• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres Akademik. kehidupan siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres Akademik. kehidupan siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1. Pengertian Stres Akademik

Menurut Hardjana (1994) stres merupakan hal yang melekat pada kehidupan siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam jangka panjang-pendek yang tidak sama, serta pernah atau akan mengalaminya. Ia juga menambahkan, stres adalah keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi orang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan, entah nyata atau tidak nyata antara keadaan atau kondisi dan system sumber daya biologis, psikologis, dan sosial yang ada padanya. Sedangkan menurut Selye (Hawari, 2011) yang dimaksud dengan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban kerja yang berlebihan. Selanjutnya dijelaskan juga stres merupakan salah satu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dalam beradaptasi terhadap tekanan internal dan eksternal (Sari dkk, 2015).

Menurut Lukaningsih dan Bandiyah (2011) stres secara historis telah lama digunakan untuk menjelaskan suatu tuntutan untuk beradaptasi dari seseorang, ataupun reaksi seseorang terhadap tuntutan tersebut. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2011) stres merupakan keadaan yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, yang menyebabkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal

(2)

dari situasi dan yang bersumber pada biologis, psikologis, atau sistem sosial seseorang.

Pada penelitian ini, peneliti akan memfokuskan stres pada stressor akademik mahasiswa. Menurut Busari (2011) stres akademik terjadi ketika terdapat tuntutan akademik pada seseorang dimana tuntutan tersebut dianggap melampaui kemampuan penyesuaian dirinya.Pendapat lain dikemukakan oleh Gupta (2011) stres akademik adalah ketegangan emosional siswa yang dinyatakan atau dirasakan oleh dirinya selama kegagalan dalam menghadapi tuntutan akademik dan konsekuensinya dalam bentuk gangguan kesehatan fisik dan mental.

Menurut Amett (1999) stres akademik merupakan stres yang berhubungan dengan kegiatan belajar siswa atau mahasiswa di sekolah, berupa ketegangan-ketegangan yang bersumber dari faktor akademik yang dialami siswa, sehingga mengakibatkan terjadinya distorsi pada pikiran siswa dan mempengaruhi fisik, emosi dan tingkah laku.Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nijboer (2007) yang mengungkapkan bahwa stres akademik ditentukan oleh persepsi siswa akan kemampuan pencapaian akademiknya. Hal ini dikarenakan oleh tekanan untuk mencapai prestasi di sekolah berasal dari harapan yang dialami melalui interaksi dengan guru, orang tua dan teman sekolah. Pendapat lain yang serupa dikemukakan oleh Heiman dan Kariv (2005) yang mengatakan bahwa stres akademik adalah stres yang disebabkan oleh academic stressor dalam proses belajar dan berhubungan dengan kegiatan belajar.

Menurut Haber dan Ruyon (1984) stres akademik merupakan perasaan tegang dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi, kemudian

(3)

perasaan tersebut mengganggu dalam pelaksanaan tugas dari aktivitas yang beragam dalam situasi akademis. Selanjutnya dijelaskan juga stres akademik adalah tekanan mental yang muncul akibat kekecewaan terkait kegagalan akademis (Krishan, 2014).

Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli di atas, penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2011) stres merupakan keadaan yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, yang menyebabkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dan yang bersumber pada biologis, psikologis, atau sistem sosial seseorang. Peneliti mengacu pada teori diatas karena skala yang digunakan dalam penelitian ini juga di adaptasi dari Sarafino dan Smith (2011).

2. Aspek-Aspek Stres Akademik

Menurut Sarafino dan Smith (2011) ada 2 aspek dalam stres, yaitu : a. Aspek Biologis

Tubuh akan beradaptasi terhadap stresor seperti tingkat fluktuasi hormon seperti kortisol dan epinefrin, tekanan darah, dan dungsi imun yang menumpuk dari waktu ke waktu. Gejala fisik yang dirasakan juga seperti jantung yang mulai berdetak lebih cepat dan lebih kuat, otot yang bergetar,

b. Aspek Psikologis 1) Kognitif dan Stres

Kesulitan berpikir jernih selama stres disertai dengan kontrol fisiologis yang buruk atau regulasi respon stres. Kondisi stres dapat mengganggu proses berpikir individu dan cenderung mengalami

(4)

gangguan daya ingat, perhatian dan konsentrasi berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal.

2) Emosi dan Stres

Emosi selalu berhubungan dengan stres, ketika seseorang mengalami stres maka mereka cenderung mengevaluasi pengalaman emosional. Stres dapat mempengaruhi perasaan seperti perasaan sedih dan depresi. Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu juga merupakan gejala emosi.

