BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisau Pemanen Sawit/Pisau Egrek
Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek biasanya menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk potongan platstrip sesuai dengan ukuran pisau egrek dan tipe yang ada. Proses produksi egrek ini dilakukan dengan pembakaran arang kayu atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa (hammer). Proses pembakaran arang kayu atau furnace dapat dilakukan sesuai dengan bahan yang akan di tempa.
Sumber : http://alatperkebunan.blogspot.com/ Gambar 2.1 Pisau Egrek/Pisau Pemanen Sawit
Dalam proses produksi egrek, beberapa tahapan yang harus dilalui antara lain:
1. Proses tempa (hammer)
lebih 45 menit tujuannya agar baja karbon sedang tersebut mudah untuk dibengkokkan karena pada awal tahap ini dilakukan proses tarik ekor yaitu pada ujung potongan baja karbon sedang. Proses tarik ekor ini dilakukan dengan menggunakan mesin tempa manual. Setelah proses tarik ekor, potongan baja karbon sedang dipanaskan kembali. Akibat pemanasan ini, ukuran baja karbon sedang semakin memanjang karena mengalami proses pemuaian. Selanjutnya dilakukan proses buka bagian depan dengan menggunakan mesin tempa. Agar ukuran/dimensi platstrip tersebut rata, maka dibawa ke tempat pemotongan dan dipotong dengan menggunakan mesin potong. Kemudian dipanaskan kembali di tungku pembakaran agar baja karbon sedang tersebut dapat dibengkokkan dengan menggunakan mesin rolling sesuai dengan bentuk egrek yang sudah standard dan dipukul rata dengan menggunakan mesin tempa. Seperti gambar dibawah ini.
Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan
2. Proses Polishing
Hasil akhir dari proses tempa (hammer) sudah dalam bentuk egrek tetapi masihmemerlukan pemolesan kembali agar sesuai dengan ukuran standard perusahaan.Tahap pertama proses ini adalah penggambaran pola. Dalam penggambaran polaini, digunakan egrek yang sudah terstandar sebagai acuan. Dengan menggambarpola ini, maka operator dapat dengan mudah memformat dengan menggunakanmesin format dan mempertajam bagian tepinya. Setelah selesai diformat, egrek dibawa ke proses flating. Proses flating ini merupakan proses pemukulan dengan menggunakan palu, tujuannya agar egrek tersebut tidak baling. 3. Gerinda kasar
4. Penyepuhan
Setelah mengalami proses gerinda kasar, egrek tersebut di sepuh dengan memanaskan pada tungku pembakaran. Oleh karena itu sebelum disepuh, arang dibakar selama 5 menit pada tungku pemanasan sehingga suhu mencapai diatas 850˚C. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengeluarkan kandungan karbon sehingga egrek tersebut makin keras. Pada tahap penyepuhan ini terjadi dua proses yaitu proses pengerasan (hardening) dan proses tempering. Pada proses hardening, egrek dipanaskan agar kandungan karbon hilang namun apabila pada tahap pemanasan suhu sudah terlalu tinggi maka egrek dapat patah maka dilanjutkan dengan tahap
tempering agar panas pada egrek dapat disesuaikan. Sesudah disepuh, egrek masih mengalami proses flating untuk meratakan permukaan egrek (agar tidak baling).
5. Gerinda halus
Egrek yang sudah disepuh dibawa ke mesin gerinda halus untuk digerinda. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutihkan permukaan egrek sehingga tampak mengkilap dan tampak lebih tajam.
6. Finishing
mengeringkan cat clear dan dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar cat clear tersebut dapat benar-benar kering. Setelah itu, egrek yang sudah selesai dibawa ke gudang produk jadi dengan menggunakan beko.
Tabel 2.1. Syarat Mutu Egrek – SNI 02-4874-1998
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Tampak Luar - Tidak cacat
2 Sisi Potong - Tajam
3 Bahan Baku - Baja karbon sedang
atau setara 4 Kekerasan Sisi Potong
Dilakukan Perlakuan Panas
HRC 45,3 (421 BHN)
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan
2.2 Baja
Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.
