• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESIS DAN KARAKTERISASI EDIBLE FILM D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SINTESIS DAN KARAKTERISASI EDIBLE FILM D"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI

EDIBLE FILM

DARI

LIMBAH KULIT UDANG, LIDAH BUAYA DAN SORBITOL

SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMAS MAKANAN

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Seminar Tugas Akhir

Dosen Pengampu: Himmatul Baroroh, M.Si

Oleh:

M. Iqbal Maghfur

12630017

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Plastik merupakan salah satu komponen utama dalam bidang industri yang

berfungsi sebagai pengemasan suatu produk termasuk makanan. Pengemasan

merupakan hal terpenting untuk mempertahankan kualitas bahan pangan karena

pengemas mampu bertindak sebagai penahan migrasi uap air, gas, aroma dan

zat-zat lain dari bahan ke lingkungan atau sebaliknya. Pemanfaatan plastik sebagai

kemasan sering dipilih karena bersifat aman, kuat, dan ekonomis.

Dewasa ini plastik sintetik diproduksi dunia untuk digunakan diberbagai

sektor industri. Produk – produk barang konsumsi dengan kemasan plastik cenderung meningkat seiiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Namun,

plastik merupakan bahan pengemas yang dapat mencemari lingkungan karena

mempunyai karakter yang nonbiodegradable, selain itu plastik dapat mencemari bahan pangan yang dikemas karena adanya zat-zat tertentu yang berpotensi sebagai

karsinogen yang dapat berpindah ke dalam bahan pangan yang dikemas ( Mc Hugh

dan Krochta, 1994 ). Permasalahan tersebut menjadi suatu topik yang menarik

untuk ditinjau kembali. Bersamaan dengan perkembangan sains dan teknologi serta

perhatian manusia terhadap lingkungan yang semakin meningkat maka banyak

dilakukan penelitian untuk menemukan bahan pengemas yang lebih ramah

terhadap lingkungan.

Pemakaian plastik yang ringan dan umum dipakai satu kali, mengakibatkan

limbah plastik sangat banyak. Padahal limbah plastik tidak bisa terurai sepenuhnya

oleh mikroba. Apabila dibakar akan memberikan kontribusi CO2 seperti pemanasan

global yang sangat tidak baik untuk kelestarian alam. Seperti firman Allah SWT:

(3)

Salah satu alternatif untuk menggantikan plastik adalah edible film karena sifatnya yang biodegradable, dan bertindak sebagai penghalang untuk pengambilan

oksigen serta transfer uap air. Sehingga edible film tidak berbahaya dan dapat dimakan ( Krochta, 1992 ).Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada, pati

merupakan salah satu jenis polisakarida yang terdiri dari dua fraksi yang dapat

dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa ( 10-20%) dan fraksi

tidak terlarut disebut amilopektin ( 80-90% ) (Fessenden, 1994). Polisakarida

seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Pati sering

digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan

polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik

fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Edible film yang terbuat dari pati bersifat isotropik, tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun dan biodegradable (Flores dkk.,

2007). Film yang terbuat dari pati juga lebih kuat dan fleksibel jika dibandingkan

dengan plastik dari lemak dan protein (Baldwin dkk., 1995). Pati terdapat dalam

gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian, dan lidah buaya (Yuli

Darni,2008). gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian sebagian besar

digunakan sebagai makanan pokok, sehingga dalam penelitian ini digunakan pati

lidah buaya agar tidak mengganggu produksi makanan pokok terutama di

Indonesia. Selain itu lidah buaya merupakan tumbuhan yang mudah didapatkan dan

dibudidayakan.

Salah satu sumber daya yang sangat potensial untuk dijadikan bahan dasar

pembuatan edible film adalah khitosan. Khitosan biasanya terdapat dalam kulit udang yang merupakan turunan dari polisakarida. Pada saat ini limbah udang dan

kepiting yang berupa kepala dan karapas sudah semakin banyak diiringi dengan

meningkatnya konsumsi manusia terhadap udang itu sendiri. Limbah udang

tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang berbau busuk

akibat penguraian bakteri. Limbah ini apabila diolah dengan seksama akan

menghasilkan produk yang sangat bermanfaat untuk masyarakat, salah satunya

produk edible film.

(4)

merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam suatu bahan pembentuk film untuk

meningkatkan fleksibilitasnya, karena dapat menurunkan gaya intermolekuler

sepanjang rantai polimernya sehingga film akan luntur ketika dibengkokkan

(Garcia et al. dalam Rodriguezet al. 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Rahmi Yulianti dan Erliana Ginting memberikan hasil bahwa gliserol yang

digunakan sebagai Plasticizer mempunyai kekuatan peregangan dan pemanjangan

lebih rendah dibandingkan dengan sorbitol sebagai Plasticizer (Yulianti, 2011). Kelarutan sorbitol baik dalam alcohol panas dan sedikit larut dalam alcohol dingin,

selain itu sorbitol mempunyai sifat yang sangat stabil terhadap asam, enzim, dan

suhu sampai 140 Sehingga dalam penelitian ini digunakan sorbitol sebagai

plasticizer untuk pembuatan edible film dari khitosan dan pati lidah buaya.

