• Tidak ada hasil yang ditemukan

4d92391451945c7304cd1aab4a5b6604

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "4d92391451945c7304cd1aab4a5b6604"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kritik Chantal Moufe atas Liberalisme Rawls:

Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

SUNARYO

Universitas Paramadina

Jl. Gatot Subroto Kav. 97, Mampang, Jakarta 12790 Telpon: 021-79181188

Surel: aryomail2678@yahoo.com

Diterima: 19 Oktober 2012 Disetujui: 26 Oktober 2012

ABSTRACT

This article wants to explore Moufe’s criticism on liberal tradition, especially as represented by Rawls’ po

-litical liberalism. Moufe is known as a post-marxist thinker who, with Ernesto Laclau, wrote a book titled “Hegemony and Socialist Strategy: toward a Radical Democratic Politics”. Through her idea of agonistic pluralism she criticizes the liberal tradition. At least there are two important critiques she wants to under

-line. First, she states that the liberal politics has negated and evacuated the political from the social relation although it cannot erase the political at all. In political liberalism, the plurality of society is limited to make an overlapping consensus among comprehensive doctrines. So that the particular view of society can’t express its diferentiation freely since it has to be in accordance with the overlapping consensus. Secondly, the liberal tradition oten perceives consensus in democracy as a inal stage, whereas Moufe perceives it as something uncertain and never be taken for granted. She says that the consensus in democracy is always a fragile conquest that needs to be defended as well as deepened. Arguably, there is no threshold of democracy that once reached will guarantee its continued existence.

Keywords: Yang Politis (the political), pluralisme agonistik, undecidability, adversary, con-stitutive outside, liberalisme politis (political liberalism)

“Because it is indeed the political which is at stake here, and the possibility of its elimination. And it is the incapacity of liberal thought to grasp its nature and the irreducible character of antagonism that explains the impotence of most political theorists in the current situation...

(2)

Pendahuluan

Salah satu sumbangan penting Chantal

Moufe dalam teori politik kontemporer adalah kritiknya atas liberalisme dan pro

-posalnya mengenai demokrasi pluralis

agonistik.1 Kritik dasarnya atas liberalisme berpangkal pada kegagalan demokrasi li­ beral dalam merawat arti yang politis itu

sendiri. Baginya, kecenderungan demokra

-si liberal sebagaimana dipahami oleh John Rawls (1921 – 2002), juga Charles Larmore dan Thomas Nagel, yang selalu meng­ upayakan konsensus, telah mengeksklusi bagian­bagian yang tidak segaris dengan

konsensus yang sudah dianggap inal. Ke

-cenderungan ini sangat membahayakan masa depan demokrasi yang seharusnya merawat pluralisme. Paling tidak bahaya pertama itu terjadi karena demokrasi li­ beral telah mengebiri makna yang politis

(the political). Dalam pandangan Moufe,

yang politis sebenarnya tidak bisa dihapus, melainkan hanya disingkirkan. Namun, meskipun sudah disingkirkan, yang politis akan tetap muncul dalam banyak bentuk. Bahaya kedua, kecenderungan demokrasi liberal pada konsensus telah mengasum

-sikan satu inalitas model demokrasi yang bagi Moufe seharusnya dipahami sebagai

“demokrasi yang selalu menjadi” atau de

-mocracy to come (Moufe, 1993:6).

Dengan kata lain, demokrasi liberal memiliki kecenderungan terhadap esensia­

lisme (Moufe, 1993:7). Moufe sangat me

-waspadai kecenderungan model demokra

-si konsensus karena kerap menempatkan

mereka yang berada di luar konsensus sebagai lawan yang harus dihancurkan. Ba ginya, demokrasi mengasumsikan satu

ke rentanan dan ketidaksempurnaan se­

hingga karenanya ia perlu dipahami se­ bagai pro ses yang harus terus diperbaiki. Penerimaan terhadap pluralisme dan pe

-nolakan terhadap konsensus adalah upaya untuk memperbaiki kerentanan dan keti

-daksempurnaan tersebut.

Moufe menyebut proyeknya sebagai demokrasi pluralis agonistik. Lewat proyek ini ia berupaya melampaui kekurangan­ kekurangan yang ada dalam demokrasi liberal. Untuk mewujudkan proyek ini, Moufe berhutang budi pada Carl Schmit (1888 – 1985) dalam memaknai arti yang politis sebagai ruang konlik dan antago

-nisme. Namun, seperti pernah dikatakan Moufe, ia “berpikir dengan Schmit, untuk

melawan Schmit”, karena dengan kontri

-busi pemikiran Schmit, Moufe justru hen

-dak memperkuat proyek demokrasi liberal

yang pada awalnya bertujuan menjaga plu

-ralisme, tetapi kemudian justru menjadi ancaman bagi pluralisme (Moufe, 1993:2).

Lewat demokrasi pluralis agonistik, Moufe melakukan semacam penyegaran terhadap gagasan demokrasi liberal yang telah mengancam nasib pluralisme ka rena obsesinya terhadap konsensus rasional. Moufe ingin mengembalikan sesuatu yang dinegasi di dalam demokrasi liberal menjadi sesuatu yang harus diterima dan tidak boleh dieksklusi. Dalam demokrasi pluralis agonistik, perbedaan tidak lagi dibatasi oleh standar bahasa tertentu dan fragmentasi yang ada memiliki legitimasi

untuk mengekspresikan eksistensinya tan

-pa khawatir akan dianggap sebagai ilegal

atau irasional.

