• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam tinjauan pustaka Penulis akan membahas tinjauan perjanjian penitipan barang dalam KUH Perdata, perlindungan konsumen barang/jasa dalam UUPK, parkir sebagai usaha jasa, hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja, serta penyelesaian sengketa konsumen.

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Perjanjian Penitipan Barang dalam KUH Perdata

1.1 Pengertian Perjanjian Secara Umum

Perjanjian adalah suatu persetujuan, pemufakatan antara dua orang/lebih untuk melaksanakan sesuatu.1 Dalam pasal 1313 KUH Perdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.2 Perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Ada pihak-pihak, sedikit-dikitnya dua orang (subjek)

2. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus) 3. Ada objek yang berupa benda

4. Ada tujuan bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan) 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:3

1

R. Subekti dan R. Tjitrosoe, 2005, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 89.

2 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, 2003, Kebendaan pada Umumnya. Jakarta:

(2)

2 1. Sepakat mereka yang mengikat diri

Kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lainnya. Akibat hukum tidak ada kesepakatan ialah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan kepada Hakim. Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak.4

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

a. Orang-orang yang belum dewasa

Dalam Pasal 330 KUH Perdata yang dimaksud belum dewasa yaitu mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Apabila seseorang belum memenuhi ketentuan dikatakan sudah dewasa maka ia belum cakap bertindak dalam hukum termasuk untuk membuat suatu perjanjian.

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

4 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman

Djamil, dan Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Jakarta: Citra Aditya Bakti, hlm. 73.

(3)

3 Orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata.5

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu

Ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan hukum harus mendapat izin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi, yaitu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan "Pasal-Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Kejelasan mengenai objek perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal. Suatu hal tertentu berkaitan dengan objek perjanjian. Objek perjanjian dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata: 6 a. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

5

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 29-30.

6 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUH Perdata Buku III, Bandung: Alumni, hlm.

(4)

4 b. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

4. Suatu sebab yang halal

Sebab adalah suatu yang mendorong orang membuat perjanjian. Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.7 Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada suatu sebab maka tidak ada suatu perjanjian.

Syarat pertama dan kedua pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Pasal 1454 KUH Perdata menjelaskan jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun.8 Syarat ketiga dan keempat pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

7 Juajir Sumardi, 1995, Aspek-Aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti,

hlm. 51.

(5)

5 Kemudian diperkarakan ke muka Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif.9

1.2. Penitipan Barang

Pasal 1694 KUH Perdata, penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama. Point yang dapat di ambil dari Pasal 1694 KUH Perdata diatas adalah:

1. Penitipan barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju untuk dititipi barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka penitipan barang tidak terjadi. Karena dengan ada atau tidaknya persetujuan sama dengan ada atau tidaknya beban tanggung jawab penerima titipan terhadap pemberi titipan.

2. Barang yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang lain. Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa juga milik pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya barang yang dititipkan bukan milik si penerima titipan. Kalau milik si penerima titipan itu namanya mengembalikan barang bukan menitipkan barang.

3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk dipakai. 4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada pemberi titipan sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima. Dapat juga barang titipan tidak dikembalikan ke si pemberi titipan semula tetapi kepada kuasa/wakil si pemberi titipan asalkan hal tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.10

9

Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 231-233.

10 http://asevysobari.blogspot.com/2014/08/penitipan-barang.html diakses tanggal 29

(6)

6 Istilah penitipan barang merupakan terjemahan dari istilah bewargeving. Penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1694 KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian penitipan barang.11 Penitipan barang adalah suatu persetujuan. Pihak yang satu menerima barang untuk dipelihara dari pihak yang menitipkan dan yang menerima titipan berjanji akan mengembalikan barang tersebut kemudian dalam keadaan wujud semula. 12 Algra mengemukakan pengertian bewargeving.

Bewargeving adalah perjanjian untuk menyimpan barang orang lain dan

mengembalikannya baik dengan maupun tanpa pembayaran. Esensi definisi ini adalah adanya penyimpanan barang orang lain. Penyimpanan barang itu dapat dilakukan tanpa adanya bayaran maupun dengan adanya bayaran.13

Menurut Pasal 1697 KUH Perdata, Persetujuan ini tidaklah telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh.14 Jadi, penitipan adalah suatu perjanjian riil yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan, jika tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Menurut undang-undang ada dua macam penitipan barang yaitu:15 1. Penitipan barang yang sejati

11 Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta:

Sinar Grafika, hlm. 76.

12

Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

13 Salim H.S, 2010, (Op.Cit), hlm. 76.

14 Pasal 1697 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(7)

7 Penitipan barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak. Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa. Penitipan barang terjadi dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Penitipan barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan.

Yang dinamakan penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seorang karena timbulnya sesuatu malapetaka, misal: kebakaran, runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir dan lain-lain peristiwa yang tak disangka. Suatu penitipan yang dilakukan secara terpaksa itu mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kurang dari suatu penitipan yang terjadi secara sukarela. Si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri.

2. Sekestrasi

Penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya pihak ketiga yang mengikatkan diri, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan.

Sekestrasi terjadi dengan persetujuan, apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara

(8)

8 sukarela. Sekestrasi dapat mengenai baik barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak. Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu alasan lain yang sah.

Sekestrasi karena perintah Hakim terjadi jika Hakim memerintah supaya suatu barang sengketa dititipkan pada seseorang. Manfaat sekestrasi ini adalah kepentingan pengadilan diperintahkan kepada seseorang yang disetujui oleh para pihak atau kepada seseorang yang disetujui oleh para pihak atau kepada seseorang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya.

Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah dipercayakan, tunduk kepada segala kewajiban yang tertib dalam halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan tiap tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang dipercayakan kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak akan dapat diajukan terhadap para pihak yang berkepentingan.16

Tabel Hubungan Pemberi Titipan, Penerima Titipan dan Barang sebagai berikut: Pemberi titipan Penerima titipan

Barang

(9)

9 Para pihak dalam penitipan barang menurut Pasal 1699 KUH Perdata adalah pemberi titipan dan penerima titipan. Penitipan hanya mengenai barang-barang bergerak. Pemberi titipan adalah orang yang menitipkan barang-barangnya kepada penerima titipan. Penerima titipan adalah orang yang menerima titipan dari pemberi titipan. Barang adalah benda yang berwujud dan merupakan bagian harta kekayaan (vermogensbestanddeel). Penitipan akan terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Si penerima titipan tidak diperbolehkan mengembalikan barangnya titipan selainnya kepada orang yang menitipkannya kepadanya atau kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali barangnya. Penerima titipan wajib memelihara barang titipan sebagaimana layaknya dia memelihara barang sendiri. Kewajiban penerima titipan terhitung sejak adanya penyerahan barang. Dalam melakukan hal ini si penerima titipan tidak boleh berlaku pasif tetapi harus dilakukan dengan memberi kepastian atas keselamatan barang.17

1. 3. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Perjanjian Penitipan Barang

Mengenai hak dan kewajiban penerima titipan diatur dalam Pasal 1706 dan 1707 KUH Perdata. Pada pasal 1706 KUH Perdata dijelaskan bahwa Penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya

(10)

10 seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri.18 Ketentuan dalam pasal 1707 KUH Perdata sebagai berikut:19

1. Jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;

2. Jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;

3. Jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;

4. Jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.

Kemudian penerima titipan juga diwajibkan untuk: a. Mengembalikan barang titipan dalam keadaan yang sama b. Mengembalikan barang titipan pada waktunya

c. Mengembalikan barang titipan kepada pemberi titipan d. Mengembalikan barang titipan kuasa dari pemberi titipan

Mengenai objek perjanjian, dapat dilihat dari Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan suatu syarat bagi benda agar menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda tersebut harus tertentu, paling sedikit tentang jenisnya.20 Dalam perjanjian penitipan, objeknya adalah kendaraan bermotor yang jelas jenisnya yaitu mobil dan motor. Dalam bukunya tentang Asas-Asas Hukum Perikatan, RM. Suryodiningrat menjelaskan bagian-bagian persetujuan yang harus ada dalam perjanjian, dimana dalam perjanjian penitipan yaitu:

18

Pasal 1706 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

19 Pasal 1707 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

20 Wirjono Projodikoro, 1993, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumuru Bandung,

(11)

11 a. Esensialia (bagian inti), dimana barang, harga jasa dan waktu pengembalian adalah esensialia dari perjanjian penitipan.

b. Naturalia (bagian non inti), yaitu jaminan kenikmatan tentram dan aman serta tidak adanya niat/cacat-cacat tersembunyi dari si penerima titipan.

c. Aksidentalia (bagian non inti), yaitu bagian-bagian yang ditambahkan kepada persetujuan oleh para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang.21

Hak-hak si penerima titipan barang yaitu: a. Penggantian biaya untuk mempertahankan barang

b. Penggantian kerugian yang diderita dalam menyimpan barang

c. Menahan barang sebelum penggantian biaya dan kerugian diterima dari pemberi titipan

Hak si pemberi titipan adalah menerima barang yang telah dititip secara utuh.22 Kewajiban pemberi titipan adalah membayar upah penitipan yang telah diperjanjikan sebelumnya.23

2. Perlindungan Konsumen Barang/Jasa dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen

2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hak-hal

21 RM. Suryodiningrat, 1982. Asas-Asas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, hlm. 81. 22 Salim H.S, 2010, (Op. Cit.), hlm. 77.

(12)

12 yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya yaitu:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan mengenai bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai. Apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak.

Aspek ini mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen-pelaku usaha karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil.

Aspek kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen/pelaku usaha kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.24

Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen/pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang

24 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra

(13)

13 ditimbulkan oleh produknya. Singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk. Definisi tanggung jawab produk atau product liability dipaparkan berikut ini: Menurut Agnes M. Toar, Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.25 Menurut Wiliam L. Prosser dan John W. Wade mendefinisikan tanggung jawab produk sebagai, “Product liability is the name currently given to the liability of a

seller or other supplier of chattels, to one with whom he is not in privity of contract, who suffer damages caused by the chattel.” (Pertanggungjawaban

produk adalah nama yang saat ini diberikan kepada pertanggungjawaban penjual atau pemasok barang bergerak lainnya, kepada orang yang bukan dirinya miliknya dalam kontrak, yang menderita kerusakan yang disebabkan oleh barang barang tersebut.)26 Menurut Mark E. Roszkowski, Product liability is the area of law

imposing liability upon manufacturers and other supliers of goods forpersonal injuri and property damage caused by product they sell. (Tanggung jawab produk adalah bidang hukum yang membebankan tanggung jawab kepada produsen dan pemasok barang lainnya untuk cedera pribadi dan kerusakan properti yang disebabkan oleh produk yang mereka jual.)27 Tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi

25 Agnes M. Toar, 1988, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, Bandung: Alumni, hlm. 2.

26

William L. Prosser dan John W. Wade, 1971, Cases and Materials on Torts, The Foundation Press Inc, Mineola New York USA, hlm. 686.