1.2Rumusan Masalah

1. Berapakah konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya dan khitosan untuk

membuat edible film?

2. Berapakah konsentrasi sorbitol dalam pembuatan edible film?

3. Bagaimana karakteristik sifat mekanik edible film pada konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer?

4. Berapa lama penguraian edible film bisa menjadi netral kembali?

1.3Tujuan

1. Untuk mengetahui perbandingan konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya

dan khitosan dalam pembuatan edible film?

2. Untuk mengetahui konsentrasi sorbitol dalam pembuatan edible film?

3. Untuk mengetahui karakteristik sifat mekanik edible film pada konsentrasi terbaik dari pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer?

(5)

1.4Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui karakteristik Edible Film dari bahan terbaik (secara literatur) yaitu pati lidah buaya, khitosan, dan sorbitol sebagai plasticizer.

1.5Batasan Masalah

1. Konsentrasi pati lidah buaya dan khitosan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 100%, 25%:75%, 50%:50%, 75%:25%, 100%.

2. Konsentrasi sorbitol yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0%,

0,0125%, 0,025%

3. Karakteristik sifat mekanik dalam penelitian ini adalah ketebalan, kekuatan

tarik, kekuatan pemanjangan, laju transmisi uap air, spectra IR dan SEM

pada sampel terbaik.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hasil Penelitian Terdahulu

Nurdiana (2002) menggunakan bahan utama khitosan dan sorbitol sebagai

plasticizer mendapatkan hasil bahwa penambahan sorbitol akan mempengaruhi

kekuatan tarik dimana semakin besar konsentrasi sorbitol maka kekuatan tarik

edible film akan semakin menurun, tetapi meningkatkan nilai persen perpanjangan. Nilai ketebalan edible film akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya konsentrasi sorbitol. Penambahan sorbitiol akan mengakibatkan turunnya nilai laju

transmisi baik untuk laju transmisi oksigen maupun laju transmisi uap air.

Nurhesa (2012) menggunakan pati kulit singkong dengan penambahan

sorbitol sebanyak 1,5; 2; dan 2,5 mL serta penambahan asam asetat sebanyak 1,5

mL mendapatkan hasil bahwa Tensile strength bioplastik dengan variasi sorbitol masing-masing adalah 26,70 MPa, 49,00 MPa, dan 37,85 Mpa, sedangkan

elongation masing-masing adalah 25%, 106, 67%, dan 65%, sehingga bioplastik paling baik adalah yang paling tinggi harga tensile stength dan elongation-nya yaitu pada volume sorbitol 2 mL. Ketahanan bioplastik terhadap jamur Aspergillus

niger adalah semakin cepat dengan penambahan sorbitol yaitu 67,04 %, 78,86 %, dan 77,07 %, sehingga yang tercepat ada pada 78,86 % dengan volume sorbitol 2

mL.

Utomo, Wahyu Arief., dkk (2013) menggunakan pati lidah buaya, khitosan,

aquades, dan tambahan asam cuka sebanyak 5% dengan parameter pengaruh suhu

dan lama pengeringan mendapatkan hasil analisa dari lima parameter plastik

biodegradable diperoleh sifat fisikokimiawi yang meliputi kuat tarik, elongasi, swelling, dan ketebalan yang terbaik yaitu pada perlakuan suhu 50 ˚C dan waktu

pengeringan 2 jam. Pada perlakuan ini diperoleh nilai kuat tarik 104,648 MPa;

(7)

Yulianti dan Ginting (2012) yang 4 varietas pati yaitu ubi kayu, ubi jalar,

ganyong, dan garut dengan interaksi plasticizer yang digunakan yaitu sorbitol dan

gliserol mendapatkan hasil bahwa pati garut dan pati ubi jalar lebih sesuai untuk

bahan pembuatan edible film dibandingkan dengan pati ubi kayu dan ganyong. Penggunaan gliserol dan sorbitol tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap sifat fisik edible fim yang dibuat dari kedua jenis pati tersebut.

Tabel 2.1 Sifat fisik edible film dari beberapa jenis pati dan plasticizer (Yulianti

L*= berkisar dari hitam (0) sampai putih (100)

Indriyanto, Irfan., dkk (2014) menggunakan tepung pektin lidah buaya yang

dibuat dari lidah buaya jenis aloe vera barbandies dengan penambahan variasi konsentrasi gliserol 20%, 25%, 30%, 35%, dan penambahan larutan khitosan 5ml,

10ml, 15ml, 20ml mendapatkan hasil bahwa, gliserol memiliki kuat tarik tertinggi

pada penambahan 20% yaitu sebesar 5,88 Mpa, nilai kuat tarik tertinggi plastik

(8)

bioplastik tanpa penambahan kitosan yaitu sebesar 11,43%, nilai ketahanan air

terbaik plastic biodegradable dari pektin lidah buaya pada penambahan kitosan 20

mL yaitu sebesar 11,05%, nilai biodegradability terbaik plastik terbaik pada plastik

tanpa penambahan kitosan yaitu sebesar 77,28%, berdasarkan uji FT-IR plastik

biodegradable terdapat gugus fungsi O-H, N-H amina, CH alkan dan CO gugus fungsi tersebut merupakan gugus yang bersifat polar sehingga plastik merupakan

bahan yang ramah lingkungan, pada aplikasi plastik biodegradable sebagai pembungkus jenang diketahui bahwa jenang yang dibungkus plastik biodegradable

mempunyai tekstur, bau dan bentuk yang hampir sama dengan jenang yang

dibungkus dengan plastik sintetis.

