• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU

(Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU

SRI GOSLEANA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU

(Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU

SRI GOSLEANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(3)

RINGKASAN

SRI GOSLEANA. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram Maluku. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO.

Sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu tumbuhan pangan tropika Indonesia. Indonesia mempunyai areal penanam sagu cukup luas sagu, bahkan diperkirakan sekitar 60% areal penanaman sagu dunia. Salah satu wilayah yang banyak ditemukan sagu adalah Pulau Seram, Maluku. Besarnya potensi sagu yang terdapat di Pulau Seram dapat dijadikan modal pengelolaan sagu bagi Indonesia. Namun informasi terkait sagu, terutama mengenai data spasial sagu masih kurang. Oleh karenanya dilakukan penelitian dengan tujuan mengidentifikasi habitat, menganalisis faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kesesuaian habitat serta menentukan pemodelan spasial kesesuaian habitat sagu yang tepat.

Penelitian didasarkan oleh penelitian sebelumnya yaitu oleh Botanri (2010) dengan menggunakan data berupa citra Lansat -5 TM terdiri dari path 107/row 062, path 107/row 063, path 108/row 062 dan path 109/row 062, yang direkam pada 6 Juli 2007, 17 Juli 2007, 15 Agustus 2007 dan 29 July 2007. Peta tematik lain yang digunakan antara lain: peta jenis tanah, peta sungai dan titik distribusi sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram Maluku serta citra ASTER GDEM Pulau Seram, Maluku, pengambilan pada 17 November 2011. Data tersebut diolah dengan menggunakan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS 9.1. Proses analisis spasial dari ASTER GDEM menghasilkan peta ketinggian dan kemiringan lereng. Sedangkan proses spectral enhancement pada citra Pulau Seram menghasilkan peta Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) Pulau Seram. Sehingga didapatkan faktor penentu kesesuaian yang digunakan yaitu: peta ketinggian, kemiringan lereng, jenis tanah, jarak dari sungai dan NDVI. Kemudian dengan SPSS 19.0 dilakukan analisis komponen utama dan analisis regresi logistik untuk meyusun model kesesuaian habitat berdasarkan kelima factor tersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Metroxylon spp. menyebar hampir merata di Pulau Seram Maluku. Metroxylon spp. dapat ditemukan pada daerah-daerah dengan karakteristik seperti: 1). Ketinggian tempat antara 0-250 meter diatas permukaan laut. 2). Kemiringan lereng yang datar yaitu 0 – 8%. 3). Pada jenis tanah Alluvial. 4). Jarak dari sungai < 300 m. 5). Dengan nilai NDVI kisaran -0,25 hingga 0,25. Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang didapat berdasarkan kedua analisis menunjukkan validasi 65,62% dengan perkiraan luas areal sagu sebesar 489.716,31 Ha untuk model kesesuaian berdasarkan analisis komponen utama dan 82,81% dengan perkiraan luas areal sagu sebesar 617.500,31 Ha untuk model kesesuaian berdasarkan analisis regresi logistik. Maka dapat dikatakan bahwa model kesesuaian berdasarkan analisis regresi logistik yang tepat digunakan untuk pembuatan pemodelan spasial kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku.

(4)

SUMMARY

SRI GOSLEANA. Spatial Modeling for Habitat Suitability of Sago (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku. Under Supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO

Sago (Metroxylon spp.) is one of tropical staple food in Indonesia. About 60% of sago plantations areas of the world is located in Indonesia. One of the area which is found sago is Seram Island, Maluku. The magnitude of sago, in Seram Island can be used as capital for sago management in Indonesia. Unfortunately, information on its habitat and spatial distribution are very limited. The objective of this research is to identify the habitats, analyze the physical factors that affect habitat suitability and determine the spatial modeling of habitat suitability for sago.

The study was based on previous research conducted by Botanri (2010). Analysis was made based on 4 scenes data of Landsat -5 TM imagery namely path 107/row 062, path 107/row 063, path 108/row 062 and path 109/row 062, which were taken on July 6th 2007, July 17th 2007, August 15th 2007 and July 29th 2007, respectively. Another thematics were soil type maps, river maps and sago distribution points (Metroxylon spp.) and ASTER GDEM imagery taken on 17 November 2011. The data were processed by the software ArcGIS 9.3 and Erdas 9.1. ASTER GDEM were analyzed to produce elevation and slope maps. Meanwhile Vegetation Index (NDVI) was generated based on Landsat-5 TM. Two technique statistical analysis were performed, namely principal component analysis and logistic regression by SPSS 19.0.

The result showed that Metroxylon spp. spread almost evenly on the Seram Island in Maluku. Metroxylon spp. can be found in areas with characteristics such as: 1).Altitude from 0 to 250 meters above sea level. 2). A flat slope or 0-8%. 3). On Alluvial soils. 4). The distance from the river <300 m. 5). With NDVI values range -0.25 to 0.25. Habitat suitability models for Metroxylon spp. showed the validation 65.62% with an estimated area of 489,716.31 hectares for sago suitability models based on principal component analysis and 82.81% with an estimated area of 617,500.31 hectares for sago suitability models based on logistic regression analysis . It can concluded that the suitable model for Metroxylon spp. habitat suitability on Seram Island, Maluku is the model based on logistic regression analysis.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemodelan Spasial

Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku” adalah

benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai Karya Ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Sri Gosleana E34070118

(6)

Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku

Nama : Sri Gosleana

NIM : E34070118

Menyetujui: Pembimbing I

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. NIP. 196209 18 198303 1 002

Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP.196203 16 198803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 195809 15 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang termuat dalam bentuk peta mengenai penyebaran dan kesesuaian habitat sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. Sehingga dapat menjadi acuan dalam pengelolaan sagu di Pulau Seram, Maluku dengan menggunakan permodelan spasial.

Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga besar harapan adanya kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya

Bogor, April 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Kediri pada tanggal 17 Agustus 1988 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sugito dan Siti Marzukah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 2 Kediri. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan organisasi mahasiswa, seperti pernah aktif di organisasi mahasiswa kedaerahan Kediri (KAMAJAYA). Kemudian setelah masuk departemen, penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM “Tarsius”) HIMAKOVA (2008-2011). Beasiswa yang pernah didapatkan oleh penulis selama kuliah di IPB antara lain adalah, beasiswa Alumni Peduli dari Himpunan Alumni SMA Negeri 2 Kediri, beasiswa Astaga dari Himpunan Alumni Angkatan Tiga Belas IPB, beasiswa Persatuan Orangtua Mahasiswa dan beasiswa Pertamina Foundation.

Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Pangandaran-SM Gunung Sawal, Jawa Barat (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2010). Selain itu juga penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB), Jawa Tengah (2011). Selain itu penulis juga melakukan Ekplorasi Flora Fauna dan Ekowisata (RAFLESIA) di CA Gunung Burangrang, Jawa Barat (2010) dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (2010) bersama HIMAKOVA.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku” di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan anugrah-Nya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Ibuku, Siti Marzukah, yang selalu menyayangi dan sabar mendidikku, Mas Adis, Dek Apri, Mba Siswi dan keluarga besar Rakidi atas dukungan, doa serta kasih sayang yang telah tercurah untukku.

2. Dr. Ir. Agus Hikmat M.Sc.F. dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu dan arahan dalam membimbing.

3. Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc sebagai dosen penguji dan Ir. Edhi Sandra, M.Si sebagai ketua sidang.

4. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.Si. selaku pembimbing akademik sejak masuk Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

5. Dr. Samin Botanri, yang telah bersedia memberikan data penelitian doktoralnya sebagai data dasar bagi penelitian ini.

6. Prof. H.M.H. Bintoro yang telah sudi meluangkan waktu untuk berbagi ilmu mengenai sagu di Indonesia.

7. Teman-teman Spatial Database Analysis Facilities/SDAF 44 (Irham, Reza, Agus, Mahdi, Age, Ardi dan Aga); Kak Beibi, Kak Arif, Kak Amri, Kak Age atas kerjasama dan bantuan yang diberikan.

8. Teman-teman KSHE 44 KOAK (Helarctos malayanus) atas kebersamaan dan rasa persaudaraan.

9. Teman-teman Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) “Tarsius” dan seluruh teman-teman pengurus HIMAKOVA.

10. Teman-teman Wisma Edelweis Bara 6 (Retno, Yusufa, Rischa, Nendy, Mey, Rinda, Mba Irriwad) atas kebersamaan dan kekeluargaan di wisma. 11. Sahabatku Irham Fauzi, Dwi Pravita Ganatri dan Nini Sriani atas semua

bantuan dan motivasi yang diberikan.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

RIWAYAT HIDUP……… ii

UCAPAN TERIMA KASIH……….. iii

DAFTAR ISI………... iv

DAFTAR TABEL. ………. v

DAFTAR GAMBAR……….. vi

DAFTAR LAMPIRAN………... vii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Tujuan Penelitian………. 2

1.3 Manfaat Penelitian………... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 3

2.1 Bioekologi Sagu………... 3

2.1.1 Klasifikasi………... 3

2.1.2 Morfologi……… 4

2.1.3 Ekologi……… 5

2.1.4 Penyebaran……….. 6

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)………... 7

2.2.1 Definisi SIG……….... 7

2.2.2 Aplikasi SIG dalam konservasi sumberdaya hutan... 7

BAB III METODE PENELITIAN……….…….... 9

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….………. 9

3.2 Alat dan Bahan.. ………. 9

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan………. 9

3.4 Metode Penelitian……… 9

3.4.1 Pengumpulan data……….. 9

3.4.2 Pengolahan data……….. 9

3.5 Analisis Data……….... 10

3.5.1 Analisis komponen utama (Priciple Component Analysis/PCA) ……… 10

(11)

3.5.2 Analisis regresi logistik (Logistic Regression

Analysis) ………. 11

3.5.2.1 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp…… 11

3.5.2.2 Kelas kesesuaian Metroxylon spp………….. 12

3.5.2.3 Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp……… 12

3.5.3 Validasi model……… 13

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN……….... 15

4.1 Kondisi Fisik……… 15 4.2 Kondisi Iklim………..…. 15 4.3 Topografi………. 16 4.4 Sumberdaya Air………... 16 4.5 Kondisi Biotik……….. 16 4.6 Kondisi Masyarakat………. 17

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………. 19

5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku……….. 19

5.2 Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.)……….. 21

5.2.1 Ketinggian tempat………... 22

5.2.2 Kemiringan lereng……….. 23

5.2.3 Jenis tanah………... 27

5.2.4 Jarak dari sungai………. 30

5.2.5 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)…. 32 5.3 Analisi Data………. 34

5.3.1 Analisis komponen utama (Priciple Component Analysis/PCA) ……… 34

5.3.1.1 Model kesesuaian habitat Metroxylon spp… 34 5.3.1.1 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp…. 36 5.3.2 Analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) ………. 39

(12)

5.3.2.2 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp…. 40 5.3.2.3 Pengujian kelayakan model kesesuaian

habitat Metroxylon spp……….. 41

5.3.3 Validasi model.………... 41

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……….... 44

6.1 Kesimpulan……….. 44

6.2 Saran……… 44

DAFTAR PUSTAKA………. 45

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Penyebaran sagu di Kepulauan Maluku……… 3

2 Penutupan lahan di Pulau Seram, Maluku……… 19

3 Luas tiap kelas ketinggian………. 22

4 Luas tiap kelas kemiringan lereng………. 23

5 Jenis tanah di Pulau Seram beserta luasannya……….. 27

6 Jarak dari sungai beserta luasannya……….. 30

7 Keragaman total komponen utama……… 35

8 Vektor ciri PCA………. 35

9 Koefisien tiap variabel kesesuaian habitat Metroxylon spp………. 35

10 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat……… 36

11 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal…….. 37

12 Koefisien regresi dan taraf signifikansi variable kesesuaian habitat Metroxylon sp…..……….. 39 13 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat……… 40

14 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon sp. beserta luas areal………. 41

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Morfologi Metroxylon spp……….………... 4

2 Tahapan pengerjaan peta NDVI……….………... 10

3 Bagan alir tahapan penelitian……….…………... 14

4 Peta tutupan lahan Pulau Seram, Maluku………….……… 20

5 Tegakan sagu …………..………. 21

6 Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai ketinggian.………. 23

7 Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai kemiringan lereng 24 8 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai ketinggian di Pulau Seram, Maluku……….………... 25

9 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku……… 26

10 Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai jenis tanah….……… 28

11 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai jenis tanah di Pulau Seram, Maluku……….……... 29

12 Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai jarak dari sungai... 30

13 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai jarak sungai di Pulau Seram, Maluku……… 31

14 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada NDVI di Pulau Seram, Maluku………... 33

15 Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai nilai NDVI………… 34

16 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku berdasarkan Analisis Komponen Utama………. 40

17 Peta pendugaan habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku berdasarkan Analisis Regresi logistik……….…………. 43

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Data Faktor kesesuaian untuk menyusun model Analisis

Komponen Utama (Priciple Component Analysis)………. 49 2 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19

untuk menyusun model analisis komponen utama (Principle

Component Analysis/PCA)………. 52

3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model regresi

logistik………. 53

4 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19

untuk menyusun model regresi logistik………... 59 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp……… 62 6 Foto-foto Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku di berbagai

lokasi………..…... ...

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sagu merupakan salah satu tumbuhan tropika yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan utama oleh masyarakat terutama di Asia Tenggara dan di Papua New Guinea (PNG). Pemanfaatan sagu sebagai bahan makanan utama masih dapat ditemui, meskipun sekarang ini beras merupakan bahan pangan yang utama bagi mayoritas penduduk Indonessia. Hal tersebut dapat ditemui di beberapa daerah bagian Indonesia timur seperti Maluku dan Papua.

Sagu yang merupakan komoditi pangan utama bagi masyarakat Indonesia bagian timur, pada dasarnya sangat potensial sebagai obyek diversivikasi pangan dan bioenergi. Sebagaimana disebutkan Bintoro (2003) bahwa produksi tepung sagu sangat besar, yaitu 200-400 kg pati/pohon, bahkan hingga 700 kg/pohon. Apabila pengusahaan sagu dilakukan secara intensif pada lahan-lahan yang sesuai, maka kebutuhan bahan pangan nasional tidak akan tergantung pada produksi beras saja. Selain sebagai bahan pangan, sagu memiliki banyak manfaat lainnya seperti sebagai bahan pembuat gula cair, penyedap makanan, bahan pembuat perekat, bahkan sebagai penghasil etanol.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memanfaatkan sagu untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan mempunyai areal penanam sagu cukup luas. Suryana (2007) menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai luas areal penanaman sagu yang diperkirakan sekitar 60% dari luas areal sagu di dunia. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bintoro (2002) yang mengemukakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan yang potensial sebagai tempat tumbuh sagu. Bahkan menurut Oates dan Hicks (2002), sejak abad ke 13 dan awal abad ke 14 sagu merupakan hasil pertanian yang utama dari daerah Mindanao, Borneo, Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Salah satu lokasi yang terdapat di Kepulauan Maluku yang banyak ditemukan tumbuhan sagu adalah Pulau Seram.

