• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komitmen

2.1.1 Pengertian komitmen

“Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi.” (Soekidjan, 2009:56). Menurut Meyer dan Allen (dalam Ikhsan dan M Ishak, 2005) :

“Komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut. “

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen

Komitmen pegawai pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap.

Steers (dalam Sopiah, 2008) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan. Berikut ini adalah ketiga faktor tersebut:

1. Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi kekuatan kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.

2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja. 3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara

(2)

David (dalam Sopiah, 2008:163) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan. Berikut ini adalah keempat faktortersebut :

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian.

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat

komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan.

Stum (dalam Sopiah, 2008:164) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi:

1. Budaya keterbukaan, 2. Kepuasan kerja,

3. Kesempatan personal untuk berkembang, 4. Arah organisasi,

5. Penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan.

(3)

Menurut Quest (dalam Soekidjan, 2009) karakteristik perilaku komitmen yang dapat dilihat pada karyawan adalah :

a. Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di organisasinya dan melakukan hal-hal yang diharapkan, serta menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.

b. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta peduli akan citra organisasi.

c. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi

d. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.

2.2 Komitmen Organisasional

2.2.1 Pengertian Komitmen Organisasional Menurut Mowday, et al. (1982):

“Komitmen organisasi adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi;

2. Mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya;

3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan organisasinya.”

Robbins (2001) memandang komitmen terhadap organisasi merupakan salah satu sikap kerja. Karena ia merefleksikan perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi

(4)

ditempat ia bekerja. Bila ia menyukai organisasi tersebut, ia akan berupaya untuk tetap bekerja disana.

Menurut Robbins (2001) :

“Komitmen dalah suatu orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi, dan keterlibatan. Komitmen terhadap organisasi mendefinisikan unsur orientasi hubungan (aktif) antara individu dan organisasinya; orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu (pekerja) atas kehendak sendiri bersedia memberikan sesuatu; dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan dukungannya bagi tercapainya tujuan organisasi.”

“Suatu komitmen organisasional menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan keterlibatannya dalam suatu bagian organisasi”. (Mowday, et al. 1982)

Trisnaningsih (2003) mengemukakan jika seseorang yang bergabung dengan suatu organisasi tentunya membawa keinginan-keinginan, kebutuhan dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja baginya, bersama-sama dengan organisasinya berusaha mencapai tujuan bersama dan untuk bekerja sama dan berprestasi kerja dengan baik, seorang karyawan harus mempunyai komitmen yang tinggi pada organisasinya.

Komitmen organisasional dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam oganisasi itu.

2.2.2 Dimensi dan Indikator Komitmen Organisasional

Meyer dan Allen (dalam Ikhsan dan M Ishak, 2005 : 36) mengemukakan tiga dimensi mengenai komitmen organisasi antara lain:

(5)

a. Komitmen Afektif (affective commitment), terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional (emotional attachment) atau psokologis terhadap organisasi.

b. Komitmen Kontinu (continuance commitment), muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena dia membutuhkan organisasi tersebut.

c. Komitmen Normatif (normative commitment), timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena dia merasa berkewajiban untuk itu.

Komitmen organisasional seseorang dapat tumbuh saat pengharapan kerjanya dapat terpenuhi oleh organisasi dengan baik yaitu saat seseorang merasa bahwa organisasi dimana ia bekerja telah memperhatikan kebutuhan dan pengharapan mereka atas pekerjaan yang telah mereka laksanakan yang tecermin dengan diberikannya penghargaan kepadanya entah dalam bentuk misalnya seperti gaji atau promosi jabatan.

Meyer dan Allen (dalam Ikhsan dan M Ishak, 2005) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda.Pegawai dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi.Pegawai yang memiliki

(6)

komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.

Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya.Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usahayang tidak maksimal.

Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

2.2.3 Konsekuensi dari Komitmen Organisasional

Menurut Greenberg, et al. (2000:184), Konsekuensi dari komitmen, yaitu:

a. Pegawai yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri (Commited employees are less likely to withdraw)

Semakin besar komitmen pegawai pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada di sana.

b. Pegawai yang memiliki komitmen bersedia untuk berkorban demi organisasinya (Commited employees are less willing to sacrifice for the organization).

(7)

Pegawai yang memiliki komitmen menunjukkan kesadaran tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk kelangsungan hidup instansi.

2.3 Komitmen Profesional

2.3.1 Pengertian komitmen profesional

Menurut Mowday, et al. (1982) komitmen profesional dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Professional commitment can be described as the intensity of an individual’s identification with, and level of involvement in his or her profession.”