Sara, Nathaliya Edyson M (2015) menggunakan bahan utama whey produk

samping dangke (diperoleh dari kabupaten Enrekang) dengan variasi konsentrasi

sorbitol sebagai plasticizer 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan memiliki nilai ketebalan berkisar

antara 0,029-0,042 mm, kekuatan tarik antara 10,30-12,30 N, kemuluran antara

20,00–73,33 %, laju transmisi uap air antara 1,056–3,250 (g/m2.h), nilai warna L (kecerahan) edible film antara 84,280 - 90,717, nilai warna a (kehijauan) -4,378 – 2,908 dan nilai warna b (kekuningan) antara -0,123 – 3,745. Penambahan konsentrasi sorbitol tidak berpengaruh (P≥0,05) terhadap nilai ketebalan, laju transmisi uap air dan nilai warna L (kecerahan), namun berpengaruh nyata

(P<0,01) terhadap nilai daya tarik, nilai kemuluran, nilai warna a (kehijauan) dan b

(kekuningan).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Edible Film

Edible packaging adalah suatu lapisan tipis dan kontinu, terbuat dari bahan – bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, dan zat terlarut) dan

atau sebagai pembawa bahan makanan dan aditif, serta untuk meningkatkan

(9)

Donhowe dan Fennema (1994) membagi komponen utama penyusun edible

film ke dalam hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Hidrokoloid dapat berupa protein, turunan selulosa, alginat, pectin, pati, dan

polisakarida lain. Lipid yang umum digunakan antara lain lilin, asil gliserol, dan

asam lemak. Edible film komposit dapat berupa film emulsi lipid-hidrokoloid.

Sifat dari ketiga kelompok tersebut mempunyai karakteristik masing – masing. Film dari bahan dasar lipid mempunyai laju transmisi uap air dan kekuatan

mekanik yang rendah, sedangkan protein dan karbohidrat bersifat kuat tapi laju

transmisi uap airnya tinggi. Komposit film, yang merupakan gabungan dari protein

dan lipid atau gabungan dari karbohidrat dan lipid, mempunyai laju transmisi lebih

rendah dibanding film dengan bahan dasar protein dan lipid, akan tetapi memiliki

kekuatan mekanik yang lebih kuat dibanding film dengan bahan dasar lipid (Ruan,

dkk., 1998).

Edible film dapat berperan sebagai lapisan yang dapat didegradasi oleh bakteri dan terbuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Film ini dapat mengganti petroleum-based film atau upaya untuk meningkatkan kepedulian lingkungan. Saat ini film yang dapat didegradasi berasal dari protein dan polisakarida (Parris, dkk., 1995).

Secara garis besar, mekanisme pembentukan film dengan bahan dasar polisakarida yaitu dengan memutuskan bagian polimer untuk membentuk kembali

rantai polimer menjadi matriks film atau gel. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh penguapan larutan hidrofilik, ikatan hydrogen, elektrolitik, dan ikatan ionic

(Buttler, dkk., 1996).

Pengembangan edible film pada makanan selain dapat memberikan kualitas

produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan

bahan pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan

pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena

menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Bourtoom,

2007).

Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan

(10)

film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Pati terdapat dalam

gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian, dan lidah buaya (Yulianti dan

Ginting, 2012). gandum, beras, jagung, kentang, jenis umbi-umbian sebagian besar

digunakan sebagai makanan pokok, sehingga dalam penelitian ini digunakan pati

lidah buaya agar tidak mengganggu produksi makanan pokok terutama di

Indonesia. Selain itu lidah buaya merupakan tumbuhan yang mudah didapatkan dan

dibudidayakan.

Tabel 2.2 Standar Film Pada Kondisi Umum

(11)

2.2.2 Lidah Buaya

Lidah buaya masuk pertama kali ke Indonesia sekitar abad ke- 17. Tanaman

tersebut dibawa oleh petani keturunan Cina. Tanaman lidah buaya dimanfaatkan

sebagai tanaman hias yang ditanam sembarangan di pekarangan rumah dan

digunakan sebagai kosmetika untuk penyubur rambut. Sekitar tahun 1990, tanaman

ini baru digunakan untuk industri makanan dan minuman (Furnawanthi, 2002).

Terdapat beberapa jenis Aloe yang umum dibudidayakan, yaitu Aloe sorocortin yang berasal dari Zanzibar, Aloe barbadensis Miller, dan Aloe vulgaris. Namun lidah buaya yang saat ini dibudidayakan secara komersial di Indonesia

adalah Aloe barbadensis Miller atau yang memiliki sinonim Aloe vera Linn (Suryowidodo, 1988).