Besarnya potensi sagu yang terdapat di Kepulauan Maluku, khususnya Pulau Seram tersebut pada dasarnya dapat menjadi modal pengelolaan sagu bagi Indonesia. Namun data potensi sagu baik berupa data spasial ataupun temporal,

(17)

belum dapat diketahui secara pasti. Untuk data spasial, sebenarnya dapat diketahui dengan menggunakan data citra satelit, namun penggunaannya masih sangat terbatas, baik data persebaran ataupun kesesuaian habitat sagu. Padahal data mengenai persebaran dan kesesuaian habitat sagu dapat menjadi acuan untuk penentuan lahan yang berpotensi sebagai tempat tumbuh sagu. Sehingga pengembangan pemanfaatan sagu dapat dioptimalkan pada lahan-lahan yang potensial tersebut. Selain itu, pada umumnya sagu dapat tumbuh di tempat yang relatif datar dan kecenderungan masyarakat untuk membuka lahan tersebut sebagai lokasi pemukiman cukup tinggi. Oleh karenanya diperlukan penelitian untuk mendapatkan data persebaran sagu yang akurat sehingga dapat diketahui kesesuaian habitatnya dan pada akhirnya dapat dibuat suatu permodelan spasial mengenai kesesuaian habitat sagu. Dengan demikian akan didapatkan pengelolaan lahan untuk sagu yang optimal.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi karakteristik tempat tumbuh (habitat) sagu.

2. Menganalisis faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kesesuaian habitat sagu. 3. Menentukan pemodelan spasial kesesuaian habitat sagu yang tepat.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi untuk mengetahui penyebaran dan pengelolaan sagu di Pulau Seram, Maluku dengan menggunakan permodelan spasial.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Sagu 2.1.1 Klasifikasi

McClatchey et. al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H. Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M.

salomonensse (Warburg) Beccari, 5). M. vittiense (H. Wendland) H. Wendland ex

Bentham dan Hooker F, dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Penyebaran wilayah jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau di Micronesia dan Polynesia.

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis sagu yang tinggi. Di Maluku awalnya terdapat lima jenis sagu. Namun sekarang dapat ditemukan sembilan jenis sagu. Pertambahan ini dikarenakan terjadi penyerbukan silang pada jenis-jenis tersebut. Berikut ini disajikan beberapa jenis-jenis sagu dan lokasi penyebarannya di Kepulauan Maluku.

Tabel 1 Penyebaran sagu di Kepulauan Maluku

Tipe Sagu Nama Latin Penyebaran

Sagu Tuni Metroxylon rumphii Mart Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan

Sagu Ilhur M. sylvester Mart Piru, Amahai, Buru,

Werinama Seram, Aru, Oba, Bacan

Sagu Makanaru M. microcantum Mart Piru, Kairatu, Amahai, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan

Sagu Duri Rotan M. microcantum Mart Werinama, Seram, Kao, Bacan

Sagu Suanggi Werinama, Seram

Sagu Molat Berduri Piru

Sagu Molat Merah Berduri

Sagu Molat M. sagu Rottb Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan Sagu Molat Merah

(19)

Klasifikasi lebih lanjut dari tumbuhan sagu menurut USDA (2005), adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular) Superdivisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Klass : Liliopsida (monokotil)

Subkelas : Archidae

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae (Palmae) Genus : Metroxylon Rottb

Spesies : Metroxylon sagu Rottb (sago palm), M. rumpii, M.

sylvester, M. microcantum

2.1.2 Morfologi

Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan yang mengandung pati, kandungan pati dapat ditemukan pada bagian batang. Rumalatu (1981) menyebutkan bahwa tinggi batang pohon sagu berkisar 10-14 m, diameter antara 40-60 cm dan berat mancapai 1,2 ton. Tajuk pohon sagu pada umumnya terdiri dari 6 hingga 15 rangkaian daun dan setiap daun terdapat pelepah daun, tangkai, dan kira-kira terdapat 20 pasang helaian daun yang panjangnya berkisar 60-80 cm. Letak daun relatif berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 cm, panjang lembaran daun mencapai 1,5 m dan lebar daun sekitar 7 cm. Namun Nitta et al. (2006) menyebutkan bahwa panjang helaian daun pada tanaman sagu bisa mencapai 160 cm hingga 172 cm.

Kemudian pada bagian bunga, menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan tanaman hapaxantik (berbunga satu kali dalam satu siklus hidup) dan

Gambar 1 Morfologi Metroxylon spp. Sumber: Flach dan Rumawas (1996)

(20)

5

soboliferous (anakan). Bunga berpasangan dan penataan yang membentuk spiral, tiap pasang bunga terdiri dari satu bunga jantan dan satu bunga hermafrodit, dan lebih dari setengah bagian susunan bunga pada umumnya adalah bunga jantan. Bunga merupakan bunga trimerous dengan enam stamen. Sedangkan bagian akar tumbuhan sagu merupakan akar serabut dan terbagi menjadi dua bagian yaitu akar primer dan akar sekunder.

2.1.3 Ekologi

Pada umumnya sagu (Metroxylon spp.) dapat tumbuh pada lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Suhardi et al.(1999) menyebutkan bahwa lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam. Pertumbuhan sagu air tawar membutuhkan beberapa zat antara lain potasium, fosfat, kalsium dan magnesium.

Di daerah rawa pantai dengan salinitas tinggi, tumbuhan sagu masih dapat hidup, tumbuh berdampingan dengan nipah. Namun pertumbuhan sagu tidak optimal, seperti pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Ditambahkan oleh Mofu et al. (2005) diacu dalam Barahima (2006) bahwa tanaman sagu dapat tumbuh pada tanah rawa, gambut dan mineral. Selain itu, sagu juga dapat hidup pada lahan kering, lahan basah dan lahan sangat basah.

Menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan spesies tumbuhan daerah dataran rendah tropis yang lembab, secara alamiah dapat ditemui pada lahan dengan ktinggian hingga 700 m dpl. Kondisi tumbuh terbaik adalah pada suhu rata-rata 26o C, kelembaban relatif pada level 90% dan radiasi matahari sekitar 9 MJ/m2 per hari. Bintoro (2008) menambahkan, tanaman sagu dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 400 m dpl. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhan sagu terhambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian di atas 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 meter. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai pada ketinggian 1000 m dpl.

Pertumbuhan dan produksi tanaman sagu yang tumbuh pada tanah mineral dan tanah rawa atau gambut, menunjukkan bahwa pada tanah mineral tanaman

(21)

sagu dapat tumbuh lebih cepat dan menghasilkan pati lebih banyak dibanding tanaman sagu yang tumbuh pada tanah rawa. Sebagaimana dijelaskan oleh Bintoro (1999) bahwa di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas.

Menurut Suhardi et al. (1999), tanaman sagu banyak tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat berawa dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di hutan mangrove atau nipah. Selain itu sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial hidromorfik kelabu. Sedangkan kondisi tumbuh yang sesuai untuk tanaman sagu adalah pada suhu rata-rata sedikit diatas 25o C dengan kelembaban 90% dan radiasi matahari 900J/cm2/hari. Djumadi (1989) menyebutkan bahwa tanaman sagu dapat tumbuh di semua hutan hujan tropis dengan curah hujan berkisar 2000-4000 mm/tahun.

