LAPORAN KASUS
HAMIL DENGAN RETRADASI MENTAL
dr. I MADE SUTANAYA
Pembimbing :
dr. I MADE DARMAYASA,SpOG, (K) dr . ANAK AYU SRI WAHYUNI, SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAG/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FKUNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
Halaman
LAMPIRAN 1 SURAT PERNYATAAN. ... 78
LAMPIRAN 2 LAPORAN OPRASI ... 79
DAFTAR SINGKATAN
AAM : American Association on Mental Deficiency
AC : Abdominal Circumferencia BB : Berat Badan
BMI : Body Mass Index BPD : Biparietal Diameter CM : Compos Mentis DJJ : Denyut Jantung Janin DSM :Manual of Mntal Dissorderes EDD : Estimate Fetal Weight FHB : Fetal Haert Beat FL : Femur Length FM : Fetal Movement GCS : Glasgow Coma Scale HC : Head Circumfrencia
HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir RR : Respiratori Rraet
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah TFU : Tinggi Fundus Uteri
USG : Ultrasonografi VT : Vaginal Touche
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR SINGKATAN ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II KASUS ... 4
BAB III PERMASALAH ... 25 3.1 Masalah diagnosis ... 25 3.1.1 Difinisi ... 25 3.1.2 Faktor prenatal ... 27 3.1.3 Faktor intranatal ... 31 3.1.4 Faktor postnatal ... 34 3.1.6 Tatalaksana ... 37 3.1.7 Prognosis ... 39
3.3 Fisiologi reproduksi penderita retradasi mental ... 41
3.4 Kontrasepsi mantap ... 42
3.4.1 Pertimbangan medikolegal ... 42
3.5 Sejarah sterilisasi paksa ... 46
3.6 Pemilihan kontrasepsi pada wanita retardasi mental... 49
3.6.1 Seteril ... 49
3.7 Pendekatan alogaritma baru dengan kriteria untuk menentukan Keputusan terbaik untuk pasien ... 58
3.8 Pengambil keputusan ... 60
3.9 Keputusan terbaik untuk pasien ... 61 BAB IV PEMBAHASAN ... 64 4.1 Diagnosis ... 65 4.2 Tatalaksana ... 68 4.3 Pemilihan kontrasepsi ... 69
4.4 Masalah infomrmed consent ... 70
BAB V KESIMPULAN ... 72 DAFTAR PUSTAKA ... 74
BAB I
PENDAHULUAN
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia menderita kelainan ini. Oleh karena itu, retardasi mental merupakan masalah di bidang kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial dan pendidikan baik pada anak yang mengalami retardasi mental tersebut maupun keluarga dan masyarakat. 1
Penderita retardasi mental sering sulit beradaptasi terhadap realita kehidupan psikososial di sekitarnya. Hal ini akan menimbulkan berbagai kesulitan bagi penderita sendiri, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Adanya hendaya dalam alam perasaan, dan pola pikir seringkali membuat penderita jatuh dalam perilaku seksual yang berisiko tinggi: perkosaan, hubungan ekstramarital, tertular penyakit menular seksual serta kehamilan dengan berbagai problem psikososial lainnya. Pada beberapa kasus, keluarga penderita mengajukan pertimbangan sterilisasi dengan alasan menghindarkan pasien dan keluarganya dari problem yang lebih rumit yang terkait dengan pemeliharaan kehamilan dan pemeliharaan anak.1,2
Seseorang dengan retardasi mental mempunyai kebutuhan dan hasrat seksual seperti orang yang sehat. Namun, mereka tidak mampu untuk
berkomunikasi atau bertindak sesuai hasratnya dan kemungkinan sulit untuk mempelajari perilaku seksual yang sesuai. Kepercayaan yang masih ada di masyarakat bahwa orang dengan retardasi mental adalah bersifat kekanak-kanakan dan aseksual, atau bahkan oversexed dan cenderung menjadi penjahat seksual. Beberapa dekade sebelumnya, sterilisasi pada wanita dengan retardasi mental dilakukan secara luas dan sering dikerjakan sebelum pubertas dan biasanya dilakukan histerektomi. Banyak negara mengatur ketat adanya sterilisasi pada wanita dengan retardasi mental. Sterilisasi dan histerektomi pada banyak kasus dilakukan hanya dengan indikasi yang tepat atau ketika pilihan lain telah dicoba dan gagal. 3
Terdapat banyak alasan untuk mempertimbangkan kontrasepsi pada wanita dengan retardasi mental. Wanita dengan retardasi mental mungkin tidak menginginkan atau kandidat yang baik untuk mengalami kehamilan jika penderita ini telah lama mengkonsumsi pengobatan teratogenik (misalnya obat antiepilepsi). Para pemberi pelayanan cemas akan kemampuan wanita dengan retardari mental untuk memahami kehamilan, untuk merawat diri selama kehamilan ataupun merawat anaknya. Peneliti di Brussel mensurvei sekitar 400 wanita dengan retardasi mental untuk menentukan metoda kontrasepsi dan faktor sosial dan medis yang mempengaruhi keputusan pemilihan metode kontrasepsi tersebut. Mayoritas wanita yang disurvei menggunakan kontrasepsi (59%) dengan metode yang dipilih yaitu sterilisasi secara pembedahan (22%), diikuti oleh kontrasepsi oral dan Depo-Provera (masing-masing 18%). Faktor yang mempengaruhi pilihan metode tersebut hampir semua oleh karena lingkungan dan difokuskan pada peraturan dimana mereka tinggal. Studi sebelumnya pada wanita dengan retardasi
mental yang menggunakan obat antiepilepsi, ditemukan bahwa obat tersebut (seperti karbamazepin, fenitoin dan valproate) bersifat teratogenik dan mempengaruhi efikasi kontrasepsi oral menyebabkan pengobatan ini menjadi elemen penting untuk pertimbangan ketika mengobati wanita dengan retardasi mental. Pertanyaan apakah seseorang dengan retardasi mental akan bisa menjadi orangtua baik bersifat subyektif dan telah menjadi fokus diskusi etik selama bertahun-tahun.3
Tinjauan terhadap panduan professional terbaru memberikan garis besar untuk dokter yang mendapat permintaan sterilisasi. Masalah etiknya termasuk dalam menentukan kemampuan pasien untuk memberikan persetujuan dan siapa yang harus membuat keputusan untuknya, alternatif selain sterilisasi, dan bagaimana menentukan putusan terbaik untuk pasien.2,3
BAB II
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : NS
Tanggal Lahir/Umur : 02/02/1989 (26 tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Katalia No. 2, Ubung, Denpasar
Pekerjaan : tidak bekerja
Pendidikan : SD tidak tamat Status perkawinan : Janda anak satu
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Nomor rekam medis : 01463758 Tanggal pemeriksaan : 9 Juli 2015
Tempat pemeriksaan : Poliklinik RSUP Sanglah
II. AUTOANAMNESIS & HETEROANAMNESIS:
Dikonsulkan oleh TS Sp.KJ dengan G3 P1101 23-24 minggu T/H + Retardasi Mental dengan Hendaya Perilaku dan permintaan tindakan steril pada tanggal 9 Juli 2015. Pada saat diperiksa keluhan sakit perut hilang timbul dan keluar air disangkal. Gerak anak belum dirasakan pasien. HPHT: Lupa; TP: 04/11/2015 (dari USG pada UK 23w1d); ANC : bidan tidak teratur. Saat ini
adalah kehamilan yang ketiga dengan anak pertama usia 4 tahun, sedangkan anak kedua meninggal saat usia 6 bulan karena sesak. Kedua kehamilannya dengan partus spontan. Pasien dikatakan tidak ada mengalami masalah selama hamil anak yang pertama dan kedua.
Pasien diajak datang kerumah sakit oleh keluarga karena pasien marah-marah dan hamil tanpa pernikahan.Pasien dikatakan marah-marah-marah-marah sejak seminggu terakhir ini. Pasien marah-marah sudah sejak kecil dan semakin bertambah 1 minggu terakhir ini karena bermasalah dengan pacarnya. pasien marah dengan melempar barang-barang yang ada dirumahnya, dan memukul pacarnya.
