pemikir abad 20, seperti Louis Althusser dan Jurgen Habermas. Lebih dari itu, feminis sosialis juga menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap perempuan bukanlah “kelasisme” atau “seksisme” melainkan suatu keterkaitan yang sangat rumit antara kapitalisme dan patriarki.

Menurut Nugroho (2008: 69) pemikiran tentang feminis ini muncul dilatarbelakangi keprihatinan para pencetusnya (Karl Marx dan Friedrich Engels) yang melihat bahwa kaum perempuan kedudukannya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Mereka dalam teorinya mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga lembaga yang melegitimasikan pria memiliki istri secara pribadi. Gejala inilah yang dipandang kedua tokoh ini merupakan bentuk penindasan perempuan.

(26)

Menurut Marx (dalam, Nugroho: 2008: 70), perubahan lingkungan sosial akan memengaruhi perubahan diri individu, sehingga keadilam sosial dapat tercipta. Teori Marxis menganalisis pola relasi antara laki-laki dan perempuan yang dianalogikan dengan perkembangan masyarakat modern industrial kapitalisme, seperti yang diformulasikan oleh Friedrich Engels. Dikatakan bahwa pada bentuk masyarakat awal, yaitu masyarakat berburu yang berpindah-pindah (hunting and gathering) pola relasi sosial adalah egaliter. Hal ini diseabkan tidak adanya kepemilikan pribadi. Harta milik dapat menjadi beban, karena merek harus berburu dan berpindah-pindah. Para perempuan dalam masyarakat ini, walaupun harus berperan sebagai pengasuh anak, mempunyai kekuasaan dan menjadi tuan di wilayahnya (rumah).

(27)

dilihat sebagai hubungan pertukaran yang, dalam hubungan ini, segala sesuatu yang bernilai setara secara diperjualbelikan.

Tong (1998: 148), mengatakan bahwa feminis ini juga menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengoperasinya. Bahkan, sebagian besar pemikiran Marxis terhadap feminis ini ditujukan untuk membuat cetak biru agar membimbing pekerja, laki-laki atau perempuan, bersamaan dengan usaha mereka untuk membentuk diri sebagai suatu kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan terhadap transisi dari kapitalisme ke sosialisme, dan akhirnya untuk mencapai komunisme-komunitas yang utuh dan kebebasan penuh.

Menurut Marx (dalam Tong, 1998: 148), di bawah kapitalisme, manusia sebagian besar bebas untuk melakukan apa yang ingin dilakukan di dalam batasan sistem, tetapi mereka tidak dapat banyak bersuara dalam penentuan batasan-batasan itu, yang membuat mereka bertingkah laku seperti seorang egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Menurut Marx kepribadian dikondisikan dan ditentukan oleh hubungan kelas yang cukup jelas. Sebaliknya, bagi orang-orang yang hidup di dalam kapitalisme, orang-orang yang hidup di dalam komunisme adalah bebas, bukan saja untuk melakukan, tetapi juga untuk menjadi apa yang mereka inginkan, karena mereka mempunyai kekuatan sistem struktur yang membentuk mereka.

(28)

dari wilayah di luar rumah. Pekerjaan perempuan di wilayah domestic menjadi tidak bernilai dibandingkan materi yang dikumpulkan suami. Hal yang seperti ini menurut Engels sebagai cikal bakal timbulnya struktur patriarkhi di dalam keluarga. Suami dengan segala materi yang dimilikinya, menjadi seorang kepala keluarga, dan member nafkah kepada anak dan istrinya, sehingga terjadilah keluarga nuklir dan monogamy, di mana seorang istri menjadi milik pribadi suaminya.

Nugroho (2008: 71) mengatakan, bahwa sektor publik selalu memberikan nilai materi (uang), sedangkan pekerjaan rumah tangga tidak. Suami dengan sendirinya mempunyai posisi yang lebih kuat dan istri serta anak-anaknya menjadi pihak yang lemah karena ketergantungan ekonomi mereka kepada kepala keluarga. Bahkan, istri dianggap sebagai budak seperti yang dikatakan Engels (dalam Nugroho, 2008: 72):

“…the wife became the head servant, excluded from all participation in social production. The individual family is founded on the open or concealed domestic slavery of the wife… (… istri menjadi kepala pembantu, tidak diikutsertakan dalam partisipasi produksi. Keluarga nuklir didirikan di atas perbudakan domestic dari istri, terbuka atau tersembunyi.)

(29)

melihat bahwa perbudakan istri dan anak-anak oleh suami adalah bentuk pertama dari dampak kepemilikan pribadi (privat property). Diferensi peran keluarga dalam masyarakat kapitalis dianggap telah menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang membuat seseorang merasa teralienasi. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh wanita dianggap pekerjaan teralienasi karena perempuan terpisah dari dunia luar (terisolasi), dan pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang tidak kreatif.

Karl Marx (dalam Nugroho, 2008: 72-73), membuat teori yang disebut materialist determinism, yang mengatakan bahwa budaya dan masyarakat berakar dari atau mempunyai basis material atau ekonomi. Ia mengatakan bahwa basis kehidupan masyarakat berdasarkan pola relasi material dan ekonomi yang selalu menimbulkan konflik. Di sini terlihat bahwa paham materialism yang dikembangkan Marx dan Engels telah menentukan nilai eksistensi seseorang, di mana kepemilikan materi dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang. Pekerjaan domestik yang dilakukan oleh wanita memang tidak menghasilkan uang atau materi. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena kkekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.

