• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Struktur Mikro Terhadap Sifat Mekanis Baja Hss Asp 23 Untuk Bahan Mata Pisau Pemanen Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Struktur Mikro Terhadap Sifat Mekanis Baja Hss Asp 23 Untuk Bahan Mata Pisau Pemanen Sawit"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

Nilai kekerasan (BHN) pada proses Hardening 10500C (quenching) air es dengan lama proses Tempering adalah 1 Jam

Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) BHN

Rata-rata

Standar Deviasi

1 2 3 4 5

Raw Material 207 217 217 207 207 212 4 Hardening

10000C 601 601 653 601 653 621,8 25

Tempering

3000C 555 555 578 555 555 559,6 9

Tempering

3500C 514 514 555 514 514 522,2 16

Tempering

4000C 534 555 534 514 534 534,2 12,9

Tempering

4500C 514 514 534 514 534 522,2 9,9

Tempering

(2)

LAMPIRAN 2

Nilai kekerasan (BHN) pada proses Hardening 10500C (quenching) oli SAE 40 dengan lama proses Tempering adalah 1 Jam

Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) BHN

Rata-rata

Standar Deviasi

1 2 3 4 5

Raw Material 207 217 217 207 212 212 4,475 Hardening

10500C 653 601 653 653 627 637,4 20,8

Tempering

3000C 601 578 601 555 601 587,2 18,8

Tempering

3500C 555 601 601 601 555 582,6 22,535

Tempering

4000C 601 601 601 555 555 582,6 22,535

Tempering

4500C 555 555 578 601 601 578 20,572

Tempering

(3)

LAMPIRAN 3

Grafik Hasil Uji Tarik Baja HSS ASP 23

a) Raw Material

(4)

c) Tempering 300°C Quenching Oli SAE 40

(5)

e) Hardening Quenching Air Es

(6)
(7)

LAMPIRAN 4

(8)

LAMPIRAN 5

(9)

DAFTAR PUSTAKA

(1) Affiz, Fuad. 2012. Pengaruh Pengerolan Pra Pemanasan dibawah Temperatur Rekristalisasi dan Tingkat Depormasi Terhadap Kekerasan dan Kekuatan Tarik serta Struktur mikro Baja Karbon sedang untuk Mata Pisau Pemanen Sawit. Tugas Akhir, USU

(2) Djafri, Sriati. 1983. Teknologi Mekanik Jilid I ,Terjemahan dari Manufacturing Processes. Erlangga , Jakarta.

(3) Murtiono, Arief. 2012. Pengaruh Quenching dan Tempering Terhadap Kekerasan Dan Kekuatan Tarik Serta Mikro struktur Baja Karbon Sedang Untuk Mata Pisau Pemanen Sawit. Tugas Akhir, USU

(4) Djafri, Sriati. 1987. Metalurgi Mekanik, Terjemahan dari Mechanical Metallurgy. Erlangga, Jakarta.

(5) Wibowo,Bambang Tri. 2006. Pengaruh Temper Dengan Quenching Media Pendingin Oli Mesran SAE 40 Terhadap Sifat Fisis Dan Mekanis Baja ST 60. Tugas Akhir, UNNES, Semarang

(6) S.Z.Qamar. 2009. Effect of Heat Treatment On Mechanical Properties of H11 Tool Steel. Jurnal, Sultan Qaboos University, Oman

(7) Amstead, BH.1997. Teknologi Mekanik jilid 1. Erlangga, Jakarta.

(8) ASM Handbook.2005. Volume 1, Properties and Selection: Irons Steels and High Performance Alloys. ASM International.

(9) ASTM E 10-01. 2004. Standard Test Method for Brinell Hardness of Metallic Materials. ASTM International.

(10)

(11) Bradbury, EJ. 1990. Dasar Metalurgi untuk Rekayasawan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(12) Dieter, George E. 1987. Metalurgi Mekanik. Erlangga, Jakarta.

(13) Doan, G.E. 1952. The Principles of Physical Metallurgy. Mc Graw Book Company, New York.

(14) Koswara, Engkos. 1999. Pengujian Bahan Logam. Humaniora Utama Press, Bandung.

(15) Poerwadarminta, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

(11)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai waktu dan tempat penelitian, alat dan bahan, spesifikasi spesimen, perlakuan panas, serta metode pengujian.

3.1 Proses Heat Treatment

Pemanasan hardening dilakukan pada temperature diatas temperatur rekristalisasi yaitu pada temperatur 1050°C setelah itu spesimen didinginkan dengan media pendingin (Quenching) air es dan media pendingin oli SAE 40. Dalam penelitian ini digunakan thermocouple digital untuk mendapatkan pembacaan suhu yang akurat di dalam furnace. Berikut ini adalah skema proses heat treatment yang dilakukan dalam penelitian ini.

Gambar 3.1 Skema proses Heat Treatment dan Quenching 0

200 400 600 800 1000 1200

0 60 120 180 240 300 360

Te

mpe

ra

tur

˚C

Waktu (menit)

60 menit Quenching

(12)

Lama laju proses pendinginan sekitar 1-2 menit untuk quenching air es dan media pendingin oli sekitar 50 menit. Setelah proses hardening selesai, proses selanjutnya yaitu proses tempering dengan variasi temperatur 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, dan 500°C dengan lama penahanan 1 jam.

Proses pemanasan seperti terlihat pada gambar 3.2 dibawah ini

Gambar 3.2 Pemanasan Spesimen di dalam Furnace

Spesifikasi :

Merk : NABER

Made in : Bremen Germany

Type : 2804

Suhu max : 1100 ºC

Keteranagn Gambar :

1. Dapur pemanas furnace

2. Tombol ON/OFF

3. Panel pengatur temperatur furnace

Berikut ini adalah prosedur percobaan untuk proses perlakuan panas atau 1

(13)

1. Furnace dihidupkan dan disetting pada temperatur 1050°C hingga

kondisi idle.

2. Seluruh spesimen yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan kedalam

furnace dan dipanaskan pada suhu 1050°C dengan lama waktu

penahanan 60 menit (proses hardening).

3. Setelah dipanaskan selama 60 menit, spesimen dikeluarkan dari dalam

furnace kemudian didinginkan dengan media pendingin air es

(quenching).

4. Setelah spesimen dingin pada suhu kamar (30°C), temperatur furnace

diturunkan hingga temperatur untuk kemudian proses tempering yaitu

300°C.

5. Kemudian spesimen dimasukkan kedalam furnace dan ditahan selama 1

jam (proses tempering). Setelah selesai spesimen dikeluarkan dari

furnace dan didinginkan hingga mencapai temperatur kamar dengan

udara bebas.

6. Prosedur yang sama juga dilakukan pada temperatur 350°C, 400°C,

450°C dan 500°C untuk proses tempering.

(14)

Gambar 3.3 Thermocouple digital tipe K

Spesifikasi :

Merk : KRISBOW Made in : Japan Type : Kw 06-278

Suhu max : 1100 ºC Keterangan Gambar :

1. Kabel thermocouple

2. Layar penunjuk pengukuran temperatur kabel thermocouple 3. Tombol ON/OFF

4. Tombol pilihan jenis temperatur

3.2 Waktu dan Tempat

Waktu penelitian ini direncanakan selama sembilan bulan yang dimulai dari februari sampai dengan november 2013. Tempat dilaksanakan penelitian ini adalah di Laboratorium Teknologi Mekanik, Laboratorium Metalurgi Fakultas

1

2

(15)

Teknik Universitas Sumatera Utara dan Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND INDUSTRI MEDAN).

