BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini kredit tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan bisnis. Dalam
dunia modern dengan sistem moneter yang sudah kompleks baik nasional maupun
internasionalyang sudah begitu erat, perkreditan sangat dibutuhkan dan tidak dapat
dipisahkandari kebutuhan perkembangan ekonomi negara dan kesejahteraan
bangsany.9Fungsi utama bank dalam suatu perekonomian adalah untuk memobilisasi
dana masayarakat dan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut kepada
pengguna investasi yang efektif dan efisien. Fungsi tersebut dapat dikatakan “aliran
darah” bagi perkembangan perekonomian dan peningkatkan taraf hidup.10
Kredit merupakan bagian fungsi perbankan dalam hubungan bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Fungsi sebagai lembaga perantara yang
dilaksanakan oleh industri perbankan adalah bagian yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
akan dana pada saat laju pembangunan semakin tinggi. Saat ini pula ekspansi yang
dilakukan oleh dunia usaha banyak dilakukan sejalan dengan pertumbuhan dan
membaiknya ekonomi. Dalam keadaan seperti ini, kalangan usaha tidak lagi dapat
melakukan pembiayaan yang didasarkan pada sumber dana sendiri. Untuk tujuan
9
R. Tjipto Adinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972) h. 11.
10
perluasan usaha ini, laba yang ditahan tidak lagi mencukupi untuk membiayai
pengembangan yang dibutuhkan. Industri perbankan merupakan salah satu sumber
pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan.11
Bisnis dalam mengelola bank mempunyai karakteristik tersendiri sehingga
berbeda dalam bisnis lainnya dalam pengelolaannya. Menurut Poh Chu Chai:
Oleh karena itu, bank
dapat dikatakan merupakan urat nadi perekonomian suatu negara, di mana kemajuan
perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya itu sangat tergantung pada maju tidaknya
bank di negara tersebut. Industri perbankan merupakan komponen penting sebagai
pendukung dan penggerak sektor rill. Kebijakan di sektor perbankan akan
berpengaruh dan memiliki implikasi terhadap pembangunan ekonomi nasional secara
keseluruhan.
characteristics of banking business the questions as to whether a particular organisation is conducting banking business is often not easy to answer. Must the organisation provide all the services normally associated with a banker before it may
be said to be transacting banking bussines? Will the provision of some banker
services be sufficient to render the business one of banking? Does it make any
difference if the provision of these limited services represents the only activites of the organisation? In other words, what is the position if the organisation does nothing else other than provide the limited range of banking services?12
Karakteristik bisnis suatu bank sering menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan
mengenai apakah sebuah organisasi melakukan urusan perbankan sering sekali tidak
mudah untuk dijawab. Haruskah organisasi yang menyerahkan seluruh jasa yang
terkait dengan para bankir dapat dilakukan urusan transaksi bank. Apakah tuntutan
terhadap beberapa jasa bankir cukup untuk menyebabkan urusan tersebut diserahkan
kepada perbankan Apakah akan jadi beda jika pemberian jasa terbatas ini hanya
11
Ibid., h. 23. 12
merupakan aktivitas-aktivitas organisasi. Dengan perkataan lain, bagaimana
keadaannya jika organisasi tidak melakukan apapun kecuali memberikan serangkaian
jasa perbankan yang terbatas.Dalam karateristik bisnis bank tersebut adanya suatu
transaksi,13
13
Lihat Black’Law Dictionary, istilahtransactiondalamcommon lawadalah kontrak (contract). Lihat juga Ricardo Simanjuntak dalam bukunya hukum Kontrak (Jakarta: Kontan Publishing, 2001, h. 34-35) pengertian kontrak lebih dipersamakan dengan pengertian dari perikatan yang digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata (Utrecht, menyebutkan hukum perutangan (van verbintennissen), atau
the law of obligation seperti yang digambarkan dalam buku-buku teks hukum negera-negara common law. Pengertian Kontrak dikutip dari pendapat Treitel G.H. Dalam bukunya Law of Contract, yang mendefinisikan kontrak sebagai “ ... an agreement giving rise to obligations which are enforced or recognised at law. Dari definisi tersebut sanggat jelas bahwa kontrak (contact) merupakan agreement
ataupun yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perjanjian yang mempunyai konsekuensi hukum (legal enforceability) apabila tidak dipatuhi. Pengertian ini jugalah yang harus dipahami dalam membaca subjudul dari Buku III KUH Perdata Bab II berjudul tentang Perikatan perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian yang pada pengertian tertentu mempersamakan kontrak dengan perjanjian sebagai perbuatan hukum yang mempunyai kekuatan memaksa. Sama seperti yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata, pengertian agreement dalam pengetian luas dapat berarti sebagai suatu kesepakatan yang mempunyai konsekuensi hukum dan juga kesepakatan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum. Perjanjian atau agreement akan mempunyai kualitas atau pengertian kontrak apabila ada akibat hukum yang dikenakan terhadap pelanggaran janji (breach of contract) tersebut.Buku III KUH Perdata mengatur tentang Perikatan (verbintenis) dan perjanjian atau persetujuan (overeenkomst). Menurut Subekti perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang/lebih atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
yang mana adanya hubungan hukum antara bank sebagai pihak yang
memberikan jasaperbankan dengan segala aktivitas-aktivitasnya dan nasabah sebagai
penerima jasa perbankan. Ketika seorang nasabah menyetor uang di sebuah bank,
terbangun suatu hubungan hukum, yaitu antara bank dengannasabah. Bank sebagai
pihak yang bertanggung jawab untuk membayar kembali uang yang telah disimpan
ketika uang tersebut diminta oleh nasabah. Ketika uang simpanan/deposito dari
seorang nasabah telah disetorkan ke sebuah bank, maka uang tersebut menjadi
kepunyaan bank dan pihak bank bebas menggunakan uang tersebut untuk keperluan
nasabah tersebut melalui kredit kepada masyarakat dengan manajemen perkreditan
yang baik dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Hubungan hukum tersebut adalah hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu
lintas masyarakat, hukum melekatkan “hak” pada satu pihak, dan melekatkan
“kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun
melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut
dipenuhi atau dipulihkan. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya,maka hukum “memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi
dipenuhi.14Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi15
14
Mariam Darus Badrulzaman,KUH PerdataBukuIIIHukumPerikatan Dengan Penjelasan
(Bandung: Alumni, 2006), h.1-2.
kepada
kreditur. Oleh karena itu,debitur mempunyai kewajiban untuk membayar hutang.
Dalam istilah asing kewajiban disebut schuld.Di sampingschuld debitur juga
15
mempunyai kewajiban yang lain yaitu haftung, maksudnya ialah bahwa debitur itu
berkewajiban untuk memberikan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak
hutang debitur, guna pelunasan hutang tadi, apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang tersebut.16
Fungsi dari suatu bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali dana tersebut kepada masyarakat/pengusaha yang
memerlukannya. Peran kredit dalam operasi bank sangat besar/penting, di samping
sebagian besar bank masih mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari operasi
perkreditan, sehingga untuk mendapatkan margin yang baik diperlukan pengelolaan
perkreditan secara efektif dan efisien. Bank adalah business. Business yang
berdagang dalam kredit dan uang. Jadi bisnis utama dari suatu bank adalah
kepercayaan, sehingga dapat dikatakan pula bahwa bank merupakan lembaga
kepercayaan.17
Proses pemberian kredit, aspek hukum memegang peranan yang penting,
artinya pemberian kredit melahirkan suatu hubungan hukum dengan konsekuensi
yuridis yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank selaku kreditur apabila hal-hal
yang mendasar terabaikan. Kebenaran dan keabsahan subjek hukum maupun objek Dengan perkataan lain, fungsi kredit itu ialah pemenuhan jasa untuk
melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan
melancarkan perdagangan, mendorong dan memperlancar produksi, jasa-jasa dan
bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan
taraf hidup rakyat banyak.
16
Mariam Darus Baddrulzaman, Op.Cit., h. 9-10.
