• Tidak ada hasil yang ditemukan

444648f9512fe3bda8c9a01b1c61673a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "444648f9512fe3bda8c9a01b1c61673a"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya 1

PERBEDAAN KEPADATAN LALAT YANG HINGGAP PADA FLY GRILL YANG

BERBEDA WARNA DI PASAR SRIMANGUNAN

Zufra Inayah**), Hermanta **), Diah Fidayanti*)

**) Dosen Prodi Kesehatan MasyarakatSTIKES Insan Unggul Surabaya ABSTRACT

Introduction :The fly isone of the insect ordodiphtera, the insect as apair of wing-shaped membrane. all parts of the body may play a rolein spreading the disease. for it is necessary to control flies that can be based on the biological aspects of flies. Fly like insectsin general have asensitivity to different light wave lengths (colors). The purpose of this studyis to determine the differences in the density of flies that settle on the flya different grille colors. Method :This type of research is the field experiments, including experiments and pseudoscience. Market research conducted in polling stations Srimangunan for 7 days and every day carried out two times of measurement. The data collection is done by counting the number of flies that settle on the fly a different grille colors (blue, green, yellow and red) for 30 seconds, do 10 times the calculation of the highest and 5 averaged calculations. The data obtained were analyzed using ANOVA test with the degree of α error of 0.05.

Result :The results showed that there are differences in the density of flies that settle on the fly a different grille colors. Based on measures ANOVA test results obtained, which means p = 0.004 p <α 0.05. The most preferred coloris yellow flies, and the most disliked blue flies. The temperature eat whichat 06:00 pm at 28oCand 12:00 pm 30oC–32oC, while the humidity at 06:00 pm ranged between 81% - 87% and at 12:00 pm ranged between 64% - 76%.

Conclusion : In conclusion, it was found that there are differences in the density of flies that settle on the fly a different grille colors. The most preferred coloris yellow flies, and the most disliked blue. Suggested uses should cover food or beveragesor blue bins.

Keywords: Color Fly Grill, Density Flies

PENDAHULUAN

Lalat merupakan salah satu serangga yang selain mengganggu kenyamanan juga mempengaruhi kesehatan manusia. Lalat dapat membawa kuman penyakit dari tempat perindukan misalnya yang menempel pada tubuh, kaki atau bulu-bulu kaki dan dipindahkan ke makanan atau minuman sehingga dapat menimbulkan penyakit bagi yang memakannya. Salah satu penyakit yang disebabkan melalui perantara lalat yaitu diare akut yang masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, serta lalat sangat besar peranannya sebagai vektor biologis dalam penyebaran penyakit seperti thypus, diare, disentri, cholera, trachoma dan parathypus.[6]

Lalat pengganggu kesehatan tergolong ke dalam ordo Dipteria sub ordo Cyclophardan anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 species lebih di seluruh dunia. Berbagai famili yang penting antara lain adalah Muscidae (berbagai jenis lalat rumah, kandang lalat tanduk), Calliphoridae (lalat hijau) dan Sarcophagodae (berbagai jenis lalat daging). Sumber makanan lalat bervariasi mulai dari kotoran hewan atau manusia, makanan manusia dan berbagai parasit dari alam atau luar tubuh manusia[6]

(2)

hidupnya; b) tempat perindukan lalat yaitu kotoran kuda, babi, ayam, sapi, kotoran manusia dan saluran air kotor, sampah, kotoran got yang membusuk, buah-buahan, dan sayuran busuk, biji-bijian busuk, kertas dan kotoran lainnya yang busuk menjadi tempat yang baik untuk berkembang biak lalat; c) jarak terbang lalat rata-rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempatberbiaknya; d) umur lalat antara 1-2 bulan dan ada yang 6-12bulan; e) kebiasaan makan lalat tertarik pada makanan yang di makanan manusia sehari-hari, seperti gula, susu, dan makanan lainnya kotoran manusia serta darah; f) tempat istirahatpada lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat menyukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal; g) lama kehidupan lalat sangat tergantung pada makanan, air dan temperatur. Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu, sedangkan musim dingin bisa mencapai 70 hari; h) lalat mulai terbang pada temperatur 15oC dan aktifitas optimumnya pada temperatur 21oC. pada temperatur dibawah 7,5oC tidak aktif dan diatas 45oC

terjadi kematian pada lalat; i) kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Lalat beraktifitas optimal pada kelembaban antara 50%-90%; j) selalu bergerak menuju sinar dan pada malam hari tidak aktif, kecuali ada sinar buatan. Efek cahaya pada lalat tergantung pada suhu dan kelembaban.

Penyakit yang dapat ditularkan melalui perantara lalat antara lain:

1. Penyakit tidur

Penyakit tidurdisebabkan oleh tripanosoma gambiense, tripanosoma rodesiense dan ditularkan oleh lalat melalui gigitan.

2. Cholera

Penyakit cholera disebabkan oleh vibrio choleradan ditularkan oleh lalat rumah melalui kontaminasi makanan.

3. Disentri amoeba

Penyakit disentri amoebadisebabkan oleh entamoeba histolitica dan ditularkan lalat rumah melalui kontaminasi makanan.

4. Disentri basilaris

Penyakit disentri basilaris disebabkan oleh shigella dysentriae dan ditularkan lalat rumah melalui kontaminasi makanan.

5. Typus abdominalis

Penyakit typus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhi dan ditularkan oleh lalat rumah melalui pencemaran makanan dan air.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan lalat sebagai berikut:

1. Makanan

Lalat tertarik pada bau-bauan yang busuk, serta bau dari makanan ataupun minuman yang merangsang dan membutuhkan makanan yang cukup untuk berkembang biak. Lalat rumah tertarik pada kelembaban, makanan manis dan bereaksi pada barang yang membusuk.

2. Jenis sampah

Dari berbagai macam jenis sampah, yang paling disenangi oleh lalat musca domestica untuk berkembang biak. Sifat dari jenis sampah ini adalah mudah membusuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga menjadi daya tarik lalat. [2]

(3)

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya 3 Gambar 1.Fly Grill

Pengukuran tingkat kepadatan lalat perlu dilakukan untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu tentang kapan, dimana, dan bagaimana pengendalian akan dilakukan. Demikian pula sesudah pengendalian, pengukuran kepadatan lalat diperlukan untuk monitoring dan penilaian pengendalian. Tujuan pengukuran tingkat kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat dan tempat berkembang biaknya lalat. Persiapan pengukuran yaitu untuk mengukur tingkat kepadatan lalat dapat dipakai beberapa cara, namun cara yang paling mudah, murah dan cepat adalah dengan menggunakan fly grill.[3]

Cara Pengukuran Kepadatan Lalat: a) dilakukan pemetaan lokasi pengukuran kepadatan lalat untuk menentukan titik lokasi pengukuran; b) letakkan fly grill horizontal pada tempat yang rata pada lokasititik tersebut; c) hitung jumlah lalat yang hinggap di fly grill selama 30 detik; d) setiap titik lokasi dilakukan 10 kali perhitungan, dan 5 perhitungan tertinggi di buat rata-ratanya; e) dicatat dalam formulir pengukuran kepadataan lalat; f) angka rata-rata dari semua titik lokasi merupakan petunjuk (indek) populasi lalat dalam satu lokasi tertentu (dalam satuan ekor blok grill).

Pengukuran populasi lalat dilakukan setiap kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum dan sesudah) dan pada monitoring secara berkala yang dapat dilakukan sedikitnya 3 bulan sekali.

