• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Agama

II.A.I. Definisi Agama

Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai agama sebagai dasar dari perilaku religiusitas ini. Oxford Student dictionary (dalam Azra, 2000) mendefenisikan bahwa agama adalah suatu kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan pengatur supranatural yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta. Dalam bahasa Arab agama berasal dari kata Ad-din, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Nasution (1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Michel Meyer (dalam Rousydiy, 1986) berpendapat bahwa agama ádalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam tingkah laku kita terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia dan terhadap diri kita sendiri. Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama adalah segenap kepercayaan yang disertai dengan ajaran kebaktian dan

(2)

kewajiban-kewajiban untuk menghubungkan manusia dengan Tuhan yang berguna dalam mengontrol dorongan yang membawa masalah dan untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

II.A.2. Fungsi Agama

Menurut Jalaluddin (2004) agama memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi edukatif

Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik.

b.Fungsi penyelamat

Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.

c. Fungsi perdamaian

Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.

d.Fungsi pengawasan sosial

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok.

(3)

membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadng dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi transformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adapt atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.

g.Fungsi kreatif

Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.

h.Fungsi sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi agama bagi manusia yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat, fungsi perdamaian, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk solidaritas, fungsi transformatif, fungsi kreatif dan fungsi sublimatif.

(4)

II.A.3. Definisi Religiusitas

Istilah religiusitas merupakan terjemahan dari kata religiosity dalam bahasa Inggris. Salim dan Salim (dalam Relawu, 2007) mengartikan religiusitas sebagai keshalihan atau besarnya kepatuhan dan pengabdian terhadap agama. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Religiusitas (keberagamaan) diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek “lubuk hati” dan personalisasi dari kelembagaan tersebut (Shadily, 1989)

Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan dengaan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati.

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah statu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan

(5)

ajaran-II.A.4.Dimensi-dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu:

a. Dimensi keyakinan / ideologik

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka. b.Dimensi praktik agama / peribadatan

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, kataatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik agama ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:

1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

2. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.

c. Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam

(6)

suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

d. Dimensi pengetahuan agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

e. Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.

Perspektif islam tentang religiusitas dijelaskan dalam surat Al-Baqarah : (208), yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langlah syitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”(Albaqarah:208)

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Islam sebagai suatu system yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada islam.

(7)

II.A.4.Dimensi-dimensi Religiusitas Islam

Suroso dan Ancok (2005) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Keberagamaan dalam islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu system islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.

Menurut Suroso dan Ancok (2005) dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan (penghayatan). Dimensi religiusitas islam dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah

Dimensi keyakinan atau akidah islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat Nabi dan Rasul, Kitab-kitab Allah surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

2. Dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah

Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan diajarkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi

(8)

peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid pada bulan puasa dan sebagainya.

3. Dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lainnya. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran islam dan sebagainya.

4. Dimensi pengetahuan disejajarkan dengan ilmu

Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut tentang pengetahuan isi Al-qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun iman dan rukun islam), hukum-hukum islam, sejarah islam dan sebagainya.

(9)

5. Dimensi pengalaman disejajarkan dengan ihsan (penghayatan)

Dimensi pengalaman atau penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat muslim dalam merasakan dan mengalami perasan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah SWT, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri secara positif) kepada Allah SWT, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat dan doa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah SWT, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah SWT.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi religiusitas dalam Islam yaitu dimensi-dimensi keyakinan atau akidah islam, dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi pengamalan atau akhlak, dimensi pengetahuan atau ilmu dan dimensi pengalaman atau penghayatan.

II.B. Perilaku seksual pranikah

II.B.1. Definisi Perilaku Seksual Pranikah

Sarwono (2005) berpendapat bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa

(10)

melalui proses pernikahan yang resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.

II.B.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, yaitu:

1. Norma-norma agama yang dianut

Norma-norma agama yang dianut merupakan mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan agama, namun untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

2. Hubungan dalam keluarga khususnya hubungan orangtua dan anak

Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orang tua, banyaknya konflik dalam keluarga dan komunikasi yang tidak efektif dapat menjadi pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja.

(11)

3. Media dan teknologi elektronik

Pengaruh penyebaran informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih (seperti: VCD, photo, majalah, televisi, dan internet) pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media.

4. Adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat.

Kecenderungan tersebut didasari semakin permisifnya nilai-nilai dalam bergaul, sehingga kecenderungan remaja untuk melakukan hal-hal yang makin melibatkan mereka dalam berhubungan fisik juga semakin meningkat.

5. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

6. Perbedaan jenis kelamin

Remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal ini sebagai wujud nilai gender yang dipercayainya sebagai lebih dominan.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yang telah diuraikan diatas maka fokus penelitian ini adalah norma-norma agama yang dianut dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum

(12)

menikah. Norma-norma agama yang berlaku, yang merupakan mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan agama, namun untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

III.B.3. Bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah

Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN (dalam Ringkasan Riset Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia, 2005), menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul engan pasangan adalah sampai tahap berciuman baik kening, pipi, maupun bibir.

DeLamenter dan MacCorquodale (dalam santrock,2003), mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu:

a. Mencium/dicium kening

b. Mencium/dicium pipi

c. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada

d. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk ciuman bibir antara dua orang.

e. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.

(13)

g. Petting, Yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung).

h. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.

i. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan kedalam vagina wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi.

II.C.Remaja

II.C.1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin yaitu”adolescere” yang berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks dkk, 1999). Piaget (dalam Hurlock,1999) mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Santrock (2003), mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.

Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja berbeda-beda. Menurut Hurlock (1999), usia remaja dibagi dua bagian, yaitu awal masa remaja yang berlangsung dari usia 13 sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang

(14)

bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah (usia 15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah periode perkembangan dari kanak-kanak ke dewasa awal yang mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.

II.C.2. Tugas Perkembangan Pada Remaja Akhir

Menurut Havigurts (dalam Hurlock, 1999) setiap tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan masing-masing. Remaja mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya khususnya lawan jenis. Minat terhadap seksualitas lebih nyata pada remaja akhir. Ketertarikan antar lawan jenis ini kemudian berkembang kepola jalinan cinta yang kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Semua itu memerlukan penyesuaian diri dan mampu menempatkan peran seksualnya masing-masing.

Remaja juga diharapkan dapat mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab sesuai dengan system nilai yang dianut oleh masyarakat. Remaja harus mampu untuk mengendalikan perilakunya sendiri. Piaget (dalam Hurluck,1999), menekankan bahwa usia remaja harus sudah mampu mempertimbangkan semua

(15)

Berdasarkan tugas-tugas perkembangan remaja diatas, dapat disimpulkan pada masa remaja akhir orientasi tugas perkembangan lebih memfokuskan pada menjalin hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis serta untuk lebih bertanggungjawab dengan perilakunya dalam bersosialisasi dan dengan system nilai yang dianut oleh masyarakat.

II.C.3. Perkembangan Seksualitas Pada Remaja Akhir

II.C.3.a. Perkembangan Seksual Primer dan Sekunder

Ketika seorang anak memasuki usia remaja, maka akan terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi (Hurlock, 1999). Menurut Imran (2000), masa remaja diawali oleh masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan ini ditandai dengan haid atau menarche pada wanita dan mimpi basah atau Polutio pada laki-laki (Hurlock, 1999). Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder.

Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin, misalnya pada remaja putri ditandai dengan pembesaran payudara, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara, tumbuh bulu dada, kaki dan kumis. Karakteristik seksual

(16)

sekunder ini tidak berhubungan langsung dengan fungsi reproduksi, tetapi perannya dalam kehidupan seksual tidak kalah pentingnya karena berhubungan dengan sex appeal (daya tarik seksual).

Penelitian-penelitian secara biologis dan fisiologis membuktikan bahwa pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf kematangan yaitu pada usia awal remaja akhir. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab pertmbuhan atau perubahan kelenjar-kelenjar seks pada masa remaja akhir kurang menarik perhatian para ahli. Biasanya fokus utama pada masa remaja akhir ini lebih diarahkan pada perkembangan perilaku seksual dibandingkan dengan pertmbuhan kelenjar-kelenjar seks itu sendiri ( Mappiare, 1982).

II.C.3.b. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja

Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini menyebabkan masa remaja disebut juga dengan “masa keaktifan seksual” yang tinggi, yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rsa ingin tahu tentang masalah seksual (Imran, 2000).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormon seksual ( testosteron untuk laki-laki dan

(17)

Mappiare (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu sendiri.

Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Santrock (2003) menyatakan bahwa minat pada lawan jenis dan pacaran lebih nyata dalam masa remaja akhir. Pada akhir remaja sebahagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah mempunyai cukup informasi tentang seks guna memuaskan keingintahuan mereka (Hurlock 1999).

Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan bahwa adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan perilaku-perilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan memperoleh teman baru kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Aktivitas seksual dianggap sebagai hal lazim dilakukan remaja yang berpacaran sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.