17
hukum merupakan persyaratan utama, di mana untuk mendapatkan kebenaran dan
keabsahan ini dapat dilakukan dengan meneliti atau menganalisis secara cermat dan
mendalam atas semua data yang diperlukan. Termasuk didalamnya segala jenis
perjanjian yang mendahului setiap pelepasan kredit oleh bank. Oleh karena itu,
pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang
dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat.
Dalam karakteristik kredit, bank dapat menentukan segmentasi kredit sesuai
dengan ukuran besar kecilnya bank, meskipun secara prinsip sama. Karakteristik
masing-masing segmen, antara lain retail lending (micro, small, consumer);
commercial lending, corporate lending. Masing-masing bank memiliki kriteria
sendiri untuk menetapkan batas pemberian kredit kepada segmen-segmen tersebut di
atas. Adanya segmen tersebut di atas, bank dapat merencanakan fokus pemberian
kreditnya sehingga dituju pada segmen tertentu saja.18
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Perbankan memberikan rumusan mengenai pengertian kredit. Pasal 1 angka 12
menyebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
18
keuntungan.Dari pengertian kredit tersebut, maka terdapat elemen-elemen kredit
yaitu kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang; penyedia/pemberi
pinjaman uang khusus terjadi di dunia perbankan; berdasarkan perjanjian pinjam
meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit; dalam jangka waktu tertentu; dan
adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan
jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah pengembalian utang disertai imbalan
atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.
Perjanjian pinjam meminjam dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi:
perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis
karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian pinjam meminjam menurut pasal tersebut di atas mengandung pengertian
luas yaitu meliputi perjanjian pinjam meminjam benda atau barang yang habis jika
dipakai dan pinjam uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang maka
peminjam sebagai pemilik uang yang dikemudian hari peminjam harus
mengembalikan dengan jenis yang sama (uang) disertai bunga atau imbalan kepada
pihak yang meminjamkan.
Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, sehingga
perjanjian kredit termasuk perjanjian innominaat (perjanjian tidak bernama).
Perjanjian innominaat, walaupun tidak diatur secara khusus dalam KUH perdata,
perjanjian tersebut timbul dan tumbuh serta berkembang di dalam masyarakat. Hal ini
sahberlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1320 KUH
Perdata, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.
Kredit dalam Undang-Undang Perbankan, menyebutkan bahwa kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga.Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam di dalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana dimaksud di atas
dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut:19
1. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam. Dengan demikian, bagi hubungan kredit bank berlaku Buku III (tentang Perikatan) pada umumnya dan Buku III Bab XIII (tentang pinjam-meminjam) KUHPerdata.
2. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tersebut, sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis. Namun ketentuan undang-undang harus dikaitkan dengan Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober
1996juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I nomor
2/539/UPK/Pemb, tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966, dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera nomor 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Febuarri 1967,
19
yang menentukan bahwa dalam pemberian kredit dalam bentuk apapun bank harus wajib menggunakan/membuat akad perjanjian kredit.
Dengan demikian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya (debitur) dilakukan
dengan perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis baik yang dibuat dengan
perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan atau akta dibawah tangan maupun
perjanjian kredit yang dibuat dihadapan notaris atau akta autentik.
Pengaturan mengenai perjanjian kredit sampai saat ini yang berupa
undang-undang belum ada sedangkan Undang-Undang Perbankan hanya mengatur pihak
yang memberikan kredit (bank) saja, padahal undang-undang yang mengatur
perkreditan memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam masalah kredit.
Kemudian di satu pihak undang-undang yang mengatur mengenai pemberian jaminan
berupa Hak Tanggungan, yaitu Undang Nomor 4 Tahun 1996, dan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia telah ada. Seperti diketahui perjanjian
kredit adalah merupakan perjanjian pokok dan perjanjian pemberian jaminan hanya
merupakan perjanjian tambahan (accessoir), sehingga agak janggal bahwa perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok pengaturannya belum diatur secara tegas dalam
bentuk undang-undang, sedangkan perjanjian pemberian jaminannya pengaturannya
telah berupa undang-undang. Saat ini peraturan tentang perkreditan banyak diatur
oleh Bank Indonesia (BI) berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI) dan ketentuan-ketentuan lain yang dikeluarkan Bank
Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan
peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, tidak mempunyai kekuatan
perjanjian atau kesepakatan antara rakyat dengan pemerintah sehingga semua pihak
menjadi terikat dan dianggap telah mengetahui semuanya. Berbeda dengan peraturan
di bawah undang-undang yang dibuat oleh lembaga tertentu yang sifatnya sepihak
dan berlaku untuk kalangan tertentu saja, ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Bank
Indonesia sifatnya tidak berlaku umum karena tujuannya mengatur operasional bank.
Bank Indonesia hanya mengatur yang ruang lingkup untuk kepentingan bank.
Ketentuan Bank Indonesia hanya mengikat bank. Masyarakat tidak terikat oleh
peraturan-peraturan tersebut, karena bukan sebagai undang-undang.
Pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), maka pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
sektor perbankan menjadi tugas dan wewenang dari lembaga OJK. Walaupun
demikian dalam melaksanakan tugasnya, OJK tetap diwajibkan berkoordinasi dengan
Bank Indonesia. Ketentuan pengaturan dan pengawasan perbankan oleh OJK saat ini
masih memedomani ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Peraturan Bank
Indonesia yang telah ada sebelumnya.
Dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan
Perbankan telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kerdit adalah
persetujuan dan/atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur
atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur
wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu
disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati. Dari Pasal di atas dapat dilihat bahwa
unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah:
2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; dan
3. Adanya kewajiban debitur. Kewajiban debitur adalah mengembalikan kredit yang
diterimanya, membayar bunga, dan biaya lainnya.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank berupa formulir standar/baku
atau dinamakan akta dibawah tangan atau akta perjanjian kredit yang dibuat oleh dan
dihadapan notaris atau yang dinamakan akta autentik/akta notariil mempunyai
kekuatan pembuktian. Akta merupakan surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan
ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak
untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian unsur yang penting untuk suatu akta
adalah adanya kesengajaan, dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani.
Dalam pelaksanaan perjanjian kredit ini tidak selamanya debitur dapat
melaksanakan prestasinya dengan baik, namun ada kalanya yang diterimanya
mengalami kemacetan. Faktor penyebab nasabah debitur tidak melaksanakan
kewajibannya adalah karena kondisi ekonomi nasabah yang rendah, kemauan debitur
untuk membayar utangnya sangat rendah, nilai jaminan lebih kecil dari jumlah utang
pokok dan bunga, usaha nasabah bangkrut, kredit yang terima
nasabahdisalahgunakan, manajemen usaha nasabah sangat lemah dan pembinaan
kreditur terhadap nasabah sangat kurang.20
Bisnis bank adalah kepercayaan, dan pendapatan bank yang terbesar adalah
berasal dari sektor kredit, maka risiko yang mungkin timbul yaitu gagalnya
pengembalian sebagian kredit yang diberikan dan menjadi kredit bermasalah bahkan
20
menjadi kredit macet.21
Risiko tersebut disebabkan adanya kemungkinan tidak dilunasikredit oleh
debitur pada akhir masa (jatuh tempo) kredit itu. Banyak hal yang menyebabkan
kredit itu tidak dapat dilunasi nasabah pada waktunya. Tidak ada keputusan
pemberian kredit tanpa risiko. Tidak ada bank yang mampu memgembangkan
bisnisnya jika bank tersebut selalu menghindar dari risiko. Tetapi tidak semua risiko
dapat diterima. Risiko yang dapat diterima adalah risiko yang dapat diukur secara
tepat.