Pasien saat ini tinggal bersama pacarnya di sebuah rumah kos dan anaknya diajak oleh orang tuanya karena pasien tidak mampu merawat anaknya. Semua biaya kehidupan pasien bersumber dari orang tuanya.
Sejak umur 3 tahun sempat mengalami kecelakaan becak dan sepeda dengan luka robek didaerah kepala. Setelah kejadian itu pasien mulai berperilaku aneh, jika keinginannya tidak terpenuhi pasien sering marah dan ngembek. Pasien hanya sekolah sampai kelas 3 SD dan setelah itu tidak naik kelas dan tidak melanjutkan lagi sekolahnya. Setelah tidak sekolah pasien dititipkan di pondok pesantren, namun pasien sering menghilang dan akhirnya pasien diajak tinggal dirumah orang tuanya.
Pasien menikah sebanyak tiga kali sampai saat ini. Pernikahan yang pertama kali dilakukan saat berumur 14 tahun bertahan hanya 3 bulan kemudian bercerai karena hampir setiap hari bertengkar dengan suaminya. Pada umur 16 tahun pasien menikah lagi dan hanya bertahan 2 bulan kemudian bercerai karena masalah yang sama. Pada tahun 1998 saat menginjak umur 19 tahun pasien
sekeluarga pindah ke Bali dan pasien saat itu bekerja membantu berjualan nasi ’jinggo’ dengan tantenya. Umur 21 tahun pasien kembali menikah untuk ketiga kalinya dan memiliki 2 orang anak berumur 5 tahun dan 6 bulan (meninggal). Pernikahan kali ini bertahan sampai 5 tahun dan dengan permasalahan yang sama pasien akhirnya juga bercerai. Saat ini sudah 6 tahun terakhir pasien belum menikah dan sedang hamil anak ketiga yang kemungkinan anaknya berasal dari pacarnya. Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Pasien mengalami menarche umur 13 thn, siklus + 28 hari, lama + 7 hari
Riwayat penyakit yang lalu/operasi/pengobatan:
Pasien pernah mengalami trauma kepala saat umur 3 tahun, namun tidak ada riwayat pingsan, hanya dijarit dan rawat jalan. Sejak umur 3 tahun pasien mulai berperilaku aneh seperti cepat emosi, ngembek jika keinginannya tidak terpenuhi, mengalami kecelakan mobil dan sepeda namun tidak pernah mendapat pengobatan psikiater. Saat memasuki usia sekolah pasien tidak mampu mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya seperti teman-temannya. Pasien tidak bisa naik kelas mulai dari awal sekolah dan dipaksakan untuk naik kelas sampai kelas 3. Pasien berhenti sekolah saat duduk di kelas 3 SD karena pasien sudah tidak mampu lagi mengikuti sekolahnya dan sering menghilang dari sekolahnya. Pasien tidak pernah bekerja. Pasien tidak memiliki teman dekat, hanya memiliki pacar yang saat ini tinggal bersamanya di kos. Aktifitas sehari-harinya diajak pergi dengan pacarnya. Pasien tidak pernah terlibat dalam kasus hukum.
Riwayat pribadi sosial ekonomi
Pasien adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tidak ada saudara pasien mengalami gangguan jiwa dan pasien merupakan anak yang kelahirannya
diharapkan. Pasien memiliki anak berusia 5 tahun dari suami pertamanya dan saat ini dirawat oleh orang tuanya.
Pasien tinggal di sebuah rumah kos yang jaraknya tidak jauh dari rumah orang tua pasien. Di rumah kos tersebut pasien tinggal bersama pacarnya dan biaya kos didapat dari orang tuanya. Pasien minum kopi 2 gelas sehari, merokok seminggu terakhir ini 1 bungkus perhari. Minum alkohol sesekali jika diajak oleh pacarnya.
III. PEMERIKSAAN FISIK Berat badan : 51 kg Tinggi badan : 150 cm Status Present : TD : 110/70 mmHg Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit Tax : 36oC Status General : Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen : TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus
His (-)
Vagina : VT tidak dilakukan
Dari pemeriksaan status psikiatri didapatkan pasien dengan penampilan tidak wajar, tampak seperti anak kecil dengan kontak visual dan verbal yang kurang. Pada mood dan afek didapatkan senang, iritabel dan terdapat ketidaksesuaian antara mood dan afek. Proses pikir pasien non logis dan non realis, arus pikir koheren dan bentuk pikir adanya waham kejar. Dari persepsi ditemukan halusinasi auditorik dan visual, dorongan insting didapatkan hipobulia dan psikomotor pasien meningkat saat pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan kognitif didapatkan hasil test IQ 69.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG: Janin tunggal hidup, presentasi kepala, FHB (+),FM (+) Biometri :
BPD : 5,69 ~ 23W3D EDD : 04/11/2015 HC : 21,81 ~ 23W3D AUA : 23W4D AC : 19,15 ~ 23W6D EFW : 610,45 gr FL : 4,32 ~ 23W5D
Plasenta fundus corpus posterior gr. I SDP : 4,1
V. DIAGNOSA BANDING
1. Retardasi mental dengan hendaya prilaku terdapat hendaya perilaku yang bermakna dan memerlukan perhatian dan terapi (F70.1)
2. Skizoafektif tipe manik (F 25.0)
VI. DIAGNOSIS
G3P1101 23-24 minggu T/H + Retardasi mental dengan hendaya prilaku terdapat hendaya perilaku yang bermakna dan memerlukan perhatian dan terapi
VII. TERAPI
Direncanakan SC elektif + MOW saat aterm (+ 38 minggu)
VIII. PERJALANAN PENYAKIT Poli Jiwa:07/072015
- Ass: Retardasi mental sedang dengan hendaya perilaku - Terapi: Risperidone 2 x 1mg Poli Obgyn:09/07/2015 S: Keluhan (-) O: Status Present : TD : 110/70 mmHg HR : 80 x/mnt RR : 20 Tax : 36 Status General : Mata : anemis -
Paru : Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus
DJJ (+) 154 x/menit
His (-)
Vagina : VT tidak dilakukan
A: G3 P1101 23-24 minggu T/H + Retardasi mental
P : Direncanakan SC elektif + MOW saat aterm (+ 38 minggu)
Poli Jiwa:09/07/2015
- Ass : Retardasi mental ringan dengan hendaya perilaku - Terapi: Risperidone 2 x 1mg tab (po),
Trihexyphenidyl 1 x 1mg tab (po),
Asam folat 1x400 mg tab (po),
Vit. B6 1xI tab (po).
Test IQ (09/07/15):
69 (Borderline)
Kemampuan intelegensia tergolong agak lambat
Poli Jiwa:13/08/2015
- Ass: Retardasi mental sedang dengan hendaya perilaku - Terapi: injeksi long acting antipsikotik tiap 1 bulan Hasil Rapat Tim (26/08/2015):
1. Optimalisasi pengobatan psikiatri selama 2 bulan terakhir sampai proses kelahiran anak pasien
2. KIE orrang tua pasien untuk informed consent tindakan steril
3. Saat ini pasien dalam kondisi retardasi mental ringan + hendaya prilaku + G3 P1101 26-27 minggu pro SC elektif + MOW saat aterm (UK + 38 minggu). Jika tidak ada perbaikan gejala sampai melahirkan akan dilakukan tindakan steril.
Poli Obgyn:07/09/2015
S: Keluhan (-) control kehamilan O: St. Present :
TD : 120/70 mmHg HR : 84 x/mnt RR : 20 x/m Tax : 36,4C St. General :
Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus
DJJ (+) 138 x/menit
His (-)
Vagina : tidak dievaluasi
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), letkep
BPD : 7,63 ~ 30W6D EDD : 14/11/2015 HC : 29,24 ~ 31W0D AUA : 30W1D AC : 27,74 ~ 31W4D EFW: 1710 g FL : 6,09 ~ 29W4D
Plasenta fundus corpus posterior gr II SDP 4,1
A: G3 P1101 31-32 minggu T/H + Retardasi mental
P: SF 2 x 300mg, kontrol 2 minggu lagi
Poli Obgyn:22/09/2015
S: Keluhan (-) kontrol kehamilan O: St. Present :
TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4 St. General :
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus (20 cm)
DJJ (+) 135 x/menit
LA: 95 cm
Vagina : VT tidak dikerjakan
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), Letkep
BPD : 8,27 ~ 33W2D EDD : 19/11/2015 HC : 31,8 ~ 33W3D AUA : 33W4D AC : 28,72 ~ 32W4D EFW : 2071 gram FL : 6,40 ~ 32W6D
Plasenta fundus corpus posterior gr III SDP 3,2
A: G3 P1101 33 minggu 6 hari T/H, Letkep, Retardasi mental
P .Kontrol 2 minggu lagi
Tx : SF 2 x 300mg,
Vit C 1 x 100mg.