1 Chantal Moufe (lahir 1943 di Charleroi, Belgia) adalah profesor teori politik di Pusat Studi Demokrasi (the Centre of

(3)

Kritik Terhadap Liberalisme

1. Negasi atas Yang Politis

Dalam pemahaman Rawls, gagasan

liberalisme politis adalah upaya mem

-bangun kehidupan bersama yang mampu merekonsiliasi ragam moralitas dalam

komunitas politik tertentu. Melalui Politi -cal Liberalism (1993), Rawls merumuskan pertanyaannya sebagai berikut: Seberapa mungkin masyarakat yang stabil dan adil

yang semua warganya adalah bebas dan se

-tara dapat hadir sepanjang masa semen-tara masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin moral, ilsafat dan agama yang berbeda­ beda? (Rawls, 1993:xviii)2 Untuk menjawab pertanyaan itu, Rawls mengajukan ide li­ beralisme politis yang menurutnya dapat mejadi konsensus silang (overlapping con -sensus) di antara doktrin komprehensif

yang ada. Melalui ide itu, komunitas yang terdiri dari beragam doktrin komprehensif dapat dinetralisasi sehingga komunikasi antar­doktrin komprehensif yang rasional dan waras (reasonable) menjadi mungkin.3

Rawls mendeklarasikan bahwa tujuan ilsafat politik dalam demokrasi konstitu

-sional adalah mengajukan sebuah konsep politik keadilan yang tidak hanya

memberi-kan dasar kehidupan publik yang fair untuk

justiikasi sosial politik dan institusi ekono

-mi, melainkan juga memastikan ada nya sta

-bilitas dari satu generasi ke generasi beri

-kutnya. Hal penting yang digarisbawahi Moufe adalah soal pembentukan kesatu­ an sosial. Dalam masyarakat demokratis yang diidealkan Rawls, kesatuan sosial itu

dipastikan oleh konsensus silang yang di

-dasarkan pada konsep politik yang waras mengenai keadilan (Moufe, 1993: 43­44). Konsep politik yang waras mengenai ke

-adilan tidak memberikan tempat pada konsep politik partikular mengenai hidup

yang baik dari doktrin tertentu dalam ke

-hidupan publik. Dalam pandangan Rawls, konsep politik yang waras mengenai ke­ adilan harus lepas dari doktrin keagamaan dan ilsafat yang kerap menjadi titik seteru dalam masyarakat yang majemuk (Moufe,

1993:44).

Namun, menurut Moufe, pondasi yang diupayakan liberalisme politis itu meru

-pakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak akan berhasil.4 Ketidakmungkin an itu ka rena liberalisme politis menaik an sesuatu yang sangat mendasar dan men

-jadi ruh dari yang politik itu sendiri. Lib

-eralisme telah mengevakuasi dimensi yang politis dan memahami masyarakat yang

tertata baik (well-ordered society) se bagai

masyarakat yang bebas dari yang poli

-2 Pertanyaan itu muncul dari dua pertanyaan dasar yang ia ajukan untuk mencari sebuah konsep politik mengenai

keadilan dalam masyarakat demokratis. Dua pertanyaan tersebut adalah: “Konsepsi keadilan macam apakah yang paling tepat untuk mengurai kerjasama sosial yang fair dari warga negara yang bebas dan setara, dan kerjasama tersebut dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya?” Pertanyaan pertama ini dikontraskan dengan pertanyaan kedua, yang berbunyi: “Toleransi macam apakah yang dapat ditegakkan di tengah keragaman pandang­ an hidup dan moral yang ada dalam masyarakat?” (Rawls, 1993:3­4).

3 Menurut Moufe, dengan gagasan ini Rawls berupaya memberikan jembatan untuk mengatasi perbedaan pandang­

an secara netral dan rasional, namun nampaknya Rawls lupa bahwa kesepakatan yang menurutnya rasional dan netral itu sebenarnya berangkat dari satu doktrin komprehensif dari komunitas tertentu (dalam hal ini doktrin kom

-prehensif liberal). Dengan demikian prinsip netralitas dan upaya menciptakan satu konsensus yang steril dari dok

-trin komprehensif menjadi gugur dengan sendirinya. (Bdk. Moufe, 1993:55)

4 Sebenarnya ada banyak model liberalisme yang satu sama lain bisa berbeda. Namun, pandangan yang dominan

dalam aliran liberalisme adalah yang dicirikan oleh karakter rasionalis dan individualis. Menurut Moufe, liberal

(4)

tis (Moufe, 1993:139). Menurutnya, sikap liberalisme politis yang mengerangkeng pluralisme dan menempatkannya di ranah privat dilakukan untuk memuluskan jalan menuju konsensus di ranah publik (Moufe,

1993:139-140). Seluruh saluran bagi

pan-dangan atau isu yang dianggap kontrover

-sial (dalam perspektif konsensus) ditutup

rapat. Dalam argumen libera lisme politis,

hanya dengan cara itulah konsensus ra

-sional menjadi mungkin. Pada akhir nya, politik dalam liberalisme sudah dilucuti dari hasrat dan keyakinan disruptif, dan ia (individu) hanya dipahami sebagai agen rasional yang mengejar kepentingannya belaka. Moufe menyebut hal ini se bagai “negasi atas yang politis dalam libera­ lisme” (Moufe, 1993:139­140).

