12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab tinjauan pustaka ini penulis akan menguraikan teori – teori hukum.
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, teori hukum adalah disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum
umum.19 Kemudian menurut J.J.H Bruggink, teori hukum merupakan seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan – aturan hukum dan putusan – putusan dan sistem tersebut untuk sebagian penting
dipositifkan. Kemudian Bruggink menjelaskan teori hukum dalam arti luas berarti merujuk kepada pemahaman sebagai bagian (cabang sub disiplin) teori hukum,
yaitu sosiologi hukum yang berbicara keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum dan teori hukum dalam arti sempit berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif hukum.20
Oleh karena itu pada Bab ini tulisan akan diarahkan untuk mengurai serta menjelaskan, pertama mengenai Konsep Hukum Persaingan Usaha, kedua
dilanjutkan dengan menjelaskan Teori tentang kartel, ketiga akan menjelaskan teori kesepakatan kehendak, keempat akan membahas mengenai terori arti pembuktikan dalam hukum (ilmiah, konvensionil dan yuridis) dan diakhiri dengan teori tentang
pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence yang berlaku secara khusus dalam persaingan usaha.
19 Otje Salman S., SH dan A.F. Susanto S.H. M.Hum, Teori Hukum, cetakan ke-8, Refika
Aditama, Bandung: 2015, h. 54
13
A.
Hukum Persaingan Usaha
Pada sub judul bagian pertama ini penulisan akan menjelaskan mengenai awal pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia, kemudian akan dilanjutkan
dengan membahas karakteristik hukum persaingan usaha. Sub judul ini mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pemahaman bahwa hukum persaingan usaha merupakan sub bidang hukum yang mempunyai ciri khusus yaitu tidak adanya batas
yang tegas apakah hukum persaingan usaha merupakan sub bidang hukum privat atau hukum publik. Berikut penjelasan mengenai hal tersebut.
1.
Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Pengaturan mengenai hukum persaingan usaha di Indonesia sekarang ini
mengacu pada Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Antimonopoli) yang disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada
tanggal 5 Maret 1999.
Sejak dimulainya proses globalisasi ekonomi di beberapa negara di
sepanjang dekade 1980an –an dan 1990-an, telah banyak negara – negara yang mengadopsi kebijakan deregulasi, privatisasi serta perdagangan bebas.21 Proses
globalisasi ekonomi yang terjadi tersebut juga bersamaan waktunya dengan kehadiran World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO). Di dalam WTO, terdapat seperangkat perjanjian – perjanjian tentang barang dan jasa dengan
beraneka ragam pengaturan – pengaturan tentang bagaimana negara – negara
21 Rhido Jusmadi, Kosep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah, Perdangan Bebas, dan
14
anggota berproduksi dan berdagang, serta memastikan bahwa di dalam pasar global terjadi persaingan yang sehat.22 Oleh karena itu setiap negara yang menjadi anggota WTO berupaya untuk membuat suatu regulasi tentang bagaimana para pelaku usaha
ekonomi untuk melakukan kegiatan usahanya secara sehat, sehingga tidak memicu adanya konflik yang menyebabkan hilangnya kepercayaan pelaku usaha (pemodal
lokal ataupun investor) terhadap suatu negara. Untuk mewujudkan hal tersebut maka salah satu upaya negara – negara tersebut adalah dengan membuat suatu undang – undang atau kebijakan yang mengatur tentang tindakan unfair
competition atau persaingan usaha yang sehat.
Penerbitan UU Antimonopoli sendiri di Indonesia merupakan upaya
Indonesia untuk mereformasi hukum di bidang ekonomi yang berasaskan pada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan
umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek
monopoli serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional.23
Fenomena yang terjadi pada awal 1990-an telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk
keadaan.24 Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan
22 Rhido Jusmadi, Ibid.
23 Devi meyliana,Hukum Persaingan Usaha, Setara Pres, Malang : 2013, h. 1
24 Baca bagian umum penjelasan Undang – undang nomor 5 tahun 1999 tentang larang
15
kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.25 Oleh karena itu dengan hadirnya UU Antimonopoli juga merupakan
upaya negara dalam memperbaiki kegiatan usaha ekonomi di Indonesia agar masyarakat mendapat kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam kelangsungan pembangunan ekonomi negara di berbagai sektor usaha sehingga
dapat mencerminkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang – undang Dasar Republik Indonesia.
2.
Karakteristik Hukum Persaingan Usaha
Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, hukum persaingan usaha
(competition law) merupakan pengembangan dari hukum ekonomi (economic law) yang memiliki karakteristik tersendiri yang salah satunya adalah sifat fungsional dengan meniadakan perbedaan antara hukum publik dan hukum privat yang selama
ini dikenal.26 Sunaryati Hartono berpendapat bahwa hukum dagang dalam penelitiannya dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata
murni, sedangkan hukum ekonomi di Indonesia tidak hanya bersifat perdata tetapi memerlukan metode penelitian dan penyajian interdisipliner, dimana hukum ekonomi tidak hanya bersifat perdata melainkan juga mempunyai kaitan erat
dengan hukum administrasi negara, hukum pidana dan bahkan tidak mengabaikan
25 Ibid
26, Rachmadi Usman Hukum Acara Persaingan usaha di Indonesia, Sinar Grafika,
16
hukum publik internasional dan hukum perdata internasional.27 Sunaryati Hartono juga menambahkan hukum ekonomi di Indonesia juga membutuhkan landasan pemikiran dari bidang ilmu lain yang diantaranya filsafat, bidang ekonomi,
sosiologi, bidang administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan bahkan futurology.28
Oleh karena itu, hukum persaingan usaha yang merupakan lex specialis dari hukum ekonomi tentunya juga mempunyai karakter yang khas dalam substansinya, sehingga para penegak hukum yang berwenang untuk meyelesaikan perkara
persaingan usaha diharapkan tidak saja memiliki kemampuan hukum, melainkan juga perlu pengetahuan yang baik di bidang – bidang ilmu lainnya yang mempunyai
kaitan dengan hukum persaingan usaha itu sendiri.
Skema lingkaran hukum persaingan usaha dari Agus Brotosusilo sebagaimana yang diadopsi dan disempurnakan oleh HMBC Rikrik Rizkiyana
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini 29
17
Gambar 1. The circling scheme of position of the competition Law
B.
Kartel
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dibatasi oleh UU
Antimonopoli. Yang dimaksud dengan dibatasi adalah ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang termuat
dalam UU Antimonopoli tersebut. Ada tiga hal pokok yang dilarang dalam UU Antimonopoli yaitu: tentang perjanjian yang dilarang yang diatur didalam Bab III, selanjutnya tentang kegiatan yang dilarang yang diatur dalam Bab IV dan tentang
18
Pada Pasal 11 UU Antimonopoli mengatur agar para pelaku usaha untuk tidak melakukan kartel dengan pesaingnya. Hal ini mengartikan bahwa kartel merupakan salah satu perbuatan yang mempunyai dampak buruk bagi dunia usaha.
Berikut ini adalah ulasan mengenai kartel itu sendiri yang dimulai dari pengertian serta jenisnya, kemudian dilanjutkan dengan pengaturan kartel dalam UU
Antimonopoli beserta aspek – aspeknya.
1.
Pengertian dan Jenis
–
jenis Kartel
Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga dan penjualannya serta untuk mendapatkan posisi monopoli.30 Dalam Black law’s Dictionary
menyatakan bahwa kartel sebagai berikut :
“A combination of producers of any product joined together to control its production, sale, and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity. Such exist primarily in Europe, being restricted in Unit-ed States by antitrust laws. Also, an association by agreement of companies or sections of companies having common interests, designed to prevent extreme or unfair competition and allocate markets, and to promote the interchange of knowledge resulting from scientific and technical research, exchange of patent rights, and stand-ardization of products.”31
Richard A. Posner mengartikan kartel sebagai :32
A contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their ouput) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign unless they expected it to make them all better off.
30 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Kencana, Jakarta : 2012, h.
176
31 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary 6th edition, St. Paul Minn West
Publishing Co. :1990, h. 215
19
Jadi pada pokoknya kartel merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh para produsen untuk mengontrol produksi, harga serta cara penjualan dengan
maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara mereka agar para produsen tersebut memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar.
Kartel merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang oleh UU Antimonopoli di Indonesia. Hal ini disebabkan kartel dapat saja membuat konsumen untuk membeli suatu barang diatas kewajaran atau membeli lebih mahal dari pada
biasanya sehingga dalam hal ini konsumen dirugikan dan dalam hal lain juga kartel yang dilakukan oleh produsen dapat menghambat pesaing baru untuk masuk ke
dalam pasar. Kerugian – kerugian yang dialami konsumen yang disebutkan di atas dapat juga terjadi karena produsen bersepakat untuk mengatur jumlah penawaran yang tujuannya untuk menghasilkan suatu kelangkaan, dengan adanya kelangkaan
tersebut maka permintaan akan naik dan apabila permintaan lebih tinggi dari penawaran maka harga produk tersebut akan melonjak naik dan tentu saja hal ini merugikan konsumen. Selain itu apabila produsen produk sejenis bersepakat untuk
mengatur jumlah produksi barang banyak otomatis harga akan turun karena jumlah penawaran lebih banyak dari permintaan, hal ini dapat menghambat pesaing baru
20
Beberapa jenis kartel yang dikenal dalam persaingan usaha adalah sebagai berikut :33
a. Kartel harga pokok (prijskartel)
Di dalam kartel harga pokok anggota – anggota menciptakan peraturan
diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya laba. Pada kartel ini ditetapkan harga – harga penjualan bagi para anggota kartel. Benih dari persaingan kerap kali juga datang dari perhitungan laba yang akan diperoleh suatu
badan usaha. Dengan menyeragamkan laba, maka persaingan diantara mereka dapat dihindarkan.
b. Kartel harga
Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang –
barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak diperkenankan untuk menjual barang – barangnya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota – anggota itu
dibolehkan untuk menjual diatas harga yang akan di tetapkan, akan tetapi tanggung jawab sendiri.
Kartel harga pokok (prijskartel) dengan kartel harga mempunyai kesamaan yaitu merupakan suatu perencanaan tentang pengaturan harga suatu barang. Namun antara keduanya sebenarnya juga memiliki perbedaan. Dalam kartel harga pokok
(prijskartel) yang diatur atau yang direncanakan oleh para pelaku kartel itu sendiri adalah harga pokok dengan tujuan adanya keseragaman laba atau keuntungan
21
diantara mereka. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT. Nikeardi melakukan pengaturan harga jual sepatu tipe running untuk orang dewasa dengan harga tujuh ratus ribu rupiah. Dengan demikian apabila dalam setahun
mereka membuat sepatu tipe running dengan jumlah yang sama maka keuntungannya pun akan sama.
Berbeda ceritanya dengan kartel harga. Dalam kartel harga yang diatur oleh para pelaku usaha adalah harga terendah suatu barang, sehingga keuntungan atau laba dari para anggota kartel tersebut dapat bervariasi tergantung dari berapa harga
yang ditetapkan. Contoh para produsen sepatu olahraga PT. Adindas dengan PT. Nikeniki melakukan pengaturan harga jual sepatu futsal dengan harga terendah
empat ratus ribu rupiah, kemudian PT. Adindas menjual sepatu futsal dengan harga empat ratus lima puluh ribu rupian dan PT. Nikeniki menjual dengan harga empat ratus ribu rupiah. Dengan demikian walaupun keduanya memproduksi sepatu
dalam jumlah yang sama dalam setahun, keuntungan atau laba yang didapat akan berbeda.
c. Kartel kondisi atau syarat
Di dalam kartel ini terdapat penetapan di dalam syarat penjualan, misalnya
kartel juga menetapkan standar kualitas barang yang dihasilkan atau dijual, menetapkan syarat – syarat pengiriman apakah ditetapkan loco gudang, FOB, C&F, CIF, pembungkusnya dan syarat – syarat pengiriman lainnya. Apa yang
dikehendaki adalah keseragaman diantara para anggota yang tergabung dalam kartel tersebut. keseragaman tersebut perlu di dalam kebijaksanaan harga, sehingga
22
Perbedaan kartel kondisi atau syarat ini dengan kedua jenis kartel yang sudah disebutkan sebelumnya adalah pada materi yang diatur. Dalam kartel harga pokok (prijskartel) dan kartel harga yang diatur adalah spesifik atau langsung
mengatur mengenai harga, sedangkan dalam kartel kondisi atau syarat hal yang diatur adalah syarat – syarat penjualan yang nantinya akan berdampak pada harga
penjualan. Contoh produsen gitar PT. Nadaku dan PT. Sumbangmu mengatur bahan produksi gitar jenis ukulele berbahan dasar kayu mahoni. Otomatis kualitas gitar ukulele dari kedua produsen tersebut akan sama dan pastinya juga pengeluaran
biaya faktor produksi bahan dasar gitar juga akan sama. Sehingga dengan demikian harga gitar ukulele kedua produsen tadi yang akan dilemparkan ke pasar pun tidak
akan jauh berbeda.
d. Kartel rayon
Kartel rayon atau kadang – kadang disebut juga kartel wilayah/daerah pemasaran berkaitan dengan perjanjian diantara para anggotanya untuk membagi daerah pemasaran, misalnya atas dasar wilayah tertentu atau dasar jenis barang.
Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga untuk masing – masing daerah. Dalam hal itu kartel rayon pun menentukan pula suatu aturan bahwa
23 e. Kartel kontigentering
Kartel jenis ini juga disebut sebagai kartel jenis produksi. Perjanjian pada kartel jenis ini menekankan pada pembatasan produksi masing – masing
anggotanya biasanya didasarkan atas jumlah atau persentase tertentu dari total produksi. Tujuannya untuk mengatur jumlah produksi yang beredar, sehingga harga
bisa dipertahankan pada tingkat tertentu. Biasanya perusahaan yang memproduksi lebih sedikit dari pada jatah yang sisanya menurut ketentuan, akan diberi premi hadiah. Akan tetapi, bila melakukan hal yang sebaliknya maka akan didenda.
Maksud dari peraturan ini untuk mengadakan restriksi yang kental pada banyak persediaan, sehingga harga jual barang – barang yang mereka jual dapat dinaikkan.
Ambisi kartel kontigentering biasanya untuk mempermainkan jumlah persediaan barang dan dengan cara itu harus berada dalam kekuasaannya.
f. Sindikat penjualan atau kantor penjualan
Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari anggota harus melewati sebuah badan tunggal, yaitu kantor penjualan pusat.
Persaingan diantara mereka akan dapat dihindarkan karenanya.
g. Kartel laba atau pool laba
Di dalam kartel laba, anggota kartel menentukan peraturan yang berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Laba yang diperoleh anggota kartel
terlebih dahulu disetorkan ke kas pusat (sistem pool) baru kemudian dibagikan kepada anggotanya berdasarkan formula yang ditetapkan bersama. Misalnya bahwa
24
bersih kartel dibagi – bagikan dengan anggota kartel dengan perbandingan yang tertentu pula.
2.
Kartel dalam Undang
–
undang Nomor 5 Tahun 1999
Dalam hukum positif di Indonesia, kartel diatur dalam Pasal 11 UU Antimonopoli yang berbunyi sebagai berikut :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dari rumusan Pasal 11 UU Antimonopoli di atas sekurang kurangnya terdiri
dari 3 (tiga) aspek penting yang saling berkaitan sehingga terjadinya kartel tersebut. Tiga aspek tersebut diantaranya adalah aspek subyektif (pelaku), aspek perjanjian
(bentuk dan isi) dan aspek akibat dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu untuk membuktikan adanya perilaku kartel maka pihak yang mempunyai otoritas untuk memutus perkara kartel haruslah menilai dari ketiga aspek tersebut. Berikut
penjelasan mengenai ketiga aspek tersebut.
a. Aspek pelaku
Yang dimaksud dengan aspek pelaku disini adalah subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran kartel yang dilakukan. Tidak
semua subyek hukum dapat dikenakan pasal ini, sebab pada Pasal 11 ini merujuk pada subyek hukum pelaku usaha baik itu orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi. Menurut Pasal 1 angka 5 UU Antimonopoli menyebutkan
25
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Untuk membuat suatu perjanjian tentunya minimal harus terdiri dari dua
pihak dan tentunya hal tersebut berlaku juga pada kartel. Pada ulasan diatas sudah disebutkan bahwa perjanjian tersebut dilakukan oleh pelaku usaha. Namun selain pelaku usaha, Pasal 11 UU Antimonopoli juga menyebutkan ”pelaku usaha
pesaingnya”. Yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha
lain yang berada dalam pasar yang bersangkutan.34 Kemudian tentang pasar
bersangkutan Pasal 1 angka 10 UU Antimonopoli memberikan pengertian bahwa pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa yang sama atau sejenis
atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
Sesuai pengertian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 10 pasar bersangkutan dibagi menjadi dua aspek utama yakni produk dan geografis (lokasi).
Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut dan
pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah
tersebut.35
26
Jadi, untuk memenuhi aspek subyektif dari Pasal 11 UU Antimonopoli maka para pembuat perjanjian tersebut minimal terdiri dari dua pelaku usaha kegiatan ekonomi yang menjual produk yang sejenis atau substitutif yang memiliki
jangkauan pemasaran yang sama.
b. Aspek perjanjian
Yang dimaksud dengan aspek perjanjian yang akan dibahas di sini adalah terkait dengan bentuk atau cara dari perjanjian tersebut dibuat dan substansi dari
perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Antimonopoli, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal
ini tentu sejalan dengan pengertian mengenai bentuk dari suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Untuk membuktikan adanya suatu perjanjian tertulis dimuka pengadilan tentu saja sangat mudah yaitu dengan cara menunjukkan akta perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak pada majelis hakim, baik itu akta otentik ataupun
akta di bawah tangan. Namun berbeda ceritanya apabila ingin membuktikan suatu perjanjian tidak tertulis dimuka persidangan. Perjanjian tidak tertulis tentu tidak
meninggalkan dokumen sebagai pertanda bahwa terjadi kesepakatan namun hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterangan dari saksi. Kesaksian atau keterangan saksi dimuka pengadilan baik itu dalam ranah acara perdata maupun pidana sama –
sama mengenal asas unus testis nullum testis, yang artinya bahwa satu saksi bukanlah saksi. Sehingga dalam menghadirkan saksi untuk membuktikan suatu
27
Berkaitan dengan substansi atau isi dari kartel adalah suatu kesepakatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa. Mengatur produksi yang dimaksud adalah
menentukan jumlah produksi barang dan atau jasa yang akan diproduksi oleh para pelaku usaha sejenis tersebut, sedangkan mengatur pemasaran adalah mengatur
jumlah produk yang akan dijual di pasar.36
c. Aspek monopoli dan persaingan yang tidak sehat
Yang dimaksud dengan monopoli adalah pemusatan kekuatan oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Untuk mengetahui bahwa sekelompok pelaku usaha telah menguasai pasar maka diperlukan analisa ekonomi yang menggunakan metode ekonomi tertentu
untuk melihat pangsa pasar yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur.
28
C.
Arti Pembuktian dalam Hukum
Dalam kamus bahasa Indonesia pembuktian berarti berbagai macam bahan yang dibutuhkan oleh hakim, baik yang diketahui sendiri oleh hakim maupun yang
diajukan oleh saksi untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau gugatan.37 Kemudian R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti :38
a. Dalam arti luas ialah pembuktian membenarkan hubungan hukum. b. Dalam arti terbatas ialah pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang
dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat dan hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa “membuktikan” mengandung
beberapa pengertian:
1. Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah 39
Pembuktian dalam arti logis dan atau ilmiah artinya memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak mungkin adanya bukti lawan. Berdasarkan axioma, yaitu asas-asas
umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak dan tidak dimungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu axioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang tidak dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari suatu segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak
37 Diunduh dari https://kbbi.web.id/alat, tanggal 20 agustus 2017 pukul 6.43. 38Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h. 6 39 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke -8, Liberty,
29
dimungkinkan adanya pembuktian lawan. Disini axioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengamalan, sehingga diperoleh
kesimpulan-kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2. Membuktikan dalam arti konvensionil40
Membuktikan berarti memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang nibsi atau relative sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan antara lain :
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan
pada atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif (Conviction in time).
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh
karena itu disebut Conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam arti yuridis41
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Dalam ilmu hukum hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak – pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian yuridis
40 Ibid. h 136-137
30
dalam tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat – surat itu benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis”. Pembuktian
yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa saja yang telah
terjadi secara konkret.
Baik dalam pembuktian yuridis maupun pembuktian ilmiah, maka membuktikan hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa – peristiwa tertentu dianggap benar.
Kesamaan dari tiga jenis pembuktian ini adalah bahwa membuktikan berarti
memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.42 Tujuan dari membuktikan secara yuridis berbeda dengan tujuan pembuktian ilmiah. Tujuan dari pembuktian yuridis adalah
mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum, sedangkan pembuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan bukan semata – mata untuk mengambil kesimpulan atau keputusan.43
Jadi dari definisi dan penjelasannya yang sudah dipaparkan mengenai pembuktian maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian hukum adalah berbagai
macam cara yang dilakukan oleh hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum. Hakim dalam persidangan haruslah
memiliki pengalaman baik dalam bidang hukum dan non-hukum serta mempunyai
42 Ibid. h.138
31
pengamatan atas suatu pembuktian yang baik dengan harapan putusan yang mempunyai akibat hukum tersebut mencerminkan nilai – nilai dari keadilan.
D.
Kesepakatan Kehendak
Telah dibahas sebelumnya tentang kartel yang merupakan upaya – upaya
dari pelaku usaha untuk memonopoli pasar dengan cara membuat suatu kesepakatan diantara mereka. Kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha
tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu mendapatkan keuntungan lebih dengan cara meniadakan persaingan diantara mereka. Kesepahaman kehendak untuk tidak saling bersaing diantara anggota kartel tersebut merupakan syarat mutlak untuk
menciptakan kesepakatan kartel. Oleh karena itu perlulah untuk dicermati dan diteliti mengenai apa itu kesepakatan kehendak untuk tidak saling bersaing.
Pada sub bab ini juga akan dijelaskan mengenai makna dari perjanjian yang terumus dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Cara untuk memahami makna perjanjian tersebut dilakukan dengan cara membandingkannya dengan Pasal 1313
Kitab Undang – undang Hukum Perdata (selanjutnya sisingkat KUHPerdata) serta
membandingkannya dengan ketentuan mengenai “agreement” dalam hukum
32
1.
Teori Kehendak dan Pernyataan
Ada dua jenis teori yang menjelaskan mengenai kesepakatan suatu kehendak yang menimbulkan suatu perjanjian antar subyek hukum yang umum
berlaku pada Hukum Perdata. Teori tersebut adalah teori kesepakatan berdasarkan kehendak dan teori kesepakatan berdasarkan pernyataan. Berikut adalah ulasan mengenai kedua teori tersebut.
a. Teori kehendak (willstheorie)
Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan, kehendak sebagai batu penjuru dari seluruh hukum keperdataan masih diakui sebagai ajaran yang berlaku di dunia barat.44 Menurut teori ini faktor yang
menentukan adanya perjanjian adalah kehendak, akan tetapi suatu kehendak harus dinyatakan dengan demikian hubungan alamiah antara kehendak dengan
pernyataan terwujud. 45 Konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa jika pernyataan dari seseorang tidak sesuai dengan keinginannya maka tidak akan terbentuk perjanjian.46 Untuk membentuk suatu perjanjian maka perlu dinyatakan kehendak
tersebut dan sebaliknya tidak mungkin ada suatu perjanjian tanpa didahului suatu kehendak.47
44 Herlin Budiyono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, citra Aditia Bakti, Jakarata 2014, h . 76
33 b. Teori pernyataan48
Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adalah proses yang terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang (innerlijk process). Karenanya, pihak lawan
tidak mungkin mengetahui apa yang berlangsung di benak seseorang. Konsekuensi logisnya adalah bahwa suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak luar
tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya perjanjian. Kekuatan mengikat perjanjian dikaitkan pada fakta bahwa pihak yang bersangkutan telah memilih melakukan tindakan tertentu dan tindakan tersebut mengarah atau memunculkan
keterikatan. Tindakan menjadi dasar bagi keterikatan karena “kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu sebagaimana yang terejawantahkan dalam pernyataan”. Terikatnya individu dilandaskan pada pernyataan individu tersebut,
tanpa perlu memperhatikan bahwa dalam perjanjian selalu ada dua atau lebih orang yang masing – masing membuat suatu pernyataan.
Umumnya, suatu pernyataan muncul atau terwujud dalam rangkaian kata – kata lisan maupun tulisan, bahkan sikap berdiam diri atau tidak berbuat dalam keadaan tertentu dapat dimaksudkan sebagai suatu pernyataan.49 Gambar 2 dapat
digambarkan tentang bagaimana cara menyampaikan suatu kehendak. 50
48 Ibid. h. 77
34 Antimonopoli. Oleh karena itu untuk melihat perbedaan diantara keduanya maka
pertama perlu diurai kedua isi pasal tersebut.
Pasal 1 huruf g UU antimonopoli yang berbunyi :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”
Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi :
”Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Tentang syarat sahnya suatu perjanjian tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang terdiri dari : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
35
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu hal tertentu dan Suatu sebab
yang tidak terlarang.
Apabila dilihat secara sekilas maka perbedaan yang nampak pada kedua
definisi perjanjian tersebut terletak pada subyek yang ditujukan. Dalam UU Antimonopoli subyeknya ditujukan khusus pada pelaku usaha, sedangkan pada
KUHPerdata ditujukan pada setiap orang. Secara otomatis kedudukan UU Antimonopoli merupakan lex specialis untuk perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah perjanjian seperti apa
yang dimaksud dalam UU Antimonopoli?
Untuk mengetahui perjanjian seperti apa yang dimaksud dalam UU
Antimonopoli maka perlu ditinjau dari tujuan dibuatnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1 huruf g UU Antimonopoli. Perjanjian yang diatur dalam UU Antimonopoli mempunyai maksud untuk membatasi perilaku usaha yaitu berupa
larangan untuk membuat perjanjian yang bermaksud untuk menghilangkan persaingan usaha yang sehat. Sedangkan dalam KUHPerdata bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak untuk mendapatkan hak atau
melakukan suatu kewajiban. Sehingga secara otomatis perjanjian yang diatur dalam UU Antimonopoli merupakan perjanjian yang tidak sah atau ilegal, sedangkan
dalam KUHPerdata ditujukan untuk mensahkan suatu perjanjian. Sehingga dengan demikian secara otomatis perjanjian yang dimaksud oleh UU Antimonopoli tidak termasuk dalam kualifikasi Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu
36
Sebagai perbandingan ada baiknya jika melihat dari konsep hukum
persaingan usaha Amerika mengenai kesepakatan “agreement” yang tertuang
dalam Code 1 Sherman Act. 51
“every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several stalls, or with foreign nations, is hereby declared to be ilegal.”
Bahwa berdasarkan ketentuan diatas “agreement” di Amerika Serikat yang
mencangkup “contract”, “combination”, atau “conspiracy” yang menurut section
I dari the Sherman act mengharuskan adanya tindakan bersama-sama dari dua orang atau lebih untuk membentuknya, sedangkan tindakan bersama (concerted action52) hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai unity of purpose, atau
understanding, atau telah terjadi meeting of minds diantara mereka.53
Concerted action adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur dan disepakati oleh para pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama,
masing-masing yang melakukan perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun lisan namun mereka memiliki tujuan yang sama.54 Pelaku concerted action akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walau sekalipun dia tidak mengikatkan diri, concerted action selalu diidentikkan dengan konspirasi.
Jadi dengan demikian konsep perjanjian dalam hukum persaingan usaha dengan yang ada dalam buku III KUHPerdata terdapat perbedaan yang cukup
51Diunduh dari https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/1 tanggal 19 agustus 2017 pukul 14.03
52Brian A garner, 8th edition, St. Paul Minn West Publishing Co., 2004, h. 871 concerted
action. An action that has been planned, arranged, and agreed on by parties acting together to further some scheme or cause, so that all involved are liable for the actions of one another. — Also termed concert of action. Lihat dan bandingkan: Premeditated joint activity (in furtherance of a
mutual cause or purpose) in which each involved party is liable for the actions of the other(s). Diunduh dari http://www.businessdictionary.com/definition/concerted-action.html pada tanggal 8 agustus 2017 pukul 04:56. Lihat juga : concerted action. Activity performed by parties that have agreed to jointly hold responsibility for any outcome, positive or negativefor their benefit. Di undunduh dari : http://thelawdictionary.org/concerted-action/, tanggal 16 agustus 2017, pukul 04:56.
53 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit,. h. 112
54 Keteranga Nindyo Pramono saat menjadi ahli yang termuat dalam surat putusan
37
substansial. Dalam hukum persaingan perjanjian dikhususkan kesepakatan ilegal yang dilakukan oleh pelaku usaha dan cakupan dari makna kesepakatan lebih luas dibandingakan dengan KUHPerdata.
E.
Circumstantial Evidence
Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti yang didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi
pribadi dan Circumstantial evidence merupakan semua bukti yang tidak diberikan oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu peristiwa55 M. Burrill, dalam bukunya yang berjudul A Treatise on the Nature, Principles and Rules of
Circumstantial Evidence menuliskan:
“Indirect evidence (called by the civilians, oblique, and more commonly known as circumstantial evidence) is that which is applied to the principal fact, indirectly, or through the medium of other facts, by establishing certain circumstances or minor facts, already described as evidentiary, from which the principal fact is extracted and gathered by a process of special inference ....”56
Yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pembuktian tidak langsung
atau circumstantial evidence dalam suatu perkara ialah relevansi antara fakta kejadian pelanggaran yang akan hendak akan dibuktikan dengan fakta – fakta pendukung yang digunakan untuk membuktikan fakta kejadian pelanggaran
tersebut.
55Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, Minnesota : 2004, h.1678.
(Circumstantial evidence. 1. Evidence based on inference and not on personal knowledge or observation. 2. All evidence that is not given by eyewitness testimony.)
38
Dalam hukum acara baik di ranah hukum perdata maupun hukum publik mengenal jenis pembuktian tidak langsung atau circumstantial evidence. Menurut Hendar Sutarna alat bukti petunjuk dalam KUHAP merupakan alat bukti “yang
tercipta”, berbeda dengan alat bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat
bukti petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri,
alat bukti petunjuk terwujud karena adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.57
Kemudian alat bukti tidak langsung dalam KUHAPer adalah persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.58
Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti, dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap,
apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu.59 Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas, segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan perkata tersebut, kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim.
57Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung : 2011, H.75
58 Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata:
dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : 2009. H.77
39
F.
Circumstantial Evidance
dalam Membuktikan Kartel pada
Hukum Persaingan Usaha
Dalam perilaku kerja sama, bukti (evidence) dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) Direct Evidence, yaitu bukti yang dapat diamati (observable elements) dan
menunjukkan adanya suatu kesepakatan beserta substansi dari kesepakatan di antara perusahaan-perusahaan di pasar dan 2) Indirect Evidence (Circumstantial
Evidence): bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan diantara perusahaan - perusahaan di pasar.60
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kartel merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha untuk mengontrol produksi, harga serta cara penjualan dengan maksud untuk menghindari adanya persaingan diantara
mereka agar memperoleh keuntungan lebih besar ataupun untuk memonopoli pasar dengan cara membuat suatu kesepakatan diantara mereka. Sudah tentu untuk membuktikan kartel adalah dengan cara membuktikan adanya kesepakatan tersebut.
Namun permasalahannya disini adalah para pelaku usaha yang melakukan kegiatan kartel tidak mungkin membuat suatu perjanjian tertulis yang dapat diketahui secara
bahwa mereka sedang bersepakat untuk melakukan kegiatan kartel.
Dengan ketidak mungkinan untuk menemukan bukti tertulis mengenai
adanya kesepakatan diantara para pelaku kartel maka munculah cara pembuktian tidak langsung (indirec evidence) atau circumstantial evidence sebagai solusinya. Sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab II bahwa pembuktian tidak langsung
(indirec evidence) atau circumstantial evidence merupakan suatu bukti yang
40
didasarkan pada proses inferensi dan bukan dalam pengetahuan atau observasi pribadi dan merupakan semua bukti yang tidak diberikan oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu peristiwa.Khusus pada hukum persaingan usaha,
circumstantial evidence terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi, berikut ulasan mengeneai bukti komunikasi dan bukti ekonomi :61
Bukti komunikasi merupakan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut.62 Organisation For Economic Co-Operation And
Development (OECD) memberikan kriteria bukti komunikasi sebagai berikut:63
records of telephone conversations (but not their substance) between competitors, or of travel to a common destination or of participation in a meeting, for example during a trade conference; other evidence that the parties communicated about the subject – e.g., minutes or notes of a meeting showing that prices, demand or capacity utilisation were discussed; internal documents evidencing knowledge or understanding of a competitor’s pricing strategy, such as an awareness of a future price increase by a rival.
Pada pokoknya bukti komunikasi dapat berupa tulisan ataupun lisan antar pesaing dimana dalam komunikasi tersebut terdapat pembicaraan mengenai harga,
strategi masing – masing pelaku usaha (secara langsung maupun tidak langsung) ataupun menunjukan dokumen internal perusahaan mereka. Hal tersebut
dimaksudkan agar adanya kesepahaman tentang harga antar pesaing yang nantinya setiap pelaku usaha akan dapat memprediksi harga kompetitornya dikemudian hari.
61 Organisation For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels
without Direct Evidence of Agreement, June 2007. Lihat dan Bandingkan dengan : Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
62 Putusan KPPU Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009, h. 57 – 58. Lihat juga, Organisation
For Economic Co-Operation And Development, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, June 2007`
41
Sehingga dengan demikian dimasa akan datang kemungkinan akan dapat mengontrol harga dari tiap – tiap pelaku usaha yang bersaing dan secara otomatis hal ini menghilangkan persaingan diantara mereka.
Bukti analisis ekonomi64 yaitu bukti yang terdiri dari dua tahapan berupa analisis struktural, kemudian tahapan yang kedua terkait dengan analisis perilaku.
Analisis struktural diarahkan pada pembuktian apakah kesepakatan kartel dimungkinkan terjadi di pasar bersangkutan (relevant market) dan analisis perilaku atau perubahan yang ditujukan untuk membuktikan apakah perilaku di pasar
bersangkutan konsisten dengan perilaku kartel dan bukan perilaku bersaing.65 Hans W. Friederiszick menerangkan tentang economic analysis for cartel
detection - 3 principles and an outline of a two-step framework sebagai berikut:66
Principles for robust economic analysis in cartel cases 1. should be a credible threat
a) decrease false positives to some extent
b) easonably robust to eliminate fishing expeditions (focus on changes; counterfactual analysis) 2. should not be easy to be circumvented (even if public)
(has to be addressed for each individual indicator) (there should be no single indicator in general)
3. should not be too resource intensive
a) marginal information should be proportional to cost of information gathering
b) has to take into account capabilities of competition authority
Framework for economic analysis objectives
1. working group in Directorate General Competition developed framework to strengthen economic analysis in cartel cases
2. quantitative and qualitative economic analysis aimed at establishing the requirements
64Analisis ekonomi seringkali dikategorikan sebagai bagian dari analisis “Plus Factor”, yaitu analisis tambahan dari bukti kesamaan harga (price parallelism).
65 Andi Fahmi Lubbis, Analisis Ekonomi Dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis
volume 32 nomor 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2013, h. 391
42
a) for issuing an inspection decision in a given antitrust market;
b) justifying the opportunity cost of carrying out an inspection.
(not a tool for proving the existence of cartels)
Pada tahapan analisis struktural yang harus dilakukan adalah menentukan kemungkinan terjadi kertel tersebut ada dalam pasar bersangkutan. Apabila para
pelaku usaha tersebut tidak berada dalam pasar bersangkutan maka otomatis dugaan kartel tersebut gugur karena para pelaku usaha tidak saling bersaing. Selanjutnya apabila para pelaku usaha berada dalam pasar bersangkutan maka dilanjutkan
dengan mencari kemungkinan atau motivasi pelaku usaha untuk melakukan kartel dalam pasar bersangkutan tersebut.
Beberapa indikator-indikator yang mungkin digunakan untuk menilai apakah motivasi perusahaan – perusahaan untuk berkolusi cukup besar, adalah :67
1. Tingkat kemiripan Produk (Product homogeneity). Motivasi perusahaan
- perusahaan di pasar untuk melakukan kesepakatan akan semakin besar jika produk – produk yang dihasilkan oleh perusahaan di pasar memiliki kemiripan yang cukup tinggi.
2. Ketersediaan produk pengganti terdekat (Absence of close substitutes).
Kesepakatan kolusi akan lebih mudah dilaksanakan apabila konsumen
tidak memiliki banyak pilihan kecuali membeli barang dan atau jasa dari perusahaan anggota kartel.
3. Kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga (Readily observed
price adjustments). Kemudahan mendapatkan informasi mengenai
67 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman
43
perubahan - perubahan harga di pasar akan mengurangi insentif perusahaan untuk melakukan kecurangan terhadap kesepakatan kartel. 4. Standarisasi harga (Standardized prices). Kesepakatan kolusi akan lebih
mudah dilakukan apabila produk yang diperdagangkan di pasar memiliki standar harga, dan lebih mudah untuk dimonitor untuk
mencegah terjadinya kecurangan.
5. Kelebihan kapasitas (Excess capacity). Motivasi untuk melakukan kesepakatan kartel akan meningkat ketika keuntungan dari kartel dapat
digunakan untuk menutupi inefisiensi akibat perusahaan tidak berproduksi secara optimal.
6. Hanya terdapat beberapa perusahaan (Few sellers). Semakin sedikit jumlah perusahaan yang ada di pasar maka semakin mudah untuk melakukan koordinasi dalam rangka kesepakatan kartel.
7. Hambatan masuk pasar tinggi (High barriers to entry). Kesepakatan kartel akan semakin mudah dijalankan karena tidak adanya ‘ancaman’
dari perusahaan baru yang dapat menggagalkan kesepakatan
perusahaan-perusahaan di pasar bersangkutan.
Kemudian apabila analisa struktural telah selesai dilakukan, maka
selajutnya analisis perilaku atau perubahan. Analisis perilaku ditekankan pada perubahan hasil (outcome) dari kesepakatan kartel dengan menggunakan indikator-indikator yang ada di pasar bersangkutan yang diduga terjadi karena kesepakatan
kartel dan bukan perilaku bersaing perusahaan-perusahaan di pasar yang dilakukan secara mandiri.68 Indikator yang dapat digunakan diantaranya adalah:69
68 Ibid., h. 392
44
1. Perubahan atas tingkat keuntungan
2. Perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam kesepakatan kartel,
3. Perubahan harga yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
berpartisipasi (sebelum dan sesudah kesepakatan kartel), dan
4. Perubahan jumlah produksi perusahaan-perusahaan yang dicurigai
melakukan kartel.
Selain daripada itu adapun instrumen – instrument yang dapat memfasilitasi keberhasilan suatu kolusi, instrument – instrument tersebut adalah :70
1. Resale Price Maintenance (RPM). Praktik ini dapat digunakan untuk meminimalkan variasi harga di tingkat konsumen.
2. Most-Favoured Nation (MFN) clause. Praktik ini dapat digunakan untuk meminimalkan insentif memberikan harga lebih rendah dari harga kesepakatan (cheating).
3. Meeting-Competition clause. Praktik ini digunakan untuk mendapatkan informasi tingkat harga pelaku usaha lain sehingga meminimalkan insentif melakukan kecurangan.
Perhatian analisa instrumen fasilitas tersebut ditujukan pada waktu digunakannya. Apabila dipergunakan dalam periode tertentu dan pararel maka
dapat dimungkinkan hal itu disebabkan oleh kesepakatan kartel.
Dalam upanya membuktikan adanya pelanggaran UU Antimonopoli dengan menggunakan circumstantial evidence, KPPU (dalam hal ini investigator) dapat
saja menggunakan seluruh analisis tambahan diatas ketika analisis tertentu sudah dianggap cukup untuk membuktikan adanya pelanggaran UU Antimonopoli.
45
Seyogyanya dalam membuktikan adanya pelanggaran kartel cara yang paling baik adalah dengan mengkombinasikan bukti langsung dan tidak langsung. Namun mengingat perilaku kartel di jaman sekarang ini tidak dimungkinkan ditemukan
bukti kontrak baku kartel maka penggunaan bukti tidak langsung atau
circumstantial evidence dapat digunakan dengan analisis yang matang mengkombinasikan antara bukti komunikasi dan bukti ekonomi.
Hal yang perlu diperhatikan oleh Majelis Komisi dalam memberikan pertimbangan atas suatu perkara yang menggunakan jenis pembuktian
circumstantial evidence ini adalah kesamaan hasil (ouput) dari para palaku usaha pesaing itu. Hal ini disebabkan analisa komukasi dan analisa ekonomi merupakan
suatu tahapan untuk membuktikannya adanya suatu kolusi atau tindakan bersama (concerted action). Sehingga yang terpenting bukanlah jenis komunikasi apa yang menjadi patokan, tetapi hasil dari komunikasi tersebut yang menjadi perhatian
khusus. Cara untuk menyampaikan kehendak bermacam – macam, yang utama adalah kehendak tersebut dapat diketahui dan dilaksanakan secara bersama.
Berikut gambaran atau kerangka tentang cara pembuktian tidak langsung
(indirect evidence) atau circumstantial evidence sebagai solusi dari ketidak mungkinan untuk menemukan bukti tertulis mengenai adanya kesepakatan diantara
46