• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Nasrul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Nasrul"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

99

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Nasrul

Abstrak

Secara umum pembinaan pemahaman akhlak remaja sangat memprihatinkan. Pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang dibangun di atas konsep ke-Islaman, sehingga mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam akhlak dan kebijakan. Konsep pendidikan akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu ta’dib, tauhid, metáfora, cerita dan yang mencakup semuanya baik yang bersifat realita maupun spiritual. Dalam hal implikasi konsep pendidikan akhlak menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam Pendidikan Agama Islam terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat).

Kata Kunci: Pemikiran, Pendidikan Akhlak, Implikasi, Pendidikan Islam A. Pendahuluan

Kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa diberbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu dibawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan.

Oleh sebab itu, pendidikan akhlak sangat penting bagi peserta didik dalam menumbuh kembangkan hubungan antara peserta didik dengan Sang Pencipta, hubungan antara peserta didik dengan manusia lainnya sehingga memunculkan suatu sikap yang harmonis di antara sesamanya. Menurut Bukhari Umar pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaq karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas.1 Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa wajib hukumnya bagi peserta didik untuk membentengi dirinya dengan akhlak yang dalam perkataan beliau dikenal dengan istilah ta’dib.2

Pendidikan akhlak sebagai pendidikan yang penting untuk menanamkan nilai-nilai moral spiritual dalam kehidupan sehari-hari dapat menumbuhkan budi pekerti, tingkah laku, dan

1Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h. 22

2Kemas Baharuddin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisa Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Cebalan Timur: Pustaka Pelajar, 2007), h. 1

(2)

100 kesusilaan yang baik untuk masa depan seseorang. Banyaknya perilaku menyimpang di kalangan remaja dan anak-anak pada zaman globalisasi ini merupakan bukti nyata kemerosotan akhlak. Mereka sudah tidak lagi terikat dengan agamanya. Banyaknya kemaksiatan seperti meluasnya penyahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, durhaka kepada orang tua, adalah beberapa contoh dan bukti betapa generasi muslim semakin jauh dari nilai-nilai Islami. 3

Apabila pendidikan akhlak tidak ditanamkan dalam diri peserta didik sejak kecil, maka tidak menutup kemungkinan akan menjerumuskan peserta didik pada sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat luas. Misalnya ada seorang pelajar membentak, memukul, saling adu jotos sama teman-temannya, dan lain sebagainya. Hal seperti inilah yang tidak kita inginkan,lebih-lebih bagi orang tua. Belakangan ini umat Islam dilanda berbagai masalah terutama dalam pendidikan akhlak peserta didik yang menuntut adanya solusi yang terbaik dalam pemecahkan permasalahan tersebut. Melihat dari permasalahan ini, Al-Attas, memberikan análisis bahwa yang menjadi penyebab para pelajar melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam bersumber dari kurangnya pembinaan pendidikan akhlak terhadap peserta didik baik yang bersifat formal maupun non-formal.4

Menurut Islam, pendidikan akhlak adalah faktor penting dalam membina suatu umat membangun suatu bangsa.5 Kita bisa melihat bahwa bangsa Indonesia yang mengalami multi krisis juga disebabkan kurangnya pemahaman akhlak. Secara umum pembinaan pemahaman akhlak remaja sangat memprihatinkan. Disamping itu, pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang membangun di atas konsep ke-Islaman, sehingga mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam akhlak dan kebijakan. Namun, yang terjadi pada saat ini masyarakat Islam mengalami degradasi moral, pelanggaran nilai-nilai semakin akut dan sulit untuk dikendalikan, dan yang memprihatinkan pelanggaran nilai tersebut dilakukan oleh para kaum pelajar dalam berbagai lapisan pada tatanan masyarakat.

B. Pembahasan

1. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas a. Riwayat Syed Muhammad Naquib Al-Attas

3 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 112 4 Ibid., h. 47

(3)

101 Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931.1 Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antara mereka adalah Syed Muhammad Al-Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Din Al-Raniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu Syarifah Raquan Al-Ayadrus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.6

Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad‟ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas, dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al- Attas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.7

b. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Dalam dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.8 Pada waktu itu Indonesia berada di

6Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 118

7Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 45-46

8Hasan Muarif Hambaly, Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 78

(4)

102 bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.9

Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyyah.10

Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmuilmu keislaman di madrasah al-Urwatul Wutsqa’, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945). Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari dunia militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University, Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).11

Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin

9Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 117

10 Ramayulis dan Samsul Nizar., Op.Cit, h. 118 11Hasan Muarif Hambaly., Op.Cit, h. 118

(5)

103 Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).12

Dalam perjalanan karir akademiknya, Al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 Al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. Al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 Al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.13

Mulai awal 1980-an, Al-Attas berusaha mempraktekkan gagasannya mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah pada tahun 1977. Sebgai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984.

c. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Di antara karya-karya Al-Attas dalam buku dan monograph:

1) Al-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Acheh (Monograph of the Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1996) adalah judul tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi S2 di Mc. Gill, Canada. Dalam tesis ini Al-Attas berpendapat bahwa Nuruddin al-Raniry telah mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan semantik dari kata kunci Melayu yang berhubungan dengan Islam. Dengan kata lain tesis ini menjelaskan tentang hubungan yang sangat erat antara proses islamisasi dengan sejarah Melayu itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan istilah yang yang berkembang dalam sejarah Melayu. Tesis ini diperkuat dengan hasil riset al-Attas sendiri yang berjudul Some

12Al-Rasyidin dan Samsul Nizar., Op.Cit, h. 118 13Hasan Muarif Hambaly., Op.Cit, h. 78

(6)

104 Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays yang diterbitkan oleh Malaysian Sociological Research di Singapura.

2) The Origin of The Malay Sha’ir (DPB, Kuala Lumpur, 1968), Islam in the History and Cultures of Malays (Universiti Malaysia, Kuala Lumpur, 1972) dan Comments on the Re examination of alRaniry’s Hujjat al-Shiddiq: Refutation (Museums Department, Kuala Lumpur, 1975), The Mysticism of Hamzah Fansuri (University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970) .

3) Islam dan Sekulerisme merupakan terjemahan Islam and Secularism (ABIM, Kuala Lumpur, 1978).

4) Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Moralty (Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976).

5) Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education.

6) The Concept of Education in Islam, A Framework for an Islamic Philosophy of Education (ABIM, Kuala Lumpur, 1980).

7) Islam and the Philosophy of Science (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989).

8) The Natural Man and the Psychology of Human Soul (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).

9) The Meaning and Experince of Happines in Islam (ISTAC, Kuala Lumpur, 1993). 10) On Quiddity and Essence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).

11) The Intuition of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990). 12) Degrees of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1994).

13) Rangkaian Ruba’iyat (Dewan Bahasa dan Pustaka (DPB), Kuala Lumpur 1959). 14) Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays

(Malaysian Sociological Research Institue, Singapura, 1963).

15) Concluding Postscript to the Origin of The Malays Sya‟ir (DPB, Kuala Lumpur, 1971).

16) The Correct Date of Terengganu Inscriptio (Museums Department, Kuala Lumpur, 1972).

17) Risalah untuk Kaum Muslimin (monograf yang belum diterbitkan, 286 h ditulis antara Februari-Maret 1973). Buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001 – penerj.

(7)

105 18) Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak (ABIM, Kuala Lumpur, 1997).

19) (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Eduv=cation Series (Hodder and Stiughton dan King Abdul Aziz University, London, 1979).

20) Islam, Secularism, and The Philosophy of The Future (Mansell, London dan New York, 1985).

21) A Commentary on The Hujjat Al-Shiddiq of nur Al-Din Al-Raniri (Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986).

22) The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation of the Aqa’id Al-Nasafi (Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988). Sedangkan karya-karya Al-Attas dalam bentuk artikel tidak termasuk ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikannya di depan publik. Berjumlah lebih dari 400 dan disampaikan di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960- 1970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang. Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society (JMBARS), vol. 38, pt. 1, Singapura, 1965. 23) “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society od Orientalist, Kuala Lumpur,

1966.

24) “New Light on The Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol. 40, pt. 1, Singapura, 1967.

25) “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no.9, Kuala Lumpur, 1968.

26) “Hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.

27) “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

28) “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-Cordova- Granada, 5-12 September 1971.

29) “Konsep Baru mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusasteraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, t.t.

(8)

106 30) “The Art of Writing, Dept. Museum”, Kuala Lumpur, t.t.

31) “Perkembangan Tulisan Jawi Sepintas Lalu”, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973.

32) “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, Kesusasteraan Melayu”, Asas Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973. 33) “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der Islamischen Welt,

ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974.

34) “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Prancis,

35) “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.

36) “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.