Interpretasi Hasil Pengukuran Kepadatan Menurut Standart DIRJEN PPM dan PLP: a. 0-2 (ekor/blok grill): Tidak menjadi

masalah.(rendah)

b. 3-5 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat : tumpukan sampah, kotoran hewan, dan sebagainya (sedang).

c. 6-20 (ekor/blok grill): Perlu pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat dan bila mungkin

direncanakan upaya

pengendaliannya(tinggi/padat).

d. >20 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat berbiaknya lalat dan tindakan pengendalian lalat(sangat tinggi atau padat).

Warna adalah corak rupa seperti merah, putih, hijau dan sebagainya. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan unggu yang sebetulnya merupakan komponen daricahaya/sinar putih yang terurai pada peristiwa dispersi cahaya dan distribusi dari pada lalat selain tergantung pada temperatur dan kelembaban juga tergantung pada warna dan tekstur dari permukaan serta reaksi mereka terhadap cahaya kerena lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu tertarik pada sinar.

Cahaya yang dapat dilihat oleh manusia disebut cahaya terlihat/tampak dan lalat merupakan serangga yang aktif pada siang hari dan tidak aktif pada malam hari tanpa adanya sinar/cahaya buatan. Biasanya cahaya terlihat/tampak merupakan campuran dari cahaya yang mempunyai berbagai panjang gelombang dari 400 nm hingga 700 nm seperti kita ketahui bila melihat pelangi.

(4)

Tabel 1. Warna dan Cahaya Terlihat

No Panjang Gelombang

(nm) Warna

1 400 – 435 Ungu

2 435 – 480 Biru

3 500 – 560 Hijau

4-5 580 – 595 Kuning

6 595 – 610 Jingga

7 610 – 680 Merah

Sumber : Sastrohamidjojo, 1991 (Dalam Chory Masitoh, 2003)

Di Kabupaten Sampang, diare yang ditularkan lalat rumah melalui kontaminsi makanan masih berada dalam 10 besar penyakit tahun 2011 pada urutan ketiga dengan jumlah penderita 32.277 jiwa yang merupakan 11,08% dari jumlah penderita 10 besar penyakit. Jumlah ini meningkat dibanding angka kejadian tahun 2010 dengan jumlah penderita 8.035 jiwa ( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang). Berdasarkan angka tersebut pengendalian populasi lalat sangat penting, mengingat lalat, terutama lalat rumah merupakan vector yang membawa penyakit melalui kontaminasi makanan

dari faeces manusia dengan

kemampuannya terbang 6-9 km.

Di pasar Srimangunan Sampang, khususnya di TPS pasar, setiap hari sampah dihasilkan dari kegiatan pasar. Populasi lalat terbanyak adalah lalat rumah (musca domestica). Kepadatan lalat menjadi perhatian karena lokasi pasar juga dekat dengan pemukiman penduduk.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan bahwa di TPSPasar Srimangunan Sampang diketahui banyak lalat yang berkerumun di tempat sampah dan berdasarkan uji coba ternyata lalat tidak menyukai warna biru, terbukti hasil pengukuran pada fly grill warna biru yaitu 6 ekor per block grill, sedangkan fly grill warna lain lebih besar dari warna biru.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk

mengetahui perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna di pasar srimangunan sampang tahun 2012.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ini di TPS Pasar Srimangunan sebagai tempat untuk melakukan pengukuran kepadatan lalat yanghinggap pada fly grill yang berbeda warna, dimana di TPS Pasar Srimangunan terdapat 1 kontainertempat sampah dan pengangkutan sampah dilakukan setiap sore setelah pasar dibersihkan.

Penelitian ini merupakan eksperimen lapangan dan termasuk eksperimen semu dengan rancangan sebagai berikut:[7]

1. Untuk pengukuran di pagi hari jam 06.00 desain penelitiannya:

a. X1 Y1

b. X2 Y2

c. X3 Y3

d. X4 Y4

Keterangan: X= Warna

Y= Kepadatan lalat pada pengukuran pagi

2. Untuk pengukuran di siang hari jam 12.00 desain penelitiannya:

a. X1 Z1

b. X2 Z2

c. X3 Z3

d. X4 Z4

Keterangan: X= Warna

Y= Kepadatan lalat pada pengukuran siang

(5)

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya 5 Variabel bebasnya adalah Fly Grill yang

berwarna biru, hijau, kuning dan merah.Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah lalat yang hinggap. Data yang diperoleh darihasil pengukuran kepadatan lalat di TPS Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang.Alat pengumpulan data yang digunakan adalah: a) fly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah; b) stop watch; c) phsycrometer; d) thermometer; e) counter; f) alat tulis; dan g) formulir pengukuran kepadatan lalat.

Cara pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menghitung jumlah lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna. Pengukuran dilakukan 2 kali dalam 1 hari, dilakukan pada pagi hari pukul 06:00 dan siang hari pada pukul 12:00 untuk setiap harinya dan dilakukan pengulangan selama 7 hari. Uji Statistik menggunakan uji Anova (Analisis Varians) dengan α = 0,05, untuk mengetahui perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna.

HASIL PENELITIAN

Pada Tabel 2, hasil pengukuran kepadatan lalat yang hinggap pada fy grill di TPS Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang:

1. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna biru yaitu pada pukul 06:00 WIBberkisar 5-16,6 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 8,8 (ekor/blok grill) dan pukul 12:00 WIB berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill)dengan hasil rata-rata sebesar 7,1 (ekor/blok grill).

2. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna hijau yaitu pada pukul 06:00 WIB berkisar 6-16 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 11,4 (ekor/blok grill)dan pukul 12:00 WIB berkisar 5-12,6 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-ratasebesar 8,9 (ekor/blok grill).

3. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna kuning yaitu pada pukul 06:00 WIBberkisar 7,8-16,8 (ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar 12,6 (ekor/blok grill) dan pukul 12:00 WIB berkisar 8,4-31,6(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata sebesar16,2 (ekor/blok grill).

(6)

Tabel 2. Rata-rata Pengukuran Kepadatan Lalat Yang Hinggap Pada FlyGrill di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012

Pengamatan Hari Ke

kepadatan lalat (ekor/blok grill)

Biru Hijau Kuning Merah

Berdasarkan Tabel 2 juga menunjukkan bahwa hasil rata-rata pengukuran kepadatan lalat pada fly grill warna biru merah sebesar 9,8 (ekor/blok grill).Dari data hasil uji ANOVA dengan α = 0,05 menunjukkan p=0,004 yang berarti p <α bahwa ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna.Dengan demikian, dapat dilihat kepadatan lalat tertinggi ada pada fly grill berwarna kuning dibanding fly grill berwarna biru, merah dan hijau.

Pada Tabel 3, hasil rata-rata pengukuran suhu pada pukul 06:00 WIBberkisar 28oC

dengan hasil rata-rata sebesar 28oC dan pukul 12:00 WIBberkisar 30oC-32oC dengan hasil rata-ratasebesar 31oC, sedangkan hasil rata-rata pengukuran kelembaban pada pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87% dengan hasi rata-rata sebesar 84% dan pukul 12:00 WIBberkisar 64%-70% dengan hasil rata-rata sebesar 70%.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012 yang terukur pada pagi dan siang hari tidak mempengaruhi kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna karena perbedaan suhu kecil dancenderung homogen berdasarkan hasil pengukuran sebagai berikut:

(7)

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya 7 grill) dan merah berkisar 8,4-31,6

(ekor/blok grill). Suhu tidak ada hubungan dengan kepadatan lalat karena eksperimen penelitian pada suhu homogen dan tidak bervariasi, sehingga suhu tidak mempengaruhi hasil hubungan warna dengan kepadatan lalat.