Hal tersebut dapat terjadi dalam bisnis perbankan di mana
hampir mustahil bahwa semua kredit disalurkan atau diberikan akan menjadi 100 %
(seratus persen) berjalan lancar, sehingga sedikit atau banyak bank akan menghadapi
kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
22
Dalam hukum perjanjian risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang
disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Dengan
demikian persoalan risiko itu berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum
perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu
keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.23
Dalam KUH Perdata dapat dilihat Pasal 1237 yang berbunyi “Dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu, maka barang itu
semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang”. Dari kata
tanggungan atau risiko dalam pasal tersebut di atas dapat terlihat bahwa dalam
21
Kredit Macet merupakan bagiandari kredit bermasalah. Kredit Bermasalah ialah kredit yang berhubungan dengan kolektibilitas kredit, yaitu berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No 7/2/PBI/2005, kredit yang tergolong kredit dalam perhatian khusus (tunggakan 1 sampai 90 hari), kurang lancar (tunggakan 90 sampai 120 hari), kredit yang diragukan (tunggakan 120 sampai 180 hari), dan kredit macet (tunggakan di atas180 hari).
22
Herman Darmani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 104. 23
perikatan untuk memberi sesuatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum
diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak,
kerugian harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima barang
itu.
Kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) dapat disebabkan oleh
adanya risiko kredit yang antara lain disebabkan oleh:24
1. Risiko Usaha
Berbagai jenis usaha, masing-masing mempunyai risiko yang berbeda-beda.Secara umum jenis usaha yang tingkat keuntungannya tinggi, biasanya mengandung risiko yang tinggi pula (high return high risk). Sebaliknya jenis usaha yang keuntungannya rendah, maka risikonya pun rendah (low return low risk).
2. Risiko Geografis
Risiko geografis dari suatu jenis usaha erat kaitannya dengan bencana alam, misalnya perkebunan, peternakan, pabrik/industri yang berlokasi berdekatan dengan gunung berapi atau di dekat muara sungai yang sering banjir, akan sangat berisiko terkena bencana (semburan lahar panas dari gunung berapi atau tergenang luapan air karena banjir). Demikian juga jenis usaha yang berada di lingkungan pemukiman penduduk namun mengganggu dan mencemarkan lingkungan baik karena bising, atau adanya limbah beracun dan lain sebagainya, bisa saja usahanya diprotes penduduk sehingga harus ditutup. Termasuk risiko geografis adalah apabila lokasi usaha berada di tempat tertentu yang sering kali terganggu oleh kerumunan massa yang berunjuk rasa, sehingga langganan menjadi tidak nyaman akibat kemacetan lalu lintas, susah memarkir kendaraan dan lain sebagainya.
3. Risiko Keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian
Jelas sekali bahwa situasi keramaian yang tidak kondusif akan sangat mengganggu jalannya perusahaan. Situasi keamanan yang buruk dapat dipercontohkan dengan adanya tawuran/perkelahian, peperangan atau pembunuhan, jelas akan berdampak negatif pada lancarnya usaha yang pada gilirannya akan mengganggu kelancaran pengembalian kredit.
4. Risiko Politik
Banyak terjadi kegagalan kredit yang disebabkan oleh gagalnya usaha debitur sebagai akibat dari tidak konsistennya kebijakan/ketentuan-ketentuan pemerintah serta tidak adanya kestabilan politik.
5. Risiko Ketidakpastian (uncertainty)
24
Masa yang akan datang adalah masa yang tidak pasti. Salah satu unsur kredit adalah adanya tenggang waktu antara pemberian kredit dengan waktu pembayaran kembali sehingga risiko ketidakpastian setiap kredit selalu melekat (inherent). Pepatah selalu mengatakan bahwa: “Sejumlah uang tunai (cash) yang ada ditangan saat sekarang jauh lebih berharga dibandingkan dengan sejumlah uang yang sama di masa yang akan datang”.
6. Risiko Inflasi
Secara umum inflasi dapat didefinisikan bahwa naiknya harga barang-barang dan jasa pada umumnya sebagai akibat dari jumlah uang (permintaan) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah barang-barang atau jasa yang tersedia (jumlah penawaran). Sebagai akibat dari inflasi adalah turunnya nilai uang. Walupun kredit bank berjalan lancar di mana utang pokok dan bunga telah dibayar, namun dengan berjalannya waktu, nilai uang tetap turun karena inflasi, maka daya beli uang tersebut menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya yaitu pada saat kredit diberikan. Apalagi kalau kreditnya tidak berjalan lancar (bermasalah).
7. Risiko Persaingan/kebijakan pemerintah
Bank harus benar-benar selektif dalam memberikan kreditnya yaitu hanya memberikan kepada calon-calon debitur/pengusaha yang benar dapat memenangkan persaingan atas perusahaan sejenis. Kalau tidak, maka kredit tidak bakal kembali akibat perusahaan debitur menurun volume usahanya dan menderita rugi akibat langganan-langganannya pindah ke perusahaan pesaing-pesaingnya. Persaingan saat ini sudah sangat ketat hampir di setiap bidang usaha baik di lingkup nasional, maupun regional dan internasional. Lebih-lebih lagi dipacu dengan terwujudnya globalisasi dan blok-blok perdagangan seperti Asean
Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Community (APEC) dan World
Trade Organization (WTO).
Indonesia dilihat dari letak geografis merupakan negara yang rawan akan
bencana alam. Seperti diketahui, permukaan bumi terdiri dari beberapa lapisan yang
disebut lempeng-lempeng. Lempeng-lempeng ini selalu bergerak sepanjang masa.
Tumbukan dari lempeng inilah yang mengakibatkan gempa bumi. Getaran tidak
hanya terasa di permukaan bumi saja, tetapi juga permukaan air laut juga akan
bergerak berdasarkan bentuk lekukan dan gundukan di dasar laut, sehingga bisa
menimbulkan gelombang yang sangat besar yakni tsunami. Di samping itu, banyak
daerah di wilayah Indonesia yang memiliki gunung berapi yang masih aktif dan
semburan lahar panas yang sangat membahayakan. Oleh sebab itu, gempa paling
sering terjadi di negara Indonesia dari dulu sampai sekarang, juga letusan gunung
berapi.25
Begitulah fenomena yang terjadi setiap menyambut musim penghujan.
Ironisnya, bencana alam tersebut bukannya malah berkurang baik frekuensi maupun
intensitasnya. Akibat dari bencana alam tersebut akan membawa dampak terhadap
korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana serta dampak
sosial ekonomi yang ditimbulkan. Bencana alam tersebut juga membawa dampak Puluhan juta orang di Indonesia hidup dekat dengan gunung berapi, bahkan
beberapa kota besar terletak di kawasan yang dekat dengan gunung berapi dan sangat
berbahaya. Salah satu alasan utama mengapa begitu banyak orang tinggal di dekat
gunung berapi adalah tanah di sekitar gunung berapi sangat subur dan baik untuk
pertanian. Alasan lain adalah keterbatasan tempat yang membuat orang tidak
memiliki pilihan lain sebagai tempat tinggal. Selain itu banyak kota didirikan
sebelum orang-orang menyadari bahaya gunung berapi, seperti Kota Yogyakarta
(Daerah Istimewa Yogyakarta), Kota Kediri (Jawa Timur), Kota Ternate (Maluku
Tenggara), Kota Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Kota Berastagi dan Kabanjahe
(Sumatera Utara) dan kota-kota lainnya. Setelah bencana alam seperti gempa,
tsunami dan longsor datang silih berganti, kini banjir mengintai kehidupan manusia,
seperti yang terjadi di Jakarta, Menado dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bandung Jawa Barat,banjir sudah
menenggelamkan ribuan rumah, prasarana transportasi, sawah, tambak, dan
menewaskan puluhan nyawa manusia.