(30)

disebutkan sebelumnya. Bahkan, usaha menghapuskan keberadaan institusi keluarga perlu dilakukan; karena keluarga dianggap sebagai institusi yang melahirkan kapitalisme. Ini mengingat sistem patriarkatnya yang menurut kaum feminis mengeksploitasi para wanita di rumah. Sebagai gantinya, dapat diciptakan suatu keluarga kolektif di mana pekerjaan rumah tangga dilakukan secara kolektif, termasuk pengasuhan dan pendidikan anak yang dapat dilakukan misalnya di tempat pengasuh anak. Dengan cara ini wanita dapat bebas berkiprah di sektor publik yang dapat meningkatkan kepemilikan materi dan kekuasaan para wanita.

(31)

Tong (1998: 2) mengatakan, bahwa feminisme marxis dan feminism sosialis agak berbeda dalam konteks cara pandang kedua kelompok penganut mengenai penyebab tertindasnya perempuan. Feminism marxis lebih melihat kepada kapitalisme daripada seksisme, sementara feminisme sosialis lebih melihat kepada kapitalisme dan patriarki. Pada analisis akhir, perbedaan antara feminis Marxis dan sosialis tidaklah sepenting yang mereka yakini bersama. Feminis Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup.

2.3. Kerangka Pikir

Dalam melakukan suatu penelitian, seorang peneliti harus memiliki tujuan yang jelas yang harus dicapai. Oleh karena itu, untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut, dalam melihat dan memberi makna terhadap novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol, penulis menyusun kerangka pemikiran dengan berdasar pada hasil penelitian yang relevan dan landasan teori yang dikemukakan sebelumnya. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada penampilan tokoh Utama perempuan dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol.

Adapun kerangka pemikiran penulis berdasar uraian diatas sebagai berikut:

Ketidakadilan Gender

(32)

Ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi memunculkan citra perempuan tokoh tersebut. Citra perempuan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah citra perempuan dalam aspek fisis, psikis, sosial dan budaya dengan menggunakan teori feminisme untuk mengungkapkan keberadaan dan peran tokoh perempuan sebagai individu, keluarga dan anggota masyarakat sehingga menampilkan citra perempuan tersebut serta tanggapan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan terhadap tokoh perempuan dan korelasinya dengan ide-ide yang dikemukakan oleh feminis. Setelah itu, penulis menghubungkan keadaan yang terjadi pada novel dengan keadaan masyarakat Mesir dengan pendekatan sosiologi sastra.

Citra Perempuan Aspek Fisis

Citra Perempuan

Citra Perempuan Aspek Psikis

Citra Perempuan Aspek Sosial

Feminisme dan Sosiologi Sastra

Simpulan

Citra Perempuan Aspek Budaya

(33)

2.4 Konsep

2.4.1 Citra Perempuan

(34)

Ganelli, dkk (2010: 5) mengatakan citra merupakan segala bentuk tingkah laku individu yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik datang dari luar dirinya atau lingkungannya maupun dari dalam dirinya sendiri, sehingga tingkah laku individu adalah manifesti dari kepribadian yang dimilikinya sebagai perpaduan yang timbul dari dalam lingkungan.

Citra perempuan diambil dari gambaran-gambaran citraan yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pencecapan tentang perempuan. Citra perempuan dalam novel yang dimunculkan pengarang adalah sebagai gambaran dari efek tentang perempuan, gambaran angan dalam novel merupakan hasil pengungkapan pikiran terhadap objek, yaitu perempuan.

Hellwig (2012: 20) mengatakan parameter citra perempuan adalah gambaran tentang perempuan dalam kehidupannya di ranah domestik dan di ranah publik. Penggambaran citra perempuan sebagai perempuan mandiri maupun sebagai perempuan yang hidup terperangkap norma-norma patriarkal yang dibebankan kepadanya sebagai seorang istri. Unsur-unsur yang membentuk dan membangun citra diri,antara lain pendidikan, pekerjaan, kepribadian, kehidupan keluarga, kehidupan sosial, lingkungan,dan gaya hidup.

(35)

secara umum. Contoh-contoh citra perempuan pada masa Hindia Belanda karangan Hellwig sebagai berikut.

1. Njai Desima dan Saritan

Citra perempuan yang digambarkan dalam tokoh Njai Desima dan Saritan adalah sosok perempuan yang bahagia dengan pasangannya.Sama sekali tidak ada masalah diskriminasi berdasarkan rasa tau gender, perempuan itu menjadi nyai atas keinginannya sendiri, dan majikan mereka sangat ramah dan menaruh hormat kepada mereka.

2. Nji Paina

Nji Paina dicitrakan sebagai sosok yang mau mengalah.Ia dipaksa menjadi ‘nyai’ Briot. Ia harus melayani dan menyerahkan diri kepada lelaki yang tidak tahu adat, kasar dan pemabuk. Nji Paina menerima situasi ini untuk menyelamatkan keluarganya dari bencana, dan akhirnya ia menang dan berhasil menghilangkan lawan kolonialnya yang menjijikkan dengan menularkan penyakit cacar kepadanya.