2.2.1. Klasifikasi Baja A. Baja Karbon
Berdasarkan komposisi dalam prakteknya baja terdiri dari beberapa macam yaitu: Baja Karbon ( Carbon Steel ), dan Baja Paduan ( Alloy Steel )
Berdasarkan tinggi rendahnya presentase karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)
Baja karbon rendah mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %. Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja, maka baja karbon rendah dapat digunakan atau dijadikan baja-baja sebagai berikut:
a. Baja karbon rendah yang mengandung 0,04 % - 0,10% C. untuk dijadikan baja – baja plat atau strip.
b. Baja karbon rendah yang mengandung 0,10 - 0,15% C digunakan untuk keperluan badan-badan kendaraan.
c. Baja karbon rendah yang mengandung 0,15% - 0,30% C digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, membuat baut atau dijadikan baja konstruksi.
2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel)
karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya.
3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)
Baja karbon tinggi mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara 70 – 130 kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.
Baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah diproduksi, mudah dimachining dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, pagar, dan lain-lain.
B. Baja Paduan
unsur campuran yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Baja paduan diklasifikasikan menurut kadar paduannya dibagi menjadi:
1. Baja paduan rendah (low-aloy steel ), jika elemen paduan ≤ 2,5 % misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P dan lain-lain.
2. Baja paduan menengah (medium-aloy steel ), jika elemen paduannya 2,5-10 % misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.
3. Baja paduan tinggi (high- alloy steel) jika elemen paduannya > 10 % misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.
Baja paduan dihasilkan dengan biaya lebih mahal dari baja karbon lainnya, karena bertambahnya biaya untuk penambahan pengerasan khusus yang dilakukan dalam industri atau pabrik. Baja padauan dapat didefenisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran seperti nikel, kromium, molibden, vanadium, mangan dan wolfram yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki (1).
korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya, tahan terhadap perubahan suhu, serta memiliki butiran yang halus dan homogen.
Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja adalah sebagai berikut : 1. Unsur Karbon (C)
Karbon merupakan unsur terpenting yang dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,3 – 1,7%, sedangkan unsur lainnya dibatasi sesuai dengan kegunaan baja. Unsur paduan yang bercampur di dalam lapisan baja adalah untuk membuat baja bereaksi terhadap pengerjaan panas dan menghasilkan sifat-sifat yang khusus. Karbon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan tetapi jika berlebihan akan menurunkan ketangguhan.
2. Unsur Mangan (Mn)
Semua baja mengandung mangan karena sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan kurang lebih 0,6% tidak mempengaruhi sifat baja, dengan kata lain mangan tidak memberikan pengaruh besar pada struktur baja dalam jumlah yang rendah. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik sehingga baja dengan penambahan mangan dapat memiliki sifat kuat dan ulet.
3. Unsur Silikon (Si)
menaikkan tegangan tarik dan menurunkan laju pendinginan kritis. Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan, ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat. 4. Unsur Nikel (Ni)
Nikel mempunyai pengaruh yang sama seperti mangan, yaitu memperbaiki kekuatan tarik dan menaikkan sifat ulet, tahan panas, jika pada baja paduan terdapat unsur nikel sekitar 2,5% maka baja dapat tahan terhadap korosi. Unsur nikel yang bertindak sebagai tahan korosi disebabkan nikel bertindak sebagai lapisan penghalang yang melindungi permukaan baja.
5. Unsur Kromium (Cr)
Sifat unsur kromium dapat menurunkan laju pendinginan kritis (kromium sejumlah 1,5% cukup meningkatkan kekerasan dalam media pendinginan minyak). Penambahan kromium pada baja menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja dikeraskan lebih baik karena kromium dan karbon dapat membentuk karbida. Kromium dapat menambah kekuatan tarik dan keplastisan serta berguna juga dalam membentuk lapisan pasif untuk melindungi baja dari korosi serta tahan terhadap suhu tinggi.
