6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Kelapa sawit adalah tanaman sejenis palma dimana bagian tanaman yang bernilai ekonomis adalah dibagian buah. Buah tersusun dalam sebuah tandan dan disebut TBS (Tandan Buah Segar). Satu tandan tanaman dewasa beratnya 15 – 30 kg tersusun dari 600 – 2000 buah, dimana 1 buah memiliki berat 13 – 30 gram.
Buah diambil minyaknya dengan hasil :
1. Sabut (daging buah/mesocarp) menghasilkan minyak sawit kasar (CPO) 20 – 24%.
2. Inti sawit sebanyak 6% yang menghasilkan minyak inti sawit (PKO) yaitu 3 – 4%.
2.1.1 Botani
Dalam dunia botani, semua tumbuhan diklasifikasikan untuk memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah. Kelapa sawit termasuk tanaman jangka panjang. Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 13 - 18 meter. Tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam tanaman berbiji satu (monokotil).
Klasifikasi tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Palmales Family : Palmae Subfamily : Cocoideae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq (Tim Bina Karya Tani, 2009).
7
2.1.2 Morfologi
Tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang, dan daun sedangkan bagian generatif yang merupakan alat perkembangbiakan terdiri dari bunga dan buah.
a. Akar
Kelapa sawit termasuk tanaman yang mempunyai perakaran yang dangkal (akar serabut) sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan. Adapun penyebab tanaman mengalami kekeringan diantaranya transpirasi tinggi dan diikuti dengan ketersediaan air tanah yang terbatas pada saat musim kemarau. Pada tanaman kelapa sawit yaitu akar serabut, yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuarter yang mana setiap bagian tersebut memiliki fungsi masing-masing (Maryani, 2012).
Akar terutama mempunyai fungsi untuk menunjang struktur batang diatas tanah, menyerap air dan unsur-unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat respirasi. Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut. Akar primer pada umunya berdiameter 6 - 10 mm, keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horizontal dan menghujam kedalam tanah dengan sudut yang beragam. Akar primer bercabang membentuk akar tersier yang berdiameter 0,7 - 1,2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuarter (Pahan, 2014).
Akar kuarter tidak mengandung lignin, panjangnya hanya 1 - 4 mm dengan diameternya 0,1 - 0,3 mm. Biasanya, akar kuarter ini diasumsikan sebagai akar absorbsi utama (feeding root), walaupun hanya sedikit bukti-bukti langsung terhadap pernyataan tersebut. Dari akar tersier, juga ada cabang akar yang panjangnya sampai 2 cm dengan diameter 0,2 - 0,8 mm yang dinamakan akar kuarter. Namun, sebenarnya akar tersebut lebih tepat disebut “cabang akar tersier” karena mengandung lignin serta strukturnya lebih tebal dari akar kuarter (Pahan, 2014).
8
Gambar 2.1 Akar Kelapa Sawit di Main Nursery (Sumber: Petanisawit.com)
Jika aerasi cukup baik, akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter didalam tanah, sedangkan yang tumbuh kesamping bisa mencapai radius 16 meter. Keadaan ini tergantung pada umur tanaman, sistem pemeliharaan, dan aerasi tanah. Sistem perakaran seperti ini menyebabkan tanaman tidak mudah tumbang (Selardi, 2003).
Akar tanaman kelapa sawit sangat berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman. Selain itu, selain sebagai penyerap unsur hara, akar kelapa sawit juga sebagai penyangga berdirinya tanaman sehingga mampu menyokong tegaknya tanaman pada ketinggian yang mencapai puluhan meter hingga tanaman berumur 25 tahun (Fauzi, 2008).
b. Batang
Batang kelapa sawit memiliki ciri-ciri yaitu tidak memiliki kambium dan umumnya tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia. Batang tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai struktur pendukung tajuk (daun, bunga, dan buah). Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai sistem pembuluh yang mengangkut unsur hara dan makanan bagi tanaman. Umur ekonomis tanaman sangat dipengaruhi oleh pertambahan tinggi batang pertahun. Semakin rendah pertambahan tinggi batang, semakin panjang umur ekonomis tanaman kelapa sawit (Sunarko, 2007).
9
Batang kelapa sawit terdiri dari pembuluh-pembuluh yang terikat secara diskrit dalam jaringan parenkim. Meristem pucuk, terletak dekat ujung batang, dimana pertumbuhan batang agak sedikit membesar. Aktivitas meristem pucuk hanya memberikan sedikit konstribusi terhadap jaringan batang karena fungsi utamanya yaitu menghasilkan daun dan infloresens bunga. Seperti umumnya tanaman monokotil, penebalan sekunder tidak terjadi pada batang.
Batang mempunyai 3 fungsi utama, yaitu sebagai sekunder yang mendukung daun, bunga, dan buah, sebagai sistem pembuluh yang mengangkut air dan hara mineral dari akar ke atas serta hasil fotosintesis (fotosintat) dari daun ke bawah, serta kemungkinan juga berfungsi sebagai organ penimbunan zat makanan (Pahan, 2014).
Gambar 2.2 Batang Tanaman Kelapa Sawit (Sumber: Kebun Aek Torop)
c. Daun
Seperti tanaman palma lainnya, daun kelapa sawit merupakan daun majemuk. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang terlalu keras dan tajam. Bentuk daunnya menyirip, tersusun rozet pada ujung batang (Hartono, 2002).
10
Daun merupakan pusat produksi energi dan bahan makanan bagi tanaman. Bentuk daun, jumlah daun dan susunannya sangat berpengaruh terhadap tangkapan sinar matahari. Daun-daun kelapa sawit disanggah oleh pelepah yang panjangnya kurang lebih 9 meter. Jumlah anak daun di setiap pelepah sekitar 250 - 300 helai sesuai dengan jenis tanaman kelapa sawit. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Duduk pelepah daun pada batang tersusun dalam satu susunan yang melingkari batang dan membentuk spiral. Pohon kelapa sawit yang normal biasanya memiliki sekitar 40 - 50 pelepah daun. Pertumbuhan pelepah daun pada tanaman muda kelapa sawit yang berumur 5 - 6 tahun mencapai 30 - 40 helai, sedangkan pada tanaman yang lebih tua antara 20 - 25 helai. Semakin pendek pelepah daun maka semakin banyak populasi kelapa sawit yang dapat ditanam persatuan luas sehingga semakin tinggi produktivitas hasilnya persatuan luas tanaman (Vidanarko, 2011).