2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00 WIB suhu berkisar 30oC-32oC pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill) dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill).Berdasarkan hasil uji korelasi product moment pearson dengan α(0,05) yang berarti p > α(0,05) bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,139, hijau p=0,279, kuning p=0,136 dan merah p=0,134.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Suhu di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012

Tabel 5. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012

Pada Tabel 5, menunjukkan

bahwakelembaban yang diukur pada penelitian ini juga tidak berpengaruh terhadap kepadatan lalat yang pada fly

grill yang berbeda warna berdasarkan hasil pengkuran sebagai berikut :

1. Hasil pengukuran kelembaban pada pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87% Pukul

Hari Ke

(Suhu)

Kepadatan lalat (ekor/blok grill)

Biru Hijau Kuning Merah

06:00

1 (28oC) 5 9 7,8 6,4 2 (28oC) 6,2 16 12 10,8 3 (28oC) 16,6 8 11 7 4 (28oC) 10,4 11,2 15,6 13,6 5 (28oC) 9,8 14,2 15,8 13,6 6 (28oC) 5 6 9,4 9 7 (28oC) 8,8 16 16,8 9,6 Suhu sama tidak mempengaruhi hasil kepadatan warna

12:00

1 (32oC) 5,4 7,8 8,4 7 2 (31oC) 3,8 5 9,6 5,6 3 (31oC) 7,8 6,2 11,8 9,6 4 (31oC) 9,4 10,6 13,2 12,4 5 (32oC) 6,4 7,8 11,4 8,6 6 (30oC) 11 12,6 27,6 13,2 7 (31oC) 6 12,4 31,6 11,4

Uji Anova

p =

0,139 p =

0,279 p =

0,136 p =

0,134

Waktu

Hari Ke

(Kelembaban)

Kepadatan lalat (ekor/blok grill)

Biru Hijau Kuning Merah

06:00

1 (83oC) 5 9 7,8 6,4

2 (86oC) 6,2 16 12 10,8

3 (87oC) 16,6 8 11 7

4 (81oC) 10,4 11,2 15,6 13,6

5 (85oC) 9,8 14,2 15,8 13,6

6 (86oC) 5 6 9,4 9

7 (81oC) 8,8 16 16,8 9,6

Uji Anova p =0,709 p =0,465 p =0,251 p =0,549

12:00

1 (64oC) 5,4 7,8 8,4 7

2 (71oC) 3,8 5 9,6 5,6

3 (70oC) 7,8 6,2 11,8 9,6

4 (76oC) 9,4 10,6 13,2 12,4

5 (67oC) 6,4 7,8 11,4 8,6

6 (72oC) 11 12,6 27,6 13,2

7 (73oC) 6 12,4 31,6 11,4

(8)

pada fly grill warna biru berkisar 5-16, 6 (ekor/blok grill), hijau berkisar 6-16(ekor/blok grill), kuning berkisar 7,8-16,8 (ekor/blok grill) dan merah berkisar 8,4-31,6 (ekor/blok grill).Berdasarkan dari hasil uji korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,709, hijau p=0,465, kuning p=0,251 dan merah p=0,549. 2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00

WIB kelembaban berkisar 64%-76% pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11 (ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill) dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill). Berdasarkan dari hasil uji korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kepadatan lalat pada fly grill yang berwarna biru p=0,292, hijau p=0,276, kuning p=0,280 dan merah p=0,111.

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan fly grill warna biru, hijau, kuning dan merah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dilapangan diketahui bahwa tingkat kepadatan lalat yang hinggap berbeda pada setiap warnanya. Tingginya jumlah lalat yang hinggap menyatakan bahwa warna tersebut merupakan warna yang disukai oleh lalat.

Hasil uji ANOVA dengan derajat kesalahan α= 0,05 memperoleh hasil p= 0,004, sehingga nilai p <α, dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berbeda warna. Berdasarkan Hasil uji LSD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kepadatan lalat pada fly grill warna kuning dengan biru nilai p= 0,000, pada warna kuning dengan hijau nilai p= 0,016 begitu juga pada

warna kuning dengan merah nilai p= 0,010. Perbedaan ini karena lalat cenderung menyukai fly grill warna kuning sehingga terdapat perbedaan tingkat kepadatan lalat pada fly grill warna kuning dengan biru, kuning dengan hijau dan kuning dengan merah.

Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa lalat lebih banyak hinggap pada fly grill warna kuning dengan hasil rata-rata 14,4 ekor/blok grill. Sedangkan warna yang paling sedikit dihinggapi lalat adalah warna biru dengan hasil rata-rata 7,9 ekor/blok grill.

Lalat memiliki sistem penglihatan yang canggih, yaitu mata mejemuk. Mata majemuk adalah sistem penglihatan yang terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Reseptor-reseptor pada mata mejemuk memiliki banyak omatidia.Omatidia pada serangga memiliki respon yang berbeda terhadap tingkat cahaya yang diterima. Omatidia berfungsi untuk mengatur frekuensi cahaya yang masuk ke mata. Omatidia akan berbentuk tabung atau silinder pada ruang terbuka dengan cahaya yang cukup, dan akan berbentuk runcing bila berada pada ruang dengan sedikit cahaya atau gelap, dari bentuk omatidia tersebut serangga bisa menangkap warna.

Gambar 1. Panjang Gelombang

Keterangan:

A = Panjang gelombang yang dapat direspon mata serangga

(9)

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya 9 Pada manusia panjang gelombang

yang dapat direspon memiliki kisaran 400-700 nm dengan warna merah sebagai puncaknya, sehingga respon mata manusia

terhadap warna juga lebih

bervariasi.Sedangkan lalat memiliki respon terhadap warna yang sempit karena pengelihatan serangga memiliki panjang gelombang 300-550 nm dengan warna kuning sebagai puncaknya. Sehingga warna kuning merupakan warna yang paling disukai oleh lalat. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran yang telah diperoleh di lapangan.

Serangga tidak dapat melihat warna merah karena panjang gelombang yang dimiliki oleh warna merah melebihi dari batas panjang gelombang yang dapat ditangkap oleh mata lalat. Warna-warna yang tidak dapat ditangkap oleh mata lalat yang panjang gelombangnya lebih tinggi ditangkap oleh mata lalat sebagai warna gelap. Namun pada warna yang panjang gelombangnya dibawah 400 nm diartikan sebagai warna ultraviolet, yaitu warna yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia.

Pengukuran tingkat kepadatan lalat akan memperoleh hasil yang optimal apabila warna fly grill yang digunakan adalah warna kuning. Sedangkan untuk menghindari lalat, kita dapat menggunakan warna biru, seperti pemilihan warna tudung saji, tempat sampah dan lain sebagainya.

Lalat memiliki suhu optimum 15oC-45oC. Pada suhu kurang dari 7,5oC lalat tidak dapat bergerak aktif, dan pada suhu diatas 45oC dapat menyebabkan kematian pada lalat. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan mulai hari ke-1 hingga hari ke-7 suhu pada pukul 07.00 WIB rata-rata 28oC. Sedangkan pada pukul 12.00 WIB suhu bekisar antara 30oC-32oC.Hasil uji

korelasi product moment pearson dengan α = 0,05 memperoleh hasil p >α sehingga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan tingkat kepadatan lalat.

Suhu pada saat penelitian masih merupakan suhu optimum lalat berkembangbiak. Sehingga dapat dikatakan bahwa suhu bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan lalat dalam memilih warna pada fly grill.