2.1.4 Penyebaran

Secara astronomis, sagu dapat tumbuh diantara 10o LS-15o LU dan 90o -180o BT (Suhardi et al. 1999). McClatchey (2006) menyebutkan bahwa sagu dapat ditemukan di hutan hujan tropis, hutan dataran tinggi dan hutan gambut Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau vulkanik di Micronesia dan Polynesia. Tanaman sagu juga ditemukan di areal gambut di Thailand, semenanjung Malaysia, Indonesia dan Philipina. Selanjutnya McClatchey percaya bahwa sagu endemik di Papua New Guinea, New Britain dan pulau-pulau di Maluku. Namun Becari (1981) diacu dalam Barahima (2006) berkesimpulan bahwa pusat biodiversitas tanaman sagu terdapat di kepulauan Maluku.

Menurut Kertopermono (1996), luasan lahan sagu pada beberapa pulau di Indonesia yaitu: Papua seluas 1.471.232 Ha, Sulawesi seluas 45.540 Ha, Kalimantan seluas 2.795 Ha, Sumatera seluas 31.875 Ha dan Maluku seluas 41.949 Ha. Lebih spesifik pada Maluku, Papilaya (2009) mencatat persebaran sagu khusus untuk Propinsi Maluku adalah sebagai berikut, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan 9.250 Ha (29,50% dari luas Provinsi Maluku); Kabupaten Seram Bagian Barat dengan 8.410 Ha; Kabupaten Maluku Tengah 6.425 Ha; Kabupaten Buru 5.457 Ha; Kabupaten Aru 1.318 Ha; Kodya Ambon 255 Ha dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat seluas 245 Ha.

(22)

7

Sagu merupakan tumbuhan asli Indonesia. Sagu dapat tumbuh dengan baik dari daerah Filipina bagian selatan sampai Pulau Rote atau dari kisaran lintang 10o LU – 10o LS dan dari Kepulauan Pasifik (Barat Indonesia) sampai ke India Bagian Timur (Timur Indonesia). Di kawasan tersebut hutan sagu dapat ditemukan pada lahan-lahan dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl, di sepanjang tepi sungai, di tepi danau ataupun di daerah rawa-rawa dangkal. (Bintoro, 2008)

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.2.1 Definisi SIG

Menurut Prahasta (2001), Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu sitem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah informasi yang yang dimaksud mencakup tiga hal, yaitu:

1. Pengorganisasian data dan informasi. 2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya, serta analisa-analisa spasial lainnya.

Sistem Informasi Geografis memiliki fungsi sebagai fungsi analisis. Fungsi analisis tersebut ada dua macam yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial antara lain: klasifikasi, network (jaringan),

overlay, buffering, 3D analisis dan Digital Image Processing. Sedangkan fungsi

analisis atribut terdiri dari operasi dasar sitem pengelolaan basis data (Data Based

Management System) dan perluasannya.

2.2.2 Aplikasi SIG dalam konservasi sumberdaya hutan

Penggunaan SIG dalam bidang konservasi sumberdaya hutan sudah mulai digunakan dalam beberapa topik penelitian. Salah satunya adalah mengenai kesesuaian habitat baik tumbuhan maupun satwa. Penelitian dengan judul “Pemetaan Kesesuian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis” (Gamasari, 2007). Penelitian ini menggunakan peta dasar berupa peta: citra landsat, Peta CA dan TWA Pangandaran, peta tata batas, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungaidi CA dan TWA Pangandaran.

(23)

Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, penelitian ini menghasilkan peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di CA dan TWA Pananjung Pangandaran beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah). Kemudian, dengan objek yang sama yaitu Rafflesia patma Blume namun di lokasi lain, dilakukan penelitian oleh Hediyanti (2009). Penelitian tersebut berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Raflessia patma Blume. di Cagar Alam Leuweng Sancang Garut Jawa Barat”, dengan menggunakan peta dasar yaitu: Citra lansat, peta topografi, peta batas CA, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungai. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis komponen utama dengan keragaman kumulatif sebesar 84,506%. Hasil penelitian berupa peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuwung Sancang Garut Jawa Barat beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah) dengan nilai validasi sebesar 93%.

Disamping kesesuaian habitat tumbuhan, SIG juga dapat diaplikasikan pada penelitian dengan objek satwa. Sebagai contoh Koeswara (2010) dengan penelitian “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat”. Penelitian ini menggunakan data dasar berupa Peta Tata Batas Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Peta Rupa Bumi Indonesia, Citra Landsat TM5 path 127 row 61, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari tepi hutan dan peta NDVI (Normalized Difference

Index). Analisis yang digunakan adalah analisis komponen utama dan hasil yang

didapatkan adalah Model sebaran spasial habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat dengan validasi sebesar 42,86%.

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian adalah bulan September - November 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : seperangkat PC beserta software ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.1 dan SPSS 19.0. Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian yaitu Citra Landsat TM 5, peta-peta digital berupa peta batas administrasi, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta sistem lahan, peta jenis tanah, peta iklim, peta buffer sungai dan peta distribusi sagu di Pulau Seram, Maluku.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; Citra Landsat, peta-peta digital berupa peta batas administrasi, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta sistem lahan, peta jenis tanah, peta iklim, peta buffer sungai dan peta distribusi sagu di Pulau Seram, Maluku.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari peneliti Botanri (2010). Data yang digunakan berupa peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta buffer sungai, peta jenis tanah, dan peta Normalization Difference

Vegetation Index (NDVI).

3.4.2 Pengolahan data

Pengolahan data yang dilakukan yaitu berupa pembuatan peta ketinggian dan kelerengan berdasarkan ASTER GDEM dan perhitungan data kerapatan vegetasi berdasarkan citra Landsat-5 TM. Pembuatan peta ketinggian dan

(25)

kelerengan tersebut dilakukan dengan analisis spasial pada citra ASTER GDEM di ArcGIS 9.3. Pada citra landsat dilakukan pengukuran dan pemetaan kepekatan warna hijau vegetasi dengan menggunakan spectral enhancement di ERDAS 9.1. Metode ini disebut Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) atau Band 3 dan inframerah dekat (Near Infrared) atau Band 4 (Weier dan Herring 2010). Pengolahan data tersebut menggunakan Software Erdas Imagine 9.1. Tahapan pembuatan peta NDVI, dapat dilihat dibawah ini (Gambar 2).

Berdasarkan deskripsi dari NDVI diatas, maka untuk perhitungan NDVI dapat dirumuskan sebagai berikut:

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis komponen utama (Principle Component Analysis)

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 15.0. Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang

Citra Landsat Pulau Seram

Koreksi Geometrik

Penyaringan Awan

Pemotongan Sesuai Area Studi

Pemilihan Indeks Nilai Spektral

Peta NDVI

(26)

11

paling berpengaruh terhadap sebaran Metroxylon spp., berdasarkan letak ditemukan Metroxylon spp. pada masing-masing layer yaitu ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai dan NDVI. Selanjutnya dari hasil PCA dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran

Metroxylon spp.

Hasil analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variabel yang diteliti untuk analisis spasial sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut:

F(x) = ax1 + bx2 + cx3 + dx4 + ex5

Dengan F(x) adalah indeks kesesuaian habitat; a-e adalah nilai bobot setiap variable; x1 adalah variabel ketinggian; x2 adalah variabel kemiringan lereng; x3 adalah variabel jenis tanah: x4 adalah variabel buffer sungai; dan x5 adalah variabel NDVI.

3.5.2 Analisis regresi logistik

Analisis regresi logistik adalah salah satu pengembangan dari model fungsi regresi pada umumnya. Analisis regresi logistik digunakan dalam permodelan ini karena analisis ini telah umum penggunaannya untuk data variabel respon yang bersifat kategori dan data variabel masukan berupa data kontinyu (Whittaker 1990). Oleh karena itu untuk menunjukkan hubungan variabel masukan (ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai, NDVI dan jenis tanah) dengan variabel respon (distribusi Metroxylon spp.) maka digunakan model regresi logistik untuk kesesuaian habitat sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku.