3) Tingkah Laku dan Stres

Stres dapat merubah perilaku seseorang, dalam situasi stres orang akan menjadi kurang bersosialisasi dengan orang lain. Kemarahan juga akan menyebabkan perilaku agresif pada seseorang. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan stres apabila munculnya aspek biologis seperti gejala fisik yang berlebihan dan aspek psikologis seperti gangguan kognitif, emosi dan tingkah laku.

Selanjutnya aspek-aspek stres akademik menurut Busari (2011) terdiri dari : a. Fisiologis

Terganggunya pola-pola normal dari aktivasi fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah sakit kepala, nyeri pada otot, cepat lelah dan mual.

b. Perilaku

Ketidaksabaran, kecemasan, sungguh impulsif, hiperaktivitas, cepat marah, terlalu agresif, menghindari situasi yang sulit dan bekerja secara berlebihan.

(5)

c. Kognitif

Kebingungan daya ingat yang sering, pemikiran negatif yang konstan, ketidakmampuan membuat keputusan, sulit untuk menyelesaikan tugas, bersikap kaku dan sulit untuk berkonsentrasi. d. Afektif

Perasaan khawatir, terancam, sedih, tertekan, ingin menangis, emosi yang meledak-ledak.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan mengalami stres akademik apabila munculnya aspek fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.

3. Faktor-Faktor Penyebab Stres Akademik

Menurut Sarafino dan Smith (2011) ada 3 penyebab stres sepanjang hidup manusia berlangsung, yaitu :

a. Diri Individu

Kadang sumber stres ada di dalam diri seseorang. Penyakit adalah salah satu cara stres timbul dari dalam diri seseorang.Stres cara lain muncul di dalam diri seseorang adalah melalui penilaian kekuatan motivasional yang berlawanan, kapan pun terjadi konflik yang mengerikan. Contohnya ketika individu memiliki dua mata kuliah yang dibutuhkan dan jadwalnya bertepatan di waktu yang sama sehingga hanya dapat memilih satu diantaranya, hal tersebut disebut sebagai konflik karena mendapat tekanan akibat harus memilih salah satu diantaranya.

(6)

b. Keluarga

Mengingat peran penting motif sosial dalam stres, tidak mengherankan jika hubungan istimewa dapat menyebabkan sumber stres. Keluarga bisa memberi ketenangan, tapi juga bisa menjadi sumber ketegangan dan konflik. Perselisihan interpersonal dapat timbul dari masalah keuangan; perilaku tidak pengertian; penggunaan sumber daya rumah tangga; dan menentang tujuan. Dari sekian banyak sumber stres dalam keluarga, kita akan fokus pada tiga hal: hadirnya anggota keluarga baru, pernikahanan dan perceraian, penyakit dan kematian dalam keluarga. Tambahan keluarga baru ataupun kehilangan keluarga menimbulkan stres terhadap anggota keluarga lainnya berkaitan dengan masalah biaya dan perhatian. Perceraian dan pernikahan menghasilkan banyak transisi yang menegangkan untuk semua anggota keluarga saat mereka menghadapi perubahan dalam keluarga mereka, baik keadaan sosial, lingkungan, dan keuangan.

c. Komunitas dan Lingkungan Masyarakat

Kontak dengan orang di luar keluarga menyebabkan banyak sumber stres. Adanya pengalaman-pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan yang menyebabkan seseorang menjadi stres. Contohnya beban kerja yang terlalu berat, konflik antar teman dan persaingan dalam perkuliahan.

Faktor-faktor stres yang diungkapkan di atas mengarah pada faktor yang dikemukakan oleh Sarfino dan Smith (2011) yaitu berasal dari dalam diri individu, keluarga dan kondisi lingkungan luar seseorang. Sarafino (2008) menambahkan bahwa salah satu faktor yang dapat

(7)

meminimalisir stres adalah faktor kemampuan mengelola emosi atau kecerdasan emosi.

B. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi biasanya kita sebut sebagai “street smarts” atau kemampuan khusus yang kita sebut akal sehat, terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, dan menatanya kembali; kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan; dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan; yang kehadirannya didambakan orang lain (Stein dan Book, 2002).

Menurut Goleman (2016), kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Selanjutnya Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosi yaitu suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Menurut Coper dan Sawaf (Asrori, 2009), kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber emosi serta pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, belajar

(8)

mengakui, menghargai perasaan pada diri sendiri atau orang lain serta menanggapinya dengan tepat.

Kecerdasan emosi diartikan sebagai kemampuan mengenali perasaan sendiri dan orang lain serta mampu mengelola emosi tersebut dengan memotivasi diri sendiri (Aprilia dan Indrijati, 2014). Senada dengan teori Reuver Bar-On (Stein dan Book, 2002) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan dari lingkungan. Mereka yang kecerdasan emosinya terasah, akan memiliki satu atau beberapa dari banyak karakter-karakter mental yang positif, seperti : sabar, tenang, pantang putus asa, dan percaya diri.

