BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan
penting karena selain bertujuan sebagai ketahanan pangan bagi seluruh penduduk,
juga merupakan sektor andalan penyumbang devisa negara dari sektor nonmigas.
Sektor pertanian juga menjadi sumber keberlanjutan usaha, baik di sektor hulu
maupun di sektor hilir. Disisi lain, sektor pertanian menjadi sumber pajak, sumber
penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, dan juga sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi nasional. Besarnya peranan yang dimiliki sektor ini
memberikan arti bahwa dimasa mendatang sektor ini masih perlu terus
ditumbuhkembangkan (Noor, 1996).
Isu ketahanan pangan juga menjadi topik penting karena pangan
merupakan kebutuhan yang paling berpengaruh dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan juga merupakan sarana untuk menjaga stabilitas sosial
politik sebagai prasyarat melaksanakan pembangunan. Ketahanan pangan juga
menyangkut hak dasar bagi setiap manusia yang harus dipenuhi demi menjaga
kelangsungan hidupnya. Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk
hampir keseluruhan menjadikan beras sebagai kebutuhan pokok. Oleh sebab itu,
Sehingga, peranan pemerintah sangatlah menjadi faktor penting dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang mengatur sektor pertanian khususnya komoditi padi.
Untuk menjaga kestabilan nasional, Pemerintah berkomitmen
mewujudkan ketahanan pangan yang termaktub dalam Undang-undang (UU) No.7
Tahun 1996 tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP)
No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Ketahanan pangan didefenisikan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.
Untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan tersebut, pembangunan
dalam sektor pertanian harus ditingkatkan dan dimaksimalkan dengan sarana dan
prasarana yang ada. Pembanguan Pertanian dalam konsep modern mengalami
sejumlah kendala dan masalah yang harus diselesaikan, antara lain: (1)
Keterbatasan dan penurunan kapasitas sumber daya pertanian, (2) Sistem Alih
teknologi yang masih lemah dan kurang tepat sasaran, (3) Keterbatasan akses
terhadap layanan usaha, terutama permodalan, (4) Rantai tata niaga yang panjang
dan sistem pemasaran yang belum adil, (5) Kualitas, mentalis, keterampilan
sumber daya petani rendah, (6) Kelembagaan dan posisi tawar petani rendah, (7)
Lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, dan (8) Kebijakan
makro ekonomi yang belum berpihak kepada petani. Hal ini disampaikan oleh
Menteri Pertanian pada masa itu yaitu Anton Apriyanto pada seminar dan
lokakarya nasional 12 Maret 2005 tentang “Arah Kebiakan Pertanian Nasional
Melihat permasalahan tersebut, maka visi pembangunan pertanian sampai
tahun 2025 adalah: “Terwujudnya sistem pertanian industrial berkelanjutan yang
berdayasaing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”.
Sehingga secara spesifik sasaran jangka panjang yang perlu ditempuh adalah: (1)
Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdaya saing; (2) Mantapnya
ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya kesempatan kerja penuh bagi
masyarakat pertanian; dan (4) Hapusnya masyarakat petani miskin dan
meningkatnya pendapatan petani.
Terkait ketahanan pangan (Inpres No.5, 2011) pada tahun 2008 pemerintah
Indonesia mendeklarasikan kesuksesan dalam pencapaian swasembada beras.
Pada saat itu sebagian besar negara di dunia mengalami krisis pangan. Namun,
Indonesia justru mampu meningkatkan produksi padi sebesar 3,12 juta ton gabah
atau meningkat 5,46 persen dari tahun 2007. Produksi pada tahun 2008 sebesar
60,28 juta ton atau setara dengan 35,32 juta ton beras. Produksi beras pada tahun
tersebut bisa dikatakan spektakuler dan merupakan surplus tertinggi sepanjang
searah perberasan nasional.
