BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang di ketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain dalam sistem tata surya dan hampir menutupi 71% permukaan bumi (Suripin, 2001).
Manusia mutlak membutuhkan air, begitu juga tumbuhan dan binatang. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi. Semua makhluk hidup di bumi mutlak membutuhkan air, tanpa air semua akan mati. Bisa dikatakan bahwa air merupakan salah satu sumber kehidupan.
Untuk tanaman, kebutuhan air juga mutlak dibutuhkan. Pada kondisi tidak ada air terutama pada musim kemarau tanaman akan segera mati. Sehinggga dalam pertanian disebutkan bahwa kekeringan merupakan merupakan bencana terparah dibandingkan dengan bencana lainnya. Bila kebanjiran tanaman masih bisa hidup, kekerungan pupuk juga masih bisa hidup.
Air bersifat sumber daya alam yang terbarukan dan dinamis. Artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu turun sesuai dengan waktunya atau musimnya sepanjang tahun.
Sebagian air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke tempat-tempat yang rendah dan setelah mengalami bermacam perlawanan akibat gaya berat, akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan disebut alur
sungai. Perpaduan antara alur sungai dengan aliran air di dalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984).
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul pada kawasan tersebut. Adapun DAS berguna untuk menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai.
Sumber daya air adalah air, sumber air dan daya air yang terkandung didalamnya. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah (UU No. 7 2004).
Dalam proses perjalanannya sumber daya air dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Daya air dipakai untuk energi misalnya pembangkit tenaga air (PLTA). Mata air dipakai sebagai salah satu sumber air, demikian pula waduk dipakai sebagai wadah air yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Air baku digunakan untuk irigasi, air bersih dipakai untuk keperluan domestik dan nondomestik. Secara alami dipakai tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) untuk melangsungkan kehidupannya.
Sungai sebagai sumber air merupakan sumber alam yang memiliki multi fungsi bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah penyediaan air untuk pengairan/irigasi. Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Jaringan irigasi dalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, dan penggunaannya. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jaringan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi.
2.2 Erosi
Secara umum erosi dan sedimentasi proses terjadinya perlepasan butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air dan angin kemudian diikuti dengan preoses pengendapan pada tempat yang lain (Suripin, 2001).
Lahan pertanian paling rentan terjadinya erosi. Lahan-lahan pertanian yang ditanami terus-menerus tanpa istirahat (fallow), dan tanpa disertai pengelolaan tanaman, tanah, dan air yang baik dan tepat, khususnya daerah yang curah hujannya mencapai 1500 mm per tahun, akan mengalami penurunan produktif tanah. Penurunan kesuburan tanah ini bisa disebabkan oleh menurunnya tingkat kesuburan tanah, yang dikarenakan unsur hara dalam tanah hilang bersamaan dengan terjadinya proses erosi.
Bahaya erosi ini banyak terjadi pada daerah-daerah lahan kering yang memiliki kemiringan lereng sekitar 15% atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat dari pengelolaan tanah yang keliru, tidak mengikuti kaidah-kaidah air dan tanah, dan akibat pola pertanian yang berpindah-pindah setiap tahunnya (shifting
cultivation) (Suripin, 2001).
Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena sebab alamiah dan aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena adanya pembentukan tanah dan proses yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan erosi karena ativitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah.
2.2.1 Mekanisme Erosi
Erosi tanah terjadi melalui tiga tahapan, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap pengankutan oleh media yang erosif seperti pada aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap ke tiga yaitu pengendapan (Suripin, 2001).
Percikan air hujan merupakan penyebab terjadinya erosi tanah. Tetesan air hujan adalah media utama pelepasan partikel tanah. Pada saat butiran air hujan mengenai permukaan tanah yang gundul, partikel tanah dapat terlepas dan terlempar sampai beberapa centimeter ke udara. Pada lahan datar partikel-partikel tanah tersebar lebih kurang merata ke segala arah, tapi untuk lahan miring terjadi dominasi kearah bawah searah lereng. Partikel-partikel tanah yang terlepas ini akan menyumbat pori-pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas dan laju infiltrasi. Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi genangan air di permukaan tanah, yang kemudian akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan ini menyediakan energi untuk mengangkut partikel-partikel yang terlepas baik oleh tetesan air hujan maupun oleh adanya aliran permukaan itu sendiri. Pada saat aliran permukaan menurun dan tidak mampu lagi mengangkut partikel tanah yang terlepas, maka partikel tanah tersebut akan diendapkan (Suripin, 2001).
Ada beberapa bentuk erosi tanah yang dapat terjadi, yaitu: 1. Erosi Percikan
Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terlepas dan terlemparnya partikel-partikel tanah dari massa tanah akibat tenaga kinetik air hujan bebas atau
sebagai air lolos secara langsung. Tenaga kinetik tersebut ditentukan oleh dua hal, massa dan kecepatan jatuhan air. Tenaga kinetik bertambah besar dengan bertambahnya besar diameter air hujan dan jarak antara ujung daun penetas (driptis) dan permukaan tanah (pada proses erosi di bawah tegakan vegetasi).
Ada tiga tahapan terjadinya erosi percikan, antara lain (Suripin, 2002): Terjadinya pengemburan yang cepat pada permukaan tanah sehingga
kohesinya munurun, akibatnya laju erosi percikan meningkat.
Terjadi pemadatan permukaan akibat pukulan air hujan yang jatuh sehingga tebentuk lapisan kerak tipis yang akan menurunkan jumlah partikel tanah yang terlempat ke udara dan meningkatkan air permukaan.
Terjadinya turbulensi aliran permukaan yang mampu mengangkut sebagian lapisan kerak pada permukaan tanah.
2. Erosi Kulit
Erosi kulit (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air limpasan (runoff). Tipe erosi ini disebabkan oleh kombinasi air hujan dan air limpasan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Berdasarkan sumber tenaga penyebab erosi kulit, tenaga kinetik air hujan lebih penting karena kecepatan air jatuhan lebih besar, yaitu antara 0,3 sampai 0,6 m/dtk. Tenaga kinetik air hujan akan menyebabkan lepasnya partikel-partikel tanah dan bersama-sama dengan pengendapan sedimen di atas permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah. Bentang lahan dengan komposisi lapisan permukaan tanah atas yang rentan/lepas terletak diatas
lapisan bawah permukaan yang solid merupakan bentang lahan dengan potensi terjadinya erosi kulit besar. Besar kecilnya tenaga penggerak terjadinya erosi kulit ditentukan oleh kecepatan dan kedalaman air limpasan.
3. Erosi Alur
Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air limpasan yang terkonsentrasi sehingga membentuk alur-alur kecil. Hal ini terjadi ketika air limpasan masuk ke dalam cekungan permukaan tanah, kecepatan air limpasan meningkat dan akhirnya terjadilah laju angkutan sedimen.
Tipe erosi alur umumnya dijumpai pada lahan-lahan garapan dan dibedakan dari erosi parit (gully erosion) dalam hal erosi alur dapat diatasi dengan pengerjaan/pencangkulan tanah. Tipe erosi ini terbentuk oleh tanah yang kehilangan daya ikat partikel-partikel tanah sejalan dengan meningkatnya kelembapan tanah di tempat tersebut. Kelembapan tanah yang berlebihan akan mengakibatkan tanah longsor. Bersama dengan longsornya tanah, kecepatan air limpasan meningkat dan juga terkonsentrasi di tempat tersebut. Limpasan ini akan mengangkut sedimen hasil erosi dan ini menandai awal dari terjadinya erosi parit.
4. Erosi Parit
Erosi parit (gully erosion) akan membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Erosi parit dapat diklasifikasikan sebagai parit bersambungan dan parit terputus-putus. Erosi parit terputus dapat dijumpai di daerah yang bergunung. Erosi tipe ini biasanya diawali oleh adanya gerusan yang melebar dibagian atas hamparan tanah miring yang berlangsung dalam waktu relatif singkat akibat adanya air limpasan yang besar.