S: Keluhan (-), kontrol kehamilan O: St. Present : TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4 St. General : Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU 3 jari prosesus xiphoideus (20 cm)
DJJ (+) 135 x/menit
LA: 95 cm
Vagina : VT tidak dikerjakan
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), letsu
BPD : 8,75 ~ 35W6D EDD : 19/11/2015 HC : 32,36 ~ 35W2D AUA : 35W3D AC : 30,94 ~ 35W0D EFW : 2572g FL : 7,01 ~ 35W5D
Plasenta fundus corpus posterior gr III AFI 4,5
A: G3 P1101 35 minggu 6 hari T/H, Letkep, Retardasi mental
P : kontrol 2 minggu lagi
Tx : SF 2 x 300mg,
Vit C 1 x 100mg.
Mx : keluhan ,Vs
Poli Obgyn: 06/10/2015
S: Keluhan (-), control kehamilan O: St. Present :
TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4 St. General :
Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus (20 cm)
DJJ (+) 135 x/menit
LA: 95 cm
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), letsu
BPD : 8,75 ~ 35W5D EDD : 19/11/2015 HC : 32,36 ~ 35W2D AVE : 35W3D AC :30,94 ~ 35W5D EFW : 2572 gr FL : 7,01 ~ 35W5D
Plasenta fundus corpus posterior gr III SDP 3,2
A: G3 P1101 35 Minggu 6 hari T/H, letkep, Retardasi mental
P : Kontrol 2 minggu lagi
Tx : SF 2 x 300mg,
Vit C 1 x 100mg.
Poli Obgyn:13/10/2015
S: Keluhan (-), control kehamilan O: Satust Present :
TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 x/menit Tax : 36,4C Status General :
Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Status Obstetri :
Abdomen: TFU 3 Jari -prosesus xiphoideus (28 cm)
DJJ (+) 135 x/menit
LA: 95 cm
Vagina : VT tidak dikerjakan
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), lekep
BPD : 8,97 ~ 36W4D AVE :19/11/2015 HC : 33,26 ~ 36W2D EDD :36W6D AC : 32,88 ~ 36W0D EFW :2802 gr FL : 7,22 ~ 36W2D
Plasenta fundus corpus posterior gr II SDP : 3,2
ASS : G3 P1101 36 minggu 6 hari T/H, Lekep, Retardasi mental
P : Kontrol 2 minggu lagi
Tx : SF 2 x 300mg,
Vit C 1 x 100mg.
Poli Obgyn:20/10/2015
S: Keluhan (-), control kehamilan O: Satust Present :
TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4 Status General :
Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU 3 Jari prosesus xiphoideus (28 cm)
DJJ (+) 135 x/menit
LA: 95 cm
Vagina : VT tidak dikerjakan
USG: Janin T/H, FHB (+), FM (+), letsu
BPD : 9,00 ~ 37W0D EDD : 19/11/2015 HC : 33,26 ~ 36W6D AUA : 38W2D AC : 32,82 ~ 37W1D EFW : 2982g FL : 7,39 ~ 37W5D
Plasenta fundus corpus posterior gr III SDP 2,4
ASS : G3 P1101 37 Minggu 6 hari T/H, Letkep, Retardasi mental
- Pre operasi
- Kansul Ts Anastesi 21/10/1015 Pukul 11.22
Telah dilakukan SC, lahir bayi perempuan,2875 gram,AS : 8-9, dilanjutkan dengan MOW O: Satust Present : TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4 Status General : Mata : anemis -
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat Status Obstetri :
Abdomen: TFU 2jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka oprasi terawatt baik
Distensi tidak ada,Bising Usus baik.
Vagina : Perdarahan aktif tdk ada
Lochia rubra (+)
Retradasi mental dengan Handaya prilaku
Planing Diagnostik:
Cek Darah lengkap 6 jam post SC
Terapi :
IVFD RL 500cc + Oksitosin 20iu~28 tpm s/d 12 jam post SC Ampicilin 1 gram @8jam i.v
Analgetik ~ TS Anastesi Dower cateter 1x 24 Jam Monitoring :
keluhan ,tanda Vital,kontraksi uterus,tanda perdarahan, cairan masuk –cairan keluar.
KIE :
22/10/2015 pukul 08.00
S : Nyeri luka post operasi (+), Mobilisasi minimal
O: Satust Present :
TD : 120/80 mmHg HR : 80 x/mnt RR : 20 Tax : 36,4C Status General :
Mata : anemis -/-
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat, edema tidak ada Status Obstetri :
Abdomen: TFU 2jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka oprasi terawatt baik
Distensi tidak ada,Bising Usus baik.
Vagina : Perdarahan aktif tdk ada
Lochia rubra (+)
A: P2102 Post SC + Tubektomy bilateral femoroy hari I
Retradasi mental dengan Handaya prilaku
Planing Diagnostik
Terapi :
IVFD RL 500cc + Oksitosin 20iu~28 tpm s/d 12 jam post SC Ampicilin 1 gram @8jam i.v
Sulfas ferosus 300 mg @ 12 jam i.o Analgetik ~ TS Anastesi
Dower cateter 1x 24 Jam Monitoring :
keluhan ,tanda Vital,kontraksi uterus,tanda perdarahan, cairan masuk –cairan keluar.
KIE :
23/10/15 pukul 07.30
S : Nyeri luka oprasi berkurng,mobilisasi (+), BAB (-), Flatus (+), Makan dan minum baik
O: Satust Present :
TD : 110/80 mmHg HR : 82 x/mnt RR : 18 x/m Tax : 36,4C Status General :
Mata : anemis -/-
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, Regular, murmur (-) Paru : vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen ~ St Obstetri
Ekstremitas : hangat, edema tdk ada Status Obstetri :
Abdomen: TFU 2jari bawah pusat
Kontraksi uterus baik
Luka oprasi terawatt baik
Distensi tidak ada,Bising Usus baik.
Lochia rubra (+)
ASS: P2102 Post SC + Tubektomy bilateral femoroy hari III
Retradasi mental dengan Handaya prilaku
Planing Diagnostik
Terapi :
Aff infus
Amoxicillin 500 mg @ 8 jam i.o s/d 30/10/2015 Asam mefenamat 500 mg @ 8jam i.o jika masih nyeri Metil ergometri 0,125 mg @ 8jam i.o s/d tanggal 30/10/2015 Sulfas ferosus 300 mg@ 12 jam i.o s/d tanggal 30/10/2015 Poliklinis,control tanggal 30/10/2015
BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Masalah Diagnosis
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental. Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia.4,6
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu menilai adanya kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai screening PKU. Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI.6
3.2 Faktor prenatal:
Inborn error of metabolisme (Gangguan metabolisme asam amino yaitu
Phenyl Keton Uria (PKU), Maple Syrup Urine Disease, gangguan siklus urea, histidiemia, homosistinuria, Distrofia okulorenal Lowe, hiperprolinemia, tirosinosis dan hiperlisinemia. Gangguan metabolisme lemak yaitu degenerasi serebromakuler dan lekoensefalopati progresif. Gangguan metabolisme karbohidrat yaitu galaktosemia dan glycogen storabe disease. Gangguan metabolik lain yaitu hiperkalsemia idiopatik, hipoparatiroidisme, sindroma Criggler-Najjar, piridoksin dependensi, penyakit Wilson, mukopolisakaridosis.