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Peralatan

Adapun peralatan yang di pergunakan selama penelitian ini adalah:

1. Tungku Pemanas (Furnace Naber) 2. Thermocouple Type-K

3. Jangka sorong 4. Penjepit spesimen 5. Mesin poles (polisher) 6. Mikroskop optic 7. Mikroskop VB 8. Teropong Indentor 9. Mesin Sekrap

10.Alat uji kekerasan Brinell

11.Mesin uji tarik Torsee Type AMU-10 12.Wadah cairan pendingin

13.Mesin Bubut 14.Mesin Uji Fatique

3.3.2 Bahan

(16)

1. Baja HSS ASP 23 (Sumber : PT. ASSAB STEEL INDONESIA)

2. Kertas pasir dengan mesh 120, 220, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan 1500. 3. Larutan etsa nital 10%

4. Kain Panel 5. Larutan alumina

Adapun banyaknya jumlah spesimen dalam penelitian ini berjumlah 23 spesimen, dengan perincian 13 spesimen uji kekerasan, 7 spesimen uji tarik, dan 3 spesimen uji fatique.

3.4 Spesifikasi Spesimen

Spesimen yang dipergunakan dalam pengujian ini yaitu spesimen uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan struktur mikro. Seperti yang diperlihatkan pada spesimen kekerasan gambar 3.4, spesimen uji tarik dari ASTM E-8M gambar 3.5, specimen uji fatique 3.6 dan spesimen struktur mikro gambar 3.7.

3.4.1 Spesifikasi Spesimen Kekerasan

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen terlebih dahulu dipotong dengan menggunakan alat mesin gergaji dengan dimensi seperti terlihat pada gambar 3.4

(17)

200

60 60

R12 .5

13

5 Spesimen kekerasan pada benda uji ini dilakukan pada beberapa titik secara acak untuk mengetahui kekerasan serta kekerasan rata-rata pada daerah tersebut dengan metode Brinell atau BHN (Brinell Hardness Number).

3.4.2 Spesifikasi Spesimen Uji Tarik

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin skrap sehingga sesuai dengan standar uji tarik untuk baja sheet atau lembaran yaitu ASTM E-8M.

Sumber : ASTM E-8M, ASTM Handbook

Gambar 3.5 Spesimen Uji Tarik

(18)

3.4.3 Spesifikasi Spesimen Uji Fatique

Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin bubut sehingga sesuai dengan standar uji fatique untuk baja HSS ASP 23 yaitu ASTM E 466.

(a)

(b)

Gambar 3.6 (a) Spesimen uji fatique (b) Dimensi Spesimen (sesuai ASTM E 466)

3.4.4 Spesimen Uji Metallografi

(19)

Gambar 3.7 Spesimen Metallografi

Pengamatan struktur mikro atau metallografi dalam pengujian ini sangat diperlukan untuk mengetahui besar atau diameter dari butiran spesimen.

3.5 Pengujian

Pengujian yang dilakukan terhadap baja HSS ASP 23 yang belum dan telah mengalami proses perlakuan panas meliputi uji kekerasan, uji tarik dan metallografi.

3.5.1 Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan dilakukan di Laboratorium Metallurgi, Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik USU. Sebelum diuji kekerasannya, spesimen dibersihkan dan diratakan permukanya terlebih dahulu dengan mesin poles

dan kertas pasir. Setelah itu pengujian kekerasan dilakukan dengan alat

brinell dengan pembebanan 3000 kg dan diameter jejak diukur mengunakan

teropong indentor. Setiap benda uji dilakukan pengujian kekerasan sebanyak

5 kali kemudian diambil rata-ratanya sesuai skala Brinell. Adapun alat uji

(20)

Gambar 3.8 Alat uji Brinell (Lab. Metallurgi USU, 2013)

Spesifikasi:

Type : BH-3CF Kapasitas max : 3500 Kg

Bola indentasi : 3, 5, dan 10 mm Keterangan Gambar :

1. Panel beban 2. Tuas Hidrolik

3. Indentor/bola indentor 4. Katup hidrolik

5. Beban 6. Landasan uji

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian kekerasan dengan metode Brinell :

1

2

3 4

5

(21)

1. Spesimen dibersihkan permukaannya dengan mesin polish hingga permukaannya rata dan mengkilap.

2. Setelah bersih, spesimen diletakkan pada landasan uji dan bola indentor yang digunakan adalah bola dengan diameter 10 mm.

3. Spesimen dinaikkan hingga menyentuh bola indentor, kemudian katup hidrolik dikunci.

4. Tuas hidrolik ditekan berulang-ulang hingga skala pada panel menunjukkan angka 3000 kg kemudian ditahan selama 15 detik.

5. Setelah 15 detik katup hidrolik dibuka untuk mengembalikan beban ke posisi semula (0 kg).

6. Pengamatan diameter indentasi dilakukan dengan menggunakan teropong Indentor dan data diameternya disesuaikan dengan tabel kekerasan BHN. 7. Pengambilan data kekerasan diulang sebanyak 5 kali untuk masing-masing

spesimen dan diambil data rata-ratanya.

3.5.2 Pengujian Tarik

Pada penelitian ini pengujian tarik dilakukan pada nilai kekerasan yang

optimum setelah proses hardening dan tempering. Pada pengujian tarik dicari

tegangan luluh (σy), tengangan batas (σu) dan regangan. Karena terjadi

perbedaan kelunakan bahan akibat variasi suhu perlakuan panas maka perlu

dihitung kembali ketebalan bahan sebelum dilakukan pengujian. Pada

penelitian ini pengujian tarik menggunakan alat uji tarik Torsee Type

(22)

Gambar 3.9 Alat uji tarik Torsee Type AMU-10

Spesifikasi:

Type : AMU-10 Beban max : 10 Ton Force Tahun :1989

Keterangan Gambar : 1. Panel beban 2. Pembaca grafik 3. Tombol ON 4. Tombol UP

5. Katup Unload Valve 6. Chuck atas

7. Chuck bawah

1

2

10 5

4 3 9

(23)

8. Tombol Pump 9. Tombol DOWN 10. Katup Load Valve

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian tarik dengan menggunakan alat uji tarik Torsee Type AMU-10 :

1. Spesimen dibentuk sesuai ukuran menurut standar ASTM E-8M, namun dalam penelitian ini spesimen di skalakan menjadi 1 : 2 mengingat tingginya harga material yaitu panjang daerah uji 30 mm, panjang daerah cekam 30 mm, tebal spesimen 2.5 mm.

2. Mesin uji tarik dihidupkan kemudian disetting alat pembaca grafik dan jarum skala beban pada panel.

3. Spesimen dicekam pada chuck atas, kemudian chuck bawah dinaikkan dengan menekan tombol UP hingga mencekam spesimen secara keseluruhan.

4. Katup hidrolik (load valve) dibuka kemudian mesin (pompa hidrolik/PUMP) dijalankan sampai spesimen putus.

5. Setelah spesimen putus katup hidrolik (load valve) ditutup dan katup pembuka (unload valve) dibuka, kemudian chuck bawah diturunkan dengan menekan tombol DOWN.

(24)

7. Prosedur yang sama dilakukan pada spesimen uji tarik yang lain.

3.5.3 Pengujian Fatique

Pada penelitian ini pengujian kelelahan dilakukan dari hasil

pengujian tarik yaitu yield yang paling tinggi dan regangan yang paling

tinggi dari proses hardening dan tempering. Pada pengujian kelelahan dicari massa pakai (kekuatan lelah) dan yield strengh.

Berikut ini adalah metode percobaan untuk proses perlakuan panas

atau heat treatment yang dilakukan dalam penelitian ini :

1. Benda uji yang sudah melalui proses heat treatment dan tempering

diambil 2 spesimen yang paling tinggi dari uji tarik dan 1 spesimen

raw material yang kemudian dibentuk sesuai ASTM E 466 di letakkan pada chuck poros pada posisi horizontal kemudian dikunci dengan rapat.

2. Benda uji diberi beban 7 Kg.

3. Motor pada mesin fatigue dihubungkan ke poros melalui pully dan belt.

4. Setelah semua sudah terpasang dengan baik kemudian mesin uji Fatigue TECO 3-Phase Induction dengan putaran 1020 rpm dihidupkan melalui tombol kontaktor.

5. Setelah mesin dihidupkan putaran mesin menjadi menurun sebesar

(25)

6. Pada setiap perlakuan suhu optimal pada proses mechano heat

treatment didapat umur lelah yang berbeda-beda.