Kedalaman erosi parit ini menjadi berkurang pada daerah yang kurang terjal. Erosi parit bersambungan berawal dari terbentuknya gerusan-gerusan permukaan tanah oleh air limpasan kearah tempat yang lebih tinggi dan cenderung berbentuk jari-jari tangan. Pada tahap awal, proses pembentukan erosi parit tampak mempunyai kecenderungan kearah keseimbangan dinamis. Pada tahap lanjutan, proses pembentukan erosi parit tersebut akan kehilangan karekteristik dinamika perkembangan gerusan-gerusan pada permukaan tanah oleh aliran air dan pada akhirnya terbentuk pola aliran-aliran kecil atau besar yang bersifat permanen. Namun demikian, proses pembentukan erosi parit tidak selalu beraturan seperti yang disebut diatas. Pada kondisi tertentu, terutama oleh perubahan-perubahan geologis karena pengaruh aktivitas manusia, proses erosi parit tidak pernah sampai pada tahap lanjutan. Secara umum erosi parit dapat terjadi serentak atau pada waktu yang berbeda.
5. Erosi Tebing
Erosi tebing (stream bank erosion) adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing tanah oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan air sungai yang kuat terutama pada daerah tikungan-tikungan sungai. Dua proses berlangsungnya erosi tebing sungai adalah oleh adanya gerusan aliran sungai dan oleh adanya longsoran tanah pada tebing sungai. Proses yang pertama berkorelasi dengan kecepatan aliran sungai. Semakin cepat laju aliran sungai (debit puncak atau banjir) semakin besar kemungkinan terjadinya erosi tebing. Erosi tebing sungai dalam bentuk gerusan dapat berubah menjadi tanah longsor ketika permukaan sungai surut (meningkatnya gaya tarik kebawah) sementara pada saat bersamaan tanah tebing sungai telah jenuh. Dengan demikian, longsoran
tebing sungai terjadi setelah debit yang kedua lebih ditentukan oleh keadaan kelembapan tanah di tebing sungai menjelang terjadinya erosi. Dengan kata lain, erosi tebing sungai dalam bentuk longsoran tanah terjadi karena beban meningkat oleh adanya kelembapan tanah yang tinggi dan beban ini lebih besar dari pada gaya yang mempertahankan tanah tetap pada tempatnya.
6. Erosi Internal
Erosi internal (internal or surface erosion) adalah proses tersangkutnya partikel-partikel tanah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat adanya aliran bawah permukaan. Akibat erosi ini tanah menjadi kedap air dan udara, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan atau erosi alur.
Erosi bawah permukaan juga berupa erosi terowongan (piping), diman tanah tersangkut kebagian ke bagian bawah dan terbentuk semacam pipa dan terowongan dari permukaan ke bawah tanah. Erosi jenis ini hanya terjadi di tanah-tanah tertentu yang kurang baik untuk pertanian.
7. Tanah Longsor
Tanah longsor (land slide) merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan dan pergerakan massa tanah pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Berbeda dengan jenis erosi yang lain, pada tanah longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam jumlah yang besar.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Pada dasarnya erosi adalah akibat dari interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan dan manusia terhadap lahan. adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
2.2.2.1 Iklim
Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Pengaruh langsung adalah melalui tenaga kinetis air hujan, terutama intensitas dan diameter butiran air hujan. Pada hujan yang intensif dan berlangsung dalam waktu pendek, erosi yang terjadi biasanya lebih besar daripada hujan dengan intensitas lebih kecil dengan waktu yang lebih lama. Pengaruh iklim tidak langsung ditentukan melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetasi.
Di daerah beriklim basah, faktor yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, sehingga jumlah dan kecepatan aliran permukaan meningkat dan kerusakan oleh erosi juga meningkat. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per areal atau dinyatakan tinggi jumlah air yaitu mm. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau massa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim atau per tahun. Kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi disebut daya erosi atau erosivitas hujan.
Intensitas curah hujan adalah menyatakan besar curah hujan yang jatuh dalah waktu yang singkat yaitu 5, 10, 15, atau 30 menit, yang dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam (Rauf A, 2011).
2.2.2.2 Topografi
Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua unsur karakteristik topografi yang paling menentukan terhadap aliran permukaan dan erosi. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan dengan demikian memperbesar energi
angkut air. Kecepatan air limpasan yang besar umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi besar terjadinya erosi alur dan erosi parit. Kedudukan lereng juga menentukan besar kecilnya erosi. Lereng bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum air limpasan lebih besar dan kecepatan dan terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah.
Daerah tropis vulkanik dengan topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat potensial untuk terjadinya erosi dan tanah longsor. Oleh karena itu, dalam program konservasi tanah dan air di daerah tropis, usaha-usaha pelandaian permukaan tanah seperti pembuatan teras di lahan-lahan pertanian, peruntukan tanah-tanah dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung seringkali dilakukan. Usaha tersebut dilakukan terutama untuk menghindari terjadinya erosi yang dipercepat dan meningkatnya tanah longsor.
2.2.2.3 Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat kurang.
Adapun pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah sebagai berikut (Asdak, 2007):
1. Melalui fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbuhan air hujan 2. Menurunkan kecepatan air limpasan
3. Menahan partikel-partikel tanah agar tetap pada tempatnya
Dalam meninjau vegetasi terhadap mudah-tidaknya tanah tererosi, harus dilihat apakah vegetasi penutup tanah tersebut mempunyai struktur tajuk yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan memperkecil diameter tetesan air hujan. Telah dikemukakan bahwa yang lebih berperan dalam menurunkan besarnya erosi adalah tumbuhan bawah karena tumbuhan bawah merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan besar kecilnya erosi percikan. Dengan kata lain, semakin rendah dan rapat tumbuhan bawah semakin efektif pengaruh vegetasi dalam melindungi permukaan tanah terhadap ancaman erosi karena akan menurunkan besarnya tumbukan tetesan air hujan ke permukaan tanah. Oleh karena itu dalam melaksanakan program konservasi tanah dan air melalui vegetasi, sistem pertanaman (tanah pertanian) dan pengaturan struktur tegakan (vegetasi hutan) diusahakan agar tercipta struktur pelapisan tajuk yang serapat mungkin. Hutan yang terpelihara dengan baik, terdiri dari pepohonan yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah, seperti rerumputan, semak atau perdu, dan belukar merupakan pelindung tanah yang ideal terhadap bahaya erosi.
2.2.2.4 Tanah
Tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah disperse dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.
2.2.2.5 Manusia
Manusia sangat berperan dalam mempercepat proses terjadinya erosi. Manusia merupakan faktor sangat menentukan apakah suatu tanah yang diusahakannya akan rusak atau produktif secara berkelanjutan. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijak sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Adapun faktor yang berkenaan dengan fungsi manusia terhadap tanah yang diusahakannya dengan erosi antara lain (Rauf A, 2011):
Luas tanah pertanian yang diusahakan Sistem pengusaha tanah
Status pengusahaan tanah
Tingkat pengetahuan dan keterampilan Harga hasil usaha tani
Ikatan hutan
Pasar dan sumber keperluan usaha tani Infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan Mentalitas manusia itu sendiri
Meskipun faktor-faktor tersebut dapat diprediksi menggunakan teknologi canggih yang berkembang saat ini, tapi fenomena alam merupakan rahasia alam yang sangat sulit untuk diprediksi dengan tepat. Menurut Wischemeier dan Smith dalam Asdak (2007) menyebutkan bahwa ada empat faktor utama yang dianggap terlibat dalam proses erosi, yaitu; sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup tanah. Keempat faktor tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menentukan laju erosi tanah melalui sebuah persamaan umum yang dikenal sebagai USLE
2.2.3 USLE Sebagai Model Perkiraan Besarnya Erosi
Untuk menghitung prediksi erosi yang terjadi pada suatu DAS dapat menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Prediksi erosi adalah suatu pendugaan besarnya erosi yang dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, topografi dan penggunaan lahan. Menyadari adanya keterbatasan dalam memperkirakan besarnya erosi untuk tempat-tempat di luar lokasi yang telah diketahui spesifikasi tanahnya tersebut, maka di kembangkan cara untuk memperkirakan besarnya erosi dengan menggunakan persamaan matematis seperti dikemukakan oleh Wischemeier dan Smith (1978) (Asdak, 2007).
USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi alur di bawah keadaan tertentu. USLE dikembangkan di USDA-SCS (United State Departemen of Agriculture-Soil
Conservation Service) bekerja sama dengan Universitas Purdue oleh Wischemeier
dan Smith, 1965. Berdasarkan analisis statistic terhadap lebih dari 10.000 tahun data erosi dan aliran permukaan, parameter fisik, dan pengelolaan di kelompokkan menjadi lima variabel utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan
dengan numeris (Suripin, 2001).
Rumus USLE dapat dinyatakan sebagai:
Ae = R x K x LS x C x P ………(2.1)
Dimana:
Ae = perkiraan besarnya jumlah erosi (ton/ha/tahun)
R = faktor erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (mm)
K = indeks erodibilitas tanah
LS = indeks panjang dan kemiringan lereng
C = indeks pengelolahan lahan
2.2.3.1 Faktor Erosivitas Hujan (R)
Faktor erosivitas hujan adalah kemampuan air hujan sebagai penyebabkan timbulnya erosi yang bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan. Erosivitas hujan tahunan yang dapat dihitung dari data curah hujan yang diperoleh dari pengukuran hujan. Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik total hujan dengan intensitas hujan maksimum Selama 30 menit. Perlu diperhatikan juga bahwa curah hujan bulanan rata-rata yang digunakan adalah data jangka panjang minimal 5 tahun dan akan lebih baik jika 20 tahun atau lebih. Faktor
erosivitas hujan bulanan (Rm) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Rm = 2.21 (Rain)m1.36……… (2.2)
Untuk memperoleh nilai R dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan sebagai berikut:
R = 2.21 ∑
………(2.3)
Dimana:
R = Erosivitas Curah Hujan Tahunan Rata-rata (mm)
Rm = Erosivitas Curah Hujan Bulanan (cm)
(Rain)m = Curah hujan bulanan (cm)
Nilai erosivitasi hujan setahun dihitung dihitung dengan menjumlahkan erosivitas hujan bulanan selama satu tahun (12 bulan).
2.2.3.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah, atau faktor kepekaan erosi tanah (K) merupakan daya tahan tanah baik terhadap pengelepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada sifat-sifat tanah, seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Atau faktor erodibilitas tanah adalah jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun per satuan indeks daya erosi. Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif
kerentanan tanah terhadap erosi air. Indeks erodibilitas tanah ini ditentukan untuk tiap satuan lahan. Indeks ini memerlukan data ukuran partikel tanah, % bahan organik, struktur tanah dan permeabilitas tanah. Data tersebut didapat dari hasil analisis laboratorium contoh tanah yang diambil di lapangan atau dari data dalam laporan survei tanah yang dilampirkan pada peta tanah. Ketersediaan peta satuan tanah pada penelitian ini sangat membantu dalam efisiensi waktu dan biaya dalam menentukan faktor K. Apabila tidak tersedianya peta satuan tanah maka faktor K dapat ditentukan dari penyelidikan lapangan dan menentukan nilai K dengan menggunakan nomograf seperti gambar 2.1 berikut.
Sumber: (Suripin, 2001)
Gambar 2.1 Nomograf untuk Menghitung Nilai Erodibilitas Tanah (K)
Tabel 2.1 Kode Struktur Tanah
Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Kode
Granuler sangat halus (< 1 mm) 1
Granuler halus (1 sampai 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm) 3
Berbentuk blok, pelat, masif 4
Sumber: Wischmeier dan Smith, 1978, dalam Suripin, 2001 Tabel 2.2 Kode Permeabilitas Profil Tanah
Kelas Permeabilitas Kecepatan Kode
Sangat lambat < 0,5 1
Lambat 0,5 – 2,0 2
Lambat sampai sedang 2,0 – 6,3 3
Sedang 6,3 – 12,7 4
Sedang sampai cepat 12,7 – 25,4 5
Cepat > 25,4 6
Sumber: Wischmeier dan Smith, 1978, dalam Suripin 2001
Tabel 2.1 dan tabel 2.2 digunakan untuk menentukan nilai kode yang terdapat pada nomograf untuk menghitung nilai erodibilitas tanah (k) dalam satuan metrik pada gambar 2.1.
Atau nilai K secara pendekatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Rauf A, 2011):
K = {2.7131,14.M (10-4 x 12 – a) + 3,25 (b - 2)+2,5(c - 3)} /100 ……...(2.4) Dimana:
K = Factor erodibilitas tanah
M = Persentase ukuran partikel
a = Persentase bahan organik
b = Kode kelas struktur tanah
Tabel 2.3 Nilai M untuk Beberapa Tekstur Tanah
Kelas Tekstur Tanah Nilai M
Lempung Berat 210
Lempung Sedang 750
Lempung Pasiran 1213
Lempung Ringan 1685
Geluh Lempung 2160
Pasir Lempung Liatan 2830
Geluh Lempungan 2830 Pasir 3035 Pasir Geluhan 1245 Geluh Berlempung 3770 Geluh Pasiran 4005 Geluh 1390 Geluh Liatan 6330 Liat 8245 Campuran merata 4000 Sumber: Suripin (2001)
Tabel 2.3 digunakan untuk menentukan nilai m (persentase ukuran partikel) dalam menghitung nilai k pada persamaan 2.4.
Nilai erodibilitas tanah dapat ditentukan berdasarkan identifikasi jenis tanah dalam satuan pemetaan tanah. Tabel 2.4 memperlihatkan besaran nilai K untuk berbagai jenis tanah di Indonesia.
Tabel 2.4 Nilai K untuk Berbagai Jenis Tanah
NO Jenis Tanah Nilai K Rataan
1 Latosol (Haplorthox) 0,09
2 Latosol merah (Humox) 0,12
3 Latosol merah kuning (Typic haplorthox) 0,26
4 Latosol coklat (Typic tropodult) 0,23
5 Latosol (Epiaquic tropodult) 0,31
6 Regosol (Troporthents) 0,14
7 Regosol (Oxic dystropept) 0,12 – 0,16
8 Regosol (Typic entropept) 0,29
9 Regosol (Typic dystropept) 0,31
10 Gley humic (Typic tropoquept) 0,13
11 Gley humic (Tropaquept) 0,20
12 Gley humic (Aquic entroopept) 0,26
13 Lithosol (Litic eutropept) 0,16
14 Lithosol (Orthen) 0,29
15 Grumosol (Chromudert) 0,21
16 Hydromorf abu-abu (Tropofluent) 0,20
17 Podsolik (Tropudults) 0,16
18 Podsolik Merah Kuning (Tropudults) 0,32
19 Mediteran (Tropohumults) 0,10
20 Mediteran (Tropaqualfs) 0,22
21 Mediteran (Tropudalfs) 0,23
Sumber: (Asdak, 2007dan Rauf A, 2011)
2.2.3.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Faktor LS, merupakan kombinasi antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) yang mana merupakan nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot
lahan. Nilai LS untuk sembarang panjang dan kemiringan lereng dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
LS = (L/22)z (0,006541S2 + 0,0456S + 0,065) ……… (2.5)
Dimana:
L = panjang lereng (m)
S = kemiringan lereng (%), dan
z = konstanta yang besarnya bervariasi tergantung besarnya S.
z = 0,5 jika S > 5% z = 0,4 jika 5% > S > 3% z = 0,3 jika 3% > S > 1% z = 0,2 jika S < 1%
2.2.3.4 Faktor Pengolahan Lahan (C)
Faktor menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman tertentu dan dengan manajemen tertentu terhadap besarnya erosi yang tidak ditanami dan diolah bersih. Factor ini mengukur kombinasi pengaruh tanaman dan pengelolaannya. Faktor C ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Nilai faktor C berkisar antara 0.001 pada hutan tak terganggu hingga 1.0 pada tanah kosong.