Lidah buaya dapat tumbuh di daerah yang kering. Hal ini dikarenakan lidah

buaya dapat menutup stomatanya sampai rapat pada musim kemarau untuk

melindungi kehilangan air dari daunnya. Lidah buaya juga dapat hidup di daerah

beriklim dingin, karena lidah buaya termasuk tanaman CAM (crassulance acid

metabolism). Tanaman CAM adalah tanaman sukulen yang memiliki daging daun tebal dan memiliki kebiasaan untuk tidak membuka stomatanya pada siang hari.

Saat malam hari stomata daun ini akan membuka, memungkinkan uap air masuk

dan tidak terjadi penguapan air, sehingga air di dalam tubuhnya dapat

dipertahankan (McVicar, 1994).

Kandungan dalam lidah buaya menyebabkan tanaman ini menjadi tanaman

multikhasiat. Kandungan tersebut berupa aloin, emodin, resin, lignin, saponin,

antrakuinon, vitamin, mineral,pati, dan lain sebagainya. Selain itu lidah buaya

tidak menyebabkan keracunan baik pada tanaman ataupun pada hewan, sehingga

dapat digunakan dalam industri dengan diolah menjadi gel, serbuk, ekstrak, pakan

ternak, atau berbagai produk yang lain (Suryowidodo, 1988).

Pati merupakan polisakarida berupa polimer dari α-D-glukosa. Pati terdapat pada sel akar dan biji tanaman sebagai partikel yang tidak larut air yang disebut

granula. Pati dapat dicerna dengan cepat oleh tubuh dan merupakan sumber energi

yang penting dalam bahan pangan. Hampir setengah dari pati yang dihasilkan

(12)

olahan seperti saus, puding dan pengisi pie, serta dalam berbagai industri seperti

industri tekstil, kertas serta sebagai bahan baku pada pembuatan plastik

biodegradable (Davidek dkk., 1990).

2.2.3 Khitosan

Khitin merupakan bahan yang paling banyak di alam setelah selulosa.

Turunan dari khitin yaitu khitosan. Nama khitin berasal dari bahasa yunani yaitu “chiton” yang artinya mantel surat (coat of mail) (Shahidi, dkk., 1999).

Kulit udang dan cangkang kepiting limbah seafood merupakan sumber potensial pembuatan khitin dan khitosan, yaitu biopolymer yang secara komersil

berpotensi dalam berbagai bidang industri. Manfaat khitin dan khitosan di berbagai

bidang industri moderen cukup banyak, diantaranya dalam industri farmasi,

biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian,

kosmetik, membran dan kesehatan. Disamping itu, khitin dan khitosan serta

turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal

emulsi (Purwanti, A. 2010).

Kulit udang mengandung protein 25- 40%, kalsium karbonat 45-50%, dan

khitin 15- 20%, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada

jenis udang dan tempat hidupnya. Cangkang kepiting mengandung protein

15,60-23,90%, kalsium karbonat 53,70-78,40%, dan khitin 18,70-32,20% yang juga

tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Purwanti, A. 2010).

Khitin merupakan biopolymer yang terdapat dalam ekso skeleton

invertebrata dan polisakarida terbesar setelah selulosa (Kittur, dkk., 1998). Khitin,

poly-β-(1-4)-N-Glukosamin, terdapat pada binatang inevertebrata laut, serangga, fungi, dan jamur. Khitin dan khitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat

yang dihasilkan dari limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam,

dan kerang (Angka dan Suhartono, 2000).

Secara kimiawi khitin merupakan

polimer-(1,4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa yang tidak dapat dicerna oleh mamalia. Khitin tidak larut dalam air

sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi struktur kimianya

(13)

lebih baik. Salah satu turunan khitin adalah khitosan, suatu senyawa yang

mempunyai rumus kimia poli -(1,4)-2-amino-2-dioksi-D-glukosa yang dapat

dihasilkan dari proses hidrolisis khitin menggunakan basa kuat (proses deasetilasi)

Perbedaan khitin dan khitosan terletak pada kandungan nitrogennya. Bila

kandungan total nitrogennya kurang dari 7%, maka polimer tersebut adalah khitin

dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut khitosan

(Sanjaya, I Gede, 2011).

2.2.3.1 Ekstraksi Khitosan

Penelitian tentang cara pengolahan dan pemanfaatan kulit udang telah

banyak dilakukan. Menurut Prasetyo (2004), derajat deasetilasi khitosan ditentukan

oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya

(Prasetyo, 2004). Peneliti lainnya, Srijanto dan Imam (2005) mempelajari pengaruh

suhu reaksi terhadap derajat deasetilasi khitosan, dimana dengan naiknya suhu

reaksi, maka derajat deasetilasi khitosan yang diperoleh juga meningkat. Hasil

penelitiannya menunjukkan pada suhu 140, 130, dan 100 C diperoleh derajat

deasetilasi khitosan berturutturut sebesar 83,26; 82,66; dan 74,29% dengan

menggunakan basa kuat dan lama reaksi 4 jam (Srijanto dan Imam, 2005). Hasil

penelitian Alamsyah, dkk., 2007 menunjukkan proses deasetilasi yang dilakukan

dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 140 C selama 4 jam diperoleh

khitosan larut air dengan derajat deasetilasi sebesar 70%. Alamsyah juga meneliti

tentang pengaruh urutan proses isolasi khitin, hasilnya tahap

demineralisasi-deproteinasi menghasilkan rendemen khitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik

dibandingkan dengan proses deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah, dkk., 2007).