Pada penelitian ini pengujian kelelahan menggunakan mesin uji Fatigue TECO 3-Phase Induction dengan putaran 1420 rpm seperti yang diperlihatkan oleh gambar 3.10.

(b)

Gambar 3.10 (a) Mesin uji Fatigue TECO 3-Phase Induction

(b) Beban yang digunakan

1

3 2

4

5 6

(26)

Keterangan Gambar :

1. Motor

Berfungsi sebagai penggerak atau sebagai sumber daya putaran.

2. Pully dan Belt

Berfungsi sebagai penghubung dari motor dengan bantalan poros.

3. Bantalan Poros

Berfungsi sebagai penerus daya dari motor.

4. Poros

Berfungsi sebagai tempat benda uji dan tempat pully

5. Kontaktor

Berfungsi sebagai tempat off / on untuk motor dan sebagai tempat melihat putaran pada motor.

6. Tempat beban

Ber fungsi untuk meletakkan benda uji.

Spesifikasi:

(27)

3.5.4 Pengujian Metallografi

Pengujian metallografi agar dapat diamati mikrostrukturnya, maka terlebih

dahulu benda uji di bersihkan permukaannya. Berikut ini adalah

langkah-langkah dalam pembuatan spesimen metallografi :

1. Penghalusan (grinding)

Dilakukan pada spesimen untuk pengujian struktur mikro dengan jalan menghaluskan permukaan dengan mesin penghalus.

2. Pengampelasan

Tujuan pengampelasan adalah untuk menghilangkan kotoran atau karat yang terdapat pada spesimen uji. Pengampelasan dilakukan mulai dari nomor seri amplas yang paling kasar sampai dengan nomor seri kekasaran yang cukup halus, yaitu dimulai dari grade 400, 600, 800, 1000, 1200 dan 1500. Nomor kecil menunjukkan kertas amplas kasar dan nomor lebih besar menunjukkan kertas amplas lebih halus.

3. Pemolesan (Polishing)

(28)

perlu diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya goresan. Apabila ternyata masih ada goresan maka proses pemolesan perlu dilanjutkan sampai goresan hilang.

4. Pengetsaan

Pengetsaan hanya dilakukan untuk benda uji yang akan dimati struktur mikronya. Bahan etsa benda uji ini menggunakan HNO3 10% (etsa nital)

yaitu campuran alkohol 90 ml dan asam nitrit 10 ml dengan waktu pencelupan selama 5 - 30 detik. Tujuan dari proses ini yaitu untuk manampakkan batas butir atau struktur mikro dibawah mikroskop agar nampak jelas dimana sangat tergantung dari lamanya proses pencelupan. Adapun langkah-langkah pengetsaan sebagai berikut :

1. Larutan etsa dituangkan secukupnya ke dalam cawan, sekitar 15 ml dari larutan HNO3 10%.

2. Permukaan benda uji dicelupkan kedalam larutan dengan memakai tang penjepit.

3. Benda uji dibersihkan dengan alkohol yang bertujuan untuk menghilangkan sisa larutan etsa yang masih menempel.

4. Benda uji kemudian dikeringkan dengan udara bebas atau agar lebih cepat dengan menggunakan kipas angin agar alkohol pada proses pembersihan sebelumnya hilang.

(29)

batas antara butir–butir logam. Adapun corak antara butir-butir yang berbeda jenisnya akan nampak jelas dilakukan dengan mikroskop optic kemudian dihitung besar butirannyadengan metode planimetri. Adapun perbesaran yang dipergunakan adalah 500 X. Alat mikroskop optik seperti terlihat pada

gambar 3.11.

Gambar 3.11 Mikroskop optik (Lab. Metallurgi USU, 2012)

Spesifikasi:

Merk : Rax Vision 3

Pembesaran Optik : 50X, 100X, 200X, 500X, dan 800X Keterangan Gambar :

1. Sambungan USB 2. Lensa mikroskop

3. Optik pembesaran mikroskop

1

3 2

4

(30)

4. Bidang atau landasan uji 5. Pengatur fokus mikroskop

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian Metallografi :

1. Spesimen dipolish dengan kertas pasir grade 100 selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan grade 400, 600, 800, 1000,1200 dan 1500 selama 15 menit.

2. Setelah dipolish dengan kertas pasir, spesimen dipolish dengan bubuk alumina sampai terbentuk kilatan seperti cermin.

3. Etsa nital 10% dituangkan dalam wadah atau cawan kemudian spesimen dicelupkan kedalam etsa selama 5-30 detik.

4. Spesimen yang telah dietsa dibersihkan dengan cara dicelupkan lagi ke dalam alkohol kemudian dikeringkan di udara bebas atau dikeringkan dengan kipas angin.

5. Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop optik rax vision yang disambungkan ke program Rax Vision Plus 4.1 pada komputer.

6. Spesimen diletakkan diatas bidang uji atau meja mikroskop kemudian didekatkan dengan optic mikroskop.

7. Digunakan perbesaran 500X dan diambil photo dari masing-masing spesimen pada titik tengah dari masing-masing spesimen.

(31)

9. Setelah didapatkan fokus dan pencahayaan yang yang pas, diambil photo dari spesimen dengan mengklik icon Capture frame pada program Rax Vision plus 4.1.

10.Prosedur yang sama juga dilakukan untuk spesimen lainnya.

(32)

Proses Heat Treatment

Hardening Suhu 1050°C. 60 Menit

Tempering Suhu 300°C,350°C,400°C, 450°C dan 500°C. 60 Menit

[image:32.595.124.566.113.711.2]

3.6Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.12 Diagram alir penelitian Mulai

Studi Literatur (Baja HSS ASP 23)

Uji Tarik Struktur Mikro

Uji Kekerasan

Selesai

Uji Fatique Raw Material

Kesimpulan Ya Perbandingan Data Hasil Pengujian

(33)

Persiapan Benda Uji

[image:33.595.87.577.108.652.2]

Analisa Data Pengujian 3.7 Diagram Alir Pengujian

Gambar 3.13 Diagram Alir Pengujian Mulai Uji Kekerasan (BHN) Uji Tarik (Tegangan) Struktur Mikro (Diameter Butir) 1. Polishing 2. Indentor 10 mm 3. Pompa hidrolik 4. Pembebanan 3000

kg selama 15 detik.

5. Diameter Indentasi 6. Tabel BHN

1. Pembentukan spesimen ASTM E-8M

2. Cekam chuck atas dan chuck bawah 3. Pompa hidrolik 4. Load Valve 5. Unload valve 6. Grafik uji tarik

(Regangan)

1. Pembentukan spesimen ASTM E 466

2. diletakkan pada chuck poros 3. Benda uji diberi

beban 7 Kg 4. Putaran motor

1020 rpm 5. Waktu hasil

patahan spesimen. Selesai Uji Fatique (Kelelahan) 1. Polishing 2. Pengetsaan (Nital 10%) 3. Mikroskop optic Rax Vision pembesaran 500x 4. Photo mikro/batas butir

(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dalam bab ini berisikan data angka, grafik dan foto-foto hasil penelitian setelah dilakukan heat treatment, yaitu pada kondisi suhu tertentu. Berikut ini adalah data hasil pengujian sifat mekanis awal dari raw material tanpa perlakuan panas (30°C) dapat dilihat pada tabel 4.1, komposisi kimia dari PT.Assab table 4.2 dan hasil dari uji komposisi kimia dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.1 Sifat Mekanis Raw Material

Spesimen Kekerasan (BHN) σy (MPa) σu (MPa) ε (%) Diameter Butir (μm) Raw

[image:34.595.122.498.520.608.2]

Material 212,00 1378,07 1553,25 5,80 10,00 Sumber : Laboratorium Metalurgi. USU

Tabel 4.2 Komposisi Kimia baja HSS ASP 23 dari PT.ASSAB STEEL INDONESIA

Komposisi Kimia (%)

C Cr Mo V W Others

1.28 4.2 5.0 3.1 6.4 -

Tabel 4.3 Hasil Uji Komposisi Kimia Baja HSS ASP 23

Unsur Rata-rata (%)

(35)

Cr Mo V Mn P Ni Al Ti Sn Nb Pb Cu Si 4,20 5,00 3,10 0,438 0,036 0,214 0,035 0,058 0,096 0,062 0,066 0,045 0,032

Sumber : Lab Badan Riset dan Standarisasi Industri Medan

(36)

4.1.1 Hasil Uji Kekerasan

Kekerasan merupakan ukuran ketahanan bahan terhadap deformasi tekan. Sebuah indentor yang keras ditekankan ke permukaan logam yang di uji. Depormasi yang terjadi merupakan kombinasi prilaku elastis dan plastis, akan tetapi kekerasan umumnya hanya berkaitan dengan sifat plastis dan hanya untuk sebagian kecil bergantung pada sifat elastis. Pengujian kekerasan dalam penelitian ini dilakukan agar dapat diketahui pengaruh proses heat treatment terhadap perubahan kekerasan material baja HSS ASP 23.