Memahami politik hanya sebagai pro­ ses rasional dalam negosiasi antar­individu sama saja dengan merenggut seluruh di -mensi kekuasaan (power) dan antagonisme

– yang oleh Moufe diartikan sebagai yang politis itu sendiri. Karenanya, pengertian politik semacam itu telah kehilangan ko

-drat dari yang politis. Pengertian politik dalam tradisi liberal juga telah mengabai

-kan pe ran besar hasrat (dan keyakinan)

yang dapat menggerakkan perilaku ma

-nusia. Menurut Moufe, klaim liberal yang menyatakan bahwa konsensus rasional yang universal dapat diproduksi lewat dialog yang tidak terdistorsi dan (klaim)

bahwa nalar publik yang bebas dapat men

-jamin imparsialitas negara, hanya akan

mengakibatkan negasi atas antagonisme

yang sebenarnya tidak mungkin dinegasi dalam relasi sosial.

Menurutnya, yang telah dilakukan li­ beralisme terhadap bangunan demokrasi tidak lain merupakan perapuhan institusi demokrasi itu sendiri. Meski yang politis dinegasi, tidak berarti bahwa keberadaan

yang politis menjadi hilang. Menurut Moufe, negasi atas yang politis terjadi ka rena kebingungan liberalisme dalam menghadapi manifestasi yang politis dan

ketidak mampuan untuk melakukan deal

dengan manifestasi tersebut (Moufe,

1993:140).

Liberalisme, sejauh diformulasikan da lam bingkai rasionalistik dan individu

-alistik, telah mengabaikan eksistensi dari yang politis dan menipu diri sendiri dalam melihat kodrat yang politis. Ia lupa bahwa yang politis sebenarnya berurusan dengan upaya mengkonstruksi identitas kolektif dan menciptakan “kami” yang beroposisi

dengan “mereka”. Menurut Moufe, poli

-tik harus berhubungan dengan konlik dan antagonisme. Setiap konsensus yang diproduksi oleh liberalisme selalu didasar

-kan pada tinda-kan eksklusi dan kita (se

-benarnya) tidak akan pernah sampai pada level konsensus rasional yang inklusif (Moufe, 1993:140­141). Untuk menjelaskan hal ini Moufe meminjam gagasan Derrida

tentang “constitutive outside.”5

Pembentukan identitas selalu didasar

-kan pada eksklusi a-kan sesuatu dan men

-ciptakan hirarki kekerasan dalam opo

-sisi biner: bentuk­materi, esensi­aksiden, hitam­putih, pria­wanita dan seterusnya.

Dengan gagasan “constitutive outside,”

Moufe mau mengatakan bahwa tidak ada identitas yang menyatakan untuk dirinya sendiri. Ia selalu dikonstitusikan oleh tin

-dakan kekuasaan. Dalam realitas sosial objektif apapun, kita melihat bahwa selu

-ruh sistem relasi sosial pada dirinya sudah bersifat politis, dan tindakan itu sudah selalu berhubungan dengan kekuasaan (Moufe, 1993:141).

Laclau menambahkan bahwa kekuasa­

an (power) tidak harus dimaknai sebagai

relasi eksternal yang ada di antara dua

(5)

identitas yang belum saling mengkonsti -tusikan. Kekuasaan (power) baginya adalah

daya yang mengkonstitusi identitas­iden

-titas itu sendiri. Sistem organisasi sosial (sebagaimana yang ada dalam liberalisme) berupaya mengurangi marjin dari sesuatu yang tidak bisa diputuskan (undecidability)

dari relasi antar­komunitas yang plural

demi mencapai keputusan yang didasar

-kan pada konsensus. Upaya mengurangi

marjin dari sesuatu yang tidak bisa dipu

-tuskan adalah gejala penegasian akan yang politis. Padahal setiap upaya yang bertu

-juan menekan yang politis adalah tidak

mungkin. Upaya semacam itu, menurut

-nya, tidak akan pernah rampung. Segala tindakan yang ber upaya menegasi yang politis masuk dalam kategori kekerasan (Moufe, 1993:141).

2. Rasionalitas dan Netralitas

Dalam liberalisme politis, menurut

Moufe, pluralisme sebenarnya tidak beri ruang secara total karena ada pandangan­

pandangan yang harus dieksklusi dari are

-na komunikasi publik (Moufe, 1993:142). Standar yang dipakai untuk mengeksklusi kelompok tertentu dalam sistem liberal

-isme politis adalah prinsip rasionalitas ( ra-tional) dan kewarasan (reasonable). Namun

dalam pembelaan liberalisme, eksklusi itu sendiri lahir dari satu kesepakatan yang bebas dan prosedur rasional yang

steril dari relasi kuasa. Namun yang men

-jadi pertanya an Moufe kemudian adalah

bagaimana mungkin sebuah eksklusi lahir

dari proses yang netral?

Dalam merumuskan konsep netralitas,

Charles Larmore memahaminya sebagai

upaya meminimalisasi konsep atau doktrin

mengenai hidup yang baik dalam komuni

-kasi publik.6 Dengan cara itu, komunikasi publik diharapkan menjadi netral dari pe­ ngaruh nilai atau doktrin yang berasal dari komunitas tertentu dalam masyarakat, se­ hingga karenanya komunikasi yang rasio­ nal menjadi mungkin (Moufe, 1993:142). Bagi Larmore sendiri, prinsip netralitas merupakan sesuatu yang penting dalam

membangun komunikasi di antara komu

-nitas yang sangat plural secara sehat dan tanpa dominasi.

Lantas bagaimana dengan mereka yang menentang prinsip netralitas ini? Larmore akan menjawab bahwa mereka yang menentang akan dianggap sebagai kelompok irasional dan tidak tidak waras

(unreasonable). Atas dasar ini, Moufe men

-coba mengkritik standar rasionalitas dan kewarasan (reasonable) yang diandaikan liberalisme. Siapa yang berhak menentu

-kan waras dan tidak waras? Menurutnya standarisasi mengenai rasionalitas dan rea-sonable (waras dan tidak waras) tidak lepas dari permainan bahasa (language game) dari

kelompok yang berkuasa.