Berdasarkan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Goleman (2016), kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. 2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama (Goleman, 2016) :

a. Mengenali emosi diri. Mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi, kemampuan memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan

(9)

pemahaman diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.

b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang muncul karena gagalnya keterampilan emosi dasar ini. Orang-orang yang buruk dalam kecerdasan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

c. Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk member perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan untuk berkreasi. Mengendalikan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan, mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

d. Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosi, merupakan “keterampilan bergaul”. Biaya sosial akibat ketidakpedulian secara emosional, dan alasan-alasan

(10)

empati memupuk altruisme. Orang yang lebih empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan, mengajar, penjualan dan manajemen.

e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang heat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain, mereka adalah bintang-bintang pergaulan.

Kemampuan orang berbeda-beda dalam wilayah-wilayah ini. Kelima aspek yang dikemukakan dalam buku Goleman dapat menyimpulkan garis-garis besar kecerdasan emosi yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu mahasiswa tingkat akhr harus memiliki kecerdasan emosi, dengan memiliki aspek-aspek kecerdasan emosi, maka mahasiswa tingkat akhir mampu mengontrol sikap dan perilakunya dalam menghadapi situasi tertentu.

C. Mahasiswa Tingkat Akhir

Menurut Krisdiyanto dan Mulyanti (2015) mahasiswa dalam perkembangannya ialah sebagai remaja akhir atau dewasa awal yatu usia 18-21 tahun dan 22-24 tahun. Mahasiswa akan mengalami masa kuliah di suatu Universitas selama minimal tiga atau empat tahun dan akan mengakhiri masa kuliahnya dengan menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan mendapat gelar sarjana. Menurut Marhama (2015), mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam proses mengerjakan tugas akhir atau

(11)

skripsi. Tugas akhir atau skripsi merupakan persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres

Stres dapat menyerang siapa saja, tidak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa adalah salah satu bagian civitas akademik yang diharapkan mampu untuk menjadi calon pemimpin di masa yang akan datang. Sehingga, diharapkan mahasiswa memiliki cara pandang dan kesehatan mental yang sehat dan kuat (Kholidah dan Alsa, 2012). Stres akademik terjadi ketika terdapat tuntutan akademik pada seseorang dimana tuntutan tersebut dianggap melampaui kemampuan penyesuaian dirinya (Busari, 2011). Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa akhir mengalami stres. Secara garis besarnya, stres akademik terjadi karena tuntutan-tuntutan yang berasal dari kampus yang tidak bisa dihadapi oleh individu itu sendiri.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2015) mengemukakan bahwa dalam kesehariannya, mahasiswa dituntut untuk berpikir secara cepat, tanggap dan peka terhadap perasaan dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Bila seorang mahasiswa tidak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi maka hal-hal yang dilakukan terkesan terburu-buru dan dipaksakan mengikuti kehendak emosinya dan mengacuhkan orang-orang disekelilingnya. Kecerdasan emosi yang tinggi sangat diperlukan bagi mahasiswa dimana aktivitas tersebut langsung berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol emosi-emosi yang tidak diinginkan seperti stres, depresi, amarah,putus asa, pesimis, takut, kesedihan dan rasa malu.

(12)

Julika (2017) mengatakan proses berfikir dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kontrol, self-esteem dan juga optimisme. Kecerdasan emosi merupakan komponen emosi sekaligus juga komponen kognitif yang dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif, dan stres akademik sebagai salah satu pengalaman yang menimbulkan stres. Kecerdasan Emosi (Goleman, 2016) adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Aspek dalam kecerdasan emosi menurut Goleman (2016) meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain serta membina hubungan.

Aspek pertama yaitu mengenali emosi diri dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami dirinya sendiri dan mengetahui apa yang mereka rasakan secara pribadi. Saat mengalami peristiwa yang tidak mengenakan dan saat sesuatu yang buruk terjadi diluar kendali maka secara otomatis tubuh mengalami perasaan yang tidak tenang. Jika hal yang terjadi itu jauh melampaui daya tahan diri dan melampaui bagaimana diri sendiri mampu bertoleransi maka timbullah stres (Lukaningsih dan Bandiyah, 2011). Mengetahui dan memahami situasi yang dialami dapat digunakan untuk mengatasi perkara atau stres yang dihadapi (Hardjana, 1994).