37) “A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago”, Profils of Malay Culture, Historiagraphy, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.

38) “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.

39) “Some Reflections on The Philosopichal Aspects of Iqbal‟s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977. 40) “The Concept of Education in Islam: Its Form, method, and System of

Implementation”, World Symposium of Al-Isra‟, Amman, 1979. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab.

41) “ASEAN – Ke mana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?” Diskusi, jil.4, no. 11-12, November-Desember, 1979.

42) “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.

43) “Knowledge and Non-Knowledge”, Reading in Islam, no.8, first quarter, Kuala Lumpur, 1980.

44) “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad Ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979.

(9)

107 45) “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim

Education, Islamabad, 1980.

46) “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab.

47) “Religion and Secularity”, Congress of the World‟s Religions, New York, 1985. 48) “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World‟s Religions, Istanbul,

1985.14

2. Konsep Pendidikan Akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas

a. Hakikat Pendidikan Akhlak Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Dewasa ini, seringkali di dalam dunia pendidikan menganggap pendidikan akhlak hanyalah sesuatu yang tidak penting dalam proses belajar mengajar. Karena memahami pendidikan akhlak sebagai pendidikan yang diberikan kepada fase tertentu (masa remaja dan dewasa) dan hanya guru tertentu yang bisa menyampaikan pendidikan akhlak kepada peserta didik, atau secara metode pelaksanaannya sering kita dengar bahwa pendidikan akhlak diberikan secara spontan atau occasional oleh guru.

Al-Attas mengatakan bahwa akhlak adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan terhadap posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi jasmani, intelektual dan ruhaniyah.15 Lebih lanjut Al-Attas menegaskan bahwa Islam itu harus selalu memberi arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh-pengaruh pemikiran Barat dan Orientalis yang menyesatkan. Konsep yang ditawarkan oleh Al-Attas adalah “manusia beradab (ta’dib)”.

Beliau berpendapat bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik. Yang dimaksud baik di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.16 Konsep akhlak dan pendidikan merupakan lanjutan dari pemikiran manusia tentang konsep agamanya. Bila dalam Islam dikenal dengan istilah din, maka konsep yang menjadi kajian pertama sebelum mengkaji tentang hal-hal lain adalah konsep din itu sendiri. Pendidikan akhlak menurut Al-Attas adalah penyamaian dan penanaman adab dalam diri manusia yang disebut dengan istila ta’dib. Al-Attas

14Ibid., h. 59

15 Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 94

(10)

108 menyebutkan bahwa contoh yang ideal manusia beradab adalah Nabi Muhammad. Maka dari itu, Al-Attas mencantumkan nama Nabi Muhammad di tengah-tengah logo institut yang pernah didirikannya, yaitu ISTAC (International Institut of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur.17

Konsep pendidikan akhlak dalam pengertian ta’dib adalah bukanlah sebuah proses yang akan menghasilkan spesialis, melainkan proses yang akan menghasilkan individu yang baik, yang akan menguasai berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan pandangan hidup Islam, berupaya menghasilkan Muslim yang terdidik secara benar, jelas identitasnya, jujur, moderat, berani, dan adil dalam menjalankan kewajiban dalam berbagai realita dan masalah kehidupan sesuai dengan urutan prioritas yang dipahaminya.18 Al-Attas tetap pada pendiriannya bahwa istilah yang paling cocok untuk membawakan konsep pendidikan Islam adalah ta’dib yang berakar dari kata addaba yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak arti; menghias, ketertiban, kepantasan, kemanusiaan, dan kesusastraan. Para ulama mengartikan dengan kepintaran, kecerdikan, dan kepandaian. Sedangkan arti asalnya adalah sesuai yang dalam bahasa Indonesia adab mempunyai arti sopan, kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti.19

Menurut Al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari keterampilan betapapun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan sesuatu. Lebih lanjut ditegaskan bahwa sesuatu yang harus ditanamkan dalam pendidikan tersebut adalah ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung dalam konsep adab. Kecuali itu porsi pendidikan dari kata ta’dib penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai kehidupan manusia.20

Seseorang yang memiliki adab akan mampu mencegah dirinya dari kesalahan penilaian. Karena manusia tadi memiliki kepintaran, kepandaian, ataupun kecerdasan. Kecerdasan adalah kemampuan manusia untuk mengetahui dan melihat problema serta memecahkannya dengan sukses. Dengan kecerdasan, orang mampu memberi sesuatu dengan benar dan tepat, ia akan mampu mendisiplinkan diri memikirkan terlebih

