SINTESIS DAN KARAKTERISASI
EDIBLE FILM
DARI
LIMBAH KULIT UDANG, LIDAH BUAYA DAN SORBITOL
SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMAS MAKANAN
Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Seminar Tugas Akhir
Dosen Pengampu: Himmatul Baroroh, M.Si
Oleh:
M. Iqbal Maghfur
12630017
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Plastik merupakan salah satu komponen utama dalam bidang industri yang
berfungsi sebagai pengemasan suatu produk termasuk makanan. Pengemasan
merupakan hal terpenting untuk mempertahankan kualitas bahan pangan karena
pengemas mampu bertindak sebagai penahan migrasi uap air, gas, aroma dan
zat-zat lain dari bahan ke lingkungan atau sebaliknya. Pemanfaatan plastik sebagai
kemasan sering dipilih karena bersifat aman, kuat, dan ekonomis.
Dewasa ini plastik sintetik diproduksi dunia untuk digunakan diberbagai
sektor industri. Produk – produk barang konsumsi dengan kemasan plastik cenderung meningkat seiiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Namun,
plastik merupakan bahan pengemas yang dapat mencemari lingkungan karena
mempunyai karakter yang nonbiodegradable, selain itu plastik dapat mencemari bahan pangan yang dikemas karena adanya zat-zat tertentu yang berpotensi sebagai
karsinogen yang dapat berpindah ke dalam bahan pangan yang dikemas ( Mc Hugh
dan Krochta, 1994 ). Permasalahan tersebut menjadi suatu topik yang menarik
untuk ditinjau kembali. Bersamaan dengan perkembangan sains dan teknologi serta
perhatian manusia terhadap lingkungan yang semakin meningkat maka banyak
dilakukan penelitian untuk menemukan bahan pengemas yang lebih ramah
terhadap lingkungan.
Pemakaian plastik yang ringan dan umum dipakai satu kali, mengakibatkan
limbah plastik sangat banyak. Padahal limbah plastik tidak bisa terurai sepenuhnya
oleh mikroba. Apabila dibakar akan memberikan kontribusi CO2 seperti pemanasan
global yang sangat tidak baik untuk kelestarian alam. Seperti firman Allah SWT:
Salah satu alternatif untuk menggantikan plastik adalah edible film karena sifatnya yang biodegradable, dan bertindak sebagai penghalang untuk pengambilan
oksigen serta transfer uap air. Sehingga edible film tidak berbahaya dan dapat dimakan ( Krochta, 1992 ).Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada, pati
merupakan salah satu jenis polisakarida yang terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa ( 10-20%) dan fraksi
tidak terlarut disebut amilopektin ( 80-90% ) (Fessenden, 1994). Polisakarida
seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Pati sering
digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan
polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik
fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Edible film yang terbuat dari pati bersifat isotropik, tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun dan biodegradable (Flores dkk.,
2007). Film yang terbuat dari pati juga lebih kuat dan fleksibel jika dibandingkan
dengan plastik dari lemak dan protein (Baldwin dkk., 1995). Pati terdapat dalam
gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian, dan lidah buaya (Yuli
Darni,2008). gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian sebagian besar
digunakan sebagai makanan pokok, sehingga dalam penelitian ini digunakan pati
lidah buaya agar tidak mengganggu produksi makanan pokok terutama di
Indonesia. Selain itu lidah buaya merupakan tumbuhan yang mudah didapatkan dan
dibudidayakan.
Salah satu sumber daya yang sangat potensial untuk dijadikan bahan dasar
pembuatan edible film adalah khitosan. Khitosan biasanya terdapat dalam kulit udang yang merupakan turunan dari polisakarida. Pada saat ini limbah udang dan
kepiting yang berupa kepala dan karapas sudah semakin banyak diiringi dengan
meningkatnya konsumsi manusia terhadap udang itu sendiri. Limbah udang
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang berbau busuk
akibat penguraian bakteri. Limbah ini apabila diolah dengan seksama akan
menghasilkan produk yang sangat bermanfaat untuk masyarakat, salah satunya
produk edible film.
merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam suatu bahan pembentuk film untuk
meningkatkan fleksibilitasnya, karena dapat menurunkan gaya intermolekuler
sepanjang rantai polimernya sehingga film akan luntur ketika dibengkokkan
(Garcia et al. dalam Rodriguezet al. 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Rahmi Yulianti dan Erliana Ginting memberikan hasil bahwa gliserol yang
digunakan sebagai Plasticizer mempunyai kekuatan peregangan dan pemanjangan
lebih rendah dibandingkan dengan sorbitol sebagai Plasticizer (Yulianti, 2011). Kelarutan sorbitol baik dalam alcohol panas dan sedikit larut dalam alcohol dingin,
selain itu sorbitol mempunyai sifat yang sangat stabil terhadap asam, enzim, dan
suhu sampai 140 Sehingga dalam penelitian ini digunakan sorbitol sebagai
plasticizer untuk pembuatan edible film dari khitosan dan pati lidah buaya.