Dalam arti itu, standarisasi adalah ba

-gian dari proses hegemoni dan hasil se­ dimentasi dalam masyarakat oleh kekuasa­ an tertentu. Dalam demokrasi modern, kita dapat mempertanyakan standar rasionali­

tas dan kewarasan yang diajukan oleh se

-buah sistem. Dalam hal ini, Moufe juga

menggugat klaim universalitas yang men

-jadi bagian dari prinsip liberalisme. Meng

-utip Judith Butler, segala upaya yang ber

-maksud memapankan satu norma de ngan

6 Pandangan Larmore ini sebenarnya masih relatif moderat bila dibanding dengan sikap Rawls mengenai doktrin

komprehensif dalam Political Liberalism. Melalui gagasan konsensus tumpangsuh (overlapping consesnsus), Rawls

mencoba mendesain satu model komunikasi di mana pandangan­pandangan yang irasional akan gugur dengan sendirinya dalam komunikasi politik (bdk. Freeman, 2007:366­367). Dengan asumsi ini, dalam konsensus tumpang

-suh, doktrin komprehensif tidak hanya diminimalisasi, tetapi dievakuasi ke dalam ruang yang disebut sebagai bu

(6)

(maksud) melampaui kekuasaan (power)

dan pemaksaan (forceful) adalah juga prak

-tik konseptual yang (sebenarnya) mema

-sukan unsur kekuasaan dan pemaksaan (Moufe, 1993:142­143).

Menurut Moufe, standar yang sama juga dilakukan oleh Rawls. Konsep libera­ lis me politis­nya tidak memungkinkan pluralisme dalam arti total. Ia mensyarat

-kan prinsip rasionalitas dan kewarasan dalam hidup bersama. Pandangan Rawls ini sebenarnya merupakan konsekuensi praktis dari teori keadilannya. Konsepsi keadilan macam apa yang paling cocok untuk merea lisasikan nilai kebebasan dan kesetaraan dalam institusi politik? Jawa

-bannya adalah komunikasi publik politis yang steril dari salah satu pandangan atau doktrin yang ada dalam masyarakat. Ko

-munikasi juga dibangun atas dasar prinsip rasional dan kewarasan. Dengan kata lain, prinsip netralitas menjadi pengandaian yang pen ting dalam pandangan Rawls (Moufe, 1993:143).7

7. Moralitas dan Kesepakatan

Moralitas dalam pengertian liberal adalah paham atau doktrin tentang ke

-hidupan yang baik. Ruang gerak moralitas dalam pengertian ini dibatasi agar tidak mengeks pansi ke ranah publik. Pandan

-gan mengenai hidup yang baik­­­Rawls

menyebutnya sebagai doktrin komprehen

-sif ­­­harus dipisahkan dari ruang politik yang bersifat publik. Salah seorang yang juga ber upaya menjustiikasi pemisahan ini adalah Thomas Nagel, ilsuf Amerika

kelahiran Belgrade,Yugoslavia pada 1937, yang sekarang menjabat sebagai Profesor Filsafat dan Hukum di New York University.

Menurutnya, hal yang sulit dalam teori politik adalah bahwa institusi politik dan justiikasi teoritisnya harus mengeks­ ternalisasi tuntutan impersonal (Moufe,

1993:147). Nagel yakin bahwa untuk mem

-pertahankan tatanan politis yang dapat

diterima maka kita harus mampu men

-capai titik imparsialitas tersebut. Melalui gagasannya mengenai parsialitas – se­

bagaimana tertuang dalam bukunya Equal

-ity and Partial-ity (Oxford University Press,

1991) Nagel menegaskan bahwa sese­

orang sampai pada posisi liberal ketika ia sanggup menye tarakan pandangan moral

tertentu dalam cara pandang yang impar

-sial (Moufe, 1993:147­148).

Upaya untuk mencapai titik imparsiali

-tas dilakukan agar para anggota komuni

-tas politik sampai pada kesepakatan yang lejitim. Kemampuan ini terkait dengan pencarian konsensus silang di antara ke

-lompok yang beragam. Bagi para pemikir liberal, konsensus dalam sebuah komunitas politik yang beragam merupakan hal yang sangat penting. Untuk mengupayakan itu,

mereka akan mendiskualiikasi setiap pan

-dangan yang mendestabilisasi konsensus.

Dengan demikian, bila kita masih menye

-but pluralisme dalam teori liberal maka ia merujuk pada ranah privat yang sangat ter

-batas (Moufe, 1993:148 ­ 149).

Dalam pandangan Moufe, ide konsen

-sus semacam ini sangat berbahaya karena

akan mengancam esensi pluralis me itu

7 Salah satu gagasan penting Rawls mengenai keadilan ada dalam ide tentang posisi asali (the original position). Ketika

mereleksikan suatu teori keadilan, kita perlu membuat sebuah pengandaian dasar bahwa setiap orang yang hendak membuat sebuah putusan bersama berada dalam kondisi di mana mereka tidak mengetahui posisi mereka ketika

hukum tersebut bekerja (veil of ignorance). Mereka tidak mengetahui apakah nantinya mereka akan menjadi bagian

(7)

sendiri. Baginya, komitmen ter hadap de

-mokrasi dan pluralisme seharusnya mem

-berikan ruang pada berbagai pandang an di ranah publik. Setiap pandangan dapat

dikontestasikan secara terbuka tanpa kha

-watir akan didiskualiikasi. Pandangan,

paham, atau doktrin yang ada dalam ma

-syarakat tidak dibatasi ruangnya hanya pada wilayah privat. Bagi Moufe, keper

-cayaan pada idealitas mengenai ruang publik yang non­eksklusif dan konsensus yang non­koersif adalah ilusi jika standar yang dibuat oleh pemikir liberal masih diberlakukan. Agar ia tidak menjadi ilusi maka kita harus membuang standar yang

menjadi alat eksklusi dan membiarkan ber

-bagai pandangan dan ide masuk ke arena publik untuk dikontestasikan secara terbu

-ka (bdk. Moufe, 1993:149).