3.5.2.1 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp.

Data-data dalam analisis pengaruh variabel yang diuji dengan jumlah

Metroxylon spp. berupa continous multivariate data yang terdiri atas, ketinggian,

kemiringan lereng, buffer sungai, NDVI dan jenis tanah serta distribusi sagu (Metroxylon spp.). Oleh karenanya, digunakan analisis regresi logistik. Model persamaan regresi logistik yang digunakan adalah sebagai berikut,

5

5 Dengan, P : Peluang Metroxylon spp.

(27)

a : konstanta bn : koefisien

X1 : variabel ketinggian

X2 : variabel kemiringan lereng X3 : variabel jenis tanah

X4 : variabel jarak dari sungai X5 : variabel NDVI.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 15.0. Hasil penghitungan menggunakan regresi logistik berupa persamaan dengan diketahui besar konstanta (a) dan koefisien (bn). Berdasarkan persamaan tersebut, maka dengan mengguanakan software ArcGIS 9.3, digabungkan berbagai variabel bebas (Xn) sehingga didapatkan peta kesesuaian habitat Metroxylon spp..

3.5.2.2 Kelas kesesuaian Metroxylon spp.

Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. akan digolongkan ke dalam tiga kelas yaitu, kesesuaian rendah, sedang dan tinggi. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat sebagaimana disebutkan Supranto (2000) diacu dalam Putri (2010), dihitung dan dinilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat. Kalimat matematika dari penentuan selang dapat dilihat sebagai berikut:

Dengan, Smaks : nilai indeks kesesuaian habitat tertinggi Smin : nilai indeks kesesuaian habitat terendah K : banyaknya kelas keseuaian habitat

3.5.2.3 Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp.

Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat dengan analisis regresi logistik dapat dilakukan dengan menurunkan nilai -2 Log-likelihood serta uji

Hosmer and Lemeshow hasil pengolahan data menggunakan SPSS 15.0

berdasarkan penurunan nilai -2 Log-likelihood, model diterima jika signifikansi penurunan nilai -2 Log-Likelihood kurang dari 0,05.

Sedangkan dengan uji Hosmer and Lemeshow, maka akan diketahui kesesuaian habitat Metroxylon spp. dengan model yang dibangun. Variabel bebas (jenis tanah, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai dan NDVI)

(28)

13

dinyatakan sesuai dengan model jika signifikansi dari hasil Hosmer and

Lemeshow lebih besar dari 0,05. Kemudian kemampuan variabel yang digunakan

dalam model untuk menjelaskan kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat ditunjukkan dengan nilai Negelkerke R2.

3.5.3 Validasi model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan menggunakan titik Metroxylon spp. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu Metroxylon spp. yang terdapat pada tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh individu yang digunakan untuk validasi.

Dengan, n adalah jumlah M. sagu Rottb pada satu kelas kesesuaian dan N adalah jumlah Metroxylon spp. secara keseluruhan.

(29)

P eta ke ti nggian P eta ke mi ringa n ler eng P eta buf fe r sung ai P eta N DV I P eta je nis t ana h S umm ariz e zone Ana li sis Kompone n Uta ma Ana li sis R egr esi Logi sti k S koring Ove rla y Model K ese suai an Ha bit at M etroxy lon spp. V ar ia ble signif ika n Uji Ke laya ka n Mod el Ke se suaia n Ha bit at M etrox ylon spp. P eta K ese suai an ha bit at M etroxy lon spp. Vali d as i Da ta P erse ba ra n M etroxy lon spp. Akur asi M od el Dite rima Tidak Ya P eta K ese suai an ha bit at M etroxy lon spp. Ga mbar 3 B ag an Alir Ta ha pa n P ene li ti an.

(30)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik

Secara administratif, Pulau Seram merupakan wilayah Provinsi Maluku. Pulau ini terbagi menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sedangkan secara astronomis, Pulau Seram terletak antara 2o 69’ LS – 4o 38’ LS dan antara 127o 44 BT – 131o 32 BT. Pulau Seram diapit oleh perairan Laut Banda dan Laut Seram. Pulau ini merupakan pulau terbesar di provinsi Maluku dengan luasan mencapai 1.862.500 Ha.

4.2 Kondisi Iklim

Kondisi iklim di Pulau Seram menurut Zona Agroklimat dan Klasifikasi Oldeman (LTA-72, 1986 dalam Parera 2005) memliki karakteristik iklim sebagai berikut:

1. Dataran rendah (<500 m dpl) dengan temperatur 25,8o–27,2o C, curah hujan antara 1000–4500 mm/tahun. Pada zona ini terdapat wilayah dengan tipe hujan yang merata dan wilayah dengan bulan basah antara 3–9 bulan pertahun.

2. Dataran tinggi (> 500 m dpl) dengan temperatur sekitar 22oC, curah hujan antara 3000–4000 mm/tahun dan bulan basah lebih dari 9 bulan. Dibagian selatan Pulau Seram adalah iklim laut tropis dan iklim muson. Di Pulau Seram, musim Timur/Tenggara berlangsung bulan Mei – April dan memuncak pada bulan Juni – Agustus, dimana banyak turun hujan.

Curah hujan tahunan di Pulau Seram berkisar antara 2000-4000 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terdapat di sekitar Teluk Laut, Kecamatan Werinama. Curah hujan semakin rendah ke arah utara dan timur, demikian juga ke arah barat. Di ujung pulau bagian barat juga mempunyai curah hujan yang relatif tinggi mencapai 3000–3500 mm/tahun. Pada 10 tahun terkhir curah hujan rata-rata mencapai 2.903 mm/tahun serta hari hujan rata-rata 212,60 hari/tahun dan jumlah hari hujan 22,9 hari. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juni

(31)

dengan rata-rata 528,04 mm/bulan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Nopember dengan rata-rat 47,28 mm/bulan dan jumlah hari hujan 16,10 hari.

4.3 Topografi

Wilayah Pulau Seram memiliki topografi atau ketinggian yang cukup bervariasi. Secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu 0-500 m dpl, 500-1000 m dpl, dan lebih dari 1000 m dpl. Dilihat dari ketinggiannya, wilayah Pulau Seram sebagian besar didominasi oleh wilyah dengan ketinggian 0-500 m dpl yaitu seluas 1.226.120 ha, kemudian wilayah dengan ketinggian 500-1000 m dpl seluas 284.130 ha dan wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl seluas 94.995 ha. Karakteristik ketinggian tersebut merupakan gambaran umum kondisi keseluruhan kabupaten yang terdapat di Pulau Seram, dimana wilayah dengan ketinggian antara 0-500 m dpl mendominasi.

4.4 Sumberdaya Air

Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi makhluk hidup. Berdasarkan keberadaannya, air dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) air permukaan, (2) air tanah dan (3) air hujan. Pulau Seram memiliki debit air yang cukup besar karena memiliki luas lahan dan hutan yang cukup besar, juga dengan curah hujan yang cukup besar yaitu antara 2000-4000 mm/tahun.

Sumber air permukaan terdapat dalam jumlah yang besar karena Pulau Seram memilik ± 98 sungai yang tersebar di seluruh wilayah dengan debit air yang cukup bear dan mengalir sepanjang tahun, sedangkan sumberdaya air tanah, tergolong daerah dengan air tanah yang langka. Hanya saja di sepanjang pantai pada beberapa wilayah, air tanah tergolong cukup, terutama pantai utara dan daerah Masohi. Di wilayah ini air tanah berpotensi sedang dengan debit sumur pada umumnya sangat kecil yaitu kurang dari 5 liter/detik.