17Ibid., h. 53

18Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 174 19Kemas Baharuddin., Op.Cit, h. 30

20Abdurrahman Assegaf dan Suyadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan

(11)

109 dahulu segala perbuatannya. Pendek kata, adab penuh dengan pertimbangan moral. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan dan mentaati segala ketentuan, peraturan, tata tertib yang ada.21

Dari uraian di atas terlihat bahwa Al-Attas menekankan kepada segi adab. Maksudnya agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu. Karena itu ilmu tidak bebas nilai, tetapi sangat sarat nilai; yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.22 Dalam pandangan Al-Attas pendidikan Islam itu harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan kepada manusia sebagai peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar. Jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu dalam memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk terutama kepada sang Khaliq Allah SWT.23

Dengan jelas dan sistematik, Al-Attas mengemukakan penjelasannya sebagai berikut:

1) Menurut tradisi ilmiah bahasa Arab, istilah ta’dib mengandung tiga unsur; yaitu pembangunan iman, ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Sebaliknya, ilmu harus dilandasi dengan iman. Dengan begitu iman dan ilmu dimanifestasikan dalam bentuk amal.

2) Dalam hadits Nabi SAW terdahulu secara eksplisit digunakan istilah ta’dib dari kata addaba yang berarti mendidik. Cara Tuhan mendidik Nabi, tentu saja mengandung konsep pendidikan yang sempurna.

3) Dalam kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti ilmu, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau pemilikan terhadap obyek atau peserta didik, disamping tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik makhluk selain manusia. Karena menurut konsep Islam yang bisa dan bahkan harus dididik adalah manusia.

21Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam: Konsep Agama dan Dasar Dari Etika dan Moralitas, Terj. Ana Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1981), h. 49

22Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam., Op.Cit, h. 8 23Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6

(12)

110 4) Al-Attas menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas akhlak terpuji yang hanya terdapat dalam istilah tadib.24

Dengan demikian pendidikan akhlak menurut Al-Attas adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.

b. Tujuan Pendidikan Akhlak Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan, yang telah menarik perhatian para filosof dan pendidik sejak dahulu. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi pada kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis maupun monarkis. Sedangkan pandangan teoritis yang kedua adalah lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.25

Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat (social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, mereka yang berpandangan kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal itu, maka target dan tujuan pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian lain yang sudah diterima dan berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian lain yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa dipersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.26

24 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam., Op.Cit, h. 56 25Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 163

(13)

111 Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi pada individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bias meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, pendidikan adalah jenjang mobilitas social-ekonomi suatu masyarakat tertentu. Sedangkan aliran yang kedua adalah lebih menekankan pada peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik.27

Al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang lebih rendah hingga ke tingkat yang lebih tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga Negara yang sempurna, melainkan untuk memunculkan manusia yang paripurna. Hal ini sesuai dengan pernyataannya berikut ini: Tujuan untuk mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu bukan hanya sebagai waga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis berdasarkan keguanaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia.28

Membahas konsep Negara Paripurna (Al-Madinah Al-Fadhilah) dalam Islam, Al-Attas menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga Negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan para pemikir Barat, melainkan lebih dari itu adalah membina manusia yang sempurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu diarahkan. Menurutnya, perhatian penuh terhadap individu merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab tujuan tertinggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu itu sendiri.29 Dari pernyataan di atas, dapat diungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas adalah membentuk dan menghasilkan manusia yang baik. Unsur mendasar yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab (ta’dibi).30

27Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam., Op.Cit, h. 54 28Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 172

29 Ibid., h. 174

(14)

112 Dalam peradaban Barat ataupun non Islam, tidak mengenal ataupun tidak pernah merumuskan “manusia universal” itu, yang menjadi pedoman dalam hidup dan dapat dipakai untuk memproyeksikan ilmu pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Harus diakui bahwa yang hanya pada pribadi Rasulullah-lah kita temukan sosok manusia yang universal atau insan kamil.31 Karena itu menurut Al-Attas universitas Islam hendaklah menjadikan Nabi sebagai cerminan dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar dengan fungsi untuk melahirkan manusia yang baik. Laki-laki maupun perempuan yang sedapat mungkin dikembangkan kualitasnya sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya sedekat mungkin menyerupai Nabi dalam segala tindakan dan pengetahuannya.32

c. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Pendidikan akhlak merupakan pendidikan yang menekankan agar seorang manusia dapat menempatkan dirinya dengan ideal dalam kehidupan di dunia ini, karena dalam pendidikan akhlak mengandung dua makna yaitu hubungan manusia dengan semua makhluk dibumi ini dan hubungan manusia dengan khaliq (pencipta), akhlak atau prilaku yang ditampilkan oleh seseorang merupakan cerminan dirinya, sehingga semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorang maka semakin baik pula perangai manusia tersebut.

Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari pemikiran manusia tentang konsep agamanya. Bila dalam Islam dikenal dengan istilah din, maka konsep yang menjadi kajian pertama sebelum mengkaji hal-hal yang lain. Sebagaimana diketahui, Al-Attas mempunyai kelebihan tersendiri dalam mencari akar dari terminologi yang dirasa telah tereduksi oleh proses sekularisasi. Salah satu terminologi yang menjadi sorotan utama yang berkaitan dengan topic moralitas dan pendidikan adalah terma din. Lebih lanjut, Al-Attas mengungkapkan klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan setidaknya ada dua macam, yaitu: Pertama, santapan dan kehidupan jiwa itu yang cara perolehnya diberikan oleh Allah. Pengetahuan yang diberikan oleh Allah meliputi Al-Qur’an, Sunnah, Syari’ah, ilmu ladunni dan hikmah yang berupa pengetahuan dan kearifan.

Sedangkan konsep pengetahuan dan kearifan sangat erat kaitannya dengan moralitas dan pendidikan. Sebab moralitas dan pendidikan merupakan sebuah unifikasi

31 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam., Op.Cit, h. 41 32 Kemas Baharuddin., Op.Cit, h. 43

(15)

113 yang tidak mungkin yang berasal dari bahasa Arab ‘arif. ‘Arif merupakan bentuk isim fa’il dari kata ma’rifah yang artinya mengetahui atau mengenal. Kearifan, menurut Al-Attas adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah untuk memungkinkan si pemilik pengetahuan untuk menerapkan dengan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga timbul keadilan. Sementara keadilan itu sendiri secara inheren mengandung pengertian pengetahuan.33

Jadi keadilan adalah keadaan eksistensial dari kearifan yang dinyatakan dalam apa yang dapat ditangkap pancaindera dan dapat dipahami akal budi serta dalam alam spiritual yang berkaitan dengan dua jiwa manusia yaitu jiwa rasional (nafs al-nathiqah) dan jiwa hewani (al-nafs alhayawaniyyah). Perwujudan dari keadilan, tidak lain adalah terjadinya adab di dalam kehidupan individu dan komunitas masyarakat di mana ia berada. Kedua, tujuan pengajaran yang operasionalistik dan pragmatis yang cara perolehannya dapat dilakukan melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Pengetahuan ini mempunyai arti luas, deduktif dan berkaitan dengan objek-objek yang bernilai pragmatis.34

Menurut Al-Attas akhlak manusia terjadi karena pembiasaan atau latihan (pengaruh lingkungan) bukan karena bawaan tetapi pengaruh lingkungan yakni perlu diinternalisasikan kepada jiwa manusia melalui pembiasaan atau pelatihan dari luar dirinya agar menghasilkan perilaku yang positif sesuai dengan norma lingkungannya. Lebih lanjut Al-Attas berpendapat bahwa Adab (akhlak) adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah, pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajatnya.35

Adab menunjukkan pengenalan dan pengakuan akan kondisi kehidupan, kedudukan dan tempat yang tepat, layak dan disiplin diri ketika berpartisipasi aktif dan sukarela dalam menjalankan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, pemenuhannya dalam diri seseorang dan manusia secara keseluruhan mencerminkan kondisi keadilan. Al-Attas dalam hal ini memberikan contoh bentuk perilaku akhlak yang baik melalui perintah-perintah kepada anak-anak agar duduk

33 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 43 34Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 94

(16)

114 yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak-anak lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak, guru dan orang-orang tua lainnya. Selain itu, Al-Attas menguatkan pendapatnya dengan penjelasan bahwa pendidikan akhlak diberikan kepada peserta didik dengan cara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.36 Al-Attas menegaskan bahwa sesuatu yang harus ditanamkan dalam pendidikan adalah ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung dalam konsep adab. Kecuali itu porsi makna pendidikan dari kata ta’dib penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai kehidupan manusia.