Aberasi Kromosom (Gangguan Autosom yaitu Sindroma Down, Cat cry sindrom, sindroma kromosom trisomi 13, 18, 22, distrofia miotonika, epiloia (tuberous sclerosis), neurofibromatosis, sindroma Sturge-Weber (angiomatosis ensefalofasial), penyakit Lindau (angiomatosis retinoserebeler), sindroma Marfan (arakhnodaktili), sindroma Sjorgen, ichtyosis kongenital, akhondroplasia, kraniosinostosis, hipertelorisme, diabetes insifidus nefrogenik. Gangguan kromosom kelamin yaitu sindroma Klinefelter, sindroma Turner. Gangguan perkembangan lainnya yaitu anensefali, parensefali, mikrosefali, agiria, hidrosefalus agenesis korpus kalosum, sindroma Laurence-Biedl, sindroma Prader-Willi, ataksia teleangiektasia, penyakit Norrie, penyakit Kinky-hair.
Infeksi maternal selama kehamilan, yaitu infeksi TORCH dan Sifilis.
Cytomegali inclusion body disease merupakan penyakit infeksi virus yang
paling sering menyebabkan retardasi mental. Infeksi virus ringan atau subklinik pada ibu hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin yang bersifat fatal. Penyakit Rubella kongenital juga dapat menyebabkan defisit mental. Terdapat hubungan antara lama ibu hamil terinfeksi dengan kejadian abnormalitas pada janin. Bayi baru lahir dengan toksoplasmosis menunjukkan kelemahan, spastisitas, hidrosefalus atau mikrosefalus, yang kemudian bermanifestasi sebagai defisit mental.
Komplikasi kehamilan meliputi toksemia gravidarum, Diabetes Mellitus pada ibu hamil yang tak terkontrol, malnutrisi, anoksia janin akibat plasenta previa dan solutio plasenta serta penggunaan sitostatika selama hamil.
3.3 Faktor perinatal
Prematuritas. Dengan kemajuan teknik obstetri dan kemajuan perinatologi menyebabkan meningkatnya keselamatan bayi dengan berat badan lahir rendah sedangkan bayi-bayi tersebut mempunyai resiko besar untuk mengalami kerusakan otak, sehingga akan didapatkan lebih banyak anak dengan retardasi mental.
Intra Uterine Growth Retardation Bayi-bayi yang kecil untuk masa
kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya kerusakan otak.
Trauma kelahiran yang meliputi trauma fisik, trauma jalan lahir) dan asfiksia neonatorum.
Kernikterus Terjadi karena eritroblastosis fetalis, sepsis neonatorum, defisiensi G-6-PD, pemberian sulfonamid, salisilat dan sodium benzoat.
3.4 Faktor postnatal
Infeksi intrakranial, meliputi meningitis purulenta, meningoensefalitis dan ensefalitis.
Keracunan timbal
Trauma kapitis
Gangguan kejang, termasuk kejang epileptik, kejang demam dan spasmus infantil.
Cerebral palsy
Penyakit Heller
Malnutrisi.
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.6
3.5. Tatalaksana
a. Tatalaksana Medis
Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA).
b. Rumah Sakit/Panti Khusus
Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar: kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orang tua terhadap anak, derajat retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk membimbing orang tua dan sosialisasi anak. Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental adalah kurangnya stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain dan kurangnya variasi lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.
c. Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan prenatal.
d. Pendidikan
Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini. Terdapat empat macam tipe pendidikan untuk retardasi mental.3
• Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa
• Sekolah luar biasa C
• Panti khusus
• Pusat latihan kerja
3.1.7 Prognosis
Seorang anak yang mengalami retardasi mental yang berat, prognosis kedepannya ditentukan oleh keadaan anak tersebut pada masa awal kanak-kanaknya. Retardasi mental yang ringan bisa jadi terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan didiagnosa sebagai retardasi mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia berikutnya, mungkin kelainannya akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan komunikasi dan autism. Efek jangka panjang
dari setiap individu berbeda-beda, bergantung pada derajat defisit kognitif dan adaptif, gangguan perkembangan pada masa embrionik, dan dukungan keluarga serta lingkungan.2,6
3.2 Pelayanan Kesehatan Reproduksi pada Wanita Retardasi Mental
Pemeriksaan ginekologis merupakan bagian kedokteran pencegahan pada wanita. Namun, wanita dengan gangguan mental, khususnya yang dengan penurunan kemampuan berbahasa dan kognitif, pemeriksaan ini memberikan pengalaman traumatik. Berbagai emosi dapat muncul, mulai dari ketakutan, marah, rasa malu hingga penyerangan. Oleh karena alasan ini, dokter sebaiknya memperkirakan reaksi yang akan muncul dengan merencanakan pemeriksaan dengan asisten medis yang terlatih dan perawat. Edukasi pasien merupakan hal penting, tujuannya untuk menjelaskan secara komprehensif tentang tujuan dan proses pemeriksaan tersebut (penjelasan verbal, tertulis dan bahan ilustrasi). Pasien sebaiknya diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai pemeriksaan dan memperkenalkan alat yang akan digunakan selama pemeriksaan. Perasaan yang nyaman sangat penting untuk pasien.3,7
Panduan pelayanan ginekologi terhadap wanita retardai mental:7
1. Klinisi sebaiknya memberikan pelayanan terbaik terhadap pasien. 2. Setiap pasien sebaiknya diterapi sebagai individu yang unik dengan
masalahnya tanpa tergantung tingkat keparahan retardasi mental. 3. Setiap masalah sebaiknya dipertimbangkan sebagai satu elemen
4. Intervensi yang paling minimal konsekuensi sebaiknya dipilih; 5. Keputusan sebaiknya dibuat sesensitif mungkin sehubungan dengan
sikap sosial dan seharusnya disampaikan kepada komite etik.
6. Prosedur atau terapi sebaiknya dievaluasi oleh komite etik karena berkaitan dengan masalah informed consent (Elkins 1991).
3.3 Fisiologi Reproduksi Penderita Retardasi Mental
Terdapat sedikit literatur yang melaporkan data mengenai perbedaan fisiologi menstruasi wanita dengan retardasi mental dibandingkan dengan wanita dengan fungsi intelektual normal, dari segi waktu dan pola menarche. Pada pengamatan terhadap 15 remaja dengan sindrom Down dan 33 wanita kontrol, Goldstein et al melaporkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dari segi menarche, durasi perdarahan, dan panjang siklus antara kedua kelompok. Sekitar 65% wanita dengan retardasi mental mengalami siklus menstruasi yang ireguler dan tidak ada yang mengalami menometroragia. Enam puluh dua persen wanita mengalami ovulasi, yang mengindikasikan potensi fertilitas.3,8
Elkins et al menjelaskan tentang dua permasalahan ginekologis umum wanita dengan retardasi mental berat atau sangat berat yaitu menstrual hygiene dan gejala seperti premenstrual syndrome, seperti perubahan perilaku dan kram. Penatalaksanaan menstrual hygiene pada populasi ini sangat menantang karena harus menyeimbangkan kemampuan pasien untuk mengatasi perdarahannya serta ketergantungan terhadap perawatnya. Wanita dengan retardasi yang tidak terlalu berat dapat dilatih menggunakan pembalut. Premenstrual syndrome merupakan masalah penting yang ditemukan pada 32% pasien. Gejalanya diantaranya
peningkatan masalah perilaku, kejang, agresifitas, mengamuk, menangis keras, atau kekerasan terhadap diri sendiri seminggu sebelum atau beberapa hari pertama menstruasi. Pasien dengan retardasi mental berat dan sangat berat biasanya tidak bisa mengungkapkan ketidaknyamanan mereka secara verbal.3,9
Orang tua dari pasien retardasi mental berat dan sangat berat juga memberi perhatian khusus pada pencegahan kehamilan putri mereka. Pasien retardasi ringan menunjukkan ketertarikan akan pernikahan dan aktivitas seksual seperti kebanyakan orang, sedangkan sebagian besar orang dengan retardasi berat menunjukkan ketertarikan minimal terhadap lawan jenis. Empat puluh persen dari 104 pasien pertama di klinik Elkins adalah korban atau diperkirakan sebagai korban kekerasan seksual. Kontrasepsi awalnya dilakukan untuk tujuan supresi menstruasi, tapi para orang tua juga mengkhawatirkan ketidakberdayaan terhadap kehamilan.3,6,7
3.4 Kontrasepsi Mantap
Kontrasepsi mantap adalah setiap tindakan pada saluran bibit wanita atau saluran bibit laki-laki yang menyebabkan individu yang bersangkutan tidak akan mempunyai keturunan lagi. Indikasi sterilisasi adalah sebagai berikut:10
1. Eugenik/eugenetik, untuk mencegah keturunan yang kurang sehat fisik atau mental, misalnya penyakit thalassemia mayor, psikologis, dan lain-lain. 2. Terapeutik, untuk melindungi jiwa atau kesehatan fisik atau mental.