3. Nyai Marten

Citra perempuan yang digambarkan oleh tokoh Nyai Marten ialah citra keras dan pendendam.Ia tidak menerima perlakuan dikesampingkan seperti sehelai lap tua oleh majikannya. Hal ini terungkap melalui pembalasan dendam terhadap majikannya dengan tanaman beracun yang tidak cukup dikenal oleh Eropa, semata-mata sebagai mekanisme untuk bertahan.

4. Njai Warsih Ijerita

(36)

tahun. Ia mengambil prakarsa dalam perkawinan ini untuk melamar Prajitno.

5. Leonie Van Oudijck, Jet Revenga, dan Etty Van Welven.

Ketiga perempuan ini dicitrakan sebagai sosok yang membenci pernikahan.Etty Van Welven bergelimang dalam pemborosan. Etty dan Leonie digambarkan sebagai penyebabkan kejatuhan suami mereka. Mereka menodai dan merusak nama baik keluarga.

Keterkaitan antara citra perempuan dengan karya sastra terlihat, ketika isi dari karya sastra tersebut mengisahkan tentang seorang perempuan. Pencitraan itu termasuk kedalam unsur cerita dan selalu melekat pada tokoh tersebut. Perempuan dapat dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial yang beraspek keluarga dan masyarakat. Aspek-aspek ini terinci atas dasar citra pemikiran terhadapnya (Sugihastuti, 2000: 46).

2.4.1.1 Citra Perempuan dalam Aspek Fisis

Secara fisik, memang kodrat biologis sudah tidak dapat diubah. Perempuan dalam denotatifnya memiliki fisik yang berbeda dengan laki-laki. Akan tetapi secara psikis dan sosial, kodrat fisik itu dapat dikembangkannya sehingga perempuan dapat martabat yang sesuai. Diskriminasi fisik seperti ini membawa konsekuensi pada deskriminasi norma-norma tentang status dan peran perempuan dalam masyarakat, seperti nanti dapat dilihat dalam aspek citra sosial perempuan.

(37)

perasaan yang berlainan tentang apa yang penting dan tidak penting baginya. Hanya perempuan, menurut alasan tertentu mengalami pengalaman hidup yang khusus bagi perempuan, seperti mengalami ovulasi, menstruasi, dan bersalin. Maka dari itu hanya perempuan yang dapat berbicara tentang kehidupan kaumnya. Hal ini ditunjukkan oleh kesejajaran fisis dan psikis perempuan dengan pengarang yang perempuan pula.

Menurut Sugihastuti (2000: 84), citra fisis perempuan tergambar secara fisiologis dicirikan oleh tanda-tanda jasmani antara lain dengan dialaminya haid dan perubahan-perubahan fisik lainnya seperti tumbuhnya bulu di bagian badan tertentu, perubahan suara, dan lain sebagainya. Menurut Sadli (dalam Sugihastuti 2000: 85), anak perempuan pada usia tertentu juga membuat berbagai keputusan karena karakteristik sekundernya sebagai ciri fisik. Tergantung dari apa yang menjadi ketentuan mengenai perempuan, maka ia harus memutuskan apa yang akan dilakukan karena ia mengalami siklus haid, atau karena buah dadanya mulai membesar. Tanda-tanda fisik yang mengantarkan anak perempuan menjadi perempuan dewasa ini mempengaruhi pula perilaku yang dianggap pantas baginya sebagai perempuan dewasa. Sehubungan dengan karakteristik sekunder itu, perempuan juga harus mengambil keputusan yang tidak terlepas dari keinginannya sebagai perempuan dewasa dan dianggap pantas baginya. Selain itu, masa perkawinan juga mengisyaratkan bahwa secara fisik citra perempuan ditunjukkan sebagai perempuan dewasa.

(38)

Perspektif pembaca sebagai penerima menempatkan informasi sebagai suatu hal yang umum sebagai representasi yang merupakan identitas makna. Oleh karena itu, Sugihastuti (2000: 90), menyimpulkan bahwa citra fisis perempuan dapat dilihat dari dua arah, dari pengarang sebagai pengirim atau pembaca sebagai penerima. Kedua-duanya tidak menimbulkan perbedaan karena realitas yang dihadapi bahwa fisik perempuan itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas.

Sugihastuti (2000: 91), mengungkapkan bahwa dari segi fisis perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang lebih lemah daripada laki-laki, tidak berdaya dan menempati posisi peran yang tidak membahagiakannya. Anggapan bahwa kelemahan fisik perempuan itu merupakan takdir semata-mata disangsikan. Anggapan-anggapan yang muncul atas citra fisis perempuan itu dapat berangkat dari denotasi dan konotasi kata yang digunakan pengarang dalam karyanya. Denotasi merupakan hubungan langsung antara penanda dan unit budaya yang dibentuk oleh kode dan konotasi merupakan satuan budaya yang ditimbulkan oleh denotasi itu. Dengan demikian citra fisis perempuan dalam batas denotasi dan konotasi kata-kata yang dipilih oleh pengarang ini terbentuk dalam novel yang dapat menerima satu atau lebih makna potensialnya. Mekanisme konotasi yang berdasarkan pada denotasinya.