27 Mark E. Roszkowski, 1988, Business Law, Principles, Cases and Policy, Second

(14)

14 hanya dapat dibedakan, di mana tanggung jawab produk merupakan sebagian dari cakupan pengertian perlindungan konsumen.28

Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen/pelaku usaha dan konsumen. Sama seperti tanggung jawab produk, persoalan standart kontrak ini pun merupakan bagian dari persoalan perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang dan/atau jasa. Menurut peraturan perundang-undangan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.29

2.2. Latar Belakang Pemikiran ke Arah Perlindungan Konsumen

Adapun pemikiran-pemikiran mengenai perlunya perlindungan konsumen di Indonesia:30

1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan terhadap seluruh warga negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasioal yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia-manusia yang sehat dan berkualitas yang diperoleh melalui penyediaan kebutuhan secara

28 Janus Sibalok, 2014, (Op.Cit.), hlm. 9-10

29 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 30 Janus Sidabalok, 2014, (Op.Cit.), hlm. 25.

(15)

15 baik dan cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup.

3. Modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu didorong untuk berkonsumsi secara rasional serta dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian harta benda sebagai akibat dari perilaku curang pelaku usaha.

4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur mempunyai dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya produk yang tidak aman bagi konsumen. Dampak negatif ini dapat meluas manakala perilaku pelaku usaha/produsen dalam penggunaan teknologi itu tidak bertanggung jawab. Karena itu, masyarakat konsumen perlu dilindungi dari kemungkinan dampak negatif.

5. Kecenderungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur, yang akhirnya merugikan kepentingan konsumen. Karena itu, konsumen perlu dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian sebagai akibat dari perilaku curang tersebut.

6. Masyarakat konsumen perlu diberdayakan melalui pendidikan konsumen, khususnya penanaman kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Hal yang sama juga berlaku kepada pelaku usaha, supaya pelaku usaha memperhatikan kepentingan konsumen dengan sungguh-sungguh dengan melaksanakan kewajiban dengan baik.

(16)

16 2.3 Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen

Beberapa pihak yang terkait dengan Perlindungan Konsumen: 1. Pelaku usaha

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen.

2. Konsumen

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.

3. Produk

Produk ialah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Produk terdiri atas barang dan jasa.31 Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik brgerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan yang

(17)

17 dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.32

Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan:33 1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat

barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/ atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Hukum perlindungan konsumen membicarakan sejumlah hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan hukum. Hak-hak konsumen itu adalah hak keperdataan yang dilindungi oleh perundang-undangan hukum perdata. Jika dilihat dari lahirnya hak sebagi hak konsumen, sebagian di antaranya adalah hak yang timbul karena adanya perjanjian yaitu transaksi antara konsumen dan pelaku usaha, yaitu upaya atau cara yang ditempuh konsumen untuk mendapatkan produk kebutuhannya. Umumnya produk sampai ke tangan konsumen melalui suatu peristiwa hukum yang disebut perjanjian. Perjanjian berada dalam lapangan hukum perdata. Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum perdata dan institusi hukum perdata

32 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 33Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan, Bogor:

(18)

18 yang disediakan Negara. Jika seorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen itu dapat mengajukan tuntutan (gugatan) secara perdata untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali haknya. Tuntutan (gugatan) diajukan ke pengadilan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Persoalan untuk mendapatkan penggantian kerugian adalah masalah hukum perdata dan pemenuhannya ditempuh melalui peradilan perdata. Jadi penegakan hukum atas hak-hak konsumen dapat ditempuh secara perdata, melalui penggunaan ketentuan-ketentuan hukum perdata dan institusi hukum perdata.

2. 4 Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Untuk dapat menegakkan hukum perlindungan konsumen, perlu diberlakukan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penetapan hukum, yaitu sebagai berikut:34

1. Asas manfaat

Segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen-pelaku usaha dan konsumen, apa yang menjadi haknya. 2. Asas keadilan

34 Burhanuddin S, 2011, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikat Halal,

(19)

19 Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa konsumen dan produsen-pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang.

3. Asas keseimbangan

Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, produsen-pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, UUPK membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen-pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

5. Asas kepastian hukum

Pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di

(20)

20 dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan.

2. 5. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana disebut dalam Pasal 3 adalah: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

(21)

21 Mengamati tujuan dan asas yang terkandung di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, jelaslah bahwa Undang-Undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.35

2. 6. Norma-Norma Perlindungan Konsumen

Hingga kini, pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen masih sangat kasat mata dijumpai dalam aktivitas keseharian. Kriteria untuk mengukur dugaan adanya pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen, yaitu:

1. Norma-norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai undang-undang payung

2. Norma-norma (perlindungan konsumen) lainnya di luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang semula menempatkan perlindungan konsumen sebagai sampiran belaka, bukan ditujukan sebagai instrumen (hukum) perlindungan konsumen. Implementasi hak-hak konsumen sangat bergantung pada ada tidaknya perumusan norma-norma perlindungan konsumen tersebut.