Daun kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian, sebagai berikut :
1. Kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan tulang anak daun (midrid)
2. Rachis yang merupakan tempat anak daun melekat.
3. Tangkai daun (petiole) yang merupakan bagian antara daun dan batang. 4. Seludang daun (sheath) yang berfungsi sebagai perlindungan dari kuncup
dan memberi kekuatan batang (Pahan, 2014).
Tahap-tahap perkembangan daun:
1. Lanceolate adalah daun awal yang keluar pada masa pembibitan berupa helaian yang utuh.
2. Bifurcate adalah daun dengan helaian daun sudah pecah tetapi bagian ujung belum terbuka.
3. Pinnate adalah bentuk daun dengan helaian yang sudah membuka sempurna dengan arah anak daun ke atas dan ke bawah.
11
Gambar 2.3 Daun Tanaman Kelapa Sawit (Sumber: Morfologisawit.com)
d. Bunga
Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious (berumah satu). Artinya, bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan yang sama. Walaupun demikian, kadang-kadang di jumpai juga bunga jantan dan betina pada satu tandan (hermafrodit).
Bunga muncul dari ketiak daun. Setiap ketiak daun hanya dapat menghasilkan satu infloresens (bunga majemuk). Biasanya, beberapa bakal infloresens gugur pada fase-fase awal perkembangannya sehingga pada individu tanaman terlihat beberapa ketiak daun tidak menghasilkan infloresens.
Perkembangan infloresens dari proses inisiasi awal sampai membentuk infloresens lengkap pada ketiak daun memerlukan waktu 2,5 - 3 tahun. Infloresens akan muncul dari ketiak daun beberapa saat menjelang anthesis (penyerbukan). Pada tanaman muda (2 - 4 tahun), anthesis biasanya terjadi pada fase infloresens diketiak daun nomor 20, sedangkan pada tanaman tua (>12 tahun) biasanya terjadi pada daun yang lebih muda, yaitu sekitar infloresens pada daun nomor ke-15 (Pahan, 2014).
12
Gambar 2.4 Bunga Betina dan Bunga Jantan Kelapa Sawit (Sumber: SawitIndonesia.com)
Sex ratio yaitu perbandingan tandan bunga betina dengan keseluruhan bunga (jantan + betina + banci) yang pada mulanya tinggi dengan 90% dan akan menurun dengan turunnya umur tanaman.
Bunga jantan terdiri atas 100 – 250 spikelet, dan dimana 1 tandan mekar dengan bau yang wangi selama 2 – 4 hari. Bunga betina terdiri atas 100 – 200 spikelet dan tiap spikelet terdiri dari 15 – 20 bunga yang mekar (Tim Pengembangan Materi LPP, 2017).
e. Buah
Secara botani, buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drube, terdiri dari pericarp yang terbungkus oleh exocarp (atau kulit), mesocarp (yang secara salah kaprah biasa disebut pericarp) dan endocarp (cangkang) yang membungkus 1 - 4 inti/kernel (umumnya hanya satu). Inti memiliki testa (kulit), endosperm yang padat dan sebuah embrio.
Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras (epicrap), danging buah (mesocarp) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji (endocarp) atau cangkang atau tempurung yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak serta lembaga (embrio).
13
Gambar 2.5 Buah Kelapa Sawit (Sumber: Petanisawit.com)
Bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi tinggi adalah bagian buahnya yang tersusun dalam sebuah tandan, biasanya disebut TBS (Tandan Buah Segar). Buah sawit pada bagian sabut (daging buah atau mesocarp) menghasilkan minyak sawit kasar (CPO atau Crude Palm Oil) sebanyak 20 - 24%. Sedangkan, bagian inti sawit menghasilkan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil atau PKO) 3 - 4% (Sunarko, 2014).
Bagian pada kriteria buah menentukan hasil kadar minyak yang baik. Pada dasar penentuan tersebut diperoleh dari persilangan bibit dan varietas Dura, Pisifera dan Tenera.
Tabel 2.1 Kriteria dari buah Dura, Pisifera dan Tenera.
No Kriteria Dura Pisifera Tenera
1 Ketebalan Cangkang 2 - 5 mm Tidak Ada 1 - 2,5 mm
2 Cangkang/Buah 20 - 50% - 3 - 20%
3 Mesocarp/Buah 20 - 65% 92 - 97% 60 - 90%
4 Inti/Buah 4 - 20% 3 - 8% 3 - 15%
5 Kadar Minyak Rendah Tinggi Sedang
14
f. Biji
Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda. Biji dura afrika memiliki panjang 2 – 3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gram. Biasanya, dalam 1 kg terdapat 250 biji. Lain halnya dengan biji dura deli memiliki bobot 13 gram per biji. Sementara itu, biji tenera Afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji. Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode dorman. Perkecambahan dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan keberhasilan sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pretreatment.
Gambar 2.6 Biji Kelapa Sawit (Sumber: Morfologikelapasawit.com)
2.2 Syarat Tumbuh
Penelitian kesesuaian lahan dilakukan dengan cara survei areal menggunakan metode yang tepat dan pengumpulan data yang akurat serta pemeriksaan yang cermat. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Respon tanaman terhadap pemberian pupuk tergantung pada keadaan tanaman dan ketersediaan hara didalam tanah. Semakin besar respon tanaman, semakin banyak unsur hara dalam tanah (pupuk) yang diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan dan produksi (Arsyad, 2012). Standar beberapa faktor yang dinilai yang merupakan syarat tumbuh tanaman kelapa sawit, di uraikan berikut ini :
15
2.2.1 Kondisi Iklim
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada suhu udara 27o C dengan suhu maksimum 33o C dan suhu minimum 22o C sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata tahunan memungkinkan untuk pertumbuhan- pertumbuhan kelapa sawit adalah 1.250 - 3.000 mm yang merata sepanjang tahun (dengan jumlah bulan kering kurang dari 3), curah hujan optimal berkisar 1.750 - 2.500 mm.
Kelapa sawit lebih toleran dengan curah hujan yang tinggi (> 3.000 mm) di bandingkan dengan jenis tanaman lainnya, tetapi dalam kriteria klasifikasi kesesuaian lahan nilai tersebut sudah menjadi faktor pembatas ringan. Curah hujan <1.250 mm sudah merupakan faktor pembatas berat bagi pertumbuhan kelapa sawit.