Kelembaban erat hubungannya dengan keaktifan lalat. Kelembaban optimal yang dimiliki lalat agar dapat beraktifitas adalah 50%-90%. Pada penelitian yang dilakukan mulai hari ke-1 hingga hari ke-5 pada pukul 06.00 WIB diperoleh hasil 81%-87%, pada pukul 12.00 WIB diperoleh hasil 64%-76%.Hasil uji korelasi product moment pearson dengan α= 0,05 memperoreh hasil p >αsehingga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan tingkat kepadatan lalat. Kelembaban pada saat penelitian masih merupakan kelembaban optimum lalat berkembangbiak. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelembaban bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan lalat dalam memilih warna pada fly grill.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(10)

12:00 WIB yaitu berkisar 64%-76%, 3) Ada perbedaan kepadatan lalat yang hinggap pada fly grill yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah berdasarkan uji ANOVA dengan α(0,05) menunjukkan p=0,004 yang berarti p < α(0,05), warna yang paling disukai lalat adalah kuning dan yang tidak disukai adalah biru, 4) Dari hasil pengukuran suhu, dengan uji korelasi product moment pearson didapat p > α(0,05) sehingga tidak ada hubungan suhu dengan kepadatan lalat yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah, 5) Sedangkan dari hasil uji korelasi product moment pearson terhadap hasil pengukuran kelembaban p > α(0,05) sehingga tidak ada hubungan kelembaban dengan kepadatan lalat yang berwarna biru, hijau, kuning dan merah.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut: 1) masyarakatsebaiknya menggunakan penutup makanan atau minuman dan tempat sampah warna biru; 2) Badan Lingkungan Hidupsebaiknya memberikan warna cat biru pada bangunan tempat sampah, countainer dan truk pengangkut sampah; 3) mengembangkan penelitian ini lebih lanjut dengan menggunakan alat lain selain fly grill dan dilakukan di tempat yang lain selain di TPS Pasar Srimangunan Sampang; 4) pengukuran kepadatan lalat sebaiknya menggunakan alat pengukur fly grill warna kuning untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat.

KEPUSTAKAAN

1. Adnyana. I Made E, 1985. Pemberantasan Serangga Penyebab Penyakit Tanaman Liar dan

penggunaan Pestisida, Denpasar: Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan RI.

2. Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.

3. Depkes RI. 2002. Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu. Surabaya. 4. Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis

Tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta: Ditjen PMM dan PLP.

5. Iskandar, Adang. 1985.

Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan RI.

6. Masitoh, Chory. 2003. Perbedaan Jumlah Lalat Yang Hinggap Pada Tempat Sampah Yang Berbeda Warna. Surabaya: Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya.

7. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

8. Sastrohamidjojo. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.

9. Wardoyo, dkk. 1981. Pemberantasan Serangga dan Binatang Mengerat. Surabaya: SPPH.

10.Widoarti, Rizky. 2007. Hubungan Antara Kepadatan Lalat dan Faktor– Faktor Yang Mempengaruhinya di Instalasi Gizi RSUD. Surabaya: Politeknik Kesehatan Depkes Surabaya.

(11)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 11

GAMBARAN PENYEMBUHAN LUKA SECTIO CAESAREA BERDASARKAN

STATUS GIZI PADA IBU NIFAS DI R.S. BHAKTI RAHAYU SURABAYA

Diah Fauzia Zuhroh**) Endah Mulyani*)

**) Dosen Prodi Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya

ABSTRACT

Introduction : Caesarean Section (SC) is a method of delivering baby by surgical procedure through the womb and abdominal wall of the mother. SC wound healing at risk of infection at the surgical incision of 15-60% this is increased in women who have poor nutrition status. Infections accounted for 15% of the Maternal Mortality Rate (MMR).This research aims to know the description of wound healing based on the nutrition status on the parturition mothers in Bhakti Rahayu Hospital of Surabaya.

Method : This research was the non experimental research with the cross sectional approach. The numbers of population were 48 persons with the sample taking technique in form of total sampling in which the research subjects were taken from the entire population. Data analysis used was data analysis as univariate.

Result : The results shows 92,85% parturition mothers with good nutrition had good wound healing.

Conclusion : The conclusion that mothers with good nutrition status had good wound healing and those with the poor nutrition status had poor wound healing. The midwifes are expected to more improve their attention to the nutrition status of the post SC parturition mothers and to improve their knowledge on the treatment of post SC parturition mother. The provision of counseling about the SC wound to mothers and families felt as necessary to improve mother’s health.

Keywords : Sectio, nutrition

PENDAHULUAN

Sectio Caesareamerupakan persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.[28]Luka operasi SC adalah gangguan dalam kontinuitas sel akibat dari pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan janin dan plasenta, dengan membuka dinding perut dengan indikasi tertentu.

Penyembuhan Luka Operasi Sectio Caesarea (SC) adalah proses pergantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak akibat dari pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan janin dan plasenta, dengan jalan membuka dinding perut dengan indikasi-indikasi medis tertentu.

Masalah utama setelah pembedahan adalah proses penyembuhan luka hal ini disebabkan karenaibu yang melahirkan melalui operasi SC mempunyai resiko 5-30x lebih besar untuk mengalami infeksi pada masa nifas hal ini meningkat pada ibu dengan gangguan gizi.[15]

Infeksi pada luka bisa menjadi tanda bahwa luka tersebut mengalami kegagalan, hambatan ataupun gangguan dalam proses penyembuhan lukanya. Sebagian besar tanda dan gejala infeksi luka merupakan perburukkan fisiologi penyembuhan luka normal, yang meliputi:[4]

1. Calor (panas)

(12)

jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.

2. Dolor (rasa sakit)

Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan PH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf. pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf nyeri.

3. Rubor (kemerahan)

Merupakan hal pertama yang terlihat

didaerah yang mengalami

peradangan.Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti,

4. Tumor (pembengkakan)

Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan interstitial. 5. Functiolaesa

Adanya perubahan fungsi secara superfisial bagian yang bengkak dan sakit disertai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara normal. 6. Rabas atau adanya sedikit cairan serosa

mungkin normal pengeluaran cairan atau nanah berlebih pada daerah luka merupakan tanda abnormal.

7. Biakkan mikrobiologi dapat positif, tidak hanya ketika terdapat infeksi, tetapi juga karena kontaminasi atau kolonisasi.

Idealnya luka akan sembuh dengan baik bila dilakukan perawatan dan pengobatan yang sesuai dengan program. Akan tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, faktor-faktor tersebut secara umum adalah usia, paritas, gizi, perawatan terhadap luka pembedahan, penyakit berat, teknik bedah yang tidak halus dan baik, kondisi mental ibu, terkontaminasinya sayatan dan pelaksanaan operasi itu sendiri. Gizi berperan penting dalam fase penyembuhan

suatu luka karena penyembuhan luka akan terganggu apabila seorang ibu mengalami malnutrisi.[15]

Status gizi sangat memiliki pengaruh terhadap penyembuhan luka karena status gizi yang kurang berpotensial terjadinya infeksi. Status gizi pada seseorang dapat dinilai dengan metode-metode ilmiah salah satunya dengan pengukuran lingkar lengan atas yang memberikan gambaran status protein dan energi pada saat pengukuran. Namun pada kenyataannya nutrisi ibu pada masa nifas banyak yang mengalami penurunan karena banyak dari ibu tersebut melakukan pantangan atau tarak terhadap zat gizi tertentu. Tarak adalah kebiasaan, budaya atau anjuran yang tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, misalnya ikan, sayuran, dan buah yang berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik yang nantinya dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Penyembuhan luka operasi dengan status gizi mempunyai hubungan bermakna.[24]Status gizi yang buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai

komplikasi post operasi dan

mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi post operasi, dehisiensi (luka terbuka), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat

mengalami infeksi yang bisa

mengakibatkan kematian.

