• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Beberapa Faktor Risiko Terhadap Terjadinya Penyakit Hepatitis C di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012 - 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Beberapa Faktor Risiko Terhadap Terjadinya Penyakit Hepatitis C di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012 - 2013"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.5 Hepatitis C

Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C

(HCV). Terdiri dari hepatitis C akut dan kronik, dari tingkat keparahan yang

ringan yang berlangsung beberapa minggu menjadi kronik dan menyebabkan

komplikasi yang serius (WHO, 2014).

Infeksi akut HCV adalah terdeteksinya anti-HCV dan HCV RNA yang

kurang dari 6 bulan pasca paparan HCV. Sebagian besar penderita akan

menyebabkan infeksi kronik, yaitu bila anti-HCV dan HCV RNA terdeteksi

didalam darah selama ≥ 6 bulan. Hepatitis C kronik dapat menyebabkan sirosis

hati dan kanker hati primer (hepatocellular carcinoma) (CDC, 2014).

Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) 2007 didapatkan anti-HCV positif sebesar 1,7% dari 12.715

laki-laki dan 2,4% dari 14.821 perempuan (Mihardja, 2012; PPHI, 2014).

Sebelum ditemukannya HCV, dunia medis mengenal 2 jenis virus

penyebab hepatitis, yaitu : virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis B (HBV).

Ditemukan peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus tersebut dan

tidak dikenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A Non-B (NANB).

Hepatitis NANB tersebut, pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai kasus

hepatitis yang sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian hepatitis paska

transfusi, yang sekarang disebut virus hepatitis C (HCV). Sejak ditemukannya

HCV pada tahun 1989, virus ini telah menjadi salah satu penyebab utama

penyakit hati kronik di seluruh dunia. (Gani, 2009; Arief, 2011)

Hanya 20-30% penderita hepatitis C akut yang sembuh setelah fase akut.

Sebagian besar (80%) akan menetap menjadi hepatitis C kronik, yang ditandai

dengan gejala klinis minimal atau ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah,

lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia. (Arief, 2011; PPHI 2014).

HCV adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Memiliki partikel

(2)

Genom HCV terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan protein

non-struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B) yang terletak di

dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus

hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi HCV sehinga

membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus HCV (Bartensclager dan

Lohmann, 2000; PPHI, 2014)

Pemeriksaan genotip dan subtipe HCV penting dilakukan untuk

epidemiologi, menentukan jenis dan durasi terapi, respons terapi, termasuk

memperkirakan risiko terjadinya resistensi terapi antiviral.

Ada 7 genotip virus hepatitis C dari nomor 1 sampai 7 dengan 67 subtipe,

akan tetapi belum ada kesepakatan secara internasional sehingga tetap

menggunakan pembagian 6 genotipe dan 50 subtipe.

Genotip 1a dan 1b paling sering dijumpai, meliputi hampir 60% infeksi

HCV, predominan di wilayah Eropa (genotip 1b), Amerika Utara (genotip 1a di

Amerika Serikat) dan Jepang. Genotip 2 ditemukan di gugusan wilayah

Mediterania, lebih jarang dijumpai dan umumnya berhubungan dengan faktor

risiko infeksi HCV dari transfusi darah. Genotip 3 banyak dijumpai di wilayah

Asia Tenggara. Genotip 3a mempunyai prevalensi yang tinggi di Eropa,

khususnya pada populasi orang yang menyuntikkan narkoba. Kelompok ini (saat

ini) mengalami peningkatan insidensi dan penyebarluasan infeksi dengan HCV

genotip 4. Genotip 4 banyak dijumpai di Timur Tengah, Mesir, Afrika Utara dan

Afrika Tengah.

Genotip 5 dan 6 jarang ditemukan di Eropa. Genotip 5 hanya dijumpai di

wilayah Afrika Selatan sedangkan genotip 6 tersebar merata di seluruh wilayah

Asia. Genotip 7 yang tidak diketahui, teridentifikasi pada pasien-pasien dari

Kanada dan Belgia, yang kemungkinan terjangkit dari wilayah Afrika Tengah.