(18)

II.D. Pergaulan Dalam Islam

Islam membatasi hubungan seksual hanya dengan pernikahan. Pembatasan ini bukan hanya sekedar teori tetapi harus benar-banar dilaksanakan melalui tindakan. Islam melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, karena juka kedua orang berbeda jenis kelamin bergaul secara bebas, tidak ada yang bisa menghentikan hubungan seksual secara ilegal. Islam merupakan jaringan perintah-perintah yang sempurna. Jika dua orang berbeda jenis kelamin bergaul secara bebas, akibat yang tidak dapat dihindari adalah hubungan seksual yang tidak syah dan lahirnya anak-anak haram ( Al khuli, 2001).

Allah menganugerahkan nafsu pada manusia, karena manusia tercipta dari ruh kemuliaan dan lumpur, maka tarik menarik diantara kedua arah yang saling berlawanan itu begitu kuat, sehingga diperlukan suatu upaya mengaktulisasikan kesucian diri. Allah menyediakan rizki yang luas dan lawan jenis yang menarik, Akan tetapi untuk menegakkan kedamaian di muka bumi, dibuatlah aturan yang dikenal dengan syara’. Manusia sama sekali tidak dilarang untuk menikmati kesenangan duniawi, rizki atau lawan jenis, asalkan dengan cara yang halal dan baik (Al khuli, 2001).

II.E . Hubungan Religiusitas Dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Beragama Islam.

Masalah seksualitas merupakan masalah yang serius bagi remaja, karena masa remaja merupakan masa dimana seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan

(19)

Tantangan dan masalah ini akan berdampak pada perilaku remaja, khususnya perilaku seksualnya. Masalah ini menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan, karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama serta latar belakang sosial ekonomi. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak baik orang tua, pengajar, pendidik maupun orang dewasa lainnya (Mu’tadin, 2002).

Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000) mengungkapkan adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.

Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (1999) mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Persoalannya, banyak remaja kurang memiliki informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat sehingga mudah tergelincir dan terlibat dalam perilaku seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja yang belum menikah.

Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Menurut Sarwono (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja adalah norma-norma agama yang dianut yang merupakan mekanisme

(20)

kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual di luar batas ketentuan agama.

Periode remaja merupakan masa yang telah matang dari segi biologis dan dapat menjalankan fungsi seksualnya. Ketika organ-organ seksual mulai matang maka dorongan seksual juga muncul pada remaja, dorongan seksual yang meningkat secara alamiah itu tidak dapat begitu saja disalurkan (Sarwono, 2005). Suler (dalam Rahmawati, 2002) juga menyatakan bahwa masa remaja disebut sebagai periode “storm and Stress” ternyata dapat menimbulkan kesulitan dan frustasi dalam periode kehidupan remaja dengan adanya tekanan dari sekolah, keluarga, dan teman. Semua frustasi yang ditimbulkan itu, terutama frustasi agresi dan hormon seksual sedang meningkat dapat dilepaskan melalui perilaku seksual pranikah. Afrianti (dalam Rahmawati, 2002) menyatakan bahwa untuk itulah remaja membutuhkan agama sebagai pengendali dirinya dalam mematangkan kepribadian dan dapat mengontrol perilakunya.

Setiap manusia dewasa normal pasti memiliki nafsu seks yang harus disalurkan secara halal dan sehat, maka Islam menganjurkan menikah bagi yang sudah mampu, dan berpuasa bagi yang belum. Menikah adalah metode terbaik bagi seorang muslim untuk menyalurkan dorongan seksnya. Segala bentuk pemuasan syahwat tanpa melalui perkawinan yang sah dilarang dalam islam. Penyaluran dorongan seks yang halal dapat memberikan kepuasan bagi dorongan psikis lainnya seperti dorongan untuk memiliki kelompok baru melali kehidupan keluarga dan merasakan menjadi orangtua khususnya pada ibu (Madan, 2004).

(21)

mengendalikan dirinya. Agama mutlak dibutuhkan untuk memberikan kepastian norma, tuntunan untuk hidup secara sehat dan benar, dimana norma agama ini merupakan kebutuhan psikologis yang akan memberikan keadaan mental yang seimbang, mental yang sehat dan jiwa yang tenteram.