6. Wolfram (W)
Unsur paduan dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan untuk: 1. Meningkatkan kekerasan dan kekuatan pada temperatur tinggi. 2. Membentuk karbida yang kuat sehingga membentuk partikel
7. Vanadium (V)
Unsur paduan ini dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan antara lain :
1. Memantapkan ferrit.
2. Menurunkan kekerasan austenit. 3. Sebagai pembentuk karbida yang kuat.
4. Mengurangi pengembangan butir pada suhu yang tinggi.
5. Membatasi pertumbuhan butir sehingga karbida-karbida tersebar secara halus dan merata
8. Molibdenum (Mo)
Unsur paduan ini dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan antara lain :
1. Meningkatkan ketahanan korosi.
2. Pembentuk karbida sehingga mempunyai partikel-partikel yang tahan pada gesekan dan sangat besar pengaruhnya terhadap sifat mampu keras.
3. Meningkatkan kekuatan dan kekerasan. 4. Meningkatkan mampu bentuk.
5. Meningkatkan kekerasan butir pada fasa austenit. 6. Memperlambat proses difusi.
7. Memcegah pertumbuhan butir pada temperatur tinggi. 2.2.2. Sifat-Sifat Baja
akan dipilih untuk digunakan. Sifat-sifat tersebut tentunya sangat banyak macamnya, untuk itu secara umum sifat-sifat bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Sifat Kimia
Dengan sifat kimia diartikan sebagai sifat bahan yang mencakup antara lain kelarutan bahan terhadap larutan kimia, basa atau garam dan pengoksidasiannya terhadap bahan tersebut. Salah satu contoh dari sifat kimia yang terpenting adalah : Korosi
2. Sifat Teknologi
Sifat teknologi adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam proses pengolahannya. Sifat ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengolah atau mengerjakan bahan tersebut.
Sifat-sifat teknologi antara lain : sifat mampu las (weldability), sifat mampu dikerjakan dengan mesin (machineability), sifat mampu cor (castability), dan sifat mampu dikeraskan (hardenability)
3. Sifat Mekanik
Sifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi.
Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain : a. Kekuatan (strength)
Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok.
b. Kekerasan (hardness)
Dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear resistance). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan.
c. Kekenyalan (elasticity)
Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan.
lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi.
d. Kekakuan (stiffness)
Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan.
e. Plastisitas (plasticity)
f. Ketangguhan (toughness)
Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Juga dapat dikatakan sebagai ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur.
g. Kelelahan (fatigue)
Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya.
h. Keretakan (creep)
Merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap.
2.2.3. Diagram Fasa Besi-Karbon (Fe-C)
perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan.
Sumber : http://idrusme.blogspot.com/2011/11/diagram-fasa.html Gambar 2.3. Diagram Fasa Fe-C
Pemanasan pada suhu 723 0C dengan komposisi 0,8 % C disebut dengan titik eutectoid. Apabila dilakukan pemanasan sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypoeutectoid terbentuk fasa pearlit dan ferrit. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlit dan sementit. Pada pemanasan melewati garis eutectoid, terjadi perubahan fasa pearlit menjadi austenit.
Ketika paduan A (A1) mencapai suhu 7230C (suhu eutektoid) sisa
austenit sekitar 0,8% C (meskipun sebenarnya jumlah komposisinya 0,4%). Oleh karena itu, pada titik eutectoid reaksi yang terjadi adalah perubahan sisi austenite menjadi pearlite (α + Fe3C). ketika paduan A
(A3) mencapai suhu 9100C, ferit bcc mulai berubah bentuk menjadi
austenite. Ini merupakan reaksi solid dan dipengaruhi oleh difusi karbon pada austenit. Ferrit yang berisi karbon terbentuk dengan sangat lambat. Keadaaan paduan A (Acm) transformasi Fe3C menjadi austenit secara
keseluruhan pada suhu ini, seperti prediksi pada diagram. Seluruh sistem austenit fcc dengan kadar karbon 0.95 %.
dan pearlit. Dalam hal ini, pengaruh waktu tahan sangat menetukan pada pembetukan perubahan butir. Adapun macam – macam struktur yang ada pada besi karbon adalah sebagai berikut:
1. Ferrit
Ferrit adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotectoid pada saat mencapai A3. Ferrit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70 - 100 BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi.