Norma-norma (perlindungan konsumen) lainnya di luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dijadikan acuan dengan menempatkan undang-undang tersebut sebagai sistem perlindungan (hukum) terhadap konsumen. Konstruksinya, yaitu dengan merujuk Pasal 64 UUPK. Kesimpulan dari pasal tersebut merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sesuai asas lex specialis degorat legi generali yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersfita khusus (lex specialis)

(22)

22 mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Jadi, ketentuan-ketentuan di luar Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam dan/atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Norma-norma perlindungan konsumen tersebut semestinya menjadi prioritas penegakan hukum dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang dirujuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen.36

3. Parkir Sebagai Jasa Usaha

3.1. Pengertian Parkir

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.37 Pengertian parkir yang tertuang pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (15), adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat sementara karena ditinggalkan pengemudinya.38 Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, parkir didefinisikan sebagai menghentikan atau menaruh (keadaan bermotor) untuk beberapa saat di area yang sudah disediakan. Pengertian diatas memiliki definisi dari pengelola parkir yaitu pengelola lokasi area parkir untuk menerima penghentian atau penaruhan (kendaraan bermotor) untuk beberapa saat. Jika

36 Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,

Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 156-159.

37 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 38 Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

(23)

23 melihat fungsi dari perparkiran terdapat juga asumsi parkir digunakan sebagai tempat penitipan barang yang memiliki arti apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya menurut Pasal 1694 KUH Perdata.

Fasilitas parkir bertujuan untuk memberikan tempat istirahat kendaraan, dan menunjang kelancaran arus lalu lintas. Area parkir adalah tempat memberhentikan kendaraan di lokasi tertentu baik di tepi jalan umum, gedung, pelataran atau bangunan umum. Area parkir umum adalah tempat yang berada di tepi jalan atau halaman pertokoan yang tidak bertentangan dengan rambu-rambu lalu lintas dan tempat-tempat lain yang sejenis yang diperbolehkan untuk tempat parkir umum dan dipergunakan untuk menaruh kendaraan bermotor dan/atau tidak bermotor yang tidak bersifat sementara.

3.2. Pengertian Petugas Parkir

Petugas parkir adalah orang yang membantu mengatur kendaraan yang keluar masuk ke area parkir, juga berfungsi untuk mengumpulkan biaya parkir dan memberikan karcis kepada pengguna parkir pada saat akan keluar dari ruang parkir. Tugas petugas parkir yaitu:

1. Memberikan pelayanan kepada semua kendaraan yang masuk dan keluar di area parkir;

2. Menyerahkan dan atau menempelkan karcis parkir kendaraan dan menerima pembayaran retribusi sesuai tarip tertentu di dalamnya;

3. Menjaga ketertiban, keindahan, kebersihan dan membantu keamanan terhadap kendaraan yang diparkir.

(24)

24 4. Apabila cuaca panas terik tukang parkir harus menyediakan sesuatu untuk

menutupi panas tempat duduk pada kendaraan sepeda motor 5. Mengeluarkan kendaraan dengan aman.39

3.3. Jenis Parkir

Terdapat empat jenis parkir, yaitu :

1. Parkir di ruang milik jalan (on-street). Sesuai namanya, adalah ruang parkir pada jalan umum meskipun hal ini menjadi kabur apabila jalan, atau milik jalan seringkali mengambil ruang, baik secara legal maupun tidak, yang sebenarnya disediakan untuk pejalan kaki.

2. Parkir umum di luar ruang milik jalan (public off-street). Parkir mobil tidak di jalan umum, dimana semua anggota masyarkat dapat menggunakan, sesuai ketentuan berlaku.

3. Parkir swasta non-residensial di luar ruang milik jalan (private non-residential

(PNR) off-street). Parkir jenis ini umumnya di dalam suatu bangunan gedung atau

tata guna lahan. Contohnya adalah parkir dalam pusat perbelanjaan, atau gedung perkantoran.

4. Parkir pribadi dalam permukiman (private residential parking). Jenis ini biasa ditemui dalam gedung yang terkait dengan perumahan atau rumah susun. Secara teoritis, hanya penghuni yang dapat menggunakan parkir disini.

39 Pengertian Juru Parkir, Tugas dan Tanggung Jawab Juru Parkir,

http://macamistilah.blogspot.com/2017/02/pengertian-juru-parkir-tugas-dan.html diakses pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 11.00

(25)

25 Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya yang telah dikeluarkan pada si penerima titipan segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta mengganti kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena penitipan itu.40

3. 4. Jasa Usaha Parkir

Pengelola parkir adalah perusahaan jasa yang mengelola lahan perparkiran di suatu area, dengan cara bekerjasama dengan pemilik lahan area tersebut, sebagian besar kami (vendor) mengelola parkir di suatu pusat perbelanjaan, perkantoran ataupun gedung atau pelataran parkir. Perusahaan biasanya menggunakan alat bantu pencatatan dan perhitungan biaya yang dikelola dengan bantuan komputer basis data, sehingga kekeliruan pencatatan dapat dihilangkan serta mempersulit pencurian kendaraan, dan bila memungkinkan menerapkan asuransi bagi kendaraan yang diparkir. Perlengkapan pengusaha pengelola parkir yang biasanya digunakan:

a. Basis data komputer untuk mengelola administrasi kendaraan yang masuk dan keluar, karakteristik parkir, tarif yang akan dikenakan kepada masing-masing kendaraan, laporan keuangan

b. Dapat menggunakan media transaksi seperti karcis, ataupun kartu seperti kartu pintar (smart card), magnetic card dll,

c. Pembayaran dapat menggunakan kartu debit, kartu flash

d. Dapat ditambahkan fasilitas foto kendaraan, plat nomor dan pengemudi di pintu masuk dan pintu keluar

(26)