Jumlah bulan kering lebih dari 3 bulan sudah merupakan faktor pembatas berat. Adanya bulan kering yang panjang dan curah hujan yang rendah akan menyebabkan terjadinya defisit air. Lama penyinaran matahari yang optimal adalah 6 jam per hari dan kelembaban nisbi untuk kelapa sawit pada kisaran 50 - 90% (optimalnya pada 80%).
2.2.2 Bentuk Wilayah
Menurut Pahan (2014), bentuk wilayah pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
1. Bentuk wilayah yang sesuai untuk kelapa sawit adalah datar sampai berombak yaitu wilayah dengan kemiringan lereng antara 0 - 8%. 2. Pada wilayah bergelombang sampai berbukit (memiliki kemiringan
lereng 8 - 30%), kelapa sawit masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui upaya pengelolaan tertentu seperti pembuatan teras.
3. Pada wilayah berbukit dengan kemiringan > 30% tidak dianjurkan untuk kelapa sawit karena memerlukan biaya yang besar untuk
16
pengelolaannya, sedangkan produksi kelapa sawit yang dihasilkan relatif rendah.
Beberapa hal yang akan menjadi masalah dalam perkebunan kelapa sawit pada areal-areal yang berbukit antara lain :
1. Kesulitan dalam pemanenan dan pengangkutan tandan buah segar (TBS).
2. Diperlukan pembangunan dan pemeliharaan jaringan transportasi. 3. Diperlukan pembuatan bangunan pencegah erosi.
4. Pemupukan yang tidak efektif karena sebagian besar hilang melalui aliran permukaan.
Tabel 2.2 Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit Tanah Gambut
No Karakteristik
Lahan Simbol
Intensitas Faktor Pembatas
Tanpa (0) Ringan (1) Sedang (2) Berat (3)
1 Curah Hujan (mm) h 1.750 - 3.000 1.750 - 1.500 1.500 - 1.250 < 1.250 2 Bulan Kering (Bulan) k < 1 1 - 2 2 - 3 > 3 3 Kandungan Bahan Kasar (%-Volume) b < 3 3 - 15 15 - 40 > 40 4 Ketebalan Gambut (cm) s 0 – 60 60 - 150 150 - 300 > 300 5 Tingkat Pelapukan Gambut t Saprik Hemo
Saprik Hemik Fibrik
6 Campuran Bahan
Mineral (%-Volume) m < 3 3 - 15 15 - 40 > 40
7 Kelas Drainase d - - Terhambat Tergenang
8 pH a 5,0 - 6,0
4,0 - 5,0 3,5 - 4,0
7,0 6,0 - 6,5 6,5 - 7,0
17
Tabel 2.3 Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit Tanah Mineral
No Karakteristik
Lahan Simbol
Intensitas Faktor Pembatas
Tanpa (0) Ringan (1) Sedang (2) Berat (3)
1 Curah Hujan (mm) H 1.750 - 3.000 1.750 - 1.500, > 3.000 1.500 - 1.250 < 1.250 2 Bulan Kering (Bulan) K < 1 1 - 2 2 - 3 > 3 3 Ketinggian Diatas Permukaan Laut (mdpl) L 0 – 200 200 - 300 300 - 400 > 400 4 Bentuk Wilayah/ Kemiringan Lereng (%) W Datar-Berombak Berombak-Bergelombang Bergelombag-Berbukit Berbukit-Bergunung < 8 8 - 15 15 - 30 > 30 5 Batuan di Permukaan dan Didalam Tanah (%-Volume) B < 3 3 - 15 15 - 40 > 40 % % % % 6 Kedalaman Efektif (cm) S > 100 100 - 75 75 - 50 < 50 7 Tekstur Tanah T Lempung Berdebu Liat Pasir
Berlempung Liat Berat
Lempung Liat Berpasir
Liat Berpasir Debu Pasir
Lempung Liat Berdebu Lempung Berpasir - - Lempung
8 Kelas Drainase D Baik,
Sedang Agak Terhambat, Agak Cepat Cepat, Terhambat Sangat Cepat, Sangat Terhambat 9 Kemasaman Tanah (pH) A 5,0 - 6,0 4,0 - 5,0 3,5 - 4,0 < 3,5 6,0 - 6,5 6,5 - 7,0 > 7,0
18
2.2.3 Tanah
Tekstur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah lempung berdebu, lempung berliat, dan lempung liat berpasir. Kedalaman tanah efektif yang baik adalah jika > 100 cm, sebaliknya andai kata kedalaman efektif < 50 cm dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki maka tidak direkomendasikan untuk kelapa sawit. Kemasaman (pH) tanah yang optimal adalah pada pH 5,0 - 6,0, tetapi kelapa sawit masih toleran terhadap pH < 5,0, misalnya pada pH 3,5 - 4,0 (pada tanah gambut). Beberapa perkebunan kelapa sawit terdapat pada tanah yang memiliki pH tanah pH >7,0, tetapi produktivitasnya tidak optimal. Pengelolaan tingkat kemasaman tanah dapat dilakukan melalui tindakan pemupukan dengan menggunakan pH tanah seperti pupuk dolomit, kapur pertanian (kaptan) dan fosfat alam (Rock Phosphate atau RP).
2.3 Tanah Ultisol
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial, atau regosol. Namun, Kemampuan produksi kelapa sawit pada masing-masing jenis tanah tersebut tidak sama. Ada dua sifat utama tanah sebagai media tumbuh, yaitu sifat kimia dan sifat fisik tanah.
Ultisol merupakan tanah yang memiliki masalah keasaman tanah, bahan organik rendah dan nutrisi makro rendah dan memiliki ketersediaan P sangan rendah (Fitriatin, dkk. 2014). Menurut Mulyani, dkk. 2010, menyatakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), dan C-Organik rendah, Kandungan Alluminium (kejenuhan Al) tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi. Tingginya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia menyebabkan tingkat pencucian hara tinggi terutama basa-basa, sehingga basa-basa dalam tanah akan segera tercuci keluar lingkungan tanah dan yang
19
tinggal dalam tanah menjadi bereaksi masam sehingga dengan terjadinya kejenuhan basa rendah.