2. Austenit
Fasa Austenit memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fasa austenit ditemukan pada temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenit lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrit dan memiliki kekerasan sekitar 200 BHN. 3. Sementit
Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan kandungan karbon 6,67% yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC
4. Perlit
temperatur eutectoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.
5. Bainit
Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit. 6. Martensit
Martensit merupakan larutan padat dari karbon yang lewat jenuh pada besi alfa sehingga latis-latis sel satuanya terdistorsi.
2.3 Mekanisme Penguatan Logam
Penguatan logam yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening), larut-padat, fasa kedua, prespitasi, dispersi, penghalusan butir dan tekstur.
1. Pengerasan regang (strain hardening)
Penguatan melalui mekanisme pengerasan regangan dapat terjadi terhadap semua logam akibat proses deformasi plastis yang menyebabkan terjadinya peningkatan kerapatan dislokasi. Dislokasi yang semakin rapat mengakibatkan dislokasi itu sendiri semakin sukar bergerak sehingga bahan semakin kuat atau keras.
2. Larut padat
Atom asing yang larut padat tersebut dapat berupa unsur pemadu dalam bentuk paduan maupun inklusi berupa atom pengotor. Kelarutan atom-atom asing ini dalam bentuk larut padat mengakibatkan timbulnya medan tegangan yang berdampak terhadap pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi semakin sukar dengan timbulnya medan tegangan sehingga mengakibatkan logam menjadi lebih kuat atau keras.
3. Fasa kedua
Penguatan atau pengerasan dapat pula terjadi melalui mekanisme fasa kedua karena timbulnya senyawa fasa paduan. Pembentukan senyawa fasa kedua dalam paduan terjadi karena penambahan unsur paduan yang melampaui batas larut padat. Senyawa fasa yang terbentuk relatif bersifat keras dan pergerakan dislokasi cenderung akan terhambat oleh fasa kedua tersebut. Pergerakan dislokasi yang terhambat oleh fasa kedua akan memperkuat dan memperkeras logam.
4. Prespitasi
aging. Paduan logam dalam bentuk dua fasa atau lebih dipanaskan pada suhu tertentu sehingga senyawa fasa tersebut akan larut-padat dalam satu fasa yang relatif homogen. Fasa yang relatif homogen tersebut kemudian didinginkan secara cepat sehingga membentuk fasa larut-padat super jenuh. Fasa larut-padat super jenuh tersebut kemudian mengalami aging sehingga terbentuk presipitat berupa partikel endapan fasa kedua yang halus dan tersebar merata yang mengakibatkan bahan menjadi keras. Pengerasan presipitasi ini akan menurun kekuatannya bila mengalami suhu overaging.
5. Dispersi
6. Penghalusan butir dan tekstur
2.3 Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Perlakuan panas atau Heat Treatment mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Cara yang dipakai ialah memanaskan logam sehingga terbentuk suatu fasa, kemudian diikuti dengan pendinginan cepat. Dengan cara ini pada temperature kamar akan terbentuk satu fasa yang kelewat jenuh. Bila logam dalam keadaan tersebut dipanaskan maka fasa-fasa yang larut akan mengendap.
Perlakuan panas adalah kombinasi anatara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat menentukan (9).
Perlakuan panas dibedakan: (a) proses laku panas dengan kondisi equilibrium, seperti annealing, normalising (b) proses laku panas non-equilibrium, seperti pengerasan (hardening).
Jenis-jenis perlakuan panas antara lain : 2.4.1 Annealing
diperoleh struktur yang diinginkan dengan menggunakan media pendingin udara.
Tujuan proses annealing yaitu : Melunakkan material logam
Menghilangkan tegangan dalam/sisa Memperbaiki butir-butir logam 2.4.2 Normalizing
Normalizing adalah proses pemanasan logam hingga mencapai fase austenite yang kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dengan media pendingin udara. Hasil pendinginan ini berupa perlit dan ferit namun hasilnya jauh lebih mulus dari annealing. Prinsip proses normalizing adalah melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.