1.2Rumusan Masalah
1. Berapakah konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya dan khitosan untuk
membuat edible film?
2. Berapakah konsentrasi sorbitol dalam pembuatan edible film?
3. Bagaimana karakteristik sifat mekanik edible film pada konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer?
4. Berapa lama penguraian edible film bisa menjadi netral kembali?
1.3Tujuan
1. Untuk mengetahui perbandingan konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya
dan khitosan dalam pembuatan edible film?
2. Untuk mengetahui konsentrasi sorbitol dalam pembuatan edible film?
3. Untuk mengetahui karakteristik sifat mekanik edible film pada konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer?
1.4Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui karakteristik Edible Film dari bahan terbaik (secara literatur) yaitu pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer.
1.5Batasan Masalah
1. Konsentrasi pati lidah buaya dan khitosan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 100%, 25%:75%, 50%:50%, 75%:25%, 100%.
2. Konsentrasi sorbitol yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0%,
0,0125%, 0,025%
3. Karakteristik sifat mekanik dalam penelitian ini adalah ketebalan, kekuatan
tarik, kekuatan pemanjangan, laju transmisi uap air, spectra IR dan SEM
pada sampel terbaik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Hasil Penelitian Terdahulu
Nurdiana (2002) menggunakan bahan utama khitosan dan sorbitol sebagai
plasticizer mendapatkan hasil bahwa penambahan sorbitol akan mempengaruhi
kekuatan tarik dimana semakin besar konsentrasi sorbitol maka kekuatan tarik
edible film akan semakin menurun, tetapi meningkatkan nilai persen perpanjangan. Nilai ketebalan edible film akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya konsentrasi sorbitol. Penambahan sorbitiol akan mengakibatkan turunnya nilai laju
transmisi baik untuk laju transmisi oksigen maupun laju transmisi uap air.
Nurhesa (2012) menggunakan pati kulit singkong dengan penambahan
sorbitol sebanyak 1,5; 2; dan 2,5 mL serta penambahan asam asetat sebanyak 1,5
mL mendapatkan hasil bahwa Tensile strength bioplastik dengan variasi sorbitol masing-masing adalah 26,70 MPa, 49,00 MPa, dan 37,85 Mpa, sedangkan
elongation masing-masing adalah 25%, 106, 67%, dan 65%, sehingga bioplastik paling baik adalah yang paling tinggi harga tensile stength dan elongation-nya yaitu pada volume sorbitol 2 mL. Ketahanan bioplastik terhadap jamur Aspergillus
niger adalah semakin cepat dengan penambahan sorbitol yaitu 67,04 %, 78,86 %, dan 77,07 %, sehingga yang tercepat ada pada 78,86 % dengan volume sorbitol 2
mL.
Utomo, Wahyu Arief., dkk (2013) menggunakan pati lidah buaya, khitosan,
aquades, dan tambahan asam cuka sebanyak 5% dengan parameter pengaruh suhu
dan lama pengeringan mendapatkan hasil analisa dari lima parameter plastik
biodegradable diperoleh sifat fisikokimiawi yang meliputi kuat tarik, elongasi, swelling, dan ketebalan yang terbaik yaitu pada perlakuan suhu 50 ˚C dan waktu
pengeringan 2 jam. Pada perlakuan ini diperoleh nilai kuat tarik 104,648 MPa;
Yulianti dan Ginting (2012) yang 4 varietas pati yaitu ubi kayu, ubi jalar,
ganyong, dan garut dengan interaksi plasticizer yang digunakan yaitu sorbitol dan
gliserol mendapatkan hasil bahwa pati garut dan pati ubi jalar lebih sesuai untuk
bahan pembuatan edible film dibandingkan dengan pati ubi kayu dan ganyong. Penggunaan gliserol dan sorbitol tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap sifat fisik edible fim yang dibuat dari kedua jenis pati tersebut.