Dari pengertian diatas komitmen organisasional dapat didefiniskan sebagai intensitas identifikasi individu dan tingkat keterlibatan dalam profesinya.

Sedangkan menurut Larkin (dalam Trisnaningsih, 2003) komitmen profesional dapat dikatakan sebagai tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti apa yang dipresepsikan oleh individu tersebut. Masih dari kutipan yang sama, suatu komitmen profesional pada dasarnya merupakan suatu persepsi yang berintikan loyalitas, tekad, dan harapan seseorang dengan dituntun oleh sistem nilai atau norma yang akan mengarahkan orang tersebut untuk bertindak atau bekerja sesuai dengan prosedur–prosedur tertentu dalam upaya menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.

2.3.2 Karakteristik Komitmen Profesional

Komitmen Profesional merupakan salah satu isu yang sering dikaitkan dengan kepuasan kerja meskipun tidak sebanyak komitmen organisasional. Dari berbagai literatur mengenai profesionalisme, Larson (1977) menyimpulkan bahwa komitmen professional berkembang

(8)

selama proses sosialisasi seorang individu ke dalam profesi yang dipilihnya dan adanya perhatian yang diberikan kepada nilai-nilai profesi. Sementara itu dari penelitian lainnya, Jeffrey dan Weatrhernolt (1996) diungkapkan karena komitmen profesional dikonsepkan sebagai suatu proses sosialisasi ke dalam profesi, maka akuntan publik yang bekerja lebih lama akan memiliki komitmen profesional yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang baru menjalani profesi akuntan publik.

Aranya et al (1984) menjelaskan mengenai karakteristik dari komitmen profesional, sebagai berikut:

“Umumnya karakteristik dari komitmen profesional dibagi menjadi tiga yaitu identifikasi, keterlibatan dan loyalitas”.

1. Identifikasi

Identifikasi adalah penerimaan tujuan, kesamaan nilai-nilai pribadi dengan profesi, serta kebanggaan menjadi bagian dari profesinya.

2. Keterlibatan

Merupakan kesediaan untuk bekerja dan berusaha untuk sebaik mungkin bagi profesinya. 3. Loyalitas atau kesetiaan

Adalah suatu ikatan emosional, keinginan untuk tetap menjadi bagian dari anggota profesi.

2.3.3 Dimensi dan Indikator Komitmen Profesional

Kalbers, et al. (1995) dalam Palma (2006) mengemukakan lima dimensi profesionalisme antara lain:

(9)

1. Hubungan dengan sesama profesi (community affiliation). Elemen ini berkaitan dengan pentingnya menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. 2. Kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand), yaitu suatu pandangan menyatakan

seseorang yang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien atau yang bukan anggota profesi).

3. Keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi (belief self regulation), maksudnya bahwa yang paling berwenang dalam penilaian pekerjaan professional adalah rekan sesama profesi, bukan ”orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

4. Dedikasi pada profesi (dedication). Elemen ini merupakan pencerminan dari dedikasi professional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki untuk tetap teguh dalam melaksanakan pekerjaannya meskipun imbalan ekstrinsik yang diterima dikurangi.

Kewajiban social (social obligation). Elemen ini menunjukkan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang didapatkan baik oleh masyarakat maupun professional Karena ada pekerjaan

(10)

10

2.4 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) 2.4.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Fred Luthans (2006: 115):

“Job satisfaction is the favorableness of unfavorableness with

employees view theirwork”.

Sedangkan menurut Robbins(2001: 353):

“Kepuasan kerja adalah suatu pernyataan yang menggambarkan sikap umum terhadap pekerjaan seseorang. Kepuasan kerja merupakan selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang karyawan dengan banyaknya ganjaran yang diyakini seharusnya diterima. Seseorang akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan antara keinginan dan kenyataan yang diperoleh.”

Pendapat lain yang diutarakan oleh Hasibuan (2002: 202) berpendapat bahwa: “Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisplinan, dan prestasi kerja”.

Lebih lanjut menurut Siagian (1997: 295):

“Kepuasan merupakan suatu cara pandang seseorang, baik yang bersifat positif maupun negatif tentang pekerjaannya”.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional dan sikap karyawan terhadap pekerjaan mereka yang biasanya dilandasi oleh keadaan apakah terjadi atau tidaknya titik temu anatar

(11)

nilai dan balas jasa karyawan dari perusahaan dengan tingkat balas jasa yang diinginkan oleh karyawan tersebut.