Ultisol tergolong lahan marginal dengan tingkat produktivitasnya rendah, kandungan unsur hara umumnya rendah karena terjadi pencucian basa secara intensif, kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat terutama di daerah tropika. Ultisol memiliki permeabilitas lambat hingga sedang, dan kemantapan agregat rendah sehingga sebagian besar tanah ini mempunyai daya memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanah Ultisol terdapat kandungan P potensial sangat rendah, dan K potensial bervariasi sangat rendah sampai rendah di semua lapisan tanah. Jumlah basa dapat tukar tergolong sangat rendah di semua lapisan. KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah di semua lapisan termasuk rendah, kecuali lapisan atas termasuk rendah sampai sedang. Dengan demikian potensi kesuburan Ultisol di nilai sangat rendah (Damanik, dkk. 2010).
Gambar 2.7 Penampang Tanah Ultisol (Sumber: Ilmutanah.com)
Data analisis Ultisol dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa sifat tanahnya bergantung dari bahan induks (batu liat atau pasir). Ultisol memiliki kelas tekstur yang bervariasi dari berlempung halus sampai berliat (Damanik, dkk. 2010). Defisiensi magnesium pada tanaman juga dapat
20
terjadi pada tanaman yang di tanam pada tanah yang mempunyai perbandingan Ca/Mg dapat ditukar sangat besar. Perbandingan yang ideal adalah tidak lebih dari 7:1. Pada sebagian besar humid, tanah bertekstur besar dan di kapur kalsit terus-menerus dapat menyebabkan gangguan Ca dan Mg yang akhirnya menyebabkan defisiensi Mg.
Tanah Ultisol pada umumnya berwarna kelabu. Tanah Ultisol berstruktur gugat kuat, gumpal-gumpal bersudut. Agregat tanah kurang stabil. Permeabilitas relative rendah kandungan liat tinggi (Hardjowigeno, 1989). Selulosa, zat pati, gula, protein, sukar di dekomposisikan jasad heterotropik (bakteri, fungsi, aktinomisetes) lebih banyak dari pada jasad autotropik (Suriadikarta dan Teddy Sutriadi, 2007).
Biomassa karbon mikroorganisme tanah adalah bagian hidup dari bahan organik tanah yang terdiri dari bakteri, fungi, algae, dan protozoa, tidak termasuk akar tanaman dan fauna tanah yang lebih besar dari amuba terbesar kurang lebih (Jenkinson and Powlson, 1976).
Penampang yang dalam dan kapasitas tukar kation (KTK) yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai manfaat dan peranan yang penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan alluminium yang merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman (Subagyo, dkk. 2004 dalam Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
21
2.4 Pembibitan Kelapa Sawit
Pembibitan merupakan langkah awal yang sangat menentukan bagi keberhasilan pertanaman. Hal ini juga berlaku dalam budidaya tanaman kelapa sawit, dimana pertanaman kelapa sawit yang produktivitasnya tinggi selalu berasal dari bibit yang baik. Bibit yang baik hanya akan diperoleh jika benih kelapa sawit yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atau sumber benih lainnya ditangani dengan baik sesuai pedoman (Darmosakoro, dkk. 2008).
2.4.1 Tahapan Pembibitan
Pada budidaya kelapa sawit dikenal dua sistem pembibitan, yaitu pembibitan satu tahap dan pembibitan dua tahap. Pembibitan satu tahap disebut dengan Single Stage adalah sistem dimana benih berupa kecambah kelapa sawit langsung ditanam pada polybag besar dan dipelihara hingga siap tanam (Darmosakoro, dkk. 2008).
Pembibitan dua tahap disebut Double Stage adalah pembibitan dilakukan pada polybag kecil atau tahap PN (Pembibitan Awal atau Pre Nursery) terlebih dahulu hingga bibit berumur 3 bulan. Setelah bibit berumur 3 bulan kemudian bibit dipindahkan ke polybag besar atau tahap MN (Pembibitan Utama atau Main Nursery) hingga bibit siap ditanam (dari umur 4 hingga 12 bulan).
Gambar 2.8 Pembibitan Kelapa Sawit (Sumber: PT. Socfindo Nagan Raya)
22
Dalam tahapan pembibitan, maka dapat diketahui hal-hal berikut:
a. Pre Nursery (Pembibitan Awal)
Selama 3 bulan pertama di polybag kecil dengan tahapan pembibitan Pre Nursery dimulai dari kecambah.
b. Main Nursery (Pembibitan Utama)
Bibit tersebut dipindahkan ke polybag besar, dipelihara selama 9 – 12 bulan dan dimana dimulai dari umur bibit 4 bulan pertama, serta sampai siap untuk ditanam.
c. Umur bibit yang dapat ditanam di areal pertanaman
a. Paling Muda : 8 Bulan b. Paling Ideal : 12 Bulan
c. Paling Tua : 24 Bulan (Untuk daerah-daerah yang rawan hama gajah, babi, beruang, tikus dan landak).
(Tim Pengembangan Materi LPP, 2017).
2.4.2 Persiapan Pembibitan a. Pemilihan Lokasi
Penentuan lokasi pembibitan perlu memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Areal diusahakan memiliki topografi yang rata atau datar dan berada di tengah-tengah kebun.
2. Dekat dengan sumber air dan sumber air tersedia sepanjang kebun. 3. Dekat dengan areal yang akan ditanami.
4. Drainasenya baik atau arealnya tidak tergenang.
5. Memiliki akses jalan yang baik sehingga memudahkan dalam pengawasan.
23
b. Luas Pembibitan
Kebutuhan areal pembibitan umumnya 1,0 - 1,5% dari luas areal pertanaman yang direncanakan. Luas areal pembibitan yang dibutuhkan bergantung pada jumlah bibit dan jarak tanam yang digunakan. Dalam menentukan luasan pembibitan perlu memperhitungkan pemakaian jalan. Untuk setiap hektar pembibitan diperlukan jalan pengawasan sepanjang 200 m dengan lebar 5 m.
c. Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan harus dapat dipastikan berasal dari pusat sumber benih yang telah memiliki legalitas dari pemerintah dan mempunyai reputasi baik, seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Pada saat ini bahan tanam yang dianjurkan adalah hasil persilangan Dura Deli x Pesifera (D x P) PPKS. Bahan tanaman yang dihasilkan oleh PPKS merupakan hasil seleksi yang ketat dan telah diuji di berbagai lokasi, sehingga kualitasnya terjamin. Bahan tanaman kelapa sawit disediakan dalam bentuk kecambah (germinated seed). Kebutuhan kecambah setiap hektarnya adalah 140% dari jumlah bibit yang akan ditanam. Pemesanan kecambah sebaiknya dilakukan 3 - 6 bulan sebelum pembibitan dimulai. Persiapan lapangan agar disesuaikan dengan jadwal kedatangan kecambah.