Hasil penelitian Larita menunjukkan bahwa proses deasetilasi khitin yang

dilakukan dengan menggunakan NaOH 60%, suhu 120- 140˚C serta lama reaksi 90 menit diperoleh khitosan dengan derajat deasetilasi hanya sebesar 56,52% (Larita,

2006). Weska dan Moura melaporkan kondisi optimum yang didapatkan untuk

reaksi deasetilasi khitin yaitu pada konsentrasi NaOH 48%, suhu 130oC dan lama

reaksi 90 menit menghasilkan khitosan dengan derajat deasetilasi 90% (Weska dan

(14)

penelitian Weska dan Moura yaitu NaOH 48%, suhu 130oC dan lama reaksi 90

menit menghasilkan khitosan dengan derajat deasetilasi yang jauh lebih kecil yaitu

berturut-turut 60,63; 63,31; dan 60,31% untuk cangkang kepiting, kulit udang

windu dan kulit udang manis. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan

mineral pada kulit udang dan cangkang kepiting yang berbeda. Penelitian Weska

dan Moura dilakukan di Jepang. sedangkan penelitian Erna dilakukan di Bali, Erna

juga melaporkan dari proses demineralisasi cangkang kepiting dengan HCl 1,5 M

tanpa pemanasan, rendemen khitin yang diperoleh hanya 9,54%, sedangkan dalam

pustaka, khitin yang diperoleh dari cangkang kepiting sebesar 18,70-32,30%

(Ernawati, 2008).

Mengingat khitin dan khitosan hasil pengolahan kulit udang dan cangkang

kepiting memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah penting untuk

mengolah kulit udang atau cangkang kepiting dalam pemanfaatannya sebagai

edible film.

Pada umumnya mutu khitosan terdiri beberapa parameter yaitu bobot

molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna, dan derajat deasetilasi (ornum,

1992). Syarat-syarat khitosan komersial dapat dilihat pada tabel 2.1

(15)

Berikut adalah bentuk struktur molekul Khitin dan Khitosan (Shahidi, dkk., 1999).

Gambar 2.1 Struktur Molekul Khitin (Shahidi, dkk., 1999).

Gam

bar 2.2 Struktur Molekul Khitosan (Shahidi, dkk., 1999).

2.2.3.2 Khitosan Sebagai Edible Film

Bahan – bahan yang bisa digunakan dalam pembentukan edible film adalah protein, polisakarida, lemak, waxes, dan turunannya (Canes, dkk., 1998). Larutan

polisakarida biasa digunakan dalam hubungnannya dengan pengental sehingga

dapat menaikkan kekentalan ketika dikeringkan. Polisakarida yang dapat

membentuk edible film termasuk turunan selulosa, khitosan, tepung, dekstrin, tepung konjac, pulullan, alginat, keragenan, dan pati (Buttler, dkk., 1996). Film dengan bahan khitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk

dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding dengan polimer komersial

(16)

Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar khitosan:

1. Khitosan merupakan turunan khitin, polisakarida paling banyak di bumi

setelah selulosa.

2. Khitosan dapat membentuk film dan membrane dengan baik.

3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik

dengan anionik.

Khitosan film mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup dan bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar, dan sebagai cadangan

makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur, dkk., 1998). Buttler,

dkk., (1996) mengamati bahwa khitosan film merupakan penghalang yang baik terhadap oksigen tetapi penghalang yang kurang terhadap uap.

Kemampuan dari khitosan film dibatasi oleh permeabilitas kelembaban yang relative tinggi. Salah satu kegunannya yaitu sebagai pengemas roti, dimana

difusi kelembaban yang melalui kemasan dapat digunakan dalam menyeimbangkan

kelembaban kulitnya yang rendah (Caner, dkk., 1998).

2.2.4 Sorbitol Sebagai Plasticizer

Plasticizer adalah bahan yang ditambahakan dalam pembuatan edible film. Berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Plasticizer terbagi atas beberapa jenis pembuatan edible film yaitu: a) mono, di-, dan oligosakarida; b) poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol); dan c) lipid dan

turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida

dan emulsifier lain) (Krisna, 2011).

Sorbitol pertama kali ditemukan oleh ahli kimia dari Perancis yaitu Joseph

Boosingault pada tahun 1872 dari biji tanaman bunga ros. Proses hidrogenasi gula

menjadi sorbitol mulai berkembang pada tahun 1930. Secara alami sorbitol juga

dapat dihasilkan dari berbagai jenis buah (Lukita dan Susanti, 2011). Rumus kimia

(17)

Gambar 2.3 Struktur Molekul Sorbitol (Soesilo, dkk., 2005).