4.5 Kondisi Biotik

Kondisi lingkungan biotik mencakup potensi sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayatinya. Pulau Seram memiliki iklim tropis basah, sehingga hutan dapat tumbuh dengan baik. Hasil hutan yang utama adalah kayu dan hasil nonkayu antara lain damar, madu, gaharu, kayu putih dan bambu.

(32)

17

Berbagai jenis flora dapat tumbuh subur di Pulau Seram. Sumberdaya flora yang terdapat di Pulau Seram antara lain, pohon kenari (Canangium sulvestre), Angsana (Pterocarpus indicus), Leda/ampupu (Eucalyptus deglupta), jambu-jambuan (Eugenia sp.), Kayu malam (Diospyros hermaproditica), jenitai (Eleocarpus sphaericus), Kasei (Pometia pinata), agatis (Agathis damara), sengon (Paraserienthes falcataria), merbau (Instia bijuga), medang (Litsea sp.), kayu putih (Melaleuca cajuput), rotan, bambu, nipah (Nypa sp.) dan sagu (Metroxylon spp.). Pulau Seram merupakan pusat asal usul tegakan alam sengon dan kayu putih. Selain itu Pulau Seram merupakan lahan yang potensial untuk tempat tumbuh tumbuhan sagu, mengingat Maluku merupakan salah satu pusat persebaran sagu di Indonesia.

Keanekaragaman spesies satwa di Pulau Seram sedang. Mamalia sedikitnya terdapat 80 spesies dengan 14 spesies (17,5%) diantaranya adalah endemik Maluku. Terdapat 41 spesies reptil endemik Maluku. Terdapat 450 spesies burung dengan 90 spesies (19,80%) merupakan spesies endemik Maluku. Beberapa satwa yang terdapat di Pulau seram antara lain : kuskus (Phelanger

orientalis dan Ph. maculatus), babi hutan (Sus celebensis), musang luwak

(Paradoxurus hermaproditus), rusa timor (Cevus timorensis), kanguru pohon atau wallaby (Tylogale spp.), kakatua seram (Cacatua mollucensis), kakatua raja (Probosciger atterimus), kakatua jambul kuning besar (Cacatua galerita tritton), penyu hijau (Celonia mydas), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis) dan kadal panana (Tiliqua gigas).

4.6 Kondisi Masyarakat

Masyarakat yang tinggal di Pulau Seram, mayoritas adalah masyarakat pendatang. Masyarakat tersebut datang melalui program transmigrasi yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Penduduk asli yang masih tinggal di Pulau Seram adalah Suku Alauru yang pada umumnya mereka tinggal di Pulau Seram Bagian Timur.

Jumlah penduduk Pulau Seram secara keseluruhan berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2009) adalah 617.359 jiwa. Jumlah tersebut terbagi kedalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tengah (Seram Bagian Tengah) 370.931 jiwa, Kebupaten Seram Bagian Barat 159.719 jiwa dan

(33)

Kabupaten Seram Bagian Timur 86.709 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Islam 66,45% dan Kristen Protestan 31,69%. Tingkat pendididkan pada umumnya adalah Sekolah Menengah Pertama yaitu 37,23%. Mata pencaharian utama bagi penduduk Pulau Seram adalah petani padi, para petani tersebut pada umumnya adalah penduduk transmigran dari Pulau Jawa (Badan Pusat Statistik 2009).

(34)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku

Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti sebelumnya, berdasarkan Citra Landsat TM5 path/row 107/062 tanggal 6 Juli 2007, 107/063 tanggal 17 Juli 2007, 108/062 tanggal 15 Agustus 2007 dan 109/062 tanggal 29 Juli 2007. Citra tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 9 kategori, yaitu unclassified(di luar Pulau Seram, hutan, mangrove, kebun campuran, lahan terbangun, badan air, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan), dengan nilai overall classification accuracy yaitu 76%. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 2:

Tabel 2 Penutupan lahan di Pulau Seram, Maluku

No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase Luas (%)

1. Hutan 1.194.915,06 68,72 2. Mangrove 13.446,27 0,78 3. Kebun Campuran 30.197,07 1,74 4. Lahan Terbangun 6.125,94 0,35 5. Sagu 18.239,76 1,05 6. Tanah Terbuka 111.158,91 6,39 7. Air 37.222,92 2,14

8. Tidak Ada Data 327.442,23 18,83

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa hutan memiliki luasan areal tertinggi dari tipe tutupan lahan yang lainnya yaitu 68,72% atau sebesar 1.194.915,06 Ha. Lahan terbangun memiliki areal yang terendah yaitu 0,35% atau sebesar 6.125,94 Ha. Sedangkan untuk luasan areal sagu yang ditemukan yaitu 18.239,76 Ha atau 1,05%. Luasan ditemukannya tumbuhan sagu tersebut terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, dan lembah-lembah bukit. Untuk lebih jelasnya, penutupan lahan di Pulau Seram tersaji pada Gambar 4.

(35)

Ga mbar 4 P eta p enutupa n laha n P ulau Ser am Mal uku .

(36)

21

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, disertasi oleh Botanri (2010), didapatkan peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Peta distribusi Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku dapat dilihat pada Gambar 4. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Menurut Botanri (2010) peta distribusi sagu tersebut jika dikaitkan dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu: 1) lahan datar-curam, 2) dekat pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan 5) pada ketinggian 0-250 m dpl. Sifat-sifat tersebut kemudian dijadikan indikator untuk menentukan lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Berikut disajikan beberapa foto sagu yang menjadi contoh pengambilan titik distribusi sagu, yaitu sagu yang tumbuh pada dataran dan di pinggir sungai.

a b

Gambar 5 Tegakan Metroxylon spp. : a) Tegakan sagu di dataran dan b) Tegakan sagu di pinggir sungai. Sumber : Prasetyo (2009), dokumen pribadi.

5.2 Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Metroxylon spp.

Faktor-faktor penyusun dalam habitat atau faktor yang mempengaruhi habitat satu spesies dapat dipetakan dan dianalisis hubungan antara spesies dengan faktor-faktor habitatnya (Miller 1996). Sehingga faktor-faktor habitat yang mempengaruhi kesesuaian habitat suatu spesies dalat juga dipetakan dan dianalisis hubungan antara faktor-faktornya kemudian dibuat suatu model kesesuaian habitat

(37)

dari spesies tersebut. Berlaku juga untuk spesies Metroxylon spp. yang terdapat di Pulau Seram, Maluku. Faktor penentu kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang digunakan dalam penelitian ini ada lima faktor antara lain ketinggian tempat, kemiringan lereng, jenis tanah, jarak dari sungai dan NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index).

5.2.1 Ketinggian tempat

Faktor topografi yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah bergunung adalah ketinggian, kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari (Titshal et al. 2000 diacu dalam Putri 2010). Dalam penelitian ini, faktor topografi yang digunakan adalah ketinggian dan kemiringan lereng. Ketinggian Pulau Seram dapat diamati dari peta DEM (Digital Elevation Model), kemudian peta tersebut diklasifikasikan ketinggiannya menjadi beberapa kelas ketinggian. Peta ketinggian menunjukkan bahwa Pulau Seram memiliki 51,39% wilayah dengan ketinggian 0-250 m dpl, 23,33% wilayah dengan ketinggian 250-500 m dpl, dan sisanya 25,28% adalah wilayah dengan ketinggan > 500 m dpl (Tabel 3).