Normalizing dilakukan untuk mendapatkan struktur mikro dengan butir halus dan seragam. Proses ini dapat diartikan sebagai pemanasan dan mempertahankan pemanasan pada suhu yang sesuai diatas batas perubahan diikuti dengan pendinginan secara bebas di dalam udara luarsupaya menjadi seragam dan juga untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari baja tersebut
2.4.3 Hardening
menuntut pemanasan benda kerja menuju suhu pengerasan dan pendinginan secara cepat dengan kecepatan pendinginan kritis (14).
Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi oksigen udara. Selain berpengaruh terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai sementit atau yang larut dalam austenit. Oleh karena itu pada benda kerja dapat berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan udara selama pemanasan atau hardening dapat dilakukan dengan jalan menambah temperature yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja akan bertambah kuat terhadap oksigen. Jadi, semakin tinggi temperatur, semakin mudah untuk melindungi besi terhadap oksidasi (14).
Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan ke-homogenan ini maka austenite perlu pemanasan yang cukup. Selanjutnya secara cepat baja tersebut dicelupkan ke media pendingin, tergantung pada kecepatan pendinginan yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja.
Dasar pengujian pengerasan pada bahan baja yaitu suatu proses pemanasan dan pendinginan untuk mendapatkan struktur kerasyang disebut martensit. Martensit yaitu fasa larutan padat lewat jenuh dari karbondalam sel satuan tetragonal pusat badan atau mempunyai bentuk Kristal Body Centered Tetragonal (BCT).
Sumber : ASM International, Material Park
Gambar 2.4 Struktur Kristal Martensit-Body Centered Tetragonal (BCT)
Makin tinggi derajat kelewatan jenuh karbon, maka makin besar perbandingan satuan sumbu sel satuannya, martensit makin keras tetapi getas. Martensit adalah fasa metastabil terbentuk dengan laju pendinginan cepat, semua unsur paduan masih larut dalam keadaan padat. Pemanasan harus dilakukan secara bertahap (preheating) dan perlahan-lahan untuk memperkecil deformasi ataupun resiko retak. Setelah temperatur pengerasan (austenitizing) tercapai, ditahan dalam selang waktu tertentu (holding time) kemudian didinginkan cepat.
1050oC kemudian didinginkan secara cepat (quenching). Tujuan pengerjaan ini dengan maksud pengerasan baja adalah mendinginkan atau melindungi suatu perubahan austenitic dari pada pendinginan.
2.4.4 Tempering
Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan (quenching) pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis) sehingga diperoleh ductility tertentu, yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (11). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150oC – 650 oC dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut (14). tujuan proses Tempering dibedakan sebagai berikut :
a. Tempering pada suhu rendah (150 oC - 300oC)
Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalami beban berat seperti alat-alat potong, mata bor dan sebagainya.
b. Tempering suhu menengah (300oC - 550oC)
Bertujuan untuk menambah keuletan, dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.
c. Tempering pada suhu tinggi (550oC - 650oC)
Pada dasarnya baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan. Melalui temper, kekerasan, dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan. Kekerasan turun, kekuatan tarik akan turun, sedang keuletan dan ketangguhan akan meningkat (8).
Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lemah, proses ini berbeda dengan annealing karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon.
Pada saat tempering proses difusi dapat terjadi yaitu karbon dapat melepaskan diri dari martensit berarti keuletan (ductility) dari baja naik, akan tetapi kekuatan tarik, dan kekerasan menurun. sehingga sifat-sifat mekanik baja yang telah dicelup, dan di-temper dapat diubah dengan cara mengubah temperatur tempering.
2.5 Media Pendingin
Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-macam. Berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panasantara lain :
1. Air
Air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut (Dugan, 1972; Hutchinson, 1975; Miller, 1992). Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0oC (32o F) – 100oC, air berwujud cair. Suhu 0oC merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100o C merupakan titik didih (boiling point) air.
Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas atau dingin dalam seketika. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Oleh karena itudalam penelitian ini digunakan air es dalam proses pendinginan setelah proses heat treatment karena dapat mendinginkan logam yang telah dipanaskan secara cepat. Suhu air es berkisar antara 4°C-5°C, densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadi pada suhu 3,95oC. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95o C, densitas air lebih kecil dari satu (15).
2. Minyak
Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panasadalah benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagaibahan pendingin pada proses perlakuan panas, dapat juga digunakan oli,minyak bakar atau solar.
sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas pelumas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut, maka peneliti memilih perlakuan panas temper dengan quenching media oli SAE 40. Perubahan sifat pada baja dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian kekerasan dan pengujian tarik. Alasan dipilihnya media pendingin oli SAE 40 adalah karena memiliki kadar viskositas 40 pada temperatur 100˚C yang akan menyebabkan
timbulnya selaput karbon pada spesimen dan atas dasar tujuan memperbaiki sifat material baja.
3. Udara
Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikan ke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal – kristal dan kemungkinan mengikat unsur – unsur laindari udara. Adapun pendinginan pada udara terbuka akan memberikan oksidasi oksigen terhadap proses pendinginan.
4. Garam
2.6 Pengujian Kekerasan
Kekerasan logam didefinisikan sebagai ketahanan terhadap penetrasi, dan memberikan indikasi cepat mengenai perilaku deformasi (Smallman, 2000). Alat uji kekerasan menekankan bola kecil, piramida atau kerucut ke permukaan logam dengan beban tertentu, dan bilangan kekerasan ( Brinell atau piramida Vickers) diperoleh dari diameter jejak. Kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau kekuatan tarik logam, Karena sewaktu indentasi, material di sekitar jejak mengalami deformasi plastis mencapai beberapa persen regangan tertentu. Bilangan kekerasan Vickers (VPN) didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan jejak piramida dan dinyatakan dalam satuan kgf/mm2 dan besarnya sekitar tiga kali tegangan luluh untuk material yang tidak mengalami pengerasan kerja yang berarti. Bilangan kekerasan Brinell (BHN) diberikan oleh persamaan (2.1). Dimana bilangan Brinell didefinisikan sebagai tegangan P/A, dalam satuan kgf/mm2, diamana P adalah beban dan A adalah luas permukaan kutub bola yang membentuk indentasi. Jadi
{ ⁄ }……...………..(2.1)
2.6 Pengujian Tarik
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada gambar 2.5. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tegangan dengan regangan.
Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik(eng.),
yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik (L) terhadap panjang batang mula-mula (L0). Tegangan yang
dihasilkan pada proses ini disebut dengan tegangan teknik (σeng), dimana
didefinisikan sebagai nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A0).
Sumber : Dasar Metalurgi untuk Rekayasawan. E.J Bradbury
Tegangan normal tesebut akibat gaya tarik dapat ditentukan berdasarkan
Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.3). Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm)
Pada prakteknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis (10). Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (2.4)
E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama “Modulus Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurvaSS (SS curve).
Umumnya, limit elastis bukan merupakan definisi tegangan yang jelas, tetapi pada besi tidak murni dan baja karbon rendah, titik awal terjadinya deformasi plastis ditandai dengan penurunan beban secara tiba-tiba yang menunujukan adanya titik luluh atas dan titik luluh bawah. Perilaku luluh ini merupakan karakteristik bebagai jenis logam, khususnya yang memiliki struktur bcc dan mengandung sejumlah kecil elemen terlarut. Untuk material yang tidak memiliki titik luluh yang jelas, berlaku definisi konvensional mengenai titik awal deformasi plastis, yaitu tegangan uji 0,1 atau 0,2 %. Di sini ditarik garis sejajar dengan bagian elastis kurva tegangan-regangan dari titik dengan regangan 0,2 %.