(39)

disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Aspek fisis tidak terlepas dari aspek psikis sebagai komponen aspek perwujudan citra perempuan. Seperti diketahui bahwa perempuan sebagai sosok manusia dibangun atas aspek fisis dan psikisnya. Maka dari itu sedikit banyak berpengaruh terhadap citra psikisnya. Misalnya, ada beberapa di antara ciri-ciri citra fisis perempuan yang berpengaruh terhadap citra psikisnya. Pengaruh ini pada kelanjutannya bergeser mempengaruhi pula citra sosialnya. Jadi, antar aspek perempuan itu sebenarnya saling berkaitan dalam perempuan mencapai martabat hidupnya. Secara fisis perempuan sudah dikodratkan bebeda dengan laki-laki sejak awal terbentuknya kromosom; namun secara psikis dan sosial, perempuan dapat mencapai martabat wajar yang sesuai dengan citra dirinya.

2.4.1.2 Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

(40)

yang ada dalam diri perempuan; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness, receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup orientasinya komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.

Kartono (dalam Sugihastuti 2000: 97) mengatakan citra fisis perempuan erat kaitannya dengan citra psikis, bahwa perempuan itu lebih banyak mengarah ke luar, kepada subjek lain. Pada setiap kecenderungan kewanitaannya, misalnya saja pada caranya berhias, secara primer perempuan menunjukkan aktivitasnya ke luar, untuk menarik perhatian pihak lain, terutama seks lain. Langer (dalam Sugihastuti 2000: 97) berpendapat bahwa pengaruh timbal balik antara aspek fisis dan psikis wanita itu merupakan sesuatu hal yang tak terhindarkan. Konsep dasar dari perkembangan aspek psikis yang berhubungan dengan konseptualisasi manusia (termasuk perempuan) dalam hubungannya dengan lingkungan adalah bahwa perempuan itu merupakan makhluk yang aktif. Aspek fisis yang sudah tercirikan oleh wanita itu dengan sendirinya pula mempengaruhi aspek psikisnya, yang juga merupakan aspek psikis sebagai citra perempuan. Dalam aspek fisis memang terjadi perbedaan dasar yang tidak dapat dielakkan, namun secara citra psikis perempuan tidak harus diterima sebagaimana adanya.

(41)

atau interaksi dalam keluarga dan masyarakat secara luas. Interaksi prempuan dengan lingkungan soaialnya akan mempengaruhi perempuan dalam bersikap dan mempengaruhi pula cara perempuan dalam menghadapi berbagai alternatif yang terbuka baginya.

Kartono (dalam Sugihastuti 2000: 101) mengatakan aspek psikis perempuan dapat tercitrakan dari gambaran pribadi. Gambaran pribadi perempuan itu secara karakteristik dan normatif sudah terbentuk dan relatif stabil sifatnya juga stabil, misalnya perkawinan, pilihan sikap, pilihan pekerjaan, dan sebagainya. Menurut Sugihastuti (2000: 105), perempuan secara psikis bersifat lebih praktis, lebih langsung, dan meminati segi-segi kehidupan yang kongkret dan yang sifatnya segera. Perempuan sangat meminati masalah-masalah kerumahtanggaan dan kehidupan sehari-hari, atau kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya.

(42)

lain sehingga ia cepat membuka diri bagi orang lain pula, baik sesama perempuan maupun bagi lawan jenisnya.

Heymans (dalam Sugihastuti 2000: 108) mengatakan perbedaan antara psikis laki-laki dan perempuan itu terletak pada sifat-sifat sekundaritas, emosionalitas, dan aktivitas fungsi-fungsi kejiwaan; pada diri wanita, fungsi sekundaritas tidak terletak di bidang intelek, akan tetapi pada perasaan. Ciri ini yang menandai citra psikisnya. Dari uraian tersebut, Sugihastuti (2000: 108), menyimpulkan bahwa dari aspek psikisnya, perempuan berbeda dengan laki-laki seperti dinyatakan dalam psikologi. Perbedaan ini disadari perempuan memang karena dirasakannya. Dilihat dari aspek psikis pun, terbukti bahwa ada ideologi yang sifatnya patriarkal. Perempuan secara sadar mengetahui kenyataan ini, namun tidak sempat membuka selubung patriarkal yang menutupinya.

(43)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa citra psikis perempuan terbentuk sedemikian rupa dalam hubungannya dengan aspek fisis. Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh aspek fisis dan psikis ini saling berkaitan.

2.4.1.3 Citra Perempuan dalam Aspek Sosial

Wolfman (dalam Sugihastuti 2000:121) mengatakan citra perempuan dalam aspek sosial disederhanakan dalam dua peran, yaitu peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dengan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Menurut Sugihastuti (2000: 121), peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan perempuan artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan perempuan.

(44)

Sugihastuti (2000: 122), menambahkan bahwa dalam berbagai peran itu, sudah ada pola-pola tingkah laku dan harapan-harapan sederhana yang menuntun tindakan-tindakan dan tangkapan-tanggapannya jika wanita itu memangku peran yang bersangkutan.Hubungan berbagai peran dapat semakin rumit, namun masih bisa disederhanakan dalam klasifikasi peran secara global, yaitu dalam keluarga dan dalam masyarakat sebagai berikut.

1. Citra Perempuan dalam Keluarga

Dari aspek fisis dan psikis terlihat bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, perbedaan ini mempengaruhi pula citranya dalam keluarga.Terdapat banyak alasan untuk memilih dan memainkan peran perempuan dalam keluarga.Ada perempuan yang menerima peran domesti itu seadanya, namun ada pula yang tidak sepenuhnya rela menerimanya. Citra perempuan dalam keluarga seperti ini relatif dinamis, berbagai macam citra perempuan dalam keluarga tergambarkan (Sugihastuti, 2000: 122).