Surplus produksi beras tahun 2008 mendorong pemerintah
mengembangkan wacana ekspor beras di tahun 2009, dengan tujuan mendapatkan
keuntungan dari meningkatnya harga beras dunia. Untuk pertama kalinya sejak
Orde Baru tumbang, Indonesia mampu mengubah status dari mengimpor beras
(2006) menjadi swasembada beras (2008) dan kemungkinan mampu mengekspor
Melihat data tersebut, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan
usaha di sektor pertanian di tengah perkembangan ekonomi yang sangat pesat.
Usaha ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang lebih besar dalam sektor
pertanian untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Salah satu kebijakan
pemerintah yaitu melakukan revitalisasi sektor pertanian sebagai langkah untuk
menjadikan sektor pertanian Indonesia dari kondisi tradisional menjadi pertanian
berbasis agribisnis. Sektor agribisnis sebagai bentuk pertanian modern mencakup
empat subsistem yaitu: subsistem agribisnis hulu (upstream agribussines), yaitu
kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan produksi pertanian
primer seperti bibit, pupuk, dan lain sebagainya; subsistem usaha tani (on-farm
agribussines) atau pada masa lalu disebut sebagai sektor pertanian primer;
subsistem agribisnis hilir (downstream agribussines) yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan; dan subsistem jasa
layanan pendukung seperti lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan
lain-lain (Saragih, 2001).
Keberhasilan kegiatan-kegiatan utama dan khususnya kinerja usahatani
oleh keharmonisan antar semua kegiatan-kegiatan agribisnis. Seluruh kegiatan
agribisnis dapat dikelompokkan atas 5 kelompok yang disebut subsistem
agribisnis yaitu: (1)pengadaan input produksi usahatani; (2)proses produksi
usahatani; (3)pengolahan hasil; (4)pemasaran; (5)penunjang agribisnis.
Pengintegrasian semua kegiatan atau semua subsistem secara harmonis disebut
sistem agribisnis. Jadi pembangunan dan pengembangan sistem agribisnis suatu
harmonis, sehingga saling mendukung dan dapat memberikan hasil secara optimal
(Soekartawi, 1999).
Untuk mengukur optimalnya kinerja usaha tani padi sawah melalui
pendekatan agribisnis, dapat dilihat berdasarkan efisiensi dan efektivitas setiap
aktivitas ekonomi yang dilakukan. Tingkat efisiensi ini dapat diukur mrnggunakan
Data Envelopment analysis (DEA) berdasarkan kesesuaian metode analisis yang
dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan kajian mengenai analisis efisiensi.
Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas kemampuan unit ekonomi
untuk memproduksi tingkat output maksimum dari sejumlah input dan teknologi
(Samsubar saleh, 2000). Cara sederhana yang bisa digunakan untuk mengukur
efisiensi setiap Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) adalah dengan menghitung rasio
antara output UKE dengan faktor produksi yang digunakan. DEA dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah yang biasa dijumpai dalam suatu output dan faktor
produksi.
Tabel 1.1
Tingkat produktivitas padi kabupaten/kota di Sumatera Utara 2012
Kabupaten/Kota
Luas Panen
(ha)
Produksi (ton)
Rata-rata Produksi
(kw/ha)
Nias 9449 30645 32,43
Mandailing Natal 37590 163410 43,47 Tapanuli Selatan 29343 147787 50,37 Tapanuli Tengah 26677 118887 44,57 Tapanuli Utara 23000 107101 46,57 Toba Samosir 21992 120701 54,88 Labuhanbatu 24424 98055 40,15
Simalungun 76608 440992 57,56
Dairi 14056 71124 50,6
Karo 16997 95477 56,17
Deli Serdang 80508 446055 55,41
Langkat 79519 410448 51,62
Nias Selatan 14698 57712 39,26 Humbang
Hasundutan 18302 86190 47,09 Pakpak Bharat 3256 14226 43,69
Samosir 8891 44558 50,12
Serdang Bedagai 68753 373761 54,36 Batu Bara 36595 176642 48,27 Padang Lawas
Utara 20093 81235 40,43
Padang Lawas 16511 65043 39,39 Labuhanbatu
Selatan 621 2828 45,53
Labuhanbatu
Utara 34849 156403 44,88
Nias Utara 3481 10433 29,97
Nias Barat 3069 10106 32,93
Sibolga 0 0 0
Tanjungbalai 241 1040 43,15
Pematangsiantar 3896 22037 56,56 Tebing Tinggi 827 3888 47,01
Medan 3540 16199 45,76
Binjai 4239 20588 48,57
Padangsidimpuan 11496 56771 49,38 Gunungsitoli 2804 8431 30,07
Sumatera Utara 714307 3552373 49,73
Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara
Pada tahun 2012, Sumatera Utara memiliki rata-rata produktivitas lahan
produksi sebesar 49,73 kw/Ha. Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang memiliki
produktivitas lahan di atas rata-rata produktivitas lahan Sumatera Utara.