Tabel 3 Luas tiap kelas ketinggian

N0. Kelas Ketinggian (m dpl) Luas (Ha) % Luas

1 0 - 250 m dpl 903426.14 51.39

2 250 - 500 m dpl 410144.98 23.33

3 > 500 m dpl 444363.50 25.28

Ketinggian suatu wilayah berpengaruh terhadap spesies yang dapat tumbuh di wilayah tersebut. Tumbuhan Metroxylon spp. dapat ditemui hingga pada ketinggian 500 m dpl (Flach 1983). Meskipun pada kenyataan di alam, masih ditemukan Metroxylon spp. hingga ketinggian mencapai 1000 m dpl, namun hal tersebut relatif jarang. Karena pada ketinggan >400 m dpl pertumbuhannya akan lambat (Bintoro 2008). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa berdasarkan faktor ketinggian tempat pulau Seram memiliki potensi yang tinggi sebagai tempat tumbuh sagu.

Berdasarkan data titik lokasi Metroxylon spp. yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta ketinggian sehingga didapatkan sebaran titik Metroxylon spp. pada tiap kelas ketinggian (gambar 8). Titik Metroxylon spp. sebanyak 84

(38)

23

atau 80,77 % ditemukan pada kelas ketinggian 0-250 m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat Gambar 6.

Gambar 6 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian.

5.2.2 Kemiringan lereng

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kemiringan lereng termasuk salah satu dari faktor utama dari topografi yang digunakan dalam penyusunan model kesesuaian habitat sagu pada penelitian ini. Peta kemiringan lereng Pulau Seram didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 % (datar), kemiringan 8-15 % (landai), kemiringan 15-25 % (agak curam), kemiringan 25-40 % (curam), kemiringan > 40 % (sangat curam). Lebih lanjut untuk kelas kemiringan beserta luasannya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas tiap kelas kemiringan lereng

No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) % Luas

1 0-8 % 632.001,49 36,07

2 8-15 % 519.462,60 29,65

3 15-25 % 430.410,71 24,56

4 25-40 % 147.529,03 8,42

5 > 40% 22.728,32 1,30

Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan 0-8 %, memiliki luasan terbesar yaitu 632.001,49 Ha atau sekitar 36,07% dari luas keseluruhan Pulau Seram.

0 20 40 60 80 100 0 - 250 m dpl (%) 250 - 500 m dpl (%) > 500 m dpl (%) 80.77 10.58 8.65

(39)

Secara umum untuk kemiringan 0-40% di Pulau Seram yaitu seluas 1.729.403,83 Ha atau 98,70% dari luas total dari Pulau Seram. Luasan terendah yaitu 1,30 % atau 22.728,32 Ha untuk kemiringan > 40%. Botanri (2010) menyatakan bahwa kondisi kemiringan yang sesuai untuk tempat tumbuh Metroxylon spp. adalah 0-40%, pada kemiringan lereng yang lebih dari 40% tidak sesuai bagi pertumbuhan

Metroxylon spp.. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Seram yang memiliki 98,70

% luas dengan kemiringan lereng 0-40%, merupakan tempat tumbuh yang baik bagi Metroxylon spp.

Gambar 7 merupakan grafik yang memuat jumlah Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan menunjukkan bahwa sebanyak 92 titik atau 88,46 % ditemukan berada pada kemiringan lereng 0-8%, 9 titik pada kemiringan lereng 8-15% dan 1 titik pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%, sedangkan pada kemiringan >40% tidak ditemukan tumbuhan sagu.

Gambar 7 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan, kemudian dioverlaykan dengan peta kemiringan lereng. Sehingga dapat ditunjukkan distribusi Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Overlay titik-titik lokasi sagu dengan peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 10.

0 20 40 60 80 100 0-8 % 8-15% 15-25% 25-40% >40% 88.46 9.62 0.96 0.96 0

Kelas kemiringan lereng %

(40)

25 Ga mbar 8 P eta s eba ra n ti ti k M etroxy lon spp. pa da be rba ga i k eti nggian di P ulau Ser am, M aluku .

(41)

Ga mbar 9 P eta s eba ra n ti ti k Me troxylon spp. pada be rba g ai k ele re nga n di P ulau Ser am Maluku .

(42)

27

5.2.3 Jenis tanah

Arsyad (2006) mendefinisikan tanah sebagai suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas yang mempunyai sifat dan perilaku dinamik. Tanah terbentuk secara alami oleh hasil kerja interaksi antara iklim, dan jasad hidup terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan waktu. Pulau Seram pada umumnya terdiri dari jenis tanah Alluvial, Phylite, Sandstone, Limestone. Jenis-jenis tanah yang terdapat di Pulau Seram beserta luasannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tanah di Pulau Seram beserta luasannya

No. Jenis Tanah Luas (Ha) % Luas

1 Alluvial 301.520,98 17,33 2 Basalt 54.528,76 3,13 3 Clay 260.461,52 14,97 4 Coral 6.012,48 0,35 5 Granite 2.490,67 0,14 6 Limestone 286.537,81 16,47 7 Marl 109.094,92 6,27 8 Phylite 344.632,43 19,81 9 Sandstone 298.241,45 17,14 10 Schist 71.549,81 4,11 11 Serpentinite 4.821,48 0,28

Jenis tanah aluvial memiliki luasan 301.520,98 Ha atau 17,33% dari seluruh luas Pulau Seram. Luasan tertinggi yaitu jenis tanah Phylite dengan luas sebesar 344.632,43 Ha atau 19,81% dari luas keseluruhan Pulau Seram. Kemudian luasan terendah yaitu jenis tanah granite dengan luas 2.490,67 Ha atau sebesar 0,14% dari luas Pulau Seram. Metroxylon spp. dominan tumbuh pada tanah alluvial (96,09%) dibandingkan pada tanah jenis lainnya yaitu sebesar 3,91% (Gambar 10).

(43)

Gambar 10 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jenis tanah.

Hampir keseluruhan titik Metroxylon spp. yang ditemukan terdapat pada jenis tanah alluvial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bintoro (1999), jenis tanah yang memungkinkan sagu untuk tumbuh dengan baik adalah pada tanah vulkanik , podzolik merah kuning, alluvial dan hidromofik. Wiranegara (2000) menjelaskan bahwa tanah alluvial merupakan jenis tanah muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk alluvium, dengan tekstur beraneka ragam, struktur belum terbentuk, konsistensi dalam keadaan basah lekat dan memiliki tingkat kesuburan sedang hingga tinggi.

Ciri-ciri tanah aluvial tersebut dapat dikatakan sepadan dengan jenis tanah Entisol dan Inceptisol pada sistem klsifikasi tanah menurut USDA. Foth (1988) mendeskripsikan jenis tanah Entisol sebagai tanah baru (recent soil) yang dicirikan oleh kenampakan kurang muda dan tanpa horizon genetik alamiah atau hanya memiliki horizon permulaan, bahan penyusunnya berasal dari bahan endapan baru yang terbawa olah aliran permukaan dari daerah yang lebih tinggi. Pada Inceptisol, tanah permulaan (inceptum soil) yang dicirikan dengan sudah mulai berkembangnya horizon genetik, bahan penyusunnya dari endapan baru yang berlapis-lapis. Ciri-ciri jenis tanah tersebut cukup mendukung untuk ketersediaan kebutuhan nutrisi pertumbuhan sagu. Sebagaimana dikatakan Bintoro (2010) bahwa lingkungan yang tumbuh yang baik untuk sagu adalah daerah yang agak berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam.