Sorbitol adalah senyawa monosakarida polyhidrik alkohol. Nama kimia lain

dari sorbitol adalah hexitol atau glusitol dengan rumus kimia C6H14O6 digunakan

sebagai agen pengontrol kelembaban sedangkan untuk fungsi spesifiknya sebagai

plasticizer. Sorbitol merupakan suatu poliol (alkohol gula) bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan, kemanisan sorbitol sekitar 60% dari

kemanisan sukrosa (gula tebu) dengan ukuran kalori sekitar sepertiganya. Lebih

lanjut dikemukakan bahwa sorbitol bersifat nonkarsinogenik (tidak menyebabkan

kanker) dan dapat berguna bagi orang-orang penderita diabetes, secara kimiawi

sorbitol sangat reaktif dan stabil. Sorbitol dapat berada pada suhu tinggi dan tidak

mengalami reaksi Maillard (pencoklatan) (Nofita, 2011).

Film yang menggunakan plasticizer sorbitol dapat menghasilkan kekuatan tarik film yang lebih besar dibandingkan film dengan plasticizer gliserol. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi sorbitol dalam pengujian kekuatan tarik film sebagai

plasticizer lebih besar daripada gliserol (Wirawan, dkk., 2012). Poliol seperti sorbitol merupakan plasticizer yang cukup baik untuk mengurangi ikatan hidrogen

internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul. Penggunaan sorbitol

sebagai plasticizer diketahui lebih efektif, sehingga dihasilkan film dengan permeabilitas oksigen yang lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan

(18)

Edible film dengan plasticizer sorbitol memiliki nilai permeabilitas uap air yang lebih besar dari pada dengan plasticizer gliserol. Hal ini disebabkan karena sorbitol memiliki ukuran molekul yang lebih besar dibandingkan gliserol yang

akan memperbesar volume bebas antar rantai polimer sehingga mempermudah

transfer molekul air. Dari segi sifat film yang terbentuk, film dengan plasticizer gliserol lebih fleksibel dan elastis daripada film dengan plasticizer sorbitol

(19)

2.3 Kerangka Berpikir

Studi litearut

Diskusi pemecahan masalah

(20)

2.4 Hipotesis

Pati merupakan polisakarida berupa polimer dari α-D-glukosa. Pati terdapat pada sel akar dan biji tanaman sebagai partikel yang tidak larut air yang disebut

granula. Pati dapat dicerna dengan cepat oleh tubuh dan merupakan sumber energi

yang penting dalam bahan pangan. Hampir setengah dari pati yang dihasilkan

digunakan pada pembuatan sirup dan gula. Pati, digunakan dalam berbagai pangan

olahan seperti saus, puding dan pengisi pie, serta dalam berbagai industri seperti

industri tekstil, kertas serta sebagai bahan baku pada pembuatan plastik

biodegradable (Davidek dkk., 1990).

Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar khitosan:

4. Khitosan merupakan turunan khitin, polisakarida paling banyak di bumi

setelah selulosa.

5. Khitosan dapat membentuk film dan membrane dengan baik.

6. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik.

Plasticizer adalah bahan yang ditambahakan dalam pembuatan edible film. Berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Plasticizer terbagi atas beberapa jenis pembuatan edible film yaitu: a) mono, di-, dan oligosakarida; b) poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol); dan c) lipid dan

turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida

dan emulsifier lain) (Krisna, 2011).

Sesuai dengan beberapa ulasan literatur tersebut maka penulis melakukan

hipotesis bahwa pati dari lidah buaya, khitosan dari limbah kulit udang, dan

sorbitol yang digunakan sebagai plasticizer dapat membentuk edible film. Menurut

Utomo, Wahyu Arief., dkk (2013) yang menggunakan pati lidah buaya, khitosan,

aquades, dan tambahan asam cuka sebanyak 5% edible film dapat terurai oleh lingkungan selama 7 hari. Sehingga dalam penelitian ini ditambahkan plasticizer yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Diharapkan dari

(21)

BAB III METODOLOGI 3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak lengkap factorial

dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah perbandingan

konsentrasi pati dan kitosan yaitu 100%, 25%:75%, 50%:50%, 75%:75%, 100%,

sedangkan faktor yang kedua adalah konsentrasi sorbitol sebagai plasticizer yaitu 0%, 0,0125, 0,025. Selanjutnya dilakukan karakteristik sifat mekanik terhadap

edible film dimana batasan sifat mekanik yang digunakan adalah ketebalan, kekuatan tarik, kekuatan pemanjangan, spektra IR dan SEM pada sampel terbaik.

Digunakan jamur Aspergillus Niger untuk mengetahui berapa lama penguraian edible film menjadi netral kembali (terurai).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan, desikator, neraca

analitik, pipet, gelas arloji, beaker glass, gelas ukur, pengaduk, kaca, baskom,

incubator, hot plate, magnetic stirrer, alat untuk analisis ketebalan (Micro-cal

Messmer), kekuatan pemanjangan (Paper Tensile Strength).