2.2.3.5 Faktor Konservasi Tanah (P)
Faktor konservasi tanah ialah tindakan pengawetan yang meliputi usaha-usaha untuk mengurangi erosi tanah yaitu secara mekanis maupun biologis/vegetasi. Nilai P berkisar dari 0 untuk tanah praktek pengendalian erosi sempurna, sampai bernilai 1 untuk tanah tanpa tindakan pengendalian erosi. Indeks penutupan vegetasi (C) dan Indeks pengolahan lahan atau tindakan
konservasi tanah (P) dapat digabung menjadi faktor CP. Tabel 2.5 menjelaskan nilai CP untuk berbagai macam penggunaan lahan.
Tabel 2.5 Nilai CP untuk Berbagai Macam Penggunaan Lahan
No. Macam Penggunaan Lahan Nilai Faktor CP
1 Tanah terbuka, tanpa tanaman 1
2 Belukar rawa 0.01
3 Rawa 0.01
4 Semak/belukar 0.3
5 Sawah 0.01
6 Pertanian lahan kering campur 0.19
7 Pertanian lahan kering 0.28
8 Hutan lahan kering sekunder 0.01
9 Hutan mangrove sekunder 0.01
10 Hutan rawa sekunder 0.01
11 Hutan tanaman 0.05
12 Pemukiman 0.95
13 Perkebunan 0.5
14 Tambak 0.001
15 Tumbuh air 0.001
Sumber: BPDAS Wampu-Sei Ular dalam Jayusri (2012)
Hasil perhitungan faktor erosi metode USLE akan diperoleh suatu prediksi erosi yang mempunyai nilai-nilai indeks yang kemudian di klasifikasikan berdasarkan jumlah tanah yang hilang akibat erosi tersebut. Nilai faktor P dalam berbagai tindakan konservasi di jelaskan di Tabel 2.6, yaitu:
Tabel 2.6 Nilai Faktor P untuk berbagai Tindakan Konservasi Tanah
No. Tanpa Tindakan Pengendalian Erosi Nilai P
1 Tanpa tindakan pengendalian erosi 1
2 Terras bangku:
- konstruksi baik 0.04
- konstruksi sedang 0.15
- konstruksi kurang baik 0.35
- Terras tradisional 0.45 3 Strip tanaman: - rumput bahia 0.4 - crotalaria 0.64 - dengan kontur 0.2 4
Pengelolaan tanah dan penanaman menurut garis kontur: - kemiringan 0 – 8% 0.5 - kemiringan 8 – 20% 0.75 - kemiringan > 20% 0.9 Sumber: Suripin (2002) 2.3 Sedimentasi
Proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan), pengendapan (deposition), dan pemadatan (compaction) dari sedimen itu sendiri. Proses tersebut berjalan sangat kompleks, dimulai dari jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetik yang merupakan permulaan dari proses erosi. Begitu tanah menjadi partikel tanah menjadi partikel halus lalu menggelinding bersama aliran permukaan, sebagian akan tertinggal diatas tanah dan sebagian yang lain akan masuk kedalam sungai dan akan terbawa aliran menjadi angkutan sedimen (Loebis, 1993).
Sungai juga menggerus tanah dasarnya secara terus-menerus sepanjang masa existensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai. Volume sedimen yang sangat besar yang dihasilkan dari keruntuhan tebing-tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar sungai tersebut, terangkut kehilir oleh aliran sungai. Karena di daerah pegunungan kemiringan sungai curam, gaya tarik aliran airnya cukup besar. Tetapi setelah aliran sungai mencapai daratan, maka gaya tariknya sangat menurun. Dengan demikian beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan. Karena itu ukuran butiran sedimen yang mengendap di bagian hulu sungai lebih besar dari pada di bagian hilir sungai (Sosrodarsono, 1984).
Proses sedimentasi pada alur sungai adalah sebagai berikut (Fadlun, 2009): a. Bagian Hulu
Bagian hulu sungai merupakan daerah sumber sedimen yang tererosi. Pada bagian ini kecepatan aliran menjadi lebih besar karena umumnya alur sungai yang dilalui pada daerah pegunungan, bukit, atau lereng gunung yang kadang-kadang mempunyai ketinggian yang cukup besar dari muka air laut.
b. Bagian Tengah
Bagian ini merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir. Kemiringan dasar sungai lebih landai dari bagian hulu sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil. Bagian ini merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi dan sedimentasi yang sangat bervariasi dari musim ke musim.
c. Bagian Hilir
Alur sungai dibagian hilir biasanya melalui dataran yang mempunyai kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan alirannya lambat. Keadaan ini sangat memudahkan terbentuknya pengendapan atau sedimen. Endapan yang terbentuk biasanya berupa endapan pasir halus, lumpur, endapan organik, dan jenis endapan lain yang sangat labil.
Gambar 2.2 Sketsa Profil Memanjang Alur Sungai (Fadlun, 2009)
Bahan sedimen hasil erosi seringkali bergerak menempuh jarak yang pendek sebelum akhirnya diendapkan. Sedimen ini masih tetap berada di lahan atau diendapkan di tempat lain yang lebih datar atau sebagian masuk ke sungai. Persamaan umum untuk menghitung sedimentasi suatu DAS belum tersedia, untuk lebih memudahkan dikembangkan pendekatan berdasarkan luas area. Rasio sedimen terangkut dari keseluruhan material erosi tanah disebut Nisbah Pelepasan Sedimen/NLS (Sediment Delivery Ratio/SDR) yang merupakan fungsi dari luas area.
Nilai NLS mendekati satu artinya semua tanah yang terangkut erosi masuk ke dalam sungai. Kejadian ini hanya terjadi pada DAS atau Sub DAS kecil yang tidak memiliki daerah-daerah datar, tetapi memiliki lereng yang curam, banyak butir halus (liat) yang terangkut, memiliki kerapatan yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menyebabkan pengendapan sedimen diatas lahan DAS tersebut. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (NLS) adalah perhitungan untuk memperkirakan besarnya hasil sedimen dari suatu daerah tangkapan air. Perhitungan besarnya NLS dianggap penting dalam menentukan perkiraan realitas besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan erosi total yang berlangsung didaerah tangkapan air. Besarnya NLS dalam perhitungan-perhitungan erosi atau hasil sedimen untuk suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan luas DAS dan besarnya NLS seperti dikemukakan oleh Roehl (1962) dalam Asdak C. (2007). Nilai NLS sebagai fungsi luas daerah aliran sungai dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Pengaruh Luas DAS terhadap NLS
Luas Daerah Aliran Sungai Nisbah Pelepasan Sedimen
(NLS) (km2) % 0,1 53,0 0,5 39,0 1,0 35,0 5,0 27,0 10,0 24,0 50,0 15,0 100,0 13,0 200,0 11,0 500,0 8,5 26.000,0 4,9 Sumber: Arsyad S (2012)
Sedang cara lain untuk menentukan besarnya NLS adalah dengan menggunakan persamaan:
LS S
……… (2.6)
Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau berhenti. Peristiwa mengendap ini dikenal dengan proses sedimentasi, yaitu proses yang bertanggung jawab atas terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas dan banyak terdapat di dunia. Ini merupakan suatu keuntungan karena memberikan lahan untuk perluasan pertanian dan permukiman. Akan tetapi, sedimen yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah salah kelola lebih banyak kerugian bagi kehidupan manusia. Sedimen yang terendapkan di dalam saluran, sungai, waduk, dan muara sungai akan menyebabkan pendangkalan badan air tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian karena mengurangi fungsi badan air itu sendiri.
Besarnya perkiraan hasil sedimen menurut Asdak C.2007 dapat ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut :
Y ( LS) W ……… (2.7)
Dimana:
Y = hasil sedimen persatuan luas A = Erosi total
Ws = Luas Daerah Aliran Sungai NLS = Nisbah Pelepasan Sedimen
Besarnya nilai NLS dalam perhitungan hasil sedimen suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.8 hubungan antara luas DAS denganbesarnya NLS.