Penjelasan Al-Attas di atas secara garis besar memiliki persepsi mengenai hakikat akhlak, yaitu bahwa perilaku mulia atau akhlak manusia muncul karena pengaruh dari luar dan bawaan dari dalam. Dari gambaran-gambaran konsep Al-Attas di atas maka peneliti dapat mengidentifikasi proses internalisasi akhlak melalui perintah-perintah (penanaman kebaikan-kebaikan) agar terbiasa berbuat yang mulia, seperti guru memerintahkan agar siswanya menghormati orang tuanya, saling tolong-menolong, berpakaian yang rapi dan baik, dan lain sebagainya.37

Dengan kata lain, akhlak ialah suatu sistem yang menilai perbuatan lahir dan batin manusia baik secara individu, kelompok dan masyarakat. Dalam interaksi antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan hewan, dengan malaikat, dengan jin dan juga dengan alam sekitar. Adapun konsep pendidikan akhlak menurut Islam adalah sebagai berikut:

1) Pandangan Islam tentang hakikat pendidikan akhlak Islam bersifat mendalam dan menyeluruh, tidak terikat pada pada suatu pandangan tertentu dan tidak bertentangan dengan teori atau filsafat pendidikan manapun.

2) Dalam dasar akhlak pendidikan Islam terlihat arah pandang yang komprehensif, mencakup semua aspek positif perkembangan integral: Intelektual, spiritual, fisik, dan aspek-aspek perkembangan lainnya.

3) Konsep tersebut menghendaki penggunaan segala metode dan sarana pendidikan: tidak terpusat pada satu metode atau sarana tertentu, tidak pula mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain.38

36Wan Mohd Nor Wan Daud., Op.Cit, h. 174

37Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 32

(17)

115 Kerangka pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang konsep pendidikan akhlak. Diantaranya yaitu:

1) Dalam pembahasan hakikat manusia menggunakan empat nama unsur yang terdapat pada diri manusia yaitu: nafs, qalb, ruh, dan aql, dan memberi dua arti dari masing-masing unsur tersebut yakni:

a) Qalb, Pertama, daging berbentuk sanubari disisi kiri dada. Kedua, diartikan secara lebih halus yang berkaitan dengan rabbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniyah (kerohanian).

b) Ruh, Pertama, fisik yang lembut, dalam dan mengandung darah hitam yang bersumber dari lubang kalbu jasmani. Kedua, latifah amaliah yang memahamkanpada diri manusia.

c) Nafs, Pertama, kekuatan hawa marah dan syahwat yang dimiliki manusia. Kedua, merupakan hakikat diri dan dzat manusia.

d) Aql, Pertama, pengetahuan mengenai hakikat segala sesuatu, yang di ibartkan sebagai sifat ilmu yang terletak dalam hati. Kedua, akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan tersebut

2) Menggunakan Al-Qur’an, Hadits, dan akal pikir manusia, sebagai sumber akhlak yang baik. Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang di jadikan sebagai pedoman hidup orang Islam dalam menaungi kehidupan didunia, begitu pula Hadits yang mana juga memuat berbagai macam tata cara kehidupan yang baik dari Nabi sebagai suri tauladan, sedangkan akal pikir manusia yang tidak bertentangan dengan syari’at bisa digunakan sebagai solusi dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam bermasyarakat.

3) Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang patut dijadikan suri tauladan, karena beliau mempunyai akhlak yang sangat mulia.

4) Bahwa tujuan dari pendidikan akhlak adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan membentuk insan kamil, maka sasaran pendidikan akhlaknya kesempurnaan insani didunia dan akhirat dan manusia akan sampai pada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT, sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.

(18)

116 5) Secara ideal, Al attas menghendaki pendidikan akhlak mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al insan al kamil), suatu tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus, yakni sebagai hamba Allah SWT, dan sebagai khalifah fil ardli (wakil Allah dimuka bumi). Karena itu sistempendidikan islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.

6) Al Attas menganjurkan agar para pendidik menumbuhkan sifat keihlasan dalam mengajarkan ilmu, niat karena Allah SWT tanpa mengharap imbalan atas perbuatannya.