Tabel 2.1 Sifat fisik edible film dari beberapa jenis pati dan plasticizer (Yulianti
L*= berkisar dari hitam (0) sampai putih (100)
Indriyanto, Irfan., dkk (2014) menggunakan tepung pektin lidah buaya yang
dibuat dari lidah buaya jenis aloe vera barbandies dengan penambahan variasi konsentrasi gliserol 20%, 25%, 30%, 35%, dan penambahan larutan khitosan 5ml,
10ml, 15ml, 20ml mendapatkan hasil bahwa, gliserol memiliki kuat tarik tertinggi
pada penambahan 20% yaitu sebesar 5,88 Mpa, nilai kuat tarik tertinggi plastik
bioplastik tanpa penambahan kitosan yaitu sebesar 11,43%, nilai ketahanan air
terbaik plastic biodegradable dari pektin lidah buaya pada penambahan kitosan 20
mL yaitu sebesar 11,05%, nilai biodegradability terbaik plastik terbaik pada plastik
tanpa penambahan kitosan yaitu sebesar 77,28%, berdasarkan uji FT-IR plastik
biodegradable terdapat gugus fungsi O-H, N-H amina, CH alkan dan CO gugus fungsi tersebut merupakan gugus yang bersifat polar sehingga plastik merupakan
bahan yang ramah lingkungan, pada aplikasi plastik biodegradable sebagai pembungkus jenang diketahui bahwa jenang yang dibungkus plastik biodegradable
mempunyai tekstur, bau dan bentuk yang hampir sama dengan jenang yang
dibungkus dengan plastik sintetis.
Sara, Nathaliya Edyson M (2015) menggunakan bahan utama whey produk
samping dangke (diperoleh dari kabupaten Enrekang) dengan variasi konsentrasi
sorbitol sebagai plasticizer 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan memiliki nilai ketebalan berkisar
antara 0,029-0,042 mm, kekuatan tarik antara 10,30-12,30 N, kemuluran antara
20,00–73,33 %, laju transmisi uap air antara 1,056–3,250 (g/m2.h), nilai warna L (kecerahan) edible film antara 84,280 - 90,717, nilai warna a (kehijauan) -4,378 – 2,908 dan nilai warna b (kekuningan) antara -0,123 – 3,745. Penambahan konsentrasi sorbitol tidak berpengaruh (P≥0,05) terhadap nilai ketebalan, laju transmisi uap air dan nilai warna L (kecerahan), namun berpengaruh nyata
(P<0,01) terhadap nilai daya tarik, nilai kemuluran, nilai warna a (kehijauan) dan b
(kekuningan).
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Edible Film
Edible packaging adalah suatu lapisan tipis dan kontinu, terbuat dari bahan – bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, dan zat terlarut) dan
atau sebagai pembawa bahan makanan dan aditif, serta untuk meningkatkan
Donhowe dan Fennema (1994) membagi komponen utama penyusun edible
film ke dalam hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Hidrokoloid dapat berupa protein, turunan selulosa, alginat, pectin, pati, dan
polisakarida lain. Lipid yang umum digunakan antara lain lilin, asil gliserol, dan
asam lemak. Edible film komposit dapat berupa film emulsi lipid-hidrokoloid.
Sifat dari ketiga kelompok tersebut mempunyai karakteristik masing – masing. Film dari bahan dasar lipid mempunyai laju transmisi uap air dan kekuatan
mekanik yang rendah, sedangkan protein dan karbohidrat bersifat kuat tapi laju
transmisi uap airnya tinggi. Komposit film, yang merupakan gabungan dari protein
dan lipid atau gabungan dari karbohidrat dan lipid, mempunyai laju transmisi lebih
rendah dibanding film dengan bahan dasar protein dan lipid, akan tetapi memiliki
kekuatan mekanik yang lebih kuat dibanding film dengan bahan dasar lipid (Ruan,
dkk., 1998).
Edible film dapat berperan sebagai lapisan yang dapat didegradasi oleh bakteri dan terbuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Film ini dapat mengganti petroleum-based film atau upaya untuk meningkatkan kepedulian lingkungan. Saat ini film yang dapat didegradasi berasal dari protein dan polisakarida (Parris, dkk., 1995).
Secara garis besar, mekanisme pembentukan film dengan bahan dasar polisakarida yaitu dengan memutuskan bagian polimer untuk membentuk kembali
rantai polimer menjadi matriks film atau gel. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh penguapan larutan hidrofilik, ikatan hydrogen, elektrolitik, dan ikatan ionic
(Buttler, dkk., 1996).
Pengembangan edible film pada makanan selain dapat memberikan kualitas
produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan
bahan pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan
pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena
menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Bourtoom,
2007).
Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Pati terdapat dalam
gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian, dan lidah buaya (Yulianti dan
Ginting, 2012). gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian sebagian besar
digunakan sebagai makanan pokok, sehingga dalam penelitian ini digunakan pati
lidah buaya agar tidak mengganggu produksi makanan pokok terutama di
Indonesia. Selain itu lidah buaya merupakan tumbuhan yang mudah didapatkan dan
dibudidayakan.
Tabel 2.2 Standar Film Pada Kondisi Umum
2.2.2 Lidah Buaya
Lidah buaya masuk pertama kali ke Indonesia sekitar abad ke- 17. Tanaman
tersebut dibawa oleh petani keturunan Cina. Tanaman lidah buaya dimanfaatkan
sebagai tanaman hias yang ditanam sembarangan di pekarangan rumah dan
digunakan sebagai kosmetika untuk penyubur rambut. Sekitar tahun 1990, tanaman
ini baru digunakan untuk industri makanan dan minuman (Furnawanthi, 2002).