Produktivitas yang tinggi menandakan bahwa kabupaten/Kota tersebut memiliki
produksi, daerah yang kemampuan lahannya lebih rendah tidak mungkin
disamakan dengan daerah yang mempunyai kemampuan lahan yang tinggi,
walaupun rasio alokasi input dan output telah disesuaikan dengan daerah yang
lebih baik tetap ditemui beberapa permasalahan dalam faktor-faktor produksinya.
Kriteria yang dipakai untuk mengoptimalkan output adalah daerah yang
memepunyai kemampuan lahannya lebih baik.
Dari data tersebut menggambarkan bahwa ketidakefisienan kinerja
usahatani padi sawah di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara pada tahun
2012. Oleh sebab itu, pemerintah harus meningkatkan peranannya dalam
mendukung kualitas kinerja usahatani padi sawah yang ada di Sumatera Utara.
Dari hasil produksi padi di Sumatera Utara, Pemerintah pusat telah menetapkan
Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu lumbung beras Indonesia dari 14
provinsi sentra produksi padi di Indonesia yang diharapkan akan mampu
meningkatkan produksi pertaniannya. Dari beberapa daerah yang merupakan
penghasil padi, kabupaten Simalungun, Langkat, Deli Serdang dan Serdang
Bedagai merupakan daerah yang menyuplai beras terbesar karena memiliki luas
panen yang luas dan produksi padi yang besar serta memiliki produkrivitas lahan
diatas rata-rata Sumatera Utara. Sedangkan kabupaten Karo, Dairi, Tapanuli
Selatan, Toba Samosir, Asahan, Samosir dan pematang siantar bukan penyuplai
beras tersesar di Sumatera Utara walaupun memiliki produktivitas lahan di atas
rata-rata produktivitas Sumatera utara karena memiliki luas lahan dan produksi
Dengan latar belakang inilah peneliti melakukan analisis lebih lanjut
dalam bentuk tugas akhir skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan pada beberapa permasalahan yang ada, untuk memajukan
sektor usahatani padi melalui pendekatan agribisnis, maka terlebih dahulu
bagaimana kinerjanya melalui perhitungan tingkat efisiensi, sehingga perumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana efisiensi agribisnis padi sawah jika dianalis menggunakan aplikasi
model DEA di Sumatera Utara Tahun 2012?
2. Bagaimanakah efisiensi faktor-faktor produksi padi sawah dengan analisis DEA
di Sumatera Utara Tahun 2012?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat efisiensi kinerja sektor usahatani padi
sawah melalui pendekatan agribisnis dengan aplikasi model DEA di Sumatera
Utara tahun 2012.
2. Untuk Mengetahui bagaimana tingkat efisiensi faktor-faktor produksi padi
1.3Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti:
Penelitiaan ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan
khususnya mengenai kinerja sektor usahatani padi sawah melalui pendekatan
agribisnis dengan aplikasi model DEA.
2. Bagi Investor dan calon Investor
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan pertimbangan
modal (keputusan investasi) mengenai usahatani padi sawah.
3. Bagi Petani
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi petani untuk mengetahui
efisiensi kinerja usahatani padi sawah dengan metode DEA melalui
penggunaan input yang efisien.
4. Bagi peneliti lainnya
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan atau
tambahan refrensi untuk penelitian yang berhubungan dengan kinerja