3. Indikasi sukarela, atas permintaan sendiri setelah pasien dapat informasi tentang macam-macam kontrasepsi dan risikonya masing-masing, serta
risiko sterilisasi yang bersifat permanen sehingga tak memungkinkan untuk punya anak lagi.
3.4.1 Pertimbangan medikolegal
a. Pertimbangan Medis
Dari segi persyaratan klinis, didapatkan indikasi medis tindakan sterilisasi pada penderita retardasi mental. Namun dari segi psikiatri, permintaan orang tua untuk melakukan sterilisasi perlu dipertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:10
1. Tidak semua kasus prognosisnya buruk
2. Etiologi retardasi mental sebagai akibat kelainan genetik yang diturunkan kepada anaknya belum jelas.
3. Dalam fase residual, beberapa penderita mampu menjalani relasi psikososial yang cukup baik.
Sesuai dengan hendaya yang dideritanya, penderita mengalami kesulitan dan ketidakmampuan dalam memberi respon dan menghargai kebutuhan anaknya, dan saat memberikan landasan untuk anaknya melakukan proses identifikasi dirinya. Sulitnya komunikasi anak dengan orang tua yang sakit, akan memengaruhi proses pengembangan fungsi kognitif, emosional dan sosial anak sehingga timbul hambatan bagi anak dalam beradaptasi secara psikososial yang mengarah pada kualitas fungsi sosial dan emosional yang rendah sehingga anak mempunyai risiko tinggi untuk menderita gangguan jiwa. 10
Berdasarkan pertimbangan prognosis diatas, kalau seandainya penderita sembuh dan mendapatkan jodoh yang baik, mereka akan menginginkan keturunan. Bila ternyata si suami atau istri tidak mampu memberikan keturunan karena telah disterilisasi, siapakah yang bersalah dalam hal ini, pihak keluarga, pihak dokter yang melakukan tindakan atau pihak psikiater yang memberikan rekomendasi/mengizinkan dari segi klinis psikiatri? 10
Dalam menjawab permasalahan ini, tentunya kita berpedoman pada Etika Medik (Etika Kedokteran). Konsep dasar etika medis adalah berdasarkan asas manfaat, yaitu kewajiban dokter untuk berbuat baik, bermanfaat bagi pasien dan tidak merugikan pasien. Oleh karena sterilisasi ditinjau dari azas manfaat, kemungkinan jangka panjangnya dapat merugikan bagi pasien sesuai dengan alasan diatas, maka sebaiknya dari segi psikiatris, diberikan pertimbangan untuk memakai cara/alat kontrasepsi yang bersifat reversibel. Permasalahan keluarga untuk mencegah kehamilan pada penderita dapat tertanggulangi dan alat/metode tersebut dapat dicabut kalau penderita sembuh serta menginginkan alat kontrasepsi tersebut dicabut. 10
b. Pertimbangan dari aspek legal
Dalam melakukan tindakan medis, selain memperhatikan indikasi dan persyaratan medis, dokter juga harus mengetahui siapa yang berhak untuk memberikan persetujuan tindakan tersebut seandainya pasien tidak mampu dengan alasan yang dapat dibenarkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti dalam hal ini penderita retardasi mental. 10
Pengaturan tentang informed consent dan perwalian/pengampuan dapat ditinjau dari beberapa ketentuan hukum seperti Permenkes No 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis. Pada pasal 1 bahwa persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atau dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien. pada pasal 9 ayat (2) Permenkes No 585/1989, menyatakan: Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan tindakan medik atau penolakan tindakan medik diberikan oleh mereka yang menurut urutan hak sebagai berikut:
a. Ayah/ibu kandung b. Wali yang sah
c. Saudara-saudara kandung
Bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, maka keterangan adanya gangguan mental itu dimintakan kepada dokter rumah sakit (jiwa) yang menanganinya. Sedangkan bagi mereka yang tidak dirawat, prosedurnya tentu berbeda. Jika dibawa kerumah sakit yang terdapat psikiaternya, maka psikiaternyalah yang dapat menentukan ada atau tidaknya gangguan mental. Dan apabila tidak ada psikiater, maka paling tidak ditentukan oleh dua orang dokter. Konfirmasi dari mereka yang berwenang menyatakan seseorang dalam keadaan gangguan mental sangatlah penting untuk menghindari niat-niat jahat yang ingin menyalahgunakan keadaan gangguan mental seseorang. 10
Beberapa undang-undang yang terkait persetujuan tindakan pada pasien dengan retardasi mental antara lain: 10
KUH Perdata pasal 433
Orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila/mengamuk, harus ditaruh dibawah kuratele, sungguhpun kadang-kadang pada waktu tertentu dia dapat mempergunakan kesanggupan []berpikirnya (seorang dewasa karena pemboros juga dapat dibawah kuratele).
KUH Perdata pasal 434
Tiap-tiap anggota sedarah dapat dimintakan kuratele anggota keluarga keluarganya karena dungu/gila.
KUH Perdata pasal 446
Sejak pengampuan tersebut diumumkan maka segala hubungan perdata dengan pasien batal yang dibuat setelah pengampuan tersebut.
KUH Perdata pasal 452
Kedudukan orang yang dibawah pengampuan sama dengan anak dibawah umur.
3.5 Sejarah Sterilisasi Paksa
Sejarah sterilisasi pada pasien retardasi mental telah melalui tiga fase legal utama pada satu abad terakhir. Hukum saat ini menunjukkan adanya
keinginan untuk membenahi ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Satu abad yang lalu, eugenisis Amerika yang diinspirasi oleh Darwinisme sosial, menyatakan bahwa paksaan melakukan sterilisasi merupakan hal penting dalam masyarakat karena penyakit sosial dapat disebabkan oleh karakteristik yang diturunkan secara genetis. Masyarakat secara aktif mencegah orang–orang dengan retardasi mental memiliki keturunan, karena kepercayaan bahwa anak– anak mereka akan berakhir seperti orang tua mereka atau menjadi kriminal. Pada tahun 1907, beberapa Negara bagian mulai melegalkan sterilisasi secara paksa pada orang–orang dengan gangguan perkembangan, yang mencerminkan mentalitas tersebut di atas. Pada tahun 1927, pengadilan tinggi menuliskan rasional dari tindakan ini dalam Buck v. Bell yang menyatakan bahwa paksaan sterilisasi dibenarkan dalam keadaan tertentu. Antara tahun 1907 dan 1963, lebih dari 60.000 warga Amerika, sebagian besar wanita disterilisasi tanpa persetujuan mereka. Fase legal kedua terjadi pada tahun 1942, terjadi ketika sterilisasi berdasarkan rasional eugenik kehilangan dukungan, dan para wanita mulai memiliki kontrol pribadi terhadap keputusan reproduktifnya.3
Pada tahun 1960, beberapa negara bagian mengeluarkan undang–undang sterilisasi. Akhirnya sebuah skandal terkait sterilisasi pada gadis dengan cacat mental tanpa persetujuannya di sebuah klinik yang dibiayai Negara menyebabkan munculnya panduan tahun 1978 yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan yang melarang penggunaan dana negara untuk melakukan sterilisasi pada siapapun yang berumur dibawah 21 tahun, inkompeten, atau dipaksa. 3,8
Hukum mengenai sterilisasi di 50 negara bagian cukup bervariasi dalam berbagai hal; bentuk hukum, isi kriteria yang harus digunakan untuk menentukan eligibilitas, yang mengemban tanggung jawab, dan secara keseluruhan pada negara bagian yang berbeda pasien memiliki akses yang berbeda terhadap prosedur medis yang sama. 9
Beberapa badan legislatif mengeluarkan klausa jelas ke dalam statuta; beberapa memberikan ijin untuk melakukan prosedur sterilisasi dan beberapa memberikan kriteria berdasarkan petisi, representasi, dan kriteria yang perlu dibuktikan oleh pihak pemohon. Beberapa negara bagian menggunakan ‘hukum kasus’. Acuan pengadilan berdasarkan putusan kasus sebelumnya; tidak ada acuan khusus yang berlaku di negara bagian tersebut. Terdapat beberapa negara bagian yang tidak pernah mendapatkan kasus serupa, dan hakim akan menggunakan putusan pasal lain yang terkait. Isi dari undang–undang, baik statuta maupun hukum kasus, cukup bervariasi. Sebagian besar pengadilan, pertama menentukan tingkat kompetensi pasien dan mungkin menunjuk wali untuk mewakili pasien. Selanjutnya, hakim berperan sebagai orang tua akan menentukan tindakan terbaik untuk pasien berdasarkan beberapa kriteria yang tercantum sebagai berikut:3,8,9
1. Individu matang secara seksual fisiologis 2. Tidak ada tanda infertilitas
3. Individu memiliki kemampuan dan cukup kesempatan untuk terlibat aktivitas seksual
4. Individu tidak dapat memahami reproduksi dan kontrasepsi dan merupakan kecacatan permanen
5. Tidak mampu memberikan persetujuan secara persisten 6. Opini pasien diminta dan menjadi pertimbangan
7. Ketidakmampuan fisik dan emosional untuk merawat anak
8. Kehamilan dan melahirkan dapat membahayakan hidup atau berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental individu tersebut
9. Alternatif kontrasepsi lain tidak berhasil atau tidak dapat diterapkan 10. Metode sterilisasi sesuai dengan standar praktek medis
11. Tidak ada kemungkinan kejadian yang menyebabkan sterilisasi menjadi reversibel
12. Pihak yang mengajukan sterilisasi melakukannya dengan itikad baik dan pertimbangan utamanya adalah untuk kebaikan pasien, bukan kenyamanan mereka sendiri atau kenyamanan public.