(13)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 13 dalam mengganti sel-sel yang telah rusak

pada tubuh manusia. Dan pada penyembuhan luka energi sangat diperlukan dalam masa pemulihan karena kondisi ibu yang sehat akan berpengaruh postif dalam proses penyembuhan luka.

Beberapa zat-zat gizi mikro seperti vitamin A sangat berperan dalam proses reepitalisasi dan memproduksi sel makrofag, vitamin K membantu sintesis protombin yang berfungsi sebagai zat pembekuan darah, vitamin B sendiri sebagai kofaktor pada sistem metabolisme tubuh. Tidak berbeda vitamin C juga memiliki peran yang besar dalam penyembuhan luka yaitu antara lain dikarenakan vitamin C berfungsi sebagai fibroblas yang pada masa proliferatif menjadi aktivitas utama vitamin C juga mencegah adanya infeksi, serta membentuk kapiler-kapiler darah.[6]

Status gizi ibu sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan, pada orang yang mengalami kekurangan energi dan protein akan memakan waktu yang cukup lama dalam proses penyembuhan. Dan pada ibu yang mengalami status gizi yang berlebih (obesitas) akan mengalami gangguan dalam penyembuhan luka karena pasokan darah jaringan adipose tidak adekuat. Pada

masa penyembuhan menempatkan

penambahan pemakaian gizi pada tubuh sehingga pada keadaan khusus seperti pada ibu yang status gizinya kurang akan lebih membutuhkan perhatian khusus.Ibu menyusui merupakan keadaan rentan gizi. Jadi perlu diperhatikan status gizi ibu tersebut agar dapat diperbaiki dan dapat dicegah komplikasi akibat gizi.

Pada penelitian ini peneliti memilih menggunakkan metode pengukuran lingkar lengan atas untuk mengetahui status gizi ibu post SC.Pengukuran Lingkar Lingan Atas (LILA) adalah suatu cara untuk mengetahui resiko kekurangan Energi Protein (KEP) pada wanita usia subur (WUS). Sasaran WUS sendiri adalah

wanita yang berusia 15-45 tahun baik dalam keadaan remaja, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya cepat, mudah dan murah.Ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm apabila ukurana LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK. Dengan mengukur LILA maka peneliti akan mendapatkan gambaran status nutrisi sekarang atau pada saat pengukuran.

Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) terbilang masih tinggi yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran jumlah ini masih jauh dibawah target Millenium Developmeant Goal’s (MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup. Salah satu langkah efektif yang diambil untuk menurunkan AKI adalah dengan meningkatkan cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan. Dengan pertimbangan untuk mencegah trauma persalinan bagi ibu dan bayi maka terjadi peningkatan angka kejadian pembedahan perabdominal atau SC.

(14)

29% ini dapat dikatakan cukup tinggi karena luka bersih terkontaminasi kemungkinan timbulnya infeksi adalah 3-11%.[18]

Berdasarkan uraian diatas bahwa, hanya sebanyak 27% ibu yang melakukan kunjungan ulang. Hal ini berdampak negatif terhadap pemantauan kondisi luka ibu oleh tenaga kesehatan yang apabila tidak terpantau dengan baik akan mengganggu fase penyembuhan luka bahkan berpotensial terjadi infeksi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran penyembuhan luka operasi SC berdasarkan status gizi pada ibu nifas di RSBhakti Rahayu Surabaya dengan harapan proses penyembuhan luka operasi SC tidak mengalami gangguan atau keterlambatan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Desain penelitian ini adalah Non Eksperimental dan menggunakan pendekatanCross Sectional, yakni rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada satu kali waktu.

Populasi dalam penelitian ini adalahseluruh ibu nifas post SC diRS Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan Juni tahun 2012 yang berjumlah 48 orang.Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh dari anggota populasi yaitu ibu nifas post SC pada bulan Juni 2012 di R.S. Bhakti Rahayu Surabaya sebanyak 48 orang yang melakukan kunjungan ulang hari ke 5-21dengan jenis SC transversal yaitu insisinya ada pada segmen bawah uterus.

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalahnon probability (non random) sampling berupatotal sampling yaitu semua anggota populasi dijadikan sampel.[8]

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah proses penyembuhan luka SC pada ibu nifas dan variabel independen dari penelitian ini adalah status gizi.

Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data didapat dengan cara wawancara serta pengukuran langsung kepada responden. Data sekunder adalah data yang didapat denganmelihat rekam medis pasien.Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, lembar observasi berupa ceklist serta pita ukur lingkaran lengan atas.

Penelitian ini dianalisis dengan cara univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap variabel penelitianmelalui distribusi frekuensi dan presentase. Dimana dilakukan untuk mendiskripsikan gambaran penyembuhan luka operasi ibu post SC berdasarkan dari status gizi ibu.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1, menggambarkan karakteristik ibu nifas post SCyang melakukan kunjungan ulang di RS Bhakti Rahayu Surabaya sebagai berikut:

1. Tidak ada ibu nifas post SC yang berumur < 16 tahun, 33 ibu (68,75%) berumur 16-34 tahun dan sebanyak 5 ibu (31,25%) yang berumur ≥ 35 tahun. 2. Terdapat 17 ibu nifas post SC (35,41%)

primipara, 26 ibu (54,17%) multipara dan terdapat 5 ibu (10,42%) yang grandemulti.

3. Terdapat 1 ibu nifas post SC (2,08%) yang menjadi pegawai negeri, 18 ibu (37,5%) bekerja swasta, 2 ibu (4,17%) bekerja sebagai wiraswasta dan 27 ibu (56,25%) yang tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga.

(15)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 15 SMA/sederajat dan 4 ibu (8,33%) yang

tamat perguruan tinggi. baik sebanyak 9 ibu (18,75%).

6. Sebagian besar ibu nifas post SC di R.S. Bhakti Rahayu Surabaya memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 42 ibu (87,5%) dan terdapat 6 ibu (12,5%) memiliki status gizi buruk.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi

Karakteristik Ibu Nifas Post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya Bulan Juni 2012.

a.Primipara (1 anak) b.Mutipara (2-4 anak) c.Grandemulti (≥ 5 anak) d.Ibu Rumah Tangga

1

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC terdapat 39 ibu (92,85%) status penyembuhan lukanya baik dengan status gizi baik, 3 ibu nifas (7,14%) status penyembuhan lukanya tidak baik dengan status gizi baik dan terdapat 6 ibu (100%) yang penyembuhan lukanya baik dengan status gizi buruk.

Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Fase Penyembuhan Luka SC Dengan Status Gizi di Rumah Sakit Bhakti Rahayu Surabaya Bulan Juni 2012.

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RSBhakti Rahayu Surabaya, sebagian besar penyembuhan lukanya baik yaitu sebanyak 39 ibu (81,25%) yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda infeksi serta telah memasuki fase proliferatif penyembuhan luka. Hasil penelitian tersebut mendukung teori Boyle (2009) yang menyatakan bahwa penyembuhan luka sendiri adalah proses pergantian sel-sel atau jaringan yang telah rusak dan proses penyembuhan luka terbagi menjadi 3 fase yaitu pertama fase inflamasi berlangsung pada saat pembedahan sampai hari ketiga post operasi, kedua adalah fase proliferatif dimulai sejak berakhirnya fase inflamasi sampai dengan 21 hari post operasi dan terakhir adalah fase maturasi berlangsung dari 21 hari post operasi hingga 1 atau 2 tahun post operasi, ia juga menyatakan bahwa penyembuhan luka secara fisiologis dan normal akan melewati 3 tahapan fase sesuai dengan tahapan waktu yang ada pada teori namun apabila

penyembuhan luka mengalami

kemunduran dan terdapat adanya tanda-tanda infeksi maka penyembuhan luka dikategorikan tidak baik.