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak pati lidah buaya, limbah kepala udang, sorbitol, asam asetat, bahan – bahan kimia untuk pembuatan kitosan (HCl 0,1 N, NaOH 3,5%, Aquades, NaOH pekat 60% dan asam

asetat), bahan untuk analisis kadar air dan laju transimisi uap air dan oksigen.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam pembuatan kitosan dari limbah kulit udang

berdasarkan pada Puspawati dan Simpen (2010), dalam pembuatan ekstrak pati

lidah buaya digunakan metode ekstraksi.

Metode yang digunakan dalam pembuatan edible film, pertama pati dan kitosan dilarutkan dalam asam asetat dengan perbandingan konsentrasi 100%,

25%:75%, 50%:50%, 75%:75%, 100%. Larutan dihomogenkan dengan magnetic

(22)

ditambah dengan plasticizer (sorbitol) dengan konsentrasi 0%, 0,0125, 0,025%. Penambahan ini dilakukan sedikit demi sedikit agar interaksi berjalan sempurna.

Plastik jilid (mika) dan kaca sebagai cetakan edible film dibersihkan. Bagian pinggir kaca dibatasi dengan selotip untuk mencegah keluarnya larutan.

Larutan dituang di atas kaca, lalu diratakan sampai kepinggirnya.

Setelah itu dikeringkan dibawah sinar matahari kemudian dibiarkan pada

suhu kamar selama 24 jam untuk melengkapi pengeringan dan supaya dingin.

Setelah terbentuk kemudian dilepaskan dari cetakan secara perlahan – lahan agar film tidak rusak. Film disimpan dalam aluminium foil untuk mempertahankan

keadaan dan kemudian dianalisis.

3.3 Analisis

Analisis yang dilakukan dalam penleitian ini meliputi analisis fisik pada

edible film yaitu ketebalan, kekuatan tarik, kekuatan pemanjangan, serta

organoleptik. Analisis untuk mengetahui lama penguaraian edible film digunakan jamur Aspergillus Niger.

3.3.1 Analisis Ketebalan (Yuliasih dan Sugiarto, 2000)

Untuk mengukur ketebalan film digunakan alat micro-cal Messmer dengan

ketelitian 0,1 µm pada lima tempat yang berbeda. Nilai rata – ratanya merupakan nilai yang diambil untuk nilai ketebalan film.

3.3.2 Analisis Kekuatan Tarik (KT) dan Persentase pemanjangan (%E) (Yuliasih dan Sugiarto, 2000)

Kekuatan tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan

alat paper tensile strength dengan contoh uji (vertical dan horizontal) berukuran

panjang lebar minimal 22 cm x 1,5 cm. Untuk tiap analisis diperlukan sampel 16

lembar (untuk plastik tipis) atau kurang dari 16 lembar (untuk plastik tebal atau

kuat). Nilai kekuatan tarik diperoleh dengan persamaan berikut:

(23)

Pada saat bersamaan diukur pula perpanjangan putus (elongasi). Persentase

perpanjangan putus dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Persen perpanjangan putus % =

Nilai 180 mm adalah jarak antara kedua klem penjepit (atas dan bawah)

sehingga contoh uji yang mendapat beban tarik adalah 180 mm.

Gambar 3.1

Paper Tensile Strength

3.3.3 Laju Transmisi Uap Air Metode Cawan (ASTM, 1989)

Laju transmisi uap air terhadap film diukur menggunakan metode cawan.

Sebelum pengukuran, film disimpan dalam ruangan bersuhu 25 , RH 50% selama

24 jam untuk pengkondisian.

Cawan diisi dengan air dan sampel film disimpan menutupi cawan tersebut

dan ditimbang. Luasan film yang menutupi cawan dihitung. Selanjutnya cawan disimpan dalam incubator pada suhu 25 ˚C selama 24 jam. Setelah 24 jam cawan ditimbang. Kehilangan berat selama penyimpanan dihitung sebagai fungsi waktu.

Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus:

Perpanjangan contoh uji (mm)

Panjang contoh uji (180 mm)

x

100%

(24)

Dimana: - n = Jumlah uap air (ml)

- A = Luasan film (cm2) - n = Waktu (jam)

3.3.4 Oraganoleptik

Organoleptik dilakukan terhadap 30 panelis. Pada analisis organoleptik ini

memiliki nilai 1-7 (sangat tidak suka sampai suka). Penialaian yang diberikan

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. IPB. Bogor

Buttler, B. L., P. J. Vergant, R. F. Testin, J. M. Bunn, dan J. L. Wiles. 1996.

Mechanical Properties Barrier Properties Of Edible Chitosan Films as Effected by

Composition and Storage. Journal Of food Science. Vol 61. No 05. Harvard

University

Bourtoom, T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties.

Journal International Food

Donhowe, I. G. dan Fennemam O. 1994. Edible Film and Coatings: Characteristics, Formation, Definition, and Testing Methods. Dalam Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Krochta, J. M., Baldwin E. A. and Carriedo M. N. (eds). Technomic Publishing Company. Inc. Pennsylvania

Harris, Helmi. 1999. Kajian Teknik Formulasi Terhadap Karakteristik Edible Film

dari Pati Ubi Kay, Aren, dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan semi Basah.