Bahan tanam unggul yang dianjurkan adalah bahan tanam Dy x P Sungai Pancur-1 (SP-1) atau biasa yang lebih dikenal sebagai Varietas Dumpy atau (D x P Dumpy), merupakan varietas dengan keunggulan spesifik dimana laju pertumbuhan meninggi yang lambat (< 60 cm/tahun atau 44 – 60 cm/tahun). Dengan karakter ini, varietas Dumpy mampu mencapai umur ekonomis hingga 30 tahun atau lebih dari varietas lain. Selain pertumbuhan meninggi yang lambat, Dumpy juga memiliki keragaman batang yang relatif besar, sehingga cocok untuk ditanam di lahan gambut untuk mengurangi potensi rebah atau tidak tahan dalam daerah yang kurang tanah. Berikut
24
standar pertumbuhan bibit Dumpy dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai berikut:
Tabel 2.4 Standar Pertumbuhan Bibit DxP Sungai Pancur-1 (Dumpy)
Tabel Standar Pertumbuhan Bibit Varietas Sungai Pancur-1 (Dumpy)
Umur (Bulan) Tinggi Bibit (cm) Diameter Bibit (cm) Lingkar Batang Bibit (cm) Jumlah Pelepah Daun 4 26 1.30 3.0 5.0 5 28 1.84 3.4 8.6 6 32 2.70 3.9 10.8 7 36 3.56 4.5 11.0 8 40 4.50 5.2 13.3 9 44 5.80 6.7 15.8 10 49 5.84 7.3 16.0 11 55 5.90 7.7 16.3 12 60 5.94 8.2 16.8
Sumber : PPKS Marihat-Bandar Kuala (2017)
d. Sistem Pembibitan
Pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau dua tahapan pekerjaan tergantung kepada persiapan yang dimiliki sebelum kecambah di kirim ke lokasi pembibitan. Untuk Pembibitan yang menggunakan satu tahap (Single Stage), berarti penanaman kecambah kelapa sawit langsung dilakukan di pembibitan utama (Main Nursery). Sedangkan sistem pembibitan dua tahap (Double Stage) terdiri dari pembibitan awal (Pre Nursery) selama ± 3 bulan pada polybag berukuran kecil kemudian di pindahkan ke pembibitan utama (Main Nursery) dengan polybag berukuran lebih besar.
25
e. Media Tanam
Media tanam yang digunakan seharusnya adalah tanah bagian atas (Top Soil) pada ketebalan 10 - 20 cm. Tanah yang digunakan harus memiliki struktur yang baik, gembur, serta bebas hama dan penyakit. Bila tanah yang digunakan kurang gembur dapat dicampur pasir dengan perbandingan pasir : tanah adalah 3 : 1. Sebelum dimasukkan ke dalam polybag, campuran tanah dan pasir diayak dengan ayakan kasar berdiameter 2 cm. Proses pengayakan bertujuan untuk membebaskan media tanam dari sisa-sisa kayu, batuan kecil, dan material lainnya sehingga tanah yang akan dipakai menjadi lebih gembur dan juga struktur perakaran dapat tumbuh lebih baik dalam menerima resapan air.
f. Kantong polybag
Pada tahap pembibitan awal polybag yang digunakan berwarna putih atau hitam dengan ukuran panjang 22 cm, lebar 14 cm, dan tebal 0,07 mm. Di setiap polybag dibuat lubang diameter 0,3 cm sebanyak 12 - 20 buah. Pada tahap pembibitan utama digunakan polybag berwarna hitam dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 37 - 40 cm dan tebal 0,2 mm. Pada setiap polybag dibuat lubang diameter 0,5 cm sebanyak 12 buah pada ketinggian 10 cm dari bawah polybag.
2.4.3 Pemeliharaan a. Penyiraman
Penyiraman yang cukup dan efisien sangat penting untuk mendapatkan tanaman yang jagur, sehat, dan homogen. Umumnya penyiraman dilakukan 2x sehari yaitu pada pagi dan sore hari menggunakan gembor atau selang dengan kepala gembor di ujung selang. Penyiraman disiram pada pagi hari pukul 07:00 WIB – selesai dan selambat-lambatnya pukul 11:00 WIB, dan pada sore hari pukul 15:00 WIB (Tim Pengembangan Materi LPP, 2017).
26
Bila pada malam hari telah terjadi sebelumnya turun hujan dan tanah polybag masih basah maka hanya dilaksanakan penyiraman pada sore hari. Namun jika terjadi hujan yang cukup lebat pada sore hari maka tidak dilakukan penyiraman pada bibit kelapa sawit (Lubis, 2008).
Kebutuhan air untuk pembibitan sangat ditentukan oleh umur bibit, dimana semakin besar bibit memerlukan air yang semakin banyak. Pada pembibitan awal (Pre Nursery) kebutuhan air umur 0 - 3 bulan adalah 0,6 liter/bibit/hari, pada pembibitan utama (Main Nursery) kebutuhan air umur 2 - 4 bulan adalah 0,7 liter/bibit/hari, umur 4 - 6 bulan adalah 1,0 liter/bibit/hari dan pada umur > 6 bulan adalah 1,5 liter/bibit/hari (Darmosakoro, dkk. 2008).
b. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma pada pembibitan terdiri atas dua kegiatan yaitu membuang gulma dalam polybag dan di areal antara polybag. Pengendalian gulma di dalam polybag dilakukan dengan cara hand packing atau secara manual dengan menggunakan tangan dan dengan hati-hati agar tidak sampai merusak perakaran bibit, sedangkan pengendalian gulma di luar polybag dapat menggunakan cangkul atau garuk dan di jaga agar tidak merusak palybag (Darmosakoro, dkk. 2008).