4. Demokrasi Pluralis Agonistik a. Pluralisme dan Undecidability

Tradisi liberal cenderung pada kon

-sensus dan kerap menghindari ruang dis

-kusi terbuka karena dianggap mengancam

konsensus. Moufe mencoba mengatasi ke

-cenderungan semacam ini dengan meng­ ajukan model demokrasi yang membuka

ruang bagi mereka yang memiliki cara ber

-pikir berbeda. Untuk mewujudkan proyek

demokrasi semacam ini, kita harus meneri

-ma dan me-mapankan status “tanpa dasar”

(ungrounded) yang dengannya dapat me

-wadahi seluruh proses dialog atau komu

-nikasi tanpa distorsi. Moufe menyebut model komunikasi semacam itu sebagai model komunikasi antagonistik (Moufe,

1993:144-145).

Filsafat politik yang memberikan ru

-ang pada kontingensi dan undecidability

ba-rangkali akan dianggap aneh dalam tradi

-si liberal. Namun Moufe justru hendak menunjukkan bahwa upaya membangun komunikasi yang rasional dan waras me

-miliki konsekuensi pada eksklusi me reka yang dianggap tidak rasional dan tidak

waras. Tindakan semacam itu akan dipa

-hami sebagai tindak kekerasan. Ia sendiri mengakui bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menghindari praktik eksklusi atas beberapa pandangan tertentu.

Namun hal yang penting adalah bah

-wa kita menyadari adanya bentuk­bentuk “eks klusi” dan “kekerasan”. Yang ia hindari adalah bentuk eksklusi dan kekerasan yang mengatasnamakan prinsip netralitas dan rasionalitas (Moufe, 1993:145­146). Prinsip yang diandaikan dalam pemikiran liberal yang atas nama itu mereka beranggapan tidak melakukan tindakan eksklusi.

Moufe berpandangan bahwa kekhasan demokrasi pluralis bukan meletak pada soal dominasi dan kekerasan. Yang di­ ajukan oleh demokrasi pluralis adalah se­ perangkat institusi yang dapat dibatasi dan dikontestasikan. Karenanya, demokrasi plu ralis tetap merawat pemisahan (split)

antara hukum dan keadilan. Baginya ke

-adilan adalah sesuatu yang tidak mungkin,

dalam arti bahwa keadilan tidak akan men

-capai dasar nalar hukum yang betul­betul memadai (Moufe, 1993:146). Kita tidak

bisa mengatakan bahwa keadilan dapat di

-capai seraya menyamarkan kekerasan atas nama netralitas dan rasionalitas. Demokra

-si pada dirinya ber-sifat tidak sempurna, dan ia akan tercederai bila kita me ngatakan

bahwa rongak (gap) antara hukum dan ke­

adilan dapat diatasi (bdk. Moufe, 1993:146) Bagi Moufe, untuk menghindari ma­ salah yang ada dalam liberalisme, yang harus dilakukan adalah melepas ide li­ beralisme yang paling dasar, yakni kecen­ derungan pada konsensus politik rasional itu sendiri. Gagasan mengenai konsensus rasional tidak menjawab persoalan dan sangat sulit untuk ditransformasikan. Ide konsensus yang digagas Rawls (dan juga Larmore) sangat tidak kondusif bagi plu

-ralisme. Kecenderungan yang terjadi dalam

liberalisme justru mengarah pada ho

(8)

an (perbedaan) dan kontestasi dalam ru

-ang politik (Moufe, 1993:146).

Moufe memahami pluralisme demo­

kratis sebagai ruang ekspresi terbuka bagi

berbagai simbol. Dalam masyarakat seperti ini, kekuasaan, hukum dan pengetahuan ditampilkan dalam indeterminasi radikal. Masyarakat menjadi teater dari petualang­ an yang tidak perlu dikontrol (Moufe,

1993:147).

b. Proyek Demokrasi Pluralis

Yang politis (the political) dalam demo­

krasi liberal cenderung dinegasi demi men

-capai konsensus. Padahal yang disebut

dengan yang politis tidak mungkin dinega

-si dan dihapus. Karena ketidakmungkinan ini maka proyek sentral dari demokrasi

pluralis adalah menciptakan ruang ke

-mungkinan bagi yang politis untuk tampil dalam wajahnya yang paling radikal. Pada awalnya, motif dasar demokrasi liberal se

-benarnya juga berupaya melahirkan ruang di mana yang plural itu tetap terjaga dan tidak ada eksklusi. Political Liberalism Raw

-ls kurang lebih menggambarkan proyek

tersebut.