3.6 Pemilihan Kontrasepsi Pada Wanita Retardasi Mental
3.6.1 Terapi non-bedah
Tabel 1 menunjukkan keuntungan dan kerugian pilihan perawatan dengan obat dan pembedahan, dengan tambahan informasi khusus tentang efektifitasnya dalam populasi. Setiap pilihan terapi harus menyesuaikan dengan apa yang menjadi perhatian orang tua tentang kepatuhan pengobatan dan profil efek samping. Satu penelitian melaporkan bahwa 43% dari remaja retardasi mental yang aktif seksual mengalami kehamilan, yang menunjukkan bahwa metode kontrasepsi yang digunakan tidak sesuai. 3,11
Tugas yang paling penting dalam kunjungan pertama dengan pasien dan keluarganya adalah untuk menjabarkan yang menjadi perhatian/kekhawatiran mereka. Termasuk juga berbicara dengan perawat, guru, dan anggota keluarga lain. Penatalaksanaan konseling harus berisi tentang teknik perilaku seperti pelatihan sosialisasi, pelatihan higiene menstruasi, pelatihan menghindari kekerasan seksual, konseling keluarga, dan pendidikan seks. Pada penatalaksanan masalah higiene menstruasi, sebagian besar remaja retardasi ringan sampai sedang dapat menguasai penggunaan pembalut dan menghadapi menstruasi khususnya dengan alat bantu pembelajaran dan pemberian materi berulang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, wanita dengan retardasi mental berat dapat diajari cara menghadapi menstruasi mereka dengan pelatihan intensif bila mereka telah berhasil diajarkan cara menggunakan toilet. 3,11
b. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral dapat diberikan bersiklus untuk meregulasi perdarahan menstruasi disfungsional atau secara berkelanjutan untuk mengurangi jumlah perdarahan pada keadaan kronis. Kepuasan orang tua dalam penggunaan kontrasepsi oral rendah dikarenakan obat harus diberikan setiap hari. Meskipun pemberian kontrasepsi oral jangka panjang terbukti aman pada populasi umum, tetapi harus tetap dipertimbangkan mengenai dampak pemberian terapi hormonal sepanjang hidup mulai dari menarche sampai menopause terhadap perkembangan kanker payudara dan penyakit jantung.3,12,15
c. Depo-medroxyprogesterone Acetate
Survey pada tahun 1992 menunjukkan bahwa penggunaan Depo-Medroxyprogesterone acetate (DMPA) tertinggi pada wanita dengan retardasi mental. Tingkat kepuasan orang tua rata – rata untuk injeksi DMPA adalah 4/5. Bentuk kontrasepsi ini banyak dipilih karena menyebabkan amenore dan mengurangi siklus serta secara bersamaan tetap menjadi kontrasepsi dengan efektifitas tinggi. Meskipun beberapa orang berpikir bahwa DMPA menyebabkan depresi pada pasien, satu penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Hormon tersebut memang menyebabkan peningkatan berat badan secara signifikan.16,17
Tidak seperti kontrasepsi oral yang telah dipelajari selama lebih dari 40 tahun dan telah terbukti relatif aman, tidak ada penelitian acak terkontrol besar yang menunjukkan efek samping DMPA jika diminum selama masa reproduksi seperti halnya pada pasien retardasi mental. Penelitian oleh Berenson et al menunjukkan bahwa pengguna DMPA mengalami kehilangan densitas sumsum tulang 2,74% dalam 12 bulan dibandingkan dengan wanita kelompok kontrol yang menggunakan pil KB, yang mengalami peningkatan densitas sumsum tulang. Keamanan DMPA dipertanyakan kembali karena adanya dampak buruk terhadap jantung dan kanker payudara dari terapi sulih hormon yang mengandung estrogen ekuine terikat dan
medroxyprogesterone acetate. Sebagai akibat dari semua masalah yang
dikemukakan diatas, penggunaan DMPA dosis lebih rendah untuk kontrasepsi sedang diuji cobakan. Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah apakah resiko penggunaan DMPA melebihi keuntungan secara kontrasepsi dimana
DMPA dapat diinjeksi dan merupakan kontrasepsi yang sangat efektif yang hanya perlu diberikan empat kali setahun.3,13,16,17
d. AKDR Progestin
Tidak seperti AKDR tradisional yang tidak disukai karena dapat menyebabkan perdarahan hebat atau mempercepat infeksi asendens, levonorgestrel intra uterin sistem tampak menurunkan jumlah perdarahan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Waktu menstruasi juga ditemukan berkurang dan beberapa wanita juga melaporkan nyeri haid yang berkurang. Keuntungan lain terkait dengan tingkat kepatuhan pasien retardasi mental adalah bahwa AKDR hanya perlu diganti sekali dalam lima tahun. Pasien dengan kecacatan jenis ini biasanya memerlukan sedasi saat insersi AKDR. Efek kontrasepsi pasif yang menguntungkan dan peningkatan profil perdarahan membuat AKDR progestin layak untuk diteliti lebih lanjut pada populasi ini.3,16
3.6.2 Pilihan terapi bedah
Intervensi bedah harus dipertimbangkan jika pendekatan diatas merupakan kontraindikasi atau gagal. Grover melaporkan di kliniknya hanya 2/109 pasien yang memerlukan intervensi bedah; kedua pasien ini telah mencoba dan gagal menggunakan pendekatan dengan pengobatan.18
a. Ablasi Endometrium
Ablasi endometrium tidak begitu popular sampai saat ini karena metode tradisional menggunakan teknik rollerball hiteroskopi, memerlukan
fasilitas teknik, serta menyebabkan komplikasi seperti hiponatremia dan perdarahan. Perkembangan jumlah alat ablasi endometrium global non histeroskopi telah merevitalisasi terapi bedah menoragia ini, dan menjadi tindakan alternatif yang diminati. Teknik bedah ini telah mengalami peningkatan popularitas pada wanita dengan perdarahan uterus disfungsional, karena prosedur ini telah menunjukkan hasil mulai dari eumenorea sampai amenorea. Beberapa kasus melaporkan bahwa teknik ini berhasil dilakukan pada wanita muda dengan retardasi mental. Wingfield et al melaporkan tujuh rangkaian kasus pasien dengan retardasi mental yang melakukan ablasi endometrium. Seluruhnya puas dengan hasil yang diperoleh, satu wanita mengalami amenorea pada bulan ke 38, dua pada bulan ke 27 dan satu pada 16 bulan. Ablasi endometrium menyebabkan penurunan morbiditas dan resiko operasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan histerektomi dan biasanya dapat dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.19
Dalam mengektrapolasi temuan tentang ablasi endometrium pada wanita muda dengan retardasi mental, penting untuk diingat bahwa ablasi endometrium dilakukan untuk membenahi kelainan yang menyebabkan menoragia. Manfaatnya pada wanita muda dengan menstruasi normal belum dipelajari meskipun penggunaannya telah berhasil dalam mengobati perdarahan abnormal pada wanita muda dengan penyakit kronis yang menyebabkan perdarahan hebat yang mengancam nyawa. Fertilitas mengalami gangguan, dan pada kenyataannya, kehamilan yang terjadi
setelah dilakukan ablasi endometrium dianggap resiko tinggi sehingga perlu dilakukan oklusi tuba segera.20
Perhatian khusus harus diberikan pada populasi muda dengan retardasi mental umumnya dengan serviks nulipara. Seluruh ablasi tuba memerlukan dilatasi tuba dengan lebar tertentu. Beberapa agen farmakologis, vasopressin dan prostaglandin bermanfaat untuk membantu dilatasi pre operatif seperti halnya laminaria. Selanjutnya, keluarga harus dikonseling bahwa ablasi endometrium tidak menjamin amenorea dan sampai data tentang remaja amenorea diperoleh, pengalaman pada wanita dewasa menunjukkan bahwa amenorea terjadi pada kurang dari 50% dapat dijadikan acuan. Namun, ablasi endometrium tidak diragukan lagi merupakan penatalaksanaan penting dalam mengatasi menoragia dan dapat mengurangi perdarahan normal menjadi spotting yang hanya terjadi beberapa hari. Untuk hasil optimal, dianjurkan premedikasi dengan
agonist gonadotropin releasing hormone.3,20,21
b. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan metode kontrasepsi paling tinggi di Amerika Serikat, digunakan oleh 39% pasangan usia reproduktif yang menggunakan kontrasepsi.