c. Pemupukan
Pupuk berfungsi untuk memasak unsur hara bagi tanaman. Pedoman jenis dan dosis pupuk mengikuti rekomendasi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang terdapat pada Buku Pintar Mandor (BPM). Berikut dosis pemupukan pada pembibitan Main Nursery dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut:
27
Tabel 2.5 Dosis Pemupukan Pembibitan Utama (Main Nursery)
Umur Bibit Dosis Pupuk (Gram/Pohon/Polybag)
Minggu Ke- R I R II K D 2 2,5 - - - 3 2,5 - - - 4 5,0 - - - 5 5,0 - - - 6 7,5 - - - 8 7,5 - - - 10 10 - - - 12 10 - - - 14 - 10 7,5 10 16 - 10 - - 18 - 10 7,5 10 20 - 10 - - 22 - 15 10 15 24 - 15 - - 26 - 15 10 15 28 - 15 - - 30 - 20 15 22,5 32 - 20 - - 34 - 20 15 22,5 36 - 20 - - 38 - 25 15 22,5 40 - 25 - - Jumlah 50 230 80 117,5 Keterangan : RI : Rustika 15-15-6-4 RII : Rustika 12-12-17-2 K : Kieserite D : Dolomit (Buku Pintar Mandor, 2017)
28
2.5 Kompos Organik Sampah Pasar 2.5.1 Karakter Kompos
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi.
Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.
Pupuk merupakan segala bahan yang diberikan kepada tanah dengan maksud untuk memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Bahan yang diberikan ini dapat bermacam-macam baik itu berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan pupuk buatan. Pada dasarnya penggunaan kompos dapat meningkatkan porositas, aerasi, komposisi mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, mencegah lapisan kering pada tanah, menghemat pemakaian pupuk kimia menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia bersifat multiguna dan multilahan (Murbandono, 2000).
Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
29
Sedangkan pengomposan adalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Tabel 2.6 Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Kelompok
Organisme Organisme Jumlah/gr kompos
Mikroflora Bakteri; Aktinomicetes; Kapang 10
9
- 109; 105 108; 104 - 106
Mikrofauna Protozoa 104 - 105
Makroflora Jamur tingkat tinggi -
Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut, kutu,
dll -
(Ryak, 1992)
Beberapa studi telah dilakukan terkait manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Penelitian Abdurohim (2008), menunjukkan bahwa kompos memberikan peningkatan kadar Kalium pada tanah lebih tinggi dari pada kalium yang disediakan pupuk N, P, K, namun kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan N, P, K. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman yang ditelitinya ketika itu, caisin (Brassica oleracea), menjadi lebih baik dibandingkan dengan N, P, K.
Hasil penelitian Handayani (2009), berdasarkan hasil uji Duncan, pupuk cacing (Vermicompost) memberikan hasil pertumbuhan yang terbaik pada pertumbuhan bibit Salam (Eugenia polyantha Wight.) pada media tanam sub soil. Indikatornya terdapat pada diameter batang, dan sebagainya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk anorganik tidak memberikan efek apapun pada pertumbuhan bibit, mengingat media tanam
30
sub soil merupakan media tanam dengan pH yang rendah sehingga penyerapan hara tidak optimal. Pemberian kompos akan menambah bahan organik tanah sehingga meningkatkan kapasitas tukar kation tanah dan memengaruhi serapan hara oleh tanah, walaupun tanah dalam keadaan masam.
2.5.2 Kompos Organik Sampah Pasar
Salah satu penyumbang sampah terbesar dalam kehidupan adalah pasar tradisional. Sampah pasar memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan sampah dari perumahan. Komposisi sampah pasar lebih dominan sampah organik. Sampah-sampah plastik jumlahnya lebih sedikit dari pada sampah dari perumahan. Apalagi jika sampahnya berasal dari pasar sayur atau pasar buah. Limbahnya akan lebih banyak sampah organik. Akibat besarnya jumlah sampah di pasar tradisional ini sering sekali ditemukan banyaknya timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas di pasar tersebut, hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi penjual, pengelola pasar maupun masyarakat, di mana timbulnya sampah yang di hasilkan setiap harinya akan mengganggu kesehatan, kebersihan dan mencemari lingkungan.
Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai 80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara (Rohendi, 2005).
31
Gambar 2.9 Sampah Organik (Sumber: Organikkompos.com)
Pemanfaatan sampah organik dari pasar untuk dibuat kompos akan membantu mengatasi masalah sampah yang mencemari lingkungan terutama di kota besar. Selain itu kompos yang dibuat dari sampah pasar akan mengurangi ketergantungan akan pupuk anorganik yang semakin meningkat.
a. Pengelolaan
Pengelolaan sampah merupakan suatu aliran kegiatan yang dimulai dari sumber penghasil sampah. Sampah dikumpulkan untuk diangkut ke tempat pembuangan untuk dimusnahkan. Atau sebelumnya dilakukan suatu proses pengolahan untuk menurunkan volume dan berat sampah (Sumiati, 2011). Teknik operasional pengelolaan sampah pasar ini terdiri dari kegiatan pewadahan, pengumpulan, pengangkutan sampai dengan pembuangan akhir harus bersifat terpadu. Bila salah satu kegiatan tersebut putus atau tidak tertangani dengan baik maka akan menimbulkan masalah kesehatan, banjir atau genangan, pencemaran air tanah dan sebagainya (Damanhuri, 2010).
32
b. Pengolahan
Pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau merubah bentuk menjadi lebih bermanfaat, antara lain dengan cara pembakaran, pengomposan, penghancuran, pengeringan dan pendaur ulangan. (SNI T-13-1990-F). Adapun teknik pengolahan sampah adalah sebagai berikut :
1. Pengomposan (Composting), Pengomposan adalah suatu cara
pengolahan sampah organik dengan memanfaatkan aktifitas bakteri untuk mengubah sampah menjadi kompos (proses pematangan). Pengomposan dilakukan terhadap sampah organik.
2. Pembakaran sampah, Pembakaran sampah dapat dilakukan pada
suatu tempat, misalnya lapangan yang jauh dari segala kegiatan agar tidak mengganggu. Namun demikian pembakaran ini sulit dikendalikan bila terdapat angin kencang, sampah, arang sampah, abu, debu, dan asap akan terbawa ketempat-tempat sekitarnya yang akhirnya akan menimbulkan gangguan. Pembakaran yang paling baik dilakukan disuatu instalasi pembakaran, yaitu dengan menggunakan insinerator, namun pembakaran menggunakan insinerator memerlukan biaya yang mahal.