Terdapat beberapa jenis Aloe yang umum dibudidayakan, yaitu Aloe sorocortin yang berasal dari Zanzibar, Aloe barbadensis Miller, dan Aloe vulgaris. Namun lidah buaya yang saat ini dibudidayakan secara komersial di Indonesia
adalah Aloe barbadensis Miller atau yang memiliki sinonim Aloe vera Linn (Suryowidodo, 1988).
Lidah buaya dapat tumbuh di daerah yang kering. Hal ini dikarenakan lidah
buaya dapat menutup stomatanya sampai rapat pada musim kemarau untuk
melindungi kehilangan air dari daunnya. Lidah buaya juga dapat hidup di daerah
beriklim dingin, karena lidah buaya termasuk tanaman CAM (crassulance acid
metabolism). Tanaman CAM adalah tanaman sukulen yang memiliki daging daun tebal dan memiliki kebiasaan untuk tidak membuka stomatanya pada siang hari.
Saat malam hari stomata daun ini akan membuka, memungkinkan uap air masuk
dan tidak terjadi penguapan air, sehingga air di dalam tubuhnya dapat
dipertahankan (McVicar, 1994).
Kandungan dalam lidah buaya menyebabkan tanaman ini menjadi tanaman
multikhasiat. Kandungan tersebut berupa aloin, emodin, resin, lignin, saponin,
antrakuinon, vitamin, mineral,pati, dan lain sebagainya. Selain itu lidah buaya
tidak menyebabkan keracunan baik pada tanaman ataupun pada hewan, sehingga
dapat digunakan dalam industri dengan diolah menjadi gel, serbuk, ekstrak, pakan
ternak, atau berbagai produk yang lain (Suryowidodo, 1988).
Pati merupakan polisakarida berupa polimer dari α-D-glukosa. Pati terdapat pada sel akar dan biji tanaman sebagai partikel yang tidak larut air yang disebut
granula. Pati dapat dicerna dengan cepat oleh tubuh dan merupakan sumber energi
yang penting dalam bahan pangan. Hampir setengah dari pati yang dihasilkan
olahan seperti saus, puding dan pengisi pie, serta dalam berbagai industri seperti
industri tekstil, kertas serta sebagai bahan baku pada pembuatan plastik
biodegradable (Davidek dkk., 1990).
2.2.3 Khitosan
Khitin merupakan bahan yang paling banyak di alam setelah selulosa.
Turunan dari khitin yaitu khitosan. Nama khitin berasal dari bahasa yunani yaitu “chiton” yang artinya mantel surat (coat of mail) (Shahidi, dkk., 1999).
Kulit udang dan cangkang kepiting limbah seafood merupakan sumber potensial pembuatan khitin dan khitosan, yaitu biopolymer yang secara komersil
berpotensi dalam berbagai bidang industri. Manfaat khitin dan khitosan di berbagai
bidang industri moderen cukup banyak, diantaranya dalam industri farmasi,
biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian,
kosmetik, membran dan kesehatan. Disamping itu, khitin dan khitosan serta
turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal
emulsi (Purwanti, A. 2010).
Kulit udang mengandung protein 25- 40%, kalsium karbonat 45-50%, dan
khitin 15- 20%, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada
jenis udang dan tempat hidupnya. Cangkang kepiting mengandung protein
15,60-23,90%, kalsium karbonat 53,70-78,40%, dan khitin 18,70-32,20% yang juga
tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Purwanti, A. 2010).
Khitin merupakan biopolymer yang terdapat dalam ekso skeleton
invertebrata dan polisakarida terbesar setelah selulosa (Kittur, dkk., 1998). Khitin,
poly-β-(1-4)-N-Glukosamin, terdapat pada binatang inevertebrata laut, serangga, fungi, dan jamur. Khitin dan khitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat
yang dihasilkan dari limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam,
dan kerang (Angka dan Suhartono, 2000).
Secara kimiawi khitin merupakan
polimer-(1,4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa yang tidak dapat dicerna oleh mamalia. Khitin tidak larut dalam air
sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi struktur kimianya
lebih baik. Salah satu turunan khitin adalah khitosan, suatu senyawa yang
mempunyai rumus kimia poli -(1,4)-2-amino-2-dioksi-D-glukosa yang dapat
dihasilkan dari proses hidrolisis khitin menggunakan basa kuat (proses deasetilasi)
Perbedaan khitin dan khitosan terletak pada kandungan nitrogennya. Bila
kandungan total nitrogennya kurang dari 7%, maka polimer tersebut adalah khitin
dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut khitosan
(Sanjaya, I Gede, 2011).