2.4.2 Dampak Kepuasan Kerja

Selama beberapa dekade terakhir, kepuasan kerja telah menjadi topik penelitian yang cukup populer dan dihubungkan dengan berbagai aspek dalam perusahaan seperti produktivitas maupun kinerja. Dampak kepuasan kerja yang diungkapkan beberapa ahli antara lain sebagai berikut:

Menurut Robbins (1996: 182) mengungkapkan bahwa kepuasaan kerja akan berpengaruh pada :

1. Produktivitas 2. Kemangkiran

3. Tingkat perpindahan (turnover) karyawan

Pernyataan Gibson (1996: 233) juga mendukung kesimpulan Robbins bahwa: “Kepuasan kerja dapat mempengaruhi tingkat kemangkiran (absenteeism), tingkat perpindahan (turnover), serta kinerja karyawan (performance)”.

Sedangkan menurut Handoko (1996: 167) kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi. Perusahaan bisa mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja meningkat maka tingkat perputaran karyawan dan absensi menurun, atau sebaliknya.

(12)

12

Pendapat lain diutarakan oleh Hasibuan (2002: 202) yaitu:

“Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada karena setiap individu atau karyawan berbeda standar kepuasannya”.

Luthans (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi: “Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya dari para individu.”

Umur dan jenjang pendidikan memiliki korelasi dengan kepuasan kerja. Semakin tua karyawan, biasanya mereka semakin terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Sebaliknya karyawan yang lebih muda cenderung kurang terpuaskan karena harapan–harapan yang tinggi tidak dapat terwujud, kurang penyesuaian dan sebagainya. Begitu juga dengan jenjang pekerjaan, bagi karyawan yang memiliki jenjang pekerjaan yang semakin tinggi akan memperoleh kepuasaan kerja lebih baik dari sebelumnya. Mereka yang jenjang pekerjaannya lebih atau semakin tinggi, biasanya memperoleh kompensasi yang lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman dan sebagainya.

(13)

Pengukuran kepuasan kerja sangatlah bervariasi karena setiap individu memiliki standar yang berbeda-beda mengenai kepuasan kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan.

Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut As’ad (2000: 114) adalah sebagai berikut:

a. Faktor individual meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.

b. Faktor sosial meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.

c. Faktor utama dalam pekerjaan meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga pengharapan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketetapan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2003: 120) ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1. Faktor pegawai, seperti kecerdasan (IQ), kecakapan khusus (keahlian), umur, pengalaman kerja, jenis kelamin, kondisi fisik, masa kerja, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja.

(14)

14

2. Faktor pekerjaan, seperti jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat, kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.

Dari berbagai pendapat tersebut, As’ad (2000: 115) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.

b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.

c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi kerja karyawan, meliputi jenis pekerjaanm pengaturan waktu kerja, waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan dan sebagainya.

d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.

(15)

Setiawan dan Imam (2006) menyimpulkan bahwa terdapat enam dimensi yang dianggap paling dominan dalam studi kepuasan kerja yaitu 1. Gaji(pay)

2. Kondisi pekerjaan (working conditions) 3. Supervisi (supervision)

4. Kelompok kerja (work group) 5. Promosi (promotion)

6. Pekerjaan itu sendiri (the work it self).

2.4.5 Cara Pengungkapan Ketidakpuasan Kerja

Individu atau karyawan yang mengalami ketidakpuasan kerja, bisa menyampaikannya dengan berbagai hal. Ada yang mengeluh, tidak mematuhi peraturan, mencuri milik perusahaan, sampai menghindari tanggung jawab.

Menurut Robbins (2001: 186) secara umum karyawan akan mengungkapkan ketidakpuasan kerjanya dengan cara:

a. Keluar (exit), yaitu perilaku yang diarahkan ke arah meninggalkan organisasi, mencangkup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.

b. Suara (voice), yaitu dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi, hal ini mencangkup saran perbaikan, membahas masalah – masalah dengan alasan dan membentuk serikat buruh.

(16)

16

c. Kesetiaan (loyalty), yaitu secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, hal ini mencamgkup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar serta mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat.

d. Pengabaian (neglect), yaitu secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat.

2.4.6 Teori Kepuasan Kerja

Berikut ini adalah beberapa teori tentang kepuasan kerja yang dikemukakan Mangkunegara (2003: 120) yaitu:

1. Equity Theory

Teori ini dikembangkan oleh Adams. Komponen dalam teori ini adalah: a. Input, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai

sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Contohnya: pendidikan, pengalaman, keahlian, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja, dll. b. Outcomes, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan

pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya seperti gaji, keuntungan tambahan, status, simbol, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri.