Namun sayangnya hal yang dilupakan oleh pemikir liberal adalah bahwa yang mereka anggap sebagai sesuatu yang netral dan imparsial ternyata sudah terboncengi

dengan sendirinya oleh pandangan­pan

-dangan liberal. Karenanya, upaya pemikir liberal untuk merawat pluralisme justru berujung pada eksklusi yang plural itu sendiri karena harus mengevakuasi pan

-dangan yang tidak segaris dengan prinsip liberal (Moufe, 1993:151).

Melalui demokrasi pluralis, Moufe

menegaskan bahwa tidak ada satu kelom

-pok atau pandangan dalam komunitas politik yang merasa berhak mendominasi yang lain dan mengklaim dirinya sebagai fondasi masyarakat. Relasi sosial dapat disebut demokratis sejauh mereka mene­ rima partikularitas dan keterbatasan ma­

sing­masing. Moufe tidak percaya dengan konsensus (liberal) yang didasarkan pada rasionalitas dan imparsialitas. Alih­alih mengupayakan hal yang tidak mungkin, berikut Moufe bertanya, tidakkah sebaik­ nya kita menciptakan satu kemungkinan

di mana yang antagonistik menemukan ru

-angnya?

Dalam ruang itu, yang plural dapat memanifestasikan dirinya. Jika yang plural dapat diselamatkan maka yang demokratis juga akan menemukan wujudnya. Ka rena bagi Moufe, salah satu tujuan strategis demokrasi pluralis adalah memapankan nilai­nilai dan praktik­praktik hidup de

-mokratis itu sendiri (Moufe, 1993:151). Bahkan, bagi Moufe, tujuan dasar demo krasi pluralis tidak hanya mencip

-takan ruang bagi pluralisme budaya dan bentuk kolektif kehidupan, tetapi juga plu

-ralisme subjek, pilihan individu dan kon

-sep mengenai yang baik. Semua itu meru

-pakan hal penting dan mendasar dalam diskursus mengenai yang politik. Rezim politik yang demokratis seharusnya men

-jadi tempat “diputuskannya sesuatu yang tidak dapat diputuskan” (undecidability de -cided). Keharusan ini menjadi tidak mung

-kin tanpa adanya “constitutive outside”

(Moufe, 1993:152). “Constitutive outside”

dipahami sebagai airmasi kita atas yang lain, yang karena airmasi itu maka kita menjadi ada (bdk. Moufe, 1993:69, 85). Dengan pe negasan ini, demokrasi pluralis selalu meng andaikan relasi antagonisme antara kami dan mereka.

c. Dari Antagonisme ke Agonisme Terma agonistik sebenarnya bukan is

-tilah khas Moufe. Ada beberapa pemikir lain yang juga menggunakan terma ini, misalnya William E. Connolly (Profesor Ilmu Politik di Johns Hopkins University),

Bonnie Honig (Profesor Ilmu Politik di

(9)

Governance, dan Filsafat di University of Victoria, Kanada, sejak 2003). Namun ada

perbedaan mendasar pengertian agonistik yang dipahami Moufe dibanding pemikir­ pemikir tersebut. Moufe lebih memahami agonistik sebagai ruang konlik dan anta­ gonisme, sementara yang lain pada um

-umnya lebih memahami itu sebagai ru

-ang kebebasan dan deliberasi, pengertian

the political yang diinspirasi dari Arendt

(Moufe, 2005:20).

Konsep konlik dan antagonisme men

-jadi kata kunci dalam demokrasi agonis

-tik. Namun perlu dicatat bahwa penger

-tian konlik yang dipahami Moufe bukan dalam arti konlik permusuhan di mana yang lain dianggap sebagai lawan yang harus dihancurkan. Konlik di sini lebih

diartikan sebagai satu ruang di mana per

-bedaan adalah sebuah keniscayaan dan se

-tiap perbedaan pada dirinya bersifat lejitim dan tidak ada satu bagian yang menjadi fondasi bagi yang lain. Setiap bagian me

-miliki hak untuk menyatakan pendapatnya tanpa khawatir akan dianggap ilegal atau

irasional.

Moufe menilai bahwa ruang konlik dan antagonisme semacam ini yang absen dalam demokrasi liberal. Demokrasi liberal menutup ruang konlik dan antagonisme,

dan mereka mengubahnya menjadi kon

-sensus rasional. Berangkat dari pengertian yang politik sebagai konlik dan antago

-nisme, maka bangunan demokrasi agonis

-tik Moufe didasarkan pada semangat kon

-lik dan antagonisme itu. Namun Moufe sendiri kemudian berupaya menjinakkan istilah antagonisme menjadi agonis. Jika di dalam antagonisme, relasi kita­mereka dianggap sebagai relasi permusuhan yang tidak memiliki titik temu sama sekali, di dalam agonistik meski tidak ada solusi rasional bagi konlik yang mereka alami,

namun mereka tetap mengakui legitimasi

lawan. Menurut Moufe, salah tugas dari

demokrasi adalah mentransformasi an

-tagonisme menjadi agonisme (Moufe,

2005:20). Dalam bahasa lain, antagonisme

yang identik dengan kekasaran diperhalus dalam agonisme. Konlik dalam agonisme

tidak bertujuan menghancurkan lawan na

-mun justru ditujukan untuk merawat ru

-ang konlik itu sendiri.

Istilah lawan yang terlibat dalam kon

-lik tidak dipahami dalam pengertian “

ene-my”, namun lebih diartikan sebagai “adver -sary.” Dengan pengertian adversary, maka

meski mereka terlibat di dalam konlik,

namun masing-masing memiliki

legitima-si yang setara dan tidak menghancurkan mereka yang dianggap sebagai lawan. Bagi

Moufe, model relasi adversarial sema

-cam ini harus dianggap sebagai sesuatu yang konstitutif dalam demokrasi (Moufe,

2005:20).