2.2.3.1 Ekstraksi Khitosan
Penelitian tentang cara pengolahan dan pemanfaatan kulit udang telah
banyak dilakukan. Menurut Prasetyo (2004), derajat deasetilasi khitosan ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya
(Prasetyo, 2004). Peneliti lainnya, Srijanto dan Imam (2005) mempelajari pengaruh
suhu reaksi terhadap derajat deasetilasi khitosan, dimana dengan naiknya suhu
reaksi, maka derajat deasetilasi khitosan yang diperoleh juga meningkat. Hasil
penelitiannya menunjukkan pada suhu 140, 130, dan 100 C diperoleh derajat
deasetilasi khitosan berturutturut sebesar 83,26; 82,66; dan 74,29% dengan
menggunakan basa kuat dan lama reaksi 4 jam (Srijanto dan Imam, 2005). Hasil
penelitian Alamsyah, dkk., 2007 menunjukkan proses deasetilasi yang dilakukan
dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 140 C selama 4 jam diperoleh
khitosan larut air dengan derajat deasetilasi sebesar 70%. Alamsyah juga meneliti
tentang pengaruh urutan proses isolasi khitin, hasilnya tahap
demineralisasi-deproteinasi menghasilkan rendemen khitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik
dibandingkan dengan proses deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah, dkk., 2007).
Hasil penelitian Larita menunjukkan bahwa proses deasetilasi khitin yang
dilakukan dengan menggunakan NaOH 60%, suhu 120- 140˚C serta lama reaksi 90 menit diperoleh khitosan dengan derajat deasetilasi hanya sebesar 56,52% (Larita,
2006). Weska dan Moura melaporkan kondisi optimum yang didapatkan untuk
reaksi deasetilasi khitin yaitu pada konsentrasi NaOH 48%, suhu 130oC dan lama
reaksi 90 menit menghasilkan khitosan dengan derajat deasetilasi 90% (Weska dan
penelitian Weska dan Moura yaitu NaOH 48%, suhu 130oC dan lama reaksi 90
menit menghasilkan khitosan dengan derajat deasetilasi yang jauh lebih kecil yaitu
berturut-turut 60,63; 63,31; dan 60,31% untuk cangkang kepiting, kulit udang
windu dan kulit udang manis. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan
mineral pada kulit udang dan cangkang kepiting yang berbeda. Penelitian Weska
dan Moura dilakukan di Jepang. sedangkan penelitian Erna dilakukan di Bali, Erna
juga melaporkan dari proses demineralisasi cangkang kepiting dengan HCl 1,5 M
tanpa pemanasan, rendemen khitin yang diperoleh hanya 9,54%, sedangkan dalam
pustaka, khitin yang diperoleh dari cangkang kepiting sebesar 18,70-32,30%
(Ernawati, 2008).
Mengingat khitin dan khitosan hasil pengolahan kulit udang dan cangkang
kepiting memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah penting untuk
mengolah kulit udang atau cangkang kepiting dalam pemanfaatannya sebagai
edible film.
Pada umumnya mutu khitosan terdiri beberapa parameter yaitu bobot
molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna, dan derajat deasetilasi (ornum,
1992). Syarat-syarat khitosan komersial dapat dilihat pada tabel 2.1
Berikut adalah bentuk struktur molekul Khitin dan Khitosan (Shahidi, dkk., 1999).
Gambar 2.1 Struktur Molekul Khitin (Shahidi, dkk., 1999).
Gam
bar 2.2 Struktur Molekul Khitosan (Shahidi, dkk., 1999).
2.2.3.2 Khitosan Sebagai Edible Film
Bahan – bahan yang bisa digunakan dalam pembentukan edible film adalah protein, polisakarida, lemak, waxes, dan turunannya (Canes, dkk., 1998). Larutan
polisakarida biasa digunakan dalam hubungnannya dengan pengental sehingga
dapat menaikkan kekentalan ketika dikeringkan. Polisakarida yang dapat
membentuk edible film termasuk turunan selulosa, khitosan, tepung, dekstrin, tepung konjac, pulullan, alginat, keragenan, dan pati (Buttler, dkk., 1996). Film dengan bahan khitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk
dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding dengan polimer komersial
Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar khitosan:
1. Khitosan merupakan turunan khitin, polisakarida paling banyak di bumi
setelah selulosa.
2. Khitosan dapat membentuk film dan membrane dengan baik.
3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik
dengan anionik.
Khitosan film mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup dan bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar, dan sebagai cadangan
makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur, dkk., 1998). Buttler,
dkk., (1996) mengamati bahwa khitosan film merupakan penghalang yang baik terhadap oksigen tetapi penghalang yang kurang terhadap uap.
Kemampuan dari khitosan film dibatasi oleh permeabilitas kelembaban yang relative tinggi. Salah satu kegunannya yaitu sebagai pengemas roti, dimana
difusi kelembaban yang melalui kemasan dapat digunakan dalam menyeimbangkan
kelembaban kulitnya yang rendah (Caner, dkk., 1998).