1. Ligasi Tuba
Sterilisasi tuba pada wanita mencakup 72% dari sterilisasi yang dilakukan pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Sebagian besar penelitian menunjukkan kejadian komplikasi operasi mayor terjadi pada 0,5% kasus. . Komplikasi yang jarang terjadi setelah operasi termasuk hematoma, infeksi, perdarahan aktif terlambat, cedera kolon, kandung
kemih, uretera yang tidak diketahui saat intraoperasi, cedera uretera karena penggunaan alat, dan cedera uterus. Metode baru yang kurang invasif dalam penutupan tuba falopi telah disetujui di Amerika Serikat. Ligasi/penutupan tuba dapat dipertimbangkan pada wanita yang memerlukan ablasi endometrium segera pada perdarahan yang tidak tertangani dan pada wanita yang tidak menginginkan anak lagi, orang tua dapat memilih opsi strelisasi ini, khususnya karena bersifat jauh kurang invasif dibandingkan dengan histerektomi.22
3.7 Pendekatan Alogaritma Baru Dengan Kriteria untuk Menentukan keputusan Terbaik untuk Pasien
Perkembangan farmakologi dan bedah telah memberikan alternatif bedah invasif minimal pada wanita dengan retardasi mental. Oleh karena itu, dokter, orang tua, hakim, dan pengamat etik, pertama– tama harus menentukan perhatian khusus pasien dan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Ketika pendekatan alogaritma berikut (Gmb.1) mengindikasikan bahwa prosedur sterilisasi diperlukan, dapat memandu pembuat keputusan tersebut untuk menentukan keputusan terbaik bagi pasien. Ablasi endometrium untuk higiene menstruasi, meskipun bukan merupakan prosedur sterilisasi, membawa resiko potensial terhadap kehamilan yang terjadi setelah tindakan. Pada populasi umum, pasien yang menjalani ablasi dianjurkan untuk menggunakan KB permanen, dan hal ini juga berlaku untuk pasien retardasi mental.3
Tindakan non invasif seperti konseling keluarga, pelatihan menstrual hygiene, pelatihan menghindari kekerasan seksual, dan pendidikan seksual harus dipertimbangkan untuk dilakukan sebelum sterilisasi atau dikombinasikan dengan prosedur lain. Panduan terkini menyatakan bahwa dokter harus mengajukan metode lain yang tidak bersifat permanen dan dengan resiko terendah pada pasien. Meskipun terapi medis dengan obat biasanya lebih dipilih daripada pembedahan karena bersifat kurang restriktif karena tidak permanen, resiko penggunaan terapi hormonal jangka panjang harus tetap dipertimbangkan.
Banyak contoh klinik di seluruh Amerika Serikat membuat program evaluasi dan terapi untuk memastikan bahwa pasien telah diperiksa oleh tim professional dan meyakinkan bahwa seluruh alternatif lain yang bersifat tidak permanen telah dipertimbangkan. Ketika mempertimbangkan pilihan terapi yang terbaik, dokter, orang tua, dan pembuat
keputusan harus menitikberatkan pada kepentingan pasien saat memutuskan antara penatalaksanaan dengan obat atau bedah.3
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan3 Pasien dengan retardasi mental dengan masalah menstruasi dan
pihak yang merawat meminta kontrasepsi atau sterilisasi
Menstrual hygiene Edukasi dan modifikasi perilaku Kontrol hormonal IUD progestin Ablasi endometrium Histerektomi Kontrol hormon Agen farmakologi tambahan
Edukasi Premenstrual syndrome Kontrol hormonal IUD progestin Edukasi Kontrasepsi Sterilisasi
3.8 Pengambil Keputusan
Kapasitas mental pasien untuk menentukan risiko, manfaat prosedur medis dan alternatifnya serta untuk mengekspresikan pilihan pribadinya merupakan penentuan fungsional yang dibuat oleh tenaga medis professional, sedangkan ‘kompetensi mentalnya’ untuk memberikan persetujuan tindakan ditentukan oleh pengadilan secara hukum. Karena wanita dengan tingkat retardasi mental berbeda memiliki kapasitas yang berbeda, tenaga profesional yang terlatih dalam berkomunikasi dengan orang–orang yang mengalami cacat mental, seperti pengajar khusus, psikologist, dokter, dan pengacara yang familiar dengan populasi pasien ini, harus membantu dalam menentukan apa yang dapat dimengerti oleh masing–masing pasien. Pada beberapa wilayah hukum, kelompok konsultan seperti disebutkan di atas dapat menentukan kapasitas pasien, sedangkan di wilayah hukum lainnya pengadilan yang harus menentukan terlebih dahulu tingkat kompetensi pasien. 3
Pada sebagian besar fasilitas medis, orang tua, anggota keluarga dekat, dan wali yang sah diberikan kewenangan hukum untuk membuat keputusan bagi orang yang tidak mampu atau inkompeten. Namun karena ketidakadilan yang terjadi di masa lalu, dokter harus waspada terhadap tekanan yang dilakukan oleh anggota keluarga lain karena adanya kepentingan masing–masing. Indikasi utama atau yang berkontribusi untuk sterilisasi berdasarkan asumsi atau kemungkinan kesulitan yang akan dialami oleh pihak lain harus diperhatikan secara seksama. Kenyataannya, hukum yang berlaku saat ini di banyak negara bagian akan menunjuk wali sementara, dengan mengasumsikan bahwa kepentingan orang tua biasanya berlawanan dengan kepentingan putri mereka. Hal ini mungkin terlalu berlebihan, karena umumnya dalam hati orang tua lebih mementingkan anaknya. Orang tua mungkin tidak memahami lingkup masalah atau alternatif non bedah dan mereka kemungkinan mencari pemecahan masalah yang cepat. Untuk alasan ini, dokter harus bekerja bersama orang tua untuk membantu mereka menentukan kebutuhan putri mereka. Konsultasi dengan
para ahli seperti dokter anak, dokter saraf, psikiatri, pekerja sosial, dan staf administrasi dan masukan dari komite etik institusi mungkin dibutuhkan. 3
3.9 Keputusan Terbaik untuk Pasien
Seluruh pembuat keputusan harus menentukan jenis terapi yang terbaik untuk pasien. Karena panduan profesional sebelumnya telah merinci beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan pengadilan menggunakan banyak sekali pertimbangan, kriteria tersebut harus disusun dalam kerangka logis untuk dapat digunakan dalam setiap pembuatan keputusan. 3