Penghitungan nilai kekerasan dari benda uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala Brinell yang bekas injakannya atau indentasinya dapat dilihat dengan teropong Indentor dan nilai BHN-nya disesuaikan dengan tabel kekerasan.

Pada tabel 4.4 adalah tabel kekerasan spesimen setelah dilakukan proses perlakuan panas, dimana pada proses hardening didinginkan dengan media pendingin air es dan media pendingin Oli SAE 40 kemudian di ikuti proses tempering selama 60 menit.

Tabel 4.4 Pengujian Kekerasan Bedasarkan Skala Brinell

Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) Rata-Rata

Standar Deviasi

Air Es Oli Air Es Oli

(37)

Tempering 300˚C, 60 Menit 555,4 587,2 14 18,4

Tempering 350˚C, 60 Menit 547 582,6 16 22,53 Tempering 400˚C, 60 Menit

534,2 582,6 13 22,53

Tempering 450˚C, 60 Menit 530,2 578 15 20,57 Tempering 500˚C, 60 Menit 518,4 573,4 19 22,53

[image:37.595.120.502.84.260.2]

Tabel diatas jika disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini yang nilai kekerasannya dibandingkan dengan nilai kekerasan raw material tanpa perlakuan panas.

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Antara Kekerasan (BHN) dan Jenis Perlakuan

Keterangan dari gambar untuk jenis perlakuan yaitu RM adalah raw Material, H adalah proses hardening, dan T adalah proses tempering. Dari data kekerasan yang telah disajikan diatas terlihat bahwa kekerasan material setelah di-quenching air es dan oli sangat jauh meningkat, yaitu dari 212

0 100 200 300 400 500 600 700 800

k

ek

er

asa

n

(B

HN)

Jenis Perlakuan

Oli Air Es

RM H T3000C T3500C T4000C

[image:37.595.123.531.386.585.2]
(38)

BHN naik menjadi 621,8 BHN dan 637,4 BHN. Pada proses quenching terbentuk struktur martensite yang keras, yang merupakan fasa metastabil yang terbentuk dengan pendinginan cepat. Akan tetapi, bahan yang keras ini bersifat getas sehingga diperlukan proses tempering untuk mengurangi kegetasan atau kerapuhan dari bahan.

[image:38.595.114.512.324.557.2]

Berikut ini adalah grafik dari hasil proses tempering pada suhu 300°C, 350°C, 400°C, 450°C, dan 500°C dengan lama penahanan pemanasan 60 menit

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Kekerasan (BHN) dan Suhu Proses Tempering

Berdasarkan hasil pengujian kekerasan yang diperlihatkan pada gambar 4.2 grafik diatas dapat dilihat bahwa proses tempering selama 60 menit dengan suhu 300˚C dan 350˚C menurunkan nilai kekerasan bahan, meskipun

tidak terlalu besar yaitu 555,4 BHN dan 547 BHN. Dari data diatas dapat 200

300 400 500 600 700 800

200 300 400 500 600

Kek

era

san

(BHN)

Suhu ˚C

Oli

(39)

disimpulkan semakin tinggi suhu tempering pada baja HSS ASP 23 dengan media pendinggin air es dan oli maka nilai kekerasannya menurun .

4.1.2 Hasil Uji Tarik

Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari material akibat proses perlakuan panas dan tempering pada pada baja HSS ASP 23. Dalam penelitian ini pengujian tarik berjumlah 7 (tujuh) spesimen yang dilakukan pada nilai kekerasan yang optimum dari proses hardening dan tempering. kemudian dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik dari raw materialnya. Adapun spesimen yang akan diuji tarik yaitu raw material, hardening dengan quenching air es dan oli serta material setelah proses tempering 300°C dan 350°C media pendingin air es dan oli. Hasil pengujian tarik terdiri dari tiga parameter yaitu tegangan luluh (yield strength), tegangan batas (ultimate strength) dan keuletan yang ditunjukkan oleh besarnya regangan.Data hasil pengujian tarik dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Tabel Data Hasil Uji Tarik

Spesimen σy (MPa) σu (MPa) ε (%)

Raw Material 1378,07 1553,25 5,80 Hardening 1050˚C media

Quenching Air Es

3070,53 3227,02 7,86

Quenching Air Es Tempering 300˚C

(40)

Quenching Air Es Tempering 350˚C

2824,81 3052,77 6,74

Hardening 1050˚C media Quenching Oli SAE 40

2978,5 3281,67 9,97

Quenching Oli SAE 40 Tempering 300˚C

2889,74 3179,37 9,63

Quenching Oli SAE 40

Tempering 350˚C 2818,27 3141,53 6,06

[image:40.595.156.474.83.310.2]

Tabel diatas bila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar grafik 4.3 berikut ini yang nilai tegangannya dibandingkan dengan nilai tegangan raw material tanpa perlakuan panas.

Gambar 4.3 Grafik Hubungan antara Kekuatan Luluh (Yield Strangth) dan 1000 1500 2000 2500 3000 3500

Teg

amg

an

(MP

a)

Jenis Perlakuan

oli es

RM H T 300˚C T

[image:40.595.127.502.474.681.2]
(41)

Dari gambar grafik dapat kita lihat bahwa akibat proses hardening dengan media pendingin air es dan oli dapat meningkatkan tegangan luluh dari raw material yakni mencapai 3070,53 MPa untuk pendingin air es dan 2978,5 MPa pendingin oli, dan tegangan luluh tempering 300°C dan 350°C dengan media pendingin air es dan oli juga meningkat dari raw material maka dari keseluruhan grafik 4.3 diatas dapat kita simpulkan bahwa proses hardening dapat meningkatkan tegangan luluh material dan semakin tinggi suhu tempering maka tegangan luluhnya akan semakin menurun.

[image:41.595.131.495.434.672.2]

Dibawah ini merupakan hubungan antara kekuatan batas (ultimate strangth) dan jenis perlakuan yang dapat dilihat pada gambar grafik 4.4 berikut ini.

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Batas (Ultimate Strength) dan Jenis Perlakuan 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Ultim

at

e

Strength

(MP

a)

Jenis Perlakuan

OLI Air Es
(42)

Dari gambar grafik diatas dapat kita ketahui bahwa proses hardening dapat meningkatkan kekuatan batas hingga mencapai 3281,67 MPa quenching oli dan 3227,02 MPa quenching air es dan proses tempering menunjukkan semakin tinggi suhu tempering semakin menurunkan kekuatan batas (ultimate strength) material.

[image:42.595.132.499.295.502.2]

Sementara hubungan antara regangan dan jenis perlakuan dapat dilihat pada gambar 4.5 berikut ini.

Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara Regangan dan Jenis Perlakuan

Dari gambar grafik diatas dapat kita lihat bahwa akibat proses hardening dan tempering dapat meningkatkan nilai regangan material baja HSS ASP 23 dari nilai raw materialnya namun pada proses tempering semakin tinggi suhu tempering maka regangannya akan semakin menurun.

