• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa adanya kualitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa adanya kualitas"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Anak sebagai aset pembangunan nasional patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa adanya kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit di bayangkan. Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum positif Indonesia (ius contitutum / ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang ada dibawah umur / keadaan dibawah umur (minderjarig / inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij) (Nandang Sambas, 2013:78)

Meningkatnya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak menyebabkan timbulnya pertanyaan tentang banyaknya anak yang melakukan tindakan melawan hukum terlebih tindakan yang dilakukan oleh anak pun beraneka ragam dan bervariasi terlebih alasan untuk melakukan tindakan melanggar hukum tersebut terbilang sangat sederhana, misalnya seorang anak melakukan penganiayaan hanya karena ingin menunjukan jati diri dan senioritas dalam pergaulan, atau melakukan perampasan atau pencurian hanya semata-mata untuk memenuhi hasratnya saja. Salah satu bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak yaitu penyalagunaan narkotika. Di Jawa Timur jumlah pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) di

(2)

2

kalangan anak dan remaja semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim dan Badan Narkotikan Nasional Provinsi (BNNP) Jatim jumlahnya sudah mencapai 238.680 orang atau 27,3 persen dari total pengguna narkoba di Jatim sebanyak 884.000 orang

(http://kominfo.jatimprov.go.id)

Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Contoh kasus kenakalan remaja yang terjadi pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil yaitu Kejadian tawuran itu hari Minggu dini hari sekitar pukul 01.30 WIB itu ada dua kelompok remaja dari RW 4 gang 1C dan RW 8 Kebon Sayur, yang menyebabkan 1 orang tewas (detikcom, Senin, 6/5/2019). Petugas kebersihan SMP Negeri 2 Galesong Selatan Faisal Daeng Pole dikeroyok siswa dan Nur Kalim, guru honorer yang mengajar di SMP PGRI Wringinanom, Gresik, Jawa Timur yang ditantang oleh siswanya (https://health.detik.com). Beberapa contoh kasus tersebut menjadi suatu bentuk nyata terkait dengan kenakalan remaja yang terjadi karena pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil. Sudah banyak contoh karena lepas kendali, kenakalan anak sudah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir. Anak yang melakukan kejahatan harus berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Anak yang melakukan tindakan pidana dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

(3)

3

Perlindungan anak termuat dalam Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pertama, setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan hukuman yang tidak manusiawi. Kedua, hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada pelaku pidana yang masih anak. Ketiga, setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Keempat, penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya bisa dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Kelima, setiap anak yang dirampas kemerdekaanya berhak mendapatkan perilaku secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usia perkembangannya dan hanya dipisahkan dengan orang dewasa. Keenam, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif pada setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Ketujuh, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Dalam Pasal 45 KUHP yang berisi mengenai kriteria dan umur anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan karena kejahatan yang dilakukannya adalah apabila anak tersebut telah mencapai umur 16 (enam 1 Marlina, 2009). Sedangkan melihat pada Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 yang menetapkan batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman atau sanksi pidana terdapat beberapa perbedaan. Dalam Pasal tersebut diterangkan bahwa umur anak nakal yang dapat dijatuhkan ke persidangan

(4)

4

adalah sekurang-kurangnya berumur 8 (delapan) Tahun tapi belum mencapai 18 (delapan belas) Tahun dan belum pernah kawin.

Pengklasifikasian umur dalam peradilan anak akan menjadi sangat penting dalam menentukan dapat atau tidaknya seseorang dijatuhi hukuman, serta dapat atau tidaknya suatu tindak pidana di pertanggungjawabkan dalam lapangan kepidanaan. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Kondisi ini tentu saja adalah bentuk pelanggaran terhadap konstisusi dan Hak Asasi Manusia. Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam UU tersebut setiap anak menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Negara dalam mewujudkan hak anak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mendapat identitas diri, memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan serta jaminan sosial sesuai fisik, mental, spiritual, dan sosial, memperoleh pendidikan dan pengajaran dengan tanggungan biaya cumacuma untuk anak-anak kurang mampu dan terlantar, menyatakan pendapat, bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh bantuan.