(45)

Menurut Sugihastuti (2000: 126), citra perempuan sebagai anggota keluarga, seperti terlihat dari berbagai kesibukan domestiknya, tidak mempunyai nilai pasar dan nilai tukar uang, meskipun pekerjaan itu jelas berguna. Dalam kelanjutannya, perempuan seolah-olah tergantung kepada laki-laki. Menurut Ruthven (dalam Sugihastuti, 2000: 126) dalam menanggapi citra seperti ini, laki-laki dan perempuan sudah sewajarnya sadar terhadap kesepakatan tentang kenyataan bahwa ada ideologi seks yang patriarkal. Sebuah syarat untuk untuk mengubah ideologi ini adalah penerimaan umum tentang hubungan kekuasaan di antara jenis kelamin, antara perempuan dan laki-laki, yang itu semua termasuk ke dalam politik; politik pribadi adalah politik dan politik seksual adalah ungkapan yang banyak didengar di dalam feminisme.

Menurut Sugihastuti (2000: 129), terdapat banyak alas an untuk memilih dan memainkan peran perempuan dalam keluarga. Ada perempuan yang menerima peran domestik itu seadanya, namun ada pula yang tidak sepenuhnya rela menerimanya. Citra perempuan dalam keluarga seperti ini relatif dinamis, berbagai macam citra perempuan dalam keluarga tergambarkan.

(46)

tetapi, adakalanya pria yang dikasihi itu berpretensi, menyalahgunakan citra perempuan sehingga perempuan merasa tersudut ke tempat yang tidak membahagiakan.

Sugihastuti (2000: 130), mengatakan bahwa seorang perempuan dalam perannya sebagai ibu dari anak-anak, perempuan berada dalam peran yang semestinya sesuai dengan aspek biologinya, mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anak. Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya tidak diragukan, sekalipun tersedia alternatif sebagai perannya. Citra perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan pilihannya tanpa ia merasa terpaksa.

Perempuan sebagai anggota keluarga dicitrakan sebagai makhluk yang disibukkan dengan berbagai aktivitas domestik kerumahtanggaan; banyak pekerjaan rumah tangga, yang dianggap sebagai tetek bengek, menjadi tanggung jawab perempuan.Dalam belenggu banyak pekerjaan domestik kerumahtanggaan itu, perempuan terhalang untuk berkembang secara sosial, namun dalam peran seperti itu perempuan tetap berfungsi sesuai dengan aspek fisis dan psikisnya.

2. Citra Perempuan dalam Masyarakat

(47)

Anwar (dalam Sugihastuti 2000: 134) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap sosial seseorang, antara lain dari pengalaman pribadi, kebudayaan, media massa, orang lain yang dianggap penting, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor-faktor emosi dalam diri individu.

Sugihastuti (2000: 134), berpendapat bahwa pengalaman pribadi perempuan mempengaruhi psikisnya, yang kemudian penghayatannya atas pengalaman itu membentuk sikapnya. Pembentukan kesan dan tangapan perempuan atas sikap perempuan atas sikap sosial sesama manusia antara laki-laki dan perempuan itu merupakan proses yang kompleks dalam dirinya. Pengalaman pribadilah yang menjadikan kesan kuat itu sebagai pendorong sikap sosialnya. Perempuan perlu merasa perlu menuntut atas sikap laki-laki yang merugikannya.

(48)

Menurut Sugihastuti (2000: 136), dalam citra masyarakatnya, perempuan melihat dan merasakan bahwa ada superioritas laki-laki, ada kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam posisi demikian ini, perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujuinya sebagai sesuatu yang semestinya terjadi. Tidak kuasa bagi perempuan untuk menyingkirkan kekuasaan itu.

Sugihastuti (2000: 136), mengatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan belum sadar untuk mengubah sikap dalam hubungannya dengan laki-laki sehingga tuntutannya belum terpenuhi. Perempuan hendak mengubah ideologi kekuasaan laki-laki itu, yang diharapkan tuntutan itu dapat menyadarkannya. Akan tetapi, yang didapati ternyata kesadaran perempuan belum ada, banyak perempuan belum menyadarinya. Suatu tuntutan itu akan menyadarkan laki-laki kalau kesadaran perempuan sendiri sudah nyata ada. Dengan kesadaran baru itu perempuan akan membentuk suatu masyarakat yang diimpikannya.

Sugihastuti (2000: 137), menambahkan bahwa dalam dunia patriarkal, hubungan laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Millet (dalam Sugihastuti, 2000: 137-188), mendefenisikan politik sebagai hubungan yang didasarkan pada struktur kekuasaan, suatu sistem masyarakat tempat kelompok manusia dikendalikan oleh kelompok manusia lainnya. Lembaga Utama dari sistem patriarkal ialah keluarga. Begitu lama dan begitu universalnya nilai-nilai patriarkal ini sehingga kekuatan fisik yang kasar hampir tidak diperlukan walaupun sekali-kali terlihat pula dalam kekerasan fisik.