(Sievert, et. al., 2011; EASL, 2014; PPHI, 2014).

1.6 Patogenesis

(3)

Gambar 2.1. Patogenesis Hepatitis C

HCV yang masuk kedalam darah akan mencari hepatosit (HCV hanya bisa

berkembang biak di dalam sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Virus masuk

kedalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik.

Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan sel

CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan khusus yang

dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site dibagian luar hepatosit.

Protein inti virus ini menembus dinding sel dimana selaput lemak bergabung

dengan dinding sel dan selanjutnya akan melingkupi dan menelan virus serta

membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid)

melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang

selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat

bahan-bahan untuk proses reproduksi.

Virus menyebabkan sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya

sendiri, lalu menutup fungsi normal hepatosit atau menginfeksi hepatosit yang

lain. Virus kemudian membajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam

memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.

RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal

poliprotein (proses translasi). Poliprotein dipecah menjadi unit-unit protein.

(4)

memulai sintesis kopi virus RNA asli. RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam

jumlah besar (miliaran) untuk menghasilkan virus baru.

Proses ini berlangsung terus dan dapat membuat terjadinya mutasi genetik

yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C.

Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju

pembuluh darah menembus membran sel. Dalam sehari replikasi HCV sangat

banyak. Seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion per hari

(bahkan dalam fase infeksi kronik sekalipun) (Sulaiman, 2007).

Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi

seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya

dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini

sebelumnya dalam keadaan tenang (quiscent) kemudian berproliferasi dan

menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks

kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan

sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi

inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin

banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan

kerusakan hati lanjut dan sirosis hati (Gani, 2009).

1.7 Hubungan faktor risiko terhadap terjadinya Hepatitis C

Virus hepatitis C merupakan blood-borne virus yang cara penularannya

terutama melalui paparan media darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi

HCV. Angka infeksi hepatitis C meningkat pada beberapa populasi tertentu

seperti narapidana, pengguna narkoba suntik, para gelandangan, pasien

hemodialisis dan pasien yang mendapatkan transfusi produk darah rutin sebelum

tahun 1992 (Arief, 2011).

Sejak tahun 1989, semua darah telah dites untuk pemeriksaan anti-HCV,

sehingga suplai darah dianggap aman. Risiko infeksi melalui transfusi darah

sekarang hanya sekitar 0,001% per unit transfusi, atau sekitar 0,075% per

penerima (ALF, 2012). Di negara berkembang, transfusi darah atau produk darah

(5)

Safety diperkirakan 43% produk darah di negara berkembang tidak mendapatkan

skrining HCV yang adekuat (PPHI, 2014; WHO, 2014).

Faktor risiko lainnya adalah peralatan medis yang terpapar HCV seperti

jarum suntik pada pengguna narkoba suntikan (penasun). Secara global,

prevalensi infeksi HCV adalah 67% di antara para pengguna narkoba. Kalangan

tenaga medis juga perlu hati-hati agar tidak tertusuk jarum yang terpapar. Risiko

akibat tertusuk jarum berkisar 3-10%. Risiko infeksi HCV tergantung pada

frekuensi prosedur medis (jumlah suntikan per orang per tahun) dan tingkat

praktek pengendalian infeksi (WHO, 2014).

Infeksi HCV dapat menyebar melalui kontak seksual, meskipun risikonya

diyakini rendah. Risiko meningkat bagi mereka yang memiliki banyak pasangan

seks, memiliki penyakit menular seksual, terlibat dalam seks yang bebas, dan

laki-laki yang terinfeksi HIV yang berhubungan seks dengan laki-laki-laki-laki (LSL) maupun

orang lain yang terinfeksi HIV. Wabah HCV telah dilaporkan pada LSL penderita

HIV di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Bukti transmisi diyakini disebabkan oleh

hasil dari pajanan terhadap darah selama kontak seksual. Pada mereka yang

terinfeksi HIV, infeksi HCV akut lebih mungkin untuk menjadi kronik (CDC,

2014; WHO, 2014).

Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik

pervaginam maupun operasi. Transmisi perinatal dari ibu yang tertular hepatitis C

ke bayi mempunyai prevalensi sekitar 5%. Sekitar 4 dari setiap 100 bayi yang

lahir dari ibu dengan hepatitis C terinfeksi dengan virus. Namun, risiko menjadi

lebih besar jika ibu memiliki infeksi HIV dan hepatitis. Dihipotesiskan bahwa ibu

yang mengidap infeksi HIV mengalami penurunan daya imunitas sehingga

mengalami viral load dari HCV yang lebih tinggi menyebabkan mudahnya

penularan secara vertikal (Arief, 2011; CDC, 2014).

Salah satu faktor risiko yang dapat memperberat kerusakan hati adalah

kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kecanduan alkohol (Alkoholisme) adalah

masalah umum di Amerika dengan perkiraan 17-20 juta orang. Dalam hal ini pria

lebih sering mengkonsumsi daripada wanita. Konsumsi alkohol yang lama dan

(6)

(fatty liver), hepatitis alkoholik (peradangan pada hati) dan sirosis (jaringan parut

permanen hati). (ACG, 2014).

Pembuatan tato dan body piercing (tindik) juga dapat menjadi metode

transmisi HCV meskipun dengan angka kejadian yang lebih rendah, terutama di

kalangan pemuda, namun belum ditemukan cukup bukti dan ada temuan yang

bertentangan dalam literatur. Hal ini diakibatkan oleh penggunaan instrumen yang

tidak steril. Di Amerika Serikat, pemakaian tato dan tindik yang tidak steril sering

terjadi di penjara dan situasi informal lainnya. Studi menunjukkan tidak ada bukti

definitif untuk peningkatan risiko infeksi HCV bila tato dan tindikan dikerjakan

pada fasilitas tato/tindik komersial yang berlisensi profesional. (Tohme, 2012;

CDC, 2014; WHO, 2014).

Faktor-faktor lainnya juga berpengaruh seperti transplantasi organ dari

donor terinfeksi / pengidap HCV kronik, asupan alkohol, koinfeksi dengan virus

hepatitis B (HBV) atau virus Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis

kelamin laki-laki, dan usia tua saat terjadinya infeksi (Gani, 2009).

Jika seseorang pernah diuji positif terinfeksi HCV, direkomendasikan

untuk tidak pernah menyumbangkan darah, organ, atau air mani (hubungan

seksual) karena dapat menularkan kepada penerima atau pasangan seksual.

Seseorang juga bisa terinfeksi HCV melalui berbagi barang-barang perawatan

pribadi yang mungkin berkontak dengan darah, seperti pisau cukur atau sikat gigi,

tapi penularan ini kurang umum (CDC, 2014).

Hepatitis C tidak dapat ditularkan melalui ASI, makanan atau air atau

melalui kontak biasa seperti memeluk, mencium dan berbagi makanan atau

minuman dengan orang yang terinfeksi. (WHO, 2014).

1.8 Gejala Klinis 2.4.1 Infeksi HCV akut

Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala

minimal. Masa inkubasi hepatitis C adalah 2 minggu sampai 6 bulan. Setelah

infeksi awal, sekitar 70-80% penderita HCV tidak menunjukkan gejala. Sebagian

(7)

demam, kelelahan, nafsu makan menurun, mual, muntah, sakit perut (biasanya

pada perut kanan atas), urin gelap, kotoran berwarna abu-abu, nyeri sendi dan

jaundice (WHO, 2014).

2.4.2 Infeksi HCV kronik

Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak

menimbulkan gejala walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Dalam

banyak kasus, tidak ditemukan gejala penyakit sampai timbulnya masalah pada

hati pasien. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik

seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi

gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem

saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal

sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali nilai normal. Kadar bilirubin dan

fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut. HCV sering

terdeteksi selama tes darah rutin untuk mengukur fungsi hati dan tingkat enzim

hati. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi.

Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada

15-20% pasien infeksi HCV. Dari setiap 100 orang yang terinfeksi,, sekitar 75-85

orang akan mengembangkan infeksi HCV, 60-70 orang mengembangkan penyakit

hati kronik, 5-20 orang akan berlanjut menjadi sirosis selama periode 20-30

tahun, 1-5 orang akan meninggal akibat sirosis atau kanker hati (Gani, 2009;

Arief, 2011; CDC, 2014).

2.5 Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam menegakkan

diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan anti-HCV

merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk mendeteksi infeksi hepatitis C.

Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV positif harus dilanjutkan

dengan pemeriksaan HCV RNA. Diagnosis hepatitis C kronik harus dibuktikan

dengan keberadaan anti-HCV dan HCV RNA positif > 6 bulan dan atau disertai

(8)

Infeksi HCV akut dapat dicurigai jika tanda-tanda klinis dan gejala yang

kompatibel dengan hepatitis C akut (alanine aminotransferase [ALT] >10x diatas

normal, adanya jaundice) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau

penyebab lain dari hepatitis akut, dan/atau jika dalam sumber sekarang

kemungkinan penularan dapat diidentifikasi. Dalam semua kasus, HCV RNA

dapat terdeteksi selama fase akut meskipun kebanyakan jarang terjadi (EASL,

2014).

2.5.1 Pemeriksaan laboratorium

Untuk pemeriksaan anti-HCV, tes enzyme immunoassay (EIA) merupakan

pemeriksaan yang mudah dikerjakan dan relatif tidak mahal, dan merupakan tes

skrining awal terbaik. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan

menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau

chemiluminescent immunoassay (CLIA). Bila didapatkan hasil anti-HCV positif

maka dapat dinyatakan orang tersebut terinfeksi virus hepatitis C dan pemeriksaan

selanjutnya yaitu HCV RNA (EASL, 2014).

Anti-HCV mempunyai masa serokonversi sekitar 5-10 minggu pasca

paparan HCV, ada juga yang baru terdeteksi setelah 3 bulan sehingga

pemeriksaan anti-HCV saja dapat menimbulkan kesalahan diagnosis sebesar 30%

kasus hepatitis C akut. Selain itu pada pasien HIV, pasien hemodialisis, dan

pengguna obat imunosupresan, pemeriksaan anti HCV dapat menghasilkan

negatif palsu. Pada keadaan tersebut ataupun bila ada kecurigaan infeksi hepatitis

C maka diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu HCV RNA.

Pemeriksaan HCV RNA dengan real time-PCR dapat mendeteksi

keberadaan jumlah virus HCV sampai muatan virus minimal <50 IU/mL atau

<15 IU/mL. Pemeriksaan tersebut penting untuk menegakkan diagnosis serta

pemantauan terapi antivirus.

Pada infeksi akut serum ALT meninggi, dan jarang lebih dari 1000 IU/L,

alkaline phospatase (ALP) 2x batas atas nilai normal, kecuali pada kasus dengan

komplikasi kolestasis. Prothrombin time jarang melebihi 5 detik dari nilai normal.

(9)

peningkatan ringan serum ALT, (biasanya <dari 100 IU/L) dan pada sepertiga

kasus pemeriksaan tes faal hati bisa normal. (Ghany, 2009; Brook, 2010; PPHI,

2014).

Tabel 2.1. Interpretasi Hasil Anti-HCV dan HCV RNA Anti-HCV HCV RNA Interpretasi

Positif Positif Infeksi HCV akut atau kronik bergantung pada gejala klinis

Positif Negatif Resolusi HCV, Status infeksi tidak dapat ditentukan (mungkin dalam status intermittent viremia)

Negatif Positif Infeksi HCV akut awal; HCV kronik pada pasien dengan status imunosupresi; pemeriksaan HCV RNA positif palsu

Negatif Negatif Tidak adanya infeksi HCV Sumber : EASL, 2014

2.5.2 Biopsi hati dan fibroscan

Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang

pasien dengan infeksi HCV kronik. Biopsi berguna untuk menentukan derajat

beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan

inflamasi. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan

adanya penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic

steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau

overload besi (Sulaiman, 2007). Saat ini dengan fibroscan dapat dilakukan

pemeriksaan untuk menilai fibrosis hati sehingga dapat dipakai pada

pasien-pasien yang menolak untuk dilakukannya biopsi hati.

