• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang benda-benda buatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang benda-benda buatan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang benda-benda buatan manusia dengan tujuan untuk merekonstruksi kehidupan masa lampau (Soebroto,1982:11). Salah satu cabang dari ilmu arkeologi adalah epigrafi (epigraphy) yakni ilmu membaca dan menafsirkan prasasti (Dwiyanto,1985:2). Prasasti berisi tentang keputusan yang mengikat serta mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan dalam penetapannya diresmikan dengan suatu upacara (Bakker, 1972:4-10, Boechari,1977: 2-4). Prasasti dapat dikatakan merupakan bukti otentik tertulis tentang kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat.

Prasasti pada masa Jawa Kuno biasanya dikeluarkan sebagai tanda ditetapkannya suatu daerah menjadi sima atau daerah perdikan. Melalui sima tersebut dapat diketahui berbagai aspek kehidupan yang meliputi aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang tampak langsung dari kalimat-kalimatnya dan ada pula yang masih membutuhkan interpretasi hingga dapat mempunyai makna (Boechari, 1977:4). Sima berasal dari bahasa Sansekerta siman yang artinya tapal batas (sawah, tanah,dan desa). Sima yakni suatu bidang tanah atau lahan, daerah atau wilayah yang menjadi kawasan otonom (perdikan), sebagai anugerah raja kepada seorang pejabat yang telah berjasa kepada kerajaan atau sebagai anugerah raja untuk kepentingan pengelolaan

(2)

suatu bangunan suci yang biasanya berkenaan dengan pendharmaan1 (Boechari, 1977:5). Sima adalah tugu atau tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah perdikan (Ayatrohaedi, 1978: 163). Biasanya tugu ini berbentuk lingga2 dan dipasang di keempat sudut sebuah desa atau wilayah yang ditetapkan sebagai tanah perdikan. Selain berisikan tentang penetapan sima, ada sebagian kecil yang isinya memuat tentang keputusan hukum atau keputusan pengadilan mengenai masalah kewarganegaraan dan hutang piutang. Prasasti semacam ini biasa dikenal dengan sebutan Jayapatra3.

Sima ditetapkan melalui suatu upacara yang terbagi ke dalam tiga bagian, yakni persiapan, pelaksanaan, dan penutupan. Tahap persiapan dilakukan untuk menentukan tempat upacara yang berupa tanah lapang. Setelah itu, disiapkan watu sima dan watu kulumpaŋ. Watu sima merupakan sebuah batu yang (kemungkinan) berbentuk lingga dan ditempatkan di tengah-tengah tempat upacara, sedangkan watu kulumpaŋ adalah batu yang (kemungkinan) berbentuk yoni4. Batu tersebut digunakan sebagai sarana untuk memecahkan telur oleh makudur. Makudur adalah orang yang bertugas memimpin jalannya upacara penetapan sima. Hal yang juga penting untuk disiapkan adalah saji-sajian, makanan dan minuman. Setelah persiapan selesai

1

Dharmma: Bangunan suci yang dibangun sebagai persembahan untuk raja yang telah wafat (biasanya berupa candi).

2

Lingga: Batu berbentuk tiang sebagai tugu peringatan, dsb; tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, berbentuk tiang, melambangkan kesuburan.

3

Jayapatra: Prasasti yang memuat tentang masalah utang piutang dan kewarganegaraan.

4

Yoni: Pasangan lingga yang merupakan simbol dari alat kelamin wanita. Di beberapa daerah di Indonesia yoni disebut juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung yang terbuat dari batu.

(3)

dilakukan, tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan. Urutan pelaksanaan upacara adalah pemberian pisungsung (pasek-pasek). Pisungsung ini merupakan semacam persembahan yang diberikan kepada tamu-tamu penting yang diundang, seperti para pejabat kerajaan, pejabat desa, dan saksi. Para istri mereka kadangkala juga mendapatkan bagian pisungsung. Persembahan yang diberikan biasanya berupa kain, emas, dan cincin. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemberian saji-sajian untuk Saŋ Hyaŋ Kulumpaŋ dan Saŋ Hyaŋ Brahma (biasanya berupa kain, uang, emas, alat pertanian dan seperangkat alat makan minum), duduk mengelilingi watu kulumpaŋ5, upacara korban, pengucapan sapatha (sumpah atau kutukan bagi yang melanggar), dan kemudian penanaman batu sima6.