0 2 4 6 8 10 12

R

eg

ang

an

(%)

Jenis Perlakuan

OLI Air Es

(43)

4.1.3 Hasil Uji Fatique

Pengujian fatigue dilakukan untuk mengetahui hubungan kekuatan fatigue terhadap masa pakai (life time) serta mengetahui pengaruh perlakuan pada material baja HSS ASP 23 terhadap kekuatan fatigue. Dalam penelitian ini pengujian fatigue hanya dilakukan pada hasil yang optimal pada proses hardening dan tempering

[image:43.595.109.516.389.672.2]

Hasil pengujian fatigue terdiri dari dua parameter yaitu siklus (life time), kekuatan luluh (yield strength). Secara umum hasil pengujian fatigue dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil uji fatigue

Spesimen Lama Waktu Hingga Spesimen Patah Siklus N (rpm) Kekuatan Utimate (σu) Kekuatan Lelah (σy) Raw Material

4830 Menit 4.926.600 1553,25 1378,07

Hardening Quenching Oli

365 Menit 372.300 3281,67 2978,5

Tempering 300°C (Oli)

990 Menit 1.009.800 3179,37 2889,74

(44)
[image:44.595.113.514.95.330.2]

a. Raw Material

Gambar 4.6 Kurva S-N Raw Material HSS

b. Hardening Pada Suhu 1050°C dengan Quienching Oli SAE 40

Gambar 4.7 Kurva S-N Hardening Oli

c. Tempering 300°C dengan Quenching Oli 0 500 1000 1500 2000 2500

0.E+00 1.E+06 2.E+06 3.E+06 4.E+06 5.E+06 6.E+06

K ek ua tan Le lah σ y (MP a)

Siklus N (rpm)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0.E+00 5.E+04 1.E+05 2.E+05 2.E+05 3.E+05 3.E+05 4.E+05 4.E+05

K ek ua tan Le lah σ y (MP a)

[image:44.595.111.501.400.611.2]
(45)
[image:45.595.114.507.81.276.2]

Gambar 4.8 Kurva S-N Tempering 300°C

Dari grafik hasil pengujian fatique dapat diambil kesimpulan semakin tinggi nilai kekerasan dan kekuatan tarik dari material maka life time nya semakin kecil, hal ini terlihat jelas dimana raw material memiliki life time jauh lebih tinggi dibandingkan dengan material yang telah mengalami proses hardening dan tempering. Hal ini dikarenakan diameter butir pada raw material lebih besar yang menyebabkan bahan lebih kuat apabila mengalami beban yang berulang seperti pada pengujian fatique ini.

4.1.3 Hasil Pengamatan Struktur Mikro

Pengujian metallografi dilakukan terhadap benda uji pada seluruh kondisi.Dalam penelitian ini spesimen dicelupkan ke dalam larutan etsa nital 10% dan ditahan selama 10-30 detik.

Pada skripsi ini perhitungan diameter butiran menggunakan metode planimetri sesuai standard ASTM E-112 dan bentuk butiran diasumsikan ellipse. Dalam penelitian ini diketahui bahwa suhu perlakuan panas atau heat

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

Kek uata n l ulu h σ y (M Pa)

(46)
[image:46.595.209.538.230.433.2]

treatment mempengaruhi ukuran butiran dimana pada gambar terlihat ukuran butiran dari spesimen raw material tanpa perlakuan apapun. Kemudian setelah dilakukan proses perlakuan panas terjadi pertumbuhan butir. Berikut ini adalah gambar foto mikro hasil heat treatment dengan perbesaran 500X dari raw material sebelum dilakukan proses perlakuan panas (30°C).

Gambar 4.9 Foto Mikro Raw Material Perbesaran 500X (Sebelum Pemanasan)

Berikut ini adalah foto mikro dari spesimen yang telah dilakukan perlakuan panas.

ferrit

(47)

(a) (b)

(c) (d)

[image:47.595.146.486.76.615.2]

(e) (f)

Gambar 4.10 Foto Mikro Pembesaran 500X (a) Setelah Hardening Quenching Air Es (b) Hardening Quenching Oli, (c) Setelah Tempering 300˚C (Air Es), (d) Setelah Tempering 300˚C (Oli), (e) Setelah Tempering

(48)

Dari gambar 4.10 diketahui bahwa yang berwarna terang adalah fasa ferit, sementara yang berwarna hitam adalah perlit. Untuk bahan yang di-quenching air es terlihat pada gambar terbentuk fasa martensite yang keras begitu juga dengan quenching oli yang butirannya terlihat lebih halus. Hasil pengukuran diameter butir ditampilkan pada tabel 4.7 berikut ini, dimana untuk hasil pengukuran pada gambar dibawah ini adalah pengukuran dari foto raw material.

Ninside = 150

Nintercepted = 20

NA = 8000

d = (3,322 log NA) – 2,95

d = 10,0 μm

Ferrit

(49)
[image:49.595.127.502.94.318.2]

Tabel 4.7 Tabel Hasil Pengukuran Diameter Butir

Spesimen Diameter Butir

Raw Material

Hardening 1050°C, Quenching Air Es Tempering 300°C (Air Es) Tempering 350°C (Air Es) Hardening 1050°C, Quenching Oli

Tempering 300°C (Oli) Tempering 350°C (Oli)

10,0 μm 5,8 μm 6,7 μm 6,9 μm 5,2 μm 6,5 μm 6,6 μm

[image:49.595.115.510.450.681.2]

Tabel diatas bila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar grafik 4.11 berikut ini.

Gambar 4.11 Grafik Hubungan Antara Diameter Butir dengan Jenis Perlakuan 0 2 4 6 8 10 12 Diamet er Bu tir ( µm ) Jenis Perlakuan AIR ES OLI

H T 300˚C T 350˚C

(50)

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa akibat perlakuan panas besarnya diameter butiran dari spesimen semakin kecil. Pada proses hardening diameter butir bertambah kecil hingga 5,8 μm pendingin air es 5,2 μm pendingin oli. Dan pada proses tempering besarnya diameter butir bertambah besar karena proses tempering bertujuan untuk menurunkan kekerasan dan kekuatan tarik sehingga memenuhi syarat pemakain, selaras dengan persamaan Hall and Petch dimana semakin besar diameter butir maka kekuatan tarik dan kekerasan menurun.

4.2 Pembahasan

Pada sub-bab ini membahas hubungan antara kekerasan, kekuatan tarik, diameter butiran dan perbesaran butiran akibat perlakuan perlakuan panas.

4.2.1 Hubungan Antara Kekerasan dengan Diameter Butir

(51)
[image:51.595.121.482.82.242.2]

Gambar 4.12 Grafik hubungan antara kekerasan dengan diameter butir

Dari gambar grafik diatas dapat kita lihat bahwa besarnya diameter butir memengaruhi nilai kekerasannya, semakin besar diameter butiran maka kekerasannya akan menurun. Ini dikarenakan dengan membesarnya diameter butir maka batas butir yang terbentuk akan semakin berkurang. Batas butir yang sedikit ini akan mengakibatkan gerakan dislokasi semakin mudah karena semakin sedikit rintangan sehingga bahan jadi semakin lunak akibat adanya proses tempering.

4.2.2 Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir

Perubahan diameter butir akibat perlakuan panas memengaruhi nilai kekuatan tarik material, hal ini dapat diperlihatkan dengan menghubungkan data tabulasi tabel 4.4 dengan 4.6. Jika data-data ini dihubungkan secara regresi linier maka didapat suatu persamaan garis linier. Pada gambar 4.13 Berikut ini diperlihatkan hubungan antara kekuatan tarik dengan diameter butir.

500 550 600 650

4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5

K

ek

er

asa

n

(B

HN)

Diameter Butir (µm)

(52)
[image:52.595.126.499.83.262.2]

Gambar 4.13 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Tarik (Ultimate) dengan Diameter Butir

Dari gambar grafik diatas dapat kita lihat bahwa semakin besar diameter butir material maka kekuatan tarik material menurun. Hal ini memiliki karakteristik yang sama dengan kekerasan. ini sesuai dengan persamaan Hall-petch untuk diameter butir yang sangat halus, dimana semakin kecil diameter butir yang terbentuk maka kekuatan material akan semakin meningkat.