7) Dalam membahas peserta didik bahwa murid harus mempunyai rasa hormat kepada guru mereka.39

3. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas Dalam Pendidikan Islam

a. Pendidikan Dalam Konsep Ta’dib Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi manusia. Kata membantu disini mempunyai arti agar manusia itu berhasil menjadi manusia. Manusia akan dikatakan berhasil apabila memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia.40 Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib

Al-Attas, membahas tentang

kata Ta'dib berasal dari bahasa Arab yang berbentuk kata kerja addaba yang berarti memberi adab, yang sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah.41 Dan dalam terminologinya berarti penanaman adab pada diri manusia melalui proses pendidikan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.42

39Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, The Concept Of

Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosphy of Education, (Bandung: Mizan, 1996), h. 35

40 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 5 41Faisal Ismal, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Tiara Ilahi Press, 1998), h. 97

(19)

117 Syed Muhammad Naquib Al-Attas menganggap bahwa untuk memberikan konsep yang tepat bagi pendidikan Islam adalah dengan istilah Ta'dib dan bukan tarbiyah atau ta'lim. Beliau sangat tidak setuju kalau tarbiyah dijadikan sebagai konsep bagi pendidikan Islam, hal itu karena menurut beliau kata tarbiyah konotasinya baru dan dibuat-buat serta mengarah kepada pemikiran modernis. Mereka membuat-buat konsep dalam pemakaiannya terhadap pendidikan Islam. Padahal pada hakekatnya konsep ini lebih cenderung kepada konsep pendidikan ala barat yang menggunakan kata education. Education secara konseptual berasal dari kata latin educare yang berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi dan potensial, yang didalamnya tidak lain hanyalah proses penghasilan pengembangan yang mengarah kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakan. Penerapannya dalam bahasa Arab, kata tarbiyah tidak hanya terbatas pada manusia saja, namun medan sematiknya meluas kepada spesies-spesies lain, seperti manusia, tumbuh-tumbuhan, alam, dan hewan.43 Makanya dari kata tersebut, Syed Muhammad Naquib Attas lebih condong menggunakan kata Al-Ta’dib dari Addaba untuk mengambarkan pendidikan, karena dari kata Addaba itu mempunyai arti untuk mengatur pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dari tingkah laku yang tidak baik.44

Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas kata tarbiyah tidak bisa mewakili konsep pendidikan Islam yang memfokuskan objeknya kepada manusia serta tidak mengarah kepada speases-speases selain manusia, maka dengan demikian, ta'diblah dalam hal ini yang bisa dijadikan sebagai konsep yang tepat bagi pendidikan Islam, karena konsep Ta'dib mengacu kepada objek manusia seutuhnya sekaligus menuju kepada manusia yang baik.45 Dalam penerapannya konsep Ta'dib mengarah kepada pendidikan manusia secara individual untuk mengarah kepada perbaikan manusia secara kolektif dan menyeluruh sebagai masyarakat yang sempurna. Maka dalam

43 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 1 44A. Mustofa, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 2004), h. 177

(20)

118 implementasinya, proses pendidikan dalam konsep Ta'dib tidak dimulai dari pendidikan masyarakat seperti yang ditempuh oleh barat yang menerapkan konsep pendidikannya pada pembentukan masyarakat dan tidak mengarah kepada pembentukan individual. Implementasi yang diterapkan oleh konsep Ta'dib tersebut didasari oleh asumsi Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang menganggap bahwa untuk membentukan sebuah masyarakat yang utuh harus dimulai dari pembentukan masing-masing individu yang ada di dalamnya, karena untuk menuju sebuah masayarkat yang baik dengan bermula pada pembentukan individual akan lebih menjamin bagi tercapainya sebuah kebaikan yang menyeluruh dan akan lebih fleksibel dalam prakteknya.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas membantah kalau dikatakan bahwa konsep Ta'dib sebagai pendidian tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Malah justru Syed Muhammad Naquib Al-Attas beranggapan bahwa konsep Ta'diblah yang dipergunakan pada masa Rasulullah SAW., Ta'dib yang menekankan kepada ilmu sekaligus amal yang dibarengi oleh akhlak yang mulia. Secara konseptual, Ta'dib merujuk kepada akhlak Rasulullah. Maka Ta'dib selalu mengarah kepada konotasi adab yang diajarkan oleh Rusulullah SAW. “Aku dididik (Ta’dib) oleh tuhanku, maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”(HR. Ibn Hibban)