Prosesi upacara penetapan sima ini kemudian ditutup dengan serangkaian acara pesta dimana didalamnya disajikan makanan, minuman serta dipertontonkan sebuah atraksi hiburan. Pesta merupakan sebuah aktivitas yang sangat lazim ditemui dikalangan masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988:678 ) mendefinisikan pesta sebagai perjamuan makan minum (dalam suasana bersuka ria), atau dapat juga diartikan sebagai perayaan. Prosesi pesta identik dengan berkumpul

5

Kulumpaŋ: Batu suci yang berperan dalam upacara penetapan sima. Kulumpang menjadi landasan bagi makudur untuk memotong leher ayam.

6

Upacara penetapan sima membutuhkan dua macam benda untuk ditanam. Kedua benda itu adalah saŋ hyaŋ watu sima atau saŋ hyaŋ watu teas dan batu patok (watu sima) . Watu teas merupakan batu inti yang ditanam ditengah-tengah tanah sima. Sedangkan batu patok merupakan batu yang digunakan sebagai penanda dan biasanya ditanam pada sudut-sudut tanah sima, baik pada keempat sudutnya maupun

kedelapan sudutnya. Namun hingga kini, belum pernah ditemukan batu patok yang lengkap dari suatu sima (Darmosoetopo 2003 : 117-118).

(4)

dan bersuka ria dengan aktivitas utama berupa makan minum yang disertai dengan pertunjukan. Makan dan minum menjadi hal yang wajib ada dan penting dalam sebuah pesta.

Pesta sudah dikenal sejak masa Jawa Kuno. Bukti-bukti prasasti banyak menyebutkan tentang adanya pesta dalam keseharian masyarakat Jawa Kuno, termasuk disebutkan jenis makanan dan minuman yang tersaji didalamnya. Lebih lanjut mengenai aktivitas pesta beserta dengan kelengkapan yang menyertainya dapat diungkap melalui bukti-bukti prasasti yang merupakan data otentik dalam arkelogi.

Pesta ini tergolong sangat meriah dan mewah mengingat perlengkapan yang dibutuhkan sangat banyak. Perlengkapan yang terdapat dalam aktivitas pesta akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya melalui beberapa prasasti pada masa Jawa Kuno yang sebagian besar memuat tentang penetapan sima. Meski demikian, tidak semua prasasti tersebut menyebutkan secara rinci mengenai aktivitas pesta dalam upacara penetapan sima. Prasasti yang membahas mengenai aktivitas pesta di antaranya adalah Taji 823 Ç, Panggumulan 825 Ç, Mantyasih 907 Ç, dan Rukam 829 Ç. Prasasti-prasasti tersebut memperlihatkan bagaimana kemewahan pesta dalam upacara penetapan sima. Aktivitas pesta dalam upacara penetapan sima selalu disertai dengan perjamuan makan minum dan hiburan. Data prasasti juga menyebutkan mengenai makanan, minuman, serta hiburan tersebut. Salah satu prasasti yang menggambarkan jenis makanan dan minuman dengan cukup lengkap adalah prasasti Rukam:

(5)

7. saŋ paṅuraŋ muaŋ wahuta patiḥ muaŋ rāma tpi siriŋ muaŋ rāmanta reṇanta saŋ sinusuk kabaiḥ grāma wiku kapua winaiḥ manaḍaḥha irikāŋ paglaran lwir niŋ tinadaḥ skul paripūrṇna timan matu

8. mpuk tumpuk haraŋ haraŋ ḍeŋ kakap kadiwas ikan ḍuri ḍeŋ hanaŋ kawan kawan rumahan layar layar hala hala huraŋ dlag inariŋ muaŋ hantrȋṇi gtam mańkanaŋ gańan haḍańan sapi

9. wök sukan dinadyakan kla kla samenaka hana amwil amwil ataḥ ataḥ kasyakasyan sańasańān ḍalamman hinaryyasan ginańannan rumwarumwaḥ kulubkulubwan ḍuḍutan tetis ma

10. ńkanaŋ ininum twak siddhû cinca…(Nastiti, 1982:25)

Terjemahan:

7. san panuran dengan wahuta putih dan pejabat desa perbatasan, para pejabat (dan) para ibu semua yang desanya dibatasi, penduduk (dan) pendeta (desa Rukam). Semuanya disuguhi hidangan yang tersaji di hamparan. Hidangan yang dimakan berupa: nasi paripurna, makanan yang telah di tim

8. bertumpuk- tumpuk, haran-haran, daging kakap, kadiwas, ikan duri, daging hanan (?), kawan-kawan (?), rumahan, layar- layar,

hala- hala, udang rebus;makanan yang dikeringkan, telur, kepiting;

demikian juga sayur (yang dibuat dari) daging kerbau, (daging) sapi 9. (daging) babi; semua (makanan) yang disukai (hadirin) dijadikan makanan serba lezat. Ada amwil lamwil (?) lalap mentah, kasya-

kasyan (?), sayur, rumwarumwah, kulubkuluban, dudutan, tetis.

10. Demikian pula (jenis-jenis) minuman (keras seperti) tuak,

siddhu, cinca….(Ibid.,hlm. 39)

Selesai menyantap makanan dan minuman tersebut pesta dilanjutkan dengan acara hiburan. Hiburan yang disajikan biasanya berupa menyanyi, menari, dan pertunjukan. Prasasti Panggumulan menggambarkannya dalam penggalan prasasti berikut:

4. rāmanta raiṇanta muaŋ ṅanak wanua kabaiḥ laki lakia waduan matuha rarai milu mahantyan tan hana kāntun kapwa mamaṅan maṅinum maṅigal kapua umtuakan inak ni amwek nira nāha (Nastiti, 1982: 16)

(6)

Terjemahan:

4. Para rama serta ibu-ibu dengan penduduk desa semua, pria- wanita, tua-muda ikut berganti-ganti, tidak ada yang ketinggalan, semuanya makan,minum, menari dan meminum tuak sampai senang hati mereka. Demikianlah… (Ibid.,hlm.35)

Pertunjukan kesenian adakalanya juga turut ditampilkan dalam pesta setelah upacara penetapan sima. Beberapa pertunjukan yang ditampilkan diantaranya seperti wayang, tembang, lawak, dan kesenian lainnya. Beberapa prasasti menyebutkan secara khusus mengenai alat-alat gamelan yang digunakan sebagai pelengkap seni pertunjukan. Pada masa Jawa Kuno dikenal beberapa istilah yang menjelaskan tentang alat-alat musik seperti : padahi (kendang), ghata (bel), marga (kecer), bujing (angklung), dan cangka (terompet karang).

Aktivitas pesta dalam sebuah upacara semacam ini masih dapat dijumpai hingga sekarang. Namun tentu saja makna dari upacara yang diadakan tidak persis dengan upacara pada jaman dahulu. Hal tersebut disebabkan karena pada masa kini, upacara penetapan sima sudah tidak ada lagi. Meskipun makna tidak sama persis, namun terdapat hal-hal yang serupa dari tradisi pesta dalam sebuah upacara pada jaman dahulu dan jaman sekarang. Esensi pesta pada upacara penetapan sima dan pada upacara Rasulan memiliki kesamaan yakni sebagai ungkapan rasa syukur dan bersuka ria. Penelitian ini kemudian menggunakan data etnografi sebagai alat bantu untuk mempermudah penulis melakukan penafsiran, karena akan sangat sulit

(7)

dilakukan penafsiran jika data yang digunakan hanya bersumber dari data prasasti, karena informasi yang diperoleh dari data prasasti sangat terbatas.

Salah satu contoh daerah yang akan diambil penulis sebagai alat bantu penelitian ini adalah wilayah Gunungkidul, tepatnya di Kecamatan Girisubo. Ritual upacara yang akan diteliti adalah Rasulan atau Merti Desa. Rasulan merupakan sebuah acara yang diadakan dengan maksud untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas rizki yang telah diberikan selama setahun. Tradisi Rasulan ini diadakan setahun sekali dan jatuh pada Jum‟at kliwon dengan terlebih dahulu dilakukan perhitungan hari baik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap sesepuh desa, tradisi Rasulan telah diadakan sejak dahulu, namun tidak diketahui secara pasti sejak kapan awal mulanya. Dahulu upacara ini dikenal dengan nama Merti Desa. Namun kemudian disebut dengan Rasulan setelah agama Islam mulai dikenal di wilayah tersebut. Penulis memilih tradisi Rasulan karena dalam pengamatan yang telah dilakukan, pelaksanaan ritual beserta kelengkapan dalam tradisi Rasulan tersebut hampir serupa dengan pelaksanaan upacara penetapan sima, terutama dalam hal penyelenggaraan pesta sesuai dengan topik yang akan ditonjolkan dalam penelitian ini. Sebagian besar penduduk di wilayah Gunungkidul hampir dapat dipastikan mengadakan upacara ini setiap tahunnya. Namun penulis mempersempit lingkup wilayah tersebut dan memilih kecamatan Girisubo sebagai data utama untuk mendukung penelitian ini. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap pejabat desa kecamatan Girisubo, wilayah ini masih mempertahankan keaslian dari upacara Rasulan. Jika dibandingkan dengan wilayah yang lain, prosesi Rasulan di Girisubo