3. Recycling, Merupakan salah satu teknik pengolahan sampah, dimana
dilakukan pemisahan atas benda-benda bernilai ekonomi seperti: kertas, plastik, karet, dan lain-lain dari sampah yang kemudian diolah sehingga dapat digunakan kembali baik dalam bentuk yang sama atau berbeda dari bentuk semula.
4. Reuse, Merupakan teknik pengolahan sampah yang hampir sama
dengan recycling, bedanya reuse langsung digunakan tanpa ada pengolahan terlebih dahulu.
5. Reduce, Adalah usaha untuk mengurangi potensi timbulnya sampah,
33
2.5.3 Proses Pengomposan Organik Sampah Pasar
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Proses pengomposan akan berlangsung cepat dengan ditambahkan bahan-bahan seperti biaktivator Effective Microorganisme-4 (EM-4).
Effective Microorganisme-4 (EM-4) adalah suatu cairan yang berwarna kecokelatan dan beraroma manis asam (segar) yang dimana terkandung campuran dari beberapa mikroorganisme hidup yang bermanfaat serta menguntungkan dalam proses penyerapan dan persediaan unsur hara di dalam tanah (Priyono, 2017). EM-4 mengandung bakteri fermentasi mulai dari genus Lactobacillus, Actinomytes, jamur fermentasi, bakteri fotosintetik, ragi, serta bakteri pelarut fosfat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50 - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi.
Pada saat ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Sampah organik yang telah terurai menjadi kompos organik akan berubah menjadi warna hitam pada sampah tersebut (berubah bentuk fisik sampah organik dan tidak dapat di kenal lagi), dan tidak berbau busuk pada kompos tersebut. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap
air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama
34
proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 - 40% dari volume/bobot awal bahan.
Tabel 2.7 Kondisi yang Optimal untuk Mempercepat Proses Pengomposan.
Kondisi Kondisi yang bisa
diterima Ideal
Rasio C/N 20:1 s/d 40:1 25-35:1
Kelembapan 40 – 65 % 45 – 62 % berat
Konsentrasi oksigen
tersedia > 5% > 10%
Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi
Bulk Density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd
pH 5.5 – 9.0 6.5 – 8.0
Suhu 43 – 66oC 54 -60oC
(Ryak, 1992).
Secara umum kandungan zat hara dalam kompos terdiri dari unsur hara karbon (C) 8.2%, unsur hara Nitrogen (N) 0.09%, unsur hara Fosfor (P) 0,36%, unsur hara Kalium (K) 0.81% dan komponen kompos terdiri dari cairan 41% dan bahan kering 59%. Rasio C/N dalam kompos umumnya adalah 23.
Sesuai dengan Teknis Pembenah Tanah yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian tahun 2011, maka hal ini akan menjadi sebuah target teknis dalam pemanfaatan dan menjadi standar mutu pembenah tanah dalam penggunaan pupuk organik adalah berbagai jenis dasar jerami, sisa tanaman, kotoran hewan, blotong, tandan kosong, media jamur, sampah organik, sisa limbah industri berbahan baku organik. Berikut standar mutu pembenah tanah terdapat pada Tabel 2.8 sebagai berikut:
35
Tabel 2.8 Standar Teknis Minimal Pembenah Tanah
No PARAMETER SATUAN STANDAR MUTU Granul/Pelet Remah/Curah Murni Diperkaya Mikroba Murni Diperkaya Mikroba
1 C-Organik % Min. 15 Min. 15 Min. 15 Min. 15
2 C/N Rasio - 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25
3
Bahan Ikutan (Plastik, Kaca,
Kerikil)
% Maks. 2 Maks. 2 Maks. 2 Maks. 2
4 Kadar Air *) % 8 - 20 10 - 25 15 - 25 15 - 25 5 Logam Berat: As Hg Pb Cd ppm ppm ppm ppm Maks. 10 Maks. 1 Maks. 50 Maks. 2 Maks. 10 Maks. 1 Maks. 50 Maks. 2 Maks. 10 Maks. 1 Maks. 50 Maks. 2 Maks. 10 Maks. 1 Maks. 50 Maks. 2 6 pH 4 - 9 4 - 9 4 - 9 4 - 9 7 Hara Makro
(N + P2O5 + K2O) % Min. 4
8 Mikroba Kontaminan: - E. coli - Salmonelia sp MPN/g MPN/g Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 Maks. 102 9 Mikroba Fungsional: - Penambat N - Pelarut P cfu/g cfu/g - Min. 103 Min. 103 - Min. 103 Min. 103 10 Ukuran Butiran 2-5 mm % Min. 80 Min. 80 - - 11 Hara Mikro:
-Fe Total atau -Fe Tersedia -Mn -Zn ppm ppm ppm ppm Maks. 9000 Maks. 500 Maks. 5000 Maks. 5000 Maks. 9000 Maks. 500 Maks. 5000 Maks. 5000 Maks. 9000 Maks. 500 Maks. 5000 Maks. 5000 Maks. 9000 Maks. 500 Maks. 5000 Maks. 5000 12 Unsur Lain: - La - Ce ppm ppm 0 0 0 0 0 0 0 0
*) Kadar air atas dasar berat basah. Sumber : Menteri Pertanian (2011)
36
2.5.4 Manfaat Pengomposan Organik Sampah Pasar
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit.
Tanaman yang di pupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya dari pada tanaman yang di pupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
2.6 Pupuk Majemuk (NPK)
2.6.1 Pupuk Unsur N (Nitrogen)
Nitrogen (N), karena sifatnya yang mobile di dalam tubuh tanaman, gejala kekurangan unsur hara nitrogen akan tampak pertama kali pada daun-daun tua, ujung daun mengering, daun-daun muda terlihat berwarna lebih muda (hijau muda), pertumbuhan tanaman menjadi lambat, bahkan cenderung kerdil, dan pada tanaman yang sedang berbunga akan memperlihatkan tingkat kerontokan bunga yang tinggi, sementara pada tanaman yang sedang berbuah, buah akan masak pohon lebih awal dibanding periode masak pohon pada tanaman normal dengan ukuran buah lebih kecil dari biasanya.