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi atau eradikasi virus HCV

dan mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma

hepatoselular dan sebagai endpoint therapy adalah mencapai sustained virologic

response (SVR).

- Tatalaksana hepatitis C akut:

Dari saat identifikasi infeksi HCV akut, pasien harus dipantau tiap 4

(10)

minggu, sekitar 15-30% akan sembuh disertai pembersihan HCV tanpa

pengobatan. Mereka yang tidak sembuh harus segera mendapat pegylated

interferon selama 24 minggu. Oleh karena itu, tatalaksana dapat ditunda selama

12-16 minggu menunggu terjadinya resolusi spontan terutama pada yang

simptomatik. Pada pasien genotip IL28B non-CC pemberian antivirus dapat lebih

awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih

rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN dapat diberikan pada tatalaksana

hepatitis C akut. Lama terapi hepatitis C akut pada genotip 1 dilanjutkan selama

24 minggu dan pada genotip 2 dan 3 selama 12 minggu. Ini akan mencegah

terjadinya infeksi HCV kronik pada kebanyakan pasien (Muslu, 2010; PPHI,

2014).

- Tatalaksana hepatitis C kronik :

Penatalaksanaan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik.

Umumnya pasien hepatitis C datang berobat sudah dalam fase kronik. Target

terapi antivirus adalah pencapaian SVR, yaitu muatan virus HCV RNA <50

IU/mL atau tetap tidak terdeteksi setelah 24 minggu setelah pemberian terapi

antivirus selesai. Untuk mengetahuinya, dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara

berkala. Bila rapid virological response (RVR) tercapai, yaitu muatan virus HCV

RNA <50 IU/mL atau tidak terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus selama 4

minggu, dapat diperkirakan 72,5-100% akan tercapai (Poordad, 2009).

Pilihan terapi standar untuk hepatitis C kronik adalah kombinasi antara

Pegylated Interferon-α (Peg-INFα) dan ribavirin (RBV). Pada genotip 1

memberikan respon 40-50% mencapai SVR, pada genotip 2 dan 3 sekitar 80%

mencapai SVR. Telah ditemukan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu

boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Di Indonesia

yang baru tersedia adalah boceprevir (PPHI, 2014).

- Pilihan terapi hepatitis C kronik genotip 1 & 4 Naive :

Pada genotip 1, dengan kombinasi dual therapy Peg-IFN dan RBV atau

kombinasi triple therapy dengan penambahan BOC. Pemberian triple therapy

pada pasien genotip 1 naive dapat dipertimbangkan pada pasien dengan IL28B

(11)

(Untuk jelas nya dapat dilihat pada gambar 2.2 dan gambar 2.3)

Gambar 2.2. Algoritme dual therapy pada genotip 1 dan 4 Ket: DVR (Delayed Virological Response); EVR (Early Virological Response);

NR (Null Response); PR (Partial Response) Sumber : PPHI, 2014

Gambar 2.3. Algoritme triple therapy dengan boceprevir menggunakan response guided therapy (RGT)

Ket: ER (Early Response); LR (Late Response), ***(Stop Terapi)

Dual therapy adalah standard of care (SOC) untuk hepatitis C naive

genotip 1 di Indonesia. Pemberian SOC pada naive genotip 1, bila tercapai RVR,

lama pengobatan dilanjutkan 48 minggu pada pasien dengan viral load tinggi dan

(12)

dipertimbangkan triple therapy, pengobatan diperpanjang 72 minggu atau

dihentikan dengan memperhatikan berbagai faktor (IL28B, ketaatan pasien,

obesitas, resistensi insulin, dll). Pada triple therapy, pemberian terapi harus

dihentikan bila didapatkan kondisi dimana muatan virus HCV RNA >100 IU/mL

pada terapi minggu ke-12 atau masih tetap terdeteksi pada minggu ke-24.