26

e. Dapat ditambahkan fasilitas televisi sirkuit tertutup (CCTV), dimana kamera dapat merekam non stop hingga 24 jam di pos masuk dan di pos keluar serta di beberapa tempat yang kami anggap perlu.41

4. Hubungan Hukum antara Perusahaan dan Pekerja

4.1. Hubungan Kerja

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. 42 Perjanjian kerja adalah suatu kesepakatan dengan buruh/pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di bawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah. Perjanjian kerja mencakup tiga elemen dibawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah. Perjanjian kerja mencakup tiga elemen inti yaitu pekerjaan, upah dan kewenangan.43

Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata.44 Tujuan hukum ketenagakerjaan menurut Manulang adalah untuk mencapai keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.45 Perusahaan adalah : a.setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik

41 Pengelola Parkir, https://id.wikipedia.org/wiki/Pengelola_parkir diakses tanggal 3 Mei

2019 pukul 08.16.

42

Pasal 50 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

43 Guus Heerma Van Heerma Van Voss, 2012, Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia: Seri Unsur- Unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Denpasar: Pustaka Larasan.

Jakarta: Universitas Indonesia, Univer Leiden, Universitas Groningen, hlm. 13.

44

Astri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Bandung: Sinar Grafika, hlm. 14.

45 Abdul Khakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung:

(27)

27 orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b.usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.46 Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.47

4.2. Unsur-Unsur Hubungan Kerja

Pada dasarnya terdapat dua kategori dalam kaitan dengan seseorang melakukan pekerjaan, yaitu: pertama; seseorang melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri, kedua; seseorang melakukan pekerjaan untuk orang/pihak lain.48 Ketentuan yang berlaku bagi mereka yang bekerja bukan sebagai pegawai negeri, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan milik negara adalah ketentuan hukum ketenagakerjaan, khususnya ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja. Ketentuan hukum ketenagakerjaan berlaku terhadap hubungan hukum yang berasal dari adanya suatu perjanjian, yang melibatkan dua pihak, yaitu pihak pemberi kerja dan pihak yang akan melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian yang diadakan. Sebagai dasar dari hubungan hukum yang menjadi pusat dari hukum ketenagakerjaan adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan salah satu bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUH Perdata.49

46 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 47

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

48 Aloysius Uwiyono, 2014, Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta; Rajawali Pers, hlm.

51.

(28)

28 Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka unsur hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah dan perintah. Landasan hubungan kerja karena adanya perjanjian kerja. Di dalam perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja adalah empat unsur penting, yaitu:

a. Adanya pekerjaan (Pasal 1601 huruf a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH Dagang)

b. Adanya upah (Pasal 1603 huruf p KUH Perdata)

c. Adanya perintah orang lain (Pasal 1603 huruf b KUH Perdata)

d. Terbatas waktu tertentu karena tidak ada hubungan kerja berlangsung terus menerus

Pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mencakup unsur perjanjian kerja secara tegas, walaupun menurut Abdul Khakim terdapat satu unsur lagi yang sebaiknya ditambahkan, yaitu unsur waktu tertentu50.

a. Pekerjaan

Di dalam Kamus Besar Indonesia, kata pekerjaan dipadankan dengan tugas kewajiban. Kata ini diartikan sebagai barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dan sebagainya). Jika makna ini yang diikuti, maka pekerjaan merupakan sesuatu yang dikerjakan yang merupakan diartikan sebagai barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dan sebagainya). Jika makna ini yang

(29)

29 diikuti, maka pekerjaan merupakan sesuatu yang dikerjakan yang merupakan tugas dan kewajiban.

b. Upah

Menurut Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu perkerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Penerima upah adalah pekerja. Pembayar upah ada dua kemungkinan yaitu pengusaha atau pemberi kerja. Aturan hukum dibayarkannya upah adalah perjanjian kerja atau kesepakatan atau peraturan perundang-undangan. Upah dapat didasarkan pada perjanjian kerja, sepanjang ketentuan upah di dalam perjanjian kerja tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang. Apabila ternyata ketentuan upah di dalam perjanjian kerja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku adalah ketentuan upah di dalam peraturan perundang-undangan.51

c. Perintah

UU No. 13 Tahun 2003 ataupun peraturan perundang-undangan sebelumnya, tidak memberikan batasan atau definisi mengenai perintah. Terkait luasnya makna perintah, maka undang-undang tidak mungkin membatasinya. Perintah berarti:

(30)

30 1. Perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu,

2. Aturan dari pihak atas yang harus dilakukan. Tidak ada hubungan kerja apabila unsur perintah tidak melekat pada hubungan hukum.52

4. 3 Perjanjian Kerja

Perjanjian Kerja menurut Pasal 1601 huruf a KUH Perdata ialah suatu persetujuan, bahwa pihak kesatu, yaitu pekerja, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain yaitu pengusaha, dengan upah selama waktu tertentu.

Untuk sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus memenuhi syarat materiil (Pasal 52, 55, 58, 59 dan 60 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian pada prinsipnya tetap menjadi pedoman umum bagi syarat-syarat sahnya perjanjian kerja dan pedoman khusus diatur oleh Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) UUNo. 13 Tahun 2003 secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar:

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

52 Sayid Mohammad Rifqi Noval, 2017, Hukum Ketenagakerjaan Hakikat Cita Keadilan dalam Sistem Ketenagakerjaan, Bandung: Refika Aditama, hlm. 116-117.