Aspek kedua yaitu mengelola emosi. Mahasiswa diharapkan mampu untuk mengelola emosinya sendiri agar tidak selalu berada dalam perasaan murung dan melarikan diri atas pada hal-hal negatif. Stein dan Book (2002) mengatakan bahwa orang yang dapat menahan stres dengan baik adalah orang yang tangguh dan tahan banting. Mereka dapat bertindak dengan penuh percaya diri,

(13)

berpikir jernih dan menilai lingkungannya secara realistis. Selanjutnya ditambahkan oleh Prihandini (2017) mengelola emosi dikatakan berhasil apabila mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri. Menurut Hawari (2011) hal tersebut disebut dengan esutres dan distres.

Aspek ketiga yaitu memotivasi diri dimana mahasiswa diharapkan menguasai diri sendiri dan percaya terhadap diri sendiri agar mampu maju ke perubahan yang lebih positif. Orang yang memiliki rasa percaya diri dalam kadar memadai umumnya lebih tahan mengahadapi stres. Dengan percaya diri yang bagus, akan terbangun keyakinan bahwa sesulit apapun masalah yang dihadapi, pasti akan bisa diatasi asal memiliki keuletan dan mau berusaha (Lukaningsih dan Bandiyah, 2011). Mawardah & Adiyanti (2014) perubahan emosi ke arah yang lebih baik dengan mengubah pengaruh negatif yang masuk menjadi suatu dorongan dalam diri agar menjadi individu dengan motivasi perubahan ke arah yang positif.

Aspek keempat yaitu mengenali emosi orang lain dimana dengan cara ini mahasiswa dituntut untuk memahami isyarat-isyarat yang dilakukan oleh orang lain. Kemampuan ini akan mendorong mahasiswa untuk dapat memberikan kontrol diri yang baik saat berinteraksi dengan orang lain. Selanjutnya dikemukakan Stein dan Book (2002) hubungan antarpribadi mengacu pada kemapuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan dan ditandai dengan saling memberi dan menerima serta rasa

(14)

kedekatan emosional. Sarafino dan Smith (2011) juga menambahkan bahwa orang lain dalam lingkungan sekitar bisa menjadi beban dan tekanan pada diri seseorang ketika terjadi permasalahan diantara satu dan lainnya.

Aspek kelima yaitu membina hubungan. Membina hubungan dengan orang lain menjadi hal penting setelah mengenali emosi oranglain, tujuannya untuk membangun suatu hubungan baik dengan orang lain. Menurut Sarafino dan Smith (2011), lingkungan sekitar adalah sumber stres penting lainnya. Lingkungan tempat tinggal merupakan tempat seseorang berinteraksi setiap harinya. Selanjutnya dikemukakan Stein dan Book (2002) kemampuan berinteraksi dan bergaul dengan orang lain menjadikan anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dan bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya. Mahasiswa yang memiliki hubungan baik dengan sekitarnya mampu membantu mahasiswa tersebut untuk tidak merasa tertekan akan beban yang ditanggung saat kuliah.

Hubungan antara stres dengan kecerdasan emosi juga pernah diteliti oleh Ekarani (2008) dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres dalam mengerjakan skripsi, tetapi apabila kecerdasan emosi rendah maka semakin tinggi stres dalam mengerjakan skripsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosi pada mahasiswa dengan tingkat stres belajar mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Lestari (2016) dimana semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin rendah stres mahasiswa. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin tinggi tingkat stres mahasiswa.

(15)

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi stres akademik mahasiswa tingkat akhir.

Referensi

Dokumen terkait

NCCC bekerjasama rapat dengan pihak berkuasa yang berkaitan seperti Bahagian Penguatkuasa, Kementerian Perdagangan Dalam negeri dan Hal Ehwal Pengguna, Tribunal Tuntutan

Dengan kuasa resmi untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama (nama perusahaan/Joint Operation) dan setelah memeriksa serta memahami sepenuhnya seluruh isi

Penelitian ini bertujuan untuk membangkitkan tegangan tinggi DC menggunakan metode flyback dari kumparan dengan teknik Pulse Width Modulation (PWM) yang dibangkitkan oleh

Irfan Prasatya adalah praktisi yang sangat berpengalaman di bidang Leadership, HRD dan Service Excellence selama lebih dari 20 tahun, Berbagai posisi manajerial di

Tujuan dari pengujian ini yaitu menghitung jumlah koloni pertumbuhan bakteri kontaminan dari ikan layang ( Decapterus russelli ) yang akan ditumbuhkan pada bakto

dan memori banding Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Tingkat pertama dalam putusannya

Telekomunikasi (Telkom) Akses Jambi dirasakan menyulitkan calon pelanggan baru dalam proses pelayanan untuk pemasangan telepon, dan modem speedy, selain itu informasi

Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan bubu bambu dan bubu paralon pada penelitian ini berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan lobster (Cherax quadricarinatus) dimana