- Pilihan terapi hepatitis C genotip 1 yang sudah pernah mendapat terapi :

Dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu :

(a) Null responders : pasien dengan muatan virus tidak mencapai penurunan

minimal 2log IU/mL setelah pemberian antivirus 12 minggu

(b) Partial responders : berhasil mencapai penurunan HCV RNA minimal 2log

IU/mL setelah terapi 12 minggu, akan tetapi HCV RNA masih terdeteksi pada

minggu ke 24 terapi

(c) Relapser : berhasil mencapai muatan virus HCV RNA yang tidak terdeteksi

pada saat akhir terapi, tetapi virus kembali terdeteksi setelah terapi dihentikan.

Berdasarkan studi ini maka keputusan untuk memberikan terapi kembali

pada pasien yang pernah mendapatkan terapi sebelumnya sangat ditentukan oleh

respons pada terapi sebelumnya. Pasien dengan kriteria relapse atau partial

responders merupakan kandidat terbaik untuk kembali mendapatkan terapi

antivirus kombinasi triple therapy. Untuk kembali memberikan terapi pada

kelompok null responders bersifat individual mengingat hanya sedikit sekali yang

berhasil mencapai SVR (28-38%) dan cenderung menimbulkan resistensi

terhadap antivirus. Pemberian kembali antivirus pada pasien sirosis hati

kompensata sebaiknya dengan durasi 48 minggu.

- Pilihan terapi pada genotip 2, 3, 5 dan 6

Untuk kelompok ini, pilihan terapi adalah Peg-IFN/RBV. Kedua jenis

Peg-IFN dapat dijadikan pilihan terapi. Genotip 2 dan 3 dapat mencapai SVR

76% dan 82%. Algoritme dual therapy pada genotip 2, 3, 5, dan 6 dapat dilihat

(13)

Gambar 2.4. Algoritme dual therapy pada genotip 2, 3, 5, dan 6 Ket: * : Kurang efektif karena tingkat menjadi relapser tinggi, khususnya pada

genotip 3 dengan muatan virus HCV RNA tinggi.

--- : Bila ada faktor risiko dianjurkan untuk diterapi selama 48 minggu Sumber : PPHI, 2014

- Pilihan terapi pada sirosis hati :

Pada sirosis hati kompensata, terapi antivirus dapat diberi selama tidak ada

kontra indikasi. Ini bertujuan untuk mencapai SVR serta menurunkan insiden

terjadinya komplikasi sirosis hati. Pada sirosis hati dekompensata Child Pugh C,

CTP skor ≥10 atau MELD skor 18 adalah kontraindikasi pemberian antivirus, dan

sebaiknya segera dirujuk untuk transplantasi hati. Pemberian pada Child Pugh B

bersifat individual dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala

menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi

dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum

tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat

menyebabkan penurunan Hb. Maka dari itu, pemantauan pasien mutlak perlu

dilakukan. Pada awal pemberian interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan

klinis, laboratoris (Hb, lekosit, trombosit, asam urat, dan ALT) setiap 2 minggu

(14)

bila Hb 8 g/dL, lekosit 1500/uL atau kadar netrofil<500/uL, trombosit

<50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti-depresi,

atau timbul gejala-gejala tiroiditias yang tidak teratasi (Gani, 2009).

Kontraindikasi pemberian terapi interferon pada pasien hepatitis C dapat

dilihat di tabel 2.

Tabel 2.2 Kontraindikasi Peg-interferon-α dan Ribavirin

Kondisi Interferon alfa Ribavirin

Diabetes mellitus yang tidak terkontrol

Sekitar 75-85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronik.

Dari hepatitis C kronik 10-20% akan berlanjut menjadi sirosis hati dalam 15-20

tahun, dan setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun berkembang

(15)

2.7.1 Sirosis hati

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif (Gani, 2009).