0 20 40 60 80 100

Aluvial (%) Phyllite; schist; gneiss; sandstone (%) Limestone; alluvium, recent riverine (%) 96.09 2.34 1.56 Jenis tanah %

(44)

29 Ga mbar 11 P eta s eba ra n M etroxy lon spp pa d a be rba ga i j enis t ana h di P ula u S era m Maluku .

(45)

5.2.4 Jarak dari Sungai

Air merupakan kebutuhan yang vital bagi makhluk hidup. Salah satu sumber air permukaan di alam adalah sungai. Pada umumnya banyak ditemukan tumbuhan yang tumbuh berada di sekitar sungai. Hal ini terkait dengan kebutuhan hidupnya terhadap air. Tidak terkecuali bagi Metroxylon spp., air merupakan kebutuhan vital. Haryanto dan Pangloli (1992) diacu dalam Bintoro (2010) menyatakan Metroxylon spp. tumbuh di daerah rawa yang berair tawar, rawa bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi.

Berdasarkan data luasan daerah yang berada pada jarak tertentu dari sungai yang terdapat di Pulau Seram. Jarak 0-300 m memiliki luasan sebesar 475. 083,36 Ha atau sebesar 27,03% luas Pulau Seram. Luasan terbesar yaitu pada jarak 300-600 m dengan 914.092,33 Ha atau 52% luas Pulau Seram (Tabel 6). Tabel 6 Jarak dari sungai berikut luasannya

No. Jarak Sungai Luas % Luas

1 0 - 300 m 475.083,36 27,03

2 300 - 600 m 914.092,33 52

3 > 600 m 368.758,93 20,98

Hasil analisis peta sungai Pulau Seram dengan titik Metroxylon spp. menggunakan Euclidean distance dalam ArcGIS, didapatkan sebaran titik

Metroxylon spp. terhadap sungai seperti tersaji pada Gambar13. Sedangkan untuk

jumlah titik Metroxylon spp. sample terhadap sungai tersaji pada Gambar 12

Gambar 12 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jarak dari sungai. 0 20 40 60 80 100 0 - 300 m 300 - 600 m > 600 m 60.94 28.13 10.94

Jarak dari sungai %

(46)
(47)

32

Gambar 12 menunjukkan bahwa titik Metroxylon spp. banyak ditemukan pada jarak 0-300 m dari sungai yaitu sebanyak 60,94 %, kemudian pada jarak 300-600 m sebanyak 28,13 % dan terakhir pada jarak lebuh dari 600 m sebanyak 10,93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa Metroxylon spp. memiliki kecenderungan menyukai habitat yang tidak terlalu jauh dari sungai. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Metroxylon spp. membutuhkan cukup air bahkan lebih menyukai tempat berair seperti rawa air tawar, daerah berlumpur namun tidak sampai merendam akar napasnya. Jika akar napas terendam maka dapat menganggu pertumbuhan Metroxylon spp. sebagaimana dikatakan oleh Sitaniapessy (1996) bahwa bila akar napas Metroxylon spp. terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan dan pembentukan karbohidrat.

5.2.4.1 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) digunakan untuk

mengetahui tutupan vegetasi suatu kawasan. NDVI merupakan indeks yang dapat menunjukkan tutupan vegetasi dengan metode standar yaitu membandingkan tingkat kehijauan pada image (Boone 2000). Ditambahkan oleh USGS (2000), bahwa NDVI telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengukur dan memantau pertumbuhan tanaman (vigor), tutupan vegetasi, dan produksi biomassa berdasarkan citra multispektral. Image yang digunakan dalam pembangunan NDVI ini adalah citra landsat TM5 Pulau Seram, sebanyak 4 scene yaitu path 107/row 062; path 107/row 063; path 108/row 062; path 109/row 062.

NDVI Pulau Seram memiliki kisaran nilai pada -0,921569 hingga 0,992188 (Gambar 14). NDVI sendiri dihitung berdasarkan besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat yang terpantul dari tumbuhan hijau. Berdasarkan data sebaran titik Metroxylon spp. dapat diketahui bahwa pada umumnya Metroxylon spp. menyukai dareah dengan nilai NDVI pada kisaran hingga 0,25. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7 yang menunjukkan jumlah sebaran Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI.

Ga mbar 13 P eta s eba ra n ti ti k M etroxy lon spp. pa da be rba g ai j ar ak da ri su nga i di P ulau Ser am Maluku

(48)

33 Ga mbar 14 P eta s eba ra n ti ti k M etroxy lon spp pa da be rba g ai ni lai ND VI di P ulau Ser am Maluku .

(49)

Gambar 15 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI.

5.3 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua analisis data yaitu Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis/PCA) dan Analisis Regresi Logistik (Logistic Regression Analysis). Pengolahan data menggunakan software SPSS 19. Kemudian kelayakan metode analisis yang digunakan diuji dengan beberapa uji kelayakan model. Kedua metode analisis tersebut telah sering digunakan untuk mengetahui kesesuaian habitat suatu spesies.

5.3.1 Analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) 5.3.1.1 Model kesesuaian habitat Metroxylon spp.

Principle Component Analysis (PCA) menurut Gasperz (1992) adalah

struktur varian-kovarian (kombinasi data multivariat yang beragam) melalui kombinasi linier dari variable-variabel tertentu. Tujuan dari PCA yaitu mereduksi data dan kemudian menginterpretasikannya. Berdasarkan hasil PCA diperoleh 3 dari 4 komponen utama dengan keragaman total disajikan pada Tabel 7. Komponen utama yang dapat digunakan dan mewakili yaitu komponen utama ketiga dengan nilai keragaman kumulatif 85, 658%. Nilai kumulatif keragaman tersebut termasuk tinggi mengingat bahwa nilai keragaman kumulatif yang dianggap mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70%-80% (Timm 1987 diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2006).

0 20 40 60 80 100 (-1) - (-0,5) (-0,5) - (-0,25) (-0,25) - 0,25 0,25 - 0,5 0,5 - 1 (%) 0 15.625 67.1875 17.1875 0 % Nilai NDVI

Gambar

Gambar 2 Tahapan Pengerjaan Peta NDVI.
Gambar 4 Peta penutupan lahan Pulau Seram Maluku.
Gambar 5  Tegakan Metroxylon spp. : a) Tegakan sagu di dataran dan b) Tegakan  sagu di pinggir sungai
Gambar 8 Peta sebaran titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian di Pulau Seram, Maluku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.3 menunjukkan nilai F hitung sebesar 142,968 dengan signifikansi F sebesar 0,000 &lt; α 0,05; hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dan komitmen organisasi

Laporan target harga saham yang diterbitkan oleh Pefindo Divisi Valuasi Saham dan Indexing bukan merupakan rekomendasi untuk membeli, menjual, atau menahan suatu

Lokasi Laboratorium Lapang (LL) kegiatan m-P3MI di tetapkan di Kelurahan Mekar Jaya Kec. Permasalahan yang teridentifikasi adalah 1) Belum adanya pemanfaatan limbah kulit

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan atau perwakilan dari Negara asing dan organisasi internasional yang

Selama proses perkembangan, sel-sel germinal primordium (calon sel germinal) bermigrasi menuju gonad dan selanjutnya akan berkembang menjadi spermatozoa dan sel telur tergantung

Demplot Pengendalian OPT Nilam (Budok, Nematoda, Ulat/Kutu Daun dll).. a) Penggunaan pestisida nabati bubuk biji nimba, dosis 5 kg/ha/aplikasi. Aplikasi dilakukan 3

Jadwal kegiatan disusun dalam bentuk bar chart untuk rencana pengabdian kepada masyarakat yang diajukan dan sesuai dengan format pada Lampiran 3..

Mengaca pada pandangan iman yang Kristologis, maka misi pun harus memiliki perspektif Kristologis; maksudnya, kegiatan misi hanya dapat berlangsung apabila ditempatkan