Model ini tidak lepas dari tesis sentral Moufe (bersama Ernesto Laclau) dalam

Hegemony and Socialist Strategy (1985)

bah-wa objektivitas sosial dikonstitusikan me

-lalui tindakan kuasa (acts of power). Dengan tesis ini maka objektivitas sosial apapun

pada dirinya sudah dalam pengertian yang politis. Kekuasaan menurut Moufe tidak dimaknai sebagai relasi eks ternal yang mengambil tempat di antara dua identitas yang belum dikonstitusikan. Kekuasaan justru lebih dimaknai sebagai aktivitas mengkonstitusikan identitas itu sendiri (Moufe, 2000:99).

Dengan pendasaran di atas maka de­ mo krasi agonistik sebenarnya hendak meng airmasi konlik dan antagonisme sebagai relasi yang tidak bisa dieliminasi. Yang dapat kita lakukan sebenarnya hanya

meng haluskan proses konlik dan antago

-nisme itu. Dalam liberalisme, ada kecen

-derungan untuk menghapus konlik, an

-tagonisme dan lawan (dalam pengertian

adversary). Liberalisme hanya memahami lawan sebagai kompetitor yang memiliki tujuan merebut kekuasaan, yang dengan

(10)

mengeluar-kan lawannya (bdk. Moufe, 2005:21). De -mokrasi agonis justru memahami

kon-lik dan antagonisme sebagai proses yang

terus-menerus tanpa inal dan tanpa kon

-sensus. Kalaupun ada kompromi, itu lebih dipahami sebagai peristirahatan sejenak di tengah konfrontasi yang sedang ber

-langsung (bdk. Moufe, 2000:102). Dengan

demokrasi pluralis agonis, Moufe me

-nampilkan satu realitas sosial yang tidak luput dari relasi kuasa dan membuka ru

-ang bagi y-ang politis untuk tampil dalam konlik agonis.

Catatan atas Kritik

Pada bagian akhir tulisan ini, saya menco

-ba memberikan beberapa catatan atas kri

-tik Moufe terhadap liberalisme Rawls.

Catatan yang pertama, bila kita mem

-baca proyek dasar dalam Political Liberalism

Rawls, motivasinya berangkat dari realitas

kemajemukan pandangan (doktrin kom

-prehensif). Dalam menghadapi realitas semacam ini, Rawls bertanya: prinsip poli

-tik macam apakah yang dapat djadikan ruang hidup bersama? Jawabannya cukup jelas: prinsip tersebut tidak berasal dari satu doktrin komprehensif tertentu yang ada dalam masyarakat. Setiap komunitas

harus mampu menahan diri dan mengeks­ presikan budaya latarnya (background cul -ture) dalam kehidupan publik secara selek­ tif.

Dalam ranah publik, hanya ekspresi

yang masuk dalam kategori konsensus si

-lang (overlapping consensus) yang dapat di­ tampilkan. Ide mengenai konsensus silang merupakan upaya untuk menghindari kolonisasi satu doktrin komprehensif atas doktrin komprehensif yang lain. Kritik

Moufe yang menilai konsensus silang se

-bagai alat untuk mengeksklusi mereka

yang tidak segaris dapat dibenarkan jika komunikasi di ruang publik menolak to

-tal seluruh bahasa partikular yang berasal dari doktrin komprehensif. Rawls tentu ti

-dak bermaksud membendung seluruh ba

-hasa partikular dari doktrin komprehensif. Yang ia lakukan adalah pembatasan dan penyesuaian bahasa partikular agar dapat dipahami dan tidak menjadi ancaman bagi

kelompok lain.

Proyek Rawls tentu bukan tanpa ke­

lemahan. Kritik terpenting ada pada pem

-batasan yang sangat rjid dan kaku bagi pandangan partikular dalam kehidup an publik. Penulis menilai bahwa keresahan Moufe yang paling dasar berakar pada rigiditas komunikasi publik Rawls ini, se

-8 Salah satu masalah yang dianggap krusial dalam Political Liberalism adalah minimnya ruang dialog yang terbuka. Habermas

mencoba menegaskan kembali signiikansi dialog dalam masyarakat yang beragam. Hal ini ia singgung dalam menang

-gapi relasi perspektif sekular dan perspektif yang didasarkan pada iman/agama. Ia melihat bahwa pandangan miring ke

(11)

hingga karenanya yang politis terevakuasi. Keresahan ini tidak hanya muncul dari Moufe, tetapi juga Habermas, Sen, Dostert dan lain­lain.8 Namun keberatan ini tidak berarti bahwa kita harus menolak kehadir­ an standarisasi komunikasi publik di an

-tara komunitas yang plural. Penulis sulit membayangkan komunikasi publik yang tidak memiliki standar bahasa publik di mana ada pembatasan dan penyesuaian bahasa partikular dalam kehidupan publik. Prinsip paling mendasar dalam liberalisme politis adalah upaya mencari konsensus si

-lang di antara pandangan yang sangat be

-ragam (Freeman, 2007:366). Dalam meng­ upayakan hal itu, Rawls tidak menolak bahasa partikular sejauh ia sudah disesuai

-kan dengan nalar publik. Dengan motivasi ini kita dapat mengerti bahwa gagasan li­

beralisme politis merupakan konsekuensi

dari persoalan yang lebih mendasar, yakni persoalan keadilan itu sendiri. Membatasi

ruang doktrin komprehensif di dalam ke

-hidupan publik adalah upaya untuk me­ netralisasi potensi kekuasaan destruktif ke lompok tertentu terhadap kelompok lain. Dengan kata lain, di dalam kehidupan pub lik, apapun latar belakangnya, setiap warga negara harus kita tempatkan pada posisi di mana kebebasan mereka memiliki keluasan yang setara.