4.2.3 Hubungan Antara Diameter Butir Dengan Fatique

Perubahan diameter butir akibat perlakuan panas mempengaruhi nilai kekuatan fatique material, hal ini dapat diperlihatkan dengan menghubungkan data tabulasi tabel 4.6 dengan 4.7. Jika data-data ini dihubungkan maka didapat suatu grafik seperti pada gambar 4.14 Berikut ini diperlihatkan hubungan antara fatique (Siklus) dengan diameter butir. Dan gambar 4.15 memperlihatkan hubungan siklus dengan diameter butir. 3000 3050 3100 3150 3200 3250 3300

4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5

Ultima

te

str

eng

th

(MP

a)

Diameter Butir (µm)

(53)
[image:53.595.160.468.81.289.2]

Gambar 4.14 Grafik Hubungan Antara Siklus dengan Jenis Perlakuan

Hasil grafik diatas bisa kita lihat raw material memiliki nilai siklus terbesar yakni mencapai 4,9266x105 rpm sedangkan setelah dihardening siklusnya menurun dan juga terlihat dari grafik setelah di tempering siklusnya naik menjadi 1,0098x106 rpm. Berikut merupakan grafik hubungan antara fatique (siklus) dengan diameter butir.

Gambar 4.15 Grafik Hubungan Antara Siklus dengan Diameter Butir 0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000

Siklus N (

rpm)

Jenis Perlakuan

RM H T300ºC

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000

4 5 6 7 8 9 10

Si klu s N (rp m )

Diameter Butir (µm)

Raw Material

[image:53.595.168.493.498.691.2]
(54)

Hasil grafik diatas bisa kita ambil kesimpulan semakin besar diameter butir maka siklusnya juga semakin tinggi dan sebaliknya semakin kecil diameter butir maka semakin rendah juga siklusnya.

Dari hasil pembahasan didapatkan material HSS ASP 23 setelah dilakukan proses heat treatment mengalami peningkatan kekerasan dan kekuatan tarik sesuai dengan yang diinginkan, hanya saja pada pengujian fatique setelah proses heat treatment siklusnya (life time) menurun dikarenakan pengecilan diameter butir yang berakibat semakin tingginya kekerasan material yang menyebabkan adanya kerapuhan (getas) pada material yang mengakibatkan material mengalami penurunan siklus (life time) yang berujung pada patahnya specimen.

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Sifat mekanis bahan baja HSS ASP 23 dengan heat treatment yang didapatkan dari hasil pengujian:

a. Hasil uji kekerasan maksimum adalah 637,4 BHN setelah proses hardening 1050°C quenching oli. Dan untuk proses tempering adalah 587,2 BHN pada suhu 300°C setelah di quenching oli. b. Hasil pengujian tarik maksimum untuk nilai tegangan luluh (yield

strength) sebesar 3070,53 Mpa pada hardening quenching es dan tegangan batas (ultimate strength) sebesar 3281,67 Mpa pada hardening quenching oli.

c. Hasil pengujian fatique pada bahan awal tanpa perlakuan diperoleh kekuatan lelah maksimum pada siklus 4,9266x106 rpm selama 4830 menit dengan beban 7kg, hardening oli pada siklus 3,723x105 rpm selama 365 menit dengan beban 7 kg, tempering 300°C quenching oli pada siklus 1,0098x106 rpm selama 990 menit dengan beban 7 kg.

2. Diameter butir terhadap sifat mekanis baja High Speed Steel (HSS) ASP 23 didapatkan :

(56)

pada hardening quenching oli yaitu 5,2 µm dengan kekerasan 637,4 BHN dan hardening quenching air es yaitu 5,8 µm dengan kekerasan 621,8 BHN dan pada bahan tanpa perlakuan diameter butirnya 10 µm dengan kekerasan 212 BHN.

b. Pada pengujian tarik semakin kecil diameter butir material maka kekuatan tarik material meningkat. Pada bahan awal tanpa perlakuan diameter butirnya 10 µm dengan ultimate strength 1553,25 Mpa, hardening quenching oli yaitu 5,2 µm dengan ultimate strength 3281,67 Mpa dan hardening quenching air es yaitu 5,8 µm dengan ultimate strength 3227,02 Mpa.

c. Pada hasil pengujian fatique semakin besar ukuran butir maka life timenya semakin tinggi dan semakin kecil ukuran butir life timenya menurun. Seperti pada bahan awal tanpa perlakuan diameter butirnya 10 µm dengan life timenya 4,926x106 rpm, hardening quenching oli diameter butirnya 5,2 µm dengan life time 3,723x105 rpm dan tempering 300º C quenching oli diameter butirnya 6,5 µm dengan life time 1,0098x106 rpm.

(57)

5.2 Saran

1. Dalam proses heat treatment untuk bahan baja HSS ASP 23 dalam penelitian ini, sebaiknya dicoba dengan media pendingin yang lain, seperti udara dan solar. Dan untuk quenching dengan air es sebaiknya dicoba dengan kondisi vakum.

(58)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisau Pemanen Sawit/Pisau Egrek

Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek biasanya

menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk

potongan platstrip sesuai dengan ukuran pisau egrek dan tipe yang ada.

Proses produksi egrek ini dilakukan dengan pembakaran arang kayu atau

dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa

(hammer). Proses pembakaran arang kayu atau furnace dapat dilakukan

sesuai dengan bahan yang akan di tempa.

[image:58.595.216.407.405.574.2]

Sumber : http://alatperkebunan.blogspot.com/

Gambar 2.1Pisau Egrek/Pisau Pemanen Sawit

Dalam proses produksi egrek, beberapa tahapan yang harus dilalui antara

lain:

1. Proses tempa (hammer)

(59)

lebih 45 menit tujuannya agar baja karbon sedang tersebut mudah

untuk dibengkokkan karena pada awal tahap ini dilakukan proses

tarik ekor yaitu pada ujung potongan baja karbon sedang. Proses

tarik ekor ini dilakukan dengan menggunakan mesin tempa manual.

Setelah proses tarik ekor, potongan baja karbon sedang dipanaskan

kembali. Akibat pemanasan ini, ukuran baja karbon sedang

semakin memanjang karena mengalami proses pemuaian.

Selanjutnya dilakukan proses buka bagian depan dengan

menggunakan mesin tempa. Agar ukuran/dimensi platstrip tersebut

rata, maka dibawa ke tempat pemotongan dan dipotong dengan

menggunakan mesin potong. Kemudian dipanaskan kembali di

tungku pembakaran agar baja karbon sedang tersebut dapat

dibengkokkan dengan menggunakan mesin rolling sesuai dengan

bentuk egrek yang sudah standard dan dipukul rata dengan

menggunakan mesin tempa. Seperti gambar dibawah ini.

[image:59.595.156.470.518.698.2]

Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan

(60)

2. Proses Polishing

Hasil akhir dari proses tempa (hammer) sudah dalam bentuk

egrek tetapi masihmemerlukan pemolesan kembali agar sesuai

dengan ukuran standard perusahaan.Tahap pertama proses ini

adalah penggambaran pola. Dalam penggambaran polaini,

digunakan egrek yang sudah terstandar sebagai acuan. Dengan

menggambarpola ini, maka operator dapat dengan mudah

memformat dengan menggunakanmesin format dan mempertajam

bagian tepinya. Setelah selesai diformat, egrek dibawa ke proses

flating. Proses flating ini merupakan proses pemukulan dengan

menggunakan palu, tujuannya agar egrek tersebut tidak baling.