Pemberian pupuk nitrogen lebih awal pada tanaman dapat mengatasi gejala kekurangan tersebut, baik pupuk nitrogen tunggal seperti pupuk urea (kandungan 46% nitrogen), pupuk AN (Ammonium Nitrate) dengan kandungan 35% nitrogen, serta pupuk ZA (Zwavelzure Ammonium) kombinasi nitrogen sebanyak 21% dan hara sulfur atau belerang sebanyak 24%, maupun pupuk majemuk yang mengandung nitrogen sebagai salah satu komponan dalam kandungan pupuk majemuk tersebut, misalnya pupuk
37
pupuk kombinasi NPK 20-10-10 (kandungan nitrogen lebih tinggi (20%) dibanding fosfat (10%) dan kalium sebanyak (10%), pupuk KNO3
(kombinasi nitrogen dan kalium), serta pupuk DAP (Diammonium Phosphate, pupuk kombinasi antara hara nitrogen dengan hara fosfat). Menurut Winarso (2003), sebagian besar N di dalam tanah dalam bentuk senyawa organik tanah dan tidak tersedia bagi tanaman. Fiksasi N organik ini sekitar 95% dari total N yang ada di dalam tanah. Nitogen dapat diserap tanaman dalam bentuk ion NO3- dan NH4+.
Pada umumnya kemampuan tanah menyediakan unsur hara, dapat mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkorelasi positif dengan hasil tanaman yang diusahakan. Di lain pihak tingkat kesuburan tanah berkorelasi negatif dengan kebutuhan pupuk atau dapat diartikan semakin tinggi tingkat kesuburan tanah, maka makin rendah penggunaan pupuk buatan dan tidak perlu ditambahkan (Suyamto dan Arifin, 2002). Tetapi jika jumlah unsur hara tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman setelah melalui analisis tanah maka perlu ditambahkan nutrisi yang ditambahkan dalam bentuk pupuk.
2.6.2 Pupuk Unsur P (Phosphate)
Fosfat (P), gejala paling umum yang diperlihatkan oleh tanaman yang kekurangan unsur hara fosfat adalah munculnya warna keunguan di bagian-bagian tertentu pada daun, warna daun menjadi lebih gelap (dark green) namun tidak merata dengan kesan daun menjadi lebih mengkilap. Pada tingkatan kekurangan hara fosfat yang parah, warna ungu kemerahan akan semakin mencolok pada tepi daun dan batang, daun menguning dengan cepat dan akhirnya kering. Kekurangan fosfat juga menyebabkan pertumbuhan akar terhenti yang mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, sulit berbunga dan berbuah, dan jika dialami oleh tanaman yang sedang berbunga maka buah dan biji yang terbentuk pasca pembungaan tidak akan berkembang dengan sempurna.
38
Pemberian pupuk fosfat adalah solusi untuk mengatasi gejala kekurangan hara tersebut, dalam bentuk pupuk tunggal seperti TSP (Triple Super Phosphate), pupuk SP-36 atau SP-18 (Super Phosphate), pupuk kombinasi NPK 10-30-20 (kandungan fosfat 30%, lebih tinggi dibanding nitrogen yang berkadar 10% dan kalium berkadar 20%), pupuk MKP (kombinasi fosfat dengan kandungan minimum 50% serta kalium dengan kandungan minimum 30%), pupuk DAP atau Diammonium Phosphate (kombinasi 46% fosfat dan 18% nitrogen), dan lain sebagainya.
RP (Rock Phosphate) merupakan pupuk mineral phosphate (P) anorganik yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan akar dan pembentukan perakaran yang baik. Selain mengandung unsur P, pupuk RP juga mengandung unsur mineral kalsium (Ca). Warna dapat bervariasi tergantung dari deposit mineral atau batuan dan negara asalnya. Warna bervariasi dari cokelat, kelabu-hitam, biru dan putih tergantung dari warna batuan induknya.
Warna cokelat paling umum. Pupuk ini cocok untuk tanaman tahunan dan tanah masam. Efisiensi dari pupuk RP selain ditentukan oleh sifat kelarutan, juga ditentukan oleh pH tanah, kelembaban, dan suhu yang semuanya akan mempengaruhi aktivitas biotik yang berperan dalam reaksi konservasi P dalam tanah.
Kadar hara yang terkandung dalam pupuk Rock Phosphate adalah biasanya terdiri dari P2O5 yaitu 27%. Larut Asam Nitrat (2%) yaitu minimal 14% dan
kadar CaO 46%.
2.6.3 Pupuk Unsur K (Kalium)
Kalium (K), biasa juga dikenal dengan sebutan potassium, bersifat mobile di dalam tubuh tanaman, gejala kekurangan unsur hara kalium akan terlihat pertama kali pada pinggir dan ujung daun mengering yang berwarna kekuningan, diikuti oleh kematian jaringan pada bagian tersebut, daun
39
berbentuk tidak normal, mengerut dan keriting, dan pada tingkatan kekurangan hara kalium yang parah, akan muncul bercak cokelat kemerahan, kemudian mengering dan akhirnya daun pun gugur. Pada tanaman yang sedang berbuah, kekurangan hara kalium akan mengakibatkan kerontokan buah pada fase pembentukan bakal buah, jika buah terbentuk maka ukuran buah akan mengecil dengan biji keriput, warna buah tidak merata dengan kualitas buah yang menurun serta daya simpan buah yang singkat (tidak tahan lama dalam penyimpanan).
Kekurangan hara kalium juga mengakibatkan pertumbuhan batang dan cabang menjadi lebih lambat dengan kualitas pertumbuhan yang jelek sehingga tanaman mudah rebah. Penambahan pupuk kalium mutlak dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut di atas. Pupuk KCl (Kalium Chloride) atau juga dikenal dengan nama pupuk MoP (Muriate of Potash) adalah pupuk kalium tunggal yang paling populer dengan kandungan K2O sekitar 60% dan chlorine sekitar 35%, pupuk SoP (Sulphate of Potash) atau pupuk ZK dengan kandungan kalium 50% dan sulfur berkadar 17%, pupuk kombinasi NPK 10-20-40 (kandungan kalium sebanyak 40%, lebih tinggi dibanding kandungan fosfat yang 20% maupun nitrogen yang berjumlah 10%) misalnya, kemudian pupuk MKP (Mono Kalium Phosphat) dan DKP (Double Kalium Phosphate) serta pupuk Kaliphos dengan kandungan kalium tinggi (minimum 30%) yang dikombinasikan dengan kadar fosfat yang juga tinggi (minimum 50%), pupuk jenis ini biasa digunakan untuk menginduksi pembungaan pada tanaman dewasa, serta pupuk-pupuk yang mengandung kalium dalam kadar tinggi lainnya.