Sudah jelas kiranya bahwa konsep ta'dib sebagai pendidikan sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, hanya saja setelah itu terjadi penyempitan dan pengurangan pada maknanya. Hal itu terjadi karena adanya kekacauan dan kesalahan dalam pengertian dan pemahaman ilmu-ilmu keislaman pada masa Abbasiyah, sehingga maknanya menjadi terbatas pada kesusastraan dan etika profesional. Konsep ta’dib ini dijadikan tolak ukur memahami lebih jauh tentang pendidikan menurut filsafat Islam, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas membatasi bahwa pendidikan itu terbentuk kepada manusia. Yang menjadi dasar pemikiran filsafat pendidikan Islam yaitu: 1) Untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

2) Hubungan dengan fitrah kejadian manusia

3) Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi.46

Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas untuk memberikan konsep yang tepat bagi pendidikan Islam tidaklah usah lagi memakai istilah Tarbiyah dan Ta'lim,

(21)

119 atau mensejajarkan kedua istilah tersebut dengan Ta'dib untuk membuat konsep bagi pendidikan islam, karena kata Ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah Tarbiyah dan Ta’lim. 47dengan alasan bahwa kalau hal itu terjadi, yang terjadi kemudian adalah kesalahan dan kekacauan dalam setiap semantik serta sebagai usaha untuk menempatkan konsep pendidikan Islam pada tempatnya yang haqiqi.

b. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut

Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan tersentuh oleh teknologi dan sains. Melalui pandangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Perspektif yang menyatakan bahwa hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi, politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya corruption of knowledge (korupsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang gemilang tersimpan.

Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada zaman yang sudah modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsure sekuler dari Barat, dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman nilai-nilai Islam dengan ta‟dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan bertingkah laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.48

C. Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa : Menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri

47 Said Aqil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 15

48 Zulkarnain AR, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, http: //andeskopraya.blogspot.com, diakses 13 November 2017

(22)

120 manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik.

Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari system pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil : لماكلا ناسنلاا). Maka dari itu, pendidikan Islam membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia sempurna.

D. KEPUSTAKAAN

Assegaf, Abdurrahman, Pendidikan Islam Mazhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat, Yogyakarta: Gema Media, 2008

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam: Konsep Agama dan Dasar Dari Etika dan Moralitas, Bandung: Pustaka, 1981

_______, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981 _______, Konsep Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1984

Konsep Pendidikan Dalam Islam, The Concept Of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosphy of Education, Bandung: Mizan, 1996

Baharuddin, Kemas, Filsafat Pendidikan Islam: Analisa Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Cebalan Timur: Pustaka Pelajar, 2007

Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 1998

(23)

121 Djatnita, Ratma, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia, Surabaya: Pustaka, 1987

Hambaly, Hasan Muarif, Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996

Ismail, Faisal Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta: Tiara Ilahi Press, 1998

Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989

Ma’arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Al-Munawwar, Said Aqil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005

Mustofa, A., Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986 ______, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001

______, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005

Al-Rasyidin, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005

Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006

Zulkarnain AR, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, http: //andeskopraya.blogspot.com

Referensi

Dokumen terkait

Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen

Mulai dari proses penerimaan zakat, infak/sedekah yang diakui sesuai dengan nominal yang disetorkan kepada BAZNAS dari muzzaki, penyaluran zakat, infak/sedekah yang diakui ketika

Kecuali apabila ditentukan lain oleh Pengekspor Data, Data Pribadi yang ditransfer berhubungan dengan kategori subjek data berikut: pegawai, kontraktor, mitra bisnis atau

Jajaran lembaga keamanan terutama Polri (didukung oleh TNI) dapat menetapkan definisi operasional yang tegas membedakan antara tindakan politik warga sipil sebagai perwujudan

Di Kabupaten Bandung dan Garut pengetahuan dan sikap petani responden alumni SLPHT kubis dan Non SLPHT kubis terhadap pestisida tidak mempengaruhi mereka dalam mematuhi

Melaksanakan pencatatan dan pelaporan kegiatan kesling. Dokumen Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan 1)  Hasil Kerja : Tulis Hasil Kerja sesuai dengan uraian tugas.

Serangan DoS (denial-of-service attacks') adalah jenis serangan terhadap sebuah komputer atau server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber (resource)

Analisa ini meliputi faktor 4M (man, machine, methode, material) 1E(environment) pada permasalahan yang akan ditanggulangi, yaitu kapasitas produksi yang lebih kecil