(49)

karena masyarakat. Menurut Miller dan Giligan (dalam Sugihastuti, 2000: 140), ada nilai-nilai tersendiri pada sifat-sifat khas kaum wanita. Nilai-nilai itu berkaitan dengan sifat-sifat fisis dan psikis bawaannya, dan bukan pada proses pembentukan sosialnya dalam masyarakat. Sepertinya ada pembagian yang jelas sejak semula sehingga dicitrakan hanya terbatas pada pekerjaan domestik kerumah tanggaan saja, perempuan sudah ditaksirkan dalam peran domestik seperti ini. Urusan dunia luar semua milik laki-laki.

Sugihastuti (2000: 142), menyimpulkan bahwa dalam aspek masyarakat, citra perempuan adalah makhluk sosial, yang hubungannya dengan manusia lain dapat bersifat khusus maupun umum tergantung kepada bentuk hubungan itu. Hubungan perempuan dalam masyarakat dimulai dari hubungannya dengan orang-seorang, antarorang, sampai ke hubungan dengan masyarakat umum. Termasuk ke dalam hubungan orang-seorang adalah hubungan perempuan dengan laki-laki dalam masyarakat.

Sugihastuti (2000: 142), menambahkan bahwa dalam sikap sosialnya perempuan dapat terbentuk karena pengalaman pribadi dan budaya. Perempuan menolak terhadap streotipe-streotipe tradisonal yang menyudutkannya ke tempat tidak bahagia. Pengalaman pribadi perempuan mempengaruhi penghayatannya dan tanggapannya terhadap rangsangan sosial, termasuk terhadap lawan jenisnya. Tanggapan itu menjadi salah satu terbentuknya sikap perempuan dalam aspek sosial.

2.4.1.4 Citra Perempuan dalam Aspek Budaya

(50)

ciptaan pengarang. Keseluruhan cara hidup manusia sebagai bagian dari lingkungan dikenal sebagai kebudayaan. Adapun kebudayaan oleh Kluckhohn diungkapkan bahwa keseluruhan cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dan kelompoknya (1959: 69). Dan hal tersebut dapat diketahui bahwa kebudayaan dapat dianggap sebagai bagian dari lingkungan yang diciptakan oleh manusia. Hubungannya dengan citra perempuan dalam novel bahwa kebudayaan dihubungkan dengan manusia. Hal tersebut dilandasi dengan pemikiran bahwa tokoh dalam novel adalah manusia ciptaan pengarang yang mencoba untuk memahami diri sendiri, serta memahami tingkah laku diri sendiri. Itu termasuk cara berpikir, cara merasa, dan cara meyakini.

Di samping itu, dalam kebudayaan terdapat sifat karakteristik (sifat pokok) yang dimiliki oleh semua kebuyaan, antara lain: kebudayaan merupakan milik bersama dari suatu masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah tertentu yang dalam kehidupannya terdapat hubungan “ketergantungan” yang lebih bersifat timbal balik di antara individu-individu yang memiliki kebudayaan yang sama, di mana masyarakat merupakan pendukung kebudayaan. Sebab pada hakekatnya, tanpa masyarakat tidak mungkin ada kebudayaan dan masyarakat merupakan sekumpulan individu, sehingga jika tidak ada masyarakat, manusia yang tidak berkebudayaan. Penting untuk disadari bahwa meskipun kebudayaan merupakan milik bersama anggota masyarakat, namun di dalam kebudayaan itu sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, seperti: peranan (perempuan dan laki-laki), jenis kelamin, umur, stratifikasi sosial dan lain-lain.

(51)

laki-laki lebih berkuasa, mengakibatkan peran perempuan selalu dibatasi. Sampai saat ini, masih ada beberapa negara yang masih membatasi peran perempuan diruang publik dunia kerja, bidang politik dan lain-lain. Namun ada juga beberapa negara yang telah membuka ruang seluas-luasnya agar perempuan dapat berperan aktif di dalam masyarakat.

Konsep patriarkhi dapat dipakai untuk menjelaskan asal mula dan kondisi penindasan laki-laki atas wanita. Bhasindan Khan dalam Feminisme dan relevansinya menjelaskan bahwa patriarkhi adalah sistem yang menindas dan merendahkan kaum wanita, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat (Bhasin dan Khan, 1995: 26). Kramarae dalam ”The Condition of patriarchy” mengutip beberapa pendapat mengenai konsep patriarkhi. Konsep-konsep tersebut merupakan hasil pemikiran Gerda Lerner, Joanna Liddle, Rama Joshi dan Sally Hacker.

Oleh karena itu perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidakadilan mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.

Mesir adalah salah satu Negara Arab. Mesir tergolong negara paling buruk dalam hal penerapan hak asasi perempuan di negara-negara Arab menurut suatu

(52)

terhadap perempuan. Survei dilakukan Thomson Reuters Foundation terhadap

lebih dari 330 ahli gender di 21 negara Liga Arab, termasuk Suriah, selama tiga

tahun sejak Arab Spring pada 2011. Hasilnya, penerapan terbaik ada di Kepulauan

Komoros. Negeri kepulauan ini menempatkan 20 persen kaum perempuannya

pada kursi menteri--menempati urutan pertama terbaik diikuti oleh Oman,

Kuwait, Yordania, dan Qatar. Adapun posisi kedua terburuk setelah Mesir

diduduki oleh Irak, disusul Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Jajak pendapat itu

dilakukan dengan cara bertanya kepada para ahli untuk mengetahui tentang

kekerasan terhadap kaum perempuan, hak-hak melahirkan, pengobatan, serta

peran perempuan dalam politik dan ekonomi.