(31)

31 4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut maka perjanjian kerja yang dibuat dianggap sah menurut hukum dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.53

Dasar angka 1 dan 2 merupakan syarat subjektif sedangkan angka 3 dan 4 merupakan syarat objektif. Perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi syarat objektif, perjanjian itu batal demi hukum.54

4. 4. Kewajiban dan Hak Pekerja

Pada Pasal 1603 Pekerja wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan:

1. Pekerja wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang lain menggantikannya.

2. Pekerja wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan.

3. Pekerja yang tinggal menumpang di rumah majikan wajib berkelakuan menurut tata tertib rumah tangga majikan.

53 Sayid Mohammad Rifqi Noval, 2017, (Op. Cit.), hlm. 119. 54 Abdul Kharim, 2009, (Op.Cit), hlm. 57.

(32)

32 4. Pekerja wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik.55

Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang. Pekerja memiliki hak-hak karena statusnya itu. Adapun hak-haknya tersebut sebagai berikut:56

1. Hak mendapatkan upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata)

2. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja) 3. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 4 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja)

4. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi (Pasal 6 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja)

5. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 9 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja)

6. Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal 11 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja) 7. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi

55

Perjanjian Kerja, http://artonang.blogspot.com/2014/12/perjanjian-kerja.html diakses pada 4 Juli 2019 pada pukul 14.53

56 Darwan Prinst, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya

(33)

33 majikan (Pasal 2 ayat (1) PP No. 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh)

8. Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan (Pasal 4 ayat (1) PP No. 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Pearturan Istirahat Buruh)

9. Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya enam bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir, yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan (Pasal 7 ayat (1) PP No. 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Pearturan Istirahat Buruh)

10. Hak mengajukan banding kepada P4P dalam waktu 14 hari setelah putusan P4P diterimanya (Pasal 8 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja)

4. 5. Kewajiban dan Hak Pengusaha

Kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya. Berikut ini adalah kewajiban pengusaha yaitu:

1. Kewajiban membayar upah;

Dalam hubungan kerja kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan Pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

(34)

34 2. Kewajiban memberikan istrahat/cuti;

Pihak majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Cuti tahunan lamanya 12 (dua belas) hari kerja. Selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

3. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan;

Majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602 huruf (x) KUH Perdata). Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan sekarang telah dirubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

4. Kewajiban memberikan surat keterangan;

Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 huruf (a) KUH Perdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan itu juga diberikan meskipun

(35)

35 inisiatif PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga dia diperlakukan sesuai dengan pengalaman pekerjaannya.57

Hak-hak pengusaha menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:

1. berhak atas hasil pekerjaan

2. berhak untuk memerintah/mengatur tenaga kerja

3. berhak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

5. Penyelesaian Sengketa Konsumen

5.1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

(litigasi) maupun diluar pengadilan (non litigasi) berdasarkan pilihan sukarela

para pihak. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.58 Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang dan atau jasa

57 Perjanjian Kerja, http://artonang.blogspot.com/2014/12/perjanjian-kerja.html diakses

pada 4 Juli 2019 pada pukul 14.53

(36)

36 tersebut terhadap konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan bisa dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadya Masyarakat (LPKSM) dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 1. Penyelesaian melalui BPSK (Badan Penyeleaian Sengketa Konsumen)

Lembaga BPSK merupakan suatu badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK dibentuk di beberapa kota di Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan BPSK meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbritase atau konsiliasi

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen

(37)

37 i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, doumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen. Bentuk kerugian konsumen meliputi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau memanfaatkan jasa

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini59

Berkaitan dengan permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan ke BPSK, berikut ini dikemukakan secara garis besar mekanisme kerja BPSK dalam menerima, memeriksa dan memutuskan sengketa uang dapat dibagi dalam tiga tahapan kegiatan, seperti berikut ini:

a. Tahap pemasukan gugatan

Seorang konsumen yang merasa dirugikan oleh perbuatan produsen-pelaku usaha atau ahli warisnya mengajukan gugatan ke BPSK. Gugatan bisa diajukan secara tertulis maupun lisan.

b. Tahap pemeriksaan dan pemberian putusan

(38)

38 Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk majelis, artinya sengketa konsumen diperiksa dan diputus oleh majelis dibantu oleh panitera. Pemeriksaan perkara konsumen mirip seperti pemeriksaan yang dilakukan hakim di pengadilan. BPSK dapat disebut sebagai peradilan semu. Pemeriksaan dilakukan sesegera mungkin dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan dimasukkan, majelis BPSK sudah harus memberikan keputusannya. Putusan yang diberikan majelis BPSK bersifat final (in kracht van gewijsde), mengikat dan tidak dapat dibanding lagi. Segera setelah putusan diucapkan, maka dimintalah penetapan eksekusinya kepada ketua pengadilan negeri di tempat tergugat berkediaman.

c. Pelaksanaan putusan dan pengajuan upaya hukum

Setelah putusan diambil, majelis BPSK memberitahukan putusan tersebut kepada pihak-pihak yang bersengketa, khususnya kepada pelaku. Pelaku usaha wajib melaksanakan isi putusan itu paling lambat 7 hari kerja setelah naskah putusan diterima. Melihat pada ketentuan Pasal 54 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatakan bahwa putusan majelis BPSK adalah final dan mengikat, maka ketentuan tentang pengajuan keberatan ke pengadilan negeri dan kasasi Mahkamah Agung tidak perlu ada.