IPB. Bogor. Desertasi

Indriyanto, Irfan., SriWahyuni., dan Winarni Pratjojo. 2014. Pengaruh Penambahan

Kitosan Terhadap Karakteristik Plastik Biodegradable Pektin Lidah Buaya.

Journal Of Chemical Science. Vol 03. No 02. Universitas NEgeri Semarang.

Semarang

Kittur, F. S., K. R. Kumar, dan R. N. Tharanathan. 1998. Functional Packaging

Properties Of Chitosan Films. Lebesm Unters Forsch

Krisna, D.D. 2011. Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi Hidrotermal Terhadap

(26)

Sp.). Tesis Program Studi Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro.

Semarang.

Lukita, A.D dan Susanti. 2011. Pabrik Sorbitol dari Tepung Singkong (Manihot

esculenta) dengan Proses Hidrogenasi Katalitik. Teknik Kimia Surabaya. Institut Teknologi Semarang, Semarang.

Nofita, T. 2011. Pengaruh Pemberian Carboxymethyl Cellulose dan Sorbitol pada

Pembuatan Edible Film dengan Bahan Dasar Whey Terhadap Kadar Air, pH,

Ketebalan dan Waktu Kelarutan. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Andalas,

Padang.

Nurdiana, Dani. 2002. Karakteristik FisikEdible Film Dari Khitosan Dengan

Sorbitol Sebagai Plasticizer. IPB. Bogor. Skripsi

Nurhesa, Danny. 2012. Pengaruh Penambahan Plasticizer Sorbitol Untuk Pembuatan Bioplastik Dari Pati Kulit Singkong. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Yogyakarta. Skripsi

Ruan, R. R., L. Xu, dan P.L. Chen. 1998. Water Vapour Permeability and Tensile

Strenght of Cellulosa-Based Composite Edible Film. Journal Of Agric. England

Yulianti, Rahmi., dan Erlina Ginting. 2012. Perbedaan Karakteristik Fisik Edible

Film dari Umbi-umbian yang Dibuat dengan Penambahan Plasticizer. Jurnal

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. VOL. 31 NO. 2. Balai Penelitian Tanaman

Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang

Sanjaya, I Gede dan Puspita, Tyas. 2011 Pengaruh Penambahan Khitosan dan

Plasticizer Gliserol pada Karakteristik Plastik Biodegradable dari Pati Kulit Singkong. Laboratorium Pengolahan Industri Jurusan Teknik Kimia Fakultas

(27)

Sara, Nathaliya Edyson M., 2015. Karakteristik Edible Film Berbahan Dasar Whey

Dangke dan Agar Dengan Penambahan Konsentrasi Sorbitol. Universitas

Hasanuddin. Makasar. Skripsi

Shahidi, F., Arachchi J. K. V. dan Jeon Y. J., 1999. Food Aplication. Dalam Chitin

and Chitosan, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties, and Aplications.

Sanford, P. Thorllef, A. dan Gudmund Skjak-Break. Elsevier Sci. New York

Utomo, Wahyu Arief., Bambang Dwi Argo, dan Mochamad Bagus Hermanto.

2013. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Karakteristik

Fisikokimiawi Plastik Biodegradable Dari Komposit Pati Lidah Buaya (Aloe Vera)-Kitosan. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 1 No. 1. Universitas Brawijaya. Malang

Parris, S. H., J. B. Hendrickson, D. J. Cram, G. S. Hammand. 1988. Kimia Organik

2. ITB. Bandung

Purwanti, A. 2010. Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi

Gambar

Tabel 2.1 Sifat fisik edible film dari beberapa jenis pati dan plasticizer (Yulianti
Tabel 2.2 Standar Film Pada Kondisi Umum
Tabel 2.1 syarat-syarat khitosan komersial
Gambar 2.3 Struktur Molekul Sorbitol (Soesilo, dkk., 2005).

Referensi

Dokumen terkait

!nvestasi penggantian adalah mengganti aktiva tetap lama yang !nvestasi penggantian adalah mengganti aktiva tetap lama yang masih mempunyai umur ekonomis dengan aktiva tetap baru

Setelah pembukaan rekening Tahapan BCA yang diperuntukkan untuk para mahasiswa Universitas Bina Nusantara selesai, berikut kegiatan yang harus dilakukan oleh staf Bank BCA

Sehingga data penelitian tersebut layak untuk digunakan penelitian selanjutnya dapat diterangkan bahwa nilai signifikansi dari permainan modifikasi sepak bola dalam

This question was to provide explanation on the problems that the student had in writing indirect quotation (paraphrase and summary). The result or the answers are described in

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena BerkatNya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi selama perkuliahan

Hasil wawancara juga memberikan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan tidak tercapainya target penerimaan pajak rumah kost atau tidak maksimalnya penetapan

dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari

Dalam hal ini model Role Playing dapat diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa, Masalah yang dihadapi siswa kelas IV SD Negeri 2 Tuk dalam pembelajaran Bahasa Inggris