2.2.4 Sorbitol Sebagai Plasticizer
Plasticizer adalah bahan yang ditambahakan dalam pembuatan edible film. Berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Plasticizer terbagi atas beberapa jenis pembuatan edible film yaitu: a) mono, di-, dan oligosakarida; b) poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol); dan c) lipid dan
turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida
dan emulsifier lain) (Krisna, 2011).
Sorbitol pertama kali ditemukan oleh ahli kimia dari Perancis yaitu Joseph
Boosingault pada tahun 1872 dari biji tanaman bunga ros. Proses hidrogenasi gula
menjadi sorbitol mulai berkembang pada tahun 1930. Secara alami sorbitol juga
dapat dihasilkan dari berbagai jenis buah (Lukita dan Susanti, 2011). Rumus kimia
Gambar 2.3 Struktur Molekul Sorbitol (Soesilo, dkk., 2005).
Sorbitol adalah senyawa monosakarida polyhidrik alkohol. Nama kimia lain
dari sorbitol adalah hexitol atau glusitol dengan rumus kimia C6H14O6 digunakan
sebagai agen pengontrol kelembaban sedangkan untuk fungsi spesifiknya sebagai
plasticizer. Sorbitol merupakan suatu poliol (alkohol gula) bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan, kemanisan sorbitol sekitar 60% dari
kemanisan sukrosa (gula tebu) dengan ukuran kalori sekitar sepertiganya. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa sorbitol bersifat nonkarsinogenik (tidak menyebabkan
kanker) dan dapat berguna bagi orang-orang penderita diabetes, secara kimiawi
sorbitol sangat reaktif dan stabil. Sorbitol dapat berada pada suhu tinggi dan tidak
mengalami reaksi Maillard (pencoklatan) (Nofita, 2011).
Film yang menggunakan plasticizer sorbitol dapat menghasilkan kekuatan tarik film yang lebih besar dibandingkan film dengan plasticizer gliserol. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi sorbitol dalam pengujian kekuatan tarik film sebagai
plasticizer lebih besar daripada gliserol (Wirawan, dkk., 2012). Poliol seperti sorbitol merupakan plasticizer yang cukup baik untuk mengurangi ikatan hidrogen
internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul. Penggunaan sorbitol
sebagai plasticizer diketahui lebih efektif, sehingga dihasilkan film dengan permeabilitas oksigen yang lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan
Edible film dengan plasticizer sorbitol memiliki nilai permeabilitas uap air yang lebih besar dari pada dengan plasticizer gliserol. Hal ini disebabkan karena sorbitol memiliki ukuran molekul yang lebih besar dibandingkan gliserol yang
akan memperbesar volume bebas antar rantai polimer sehingga mempermudah
transfer molekul air. Dari segi sifat film yang terbentuk, film dengan plasticizer gliserol lebih fleksibel dan elastis daripada film dengan plasticizer sorbitol
2.3 Kerangka Berpikir
Studi litearut
Diskusi pemecahan masalah
2.4 Hipotesis
Pati merupakan polisakarida berupa polimer dari α-D-glukosa. Pati terdapat pada sel akar dan biji tanaman sebagai partikel yang tidak larut air yang disebut
granula. Pati dapat dicerna dengan cepat oleh tubuh dan merupakan sumber energi
yang penting dalam bahan pangan. Hampir setengah dari pati yang dihasilkan
digunakan pada pembuatan sirup dan gula. Pati, digunakan dalam berbagai pangan
olahan seperti saus, puding dan pengisi pie, serta dalam berbagai industri seperti
industri tekstil, kertas serta sebagai bahan baku pada pembuatan plastik
biodegradable (Davidek dkk., 1990).
Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar khitosan:
4. Khitosan merupakan turunan khitin, polisakarida paling banyak di bumi
setelah selulosa.
5. Khitosan dapat membentuk film dan membrane dengan baik.
6. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik.
Plasticizer adalah bahan yang ditambahakan dalam pembuatan edible film. Berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Plasticizer terbagi atas beberapa jenis pembuatan edible film yaitu: a) mono, di-, dan oligosakarida; b) poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol); dan c) lipid dan
turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida
dan emulsifier lain) (Krisna, 2011).