Gejala-gejala sirosis hati dapat serius dan mengancam jiwa, tapi banyak dari mereka

berhasil ditangani. Keluhan dapat berupa berkurangnya nafsu makan, mual,

penurunan berat badan, nyeri perut, gatal-gatal, dan perut membesar. Gejala yang

dijumpai yaitu asites, edema pretibial, ginekomastia, hepatomegali, jaundice,

malnutrisi, adanya Spider Naevi, palmar eritem, dan haid yang tidak teratur

(ALF, 2012).

2.7.2 Karsinoma hati

Perkiraan insidens karsinoma hati sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap

tahunnya, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis hati. Risiko

terjadinya karsinoma hati pada penderita sirosis akibat hepatitis C kronik

diperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai

timbulnya karsinoma hati berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie

memperkirakan bahwa antara 1,9–6,7% penderita sirosis HCV berkembang

menjadi karsinoma setelah 10 tahun (Arief, 2011).

Manifestasi klinisnya bervariasi. Gejala yang paling sering dikeluhkan

adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas; atau teraba

pembengkakan lokal dihepar. Terjadinya karsinoma hati perlu diduga bila tidak

terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi

terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau

anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus

diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai penurunan berat

(16)

2.8 Pencegahan

2.8.1 Pencegahan primer

Tidak ada vaksin untuk hepatitis C, oleh karena itu pencegahan infeksi

HCV ditujukan pada mengurangi risiko terpaparnya dengan HCV. Daftar berikut

memberikan contoh terbatas intervensi pencegahan primer yang

direkomendasikan oleh WHO:

• kebersihan tangan: persiapan bedah, mencuci tangan dan penggunaan sarung

tangan

• penanganan yang aman dan pembuangan benda tajam dan limbah

• pembersihan yang aman dari peralatan

• pengujian darah yang disumbangkan

• edukasi kepada masyarakat

• meningkatkan akses terhadap darah yang aman, dan

• pelatihan tenaga kesehatan.

2.8.2 Pencegahan sekunder

Bagi orang-orang yang terinfeksi dengan virus hepatitis C, WHO

merekomendasikan:

• pendidikan dan konseling tentang pilihan untuk perawatan dan pengobatan

• imunisasi dengan vaksin hepatitis A dan B untuk mencegah koinfeksi dari

virus hepatitis ini untuk melindungi hati mereka

• manajemen medis awal dan tepat termasuk terapi antiviral jika sesuai, dan

• pemantauan rutin untuk diagnosis awal penyakit hati kronik

Gambar

Gambar 2.1. Patogenesis Hepatitis C
Gambar 2.3. Algoritme triple therapy dengan boceprevir menggunakan
Gambar 2.4. Algoritme dual therapy pada genotip 2, 3, 5, dan 6
Tabel 2.2 Kontraindikasi Peg-interferon-α dan Ribavirin

Referensi

Dokumen terkait

Jika unit-unit kristal tersusun secara homogen membentuk padatan maka padatan yang terbentuk memiliki bangun yang sama dengan bangun unit kristal yang membentuknya namun dengan

Mesin ciptaan Sir Frank Whittle kemudian di kembangkan oleh seorang asal Jerman dan juga sekaligus merupakan desainer dari operasional mesin jet pertama yang bernama Dr Hans von

[r]

Keputusan Kapolda Sumbar Nomor : Kep/53/IV/2017 tanggal 18 April 2017 tentang pembentukan panitia daerah penerimaan anggota Polri Terpadu TA.. Sehubungan dengan rujukan

Kegiatan DAK Infrastruktur Irigasi Dan Kegiatan Pendampingan Kegiatan DAK Infrastruktur Irigasi Pekerjaan Paket 32 Rehabilitasi Sarana Irigasi DI Plaeng Ds

[r]

Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, bersama ini disampaikan hasil kelulusan pemeriksaan administrasi akhir seleksi penerimaan Tamtama Polri TA.. Jumlah

mind mapping efektif untuk meningkatkan konsentrasi belajar siswa.Saran yang dapat diberikan hendaknya guru bimbingan dan konseling dapat melaksanakan layanan penguasaan