2.8 Pengujian Fatigue
Batas lelah merupakan batas tegangan suatu spesimen saat spesimen tersebut masih dapat menerima tegangan bolak-balik yang tak hingga tanpa terjadi patah. Batas lelah material dapat ditentukan dari pengujian lelah lentur putar (rotary bending fatique test) terhadap beberapa specimen uji. Beban yang diberikan pada masing-masing specimen uji dibuat berbeda-beda.
a. Retakan awal (crack inisiation) b. Daerah rambatan retak (crack growth) c. Daerah beban berlebih (overload area)
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya patah lelah adalah fluktuasi tegangan, dan secara umum kondisi tegangan dibagi menjadi tiga jenis dan dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Tegangan pembalikan ( reversed stress ) menunjukkan kondisi tegangan balik dengan bentuk sinusoidal hal ini dapat terjadi bila dalam keadaan ideal. Misalnya poros yang berputar dengan kecepatan konstan tanpa beban lebih sehingga keadaan tegangan maksimum dan minimum yang terjadi sama besar.
b. Tegangan berulang ( repeated stress ) terlihat bahwa tegangan maksimum dan tegangan minimum tidak sama dan keduanya dalam keadaan tarik. Tegangan berulang ini dapat juga terjadi dalam keadaan tekan kedua-duanya.
c. Tegangan tidak beraturan ( irregular stress ) keadaan tegangan tidak teratur, hal ini terjadi pada bagian sayap pesawat terbang karena factor aerodinamik sehingga besar kecilnya beban yang mengenai sayap tidak dapat dideteksi pada setiap periode waktu.
Perbandingan antara tegangan minimum dengan tegangan maksimum disebut stress ratio diberi notasi R, hasilnya dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.
Sedangkan pada pengujian fatik ada beberapa sistim penbebanan yang dapat digunakan seperti berikut ini :
- Tegangan tarik rata-rata (tensile mean stress) , R = + 1
- Tegangan balik sempurna (completely reversed stress ) , R = - 1 - Tegangan tarik pulsa (pulsating tension) , 0 < R < 1
- Tegangan tekan pulsa (pulsating compession) , 1 < R < + tak terhingga - Tegangan tarik bolak-balik rata-rata (alternating tensile mean stress ) , -
1 < R < 0
- Tegangan tekan bolak-balik rata-rata (alternating compressive mean stress)
- tak terhingga < R < 0
Pada pengujian fatik yang dilaksanakan di Laboratorium biasanya tegangan yang dipakai disederhanakan serta hasilnya diperlihatkan dalam bentuk diagram S – N , disebut juga Wohler diagram.
1. Kurva tegangan Vs Jumlah siklus
Sumber : http://kurva s-n untuk ferro-non ferro.com
Gambar 2.6. Kurva S – N untuk logan ferro dan non ferro
Jumlah siklus pada kurva tegangan bahan yang tahan terhadap perpatahan akan meningkat dengan menurunnya tegangan. Pengujian fatik untuk baja pada tegangan rendah dapat mencapai jumlah siklus sampai dengan 106 siklus, dan untuk bahan bukan besi sampai 107 siklus. Untuk beberapa jenis logam seperti baja dan titanium, garis pada kurva S – N akan berbentuk garis horizontal pada nilai tegangan tertentu yang lazim disebut sebagai batas kelelahan (endurance limit). Bila beban bahan bekerja dibawah garis horizontal ini berarti bahwa bahan dapat menahan beban tanpa mengalami patah.
pembuatan benda uji. Untuk mendapatkan data yang dapat mewakili kurva S – N maka dilakukan pengolahan data secara statistik.
Mekanisme patah lelah rotary bending, yang diakibatkan oleh pembebanan dinamis tersebut merupakan suatu proses pemisahan dari dua bidang padat akibat tegangan. proses perpatahan ini terdiri dari tiga fase yaitu : Inisiasi retakan (crack initiation) , perambatan retak (crack propagation), Patah akhir (fracture failure).
Pembebanan pada uji Fatique rotary bending pada dasarnya merupakan penerapan momen lentur yang dihasilkan oleh gaya berat pada lengan pemberat. Pada pengujian rotary bending ini, tegangan yang bekerja pada benda uji seperti ditunjukkan pada gambar 2.7.