Islam bukan hanya agama, tetapi juga suatu landasan hidup, cara hidup dengan seperangkat aturan moral, etika dan nilai-nilai spiritual. Dalam ajaran Islam, setiap aspek kehidupan manusia, termasuk pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, harus didasarkan pada ajaran Al-qur’an dan agama. Setiap muslim, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak haruslah didasarkan pada Islam. Agama Islam mengajarkan bahwa, orang-orang yang melakukan perilaku seksual pranikah akan dikenakan sanksi dera (cambuk) atau rajam. Rasulullah s.a.w lalu bersabda (dalam Kertas Kerja Konsep dan Objektif Pendidikan Seks Menurut Perspektif al-Quran, 2006):

“….Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku akan memutuskan hukuman ke atas kamu berpandukan kitab Allah (al-Quran). Seratus ekor kambing dan hamba perempuan tadi harus dikembalikan dan anakmu mesti dihukum rotan sebanyak 100 kali cambukan serta diasingkan selama setahun. Sekarang pergilah kepada isteri orang ini, wahai Unais! Jika dia mengaku, maka jatuhkanlah hukuman rajam ke atasnya.” Maka Unais pun datang menemui wanita tersebut dan ternyata dia mengakui atas perbuatannya itu. Maka sesuai dengan perintah dari Rasulullah s.a.w maka wanita itupun dijatuhkan hukuman rajam. (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Bagi yang masih lajang akan dihukum cambuk, dan bagi yang sudah berkeluarga akan dirajam sampai mati. Apabila pelaku seks bebas ini ketika di dunia tidak dihukum karena aturan Islam yang tidak diterapkan, maka di akhiratlah hukuman itu diterima, sebagaimana Pasti akan menikmati adzab Allah

(22)

yang sangat pedih. Dalam sebagian jalan (riwayat) hadits Samurah bin Jundab yang disebutkan di dalam Shahih Bukhari, bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Semalam aku bermimpi didatangi dua orang. Lalu keduanya membawaku keluar, maka aku pun pergi bersama mereka, hingga tiba di sebuah bangunan yang menyerupai tungku api, bagian atas semoit dan bagian bawahnya luas. DI bawahnya dinyalakan api. Di dalam tungku itu ada orang-orang (yang terdiri dari) laki-laki dan wanita yang telanjang. Jika api dinyalakan, maka mereka naik ke atas hingga hampir mereka keluar. Jika api dipadamkan, mereka kembali masuk ke dalam tungku. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka itu?’ Keduanya menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berzina.”

Sebenarnya dalam islam, sudah terdapat ajaran dalam Al-qur’an dan hadis yang mengharamkan perilaku seksual pranikah secara jelas. Dapat dikatakan apabila remaja dapat mengubah cara berfikir dan merasakan nilai-nilai agama serta kemudian mengamalkannya dalam perilakunya sehari-hari terutama perilaku seksualnya, diharapkan dapat mengurangi perilaku seksual pranikah.

Menjadi remaja menurut Furter (dalam Monks, 1994) berarti juga mengerti nilai-nilai, tidak hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankanya. Sejalan dengan taraf perkembangan intelektualnya diharapkan remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi sendiri, termasuk nilai dan ajaran agama. Nilai dan ajaran agama tersebut kemudian diamalkan dalam kehiupan sehari-hari termasuk perilaku seksualnya. Perilaku seksual yang sehat menurut Islam adalah perilaku seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan (bukan perzinahan), dan dengan cara-cara yang halal yang bisa

(23)

II. E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “ terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku seksual pranikah pada remaja beragama islam”. Artinya, semakin tinggi tingkat religiusitas remaja maka semakin rendah perilaku seksualnya.

Referensi

Dokumen terkait

(2015) „Pengaruh Pemberian Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Murbei (Morus alba L.) dengan Simvastatin Terhaap Kolesterol Total Tikus Putih Hiperkolesterolemia‟,

menjadi ayat yang lengkap seperti dalam al-Quran. • And dikehendaki menulis nombor dan jawapan yang betul (A atau

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ergonomi exercise terhadap tingkat resiko nyeri musculosceletal disorder (MSDs) pada karyawan di Pabrik Pembalut

Demikian pula dengan diketahuinya jumlah 4 komponen uang pensiun secara terpisah, menjadi dasar penerapan ketentuan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa: pertama

Melakukan seleksi terhadap putra/putri karyawan/ karyawati PT PLN (Persero) sebagai calon mahasiswa ITS tahun akademik 701612017 yang dipandang memenuhi persyaratan

Tujuan dari munculnya algoritma baru ini untuk meningkatkan nilai keakuratan pada data mining, dan terbukti bahwa hasil yang diperoleh lebih baik dibandingkan

Pengkodean atau pembentukan relasi antar data bersama dengan penerapan aturan/batasan (constraint), dmain data, keunikan data, dsb, yang secara ketat dapat diterapkan

Selain dari materi (konten) pelajaran, salah satu item penting yang juga turut menentukan tercapainya tujuan pendidikan adalah cara yang digunakan oleh pendidik ketika