(8)

tergolong masih berpatokan pada prosesi upacara Rasulan dari jaman dahulu, belum terlalu banyak tercampur dengan budaya modern seperti pada wilayah lainnya.

Selama ini aktivitas pesta makan minum dalam upacara penetapan sima dianggap sebagai sebuah acara yang didalamnya merupakan ajang untuk bersuka ria semata. Penelitian ini mencoba menganalisis apakah pesta yang disebut dalam prasasti bersifat sakral atau profan melalui pendekatan etnoarkeologi. Prasasti sebagai data utama dalam penelitian ini, dibatasi cakupannya yakni pada masa Balitung saja. Pembatasan tersebut dilakukan dengan alasan Balitung merupakan raja yang paling banyak mengeluarkan prasasti tentang penetapan sima. Dari sekian banyak prasasti yang telah dikeluarkan oleh Balitung, penulis masih melakukan pembatasan lagi berdasarkan topik yang akan dibahas dalam penelitian terutama yang berkaitan dengan aktivitas pesta pada upacara penetapan sima.

B. Perumusan Masalah

Penekanan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah pelaksanaan pesta dalam upacara penetapan sima?

2. Bagaimanakah sifat pesta dalam sebuah upacara, apakah sakral atau profan?

(9)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas maka penelitian ini memiliki tujuan, yaitu: 1. Memberikan gambaran gagasan-tingkah laku masyarakat pada masa

lampau pada saat menyelenggarakan upacara sima.

2. Mengetahui nilai penting atau esensi pesta dalam sebuah upacara penetapan sima.

D. Tinjauan Pustaka

Sumber yang paling relevan dalam menggambarkan prosesi sebuah upacara penetapan sima didapat dari prasasti-prasasti terutama yang dikeluarkan pada kurun waktu abad IX – XV Masehi. Hampir sebagian besar prasasti yang dikeluarkan pada masa Jawa Kuno memang berkaitan erat dengan penetapan sima. Selain itu, ada juga sebagian kecil yang membahas mengenai pemerintahan dan hukum. Beberapa tulisan yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema-tema tersebut adalah sebagai berikut.

Haryono (1999) pernah menulis artikel dalam Humaniora, yang berjudul Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan ritual upacara penetapan Sima pada masa kerajaan Mataram Kuno. Artikel tersebut menguraikan secara lengkap mengenai perlengkapan upacara dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat pendukung serta penjelasannya. Melalui artikel yang telah ditulis secara lengkap itu, dapat diketahui latar belakang upacara sima dengan penjelasannya.

(10)

Nastiti (1982) menulis buku yang berjudul Tiga prasasti dari masa Balitung. Buku tersebut berisikan transkripsi dan transliterasi tiga prasasti pada masa yakni Taji, Panggumulan, dan Rukam. Nastiti tidak hanya melakukan transkripsi dan transliterasi, namun juga meneliti morfologi aksara yang digunakan dalam penulisan ketiga prasasti tersebut. Tulisan ini mempermudah penulis dalam hal transliterasi.

Penelitian mengenai seni pertunjukan pernah dilakukan oleh Sancoyo (1983) yang kemudian terangkum dalam skripsi sarjana mudanya yang berjudul Seni Pertunjukan dan Peranannya Pada Masa Kesenian Indonesia Hindu Abad VIII – IX Masehi. Skripsi tersebut menguraikan secara lengkap mengenai kesenian dan pertunjukan yang dipertontonkan pada sebuah pesta, seperti jenis tari dan alat musik sebagai pelengkap pertunjukan kesenian itu sendiri. Sancoyo juga membahas peranan pesta tersebut dalam kehidupan masyarakat pada masa kesenian Indonesia Hindu. Bahasan mengenai jenis pertunjukan seni dan kelengkapannya yang telah ditulis dengan cukup rinci ini dapat digunakan untuk melengkapi data dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.

Permasalahan mengenai sima dibahas dengan cukup mendetail dalam buku yang ditulis oleh Darmosoetopo (2003) yang berjudul “Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX – X TU”. Buku ini mengungkap dengan rinci berbagai hal mengenai Sima, mulai dari proses pelaksanaan upacara, pajak, pejabat yang berwenang, bangunan keagamaan, dan sebagainya.

(11)

Penelitian mengenai tradisi upacara rasulan salah satunya dibahas oleh Wahyana Giri (2010) dalam bukunya yang berjudul “Sajen Dan Ritual Orang Jawa”. Buku ini membahas mengenai berbagai macam ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa beserta perlengkapannya. Bahasan mengenai tradisi Rasulan yang terdapat dalam buku ini dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat umum saja yakni mendeskripsikan pelaksanaan upacara penetapan sima. Penelitian mengenai jenis makanan dan minuman memang pernah dilakukan, namun masih berupa usaha untuk melakukan pengelompokan saja. Skripsi ini mencoba untuk mengetahui sifat pesta dalam upacara yang belum pernah dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Anggapan bahwa sebuah pesta merupakan sebuah acara sebagai ajang untuk bersuka ria semata, akan dicoba untuk ditilik lebih dalam lagi pada penelitian ini sehingga nantinya diharapkan dapat diketahui bagaimana sifat sebuah pesta dalam rangkaian upacara sima.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk memahami objek yang dijadikan sasaran penelitian beserta langkah-langkahnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau

(12)

gejala- gejala yang bersifat khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empirik (Tanudirjo, 1989-1999:4).

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnoarkeologi yang sifatnya eksplanatif, yakni berusaha menjelaskan data arkeologi dengan menggunakan data etnografi. Pendekatan etnoarkeologi merupakan suatu pendekatan yang dalam penelitiannya mengkaji tingkah laku dan benda-benda budaya dari masyarakat yang hidup sekarang (Bahn, 1992:162). Penelitian terhadap data etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia masyarakat secara timbal-balik, tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu berarti pula belajar dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan utama penelitian etnoarkeologi, yaitu untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Tanudirjo (1987, 8-9:64) mengatakan bahwa pendekatan etnoarkeologi berfungsi sebagai sarana untuk menjelaskan dan menafsirkan data arkeologi, serta merupakan merupakan sarana untuk mendokumentasikan aspek-aspek kehidupan tradisional yang masih berlangsung. Data etnografi dikumpulkan langsung dari masyarakat yang masih hidup (Mundarjito,1981:17). Selain itu dapat juga berasal dari buku-buku yang memuat bahan keterangan mengenai berbagai aspek kehidupan manusia didalam kelompok-kelompok etnis. Model pendekatan ini didasarkan oleh pandangan bahwa budaya yang ada sekarang merupakan perkembangan dari budaya masa lampau, sehingga ciri budaya yang ada adalah warisan dari budaya yang telah berkembang sebelumnya. Tradisi upacara Rasulan di Gunungkidul terutama di Kecamatan Girisubo dapat dikatakan sebagai warisan budaya masa lampau karena dalam

(13)

perkembangannya hingga kini, masyarakat pendukungnya masih menjaga keaslian dari upacara tersebut terutama dalam hal esensi dan prosesinya.

Beberapa tahap penelitian yang dilakukan adalah tahap pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan.

a. Tahap Pengumpulan data

Sebagai data primer atau data utama, akan digunakan data berupa transkripsi prasasti. Prasasti yang akan digunakan adalah prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung yang memerintah selama kurang lebih 12 tahun (898-910 M). Pada masa pemerintahannya, Rakai Watukura Dyah Balitung mengeluarkan prasasti sebanyak 38 buah. (Henny, 2006:6) menyebutkan sebagian besar prasasti yang dikeluarkan pada masa Balitung berisikan tentang penetapan sima suatu wilayah, penebusan tanah, perhitungan kembali luas tanah, pembuatan bendungan, pajak,dan juga pelaksanaan hukum. Masa kejayaan Mataram Kuno tampaknya diraih pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, yakni dengan pembenahan keadaan dalam negeri yang terlaksana dengan baik .

Namun tentu saja tidak semua prasasti akan dibahas satu persatu. Penulis hanya akan mengambil beberapa prasasti yang telah terlebih dahulu dipilih sebelumnya untuk memudahkan penelitian. Prasasti yang dipilih tentu saja yang berhubungan dengan topik yang akan diteliti yakni mengenai pesta dalam upacara sima. Selain prasasti, penulis juga mengumpulkan data berupa kajian literatur berupa buku, jurnal, dan penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Sedangkan untuk data pendukung

(14)

yakni data etnografi, penulis akan melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi lapangan. Wawancara ini dilakukan untuk mendorong informan menceritakan budaya yang dimilikinya (Spradley,1997:78). Penulis menggunakan metode wawancara bebas (free interview), yakni hanya mencatat masalah-masalah pokok yang akan dikaji. Kelebihan dari metode ini adalah fleksibilitas (Bregt, 1978:93) sehingga dalam melakukan wawancara tidak terlalu terikat oleh pertanyaan yang telah disusun dan dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap tetua desa yang memimpin jalannya ritual, pejabat daerah, serta warga lokal yang dipilih secara acak. Penulis juga tentu saja akan melakukan observasi lapangan, dimana penulis akan ikut turun langsung mengikuti ritual Rasulan dari awal sampai akhir. Observasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara rinci bagaimana pelaksanaan, kesakralan, dan jenis makanan minuman yang dihidangkan, serta esensi pesta tersebut dalam upacara.

b. Tahap Pengolahan dan analisis Data

Pada tahap pengolahan data ini, data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan menurut jenisnya, yakni arkeologi dan etnografi. Data arkeologi didapat dari transkripsi prasasti-prasasti yang sebelumnya telah dipilih oleh penulis. Transkripsi tersebut kemudian ditransliterasikan untuk memudahkan penulis dalam melakukan penafsiran. Transliterasi didapatkan dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya. Selain dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, penulis juga turut melakukan transliterasi terhadap sebagian dari prasasti yang digunakan untuk data

(15)

penelitian tersebut. Setelah hasil transliterasi didapatkan, kemudian diambil data berupa adanya aktivitas pesta, jenis makanan, minuman serta pertunjukan yang terdapat pada masing-masing prasasti untuk kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Selain dari prasasti, penulis juga menggunakan studi pustaka berupa buku, jurnal, penelitian, dan skripsi-skripsi yang telah ada. Data etnografi yang berupa hasil wawancara dan observasi digunakan sebagai data pendukung untuk mempermudah penulis dalam merumuskan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Penulis menggunakan data etnografi untuk mempermudah melakukan interpretasi terhadap pengetahuan masa lampau dengan didasari dari pengetahuan yang didapat pada masa kini.

c. Kesimpulan

Tahap kesimpulan adalah tahap terakhir dari penelitian ini. Kesimpulan hasil penelitian ini merupakan hasil pengolahan dan analisis data sebelumnya untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan, yaitu mengenai pelaksanaan dan sifat pesta dalam upacara penetapan sima.

Referensi

Dokumen terkait

Sekalipun PHK yang dilakukan atas inisiatif pengusaha telah sesuai dengan alasan, persyaratan dan prosedur sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang akan

Modul IV ini adalah modul yang akan memberikan gambaran umum tentang kristalografi, pengetahuan tentang kristalografi sangat penting utnuk membantu mahasiswa dalam memahami dan

Berdasarkan data hasil analisis klasifikasi unsupervised yang telah di kalkulasikan di dalam grafik diatas terlihat objek terumbu karang yang mengalami kerusakan

Nugini dan Malaysia. Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan nama papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Kalo penampilan diatas panggung ya seperti itu mas, tuntutan profesilah, harus pake baju agak seksi, pandai merayu dengan kata-kata mesra kepenyawerlah, hehe, seperti mas tadi

Untuk mengetahui pengaruh pemberian program promosi kesehatan pencegahan diabetes melalui media audio visual terhadap peningkatan tingkat pengetahuan dan sikap pada

Asam askorbat yang ada di dalam buah Mengkudu adalah sumber vitamin C yang luar biasa, Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang hebat, Antioksidan bermanfaat