(17)

c. Comparison Person, adalah seseorang di perusahaan yang sama atau

di tempat lain, atau bisa pula drengan diri sendiri di waktu yang lampau.

Menurut teori ini, puas atau tidaknya karyawan merupakan hasil perbandingan dari input dan outcome dirinya sendiri dengan input dengan

outcome pegawai lain. Jadi jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang

maka pegawai tersebut akan merasa puas. Tetapi apabila tidak seimbang dapat menyebabkan dua kemungkinan yaitu ketidakseimbangan yang menguntungkan dan ketidakseimbangan yang tidak menguntungkan.

2. Discrepancy Theory

Teori ini dipelopori oleh Porter, yang berpendapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian locke menyatakan bahwa kepuasan kerja pegawai tergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dengan apa yang diharapkan pegawai. Apabila yang didapat pegawai lebih besar dari apa yang diharapkan, maka pegawai tersebut akan merasa puas, sebaliknya apabila yang didapat pegawai lebih rendah dari yang diharapkan, maka pegawai akan merasa tidak puas.

3. Two Factors Theory

Teori dua faktor yang dikemukakan oleh hezberg ini terdiri dari: a. Faktor Intrinsik (motivation factors)

(18)

18

Faktor intrinsik merupakan faktor-faktor yang berperan sebagai motivator terhadap pegawai, yakni yang mampu mendorong terwujudnya suatu kepuasan (satisfaction) dan dapat mendorong orang untuk bekerja dengan baik. Jika kondisi ini tidak ada, ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan.

Faktor intrinsik ini terdiri dari : 1) Achievement (prestasi) 2) Recognition (pengakuan)

3) The work itself (pekerjaan itu sendiri)

4) The possibility of growth (pengembangan karir) b. Faktor Ekstrinsik (hygiene factors)

Faktor ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketidakpuasan pada pegawai apabila tidak dapat terpenuhi, sehingga kinerja mereka akan menurun.

Faktor ekstrinsik ini terdiri dari:

1) Company procedures (kebijakan perusahaan)

2) Quality of supervision (kualitas supervisi)

3) Interpersonal relationship (hubungan antar pribadi)

4) Working condition (kondisi kerja)

(19)

6) Wages (gaji/upah)

7) Status

2.5 Audit Internal

2.5.1 Pengertian audit internal

Menurut The Institute of Internal Auditors (IIA – 1995: 3) :

“Internal auditing is an independent appraisal function established within an organization to examine and evaluate its activities as a service to the organization.”

Menurut American Accounting Association, audit internal adalah proses sistematis untuk secara objektif memperoleh dan mengevaluasi asersi mengenai tindakan dan kejadian-kejadian ekonomis untuk meyakinkan derajat kesesuaian antara asersi ini dengan kriteria yang ditetapkan dan mengomunikasikannya kepengguna yang berkepentingan.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa audit internal merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk membantu manajemen dalam penyediaan informasi, dengan tujuan akhir yaitu menambah nilai perusahaan. Pelaksanaan audit intern dilakukan secara independen dan

(20)

20

objektif yang berarti tidak terpengaruh oleh pihak manapun dan tidak terlibat dalam pelaksanaan kegiatan yang diaudit. Hasil audit yang diperoleh dari pelaksanaan audit intern secara independen dan objektif tersebut akan dapat diandalkan oleh para pengguna informasi.

“Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operations. It’s helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control and governance processes.” (IIA – IPPF, 2011)

2.5.2 Fungsi dan TujuanAudit Internal

Menurut Robert Tampubolon dalam bukunya “Risk and system-Based

Internal Auditing” (2005:1) bahwa:

“Fungsi audit intern lebih berfungsi sebagai mata dan telingga manajemen, karena manajemen butuh kepastian bahwa semua kebijakan yang telah ditetapkan tidak akan dilaksanakan secara menyimpang”.

Menurut Tugiman (2008), fungsi Internal Auditing diantaranya adalah:

a. Membahas dan menilai kebaikan dan ketepatan pelaksanaan pengendalian akuntansi, keuangan serta operasi.

b. Meyakinkan apakah pelaksanaan sesuai dengan kebijaksanaan, rencana dan prosedur yang ditetapkan.

c. Menyakinkan apakah kekayaan perusahaan/organisasi dipertanggungjawabkan dengan baik dan dijaga dengan aman terhadap

(21)

segala kemungkinan risiko kerugian serta menentukan sejauh mana perlindungan pencatatan dan pengamanan harta kekayaan perusahaan terhadap penyelewengan.

d. Menyakinkan tingkat kepercayaan akuntansi dan cara lainnya yang dikembangkan dalam organisasi.

e. Menilai kualitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang telah dibebankan dan Menetukan tingkat koordinasi dan kerja sama dari kebijaksanaan manajemen.