Sesuai dengan beberapa ulasan literatur tersebut maka penulis melakukan
hipotesis bahwa pati dari lidah buaya, khitosan dari limbah kulit udang, dan
sorbitol yang digunakan sebagai plasticizer dapat membentuk edible film. Menurut
Utomo, Wahyu Arief., dkk (2013) yang menggunakan pati lidah buaya, khitosan,
aquades, dan tambahan asam cuka sebanyak 5% edible film dapat terurai oleh lingkungan selama 7 hari. Sehingga dalam penelitian ini ditambahkan plasticizer yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Diharapkan dari
BAB III METODOLOGI 3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak lengkap factorial
dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah perbandingan
konsentrasi pati dan kitosan yaitu 100%, 25%:75%, 50%:50%, 75%:75%, 100%,
sedangkan faktor yang kedua adalah konsentrasi sorbitol sebagai plasticizer yaitu 0%, 0,0125, 0,025. Selanjutnya dilakukan karakteristik sifat mekanik terhadap
edible film dimana batasan sifat mekanik yang digunakan adalah ketebalan, kekuatan tarik, kekuatan pemanjangan, spektra IR dan SEM pada sampel terbaik.
Digunakan jamur Aspergillus Niger untuk mengetahui berapa lama penguraian edible film menjadi netral kembali (terurai).
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan, desikator, neraca
analitik, pipet, gelas arloji, beaker glass, gelas ukur, pengaduk, kaca, baskom,
incubator, hot plate, magnetic stirrer, alat untuk analisis ketebalan (Micro-cal
Messmer), kekuatan pemanjangan (Paper Tensile Strength).
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak pati lidah buaya, limbah kepala udang, sorbitol, asam asetat, bahan – bahan kimia untuk pembuatan kitosan (HCl 0,1 N, NaOH 3,5%, Aquades, NaOH pekat 60% dan asam
asetat), bahan untuk analisis kadar air dan laju transimisi uap air dan oksigen.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pembuatan kitosan dari limbah kulit udang
berdasarkan pada Puspawati dan Simpen (2010), dalam pembuatan ekstrak pati
lidah buaya digunakan metode ekstraksi.
Metode yang digunakan dalam pembuatan edible film, pertama pati dan kitosan dilarutkan dalam asam asetat dengan perbandingan konsentrasi 100%,
25%:75%, 50%:50%, 75%:75%, 100%. Larutan dihomogenkan dengan magnetic
ditambah dengan plasticizer (sorbitol) dengan konsentrasi 0%, 0,0125, 0,025%. Penambahan ini dilakukan sedikit demi sedikit agar interaksi berjalan sempurna.
Plastik jilid (mika) dan kaca sebagai cetakan edible film dibersihkan. Bagian pinggir kaca dibatasi dengan selotip untuk mencegah keluarnya larutan.
Larutan dituang di atas kaca, lalu diratakan sampai kepinggirnya.
Setelah itu dikeringkan dibawah sinar matahari kemudian dibiarkan pada
suhu kamar selama 24 jam untuk melengkapi pengeringan dan supaya dingin.
Setelah terbentuk kemudian dilepaskan dari cetakan secara perlahan – lahan agar film tidak rusak. Film disimpan dalam aluminium foil untuk mempertahankan
keadaan dan kemudian dianalisis.
3.3 Analisis
Analisis yang dilakukan dalam penleitian ini meliputi analisis fisik pada
edible film yaitu ketebalan, kekuatan tarik, kekuatan pemanjangan, serta
organoleptik. Analisis untuk mengetahui lama penguaraian edible film digunakan jamur Aspergillus Niger.
3.3.1 Analisis Ketebalan (Yuliasih dan Sugiarto, 2000)
Untuk mengukur ketebalan film digunakan alat micro-cal Messmer dengan
ketelitian 0,1 µm pada lima tempat yang berbeda. Nilai rata – ratanya merupakan nilai yang diambil untuk nilai ketebalan film.
3.3.2 Analisis Kekuatan Tarik (KT) dan Persentase pemanjangan (%E) (Yuliasih dan Sugiarto, 2000)
Kekuatan tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan
alat paper tensile strength dengan contoh uji (vertical dan horizontal) berukuran
panjang lebar minimal 22 cm x 1,5 cm. Untuk tiap analisis diperlukan sampel 16
lembar (untuk plastik tipis) atau kurang dari 16 lembar (untuk plastik tebal atau
kuat). Nilai kekuatan tarik diperoleh dengan persamaan berikut:
Pada saat bersamaan diukur pula perpanjangan putus (elongasi). Persentase
perpanjangan putus dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Persen perpanjangan putus % =
Nilai 180 mm adalah jarak antara kedua klem penjepit (atas dan bawah)
sehingga contoh uji yang mendapat beban tarik adalah 180 mm.
Gambar 3.1
Paper Tensile Strength
3.3.3 Laju Transmisi Uap Air Metode Cawan (ASTM, 1989)
Laju transmisi uap air terhadap film diukur menggunakan metode cawan.
Sebelum pengukuran, film disimpan dalam ruangan bersuhu 25 , RH 50% selama
24 jam untuk pengkondisian.
Cawan diisi dengan air dan sampel film disimpan menutupi cawan tersebut
dan ditimbang. Luasan film yang menutupi cawan dihitung. Selanjutnya cawan disimpan dalam incubator pada suhu 25 ˚C selama 24 jam. Setelah 24 jam cawan ditimbang. Kehilangan berat selama penyimpanan dihitung sebagai fungsi waktu.
Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus:
Perpanjangan contoh uji (mm)
Panjang contoh uji (180 mm)
x
100%Dimana: - n = Jumlah uap air (ml)
- A = Luasan film (cm2) - n = Waktu (jam)
3.3.4 Oraganoleptik
Organoleptik dilakukan terhadap 30 panelis. Pada analisis organoleptik ini
memiliki nilai 1-7 (sangat tidak suka sampai suka). Penialaian yang diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. IPB. Bogor
Buttler, B. L., P. J. Vergant, R. F. Testin, J. M. Bunn, dan J. L. Wiles. 1996.
Mechanical Properties Barrier Properties Of Edible Chitosan Films as Effected by
Composition and Storage. Journal Of food Science. Vol 61. No 05. Harvard
University
Bourtoom, T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties.
Journal International Food
Donhowe, I. G. dan Fennemam O. 1994. Edible Film and Coatings: Characteristics, Formation, Definition, and Testing Methods. Dalam Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Krochta, J. M., Baldwin E. A. and Carriedo M. N. (eds). Technomic Publishing Company. Inc. Pennsylvania
Harris, Helmi. 1999. Kajian Teknik Formulasi Terhadap Karakteristik Edible Film
dari Pati Ubi Kay, Aren, dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan semi Basah.
IPB. Bogor. Desertasi
Indriyanto, Irfan., SriWahyuni., dan Winarni Pratjojo. 2014. Pengaruh Penambahan
Kitosan Terhadap Karakteristik Plastik Biodegradable Pektin Lidah Buaya.
Journal Of Chemical Science. Vol 03. No 02. Universitas NEgeri Semarang.
Semarang
Kittur, F. S., K. R. Kumar, dan R. N. Tharanathan. 1998. Functional Packaging
Properties Of Chitosan Films. Lebesm Unters Forsch
Krisna, D.D. 2011. Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi Hidrotermal Terhadap
Sp.). Tesis Program Studi Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Lukita, A.D dan Susanti. 2011. Pabrik Sorbitol dari Tepung Singkong (Manihot
esculenta) dengan Proses Hidrogenasi Katalitik. Teknik Kimia Surabaya. Institut Teknologi Semarang, Semarang.
Nofita, T. 2011. Pengaruh Pemberian Carboxymethyl Cellulose dan Sorbitol pada
Pembuatan Edible Film dengan Bahan Dasar Whey Terhadap Kadar Air, pH,
Ketebalan dan Waktu Kelarutan. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Andalas,
Padang.
Nurdiana, Dani. 2002. Karakteristik FisikEdible Film Dari Khitosan Dengan
Sorbitol Sebagai Plasticizer. IPB. Bogor. Skripsi
Nurhesa, Danny. 2012. Pengaruh Penambahan Plasticizer Sorbitol Untuk Pembuatan Bioplastik Dari Pati Kulit Singkong. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yogyakarta. Skripsi
Ruan, R. R., L. Xu, dan P.L. Chen. 1998. Water Vapour Permeability and Tensile
Strenght of Cellulosa-Based Composite Edible Film. Journal Of Agric. England
Yulianti, Rahmi., dan Erlina Ginting. 2012. Perbedaan Karakteristik Fisik Edible
Film dari Umbi-umbian yang Dibuat dengan Penambahan Plasticizer. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. VOL. 31 NO. 2. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang
Sanjaya, I Gede dan Puspita, Tyas. 2011 Pengaruh Penambahan Khitosan dan
Plasticizer Gliserol pada Karakteristik Plastik Biodegradable dari Pati Kulit Singkong. Laboratorium Pengolahan Industri Jurusan Teknik Kimia Fakultas
Sara, Nathaliya Edyson M., 2015. Karakteristik Edible Film Berbahan Dasar Whey
Dangke dan Agar Dengan Penambahan Konsentrasi Sorbitol. Universitas
Hasanuddin. Makasar. Skripsi
Shahidi, F., Arachchi J. K. V. dan Jeon Y. J., 1999. Food Aplication. Dalam Chitin
and Chitosan, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties, and Aplications.
Sanford, P. Thorllef, A. dan Gudmund Skjak-Break. Elsevier Sci. New York
Utomo, Wahyu Arief., Bambang Dwi Argo, dan Mochamad Bagus Hermanto.
2013. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Karakteristik
Fisikokimiawi Plastik Biodegradable Dari Komposit Pati Lidah Buaya (Aloe Vera)-Kitosan. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 1 No. 1. Universitas Brawijaya. Malang
Parris, S. H., J. B. Hendrickson, D. J. Cram, G. S. Hammand. 1988. Kimia Organik
2. ITB. Bandung
Purwanti, A. 2010. Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi