• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

137 BAB V PENUTUP

1. KESIMPULAN

Fasilitas olahraga merupakan aspek penting dalam membangun olahraga. Pengelolaan fasilitas olahraga yang buruk dapat mempengaruhi perkembangan atlet maupun pendapatan daerah, sehingga fasilitas olahraga perlu dikelola dengan baik. Pada tulisan ini, Stadion Maguwoharjo merupakan alat untuk menunjang para atlet dalam berolahraga. Bahkan dalam perkembangannya, Stadion Maguwoharjo ini selain untuk kegiatan olahraga juga digunakan untuk kegiatan bisnis.

Dalam konteks ini, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo belum terlihat baik dalam mengelola Stadion Maguwoharjo. Hal ini disebabkan karena tidak seriusnya UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis. Ketidakseriusan dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini terlihat melalui variabel (ukuran) prosedural, kapasitas, dan output.

Pertama, pada variabel prosedural. Penulis menggunakan empat (4) kriteria yang tersedia pada variabel prosedural, yakni jabatan yang ada pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo sesuai dengan hirarki yang terdapat pada aturan yang melandasinya, adanya perbedaan dalam tugas dan fungsi yang melekat pada tiap jabatan dalam UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, adanya pemisahan antara kepemilikan dan manajemen dalam UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, adanya disiplin dan kontrol yang ketat pada birokrat UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Hal ini dilakukan untuk melihat keseriusan dari pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam mengelola Stadion Maguwoharjo melalui tingkatan formalitas (prosedural).

Pertama, pada variabel ini terlihat bahwa susunan struktur pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo masih berantakan. Hal ini dikarenakan tidak

(2)

138

adanya birokrat yang berada pada pos „Kelompok Jabatan Fungsional‟. Padahal pada susunan struktur organisasi dalam Peraturan Bupati Nomor 57 Tahun 2011, tertera aturan adanya „Kelompok Jabatan Fungsional‟. Hal ini mengakibatkan susunan struktur UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak diatur sesuai hirarkinya.

Kedua, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak memiliki tugas dan fungsi yang melekat pada setiap jabatan dalam hirarkinya. Padahal hal ini diperlukan untuk membedakan perkerjaan dari jabatan yang satu dengan lainnya. Kenyataannya, tidak ada birokrat yang berada pada pos „Kelompok Jabatan Fungsional‟. Hal ini dapat diartikan bahwa tugas dan fungsi yang melekat pada para birokrat UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak sesuai dengan tingkatan yang ada pada susunan struktur organisasi.

Ketiga, Pemisahan antara kepemilikan dan manajemen tidak terlihat. Artinya, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo melakukan tindakan yang tidak adil terhadap penyewanya. Dalam hal ini penyewa tersebut adalah, Klub Sepakbola PSS Sleman dan Klub Sepakbola Persiram Raja Ampat. Ketika UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dihadapkan dengan Klub Sepakbola Persiram Raja Ampat, terlihat bertindak tegas dalam menyewakan stadionnya. Sebaliknya, ketika UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dihadapkan dengan Klub Sepakbola PSS Sleman, terlihat melunak dalam menyewakan stadionnya. Hal ini cukup menjelaskan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memperlakukan kedua klub sepakbola tersebut secara berbeda. Hal ini pun diperparah dengan adanya pemberian hak istimewa terhadap Outlet Slemania oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Padahal, Stadion Maguwoharjo adalah milik Pemerintah Daerah Sleman. Bukan milik PT. Putra Sleman Sembada maupun Outlet Slemania.

Selain itu, terkait dengan pemisahan antara kepemilikan dan manajemen ini kembali tidak terlihat ketika UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo berhadapan dengan penyewanya, seperti, Berkah Ria 08, panitia Acara Charity Glow Run, dan SAT PJR Ditlantas Polda DIY. Pada Berkah Ria 08 dikenakan tarif sewa yang lebih mahal dari aturan yang dituliskan pada perda. Berkah Ria 08

(3)

139

dikenakan tarif sewa sebesar 17 Juta. Padahal, perda terkait menetapkan tarif sewa untuk halaman sebelah Timur (luar) Stadion Maguwoharjo sebesar 5 Juta per even. Pada Acara Charity Glow Run juga dikenakan tarif sewa yang lebih mahal dari aturan yang dituliskan pada perda. Sebab, seharusnya panitia dikenakan tarif sewa sebesar 5 Juta. Kenyataannya, panitia menyewa halaman Utara dengan tarif sewa sebesar 7,5 Juta. Sedangkan, pada pihak SAT PJR Ditlantas Polda DIY sewaktu menggunakan Stadion Maguwoharjo hanya membayar uang kebersihan tanpa nominal yang jelas. Dalam kasus-kasus tersebut, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo terkesan tidak menggunakan dasar aturan yang jelas dalam menetapkan tarif sewa kepada penggunanya (penyewa).

Keempat, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak memiliki disiplin dan kontrol yang ketat. Hal ini dikarenakan, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak memiliki kedisiplinan dalam pemasangan tarif sewa maupun pemberian ijin bagi Klub Sepakbola PSS Sleman maupun Outlet Slemania. Hal tersebut tampak terlihat pula, ketika UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo berhadapan dengan Berkah Ria 08, panitia Acara Charity Glow Run, dan SAT PJR Ditlantas Polda DIY. Artinya, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo belum memiliki disiplin dan kontrol yang ketat.

Selain kedisiplinan yang kurang baik dalam pemasangan tarif sewa tersebut. Kedisiplinan yang kurang baik ini juga terlihat dalam pelaksanaan proses-proses yang harusnya dilalui. Proses yang terabaikan tersebut terlihat, ketika PT. Putra Sleman Sembada (PT. PSS) menggunakan space stadion sebagai Mess Pemain. Padahal, PT. Putra Sleman Sembada belum membayar tarif sewa pemakaian Stadion Maguwoharjo. Hal ini dikarenakan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo menahan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). Padahal UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo diwajibkan mengeluarkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) bagi yang terutang. Terkait dengan hutang yang harus dibayar oleh Klub Sepakbola PSS Sleman (PT. PSS) ini juga tidak dilanjuti oleh klub dengan mengajukan surat keberatan kepada Bupati Sleman maupun UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo.

(4)

140

Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya pemakaian Stadion Maguwoharjo oleh Klub Sepakbola PSS Sleman dalam mengarungi Kompetisi Divisi Utama pada daftar pemakaian Stadion Maguwoharjo Tahun 2014. Selain itu terkait dengan proses kedisiplinan yang kurang baik ini, tampak terlihat kembali, ketika tidak adanya petugas ditempat disaat Lembaga Akreditasi Mobil ingin membayar tarif sewa. Lembaga Akreditasi Mobil pun harus kembali membayar dilain waktu kepada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dengan tambahan pembayaran denda. Hal ini dikarenakan Lembaga Akreditasi Mobil dalam membayar tarif sewa melewati batas pembayaran (terlambat membayar). Hal ini pun merugikan Lembaga Akreditasi Mobil.

Temuan-temuan pada empat (4) kriteria tersebut, mempengaruhi kinerja dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, sehingga secara prosedural kinerja dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini pun terlihat buruk. Terlebih, dalam hubungannya dengan Klub Sepakbola PSS Sleman maupun pengguna lainnya. Hal ini mengartikan bahwa posisi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) berjalan belum cukup baik dalam mengelola Stadion Maguwoharjo. Variabel prosedural tersebut, dapat mempengaruhi kapasitas dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) sehingga kapasitas dari Pemerintah Daerah Sleman terancam tidak berjalan baik dalam rangka mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang mengedepankan aspek hiburan, olahraga, dan komersil.

Kedua, pada variabel kapasitas. Kapasitas dari Pemerintah Daerah Sleman ini terlihat pada dua (2) alur, Pertama, kapasitas yang didasarkan pada tingkat pendidikan dan profesionalisasi. Alur ini meyakini bahwa ketika ada seorang profesional (cakap) maka posisinya tidak mengartikan bahwa Ia „aman‟. Sebab dunia birokrasi sangat banyak yang mempengaruhi baik secara internal maupun eksternal. Artinya, birokrat yang „cakap‟ tidak berarti birokrat tersebut sama cakapnya ketika terdapat perubahan kondisi atau perubahan teknologi.

Kedua, kapasitas yang didasarkan pada mengekstrak pajak. Pada alur kedua ini terdapat tiga (3) keterbatasan, diantaranya, Pertama, tarif pajak diatur tidak hanya dengan potensi bahan galian tetapi juga pilihan kebijakan mengenai

(5)

141

tingkat optimal dan jenis perpajakan, contohnya, Amerika Serikat (AS) memiliki potensi untuk mengekstrak pajak secara signifikan selama Perang Dunia ke II, namun mengesampingkan kepentingan nasional. Kedua, Pendapatan terbuang sia-sia karena adanya administrasi yang buruk, transfer yang tidak produktif, atau korupsi. Pada keterbatasan kedua ini juga disebutkan bahwa Output birokrasi, tidak hanya hasil dari input sumberdaya, namun hal-hal seperti budaya organisasi, seperti: buruk dan kurangnya sumberdaya di negara Timur Laut Brasil yang tetap mencapai hasil tata kelola yang baik. Ketiga, Bagi banyak negara terdapat argumen bahwa jika pajak akan digunakan sebagai ukuran kapasitas, maka sumber daya sewa harus dikesampingkan

Terkait dengan alur pertama (profesionalisasi/ pendidikan). UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo terlihat belum cukup baik dalam mengelola Stadion Maguwoharjo. Sebab, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) belum terlihat pro bisnis. Hal ini ditandai dengan adanya perlakukan yang berbeda terhadap penyewanya. Khusus untuk PT. Putra Sleman Sembada dan Outlet Slemania, mereka diperlakukan secara lunak. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memberikan keringanan kepada PT. Putra Sleman Sembada maupun Outlet Slemania, karena dianggap telah mendapatkan “persetujuan” dari Bupati Sleman. Padahal, tidak ada Surat Keputusan Keberatan dari Bupati Sleman terkait hal ini, sehingga dalam hal ini UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo secara profesional melakukan tindakan yang „egois‟. Dalam arti, memberikan keistimewaan kepada Klub Sepakbola PSS Sleman maupun Outlet Slemania. Meski hal tersebut merupakan tindakan lazim dalam kaitannya mengelola Stadion Maguwoharjo. Namun, hal tersebut mengartikan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo belum cukup profesional dalam membangun Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis. Dengan kata lain, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dapat dikatakan belum mampu menerima perubahan kondisi pada PT. Putra Sleman Sembada (klub) yang telah dituntut untuk profesional dan Outlet Slemania sebagai penyewa space yang harus membayar tarif sewa space.

(6)

142

Sebaliknya, hal berbeda dilakukan oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Ketika UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo melakukan tindakan tidak lazim dengan mengesampingkan terlebih dahulu perjanjian yang dilakukan Pemerintah Daerah Sleman dengan Pemerintah Desa Maguwoharjo. Inti perjanjiannya ialah bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak berhak menyewakan tanah kepada pihak ke tiga (3). Hal ini disadari betul oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Kenyataannya, Provider Tri maupun IM3 diperbolehkan untuk mendirikan tower di Halaman Stadion Maguwoharjo sehingga UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memperoleh pendapatan dari tarif sewa yang dibayarkan oleh pihak Tri maupun IM3. Hal ini pun mendukung UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis. Selain itu, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo kembali melakukan tindakan tidak lazim ketika berhadapan dengan panitia Acara Charity Glow Run. Hal ini dikarenakan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo menyarankan panitia untuk menggunakan barikade. Terkait dengan barikade tersebut, per pintunya dikenakan tarif sewa sebesar 35 Ribu Rupiah. Padahal, aturan yang melandasi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak ada satu pun yang menyebutkan tarif sewa untuk barikade. Artinya, pada kasus ini, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun mendapatkan tambahan tarif sewa Stadion Maguwoharjo dari Panitia Acara Charity Glow Run. Melihat hal tersebut, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dapat dikatakan telah mampu mengakui perubahan kondisi pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo sehingga tindakannya sangat pro bisnis.

Terkait dengan kapasitas tingkat profesionalisasi (pendidikan) ini, juga melekat pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo yang tidak dapat segera merespon bangunan (infrastruktur) yang mengalami kerusakan. Bangunan atau infrastruktur yang mengalami kerusakan tersebut, seperti, keramik, coretan di dinding, tidak adanya bak pada tempat sampah, dan batas tempat penyobekan tiket. Hal ini dikarenakan tidak adanya Pekerja Harian Lepas (PHL) yang fokus pada bidang infrastruktur sehingga keprofesionalan dari pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun mengalami hambatan dalam memberi kenyamanan bagi penyewa (pengunjung).

(7)

143

Kapasitas yang didasarkan pada tingkat profesionalisasi (pendidikan) tersebut, mempengaruhi kapasitas yang didasarkan pada mengekstrak pajak (alur kedua) sehingga berdampak terhadap kapasitas UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) dalam mengekstrak pajak. Kapasitas untuk mengekstrak pajak pun mengalami kekaburan sehingga UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) tidak dapat memaksimalkan pendapatannya. Hal ini dikarenakan, keterbatasan pertama, adanya penerapan kebijakan yang tidak sesuai oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, sehingga mengakibatkan munculnya kebijakan yang tidak pro bisnis dan tidak tegas kepada PT. Putra Sleman Sembada maupun Outlet Slemania dalam perijinan penggunaan Stadion Maguwoharjo maupun penyewaan space. Keterbatasan kedua, adanya transfer yang tidak produktif oleh PT. Putra Sleman Sembada dan Outlet Slemania terkait penyewaan Stadion Maguwoharjo.

Selain itu, hal ini juga terganjal oleh sifat dari pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo yang statusnya belum Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) maupun aturan yang melandasi Organisasi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo untuk wajib menyetor penerimaan ke kas daerah paling lambat 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh bupati. Kedua keterbatasan tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi yang terbangun pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo berjalan buruk. Padahal UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini memiliki potensi besar untuk mencapai tata kelola yang baik.

Keterbatasan ketiga, adanya argumen jika pajak digunakan sebagai ukuran kapasitas maka sumber daya sewa menjadi dikesampingkan. Hal ini terjadi pada banyak negara. Artinya disini, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo merupakan organisasi yang menghandalkan penerimaan dari penyewa stadion. Jika hal tersebut tidak terjadi dengan baik maka daerah kehilangan potensi memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang baik dari Stadion Maguwoharjo.

Ketiga keterbatasan yang ada pada variabel kapasitas alur kedua ini mengakibatkan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo kesulitan menghasilkan

(8)

144

sumberdaya yang dapat dioperasikan pada domain lainnya. Jadi berdasarkan variabel kapasitas ini dapat dikatakan bahwa, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo mengalami gangguan atau hambatan terkait dengan kapasitasnya. Artinya secara umum kapasitas dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) pun mengalami pelemahan (tidak berjalan baik) dalam rangka mengelola Stadion Maguwoharjo.

Sampai disini rupanya prosedural yang buruk benar-benar mempengaruhi kapasitas dari pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Hal ini berdampak pada output yang dihasilkan oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, seharusnya output yang dihasilkan oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ialah keberhasilannya dalam mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis, kenyamanan bagi penyewa, maupun dalam memberikan pelayanan yang baik bagi penyewa atau pun keberhasilannya meningkatkan “prestasi” penyewa. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini sebenarnya berhasil mencapai target pendapatan Tahun 2014 dari Stadion Maguwoharjo, yang mana target tersebut dipatok sebesar 400 Juta. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun berhasil meraup pendapatan dari Stadion Maguwoharjo sebesar Rp. 409.019.200,00. Keberhasilan mencapai target tersebut, tidak berarti kinerja UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo berjalan dengan baik. Sebabnya ialah, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini sebenarnya dapat memperoleh pendapatan yang lebih lancar dari beberapa penyewanya. Output kinerja UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun akan jauh lebih signifikan keberhasilannya.

Kenyataannya, output yang dihasilkan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini ialah belum mampunya UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo untuk mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis. Sebab, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini belum mampu memperlakukan penyewa secara adil. Bahkan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini dapat dikatakan tidak (belum) mampu merangkul Curva Sud Shop maupun PSS Store untuk berjualan di dalam lingkungan Stadion Maguwoharjo. Padahal, Curva Sud Shop maupun PSS Store kedudukannya sama dengan Outlet Slemania. Mereka (alat dagang suporter) sangat dekat dengan Klub Sepakbola PSS Sleman.

(9)

145

Ketiga, pada variabel output. Variabel ini meyakini bahwa pemerintah memiliki output seperti menyediakan sekolah, keamanan publik, pertahanan nasional, dan lain sebagainya. Variabel output ini memiliki keterbatasan, pertama, pendidikan memiliki ketergantungan jauh lebih besar kepada faktor-faktor seperti teman dan keluarga siswa dari pada yang pemerintah lakukan dalam bidang pendidikan. Selain itu, variabel ouput ini juga mengakui adanya negara lemah dan masyarakat kuat dalam mengukur tingkat outputnya, sehingga kemampuan pemerintah mengatur suatu masyarakat tergantung pada dua faktor, yakni, kapasitas negara dan organsisasi mandiri. Kedua, terdapat kesulitan secara metodologis, sehingga sektor publik yang bergerak pada bidang jasa sulit diukur.

Pada konteks UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo seharusnya memiliki output berhasilnya mewujudkan stadion yang pro bisnis maupun keamanan stadion yang baik. Namun terkait dengan keterbatasan pertama dari variabel output, rupanya terdapat masyarakat kuat diluar lingkungan Stadion Maguwoharjo. Masyarakat kuat tersebut ialah Curva Sud Shop (CSS) dan PSS Store notabene organisasi mandiri yang berhasil berkoordinasi sebaik mungkin dalam mewujudkan masyarakat yang pro bisnis. Hasilnya, mereka dapat mendirikan ruko di luar lingkungan Stadion Maguwoharjo untuk membantu Klub Sepakbola PSS Sleman secara finansial. Sebaliknya, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam menciptakan iklim yang pro bisnis dapat dikatakan mengalami kebuntuan. Hal ini pun mengartikan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo menjadi aktor yang lemah.

Hal tersebut kembali terulang (merembet) pada kasus penyewaan Stadion Maguwoharjo oleh Klub Sepakbola PSS Sleman. Pada kasus tersebut berkaitan dengan urusan parkir. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo sebenarnya memiliki output keamanan yang terjamin bagi seluruh penyewa (penggunanya) maupun pengunjung. Namun, hal tersebut tidak terjadi. Dalam arti, masyarakat Kampung Daengan RT 04 memiliki tindakan untuk mengatur atau mengelola urusan parkir pada Stadion Maguwoharjo sehingga UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun “terbantu” dengan adanya partisipasi masyarakat dalam urusan parkir tersebut.

(10)

146

Terkait dengan keterbatasan kedua dari variabel output. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) „boleh‟ memberikan “keistimewaan” terhadap Klub Sepakbola PSS Sleman, namun masyarakat mempercayai bahwa Stadion Maguwoharjo ini harus profesional (pro bisnis). Hal tersebut sesuai dengan logika pada contoh kedua. Ketika polisi menangkap pelaku kejahatan lalu menyiksanya. Hal ini menjadi tidak dibenarkan. Sebab, kebanyakan orang mempercayai bahwa Demokrasi Liberal menerima tingkat kejahatan yang lebih tinggi dari pada perlindungan prosedural hak-hak individu. Artinya, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman) dalam memberikan keistimewaan tersebut, tidak dapat dibenarkan dalam rangka mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis. Terlebih, Bupati Sleman (Pemerintah Daerah Sleman) tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan Keberatan terkait dengan Klub Sepakbola PSS Sleman. Hal ini mengakibatkan output sulit untuk diukur secara metodologis.

Pada situasi yang lain terkait dengan variabel output ini, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo juga sempat menunjukkan output yang belum baik dalam hubungannya dengan beberapa penyewa. Hubungan antara UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dengan Berkah Ria 08 dan Panitia Acara Charity Glow Run menghasilkan keuntungan berlebih bagi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Hal ini dikarenakan Berkah Ria 08 dikenakan tarif sewa halaman luar sebelah Timur Stadion Maguwoharjo sebesar 17 Juta, sedangkan Panitia Acara Charity Glow Run dikenakan tarif sewa halaman Utara Stadion Maguwoharjo 7,5 Juta dengan tambahan tarif sewa barikade sebesar 35 Ribu per pintu. Kedua penyewa tersebut dikenakan tarif sewa tidak sesuai dengan aturan yang melandasi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo.

Hubungan antara UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dengan SAT PJR Ditlantas Polda DIY, Outlet Slemania, dan PT. PSS menghasilkan kerugian bagi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo itu sendiri. Hal ini dikarenakan ketiga penyewa tersebut terbukti dikenakan tarif sewa yang “mencurigakan”. Sebabnya, ketiga penyewa tersebut memiliki alasan terkait dengan penggunaan Stadion Maguwoharjo. Pihak SAT PJR Ditlantas Polda DIY memiliki alasan

(11)

147

bahwa penggunaan atau penyewaan Halaman Timur Stadion Maguwoharjo hanya pinjam pakai dan SAT PJR Ditlantas Polda DIY hanya sekedar membayar tarif kebersihan. Pihak Outlet Slemania sendiri memiliki alasan bahwa space (ruang) yang dimanfaatkan merupakan pemberian jatah dari pemerintah sehingga tidak dikenakan tarif sewa. Sedangkan, PT. PSS memiliki alasan bahwa penggunaan Stadion Maguwoharjo harusnya mendapatkan keringanan dari pemerintah. Meski demikian, PT. PSS yang bersikeras menginginkan keringanan tersebut, tidak memiliki “proses” yang kuat. Dalam artian, keringanan yang dimaksud oleh PT. PSS tersebut, terbukti dengan tidak adanya penggunaan Stadion Maguwoharjo oleh Klub Sepakbola PSS Sleman dalam mengarungi Kompetisi Divisi Utama 2014 pada daftar pemakaian Stadion Maguwoharjo. Klub Sepakbola PSS Sleman pun dapat dikatakan memperoleh “penggratisan” disaat menggunakan Stadion Maguwoharjo tersebut. Padahal kita tahu terdapat aturan-aturan yang melekat pada pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini. Tidak adanya Surat Keputusan Keberatan dari Bupati Sleman terkait keringanan atau penggratisan untuk Klub Sepakbola PSS Sleman pun memperjelas hal tersebut.

Hubungan antara UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dengan Lembaga Akreditasi Mobil menghasilkan kerugian bagi keduanya. Hal ini dikarenakan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memberi keleluasaan bagi Lembaga Akreditasi Mobil bila halaman Stadion Maguwoharjo tidak ada yang memanfaatkan. Padahal, Lembaga Akreditasi Mobil hanya menyewa halaman Barat Stadion Maguwoharjo. Meski begitu, ketika Lembaga Akreditasi Mobil ingin membayar tarif sewanya, pernah mengalami tidak adanya petugas ditempat sehingga Lembaga Akreditasi Mobil dianggap terlambat dalam membayar tarif sewa. Melihat hal tersebut, maka sebenarnya UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dapat lebih tegas untuk menjalankan fungsinya sehingga memperoleh tambahan pendapatan yang jauh lebih lancar. Hal ini dilakukan supaya Lembaga Akreditasi Mobil juga tidak merasa dirugikan.

Dengan demikian secara keseluruhan dalam „variabel output‟ ini, ditemukan bahwa Curva Sud Shop (CSS) , PSS Store, dan Masyarakat Kampung Daengan RT 04 memiliki kadar output yang tinggi, sehingga ketiga aktor tersebut

(12)

148

dapat menjadi masyarakat kuat. Sedangkan, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo mengalami pelemahan. Pada situasi tertentu, maka Curva Sud Shop (CSS), PSS Store, dan Masyarakat Kampung Daengan RT 04 dapat dikatakan menggantikan peran dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Sedangkan, beberapa penyewa seperti PT. PSS, Outlet Slemania, SAT PJR Ditlantas Polda DIY, Berkah Ria 08, Panitia Charity Glow Run, dan Lembaga Akreditasi Mobil belum dapat dikatakan sebagai masyarakat kuat, sehingga tidak menggantikan peran dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Hal-hal ini pun memperjelas bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini belum cukup mampu mewujudkan Stadion Maguwoharjo yang pro bisnis atau pun menjalankan fungsinya dengan baik.

Jadi berdasarkan analisis variabel (ukuran) prosedural, kapasitas, dan output yang berlangsung pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo (Pemerintah Daerah Sleman), maka dapat diartikan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memiliki kemampuan yang kurang baik dalam mengelola Stadion Maguwoharjo. Hal tersebut pun menimbulkan dinamika tersendiri dalam dunia Stadion Maguwoharjo.

Dinamika yang dimaksud dapat ditelusuri pada variabel prosedural, kapasitas, maupun output yang berlangsung pada Stadion Maguwoharjo. Pada variabel prosedural, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini terbukti cacat dikarenakan tidak adanya birokrat yang berada pada pos (tingkatan) Jabatan Kelompok Fungsional. Hal tersebut mempengaruhi sifat hirarkis yang terbangun pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Selain itu, hal tersebut juga mempengaruhi kinerja (fungsi) yang dilakukan oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, sehingga kedisiplinan yang kurang baik dan kaburnya pemisahan antara manajemen dan kepemilikan menjadi melekat pada organisasi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Kemampuan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun menjadi berubah-ubah, yakni terdapat kemampuan pelayanan yang terlampau baik maupun kemampuan pelayanan yang tidak baik.

Pelayanan terlampau baik oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini terlihat disaat memberikan pelayanan kepada PT. PSS, Outlet Slemania, dan SAT

(13)

149

PJR Ditlantas Polda DIY. Dengan kata lain, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memperoleh pengaruh yang kurang baik dari ketiga penyewa tersebut. Sedangkan, Pelayanan yang tidak baik oleh UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo terlihat disaat memberikan pelayanan kepada Panitia Charity Glow Run, Berkah Ria 08, dan Lembaga Akreditasi Mobil. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun terlihat memberikan pengaruh yang kurang baik kepada ketiga penyewanya tersebut. Artinya dari dua bentuk pelayanan yang berbeda tersebut, menunjukkan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo belum cukup mampu „mengelola‟ kemampuannya baik hubungannya dengan organisasinya sendiri maupun penyewanya. Alhasil, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun menjadi kesulitan mempertahankan prinsip-prinsip yang tertuang pada aturan yang melekat pada pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Tentu saja, pada aspek tertentu UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun terlihat sangat kelabakan.

Pada aspek menunjukkan sikap pro bisnis. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini terbilang lebih lemah ketimbang Curva Sud Shop (CSS) maupun PSS Store. Hal ini dikarenakan Curva Sud Shop (CSS) dan PSS Store mampu mendukung Klub Sepakbola PSS Sleman untuk profesional maupun pro bisnis ketimbang UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Curva Sud Shop (CSS) berhasil mendirikan sejumlah ruko diluar lingkungan Stadion Maguwoharjo. Selain itu, Curva Sud Shop dengan menjual kebutuhan suporter dapat memberikan sumbangsih nyata kepada Klub Sepakbola PSS Sleman, seperti, pemberian royalti dan jaket. PSS Store sendiri didirikan juga untuk mendukung keprofesionalan Klub Sepakbola PSS Sleman, sehingga tidak mengherankan PSS Store yang menjual merchandise resmi Klub Sepakbola PSS Sleman dapat memberikan royalti kepada Klub Sepakbola PSS Sleman. Sedangkan, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo malah memberikan “keistimewaan” kepada Klub Sepakbola PSS Sleman, sehingga Klub Sepakbola PSS Sleman ini merasa Stadion Maguwoharjo adalah milik mereka. Hal ini dibuktikan, dengan tidak adanya pemakaian stadion oleh Klub Sepakbola PSS Sleman untuk menjalani laga di kompetisi Divisi Utama pada daftar pemakaian Stadion Maguwoharjo Tahun 2014. Dengan demikian, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini dapat dikatakan kalah dari Curva Sud Shop (CSS) dan PSS Store sebagai pesaing pada

(14)

150

situasi tertentu. Dalam perjalanannya, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo pun juga dapat dikatakan kalah dari PT. PSS sebagai penyewa.

Pada aspek menjamin keamanan. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini kembali terbilang lemah ketimbang Masyarakat Kampung Daengan RT 04. Hal ini dikarenakan, Masyarakat Kampung Daengan RT 04 mampu menjamin keamanan kendaraan pengunjung di luar stadion. Masyarakat Kampung Daengan RT 04 melihat sebuah acara pertandingan di stadion sebagai peluang untuk mengais rejeki dari jasa penjagaan (pengamanan) kendaraan. Hal tersebut membuat UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo “kesaing” untuk mewujudkan keamanan stadion 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo tidak mampu menjamin keamanan seluruh kendaraan pengunjung stadion karena adanya partisipasi masyarkat pada aspek tersebut.

Pada kedua kesempatan (aspek) tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Curva Sud Shop dan PSS Store menggantikan peran dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo yang seharusnya dapat menunjukkan sikap pro bisnis kepada Klub Sepakbola PSS Sleman. Sedangkan, Masyarakat Kampung Daengan RT 04 dapat dikatakan berhasil pula menggantikan peran dari UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo untuk menjamin keamanan kendaraan pengunjung. Selain itu, pada kesempatan lain beberapa penyewa stadion, seperti Klub Sepakbola PSS Sleman, Outlet Slemania, Kepolisian (SAT PJR POLDA DIY), Panitia Charity Glow Run, Berkah Ria 08, dan Lembaga Akreditasi Mobil, dapat dikatakan berhasil “mengelabui” UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo untuk tidak mematuhi aturan-aturan yang melandasi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo. Dinamika yang kental dengan hubungan kuasa yang terjadi diantara UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dan beberapa penyewa tersebut pun menghasilkan kerugian (kekalahan) bagi UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo.

Artinya sampai disini, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo belum mampu menegakkan aturan sebagaimana mestinya yang tertera pada Peraturan Bupati No. 57 Tahun 2011, Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2010, dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2012. Dengan demikian dapat dipastikan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini belum mampu memberikan pelayanan dengan baik

(15)

151

kepada beberapa penyewanya. Hal ini pun menunjukkan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo memiliki kemampuan kinerja yang buruk, sehingga fungsi yang diemban terlihat tidak berjalan sesuai harapan. Oleh sebab itu, pada situasi tertentu, UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini dapat dikatakan melemah dari pada PSS Store, Curva Sud Shop, dan Masyarakat Kampung Daengan RT 04. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo ini juga dapat dikatakan bekerja tidak sesuai dengan aturan ketika berhadapan dengan Klub Sepakbola PSS Sleman, Outlet Slemania, Kepolisian (SAT PJR POLDA DIY), Panitia Charity Glow Run, Berkah Ria 08, dan Lembaga Akreditasi Mobil.

Melihat kenyataan yang terjadi pada UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo, maka dapat diartikan bahwa UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam mengelola Stadion Maguwoharjo belum berjalan dengan baik. Dengan kata lain, kemampuan UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo dalam menaati aturan maupun menjalankan fungsinya masih berjalan belum baik. UPT Pengelolaan Stadion Maguwoharjo seharusnya mengelola Stadion Maguwoharjo mengawalinya dengan membangun pelayanan yang profesional, sehingga aktor yang berkepentingan pada Stadion Maguwoharjo pun terdorong untuk mewujudkan Stadion Maguwoharjo pro bisnis. Dengan demikian, upaya mencapai Stadion Maguwoharjo yang mengedepankan sifat olahraga, hiburan, maupun ekonomi akan jauh lebih mudah terrealisasi. Hal tersebut juga harus didasarkan pada aturan-aturan maupun prinsip-prinsip yang mendasari kinerja mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Posyandu Temuireng 10 Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta didapatkan 10 ibu yang mempunyai bayi,

Setelah pengefraisan bidang selesai, lepas benda kerja kemudian lukis/tandai bagian-bagian yang akan di bor atau difrais lanjutan dengan peralatan yang sudah

Proses dalam jasa merupakan faktor utama dalam bauran pemasaran jasa seperti pelanggan jasa dan sering merasakan proses penyerahan jasa sebagai bagian dari jasa

Sesuai dengan judul penelitian yang akan diangkat oleh penulis yaitu “Pengaruh keragaman produk terhadap keputusan pembelian konsumen pada Indomaret Tubagus Ismail Raya Bandung.”

Karena mesinnya harus diimpor, medium pendingin yang digunakan juga harus diimpor dengan harga yang mahal.Pada penelitian ini dilakukan pengujian sistem refrigerasi adsorpsi

Dari penelitian diatas dapat disimpulkan pengetahuan Remaja Putri tentang personal hygiene saat menstruasi adalah cukup, namun perlu ditingkatkan agar menjadi

Ketidakakuratan hasil perhitungan dapat disebabkan banyak faktor, yaitu karena ketidaktepatan penggunaan stopwatch dan penyimpanan beban pada Hydraulic Bench sehingga hasil

Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa pada penelitian ini formulasi edible film dari campuran 3g tepung tapioka, 3 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin, dan 1 g ektrak kulit