Menurut Institute of Internal Auditors (IIA) diterjemahkan oleh Desi Adhariani (2005:8) adanya internal audit adalah bertujuan untuk menentukan:

a. Apakah informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapatdiandalkan

b. Apakah risiko yang dihadapi oleh perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalisir

c. Apakah peraturan eksternal serta kebijakan dan prosedur internal yang bias diterima telah diikuti

d. Apakah kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi

(22)

22

Tujuan pemeriksanaan yang dilakukan oleh internal auditor adalah untuk membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya.

2.5.3 Ruang Lingkup dan KedudukanAuditor Internal

Ruang lingkup Auditor Internal yaitu menilai keefektifan sistem pengendalian intern, pengevaluasian terhadap kelengkapan dan keefektifan sistem pengendalian internal yang dimiliki organisasi, serta kualitas pelaksanaan tanggungjawab yang diberikan.

Menurut The Institute of Internal Auditors (IIA-1995:3)

”The scope of internal audit should encompass the examination and evaluation of adequacy and effectiveness the organization’s system of internal control and the quality of performance in carrying out assigned responsibilities: (1) reability and integrity of information, (2) Compliance with policies, plans, procedures, laws, regulations and contracts. (3) safeguarding asset, (4) economical efficient use of resources, (5) accomplishment of established objectives and goals for operations and program.”

Berdasarkan Standar Profesi yang dikeluarkan IIA-IPPF (2011) : 2100 –Nature of Work

(23)

“The internal audit activity must evaluate and contribute to the improvement of governance, risk management, and control processes using a systematic and disciplined approach.”

Menurut Manahan Nasution, secara garis besar ada tiga alternatif posisi atau kedudukan dari Internal Auditor dalam struktur organisasi perusahaan yaitu:

a. Berada dibawah Dewan Komisaris

Dalam hal ini staf internal auditing bertanggungjawab pada Dewan Komisaris. Ini disebabkan karena bentuk perusahaan membutuhkan pertanggungjawaban yang lebih besar, termasuk direktur utama dapat diteliti oleh internal auditor. Dalam cara ini, bagian pemeriksa intern sebenarnya merupakan alat pengendalian terhadap performance manajemen yang dimonitor oleh komisiaris perusahaan. Dengan demikian bagian pemeriksa intern mempunyai kedudukan yang kuat dalam organisasi.

b. Berada dibawah Direktur Utama

Menurut sistem ini staf internal auditor bertanggungjawab pada direktur utama. Sistem ini biasanya jarang dipakai mengingat direktur utama terlalu sibuk dengan tugas-tugas yang berat. Jadi kemungkinan tidak sempat untuk mempelajari laporan yang dibuat internal auditor.

(24)

24

c. Berada dibawah Kepala Bagian Keuangan.

Menurut system ini kedudukan internal auditor dalam struktur organisasi perusahaan berada dibawah koordinasi kepala bagian keuangan. Bagian Internal auditor bertanggungjawab sepenuhnya kepada kepala keuangan atau ada yang menyebutnya sebagai Controller. Tapi perlu juga diketahui bahwa biasanya kepala bagian keuangan tersebut bertanggungjawab juga pada persoalan keuangan dan akuntansi.

2.5.4 Standar Profesi Auditor Internal

SPAI terdiri atas Standar Atribut, Standar Kinerja, dan Standar Implementasi.

1. Standar Atribut berkenaan dengan karakteristik organisasi,individu, dan pihak-pihak yang melakukan kegiatan audit internal.

2. Standar Kinerja menjelaskan sifat dari kegiatan audit internal dan merupakan ukuran kualitas pekerjaan audit. Standar Kinerja memberikan praktik-praktik terbaik pelaksanaan audit mulai dari perencanaan sampai dengan pemantauan tindak lanjut.

2.6 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 2.6.1 Kerangka Pemikiran

(25)

mana seluruh proyek penelitian didasarkan. Kerangka teoritis adalah jaringan asosiasi yang disusun, dielaborasi secara logis antarvariabel yang dianggap relevan pada situasi masalah dan diidentifikasi melalui proses seperti wawancara, pengamatan, dan survey litelatur.

Setiap karyawan dalam suatu organisasi atau perusahaan tentunya sangat menginginkan tingkat kepuasan kerja yang maksimal begitu juga dengan auditor internal. Untuk mencapai tingkat kepuasan kerja yang maksimal dalam setiap pelaksanaan tugas audit, auditor internal akan selalu menghadapi faktor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Kepuasan kerja sebagai kondisi menyenangkan atau secara emosional positif yang berasal dari penilaian seseorang atas pekerjaannya atau pengalaman kerjanya.

Komitmen merupakan salah satu faktor psikologis yang dianggap dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Komitmen penting dimiliki oleh seorang auditor internal adalah komitmen organisasional dan komitmen profesional.

Suatu komitmen professional pada dasarnya merupakan persepsi yang berintikan loyalitas, tekad dan harapan seseorang dengan dituntun oleh sistem nilai atau norma yang akan mengarahkan orang tersebut untuk bertindak atau bekerja sesuai prosedur- prosedur tertentu dalam upaya menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Larkin, 1990 dalam Trisnaningsih, 2003).

(26)

26

Robbins (2001) memandang komitmen terhadap organisasi merupakan salah satu sikap kerja. Karena ia merefleksikan perasaan seseorang (suka atau tidaksuka) terhadap organisasi ditempat ia bekerja. Bila ia menyukai organisasi tersebut, ia akan berupaya untuk tetap bekerja disana.

Seorang profesional yang secara konsisten dapat berkomitmen bekerja secara profesional serta berkomitmen organisasional dan dari upayanya tersebut mendapatkan penghargaan yang sesuai, tentunya akan mendapatkan kepuasan kerja dalam dirinya

Penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa komitmen berkorelasi positif dengan kepuasan kerja diantaranya dilakukan oleh Trisnaningsih (2003) menyatakan bahwa komitmen memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Diah Wijayanti (2008) menunjukkan bahwa komitmen organisasional dan komitmen profesional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja auditor internal, hal ini kemungkinan terjadi jika terdapat konflik peran yang disebabkan oleh mekanisme pengendalian birokratis organisasi yang tidak sesuai dengan norma, akuntan, etika dan kemandirian auditor internal sebagai seorang profesional.

Berikut ini terdapat kerangka pemikiran mengenai komitmen organisasional dan komitmen profesional serta pengaruhnya terhadap kepuasan kerja auditor internal dapat dilihat pada Gambar 2.1 Kerangka

(27)

Pemikiran :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.6.2 Hipotesis

Menurut Sekaran (2006:135), hipotesis didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji.

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka hipotesa yang disajikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(28)

28

H1= Diduga terdapat pengaruh antara komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja auditor internal

H2= Diduga terdapat pengaruh antara komitmen profesional terhadap kepuasan kerja auditor internal

H3= Diduga terdapat pengaruh secara simultan antara komitmen organisasional dan komitmen profesional terhadap kepuasan kerja auditor internal

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 2 ditampilkan activity diagram dari fungsi Register yang terdapat pada aplikasi, pertama input data terlebih dahulu untuk melakukan register dan data

Berikut ini adalah tabel hasil analisis deskriptif data pemahaman konsep matematika siswa kelas eksperimen.. Jadi, dapat disimpulkan bahwa persentase terbesar hasil

Seluruh materi penelitian dibagi secara acak menjadi tiga kelompok perlakuan model pakan, perlakuan pertama (A) merupakan pakan sapi potong yang menggunakan hasil

Pada umumnya masyarakat menyukai es krim untuk dihidangkan pada saat berkumpul bersama keluarga, sekedar menjamu tamu, atau untuk bekal bertamasya. Biasanya mereka lebih

Aplikasi yang dibuat ini dapat menyediakan in.formasi yang berkaitan dengan informasi kejuaraan Road Race secara /uas, yang melipuli in.formasi kejuaraan, data

Desain produk bertujuan untuk menghasilkan bahar ajar pada kompetensi dasar menggunakan alat ukur osiloskop dalam bentuk multimedia interaktif sesuai dengan

Penelitian ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan karena kepuasan kerja merupakan pertanda awal suatu komitmen organisasi bagi seorang internal auditor yang bekerja

Implementasi Pembelajaran Langsung…, Aeni Istikomah, FKIP UMP, 2017.. minat mereka bisa terfokus kepada materi yang akan disampaikan. Upaya untuk menarik perhatian dapat dilakukan