Banyak ahli retardasi mental akan berargumen bahwa wanita pada seluruh tingkat retardasi mental memiliki ketertarikan seksual. Mereka yang dengan retardasi ringan dan sedang bahkan dapat terlibat dalam hubungan seksual konsensual (atas persetujuan sendiri). Namun, ada juga wanita yang kemampuan kognitifnya begitu buruk, sehingga mereka tidak dapat memberikan persetujuannya dalam hubungan seksual. Wanita yang tidak dapat memberikan persetujuan dalam hubungan seksual tidak memiliki ketertarikan untuk memiliki keturunan karena mereka bahkan tidak dapat berpartisipasi secara sukarela pada kegiatan yang betujuan untuk meneruskan keturunan. Meskipun nampak agak kasar untuk mengatakan bahwa beberapa wanita tidak tertarik untuk memiliki keturunan, secara logis seseorang memerlukan hubungan seksual untuk dapat memiliki keturunan dan beberapa wanita tidak dapat melakukan hubungan seksual secara konsensual. Oleh karena itu, pembuat keputusan tidak boleh memaksa seseorang terkait keinginan berketurunan. 3
Pada kasus–kasus ini, menghindari kehamilan lebih penting daripada ketertarikan reproduksi. Terlebih lagi, pengadilan tidak membantah bahwa orang tua dapat meminta dan menyetujui kontrasepsi medis secara kontinyu seumur hidup atau aborsi, yang keduanya
merupakan pembatasan terhadap kemampuan berketurunan. Pertanyaan logis selanjutnya melibatkan ketertarikan berketurunan pada wanita dengan kecacatan berat yang tidak mampu merawat anak yang akan dilahirkan. Tujuan dari memiliki keturunan adalah untuk membesarkan anak-anak. Wanita manapun tidak mampu mengasuh anak jika dia tidak mampu memahami kebutuhan nutrisi anaknya, melindunginya dari bahaya secara fisik, memahami penyakit dan pencarian pertolongan, mengekspresikan kasih sayang, dan mengawasi kegiatan sehari–hari anaknya. Jika seorang wanita tidak memiliki kemampuan kognitif untuk melakukan hal–hal tersebut di atas, pengadilan akan memutuskan bahwa ia tidak mampu mengasuh anak dan mengambil anaknya dari hak asuhnya. Oleh karena itu, terdapat beberapa wanita yang mungkin mampu memberikan persetujuannya dalam hubungan seksual, namun memiliki kecacatan tertentu sehingga hak asuh anaknya diambil alih karena alasan tertentu oleh pengadilan.3
Wanita–wanita dengan retardasi mental tidak memiliki ketertarikan khusus dalam mengasuh anak karena mereka tidak akan pernah mampu melakukannya. Perbedaan antara ketertarikan wanita ini dalam mengasuh anak dibandingkan dengan wanita lain yang anaknya diambil, seperti contohnya ibu yang kecanduan narkoba, adalah asumsi bahwa wanita tersebut akan mengalami kecacatan selamanya dan ketertarikan mereka dalam hal mengasuh anak tidak akan berubah, tidak seperti ibu yang dapat pulih dari kecanduan narkoba.
Jenis wanita lainnya adalah mereka yang di masa depan akan mampu merawat anaknya dengan bantuan orang tua dan/atau walinya. Wanita tersebut mungkin cukup tertarik dalam mengasuh anak dan ketertarikan ini harus menjadi pertimbangan dalam menentukan keputusan untuk pasien. Orang tua yang memilih sterilisasi mengatakan prosedur tersebut hanya dilakukan jika pasien retardasi tidak dapat memahami akibat atau konsekuensi dari berhubungan seksual atau tidak memiliki kapasitas untuk merawat anaknya.3
BAB IV
PEMBAHASAN
Diperkirakan bahwa di negara indonesia terdapat 1-3% dari penduduk menderita retardasi mental. Retardasi mental ini bisa dipandang sebagai masalah kedokteran, psikologis atau pendidikan, akan tetapi pada analisis terakhir merupakan suatu masalah sosial, karena pencegahan, pengobatan dan terutama perawatan serta pendidikan penderita-penderita ini hanya dapat dilakukan dengan baik melalui usaha-usaha kemasyarakatan (sosial).
Retardasi mental adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yang ditandai dengan rendahnya kecerdasan biasanya nilai IQ-nya di bawah 70 dan sulit beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari. Retardasi mental tertuju pada sekelompok kelainan pada fungsi intelektual dan defisit pada kemampuan adaptif yang terjadi sebelum usia dewasa. Akan tetapi, klasifikasi retardasi mental lebih bergantung pada hasil penilaian IQ dari pada kemampuan adaptif.
Pasien retardasi ringan menunjukkan ketertarikan akan pernikahan dan aktivitas seksual seperti kebanyakan orang, sedangkan sebagian besar orang dengan retardasi berat menunjukkan ketertarikan minimal terhadap lawan jenis. Empat puluh persen dari 104 pasien pertama di klinik Elkins adalah korban atau diperkirakan sebagai korban kekerasan seksual. Kontrasepsi awalnya dilakukan untuk tujuan supresi menstruasi, tapi para orang tua juga mengkhawatirkan ketidakberdayaan terhadap kehamilan.
Sesuai dengan hendaya yang dideritanya, penderita mengalami kesulitan dan ketidakmampuan dalam memberi respon dan menghargai kebutuhan anaknya, dan saat memberikan landasan untuk anaknya melakukan proses identifikasi dirinya. Sulitnya komunikasi anak dengan orang tua yang sakit, akan memengaruhi proses pengembangan
fungsi kognitif, emosional dan sosial anak sehingga timbul hambatan bagi anak dalam beradaptasi secara psikososial yang mengarah pada kualitas fungsi sosial dan emosional yang rendah sehingga anak mempunyai risiko tinggi untuk menderita gangguan jiwa.
4.1 Diagnosis
Pasien merupakan konsul dari teman sejawat psikiatri dengan diagnosis G3 P1101 23-24 minggu T/H + Retardasi Mental dengan Hendaya Perilaku dan permintaan tindakan steril. Selama kehamilan, pasien tidak mengalami keluhan pusing. Pasien seorang wanita berusia 26 tahun, suku jawa, beragama islam, janda beranak 2 dengan G3P1101 uk 23-24 minggu, pendidikan SD tidak tamat, tidak bekerja, saat ini alamat di denpasar datang ke Poli Jiwa RS Sanglah bersama orang tuanya. Pasien tampak tertawa sendiri tanpa alasan jelas, roman muka sesuai umur, kulit sawo matang, memakai make up, rambut terurai dicat merah, kedua kuku tangan di cat cokelat dan perut membesar (hamil). Kontak pasien dengan pemeriksaan kurang.
Pasien diajak datang kerumah sakit oleh keluarga karena pasien marah-marah dan hamil tanpa pernikahan. Pasien yakin dengan suaminya yang membunuh anaknya, mendengar suara dan melihat bayangan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Pasien mengamuk jika keinginanya tidak terpenuhi. Pasien memiliki riwayat trauma kepala sejak kecil dan hanya mampu sekolah sampai kelas 3 SD. Pasien tidak mampu merawat anaknya dan sering keluar bebas untuk berhubungan dengan lelaki lain.
Status Obstetri Abdomen: TFU ½ pusat-prosesus xiphoideus; DJJ (+) 154 kali per menit; His (-). Pada USG sesuai dengan usia kehamilan 23-24 minggu. Dari pemeriksaan interna dan neurologi serta laboratorium didapatkan dalam batas normal, dan pemeriksaan obsetri dan ginekologi didapatkan G3P1011 uk 24-25 minggu letak kepala. Dari pemeriksaan