Sumber : http//picsbox.biz/key/astm e466
Tegangan bending yang terjadi pada permukaan benda uji dapat ditentukan dengan menggunakan momen inersia dan jarak melintang benda uji dengan persamaan sebagai berikut :
σ
=
...(2.9)
dimana :
σb = Tegangan bending pada benda uji ( kg/cm2 ) Mb = Momen bending pada benda uji ( kg cm ) I = Momen inersia ( cm4 )
Dan besarnya momen bending yang terjadi pada benda uji adalah :
Mb=
...(2.10)
dimana :
Mb = Besar momen bending ( kg cm ) W = Beban yang dipergunakan ( kg )
L = Jarak beban diantara dua titik tumpuan yaitu 20 cm.
2.9 Analisa Struktur Butir
Butir kristal tidak sepenuhnya berbentuk polyhedral, tetapi dapat mempunyai bentuk yang berbeda, bergantung pada riwayat termal dan mekanik bahan utuh. Sifat mekanik turut ditentukan oleh ukuran butir. Makin halus butir, makin keras bahan dan kekuatan luluh; keuletan dan ketangguhan bahan juga lebih tinggi. Hubungan antara besar butir dan kekuatan diberikan oleh persamaan Petch yang dirumuskan pada persamaan (2.5).
⁄ ………...(2.5)
Dimana:
σy = Tegangan luluh
σ1= Tegangan friksi (friction stress)
k= Koefisien penguat (strengthening coefficient) d= ukuran (diameter) butir
2.9.1.Pertumbuhan Struktur Butir
Struktur kristal logam akan rusak pada titik cairnya (8). Batas butir akan lenyap dan kekuatan mekanik tidak akan berarti lagi. Struktur kristal akan terbentuk kembali jika logam didinginkan. Sewaktu membeku, energi dilepaskan dalam bentuk panas laten pembekuan, dan laju pembekuan bergantung pada jumlah panas yang dapat dilepaskan.
butir merupakan titik pertemuan pertumbuhan berbagai inti. Bila pendinginan cepat, jumlah kelompok bertambah dan tiap-tiap kelompok tumbuh dengan cepat hingga akhirnya saling bertemu. Sebagai hasil akhir, diperoleh logam dengan jumlah butir yang banyak atau disebut logam padat berbutir halus.
Bila logam direntangkan melampaui batas elastik dan mengalami deformasi tetap sebagian energi deformasi tertumpuk dalam butir sebagai distorsi kisi dan rangkaian dislokasi. Struktur coran logam yang langsung membeku dari cairan tidak mengadung energi deformasi mekanik. Oleh karena itu, struktur akan stabil dan hampir-hampir tidak mempunyai kecederungan untuk berubah. Pemanasan hingga suhu tinggi hanya akan mengubah bentuk butir secara terbatas, terkecuali pada besi dan baja. Pada logam ini, transformasi struktur padat terjadi jauh dibawah titik cair, dan mempunyai efek memperhalus butir struktur coran. Akan tetapi, umumnya bahan teknik tidak mengalami transformasi seperti itu dan struktur coran akan tetap ada sampai dipecahkan secara mekanik.
2.9.2. Perhitungan Diameter Butir
dinotasikan dengan NA. Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti pada gambar 2.8.
Sumber : http://lib.znate.ru/docs/index-108086.html
Gambar 2.8 Perhitungan butiran menggunakan metode planimetri
Jumlah butir bagian dalam lingkaran (Ninside) ditambah setengah jumlah butir yang bersingungan (Nintercepted) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali Jeffries (f) dapat dituliskan pada persamaan (2.6).
………...(2.6)
Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetukan melalui tabel 2.2.
Untuk selanjutnya setelah diperoleh nilai NA maka ukuran butir dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut
Tabel 2.2. Hubungan antara perbesaran yang digunakan dengan pengali Jeffries
Perbesaran (M) Pengali Jefrries( f ) untuk menetukan butiran/mm2
1 0.0002
10 0.02
25 0.125
50 0.5
75 1.125
100 2.0
150 4.5
200 8.0
250 12.5
300 18.0
500 50.0
750 112.5
1000 200.0