Masyarakat telah membuang jauh-jauh nilai-nilai yang pernah menjadi kendala bagi pertisipasi wanita sebagai tenaga kerja. Masyarakat dengan gigihnya mempertahankan beberapa nilai-nilai usang terutama nilai-nilai yang menjamin kelangsungan eksploitasi tenaga wanita untuk merawat rumah, suami dan anak-anak; usaha yang juga berkelanjutan tanpa bayaran. Masyarakat juga menghargai pekerjaan wanita dan hak, terhadap pendidikan sekaligus meruntuhkan dinding-dinding dan pagar-pagar sosial yang menghalangi wanita menjadi bagian tenaga kerja yang bebas.

(53)

seorang wanita Mesir, Saadawi mengatakan bahwa sampai hari ini, seorang wanita Mesir yang bekerja dan berkarir, bahkan seorang menteri sekalipun masih diatur oleh undang-undang kepatuhan yang ditasbihkan di dalam Kitab Undang-Undang Perkawinan Mesir. Ia menambahkan bahwa apabila seorang wanita mengeluh atas beban pekerjaan rumah tangga yang teramat banyak, atau tidak mampu memberikan perawatan bagi suami dan anak-anak yang dituntut darinya, ia akan dikucilkan. Bebagai tuduhan akan ditimpakan ke atas kepalanya, hanya lantaran mengabaikan anak-anak dan tidak memenuhi keinginan dan kebutuhan suami, berarti ia ikut mendorong perpecahan “ikatan-ikatan suci keluarga”.

Saadawi (2001: 7), berpendapat bahwa agama, dalam beberapa hal adalah senjata yang sering dimanfaatkan masyarakat tradisional untuk memenggal bahkan menghancurkan usaha-usaha para peneliti dan pencari kebenaran. Saadawi mengatakan “Aku telah melihat dengan sangat jelas bahwa agama paling sering digunakan sekarang sebagai alat di tangan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, sebagai sebuah lembaga yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa untuk menundukkan orang-orang yang dikuasainya”.

(54)

dalam pembunuhan Mujib Abdurrahman di Bangladeh dan dalam perang saudara yang berlangsung berbulan-bulan di Libanon, sebuah perang yang tidak lebih sekedar sebuah konspirasi baru untuk membendung munculnya kekuaran-kekuatan nasionalisme, demokrasi dan kemajuan.

Pada akhirnya, Saadawi (2001: 11) mengatakan bahwa untuk meraih emansipasi wanita Arab harus menyapu bersih kondisi-kondisi yang mendorong penindasan. Emansipasi sejati berarti kemerdekaan dari segala bentuk eksploitasi baik secara ekonomi, politik, sosial dan kultural. Tidak diragukan lagi bahwa kemerdekaan dari eksploitasi ekonomi adalah kontribusi penting dari seluruh tujuan emansipasi, tapi tetap harus dibarengi dengan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan, baik secara sosial, moral maupun kultural sehingga perempuan dan juga laki-laki, bisa benar-benar merdeka.

Perempuan sebagai Alat

(55)

Dalam masyarakat manapun yang strukturnya dibangun di atas eksploitasi adalah wajar bila nilai-nilai ekonomi dan komersial berbenturan dengan nilai moral dan agama. Akibatnya masyarakat kelas patriarkat dihujani dengan pertentangan-pertentangan yang dalam dan moralitas ganda yang melintasi setiap aspek kehidupan. Namun selalu banyak orang yang dikuasai oleh orang lain ketimbang mereka yang berkuasa, kaum perempuan ketimbang laki-laki, kelas pekerja ketimbang kelas atas, yang ditimpa akibat-akibat sekaligus membayar arga pertentangan-pertentangan ini yang menjadi lebih parah di negara-negara miskin dan terbelakang. Daerah Arab dengan kelebihan pertanian dan sumber minyaknya, secara ekonomi dianggap kaya, hanya saja kekayaan itu tidak dimiliki rakyatnya karena kekayaan itu lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multi nasional serta segelitir orang-orang arab kapitalis atau semi feudal. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kondisi yang dicirikan oleh kemiskinan yang mengerikan, serta keterbelakangan ekonomi dan sosial yang tercermin dalam keterbelakangan intelektual, mental dan moral yang merajalela dalam berbagai bidang. (Saadawi, 2001: 169)

(56)

diinginkannya di klinik seorang dokter, kendati abosrsi masih dianggap sebagai sebuah kejahatan. (Saadawi, 2001: 169)

Wanita-wanita Arab adalah korban penindasan yang disebabkan oleh standar moral ganda yang mengatur masyarakat mereka. Eksploitasi ekonomi yang dibebankan terhadap negara-negara Arab tidak hanya menyebabkan penjarahan yang sistematis atas sumber-sumber kekayaan mereka, tetapi juga memaksakan kepada mereka standar moral ganda akibat pertentangan nilai-nilai komersial kapitalisme dan nilai-nilai keagamaan yang diwarisi dari masa lalu. (Saadawi, 2001: 170)

Wanita sebagai alat, obyek atau instrument. Mereka adalah oyek yang dimanfaatkan oleh iklan-iklan komersial, bekerja tanpa upah di rumah dan di ladang, pekerja bayaran di luar rumah dan dilanjutkan dengan bekerja gratis di dalam rumah, dimanfaatkan untuk melahirkan anak demi tujuan-tujuan reproduksi masyarakat, atau mereka menjadi obyek seksual yang dipakai untuk memuaskan keinginan dan nafsu laki-laki. (Saadawi, 2001: 171)

Saadawi, (2001: 171) menyimpulkan bahwa salah satu penyimpangan paling besar dari sejarah penderitaan umat manusia adalah fakta bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang para penguasa, bukan dari sudut pandang rakyat yang dikuasai. Akibatnya hal ini umumnya menjadi cerminan dari kepentingan-kepentingan kelas penguasa terhadap perempuan. Sejarah dengan demikian telah menggambarkan kepalsuan fakta-fakta yang berkenaan dengan wanita.