(16)

penelitian tersebut mendukung teori Oxorn (2010) yang menyatakan bahwa teknik insisi SC transversal atau melintang ini menimbulkan resolusi dalam pelaksanaan bedah obstetrik sehingga semakin memperluas indikasi SC karena teknik insisi transversal memungkinkan kelahiran perabdominan yang aman hal ini dikarenakan teknik insisi ini mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu. Namun hasil penelitian diatas bertentangan dengan teori Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa luka bersih terkontaminasi kemungkinan timbulnya infeksi adalah (3-11%).

Sebagian besar penyembuhan luka ibu nifas post SC adalah baik hal ini karena ibu telah memasuki fase proliferatif penyembuhan luka yang ditandai dengan mulai tumbuh jaringan granulasi pada tepian luka dan juga ditandai dengan tidak

adanya perburukkan fisiologi

penyembuhan luka seperti rasa panas pada daerah luka, rasa sakit yang berlebihan, tampak kemerahan, adanya pembengkakan pada daerah luka yang biasanya diikuti eksudat. Terkadang terdapat gangguan fungsi normal pada daerah luka bahkan biasanya diikuti adanya cairan atau nanah pada daerah luka. Observasi sendiri dilakukan pada ibu yang melakukan kunjungan ulang untuk memantau kondisi ibu, bayi dan luka, Observasi juga dilakukan pada ibu yang terlalu lama dirawat di ruang nifas karena adanya gangguan penyambuhan lukanya.

Presentase yang tinggi pada ibu yang mengalami penyembuhan luka baik kemungkinan besar disebabkan karena adanya peningkatan pada teknik pembedahan atau insisi tampak jelas dari seluruh responden ibu melahirkan melalaui jenis SC dengan teknik insisi transversal menurut teori yang berkembang jenis insisi seperti ini menyebabkan meluasnya indikasi persalinan SC karena jenis insisi ini mampu untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu serta banyak

penelitian yang menyebutkan bahwa jenis insisi ini menurunkan angka kejadian perdarahan dan jenisi insisi ini proses penyembuhan lukanya cepat dan dalam perawatan lukanya juga mudah. Saat ini jumlah bedah SC semakin tinggi hal ini disebabkan karena SC merupakan langka kedaruratan yang diharapkan mampu

membantu mengurangi AKI dan

menurunkan angka kejadaian traumatis pada janin.

Luka ibu yang baik ini juga bisa disebabkan karena banyaknya jumlah responden yang berumur antara 16–34 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang ada tolerir trauma jaringan pada usia muda lebih efektif sehingga proses penyembuhan luka ibu berlangsung baik. Hasil penelitian juga sesuai dengan teori yang berkembang bahwa penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor yang apabila terjadi gangguan pada salah satu faktor maka penyembuhan luka akan menjadi terganggu atau penyambuhan luka tidak baik. Namun, kenyataan diatas juga menunjukkan masih rendahnya tingkat pengetahuan ibu nifas tentang luka SC dan perawatannya sehingga ibu melakukan hal yang dapat mengganggu proses penyembuhan seperti ibu yang takut untuk melakukan gerakan sehingga terjadi penekanan berlebih pada daerah luka sehingga penyembuhan luka tidak baik dan status gizi ibu yang juga menyumbang angka terjadinya penyembuhan luka tidak baik.

(17)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 17 gizi.[22]Penyembuhan luka menempatkan

pemakaian yang lebih pada zat gizi sehingga harus dipantau status gizi ibu guna memperlancar proses penyembuhan luka.[4]

Sebagian besar status gizi ibu nifas post SC adalah baik hal ini karena ibu memilliki ukuran LILA ≥ 23,5cm yang menunjukkan bahwa ibu telah mampu mencukupi kebutuhan dirinya terhadap protein dan karbohidrat. Observasi sendiri dilakukan pada ibu yang melakukan kunjungan ulang untuk memantau kondisi ibu, bayi dan luka, Observasi juga dilakukan pada ibu yang terlalu lama dirawat di ruang nifas karena adanya gangguan penyambuhan lukanya.

Pengetahuan ibu tentang pentingnya zat gizi bagi tubuh meningkat, hal ini tidak lepas dari peran petugas kesehatan yang memberikan pendidikan gizi pada ibu baik saat hamil atau setelah melahirkan. Ibu nifas dan ibu hamil merupakan kelompok rawan gizi karena mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi karena selain untuk menjaga kondisi tubuh mereka harus memenuhi kebutuhan gizi anaknya namun pada kenyataannya masih ada ibu yang melakukan tarak atau pantang makan pada makanan yang mengandung protein dan karbohidrat tinggi hal ini dikarenakan masih besarnya pengaruh keluarga dan lingkungan terhadap diri ibu.

Sebagian besar responden berpendidikan SMA hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak ibu yang berstatus gizi baik karena semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan yang mereka miliki sehingga mereka lebih memiliki perhatian terhadap kebutuhan gizi dirinya.

Proses penyembuhan luka membutuhkan zat gizi yang lebih daripada biasanya sehingga pada ibu yang memiliki status gizi buruk harus diperhatikann secara khusus guna mencegah terjadinya komplikasi, hal ini bisa dilakukan dengan

memperbaiki gizi sebelum operasi sehingga dapat dicegah komplikasinya.

Berdasarkan Tabel 2dapat diketahui bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya mayoritas ibu mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik yaitu sebanyak 39 ibu (92,85%). Hal ini sesuai dengan teori Suparyanto (2011) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyembuhan luka operasi dengan status gizi karena menurutnya status gizi yang buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai post operasi dan mengakibatkan pasien dirawat lebih lama di rumah sakit. Ibu yang mengalami malnutrisi akan mengalami gangguan luka karena ibu yang mengalami kekurangan energi protein akan mengalami perpanjangan fase inflamasi.[4]

Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang berkembang maka dapat dilihat bahwa mayoritas ibu mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik hal ini karena status gizi memberikan pengaruh besar terhadap penyembuhan luka karena pada dasarnya penyembuhan luka adalah proses pergantian sel-sel atau jaringan yang telah rusak sehingga dalam prosesnya sangat membutuhkan zat gizi. Zat gizi sendiri memiliki fungsi yang berperan penting dalam kelangsungan hidup seseorang karena zat gizi bermanfaat untuk memelihara jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang telah rusak dan merupakan penghasil energi. Zat gizi hanya bisa dipenuhi lewat asupan makanan sehingga ibu nifas diharapkan meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung zat gizi yang tinggi mengingat kebutuhan gizi mereka sangat tinggi.

(18)

memiliki status gizi buruk tentunya akan mengganggu proses penyembuhan luka sehingga dapat menghasilkan luka yang tidak baik karena proses penyembuhan luka ada proses dimana tubuh secara alami mengganti sel-sel yang telah rusak maka ibu yang memiliki status gizi yang buruk juga akan memperbesar resiko terjadinya gangguan penyembuhan luka karena ibu mengalami penurunan daya tahan tubuh sehingga ibu rentan infeksi, dehisensi dan eviserasi luka. Terutama pada ibu yang memiliki LILA ≤ 23,5 hal tersebut menunjukkan ibu mengalami kekurangan energi dan protein pada kenyataannya energi dan protein merupakan dua zat penting yang sangat dibutuhkan tubuh untuk membatu proses penyembuhan luka.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari status gizi 48 ibu nifas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1) Penyembuhan luka baik pada ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu sebanyak 81,25%; 2) Status gizi baik ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu sebanyak 87,5%; 3) Mayoritas ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya mengalami penyembuhan luka baik dengan status gizi baik yaitu sebanyak 92,85%.