2. Penyelesaian melalui LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)

LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui pemerintah yang mempuyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Pemerintah mengakui lemabga

(39)

39 perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu trdaftar dan diakui secara resmi di bidang perlindungan konsumen. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan perizinan. Seperti halnya BPSK, proses penyelesaian sengketa melalui LPKSM menurut undag-undang perlindungan konsumen dapat dilakukan dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Para pihak yang akan menyelesaikan sengketa, sebelumnya harus memilih cara apa yang akan ditempuh. Hasil proses penyelesaian kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan secara tertulis yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak dan peran LPKSM hanya sebagi mediator, konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepataka mengacu pada peraturan yang dimuat dalam undang-undang perlindungan konsumen serta peraturan lainnya yang terkait.

5.2 Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Pengadilan

Pemerintah wajib membentuk kekuasaan kehakiman melalui pengangkatan seorang hakim untuk menegakkan hukum. Hukum materil penyelesaian sengketa konsumen baik secara ligitasi maupun non ligitasi selama ini adalah mendasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan lainnya yang terkait. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak tercapai. Lembaga pengadilan yang mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen adalah peradilan umum. 60 Penyelesaian sengketa konsumen secara umum masuk kategori hukum perdata, meskipun tidak tertutup kemungkinan masuk delik pidana (ekonomi). Dalam perkara perdata, tatacara penegakan hukum dimulai sejak menerima gugatan/permohanan sampai

(40)

40 eksekusi putusan. Karena itu pada hukum acara perdata selain memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana cara berpekara di muka pengadilan, juga menentukan bagaiman menjamin pelaksanaan hukum materilnya. Ketentuan bagaimana cara menyelesaikan sengketa konsumen di pengadilan adalah sama dengan ketentuan beracara di muka peradilan.61

B. Hasil Penelitian

Penulis akan memaparkan tentang kasus posisi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3416K/Pdt/1985 dan Nomor 2157K/Pdt/2010, dengan bagian analisis secara terpisah.

1. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Nomor 3416K/Pdt/1985 Kasus posisi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 3416K/Pdt/1985, Penggugat dalam kasus ini adalah Ahmad Panut. Tergugat dalam kasus ini adalah Rajiman alias Pujihardjo selaku Tergugat I, Suwandi selaku Tergugat II dan P.D Argajasa D.I.Y selaku Tergugat III.

Pada tanggal 4 Januari 1981 sekitar pukul 12.00 WIB, Penggugat mengendarai sepeda motor merk Yamaha RS 100 CC dengan No. Polisi AD 4497 DC.No.Ka.RS.100.44220. No. SIM 463, 34708 K di Tlogonirmolo. Penggugat memasuki area parkir lalu menerima karcis tanda masuk dan membayar karcis tersebut seharga Rp 50,- (lima puluh rupiah). Pengugat memarkirkan sepeda motor miliknya di area parkir yang telah disediakan.

61 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Kosumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Prenada Meidia, hlm. 22.

(41)

41 Di area parkir yang dikelola Perusahaan Daerah Argajasa D.I.Y (Tergugat III), bertugas dua orang petugas parkir yakni Rajiman alias Pujihardjo (Tergugat I) dan Suwandi (Tergugat II). Kira-kira pukul 13.00 WIB Penggugat kembali ke area parkir, ia tidak menemukan sepeda motor miliknya. Penggugat menanyakan kepada petugas parkir mengenai kendaraannya yang hilang namun tidak ada penyelesaian. Penggugat meminta tanggung jawab kepada Pengurus P.D. Argajasa D.I.Y (Tergugat III) sebagai pengelola parkir, namun Tergugat III menolak.

Penguggat mengajukan gugatan terhadap Tergugat I dan Tergugat II selaku petugas parkir serta Terguggat III selaku pengelola parkir ke Pengadilan Negeri Sleman. Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Sleman telah mengambil putusan, yaitu putusan tanggal 10 Agustus 1982 No. 1/1982/Pdt/G/PN.Slm menjatuhkan putusan bahwa gugatan Penguggat ditolak.

Penggugat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta melalui putusan No. 19/1983/Pdt/PT.Y. tanggal 31 Desember 1984, Pengadilan Tinggi Yogyakarta memutuskan menghukum Para Tergugat Terbanding secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi sepeda motor dan membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan.

Tergugat I mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, namun upaya hukum Kasasi yang diajukan Tergugat I ditolak Mahkamah Agung. Tergugat I dihukum membayar biaya perkara. Putusan kasasi dijatuhkan pada 17 Januari 1987. Pertimbangan Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang dibenarkan Mahkamah Agung antara lain hubungan hukum antara pemilik barang dengan pengusaha parkir,

(42)

42 adalah perjanjian penitipan barang. Sehingga dengan hilangnya kendaraan milik Penggugat, Terguggat yang harus bertanggung jawab.

2. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2157K/Pdt/2010

Kasus posisi yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2157K/Pdt/2010, Penggugat dalam kasus ini adalah Ramadhan M. sebagai Penggugat I dan Ariyanti sebagai Penggugat II. Sedangkan Tergugat dalam kasus ini adalah PT Cipta Sumina Indah Satresna.