(57)

Menurut Saadawi (2001: 373), terdapat pemisahan yang tegas antara jenis kelamin oleh kelas-kelas sosial tertentu yang menyebabkan berkembangnya jabatan dan pekerjaan perempuan yang tujuannya adalah untuk memenuhi dan melayani wanita-wanita tertentu dari kalangan menengah dan atas. Salah satu dari panggilan pekerjaan tersebut adalah menjadi perawat, di mana para pekerja dari profesi ini kebanyakan berasal dari kalangan miskin, karena seorang perempuan atau gadis yang bekerja di luar rumah dianggap memalukan dan tidak terhormat oleh keluarga yang merasa mampu member makan dan pakaian anggota keluarganya.

Saadwi (2001: 376), mengatakan bahwa sebagian besar pekerja wanita di Mesir adalah petani yang bekerja bagi suami dan keluarga mereka tanpa menerima bayaran apapun, atau ibu-ibu rumah tangga yang sebenarnya adalah pembantu rumah tangga yang tidak digaji. Walaupun sampai saat ini belum ada satu undang-undang yang membedakan jenis kelamin sepanjang menyangkut pendidikan dan pekerjaan. Padahal dalam prakteknya, diskriminasi sering terjadi. Salah satu contoh diskriminasi ini adalah apa yang terjadi pada pengangkatan hakim. Kaum laki-laki yang mendominasi sispem peradilan di Mesir menghalangi kaum perempuan untuk menjadi hakim dengan anggapan bahwa seorang perempuan, lantaran sifat alamiahnya, tidak cocok untuk memikul tanggung jawab yang berhubungan dengan persidangan hukum.

(58)

kebutuhan ekonomi dalam masyarakat maupun keluarga. Saadawi menyebutkan (2001: 384), bahwa kendala serius yang menentang wanita-wanita Arab sepanjang menyangkut pekerjaan mereka adalah unang-undang yang berkenaan dengan perkawinan dan hak sipil. Undang-undang ini masih member kaum laki-laki hak mutlak untuk melarang istrinya mendapat pekerjaan, bepergian ke luar negeri, atau bahkan keluar rumah kapan saja kehendak hatinya.

Saadawi (2001: 385), mengatakan bahwa undang-undang tenaga kerja di Mesir mengizinkan wanita bekerja di luar rumah. Namun undang-undang perkawinan dan hukum adat memberi suami hak tak terbantah untuk menolak keizinan istrinya untuk meninggalkan rumah, pergi bekerja dan bepergian. Namun, Saadawi (2001: 387), menambahkan bahwa bila seorang suami memperoleh keuntungan bila istri bekerja diluar rumah, mereka akan berdiri antara kaum wanita dan pekerjaan, atau mendorong bahkan memaksa untuk mencari pekerjaan tambahan penghasilan yang lebih menguntungkan mereka.

2.4.2 Ketidakadilan Gender

(59)

terhadap salah satu jenis kelamin, umumnya kaum perempuan. Ketiga, adalah pelabelan negatif (streotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan strotipe itu mengakibatkan terjadinya diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Keempat, kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengolah rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestiK lebih banyk dan lebih lama (burden).

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang dikemukakan oleh Fakih tersebut diungkapkan pula oleh Handayani dan Sugiarti (2008: 15-16). Guna memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan gender tersebut dapat dipahami sebagai berikut.

1.4.2.1 Gender dan Marginalisasi Perempuan

Gambar

Gambar 3.1 Sumber Data Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Metode Perkiraan Laju Aliran Puncak (Debit Air) sebagai Dasar Analisis Sistem Drainase di Daerah Aliran Sungai Wilayah Semarang Berbantuan SIG.. Jurnal Teknologi

There is more MapReduce material, too, including development practices such as packaging MapReduce jobs with Maven, setting the user’s Java classpath, and writing tests

Taman Pendidikan Al-Qur‟an (TPA) merupakan salah satu lembaga pendidikan agama yang memberikan pendidikan Al Qur‟an dan pengetahuan sebagai dasar orang Islam

Informasi secara rinci dapat dilihat di website www.jakarta.go.id 2.. Untuk pengaduan dapat

Waqtan yaitu orang yang pernah haid dan suci, darahnya hanya 1 macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi. kebiasaannya tadi, namun tidak ingat

Dalam pembudidayaan lebah madu yang perlu dipersiapkan yaitu: Lokasi budidaya, kandang lebah modern (stup), pakaian kerja dan peralatan Syarat yang utama yang harus yang dipenuhi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signi fi kan antara frekuensi olahraga dengan

Hasil penelitian kurikulum mata pelajaran pendidikan agama islam: (1)Alokasi waktu mata pelajaran PAI, Fiqih, Qur`an Hadits, dan Aqidah Akhlak ditentukan sesuai dengan