Catatan yang kedua, penulis ingin

menunjukkan letak masalah mengapa kita

membutuhkan standar komunikasi publik. Melalui ide demokrasi pluralis agonistik,

meski menjadi ruang komunikasi yang ter

-buka bagi siapapun, Moufe tentu menolak

kehadiran kelompok­kelompok yang cen

-derung mentotalisasi pihak lain. Contoh

yang dapat diangkat adalah kehadiran ke

-lompok agama yang memahami pihak lain sebagai lawan yang harus dihancurkan atau diluruskan sehingga sesuai dengan harapan yang mereka pancangkan. Dalam kasus Indonesia misalnya, bagaimana kita

menempatkan kelompok-kelompok agama

– dalam hal ini Islam – garis keras dalam kehidupan publik. Sejauh ini me reka me

-nikmati kebebasan yang disediakan de

-mokrasi untuk tampil di ranah publik. Ru

-ang kebebasan y-ang mereka nikmati justru

digunakan untuk menghancurkan kebe

-basan pihak lain.

Baik Moufe, dan terlebih Rawls tentu tidak memahami kebebasan demokrasi dalam arti ini. Melalui liberalisme politis, Rawls akan merespon kasus ini dengan menekankan pentingnya konsensus si lang

sehingga kelompok Islam garis keras harus

belajar bagaimana bertindak sesuai de ngan nilai dan nalar kepublikan. Sementara Moufe juga akan menolak kelompok yang melakukan tindakan destruktif terhadap

yang lain atas nama kebebasan dalam de

-mokrasi. Dengan demikian, meski Moufe menyediakan ruang yang terbuka bagi setiap pandangan, namun ia tetap mem

-berikan batasan pada kelompok­ke lompok yang akan mengeksklusi kelompok lain. Selalu ada syarat dan standar yang harus

diajukan ketika kita membangun komu

-nikasi di ranah publik. Bedanya, Rawls berasumsi bahwa pembatasan itu bersifat netral sementara Moufe mengganggapnya tidak demikian.

Catatan yang ketiga, saya mencoba meraba model yang diajukan Moufe, di manakah letak momen keputusan dalam demokrasi agonis Moufe? Jika ia me­

ngatakan bahwa momen itu dipahami se

-bagai peristirahatan sejenak, saya melihat

porsi mengenai momen keputusan tidak

-lah besar dalam demokrasi agonis Moufe. Hal ini bisa dipahami karena gagasan dasar dari demokrasi agonis adalah anti­inalitas sehingga karenanya konsensus menjadi absen. Namun dalam hemat saya, betapa­ pun kita memahami kehidupan demokrasi

agonis sebagai antagonisme tanpa akhir,

(12)

perlu kita buat dalam kehidupan bersa

-ma, meskipun kesepakatan itu tidak inal. Dalam soal ini, saya melihat Moufe tidak

memberikan porsi yang memadai menge

-nai momen kesepakatan dalam kehidupan bersama yang kerap menuntut keputusan.

Daftar Pustaka

Dostert, Troy. (2006). Beyond Political Li-beralism: Toward a Post-Secular Ethics of Public Life. Notre Dame, Indiana: Uni

-versity of Notre Dame Press .

Farrelly, Colin. (2004). An Introduction to Contemporary Political Theory. London: Sage Publication.

Freeman, Samuel. (2007). Rawls: The Philos -ophers Series.New York:Routledge.

Habermas, Jürgen. (2008). Between Natu-ralism and Religion: Philosophical Essays.

Diterjemahkan oleh Ciaran Cronin.

Cambridge: Polity Press.

Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko.

(2010). Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan.

Pe-nerbit Lamalera dan PePe-nerbit Ledalero Moufe, Chantal. (2005). On The Political.

London: Routledge.

_____. (2000). The Democratic Paradox. Lon

-don: Verso.

_____. (1993). The Return of The Political,

London: Verso.

Rawls, John (2001). Justice as Fairness: A Re -statement. Cambridge, Mass.: The Belk­

nap Press/Harvard University Press

_____. (1993). Political Liberalism, Columbia

University Press, New York

Sen, Amartya. (2009). The Idea of Justice.

Massachusets, Cambridge, Mass.: The Belknap Press/Harvard University

Referensi

Dokumen terkait

Adanya strategi pemecahan masalah diperlukan untuk mempermudah mengatasi masalah yang muncul berkaitan dengan perancangan fesyen eksklusif lewat eksplorasi motif

Sistem pengukuran kinerja BSC yang menggunakan beragam ukuran baik keuangan maupun non keuangan menunjukkan adanya target dan sasaran khusus yang lebih jelas untuk dicapai

[r]

Tingkat kemampuan berfikir abstraksi peserta didik pada suatu kelas berbeda- beda. Berpikir abstrak dalam hal ini adalah suatu kemampuan menemukan cara- cara dalam

Edutown BSD City, Kavling Edu I No.1 Telp.. MT Haryono 908 Tempel Foto

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Untuk pernyataan positif, jawaban yang diberkan oleh individu yang memiliki sikap positif harus diberi nilai atau bobot skor yang lebih tinggi dari jawaban

 Wacana lengkap, unsur bahasa bervariasi dan menggunakan ungkapan yang menarik  Idea relevan, huraian jelas dan matang.. Baik 20-25  Menepati tema