(5)

5

Secara jelas rehabilitasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, tapi praktiknya jauh dari pelaksanaan yang sebenarnya anak yang melakukan penyalahgunaan Narkotika seharusnya di rehabilitasi karena mengingat anak yang berkonflik dengan hukum harus memiliki pembinaan karena memiliki masa depan, akan tetapi anak yang dibawah umur malah dibawa ke dalam sistem peradilan yang seharusnya anak tersebut pada tahap kepolisian seharusnya diupayakan dan dilakukan diversi untuk menghindari anak tersebut kemudian hari tidak melakukan perbuatan yang sama dan memperbaiki mental anak tersebut. Pengaturan rehabilitasi atas pecandu narkotika menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang bertujuan agar penyalahguna dan pecandu narkotika tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Rehabilitasi merupakan suatu alternatif pemidanaan yang tepat untuk para pecandu narkotika, yang patut didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengakomodir hak bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Bagi anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika pendekatan institusional yang sesuai dengan prosedur atau ketentuan perundang-undangan akan memberikan bantuan secara hukum sehingga upaya untuk tetap menjaga keberfungsian anak tetap terjaga.

Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas I Blitar menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Dalam Undang- Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus tetap dapat tumbuh dan berkembang secara optimal meskipun sedang menjalani masa pidananya. Sehingga diperlukan adanya perubahan dalam sistem pembinaan dan pembimbingan kepada anak

(6)

6

didik yang sedang berada di LPKA Kelas I Blitar. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan juduk: Pembinaan Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Upaya Meningkatkan Fungsi Sosial Anak (Studi Pada Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika di Wilayah Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembinaan anak berhadapan dengan hukum dalam upaya meningkatkan fungsi sosial anak (Studi pada anak korban penyalahgunaan narkotika di wilayah Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan pembinaan anak berhadapan dengan hukum dalam upaya meningkatkan fungsi sosial anak (Studi pada anak korban penyalahgunaan narkotika di wilayah Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Akademik

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemikiran serta bahan kajian pada Mahasiswa Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial terkait dengan pembinaan anak berhadapan dengan hukum melalui pendekatan pembinaan dalam upaya meningkatkan fungsi sosial anak.

(7)

7

b. Sebagai dasar literasi untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan pembinaan anak berhadapan dengan hukum melalui pendekatan institusional dalam upaya meningkatkan fungsi sosial anak.

2. Manfaat Praktis

Bagi pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan penerapan pembinaan anak sebagai upaya meningkatkan fungsi sosial anak.

1.5 Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang akan menjadi batasan bagi peneliti yang bertujuam agar tidak terlalu luas dalam pembahasan yang menjadikan fokusnya penelitian. Oleh sebab itu peneliti membuat ruang lingkup penelitian dalam mengkaji “Pembinaan Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Upaya Meningkatkan Fungsi Sosial Anak”.

1. Profil Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar)

2. Program pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum, khususnya korban penyalahgunaan narkotika

3. Implementasi Program pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum, khususnya korban penyalahgunaan narkotika

4. Pembinaan anak berhadapan dengan hukum, khususnya korban penyalahgunaan narkotika.

5. Fungsi Sosial Anak selama dalam LPA 6. Upaya Meningkatkan fungsi social anak

(8)

8

7. Faktor penunjang dan penghambat dalam upaya meningkatkan fungsi social Anak berhadapan dengan hukum, khususnya korban penyalahgunaan narkotika.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada skripsi ini yang berjudul :“PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DITINJAU DARI PESPEKTIF EKONOMI ISLAM ”., penulis tidak membahas mengenai instrument keuangan

Untuk itu sudah sebaiknya menggunakan media pembelajaran yang tepat agar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yang lebih baik, tercapainya hasil

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang

Observasi dilakukan oleh peneliti bersama supervisor. Tugas supervisor adalah mengamati pelaksanaan kegiatan pembelajaran selama proses pembelajaran. Hasil pengamatan

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya penghimpunan Dana Pihak Ketiga pada Perbankan Syariah, namun pada penelitian ini lebih difokuskan pada

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan yang berasal dari kulit udang yang berbentuk tepung berupa butiran berwarna putih kekuning-kuningan. Sampel

No. Mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Mampu mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi. Mampu mengoreksi