25
terhadap dunia perbankan dalam bidang perkreditan, di mana masyarakat sebagai
debitur bank tidak dapat membayar angsuran kreditnya atau melunasi kreditnya
kepada bank. Dalam hal ini debitur belum dapat dikatakan wanprestasi26
Kredit macet seperti yang disebutkan terakhir di atas yang diakibatkan
bencana alam, merupakan unsur ketidaksengajaan yang diartikan debitur mau
membayar tetapi tidak mampu. Hal ini disebabkan keadaan memaksa (force majeure)
atau disebut juga overmacht. Dalam keadaan memaksa ini terjadi peristiwa yang tidak
terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah penutupan perjanjian, peristiwa
ini menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya sebelum dinyatakan lalai dan karena pada
saat terjadinya peristiwa bencana debitur belum jatuh tempo waktu kreditnya tetapi
debitur tidak mampu lagi membayar atas kreditnya kepada kreditur/bank. Debitur
merupakan korban dari bencana tersebut atau telah terjadi suatu peristiwa keadaan
memaksa atau force majeure, sehingga debitur tidak dapat melunasi kreditnya kepada
bank. Dalam hal ini unsur kesalahan tidak berada pada debitur serta debitur tidak
dapat dikatakan ingkar janji karena adanya suatu keadaan yang menyebabkan debitur
tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi suatu prestasi.
26
karena debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak menanggung risiko atas peristiwa
tersebut.
Dalam praktiknya, masyarakat berhubungan dengan bank dalam transaksinya
didasarkan kepada sebuah perjanjian. Perjanjian bank dengan nasabahnya dilandasi
kata sepakat dan mengikat kedua belah pihak bagaikan undang-undang. Jadi nasabah
dalam berhubungan dengan bank tunduk pada perjanjian yang telah dibuatnya.
Demikian juga dalam pemberian kredit oleh bank kepada nasabah dilakukan dengan
perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis baik yang dibuat dengan perjanjian kredit
di bawah tangan dalam bentuk standar artinya telah dibuat dalam bentuk formulir
baku oleh bank maupun perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris.
Perjanjian kredit bank dibuat dengan klausul-klausul yang baku pula, bahkan
perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris, pihak bank telah mempersiapkan
klausul-klausul baku yang dituangkan oleh notaris dalam akta autentik. Hal ini
mengakibatkan klausul-klausul menjadi berat sebelah dan tidak seimbang.
Klausul-klausul dalam perjanjian kredit ini hanya atau mencantumkan hak-hak salah satu
pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian standar/baku tersebut) tanpa
mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa
yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Tidak jarang dijumpai
perjanjian kredit yang demikian.
Salah satu klausul perjanjian kredit tersebut adalah keadaan memaksa (force
majeure). Dalam praktiknya hampir semua perjanjian kredit bank tidak
mencantumkan klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit
pihak bank dalam klausul tersebut mensyaratkan dengan persyaratan-persyaratan
yang memberatkan nasabah bank. Persyaratan itu diantaranya kewajiban
memberitahukan secara tertulis oleh debitur kepada bank baik pada saat dan/atau
setelah peristiwa bencana alam itu terjadi, bahkan keterlambatan pemberitahuan itu
mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure oleh bank.
Klausul keadaan memaksa (force majeure) yang ditambahkan persyaratan demikian
memberatkan debitur untuk mengurus hal-hal yang demikian, karena debitur
mempunyai kesulitan karena keadaan debitur masih disibukkan situasi bencana yang
sedang dialaminya dan dokumen-dokumen debitur bank yang rusak dan hilang
bahkan administrasi pemerintahan di daerah bencana seringkali tidak berfungsi.
Akibat debitur lalai memberitahukan kejadian tersebut secara tertulis dalam jangka
waktu yang telah ditentukan dalam klausul, maka debitur tidak dapat lagi
menggunakan klausul peristiwa bencana alam akibat keadaan memaksa (force
majeure) sebagai alasan keterlambatan pelaksanaan atau pembebasan dari kewajiban
debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Pemberian kredit dalam perbankan memang merupakan kegiatan yang
mengandung risiko tinggi, karena walaupun bank telah menganalisis kelayakan suatu
permohonan kredit dan meminimalkan risiko27
27
R.Subekti,dalam bukunya Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2005), h. 59, menyebutkan risiko dalam hukum perjanjian ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan: keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.
yang terkandung dalam pemberian
tidak dapat dihindarkan, seperti halnya adanya peristiwa bencana alam. Hal ini akan
menimbulkan tingginya kredit macet pada bank-bank di wilayah bencana tersebut.
Gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 berkekuatan 8,7 skala richter
memporak-porandakan Kepulauan Nias, menelan korban jiwa dan melumpuhkan perekonomian.
Gempa itu memberatkan pikiran dan fisik pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki
utang. Transaksi perekomomian ikut terhenti total, tidak ada toko atau pabrik yang
buka, karena rumah-rumah yang dijadikan tempat berusaha ikut rusak. Sebagaimana
diketahui, meningkatnya kredit macet pada bank yang terdapat di Kepulauan Nias
(Sumatera Utara) pasca gempa bumi April 2005 sedikit banyaknya dipengaruhi akibat
bencana alam. Hal ini terlihat NPL di wilayah Kabupaten Nias pasca gempa bumi
2005 pada triwulan II dari sebesar 4,65 %(Rp 2.262.000.000,-) meningkat pada
triwulan III menjadi sebesar 12,70 % (Rp10.964.000.000,-) dan pada triwulan IV
menjadi sebesar 20,44% (Rp 29.205.000.000,-). Selanjutnya dapat dilihat tabel data
Tabel 1
Data Kredit Macet dan NPL Wilayah Nias(Nominal Dalam Rp. Juta)
TAHUN TRI
Data kredit macet di wilayah kepulauan Nias di atas pasca bencana alam
gempa bumi menunjukkan tingginya kredit macet bank yang telah mencapai di atas 5
% (lima persen). Hal ini berarti bahwa bencana alam merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya kredit macet pada bank akibat ketidakmampuan
debitur untuk membayar utang kreditnya.
Ketidakmampuan ini bukan kemauan debitur dan jumlahnya tidak kecil,
mencapai ratusan debitur yang tersebar di Bank BRI, Bank BNI dan Bank Sumut.Di
tengah kegalauan terkena musibah, pihak bank lewat selembar surat melayangkan
tagihan kredit kepada masyarakat korban bencana gempa yang menjadi debitur bank.
Bukannya menghapuskan tagihan kredit, melainkan surat dari bank yang terima
debitur dari bank merupakan utang yang harus dibayar ditambah bunga dan denda
keterlambatan, padahal debitur korban gempa sudah angkat tangan untuk membayar
utang maupun bunga pinjaman ke bank.
Pasca gempa bumi di Nias tersebut, ratusan korban yang rumahnya ambruk,
barang-barang yang dijadikan modal usaha ikut hancur, bahkan ada debitur yang
sudah meninggal dunia masih dimintakan melunasi utangnya oleh bank kepada
ahliwarisnya. Banyak warga yang merasa tidak mampu dan tertekan dengan sikap
bank yang tidak mau kompromi. Korban gempa bumi di Nias masih ditagih utang
oleh bank karena utang debitur tidak dapat diputihkan. Bank terus menagih utang
terhadap korban bencana disertai bunga dan denda, walaupun debiturnya telah
meninggal dunia tetapi pihak bank tetap meminta ahliwaris debitur untuk melunasi
kredit orangtua debitur. Ada juga debitur yang kreditnya digunakan untuk
hancur dan bank tanpa pertimbangan apapun tetap menagih pembayaran kredit yang
diterima debitur.
Pasca bencana alam gempa bumi di Kepualauan Nias masih dirasakan
masyarakat. Bekas-bekas dapat dirasakan dengan memporak-porandanya bangunan
rumah dan tempat usaha, tetapi persoalan utang tetap harus dituntaskan. Bank masih
terus mendesak dan memaksa debitur membayar angsuran bulanan diikuti acaman
menyita tanah dan bangunan yang menjadi agunan. Perlakuan perbankan korban
bencana gempa di Kepulauan Nias yang dipaksa membayar angsuran bulanan serta
tetap memberlakukan bunga berjalan tidak pernah kunjung berhenti. Tabungan para
nasabah/debitur dicekal serta tidak bisa ditarik.28
Para debiturkorban bencana yang tidak lagi mampu membangun usahanya dan
berjuang sendiri untuk menyelesaikan permasalahan utang kredit yang sudah tidak
membayar kembali kepada bank akibat dampak bencana alam gempa yang terjadi,
bahkan tidak sedikit debitur dibantu serta difasilitasi pihak ketiga seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Elsaka29
28
Hasil wawancara dengan Bapak One Man Halawa, Kordinator LSM Elsaka Nias pada hari Sabtu, tanggal 20 Juni 2015 di gedung Museum Kota Gunungsitoli.
yang melalui suratnya tanggal 12 Juni 2006
kepada Gubernur Bank Indonesia juga meminta pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia untuk memberikan perlakukan khusus berupa pemutihan atas kredit yang
bermasalah akibat bencana alam. LSM Elsaka mewakili 150 debitur korban bencana
gempa Nias dengan total kredit Rp 17.200.000.000,- (tujuh belas milyar dua ratus juta
rupiah). Hal itu tetap tidak terealisasi dan tidak mendapat perhatian dan jalan keluar
dari Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.
29
Dalam kenyataaan dapat dilihat bagaimana bank tetap menagih debitur untuk
melunasi utangnya pada bank dengan ancaman penyitaan agunan, walaupun
debiturnya telah meninggal dunia atau usaha debitur sudah tidak ada lagi akibat
bencana gempa di Nias, sehingga kemampuan untuk membayar dan melunasi utang
kredit sudah tidak mungkin lagi dapat dilakukan oleh debitur, hal itu seperti yang
dialami oleh Suryani Zebua yang orangtuanya Fauziah (almarhumah) dan Haji Yusri
Zebua sebagai debitur Bank BRI Cabang Gunungsitoli, dengan meningkatnya total
nilai utang Rp 125.000.000, (seratus dua puluh lima juta rupiah) dan sejak bulan
Desember 2005terus ditagih untuk melunasi utang orangtuanya kepada Suryani
sebagai ahliwaris oleh bank. Ketika terjadi gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005,
Fauziah berserta suami dan dua anaknya tewas. Tidak hanya itu, rumah empat lantai
yang ditinggali Fauziah berserta keluarganya pun hancur dan hanya menyisakan
puing-puing setinggi 1,5 meter. Suryani anak almarhum Fauziah yang masih hidup
selaku ahliwaris telah menulis surat ke Bank BRI yang menyatakanketidaksanggupan
membayar utang itu dengan melampirkan surat keterangan kematian dan kehancuran
usaha orangtuanya. Balasan surat dari Bank BRI sangat tidak diduga oleh Suryani,
Bank BRI Cabang Gunungsitoli tetap meminta Suryani melunasi tagihan utang
almarhum ibunya Fauziah, namun bukan kabar keringanan atas musibah
menyebabkan usaha orangtuanya kandas. bahkan dalam surat balasan Bank Rakyat
Indonesia tersebut disertai dengan perintah membayar pinjaman sebesar Rp
125.000.000, (seratus dua puluh lima juta rupiah) ditambah denda serta bungasebesar
mendatangi Suryani Zebua bila tidak melunasi pinjaman orangtuanya tanah agunan
tempat usahayang bangunnya telah hancur akan disita.30
Nurhijrah Tanjung seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri
di Gunungsitoli yang juga sebagai debiturBank BNI Cabang Gunung Sitoli. Nurhijrah
Tanjung mengaku tidak bisa tenang karena Bank Negara Indonesia terus
menagihpembayaran kredit yang dia terima. Kredit dari Bank yang Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) itu digunakan untuk membangun rumah, tetapi rumah baru
yang selesai dibangun terjadi gempa bumi yang menghancurkan seluruh bangunan
rumah dan Nurhijrah Tanjung sekeluarga terpaksa harus menumpang di rumah
saudara.31
Dalam kasusVeronika, suaminya Ivan Fredy S (almarhum) sebagai debitur
PT. Bank BNI Cabang Gunungsitoli. Veronica isteri dari almarhum Ivan Fredy S
meninggal dunia karena gempa bumi memiliki kredit rekening koran di Bank BNI
Cabang Gunungsitoli sebesar Rp 105.000.000,- (seratus lima juta rupiah) ditambah
bunga dan denda kredit membengkak menjadi Rp 190.000.000,- (seratus sembilan
puluh juta rupiah). Veronika juga kehilangan anaknya V Widya Anggraini (4 tahun)
karena gempa. Pada saat sebelum gempa bumi terjadi suaminya mempunyai usaha
toko sembako, namun akibat gempa toko tersebut hancur karena gempa. Veronika
kini tidak mempunyai usaha lagi dan menumpang kepada adiknya. Veronika berniat
30
Hasil wawancara dengan Suryani Zebua di Kota Gunungsitoli, Selasa, tanggal 8 Mei 2012. 31
membayar utangnya dengan mencicil dan berharap bunganya diputihkan, akan tetapi
bank menolaknya dan meminta Veronika melunasi utang suaminya pada bank.32
Hal yang sama juga terjadi pada Emilia Dachi sebagaidebitur PT Bank BRI
Cabang Gunungsitoli. Emelia Dachi mengambil pinjaman kredit pada Bank BRI
sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) yang digunakan modal usaha
tokonya. Empat bulan setelah dana digunakan untuk membeli barang, tokonya hancur
karena gempa. Pinjaman kredit Emilia Dachi membengkak menjadi Rp 370.000.000,-
(tiga ratus tujuh puluh juta rupiah). Emelia Dachi memohon keringanan supaya dana
bisa dikembalikan dalam 5 sampai 6 tahun, tetapi bank tetap minta Emelia Dachi
untuk segera melunasi utang pada bank.33
Mesrawati Larosa 41 tahun, yang telah mengambil kredit di Bank Sumut
untuk membuka usaha fotocopy dan menjual alat tulis kantor berlokasi di jalan Gomo
Gunungsitoli. Namun pada kejadian bencana gempa tempat usahanya serta seluruh
peralatan di dalamnya hancur total. Mesrawati tidak mampu lagi membayar
pinjaman tersebut karena tempat maupun usahanya telah hancur total. Mesrawati
bersuara lantang dan keras kepada pemerintah untuk tidak diskriminasi terhadap
korban gempa di Nias di mana kredit korban bencana di Yogyakarta dapat dilakukan
pemutihan, seluruh debitur korban gempa di Nias menunggu walau tidak pasti
keputusan pemerintah agar dapat berlaku adil melakukan pemutihan utang para
korban gempa.34
32
Hasilwawancara dengan Veronika di Kota Gunungsitoli, Sabtu, tanggal 20 Juni 2015. 33
Harian Kompas, Jumat tanggal 14 Desember 2007. 34
Permohonan dan aksi protes oleh debitur korban bencana gempa di Nias yang
difasilitasi oleh LSM Elsaka telah dilakukan kepada Pemerintah. Harapan kepada
pemerintah agar kredit para debitur akibat korban bencana di Kepulauan Nias dapat
diputihkan karena usaha maupun tempat usaha mereka sudah hancur saat gempa
menjadi alasan utamanya. Intinya, para debitur di beberapa bank di Kepulauan Nias
tidak mampu lagi membayar pinjamannya. Para debitur mendesak pemerintah
melakukan pemutihan utang seperti yang diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor
14 Tahun 2005 tentang tata cara penghapusan piutang negara/daerah.
Surat permohonan para debitur korban akibat bencana gempa di Kepulauan
Nias yang sampaikan kepada Pemerintah yang pada saat itu Presiden Republik
Indonesia Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak membuahkan hasil. Selanjutnya
surat permohonan debitur disampaikan kembali ke Wakil Presiden Republik
Indonesia Jusuf Kalla yang menjabat saat itu. Jawabanpun diperoleh melalui Surat
Nomor B.2718/Set/Wk.Pres/XI/05 tanggal 1 November 2005 agar pemutihan utang
diajukan kepada Bank Indonesia sesuai kewenangan berlaku. Debitur kemudian
menyurati Bank Indonesia menindaklanjuti surat Wakil Presiden memberikan solusi
pemutihan utang diajukan kepada bank pemberi kredit sesuai Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005
tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang
Perusahaan Negara/Daerah (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 112/PMK.07/2005), yang pada intinya penghapusan piutang
bank. Debitur juga menyurati bank pemberi kredit di Nias menindaklajuti surat Wakil
Presiden dan Bank Indonesia agar dapat dilakukan pemutihan bagi korban gempa
bumi sesuai aturan, tetapi hasilnya belum mendapat kepastian apakah harapan para
debitur korban gempa bumi memperoleh pemutihan kredit berdasarkan kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah.
Menurut KUH Perdata bencana alam seperti gempa bumi merupakan force
majeure, sebagaimana diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata yang menyatakan jika
ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan
bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tetap
dilaksanakannya perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, pun tak
dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada itikad buruk
padanya. Selanjutnya dalam Pasal 1245 KUH Perdata, menyatakan tidak ada
penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu
kejadian yang tidak sengaja, si berutang debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang. Melihat Ketentuan ini kondisi bencana alam merupakan
prioritas pemutihan utang, karena musibah bencana bukan kehendak mereka yang
siap diterima mereka.
Pasca gempa bumi di Kepulauan Nias data debitur korban versi LSM Elsaka
sekitar 605 debitur yang mengajukan hapus tagih sebesar Rp 23.000.000.000,- (dua
puluh tiga milyar rupiah), dengan rincian untuk debitur di Kota Gunungsitoli 447
debitur dengan total Rp 19.056.861.300,- (sembilan belas milyar lima puluh enam
Bank SUMUT sebanyak 184 debitur senilai Rp 5.884.931.600,- (lima milyar delapan
ratus delapan puluh empat juta sembilan ratus tiga puluh satu enam ratus rupiah);
Bank BRI sebanyak 183 debitur senilai Rp 7.303.229.700,- (tujuh milyar tiga ratus
tiga juta dua ratus dua puluh sembilan ribu tujuh ratus rupiah); dan Bank BNI
sebanyak 88 debitur senilai Rp 5.865.700.000,- (lima milyar delapan ratus enam
puluh lima juta tujuh ratus ribu rupiah). Untuk Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan
yakni sekitar 159 debitur dengan total utang senilai Rp 4.303.228.200,- (empat milyar
tiga ratus tiga juta dua ratus dua puluh delapan ribu dua ratus rupiah), dengan rincian
yakni Bank Sumut sebanyak 61 debitur senilai Rp 2.126.888.200,- (dua milyar
seratus dua puluh enam juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu dua ratus
rupiah); Bank BRI sebanyak 95 debitur senilai Rp 1.798.000.000,- (satu milyar tujuh
ratus sembilan puluh delapan juta rupiah); dan Bank BNI sebanyak 3 orang senilai
Rp 378.340.000,- (tiga ratus tujuh puluh delapan juta tiga ratus empat puluh ribu
rupiah).35
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus
Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu di Indonesia Yang Terkena
Bencana Alam, hanya memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank berupa
kelonggaran dalam penetapan kualitas kredit dan pemberian kredit baru kepada
debitur yang terkena dampak bencana dengan ditetapkan sebagai kredit lancar sampai
3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana. Hal itu berarti debitur tetap melunasi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
35
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan masalah
perbankan melalui Bank Indonesia dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:
10/39/PBI/2008 tanggal 24 Desember 2008 hanya terhadap bencana dengan status
bencana nasional dengan memberikan perlakukan khusus kepada debitur yang
terkena dampak bencana. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:
10/39/PBI/2008 tanggal 24 Desember 2008 tersebut menyebutkan masalah
penyelesaian kredit diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank dan kebijakan
bank dalam menyelesaikan kredit harus memperhatikan kondisi keuangan bank.
Kebijakan yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi debitur
dalam upaya minta pelindungan hukum maupun kreditur sebagai bank yang
membutuhkan kepastian hukum dalam pengembalian atas kredit yang telah diberikan
kepada debitur.
Penetapan pemerintah yang juga lamban dalam menetapkan status bencana
nasional terhadap bencana gempa bumi di Nias juga menjadi kendala dalam
penyelesaian kredit akibat bencana. Pada saat terjadinya bencana tsunami di Aceh
Nanggroe Darussalam pemerintah menetapkan bahwa kejadian itu merupakan
bencana nasional, sedangkan bencana gempa bumi di Nias sebagai bencana daerah.
Menurut pemerintah melalui Menteri Sosial pada saat itu, mengatakan tidak ada
niatan pemerintah untuk melakukan diskriminasi dalam penanganan bencana di Nias
dan Aceh. Langkah pemerintah menetapkan kejadian Aceh sebagai bencana nasional
didasarkan pertimbangan pada waktu itu pemerintah Aceh tidak berjalan sama sekali,
dengan demikian pemerintah harus mengambil tindakan untuk menempatkan Menteri
penangganan bencana di Aceh yang pada saat itu kondisi pemerintahan di Aceh
lumpuh dan harus segera dibangkitkan agar proses pemerintah dapat tetap berjalan,
sementara akibat bencana yang terjadi di Nias tidak sampai membuat roda
pemerintahan di daerah itu terhenti. Pemerintahan di Gunungsitoli ibukota Kabupaten
Nias, misalnya tetap berjalan meski wilayah tersebut dilanda gempa berkekuatan 8,7
skala richter.Bencana gempa di Nias pada mula ditetapkan sebagai bencana daerah
yang hanya karena pemerintahan di daerah tersebut dapat berjalan, padahal jika
dilihat terhadap korban dan kerugian yang diakibatkan bencana tersebut sangat besar
dan dapat dikriteriakan sebagai bencana nasional. Setelah ada dari desakan
masyarakat dan pemerintah daerah, baru kemudian pemerintah pusat menetapkan
bencana gempa Nias sebagai bencana nasional bersama dengan bencana tsunami di
Aceh.Perbedaan penetapan status bencana tersebut menimbulkan diskriminasi dalam
penanganan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana hanya mengatur indikator penetapan status dan tingkat
bencana nasional dan daerah yang meliputi:
1. Jumlah korban;
2. Kerugian harta benda;
3. Kerusakan prasaran dan sarana;
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan.
Pemerintah sudah saatnya memiliki kriteria tertentu untuk menetapkan apakah
akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana di
suatu daerah yang terkena bencana.
Kredit bermasalah(NPL) juga terjadi di Daerah IstimewaYogyakarta pasca
erupsi Gunung Merapi mengalami kenaikan kredit macet dan diperkirakan mencapai
Rp 228, 4 miliyar. Hal yang sama juga terjadi bagi para debitur atau yang menjadi
korban erupsi Gunung Sinabung dan korban banjir bandang di Menado
mengakibatkan banyak warga masyarakat tidak dapat membayar cicilan kredit di
beberapa bank sebagai penyedia kredit usahanya. Bank-bank milik pemerintah (Bank
BUMN) seperti Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI dan Bank BTN yang
berkeinginan untuk membantu debitur yang terkena dampak bencana dengan
pemutihan atau penghapusan utang masih terkendala terhadap ketentuan
perundang-undangan masih mengkategorikan bahwa asset bank BUMN sebagai kekayaan
negara, sehingga penyelesaian kredit berupa penghapusan harus melalui mekanisme
negara. Padahal pasca putusan Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bahwa asset
negara dalam Bank BUMN merupakan kekayaan yang dipisahkan sehingga
penyelesaian kredit berupa penghapusan utang dapat dilakukan dengan mekanisme
korporasi.
Bencana alam erupsi Gunung Sinabungdi Kabupaten Karo Sumatera
Utarabanyak membawa korban manusia, tempat tinggal bahkan usaha produktif dari
masyarakat banyak yang hancur serta tidak berfungsi sama sekali, sehingga
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan perekonomian.
Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan bencana erupsi Gunung Sinabung
tetap ada mengeluarkan semburan lahar panas dan hujan abu vulkanikdi lebih dari 21
Desa perumahan penduduk yang sudah mengungsi ke Kabanjahe ibukota Kabupaten
KaroGunung Sinabung yang telah berstatus awas yang mengakibatkan 2.785 jiwa
mengungsi. Hasil perhitungan sementara sejak September 2013 hingga akhir 2014,
erupsi Gunung Sinabung telah mengakibatkan kerugian hingga Rp 1, 49 triliun.
Kerugian dan kerusakan di sektor ekonomi produktif meliputi pertanian, perkebunan,
peternakan, perdagangan, parawisata, perikanan, UKM, dan industri, sedangkan
kerugian dan kerusakan di sektor pemukiman Rp 501 milyar, infrastruktur Rp 23, 65
milyar, sosial Rp 53, 43 milyar dan lintas sektor Rp 18, 03 milyar. Kerusakan dan
kerugian ini belum termasuk dampak akibat lahar hujan.36
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bencana di tanah air berdampak
signifikan terhadap industri perbankan, erupsi Gunung Sinabung berdampak
signifikan terhadap 5800 debitur dari 9 Bank Umum dan 4 Bank Perkreditan Rakyat
dengan nilai total sekitar Rp 86.000.000.000,- (delapan puluh enam milyar rupiah),
sementara itu banjir bandang di Menado berdampak signifikan pada sekitar 3700
debitur dari 12 Bank Umum dan 3 Bank Perkreditan Rakyat dengan total nilai kredit
sekitar Rp 808.000.000.000,- (delapan ratus delapan milyar rupiah). Untuk erupsi
Gunung Kelud di Jawa Timur berdampak signifikan diperkirakan terhadap sekitar
10.300 debitur dari 7 Bank Umum dan 23 Bank Perkreditan rakyat dengan total
kredit mencapai Rp 332.000.000.000,- (tiga ratus tiga puluh dua milyar rupiah).
36
Pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, penyelesaian kredit bermasalah akibat bencana juga belum dapat
terselesaikan. Pemerintah bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang mengadakan rapat dengar pendapat tanggal 3 Maret 2014 mengenai
status nasabah perbankan di daerah bencana seperti erupsi Gunung Sinabung, banjir
Menado serta erupsi Gunung Kelud berakhir tanpa hasil. DPR masih bingung
menetapkan status bencana alam di tiga wilayah tersebut. DPR bingung menetapkan
status bencana ini apakah termasuk bencana nasional, atau bencana daerah saja
dengan skala kecil.
Penetapan status bencana ini juga akan akan berpengaruh pada sumber daya
yang nanti akan dikerahkan. Pemerintah hingga kini belum memiliki kriteria tertentu
untuk menetapkan apakah sebuah bencana dikatakan sebagai bencana nasional
maupun daerah, karena hal itu akan berpengaruh pada siapa yang berwenang di
lapangan untuk menangani bencana tersebut. Akibatnya sering kali pemerintah
terlihat gamang dalam menangani bencana yang terjadi. Hal ini terlihat pada
penanganan bencana di Aceh maupun di Nias seperti telah dijelaskan di atas.
Pemerintah terlihat tidak bisa melakukan koordinasi dengan baik dalam penanganan
bencana tersebut.
Status bencana ini perlu sebagai salah satu dasar penentuan kelonggaran
debitur-debitur bank yang terkena bencana, baik yang terkait penghapusan tagih
kredit atau yang lainnya mengaju pada PBI Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang Perlakuan Khusus terhadap KreditBank bagi Daerah-Daerah Tertentu di
berlarut-larut, sehingga sulit dilakukan hapus tagih dan untuk itu perlu adanya payung
hukum. Polemik yang berlarut-larut dan kelonggaran untuk debitur terkena bencana,
khususnya dari bank BUMN ke depan juga akan menimbulkan polemik hukum.
Dalam bidang perbankan dampak bencana alam ini juga membutuhkan
perlindungan hukum bagi debitur korban bencana dan penyelesaian hukum berkaitan
dengan kredit perbankan yang dapat memberikan kepastian hukum yang menjadi hak
bagi kreditur, karena banyak kredit yang macet akibat dampak bencana alam tersebut.
Dilihat dari pihak kreditur, banyaknya korban bencana alam ini yang sebagian besar
adalah nasabah debitur dari perbankan akan mempengaruhi kinerja bank yang ada,
mengingat sebagian dari kredit macet tersebut sudah sangat sulit diharapkan untuk
dapat ditagih. Dalam pembukuan bank dengan adanya tampilan atau dibukukannya
kredit macet tersebut akan memberikan yang tidak realistis terhadap aset perbankan.
Seolah-olah aset perbankan masih sangat besar, padahal sebagian aset tersebut tidak
akan lagi berperan dalam pengembangkan perbankan. Bahkan sebaliknya
mempengaruhi rasio-rasio teknis yang digariskan, sehingga justru mempengaruhi
nilai positif atas penilaian perbankan tersebut. Sementara itu besarnya porsi kredit
macet tersebut juga mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat atas bank
tersebut, yang tentunya akan sangat mempengaruhi roda-roda bisnis perbankan
tersebut. Padahal aspek kepercayaan ini merupakan salah satu variabel kunci bagi
kerberhasilan perbankan. 37
37
Edy Suandi Hamid, Problematika Penghapubukuan (Write –Off) Kredit Macet, Seri Kajian Fiskal & Moneter No 20, (Jakarta: Pusat Pengkajian Fiskal & Moneter (Center for Fiscal and Monetary Studies), 1997), h. 82-83.
Untuk itulah perlu adanya suatu kebijakan dari
perbankan tersebut berkaitan perlindungan hukum terhadap debitur dan kepastian
hukum bagi kreditur, karena penyelesaian kredit macet akibat keadaan memaksa
(force majeure) sangat sulit dan berlarut-larut, sehingga tidak adanya kepastian
hukum yang menjadi hak bagi kreditur/bank sebagai pemberi kredit tetapi juga
kepastian hukum bagi debitur. Hukum belum cukup berperan dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang ada dalam bidang perkreditan bila terjadi bencana alam yang
mengakibatkan kredit macet bagi nasabah bank, sedangkan nasabah bank belum jatuh
tempo waktu kredit dan sebelum terjadi bencana debitur dalam keadaan belum
wanprestasi.
Keadaan memaksa (force majeure) bisa mempunyai pengaruh yang besar
sekali atas wanprestasi, karena berkaitan dengan apa dan kapan ada keadaan
memaksa. Dalam hal wanprestasi berangkat dari pikiran bahwa prestasi yang terutang
pada debitur memang secara normal bisa dipenuhi dan patut untuk dituntut
pemenuhannya. Namun demikian wanprestasi berkaitan dengan pelaksanaan suatu
perjanjian – bukan masalah pada saat perjanjian dibuat – yang keadaannya belum
diketahui atau bahkan tidak bisa diramalkan pada waktu perjanjian ditutup. Jika
kemudian ternyata kewajiban debitur – karena sesuatu hal – tidak mungkin dipenuhi,
maka hal itu bergantung dari apakah halangan seperti itu sudah bisa diduga atau
sepatutnya diperhitungkan debitur. Kalau halangan itu sudah bisa diduga atau
sepatutnya sudah diperhitungkan oleh debitur, semua itu harus ditanggung kreditur.
Permasalahan kredit macet yang diakibatkan bencana alam sebagai faktor
keadaan memaksa (force majeure) selalu meninggalkan masalah hukum pasca
dan menjadi suatu permasalahan sendirierhadap nasabah kepada bank karena
pemutihan uatang berupa penghapusan utang atas kewajiban debitur masih sulit untuk
dilakukan oleh pihak perbankan di mana faktor perundangan-undangan yang
mengatur khusus perkreditan perbankan belum ada sampai saat ini. Selama ini
peraturan tentang perkreditan perbankan banyak diatur oleh Bank Indonesia berupa
PBI, Surat Keputusan BI dan SEBI yang pengaturannya belum mampu
mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam bidang perkreditan.
Bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia telah berdampak
negatif pada kinerja perbankan dan perekonomianmasyarakat setempat. Banyak
terjadi kredit macet akibat ketidakmampuan debitur memenuhi kewajibannya yang
diakibatkan terhenti dan terganggunya proses usaha dan produksi serta rusak atau
musnahnya agunan kredit debitur. Untuk itu pemerintah perlu mengantisipasi dampak
buruk tersebut. Kredit bermasalah (non performing loan) berdampak sangat besar
terhadap kinerja perbankan, sehingga diperlukan penanganan yang sistematis dan
berkelanjutan. Peraturan Bank Indoensia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 sebenarnya telah mengakomodasi hal ini berupa penjadwalan ulang maupun
pengajuan pinjaman baru, namun peraturan ini tidak mengakomodasi penghapusan
kredit akibat bencana alam. Demikian juga berkenanan dengan penghapusan kredit
pada Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebenarnya telah dinyatakan dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.06/2010 tanggal 18 Maret 2010 tentang
Penyelesaian Piutang Bermasalah Pada Badan Usaha Milik Negara di Bidang Usaha
Perbankan, tetapi dalam pelaksanaaannya masih mengalami kendala akibat adanya
keuangan negara. Dalam hal ini belum terlihat adanya langkah nyata dari perbankan
dalam menangani masalah perkreditan akibat bencana alam, pihak perbankan hanya
meninjau dan mendata wilayah dan pihak-pihak yang terkena dampak bencana alam
tersebut.
Sehubungan dengan banyaknya wilayah Indonesia rawan dengan bencana
alam sebagai keadaan memaksa (force majeure) dalam kaitannya dengan kredit
bermasalah atau kredit macet, maka bank-bank kesulitan dalam menangani kredit
macet yang ada akibat bencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure)
untuk melakukan penagihan atas tagihan kredit yang sebenarnya tidak perlu ditagih
lagi, karena sudah hampir dipastikan tidak dapat tagih lagi, untuk itu perlu upaya
perlindungan hukum bagi debitur nasabah bank berupa pengaturan hukum yang
mengatur penghapusan utang kredit akibat bencana alam dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang dapat menjadi dasar yang dapat dituangkan dalam
perjanjian kredit sebagai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan
debitur, sehinggadengan hapusnya kredit bermasalah itu bank-bank juga memperoleh
kepastian hukum dan bank akan lebih leluasa untuk memperluas ekspansi dan dapat
lebih fokus serta konsentrasi menjalankan bisnis dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat di suatu negara. Hal ini sesuai dengan konsep negara
kesejahteraan, tujuan negara adalah kesejahteraan umum sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Negara merupakan alat untuk
mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Upaya dan kesigapan pemerintah ini perlu dan diharapkan dapat mengembalikan
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian dari latar belakang di atas dan untuk lebih
fokusnya penelitian disertasi ini, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Mengapa klausul keadaan memaksa (force majeure) akibat bencana alam pada
perjanjian kredit bank yang mengakibatkan kredit macet tidak mempunyai daya
kerja perikatan?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam penyelesaian kredit
macet dikaitkan bencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure)dapat
memperoleh kepastian hukum?
3. Bagaimana model penyelesaian kredit bermasalah akibatbencana alam sebagai
keadaan memaksa (force majeure) dalam memberikan perlindungan hukum bagi
nasabah debitur?
C.Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis dan memastikanklausul keadaan memaksa (force majeure)
akibat bencana alam pada perjanjian kredit bank yang mengakibatkan kredit macet
tidak mempunyai daya kerja perikatan.
2. Untuk menganalisis dan memastikan perlindungan hukum dalam penyelesaian
kredit macet akibat bencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure) bagi
3. Untuk menganalisis dan menemukan model penyelesaian kredit bermasalah
akibatbencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure) dalam
memberikan perlindungan hukum bagi nasabah debitur.
D.Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, baik dari aspek
teoretis maupun aspek praktis yaitu:
1. Aspek teoretis, penelitian ini diharapkandapat menemukan jawaban pemasalahan
guna pengembangan ilmu hukum khususnya hukum perbankan dalam
penyelesaian kredit akibat bencana alam sebagai keadaan memaksa (force
majeure) yang dikaitkan dengan upaya memberikan perlindungan bagi nasabah
debitur bankdan kepastian hukum, sehingga dapat digunakan bagi peneliti
selanjutnya dan masyarakat pengguna lainnya.
2. Aspek praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran
yang bersifat konseptual bagi pemerintah dalam rangka pembentukan
undang-undang tentang Perkreditan Perbankan di Indonesia serta kebijaksanaan
pemerintah yang efektif dan efisien dan juga sebagai bahan masukan bagi pihak
perbankan (kreditur) dalam penyelesaian kredit bermasalah akibat bencana alam
sebagai keadaan memaksa (force majeure) dapat dalam upaya perlindungan
hukum bagi nasabah debitur bank dan kepastian hukum serta dapat dijadikan
E.Asumsi
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan dengan telah dirumuskannya
beberapa permasalahan tersebut di atas, maka untuk memberi arahan dalam penelitian
ini, dapat diketengahkan asumsi38
1. Dalam perjanjian kredit baik yang dibuat dibawah tangan maupun yang dibuat
dalam akta notaris tidak mencantumkan klausul keadaan memaksa (force majeure)
akibat bencana alam, kalaupun ada dalam klausul tersebut selalu harus memenuhi
persyaratan dan kriteria lainnya, seperti kewajiban pemberitahuan secara tertulis
kepada kreditu/bank telah terjadi peristiwa bencana alam dalam jangka waktu
tertentu. Klausul keadaan memaksa (force majeure) akibat bencana alam dalam
perjanjian kredit juga tidak menjelaskan kriteria dan penyelesaiannya secara rinci
serta tegas jika terjadi peristiwa bencana alam sebagai keadaan memaksa (force
majeure). Hal inimenyebabkan klausul keadaan memkasa akibat bencana pada
perjanjian kredit bank yang mengakibatkan kredit macet tidak mempunyai daya
kerja. Di samping berdasarkan Pasal 1438 KUH Perdata pembebasan utang suatu
utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Hal ini berarti pembebasan
utang hanya dapat dilakukan jika kreditur melepaskan haknya menagih piutangnya
dari debitur.
sebagai berikut:
2. Apabila terjadi kredit macet akibat keadaan memaksa (force majeure), seperti
bencana alam, hukumbelum mampu memberi perlindungan hukum bagi nasabah
38
bank. Negara dalam hal ini harus dapat berperan sebagai perwujudan dari tujuan
negara dalam memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) dalam
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlindungan hukum
dapat dilakukan dengan adanya peraturanperundang-undangan serta
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mendukung dan mengakomodir jika terjadi
bencana alam, sehingga kesiapan hukum akan memberi perlindungan hukum bagi
nasabah bank yang terkena dampak bencana alam sebagai keadaan memaksa
(force majeure) dan sekaligus memberikan kepastian hukum bagi kedua belah
pihak, baik pihak bank maupun nasabah debitur sendiri.
3. Penyelesaian kredit macet akibat bencana alam sebagai keadaan memaksa (force
majeure) berupa penghapusan tagihan kredit dengan kriteria dan persyaratan
tertentu merupakan model hukum yang dapat diterapkan dalam memberikan
perlindungan hukum bagi nasabah debitur bank sekaligus memberikan kepastian
hukum bagi bank sebagai yang memberi pinjaman/kredit dan debitur sebagai
peminjam.
F. Keaslian Penelitian
Penelitian ini bermula pada pemikiran dari keadaan letak geografis wilayah
Indonesia yang rawan terhadap bencana alam dan kondisi sosial, politik serta
keamanan masyarakat Indonesia rentan terhadap peristiwa-peristiwa yang
menimbulkan pengaruh terhadap perekonomian. Hal ini juga akan berpengaruh