Kasus ini berawal dari kejadian dimana pada tanggal 24 Agustus 2008 sekitar pukul 18.00 WITA Ramadhan (Penggugat I) pergi ke Mall Lembuswana yang beralamat di Jalan S. Parman - M. Yamin, Kota Samarinda untuk berbelanja. Tiba di area parkir yang dikelola oleh Tergugat, Penguggat I membayar karcis parkir tersebut sebesar Rp 1.000.- (seribu rupiah) dan mendapatkan karcis parkir dengan nomor seri E: 736073. Penggugat I memarkirkan sepeda motor miliknya di area parkir yang telah disediakan oleh Tergugat. Penggugat I memasuki Mall Lembuswana untuk berbelanja sampai sekitar pukul 20.00 WITA, saat Penggugat I keluar menuju area parkir, ternyata sepeda motornya sudah tidak ada di tempat. Penggugat I menanyakan kepada petugas parkir Mall Lembuswana tapi sepeda motor tetap tidak ditemukan atau hilang. Penggugat I melaporkan kejadian hilangnya sepeda motornya tersebut kepada pengelola parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT Cipta Sumina Indah Satresna) dan meminta pertanggungjawaban Tergugat untuk ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penguggat I. Namun Tergugat menolak permintaan Penggugat I.

(43)

43 Pada tanggal 25 Agustus 2008 Penggugat I mengajukan gugatan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Timur dan Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Timur mengirim surat kepada Tergugat, suratnya tertanggal 10 September 2008, Nomor 31/LPK-KT/U/IX/2008, Perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen. Penggugat I juga mengajukan laporan kehilangan sepeda motor miliknya tersebut ke Poltabes Samarinda dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan No. Pol: K/1823/VIII/2008 SPK tertanggal 24 Agustus 2008 atas hilangnya sepeda motor Penggugat I di Mall Lembuswana. Penggugat I mengalami kerugian sebesar Rp 17.500.000.- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) seharga sepeda motor yang hilang dan keperluan sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan.

Tidak hanya Ramadhan, pada tanggal 6 Juli 2008 sekitar pukul 19.00-20.00 WITA Ariyanti (Penggugat II) pergi ke Mall Lembuswana yang beralamat di Jalan S. Parman - M. Yamin, Kota Samarinda untuk berbelanja. Tiba di area parkir yang dikelola oleh Tergugat, Penguggat II membayar karcis parkir sebesar Rp 1.000.- (seribu rupiah) dan mendapatkan karcis parkir dengan nomor seri E: 392691. Penggugat II memarkirkan sepeda motor di area parkir yang telah disediakan. Penggugat II memasuki Mall Lembuswana untuk berbelanja sampai sekitar pukul 20.00 WITA Penggugat II keluar dan menuju ke area parkir untuk mengambil sepeda motor, ternyata sepeda motornya sudah tidak ada di area parkir. Penggugat II menanyakan kepada petugas parkir Mall Lembuswana tapi sepeda motor tetap tidak ditemukan atau hilang. Penggugat II melaporkan kejadian hilangnya sepeda motornya tersebut kepada pengelola parkir Mall Lembuswana, dalam hal ini Tergugat (PT Cipta Sumina Indah Satresna) dan

(44)

44 meminta pertanggungjawaban Tergugat untuk ganti rugi atas hilangnya sepeda motor milik Penguggat II. Namun Tergugat menolak permintaan Penggugat II.

Pada tanggal 1 September 2008 Penggugat II mengajukan gugatan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Timur dan Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Timur mengirim surat kepada Tergugat, tertanggal 10 September 2008, Nomor 31/LPK-KT/U/IX/2008, Perihal: Tindak Lanjut Laporan Kehilangan Kendaraan Konsumen. Penggugat II juga mengajukan laporan kehilangan sepeda motor miliknya tersebut ke Polsekta Samarinda Ulu sebagaimana Surat Tanda Penerimaan Laporan No. Pol: K/84/2008/Sek Ulu tertanggal 6 Juli 2008. Penggugat II menderita kerugian sebesar Rp 17.500.000.- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) seharga sepeda motor yang hilang dan Penggugat II terpaksa menyewa motor untuk menunjang keperluan sehari-hari sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulan.

Penggugat I dan Penggugat II menuntut kepada Pengadilan Negeri untuk menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum Tergugat ganti rugi seharga sepeda motor, membayar sewa motor, membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat I dan Penggugat II dan meletakkan sita jaminan atas harta milik Tergugat. Tergugat mengajukan eksepsi, namun eksepsi ditolak oleh Pengadilan Negeri Samarinda.

Pengadilan Negeri Samarinda dalam putusan No. 03/Pdt.G/2009/PN Smd tanggal 15 Juni menghukum PT Cipta Sumina Indah Satresna (Tergugat) untuk membayar masing-masing ganti rugi sepeda motor dan membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini. Tingkat banding atas permohonan Tergugat,

Gambar

Tabel Hubungan Pemberi Titipan, Penerima Titipan dan Barang sebagai berikut:
Tabel  I.  Hubungan  Pemberi  Titipan,  Penerima  Titipan  dan  Barang  pada  Perjanjian Penitipan Barang:
Tabel  II.  Hubungan  Hukum  antara  Konsumen  dan  Pelaku  Usaha  dalam  Hukum Perlindungan Konsumen

Referensi

Dokumen terkait

PENJELASAN PASAL

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum maksimalnya implementasi kebijakan tentang pengelolaan perpustakaan oleh pegawai perpustakaan dalam upaya meningkatkan minat

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Majene dalam menyelesaikan soal dalam pokok bahasan program linear berada pada kategori sedang, dengan kemampuan memahami masalah berada pada kategori tinggi yaitu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Karakteristik mahasiswa FKIP-UT di UPBJJ-UT Banda Aceh, yaitu: rataan umur 37,5 tahun, rataan lama pendidikan 10,3 tahun, rataan