3. Gerinda kasar

Setelah selesai dari proses format, egrek dibawa ke stasiun

gerinda kasar.Pada tahap ini dilakukan kegiatan tekuk ekor dengan

menggunakan mesin gerinda sehingga bagian ujungnya runcing

dan bagian tepinya juga makin dipertajam. Proses ini merupakan

proses paling lama karena membutuhkan waktu sekitar 7 menit

untuk menyelesaikannya. Setelah kegiatan gerinda selesai, maka

kembali. dibawa ke tempat flating untuk dipukul dengan palu. Tiap

akhir proses selalu dilakukan proses pemukulan yang tujuannya

agar egrek tersebut tidak baling karena biasanya setelah mengalami

(61)

4. Penyepuhan

Setelah mengalami proses gerinda kasar, egrek tersebut di

sepuh dengan memanaskan pada tungku pembakaran. Oleh karena

itu sebelum disepuh, arang dibakar selama 5 menit pada tungku

pemanasan sehingga suhu mencapai diatas 850˚C. Tujuan dari

proses ini adalah untuk mengeluarkan kandungan karbon sehingga

egrek tersebut makin keras. Pada tahap penyepuhan ini terjadi dua

proses yaitu proses pengerasan (hardening) dan proses tempering.

Pada proses hardening, egrek dipanaskan agar kandungan karbon

hilang namun apabila pada tahap pemanasan suhu sudah terlalu

tinggi maka egrek dapat patah maka dilanjutkan dengan tahap

tempering agar panas pada egrek dapat disesuaikan. Sesudah

disepuh, egrek masih mengalami proses flating untuk meratakan

permukaan egrek (agar tidak baling).

5. Gerinda halus

Egrek yang sudah disepuh dibawa ke mesin gerinda halus

untuk digerinda. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutihkan

permukaan egrek sehingga tampak mengkilap dan tampak lebih

tajam.

6. Finishing

Tahap finishing merupakan tahap pengecatan dengan

menggunakan tiner.Egrek direndam sebentar dalam wadah yang

berisi tiner kemudian ditiriskan pada lemari oven dengan

(62)

mengeringkan cat clear dan dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar

cat clear tersebut dapat benar-benar kering. Setelah itu, egrek yang

sudah selesai dibawa ke gudang produk jadi dengan menggunakan

beko.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Egrek – SNI 02-4874-1998

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Tampak Luar - Tidak cacat

2 Sisi Potong - Tajam

3 Bahan Baku - Baja karbon sedang

atau setara 4 Kekerasan Sisi Potong

Dilakukan Perlakuan Panas

HRC 45,3 (421 BHN) Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan

2.2 Baja

Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.

(63)

2.2.1. Klasifikasi Baja A. Baja Karbon

Berdasarkan komposisi dalam prakteknya baja terdiri dari beberapa macam yaitu: Baja Karbon ( Carbon Steel ), dan Baja Paduan ( Alloy Steel )

Berdasarkan tinggi rendahnya presentase karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)

Baja karbon rendah mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %. Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja, maka baja karbon rendah dapat digunakan atau dijadikan baja-baja sebagai berikut:

a. Baja karbon rendah yang mengandung 0,04 % - 0,10% C. untuk dijadikan baja – baja plat atau strip.

b. Baja karbon rendah yang mengandung 0,10 - 0,15% C digunakan untuk keperluan badan-badan kendaraan.

c. Baja karbon rendah yang mengandung 0,15% - 0,30% C digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, membuat baut atau dijadikan baja konstruksi.

2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel)

(64)

karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya.

3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)

Baja karbon tinggi mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara 70 – 130 kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.

Baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah diproduksi, mudah dimachining dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, pagar, dan lain-lain.

B. Baja Paduan

(65)

unsur campuran yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

Baja paduan diklasifikasikan menurut kadar paduannya dibagi menjadi:

1. Baja paduan rendah (low-aloy steel ), jika elemen paduan ≤ 2,5 % misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P dan lain-lain.

2. Baja paduan menengah (medium-aloy steel ), jika elemen paduannya 2,5-10 % misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.

3. Baja paduan tinggi (high- alloy steel) jika elemen paduannya > 10 % misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.

Baja paduan dihasilkan dengan biaya lebih mahal dari baja karbon lainnya, karena bertambahnya biaya untuk penambahan pengerasan khusus yang dilakukan dalam industri atau pabrik. Baja padauan dapat didefenisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran seperti nikel, kromium, molibden, vanadium, mangan dan wolfram yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki (1).

(66)

korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya, tahan terhadap perubahan suhu, serta memiliki butiran yang halus dan homogen.

Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja adalah sebagai berikut : 1. Unsur Karbon (C)

Karbon merupakan unsur terpenting yang dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,3 – 1,7%, sedangkan unsur lainnya dibatasi sesuai dengan kegunaan baja. Unsur paduan yang bercampur di dalam lapisan baja adalah untuk membuat baja bereaksi terhadap pengerjaan panas dan menghasilkan sifat-sifat yang khusus. Karbon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan tetapi jika berlebihan akan menurunkan ketangguhan.

2. Unsur Mangan (Mn)

Semua baja mengandung mangan karena sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan kurang lebih 0,6% tidak mempengaruhi sifat baja, dengan kata lain mangan tidak memberikan pengaruh besar pada struktur baja dalam jumlah yang rendah. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik sehingga baja dengan penambahan mangan dapat memiliki sifat kuat dan ulet.

3. Unsur Silikon (Si)

(67)

menaikkan tegangan tarik dan menurunkan laju pendinginan kritis. Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan, ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat. 4. Unsur Nikel (Ni)

Nikel mempunyai pengaruh yang sama seperti mangan, yaitu memperbaiki kekuatan tarik dan menaikkan sifat ulet, tahan panas, jika pada baja paduan terdapat unsur nikel sekitar 2,5% maka baja dapat tahan terhadap korosi. Unsur nikel yang bertindak sebagai tahan korosi disebabkan nikel bertindak sebagai lapisan penghalang yang melindungi permukaan baja.

5. Unsur Kromium (Cr)

Sifat unsur kromium dapat menurunkan laju pendinginan kritis (kromium sejumlah 1,5% cukup meningkatkan kekerasan dalam media pendinginan minyak). Penambahan kromium pada baja menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja dikeraskan lebih baik karena kromium dan karbon dapat membentuk karbida. Kromium dapat menambah kekuatan tarik dan keplastisan serta berguna juga dalam membentuk lapisan pasif untuk melindungi baja dari korosi serta tahan terhadap suhu tinggi.

6. Wolfram (W)

Unsur paduan dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan untuk: 1. Meningkatkan kekerasan dan kekuatan pada temperatur tinggi. 2. Membentuk karbida yang kuat sehingga membentuk partikel

(68)

7. Vanadium (V)

Unsur paduan ini dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan antara lain :

1. Memantapkan ferrit.

2. Menurunkan kekerasan austenit. 3. Sebagai pembentuk karbida yang kuat.

4. Mengurangi pengembangan butir pada suhu yang tinggi.

5. Membatasi pertumbuhan butir sehingga karbida-karbida tersebar secara halus dan merata

8. Molibdenum (Mo)

Unsur paduan ini dalam baja, pemakaiannya dimaksudkan antara lain :

1. Meningkatkan ketahanan korosi.

2. Pembentuk karbida sehingga mempunyai partikel-partikel yang tahan pada gesekan dan sangat besar pengaruhnya terhadap sifat mampu keras.

3. Meningkatkan kekuatan dan kekerasan. 4. Meningkatkan mampu bentuk.

5. Meningkatkan kekerasan butir pada fasa austenit. 6. Memperlambat proses difusi.

7. Memcegah pertumbuhan butir pada temperatur tinggi. 2.2.2. Sifat-Sifat Baja

(69)

akan dipilih untuk digunakan. Sifat-sifat tersebut tentunya sangat banyak macamnya, untuk itu secara umum sifat-sifat bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sifat Kimia

Dengan sifat kimia diartikan sebagai sifat bahan yang mencakup antara lain kelarutan bahan terhadap larutan kimia, basa atau garam dan pengoksidasiannya terhadap bahan tersebut. Salah satu contoh dari sifat kimia yang terpenting adalah : Korosi

2. Sifat Teknologi

Sifat teknologi adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam proses pengolahannya. Sifat ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengolah atau mengerjakan bahan tersebut.

Sifat-sifat teknologi antara lain : sifat mampu las (weldability), sifat mampu dikerjakan dengan mesin (machineability), sifat mampu cor (castability), dan sifat mampu dikeraskan (hardenability)

3. Sifat Mekanik

Sifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi.

Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain : a. Kekuatan (strength)

(70)

Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok.

b. Kekerasan (hardness)

Dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear resistance). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan.

c. Kekenyalan (elasticity)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan.

(71)

lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi.

d. Kekakuan (stiffness)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan.

e. Plastisitas (plasticity)

(72)

f. Ketangguhan (toughness)

Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Juga dapat dikatakan sebagai ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur.

g. Kelelahan (fatigue)

Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya.

h. Keretakan (creep)

Merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap.

2.2.3. Diagram Fasa Besi-Karbon (Fe-C)

(73)

perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan.

[image:73.595.139.514.252.477.2]

Sumber : http://idrusme.blogspot.com/2011/11/diagram-fasa.html

Gambar 2.3. Diagram Fasa Fe-C

(74)

Pemanasan pada suhu 723 0C dengan komposisi 0,8 % C disebut dengan titik eutectoid. Apabila dilakukan pemanasan sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypoeutectoid terbentuk fasa pearlit dan ferrit. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlit dan sementit. Pada pemanasan melewati garis eutectoid, terjadi perubahan fasa pearlit menjadi austenit.

Ketika paduan A (A1) mencapai suhu 7230C (suhu eutektoid) sisa

austenit sekitar 0,8% C (meskipun sebenarnya jumlah komposisinya 0,4%). Oleh karena itu, pada titik eutectoid reaksi yang terjadi adalah

perubahan sisi austenite menjadi pearlite (α + Fe3C). ketika paduan A

(A3) mencapai suhu 9100C, ferit bcc mulai berubah bentuk menjadi

austenite. Ini merupakan reaksi solid dan dipengaruhi oleh difusi karbon pada austenit. Ferrit yang berisi karbon terbentuk dengan sangat lambat. Keadaaan paduan A (Acm) transformasi Fe3C menjadi austenit secara

keseluruhan pada suhu ini, seperti prediksi pada diagram. Seluruh sistem austenit fcc dengan kadar karbon 0.95 %.

(75)

dan pearlit. Dalam hal ini, pengaruh waktu tahan sangat menetukan pada pembetukan perubahan butir. Adapun macam – macam struktur yang ada pada besi karbon adalah sebagai berikut:

1. Ferrit

Ferrit adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotectoid pada saat mencapai A3. Ferrit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70 - 100 BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi.

2. Austenit

Fasa Austenit memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fasa austenit ditemukan pada temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenit lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrit dan memiliki kekerasan sekitar 200 BHN. 3. Sementit

Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan kandungan karbon 6,67% yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC

4. Perlit

(76)

temperatur eutectoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.

5. Bainit

Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit. 6. Martensit

Martensit merupakan larutan padat dari karbon yang lewat jenuh pada besi alfa sehingga latis-latis sel satuanya terdistorsi.

2.3 Mekanisme Penguatan Logam

Penguatan logam yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening), larut-padat, fasa kedua, prespitasi, dispersi, penghalusan butir dan tekstur.

1. Pengerasan regang (strain hardening)

Penguatan melalui mekanisme pengerasan regangan dapat terjadi terhadap semua logam akibat proses deformasi plastis yang menyebabkan terjadinya peningkatan kerapatan dislokasi. Dislokasi yang semakin rapat mengakibatkan dislokasi itu sendiri semakin sukar bergerak sehingga bahan semakin kuat atau keras.

2. Larut padat

(77)

Atom asing yang larut padat tersebut dapat berupa unsur pemadu dalam bentuk paduan maupun inklusi berupa atom pengotor. Kelarutan atom-atom asing ini dalam bentuk larut padat mengakibatkan timbulnya medan tegangan yang berdampak terhadap pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi semakin sukar dengan timbulnya medan tegangan sehingga mengakibatkan logam menjadi lebih kuat atau keras.

3. Fasa kedua

Penguatan atau pengerasan dapat pula terjadi melalui mekanisme fasa kedua karena timbulnya senyawa fasa paduan. Pembentukan senyawa fasa kedua dalam paduan terjadi karena penambahan unsur paduan yang melampaui batas larut padat. Senyawa fasa yang terbentuk relatif bersifat keras dan pergerakan dislokasi cenderung akan terhambat oleh fasa kedua tersebut. Pergerakan dislokasi yang terhambat oleh fasa kedua akan memperkuat dan memperkeras logam.

4. Prespitasi

(78)

aging. Paduan logam dalam bentuk dua fasa atau lebih dipanaskan pada suhu tertentu sehingga senyawa fasa tersebut akan larut-padat dalam satu fasa yang relatif homogen. Fasa yang relatif homogen tersebut kemudian didinginkan secara cepat sehingga membentuk fasa larut-padat super jenuh. Fasa larut-padat super jenuh tersebut kemudian mengalami aging sehingga terbentuk presipitat berupa partikel endapan fasa kedua yang halus dan tersebar merata yang mengakibatkan bahan menjadi keras. Pengerasan presipitasi ini akan menurun kekuatannya bila mengalami suhu overaging.

5. Dispersi

(79)

6. Penghalusan butir dan tekstur

(80)

2.3 Perlakuan Panas (Heat Treatment)

Perlakuan panas atau Heat Treatment mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Cara yang dipakai ialah memanaskan logam sehingga terbentuk suatu fasa, kemudian diikuti dengan pendinginan cepat. Dengan cara ini pada temperature kamar akan terbentuk satu fasa yang kelewat jenuh. Bila logam dalam keadaan tersebut dipanaskan maka fasa-fasa yang larut akan mengendap.

Perlakuan panas adalah kombinasi anatara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat menentukan (9).

Perlakuan panas dibedakan: (a) proses laku panas dengan kondisi equilibrium, seperti annealing, normalising (b) proses laku panas non-equilibrium, seperti pengerasan (hardening).

Jenis-jenis perlakuan panas antara lain : 2.4.1 Annealing

Gambar

Gambar 3.12 Diagram alir penelitian
Gambar 3.13 Diagram Alir Pengujian
Tabel 4.2 Komposisi Kimia baja HSS ASP 23 dari PT.ASSAB STEEL INDONESIA
Tabel diatas jika disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hasil pengujian kekerasan yang digambarkan pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa kekerasan baja Bohler K460, Baja HSS, BOHLER K110 KNL EXTRA dan BOHLER VCN 150 telah

Pengaruh dari proses yang telah dilakukan, setelah diambil nilai-nilai optimalnya maka hasil yang diperoleh diatas dari pada bahan mentahnya (raw material), sehingga

Dari hasil tersebut faktor yang mempengaruhi tingginya kekuatan tarik dan regangan dari spesimen quenching dibandingkan dengan raw material adalah ketika spesimen

Quenching akan mencegah adanya proses yang dapat terjadi pada pendinginan lambat seperti pertumbuhan butir Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kekerasan, kekuatan tarik

Pengaruh perlakuan panas dan proses pendinginan cepat ( quenching ) dapat merubah sifat mekanis dari baja AISI 4340, nilai kekerasan dari bahan awal 33,36 HRC

Penelitian ini akan membahas tentang pengaruh pemanasan awal (preheat ) terhadap kekuatan tarik, kekerasan Vickers, ketangguhan impact dan kekuatan lengkung (

membahas tentang pengaruh pemanasan awal (preheat) terhadap kekuatan tarik, kekerasan Vickers, ketangguhan impact dan kekuatan lengkung (bending), sehingga

Dari hasil pengujian kekerasan, nilai BHN yang diperoleh untuk pengelasan dengan menggunakan elektroda berdiameter 2,6 mm untuk media quenching Air, oli Mesran SAE 40