2.3.1 Pembagian Sedimen
Dasar sungai biasanya tersusun oleh endapan dari material angkutan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai, material tersebut dapat terangkut kembali apabila kecepatan aliran cukup tinggi. Besarnya volume angkutan sedimen tergantung dari kecepatan aliran dan adanya kegiatan di palung sungai. Sebagai akibat dari perubahan volume angkutan sedimen adalah terjadinya pergerusan di beberapa tempat dan akan mengendap di tempat lain pada dasar sungai. Sehingga denga demikian bentuk dasar sungai akan selalu berubah. Untuk memperkirakan perubahan dasar sungai tersebut telah dikembangkan banyak rumus berdasarkan percobaan di lapangan maupun di laboratorium. Walaupun demikian perhitungan angkutan sedimen tidak teliti, karena (Loebis, 1993):
1. Interaksi antara aliran air dan angkutan sedimen adalah sangat komplek dan oleh karena itu sulit untuk dirumuskan secara matematis.
2. Pengukuran angkutan sedimen sulit dilaksanakan dengan teliti, sehingga rumus angkutan sedimen tidak dapat dicek dengan baik.
Angkutan sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan pembagian sebagai berikut (Loebis, 1993):
Gambar 2.3 Diagram Klasifikasi Angkutan Sedimen
Berdasarkan sumber asal sedimen Angkutan material dasar Wash load Bed load Suspended load Berdasarkan mekanisme sedimen
Aliran air akan membawa hanyut bahan-bahan sedimen, yang menurut mekanisme pengangkutannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (Sosrodarsono, 1984):
a. Muatan dasar (bed load)
Pergerakan partikel di dalam aliran air sungai dengan cara menggelinding, meluncur dan meloncat-loncat di atas permukaan dasar sungai.
b. Muatan melayang (suspended load)
Terdiri dari butiran halus yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm dan senantiasa melayang di dalam aliran sungai. Partikel cendrung mengendap apabila kecepatan aliran melambat dan akan bergerak kembali karena turbulen aliran air sungai. Lebih-lebih butiran yang sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tetap tidak mengendap dan airnya akan tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash load)
Untuk membedakan muatan laying dan muatan dasar cukup sulit. Kriteria umum untuk menentukan muatan layang ialah perbandingan antara kecepatan gesek (U*) dan kecepatan jatuh (W), yaitu apabila U*/W > 1,5 maka termasuk sebagai muatan melayang. Sedangkan untuk muatan dasar dibatasi bahwa elevasi partikel pada saat pergerakannya di dalam air maksimum 2 sampai 3 kali dari ukuran diameter butirnya, jika lebih dari itu maka termasuk muatan melayang (Fadlun, 2009).
Sedimen dari sungai harus dielakkan pada tubuh bendung beserta bangunan-bangunan pelengkapnya, sehingga tidak mencapai saluran pembawa (primer, sekunder, maupun tersier). Penumpukan sedimen di saluran irigasi akan mempersingkat umur pelayanan jaringan irigasi karena pendangkalan dan penurunan kapasitas. Selanjutnya, penumpukan sedimen di petak sawah akan menaikkan permukaan sawah, sehingga mempersulit air untuk mencapai permukaan sawah dan mengairi sawah. Partikel sedimen yang halus bahkan bisa menyumbat pori-pori tanah dan menghambat penyerapan air oleh tanaman. Meskipun demikian tidak semua fraksi sedimen berpotensi merusak jaringan irigasi.
Fraksi sedimen batuan dan bed load biasanya sudah teratasi dengan konstruksi pembilas bawah (under sluice) sehingga tidak masuk ke intake. Dalam kondisi debit normal. Tetapi fraksi pasir, lanau, dan lempung akan terbawa melewati pintu intake dan dapat mencapai saluran irigasi dan petak sawah. Fraksi lanau dan lempung (< 70 µm) diperbolehkan masuk ke sawah, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah (Puslitbang Pengairan, 1986). Fraksi pasir (> 0.063 mm), disisi lain, harus ditahan jangan sampai masuk ke sawah. Fraksi pasir ini diusahakan untuk mengendap di penangkap sedimen (sediment
trap/settling basin), yang berada di hilir pintu pengambilan (intake) (Hanwar dan
Herdianto, 2007).
Pada kenyataannya pada tiap satu satuan waktu pergerakan angkutan sedimen yang dapat diamati adalah bed load dan suspended load, sehingga penjumlahan keduanya dapat didefinisikan sebagai total load transport. Beban total inilah yang disebut dengan angkutan sedimen (Ritonga, 2011).
2.3.2 Angkutan Sedimen
Pengertian umum angkutan sedimen adalah sebagai pergerakan butiran-butiran material dasar saluran yang merupakan hasil erosi yang disebabkan oleh gaya dan kecepatan aliran sungai. Di dalam perhitungan sifat-sifat sedimen yang dipakai adalah: ukuran, kerapatan atau kepadatan, kecepatan jatuh dan porositas. Laju angkutan sedimen, perubahan dasar dan tebing saluran, perubahan morfologi sungai dapat diterangkan jika sifat sedimennya diketahui (Ronggodigdo, 2011).
Prinsip dasar angkutan sedimen ayaitu untuk mengetahui perilaku sedimen pada kondisi tertentu, apakah keadaan sungai seimbang, erosi, maupun sedimentasi. Juga untuk prediksi kuantitas sedimen dalam proses tersebut. Proses yang terjadisecara alami ini kuantitasnya ditentukan oleh gaya geser aliran serta diameter butiran sedimen.
Angkutan sedimen dapat menyebabkan terjadinya perubahan dasar sungai. Angkutan pada suatu ruas sungai akan mengalami erosi atau pengendapan tergantung dari besar kecilnya angkutan sedimen yang terjadi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.8.
Table 2.8 Klasifikasi Kondisi Dasar Sungai
Angkutan Sedimen, (T)
Perubahan dasar sungai
Sedimen Dasar
T1 = T2 Seimbang Stabil
T1 < T2 Erosi Degradasi
T1 > T2 Sedimentasi Agradasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi angkutan sedimen adalah:
2.3.2.1 Ukuran Partikel Sedimen
Pengukuran ukuran butiran tergantung pada jenis bongkahan, untuk berangkal pengukuran dilakukan secara langsung, untuk kerikil dan pasir dilakukan dengan analisa saringan sedangkan untuk lanau dan lempung dilakukan dengan analisa sedimen. Klasifikasi jenis tanah berdasarkan ukuran butir dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut (Ronggodigdo, 2011):
Tabel 2.9 Klasifikasi Ukuran Partakel Sedimen
No. Organisasi
Ukuran Butir (mm)
Kerikil Pasir Lanau Lempung
(Gravel) (Sand) (Silt) (Clay)
1
MIT, Massachusetts
Institute of
Technology > 2 0,06-2 0,002-0,06 < 0,002
2
USDA, United States Department of Agriculture > 2 0,05-2 0,002-0,05 < 0,002 3 AASHTO, American Associatetio of State Highway and Transportation Officials 2-76,2 0,075-2 0,002-0,075 < 0,002
4 USCS, Unified Soil
Classification System 4,75-76,2 0,075-4,75 Fines (< 0,075)
Sumber: Ronggodigdo (2011)
2.3.2.2 Berat Spesifik Partikel Sedimen
Berat spesifik adalah berat sedimen per satuan volume dari bahan angkutan sedimen. Dirumuskan sebagai berikut:
..………. (2.8)
Dimana:
2.3.2.3 Kecepatan Jatuh (Fall Velocity)
Karakteristik dari sedimen adalah kecepatan jatuhnya atau fall velocity ( ), yang mana adalah kecepatan maksimum yang dicapai oleh suatu partikel akibat gaya gravitasi. Ukuran pasir yang tersuspensi dalam suatu sungai akan tergantung kepada nilai fall velocity-nya. Untuk suatu ukuran butiran sedimen yang besar, akan jatuh dengan cepat dan akan lebih sedikit mendapat tahanan dari air dibandingkan dengan butiran sedimen yang lebih halus.
Persamaan umum untuk mencari nilai fall velocity:
………(2.9)
Dimana:
= kecepatan jatuh (m/det)
= massa jenis sedimen (kg/m3)
= massa jenis air (kg/m3) d = diameter sedimen (mm)
v = viskositas kinematic (m2/det)
Nilai fall velocity ( ) juga dapat diketahui apabila diketahui diameter sedimen (d), temperatur air (°C) dan shape factor dari sedimen. untuk menentukan fall velocity dapat diperoleh dengan menggunakan Gambar 2.4 berikut:
Sumber: Grafik 1.3 buku sediment transport, Chi Ted Yang, halaman 10
Gambar 2.4 Grafik Hubungan Diameter Butiran Dengan Kecepatan Jatuh
Sedimen
Yang mana:
√ ………(2. 0)
Dimana:
= factor bentuk
= diameter paling panjang sedimen
= diameter paling pendek sedimen b = diameter rata-rata sedimen
2.3.2.4 Tegangan geser kritis
Tegangan geser kritis merupakan parameter penting dalam angkutan sedimen. Pergerakan sedimen dipengaruhi oleh tegangan geser, kecepatan kritis dan gaya angkat. Partikel sedimen akan terangkat apabila tegangan geser dasar lebih besar dari tegangan geser kritis erosi dan tegangan geser kritis erosi melebihi tegangan geser kritis deposisi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tegangan geser kritis sangat bergantung pada riwayat proses pengendapan dan konsolidasi. Untuk itu beberapa penelitian tegangan geser kritis sedimen kohesif biasanya dilakukan dengan menghubungkan antara tegangan geser dan massa jenis sedimen pada berbagai variasi ketinggian sampel.
Sedimen bergerak tergantung dari besarnya gaya seret dan gaya angkat dan dapat digambarkan pada gambar 2.5 sebagai berikut.
Gambar 2.5 Gaya Yang Bekerja Pada Butiran di Dasar Sungai
W’ ( s - )*g ……… (2.11)
FD = ……….. (2.12)
FL = ……….. (2.13)
Partikel sedimen akan mulai bergerak pada kondisi kecepatan geser kritis terlampaui, karena gaya dorong lebih besar dari gaya gesek.
Persamaan tegangan geser Shield adalah:
( - ) ……… (2.15) Dimana: S , sehingga :
S ( - ) ………. (2.16) Dimana: D = kedalaman saluran (m) Ss = kemiringan saluran
d = diameter butiran sedimen (mm) = tegangan geser kritis
Apabila bilangan Reynold diketahui maka tegangan geser kritis dapat diketahui dengan melihat grafik 2.2 buku Sediment Transport, Chi Ted Yang halaman 22.
……… (2.17) Dimana : U* = kecepatan geser d = diameter sedimen v = viskositas kinematic,
Viskositas kinematik dari air (v) adalah perbandingan antara viskositas dinamik ( ) dengan berat jenis air (ρ). Sebagian besar buku Mekanika Fluida mempunyai tabel dan diagram dari viskositas air sebagai fungsi dari temperatur. Misalnya harga yang mewakili v = 1.10-6 m2/s untuk air bersih pada suhu 20oC.
Viskositas kinematik juga dapat dihitung menggunakan rumus:
. 2 x 0 6 .0 0.0 0.00022 2 ……… (2. ) Dimana : T = suhu air (ºC)
Dengan melihat grafik di bawah ini maka akan didapatkan nilai critical
stress.
Sumber: Chi Ted Yang (2003)
Gambar 2.6 Diagram Shields
Diagram Shields pada gambar 2.6 secara empiris menunjukkan bagaimana pendimensian tegangan geser kritis yang diperlukan untuk inisiasi pergerakan yang merupakan fungsi dari bentuk khusus partikel bilangan Reynolds, Rep atau
bilangan Reynold yang terkait dengan partikel tersebut. (Chi Ted Yang, 2003).
2.3.3. Persamaan Angkutan Sedimen
Rumus-rumus yang dipakai dalam perhitungan angkutan sedimen adalah persamaan- Y ’ , , S .
2.3.3.1 Yang’s
Y ’ ( ) k f b k konsep unit aliran listrik, yang dapat dimanfaatkan untuk prediksi materi bed load secara keseluruhan dengan konsentrasi diangkut dalam flumes, sampel sedimen
bed load pasir diambil dari sungai. Yang mendasarkan rumusnya pada konsep bahwa jumlah angkutan sedimen berbanding lurus dengan jumlah energi aliran. Energi per satuan berat air dapat dinyatakan dengan hasil kali kemiringan dasar dan kecepatan aliran. Energi per satuan besar air tersebut oleh Yang disebut sebagai unit stream power dan dianggap sebagai parameter penting dalam menentukan jumlah angkutan sedimen.
Data-data yang dipergunakan dalam pe b Y ’ : Data sedimen
Geometri saluran Kecepatan aliran Analisa perhitungan:
Log C1 = 5.435 – 0.286 log - 0.457 log
+ ( – ) log ( ) ………...………(2.19) Gw = ………..(2.20) Qs = Ct*Gw …..………..……….. (2.21) Dimana :
Ct = konsentrasi sedimen total
d50 = diameter sedimen 50% dari material dasar (mm)
= kecepatan jatuh (m/s) V = kecepatan aliran (m/s) Vcr = kecepatan kritis (m/s) Ss = kemiringan saluran U* = kecepatan geser (m/s) B = lebar saluran (m) D = kedalaman saluran (m) Qs = muatan sedimen (kg/s)
2.3.3.2 Engelund and Hansen
Engelund and Hansen (1967) persamaan Engelund-Hansen didasarkan pada pendekatan tegangan geser. Persamaan Engelund and Hansen dapat ditulis sebagai berikut :
q
s= 0.05
2[
0 ( - )]
2[
0 ( - ) 0]
2 ……… (2.22) Qs = B * qs ………. (2.23) 0 S ………..……….. (2.24) Dimana : = tegangan geser (kg/m2) Qs = muatan sedimen (kg/s) B = lebar saluran (m) D = kedalaman saluran (m) Ss = kemiringan saluran2.3.3.3 Shen and Hungs
Shen and Hung (1971) diasumsikan bahwa transportasi sedimen adalah begitu kompleks sehingga tidak menggunakan bilangan Reynolds, bilangan Froude, kombinasi ini dapat ditemukan untuk menjelaskan transportasi sedimen dengan semua kondisi. Shen and Hung mencoba untuk menemukan variabel yang dominan yang mendominasi laju transportasi sedimen, mereka merekomendasikan kemunduran persamaan berdasarkan 587 set data laboratorium. Persamaan Shen and Hung dapat ditulis sebagai berikut :
Log Ct = - 107404.459 + 324214.747* Y – 326309.589*Y2 +
109503.872*Y3………. (2.25) Gw = ……… (2.26)
Y =
[
S 0. 20.]
0.00……… (2.2 ) Dimana : Ct = konsentrasi sedimen total V = kecepatan aliran (m/s) = kecepatan jatuh (m/s) Ss = kemiringan sungai W = lebar saluran (m) D = kedalaman saluran (m) Qs = muatan sedimen (kg/s)
2.3.3.4 Metode Sampling Meyer Petter Muller
a. Suspended load
Besarnya beban layang dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Qs = 0,0864 x c x Qw ……… (2.2 ) Dimana:
Qsus = beban layang (ton/hari)
c = konsentrasi sedimen layang (mg/lt) Qw = debit saluran (m3/det)
b. Bed load
Besarnya beban dasar dihitung dengan menggunakan rumus Meyer-Petter-Muller sebagai berikut:
(K K) 2 S 0,0 ( - ) 0,2 b2 ……… (2.30) Dimana:
s = berat jenis air dan sedimen (kg/m3)
R = jari-jari hidrolik (m) Ss = kemiringan energi
d = diameter rata-rata sedimen (m) = massa jenis (kg/m3)
qb = tingkat bedload dalam saluran, berat per waktu dan lebar
((kg/s)/m)
Kemiringan energi didapat dari persamaan strickler: S 2 K2 ………. (2. ) Dimana: V = kecepatan aliran
Dari persamaan 2.27. koeffisien dijelaskan oleh muller seperti:
K 26
0 6
………. (2.32)
Dimana:
d90 = Prosentase diameter lolos saringan 90 % (m) 2.4 Hubungan Erosi dengan Besarnya Sedimentasi
Hubungan berlangsungnya erosi oleh air hujan di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terpantau di aliran sungai bagian bawah daerah tangkapan air tersebut erat kaitannya dengan sistem hidrologi DAS. Hujan sebagai masukan dalam sistem hidrologi DAS setelah mengalami proses akan menghasilkan keluaran berupa debit aliran dan muatan sedimen. Komponen-komponen masukan, proses, dan keluaran dalam sistem hidrologi DAS terkait satu sama lain dimana keluaran yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh masukan dan proses yang terjadi. Dengan demikian maka keluaran berupa muatan suspensi selain dipengaruhi oleh karakteristik fisik DAS sebagai komponen sistem proses, juga dipengaruhi oleh hujan yang merupakan komponen masukan. Secara lebih lanjut karakteristik aliran sungai juga berperan dalam transpor muatan suspensi yang merupakan material hasil erosi. Dengan demikian maka hujan dan karakteristik aliran memiliki pengaruh nyata dalam proses erosi hingga transportasi muatan suspensi sebagai material hasil erosi.
2.5 Debit Air
Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi suatu lahan pertanian, maka debit air yang berada di bendung harus lebih dari cukup untuk disalurkan ke saluran-saluran irigasi menuju sawah.
Agar penyaluran air f ’ k k efisien mungkin maka dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pengukuran debit air. Dengan distribusi yang terkendali dengan bantuan pengukuran tersebut, maka masalah kebutuhan air irigasi dapat diatasi tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat petani dalam memakai air irigasi.
Pengukuran debit air pengairan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam pengukuran debit dapat dilakukan dengan beberapa metode dan alat-alat pengukur, sehingga dalam pelaksanaannya dapat mengalami kesulitan.
2.5.1 Pengukuran Debit Air Secara Langsung
Dalam pengukuran debit secara langsung digunakan beberapa alat pengukur yang langsung dapat menunjukkan ketersediaan air dan telah ada atau di telah bangun pada saluran irigasi.
Ada berbagai alat pengukuran debit yang biasa digunakan, antara lain: a. Alat Ukur Pintu Romijn:
Ambang dari pintu romijn dalam pelaksanaan pengukuran dapat dinaik-turunkan, yaitu dengan bantuan alat pengangkat. Pengukuran debit aliran dengan pintu romijn menggunakan rumus sebagai berikut:
………(2.33)
Dimna:
Q = debit air (liter/detik) ba = lebar ambang (m)
h = tinggi permukaan air (cm)
Sumber: KP-04 (hal: 36)
b. Sekat Ukur Cipoletti (Meetschot tipe Cipoletti)
Alat ini berbentuk trapezium, perbandingan sisi 1:4 lazim digunakan untuk mengukur debit air yang relative besar. Pengukuran dengan alat ini menggunakan rumus sebagai berikut:
………(2. 4)
Dimana:
Q = debit air (liter/detik) ba = lebar ambang (cm)
h = tinggi permukaan air (cm)
Gambar 2.8 Gambar Skat Ukur Cipoletti
c. Sekat Ukur Thompson
Berbentuk segitiga sama kaki dengan sudut 90º, dapat dipindah-pindahkan karena bentuknya sangat sederhana (portable). Lazim digunakan debit yang relatif kecil. Penggunaan dengan alat ini memperhatikan rumus sebagai berikut:
……….. (2.35)
Dimana:
Q = debit air (liter/detik) h = tinggi permukaan air (cm)
BANGUNAN PENGUKUR DEBIT
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
KETERANGAN
ALAT UKUR
AMBANG
LEBAR
1,6
2 %
0,1 h
sampai
1
0,33 h
1
+
+ +
1
rendah
dianjurkan untuk
pengukur debit
jika muka air
harus tetap
bebas
ALAT UKUR
CIPOLETTI
1,5
5 %
h
1
+ 0,05
m
- -
- -
1
sedang
tidak dianjurkan
ME
NG
UK
UR
S
AJA
ALAT UKUR
PARSHALL
1,6
3 %
0,5 h
1
sampai
0,2 h
1
+
+ +
1
sangat
mahal
tidak dianjurkan
ALAT UKUR
ROMIJN
1,6
3 %
0,03 h
1
+
+
1
atau
2
mahal
dianjurkan jika u
harus 1,6
ALAT UKUR
CRUMP DE
GRUYTER
0,5
3 %
≤ h
1
w
w =
bukaan
pintu
- +
-
2
sedang
dianjurkan jika u
harus = 0,5
ME
NG
UK
UR DAN
M
E
NG
AT
UR
ORIFIS
DENGAN
TINGGI
ENERGI
TETAP
0,5
> 7
%
> 0,03 m
-
- -
3
paling
mahal
tidak dianjurkan
1. Eksponen U
dalam Q =
Kh
1
u
2. % kesalahan
dalam tabel
debit
3. kehilangan
energi yang
diperlukan
pada h
1
4. Kemampuan
melewatkan
sedimen
5. Kemampuan
melewatkan
benda-benda
hanyut
6. Jumlah
bacaan
papan duga
pada aliran
moduler
7. Biaya
pembuatan
relatif
+ + baik sekali
+ baik
- + memadai
- tidak
memadai
- - jelek
Gambar 2.9 Gambar Skat Ukur Thompson
d. Alat Ukur Parshall Flume
Alat ukur tipe ini ditentukan oleh lebar dan bagian penyempitan, yang artinya debit air diukur oleh berdasarkan mengalirnya air melalui bagian yang menyempit dengan bagian dasar yang direndahkan. Karena ukuran lebar dan bagian yang menyempit berbeda-beda, maka penggunaan rumus bagi pelaksanaan pengukuran ini hendaknya disesuaikan dengan ukuran lebar bagian yang menyempit tadi. Dalam hal ini:
Jika lebar penyempitan (W) = 7,62 cm, rumus yang digunakan:
0, , ……….. (2.36)
Jika lebar penyempitan (W) = 15,24 cm, rumus yang digunakan:
0,26 , ……….. (2.37)
Jika lebar penyempitan (W) = 22,86 cm, rumus yang digunakan:
0, 66 , ……….. (2.38)
Dimana:
Q = debit air (liter/detik) W dan Ha = cm
Gambar 2.10 Gambar Alat Ukur Parshall Flume 2.5.2 Pengukuran Debit Air Secara Tidak Langsung
Dalam pengukuran debit air secara tidak langsung yang sangat perlu diperhatikan adalah kecepatan aliran (V) dan luas penampang saluran (A). Sehingga rumus yang digunakan untuk mengukur debit aliran adalah:
Q = V x ……….. (2.39) Dimana:
Q = debit aliran (m3/detik)
V = kecepatan aliran (m/detik) A = luas penampang saluran (m2)
Kecepatan aliran dapat diukur dengan menggunakan pelampung (metode apung), dengan alat ukur arus (current meter), atau dengan menggunakan rumus.
1. Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan pelampung (metode apung)
Cara ini sangat mudah dilakukan walaupun dengan keadaan air yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang terhanyutkan, sehingga cara ini paling sering digunakan.
Tempat yang sebaiknya dipilih dalam pengukuran adalah bagian sungai atau saluran yang lurus dengan dimensi seragam, sehingga lebar permukaan air dapat dibagi dalam beberapa bagian dengan jarak lebar 0,25 m sampai 3 m tergantung kepada lebar permukaan.
Ada dua jenis pelampung yang sering digunakan, yaitu: Pelampung permukaan
Untuk mengukur kecepatan aliran permukaan bisanya digunakan sepotong kayu atau bambu dengan panjang 15 sampai 30 cm, tebal atau diameter 5 cm. Supaya mudah dilihat, kayu itu dicat atau kadang-kadang pada malam hari dipasang bola lampu listrik kecil. Untuk mengukur kecepatan aliran juga bisa menggunakan botol.
Untuk mendapat harga yang teliti adalah sulit diketahui karena disebabkan oleh pengaruh angin atau perbandingan yang berubah-ubah dari kecepatan aliran permukaan terhadap kecepatan aliran rata-rata yang sesuai dengan keadaan sungai. Kecepatan rata-rata aliran pada penampang sungai yang diukur adalah kecepatan pelampung permukaan dikali dengan koeffisien 0,70 atau 0,90, tergantung dari keadaan sungai dan arah angin. Dr. Bazin menggunakan koeffisien 0,86 (Kartasapoetra, 1994).
Pelampung tungkai
Pelampung tangkai dibuat dari sepotong/setangkai kayu atau bambu yang diberi pemberat pada ujung bawahnya. Pemberat itu dibuat dari kerikil yang dibungkus dengan jaring atau kain di ujung bawah tungkai.
Gambar 2.11 Jenis-jenis Pelampung
Beberapa saat sesudah pelepasan, pelampung itu tidak stabil. Jadi pelampung harus dilepaskan kira-kira 20-50 m di sebelah hulu garis observasi pertama, sehingga pada waktu observasi, pelampung itu telah mengalir dalam keadaan yang stabil. Hal ini akan dipermudah jika di sebelah hulu titik pelepasan terdapat jembatan. Mengingat posisi pelepasan itu sulit ditentukan, maka sebelumnya harus disiapkan tanda yang menunjuk posisi tersebut dengan jelas.
Gambar 2.12 Sketsa alur sungai untuk pengukuran
kecepatan metode pelampung
Bila kecepatan aliran diukur dengan pelampung, maka diperoleh persamaan debit sebagai berikut:
k ………. (2.40)
Dimana:
Q = debit (m3/det)
A = luas penampang basah (m2) k = koefisien pelampung u = kecepatan pelampung
nilai k untuk pelampung tungkai dipakai adalah:
k -0. 6 (√ - - ) ………..……..………. (2.41) Dimana:
k = koefisien pelampung
= kedalaman tungkai (h) per kedalaman air (d) = h/d
Gambar 2.13 Sketsa Pelampung Tungkai
2. Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan alat ukur arus (current
meter)
Alat ukur arus biasanya digunakan untuk mengukur aliran pada air rendah, jadi kurang bermanfaat jika digunakan pada aliran sungai ketika debit banjir. Karena hasilnya akan kuran teliti.
Prinsip kerja jenis current meter ini adalah mangkok atau baling-baling berputar dikarenakan partikel air yang melewatinya. Jumlah putaran mangkok atau baling-baling per waktu pengukuran dapat memberikan kecepatan arus yang sedang diukur apabila dikalikan dengan rumus kalibrasi mangkok atau baling-baling tersebut.
Alat ukur arus baik berbentuk mangkok maupun yang berbentuk baling-baling digerakkan dengan tenaga baterei, dalam kerjanya setiap putaran sumbu k k b “k k” yang bertugas. Kecepatan aliran diperhitungkan dengan dengan jumlah bunyi tadi atau jumlah angka putaran setiap waktu pada tachometer. Terdapat pula current
meter secara listrik dapat langsung merubah putaran menjadi kecepatan. Biasanya
waktu yang dibutuhkan untuk satu pengukuran yaitu 40 sampai 70 detik. Pemeriksaan bagian yang berputar dilakukan dengan menggerakkan bagian tersebut dengan kecepatan yang stabil dalam yang statis. Dengan pemeriksaan ini koeffisien-koeffisiennya dapat ditentukan dan dengan demikian kecepatan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
V = an + b ………... (2.42) Dimana:
V = kecepatan aliran (m/detik)
n = jumlah putaran dalam waktu tertentu
a dan b = koeffisien/ketetapan yang diperoleh dari pemeriksaan 3. Pengukuran kecepata aliran menggunakan rumus-rumus
Dalam pengukuran kecepatan aliran dapat diperhitungkan dengan menggunakan beberapa rumus sebagai berikut:
Rumus Chezy
C√ S ………... (2.43)
Dimana:
V = kecepatan aliran air (m/detik)
C = koeffisien kekasaran dinding dan dasar saluran Rh = jari-jari hidrolis (m)
Ss = kemiringan muka air pada saluran (%) Rumus Strickler
K 2 S 2 ……… (2.44)
Dimana:
V = kecepatan aliran air (m/detik)
K = koeffisien kekasaran dinding dan dasar saluran Rh = jari-jari hidrolis (m)
Rumus Manning
2 S 2 ……… (2.45)
Dimana:
V = kecepatan aliran air (m/detik)
n = koeffisien kekasaran dinding dan dasar saluran Rh = jari-jari hidrolis (m)
Ss = kemiringan muka air pada saluran (%)
2.6 Perencanaan Kantong Lumpur
Kantong lumpur merupakan bangunan utama yang berfungsi untuk mengurangi kecepatan aliran dan memberi kesempatan kepada sedimen untuk mengendap, terutama fraksi pasir dan yang lebih besar agar tidak masuk ke jaringan pengairan. Untuk menampung endapan sedimen, dasar bagian saluran tersebut diperdalam atau diperlebar. Bangunan kantong lumpur pada umumnya dibangun di hilir bangunan pengambil (intake) sebelum masuk ke saluran induk.
Partikel-partikel yang lebih halus di sungai diangkut dalam bentuk sedimen layang dan tersebar merata di seluruh kedalaman aliran. Semakin besar dan berat partikel yang terangkut, semakin partikel-partikel itu terkonsentrasi ke dasar sungai; bahan-bahan yang terbesar diangkut sebagai sedimen dasar.
Jaringan saluran direncana untuk membuat kapasitas angkutan sedimen konstan atau makin bertambah di arah hilir. Dengan kata lain, sedimen yang memasuki jaringan saluran akan diangkut lewat jaringan tersebut ke sawah-sawah. Dalam kaitan dengan perencanaan kantong lumpur, ini berarti bahwa kapasitas angkutan sedimen pada bagian awal dari saluran primer penting artinya untuk ukuran partikel yang akan diendapkan. Biasanya ukutan partikel ini diambil 0,06-0,07 mm guna memperkecil kemiringan saluran primer.
2.6.1 Dimensi Kantong Lumpur
Partikel yang masuk ke kolam pada A, dengan kecepatan endap partikel w dan kecepatan air v harus mencapai dasar pada C. Ini berakibat bahwa, partikel, selama waktu (H/w) yang diperlukan untuk mencapai dasar, akan berjalan (berpindah) secara horisontal sepanjang jarak L dalam waktu L/v.
Gambar 2.14 Skema Kantong Lumpur
Pergerakan partikel sedimen dapat dibagi dalam dua arah, yaitu arah horizontal (arah L) dan arah vertical (arah H), dengan demikian berlaku persamaan: H = w . t ……….……… (2. 6) L = v . t ……….……… (2. 7) maka, w H = v L , dengan v = HB Q Dimana:
H = kedalaman aliran saluran, m
w = kecepatan endap partikel sedimen, m/dt L = panjang kantong lumpur, m
v = kecepatan aliran air, m/dt Q = debit saluran, m3/dt B = lebar kantong lumpur, m
Sehingga, LB = W
Q
……… (2.48) Karena sangat sederhana, rumus ini dapat dipakai untuk membuat perkiraan awal dimensi-dimensi tersebut. Untuk perencanaan yang lebih detail, harus dipakai faktor koreksi guna menyelaraskan faktor-faktor yang mengganggu, seperti:
Turbulensi air
Pengendapan yang terhalang Bahan layang sangat banyak
Velikanov menganjurkan faktor-faktor koreksi dalam rumus berikut:
LB = H H w v w Q 2 ( 0.5 0.2)2 51 . 7 ………..(2.49) Dimana:
L = panjang kantong lumpur, m B = lebar kantong lumpur, m Q = debit saluran, m3/dt
w = kecepatan endap partikel sedimen, m/dt = koefisiensi pembagian/distribusi Gauss
adalah fungsi D/T,
dimana D = jumlah sedimen yang diendapkan, dan T= jumlah sedimen yang diangkut
= 0 untuk D/T = 0,5 ; = 1,2 untuk D/T = 0,95 dan = 1,55 untuk D/T = 0,98
v = kecepatan rata-rata aliran, m/dt H = kedalaman aliran air di saluran, m
Dimensi kantong sebaiknya juga sesuai dengan kaidah bahwa L/B > 8, k k “ ” k .
Apabila topografi tidak memungkinkan diturutinya kaidah ini, maka kantong harus dibagi-bagi ke arah memanjang dengan dinding-dinding pemisah (devider wall) untuk mencapai perbandingan antara L dan B ini.