KEPUSTAKAAN

1. Barasi, M. E. 2007. At Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

2. Baston, H dan J. Hall. 2011. Midwifery Essentials. Jakarta: EGC.

3. Budiman. 2011. Penelitian

Kesehatan.Bandung: Refika Aditama. 4. Boyle.2009. Pemulihan Luka.

Jakarta: EGC.

5. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

2001. Gizi dan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. 6. Hidayat, A. A. A. 2008. Ketrampilan

Dasar Praktik Klinik Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. 7. Hidayat, A. A. A. 2009. Metode

Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.Jakarta: Salemba Medika.

8. Hidayat, A. A. A. 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif.Surabaya: Health Books Publishing.

9. Hidayat, A. A. A dan M. Uliyah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya: Health Books Publishing. 10. Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

11. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

12. Norwitz, E dan Schorge, J. 2006. At a Glance Obstetri & Ginekologi.Jakarta: Penerbit Erlangga.

13. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

14. Oxorn, H dan W. R. Forte. 2010. Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan (Human and Labour Birth).Yogyakarta: Kerjasama antara Penerbit Andi dan Yayasan Essentia Medica.

15. Pprawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

16. Rasjidi, Imam. 2009. Manual Seksio Sesarea & Laparotomi Kelainan Adeneksa. Jakarta: Sagung Seto. 17. Siagan, Albiner. 2010. Epidemiologi

Gizi.Jakarta: Penerbit Erlangga. 18. Sinaga, Yusuf. 2009. Penyembuhan

(19)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 19 19. Subana, M dan S. Sudrajat. 2009.

Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.

20. Sujiyatini, Nurjanah, A.

Kurniati.2010. Catatan Kuliah Asuhan Ibu Nifas Askeb III.Yogyakarta: Cyrillus Publisher.

21. Sulistyowati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas.Yogyakarta: Penerbit Andi. 22. Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi

untuk Kesehatan Ibu dan Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu.

23. Supariasa, N. D. I, B. Bakri dan I. Fajar. 2012. Penilaiain Status Gizi. Jakarta: EGC.

24. Suparyanto. 2011. Konsep Infeksi Luka Operasi. http://www.dr-suparyanto.blogspot.com/2011/03/kon sep-infeksi-luka-operasi.html.Diakses tanggal 27 Maret 2012.

25. Suseno, A.T, H.S. Masruroh. 2009. Kamus Kebidanan. Yogyakarta: Citra Pustaka.

26. Soesanto, W. 2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan. Surabaya: Duatujuh.

27. Towsend, C. M, R. D. Beauchamp, B. M. Evers dan K. L Mattox. 2010.

Buku Saku Ilmu Bedah

Sabiston.Jakarta: EGC.

28. Wiknjosastro, H, A.B Saifuddin dan T. Rachimhadhi. Ed. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 29. Widyoko, Putro, E. 2012. Teknik

Penyusunan Instrument

Penelitian.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(20)

HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SIDOARJO

Tri Ratih Agustina**), Imam Edy Bachtiar*)

**) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya

ABSTRACT

Introduction :Diabetes Mellitusis of public health problemsthat require treatment as well, given the frequency are high enough where the increase with increasing attention to the lack of activity, lack of knowledge about to diabetes mellitus, and eating less regularly. This study aims to determine whethe rthere is relation ship Obesity With Diabetes Mellitus In Genesis Poly Space Medicine Hospital Sidoarjo.

Method :This research method using analytical research methods in Observational andapproach Cross-sectional design. The population research were 30 persons obese. Sample were taken sample techniques, sampling consisting of28 persons obese. Data were collected by observation and medical records, and analysis using spearman rank correlation.

Result :The results showeda majority of obese patients were as many as 12 people (42.9%) and affectedthe incidence of diabetes mellitus were 19 people (67.9%). uji spearman rank correlation results of obesity with the incidence of diabetes mellitu swas found thatp=0.000, α=0.05 thenp<α so that Hₒ rejected and H1 accepted which means there Corelation With Obesity Diabetes Mellitus Disease incidence in the Space Poly Sidoarjo Hospital Medicine. Conclusion :From the data obtained by the need to reduce excessive food and life style change with exercisein order to decrease obesity because obesity can affect diabetes mellitus.

Keywords: Obesity, DiabetesMellitus

PENDAHULUAN

Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelebihan lemak dalam tubuh. Secara klasik obesitas telah diidentifikasikan sebagai kelebihan berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal. Obesitas tidak mempunyai penyebab tunggal, tetapi merupakan gambaran berbagai keadaan dengan latar belakang etiologi atau sejarah kejadian yang berbeda.[1]

Kegemukan (obesitas) sebenarnya tidak identik dengan kelebihan berat badan, melainkan terkait dengan komposisi tubuh dimana terjadi kelebihan lemak. Kelebihan lemak tubuh inilah yang brkaitan dengan kejadian metabolic syndrome, yang merupakan resiko gangguan kesehatan pada obesitas. Telah diketahui bahwa obesitas terkait dengan metabolic syndrome yang merupakan awal terjadinya

penyakit degenerasi seperti hypertensi, diabetes mellitus, dyslipidemia, jantung koroner, stroke, dan kanker (Oetomo, 2011).

Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk.

(21)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 13 dapat dibuang secara efisien dan

mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.

Tabel 1. Klasifikasi Kegemukan

Berdasarkan Tingkat

Kegemukan Menurut WHO.

Klasifikasi BMI (Kg/m²)

Resiko Morbiditas Underweight

(Kurus) < 18,5 Low Normal range

(Normal) 18,5-24,9 Average Overweight

(Gemuk) 25,0-29,9 Mild increase Obesitasringan 30,0-34,9 Class I obesity Obesitassedang 35,0-39,9 Class II obesity

Obesitasberat ≥ 40 Class III obesity

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang menyertai penderita obesitas. Demikian juga merupakansuatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin. Penyakit ini merupakan penyakit metabolik yang diletupkan oleh interaksi berbagai faktor : genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009).

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Sidartawan Soegondo, dkk, 2009).

Penyakit Diabetes Melitus tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan tetapi juga kebiasaan hidup dan lingkungan. Orang yang membawa gen diabetes, belum tentu akan menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor yang

dapat menyebabkan timbulnya penyakit Diabetes Melitus pada seseorang yaitu:[16] 1. Makan yang berlebihan

Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh menumpuk secara berlebihan.

2. Obesitas (kegemukan)

Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes militus.

3. Faktorgenetik

Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus.

4. Kuranggerakataujarangolahraga

Pada orang yang kurang gerak dan jarang olah raga, zat makanan yang masuk dalam tubuh tidak dibakar, tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula.

5. Penyakitdaninfeksipadapankreas

Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin.

6. Kehamilan

Ibu akan menambah konsumsi makanannyadanjika produksi insulin kurang mencukupi untuk mengolahnya maka akan timbul gejala Diabetes Mellitus.

(22)

Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang Poli Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 terdapat 856 pasien diabetes mellitus dan 358 pasien yang menderita DM dengan riwayat obesitas, pada tahun 2010 terdapat 924 pasien DM dan 477 pasien yang mempunyai riwayat obesitas meningkat 12%, sedangkan bulan Desember 2011 terdapat 55 Orang penderita baru yang menderita diabetes mellitus, di antaranya ada 30 orang (55%) yang mempunyai riwayat obesitas.

Berdasarkan fenomena dari data tersebut, maka peneliti bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut apakah ada Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian analitik adalah penelitian Observasional dan PendekatanCross sectional.Observasional adalah pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian sehingga diperoleh data dan informasi yang realistik guna membahas permasalahan yang telah dirumuskan (Rianto, 1996).Penelitian studi cross sectional merupakan jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.[15]

Populasinya adalah orang yang mengalami obesitas yang berkunjung ke ruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo. Pada bulan Desember tahun 2011, terdapat 30 orang yang mempunyai kegemukan (obesitas).Jumlah sampel pada penelitian ini, yakni penentuan sampel dari jumlah pasien obesitas yang berkunjung ke ruang

Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo dengan menggunakan rumus :

2

) (

1 N d

N n

 

Keterangan : N = Besar populasi n = Besar sampel

d = Tingkat signifikasi (0,05)

Jadi jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 28 responden.

Teknik sampling yang digunakan adalah aksidental sampling yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu. Sebagai contoh, dalam menentukan sampel apabila dijumpai ada, maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan sebagai sampel utama (Hidayat, 2010).Variabel bebas (Dependen) adalahObesitas. Variabel tergantung (Independen) adalahkejadian Diabetes Mellitus.

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah observasi langsung kepada responden di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD SidoarjosertaData umum tentang Diabetes Mellitus dengan riwayat obesitas di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo dan data penunjang lainnya melalui Rekam medik dan dokumentasi.Analisa data dilakukan dengan analisis bevariate yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan pengujian statistik yakni Kolerasi Rank Spearman.

HASIL PENELITIAN

BerdasarkanTabel 2, pasien obesitas yang berkunjung diruang Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo, yang terdiri dari 28 orang yang obesitas dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Sebagianbesar orang yang

mengalamiobesitas laki-laki yaitu

(23)

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya 15 (42,9%), 51-60 tahun sebanyak yaitu 10 orang (35,7%), 61-70 tahun sebanyak yaitu 3 orang (10,7%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Obesitas Yang

Berkunjung Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012 6 Kejadian Diabetes

Mellitus a. Terjadi DM b. Tidak terjadi DM

41 104

28 72

3. Sebagian besar menempuh pendidikan SD yaitu sebanyak 4 orang (14,3%), SMP yaitu sebanyak 7 orang (25,0%), SMA sebanyak yaitu 13 orang (46,4%), Perguruan Tinggi sebanyak yaitu 4 orang (14,3%).

4. Sebagian besar responden pada pekerjaan Swasta/Wiraswasta yaitu sebanyak 21 orang (75,0%) dan tidak diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%).

PadaTabel 3, hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas terhadap kejadian diabetes mellitus didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga H0

ditolak dan H1 diterima artinya ada

Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.

Tabel3.Tabulasi Silang Frekuensi Obesitas Terhadap Kejadian Diabetes Mellitus Di Ruang Poli Penyakit sebagian besar obesitas ringan sebanyak 11 orang (39,2%), obesitas sedang sebanyak 12 orang (42,9%) dan obesitas berat sebanyak 5 orang (17,9%). Dan orang yang terkena obesitas paling banyak terdapat pada obesitas sedang sebanyak 12 orang (39,2%).

(24)

atau obesitas. Keadaan ini kurang disadari oleh masyarakat luas, dengan asupan makanan yang berlebihan dan kegiatan yang menurun mengakibatkan tubuh akan menumpuk kelebihan makanan dalam tubuh, yang akhirnya mengakibatkan kegemukan bahkan menjadi obesitas.

Berdasarkan hasil pengamatan di ruang Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo penyebab obesitas pada pasien yang

berkunjung karena kurangnya

aktivitas/olah raga dan makan yang kurang teratur, walaupun di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo telah diberikan penyuluhan dan brosur oleh para perawat dan dokter disana tentang bahaya bagi kesehatan terutama penyakit diabetes mellitus, tetapi para pasien yang berkunjung di sana kurang memperhatikan penyuluhan tersebut, hal ini dapat berdampak kurangnya pengetahuan pada pasien yang berkunjung disana, tetapi obesitas bukan penyebab utama diabetes mellitus, ada beberapa faktor- faktor yang berkaitan dengan kejadian diabetes mellitus yaitu genetik, kurang bergerak/ jarang berolah raga, makan yang berlebihan, penyakit dan infeksi pada pangkreas dan kehamilan. Dan di dukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan Ngantru Tulungagung pada tahun 2004 yang berjudul Hubungan Antara Obesitas Dengan Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus Pada Masyarakat di Desa

Bendosari Kecamatan Ngantru

Tulungagung yang menghasilkan ada hubungan antara obesitas dengan kejadian diabetes mellitus.

Berdasarkan Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 28 orang sebagian besar terjadi diabetes mellitus sebanyak 19 orang (67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus sebanyak 9 orang (32,1%).

Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin, asupan glukosa (atau produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori

akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah hiperglikemia (kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada Diabetes Mellitus glukosa tidak dapat melewati membran sel, sehingga sel-sel kekurangan makanan, hal ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula dalam tubuh sehingga tubuh berusaha memperoleh cadangan gula dari makanan yang diterima dengan memperbanyak asupan makanan (poliphagia). Apabila insulin tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar gula normal, menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat, dimana saat kadar gula dalam darah melebihi ambang ginjal sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkannya melalui air kencing dengan frekuensi yang sering (poliuria). Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan akibat dari sering kencing tadi secara otomatis akan timbul rasa haus yang menyebabkan keinginan untuk terus minum (polidipsi). Pada diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resitensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk dibakar (dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap berada diluar sel, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Soegondo, S, dkk, 2009).

Gambar

Gambar 1.Fly Grill
Tabel 1. Warna dan Cahaya Terlihat
Tabel 2. Rata-rata Pengukuran Kepadatan Lalat Yang Hinggap Pada FlyGrill di TPS Pasar Srimangunan Sampang Tahun 2012
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kepadatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Film tipis CuO suhu annealing 550 °C untuk ketebalan satu lapisan memiliki puncak serapan pada pangjang gelombang 417 nm dengan intensitas 0.319.. Film tipis dengan

✭❈✮ lalat hijau sayap panjang mata biru memiliki relung yang sama dengan lalat kuning di pulau A.. ✭❉✮ lalat hijau sayap panjang mata merah memiliki relung yang sama dengan

Lalat buah betina hanya terperangkap pada perangkap kuning glumon saja karena perangkap kuning ini adalah perangkap warna yang disukai oleh lalat buah betina maupun lalat buah

berdasarkan hasil yang diperoleh ini maka dijelaskan bahwa cahaya kuning yang ditimbulkan oleh jigs kuning memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dari

Keluarga Bastian dan Bintang, memiliki artistik dengan warna-warna yang lebih cerah dan bervariasi, seperti warna-warna merah, kuning, biru dan warna- warna pastel.. Hal

Foto serangga lain dari Ordo Diptera family Tephritidae pada warna kuning. Foto serangga lain dari Ordo Diptera family Tephritidae pada

Mata manusia paling peka terhadap warna kuning 550 nm - Cahaya langit : sky light adalah cahaya bola langit yang dipakai penerangan alami ruangan - Cahaya buatan : artificial light

Puncak absorbansi untuk pelarut air terjadi pada panjang gelombang 540 nm, pelarut etanol pada panjang gelombang 415 nm dan pelarut metanol pada panjang gelombang 419 nm dan 533 nm...