• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

V. GAMBARAN UMUM

Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masing-masing variabel di provinsi yang berbeda maupun pada masa waktu yang berbeda. Kurun waktu penyajiannya dimulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dengan skop Indonesia, tetapi dengan penekanan pada 21 provinsi terpilih yang menjadi sampel penelitian ini yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua.

Dua belas provinsi yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian adalah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena datanya sempilan; Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara karena laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada publikasi Kementerian Keuangan tidak lengkap; Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Banten, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat karena 7

(2)

5.1. Blok Pendapatan Daerah 5.1.1. Pajak Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain. Sementara itu, sumber utama dari pendapatan asli daerah bersumber dari Pajak Daerah (PJKD).

Perkembangan pajak daerah pada 21 provinsi antara tahun 2004 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 15. Sementara pajak daerah pada 12 provinsi lainnya di Indonesia tidak digambarkan karena tidak terpilih sebagai sampel penelitian.

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 15. Perkembangan Pajak Daerah pada 21 Provinsi

Pajak Daerah (PJKD) dan Non Pajak Daerah (NPJKD) merupakan dua variabel pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambar 16 adalah konstribusi PJKD dalam PAD di 3 provinsi yang masing-masing mengumpulkan pajak daerah tertinggi dan terendah tahun 2004 sampai tahun 2008.

(3)

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 16. Konstribusi Pajak Daerah Tertinggi dan Terendah dalam Pendapatan Asli Daerah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008

Berdasarkan gambaran kondisi pajak daerah, maka rata-rata pajak daerah per provinsi dari tahun 2004 sampai 2009 adalah Rp. 2 414 563 350 000. Hal ini menunjukkan adanya varian penarikan pajak antar daerah di Indonesia, sekaligus memberikan gambaran varian potensi perekonomian daerah dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di masing-masing daerah.

5.1.2. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer pusat kepada provinsi dan kabupaten/kota yang akan menjadi pos pendapatan dalam APBD masing-masing. Gambar 17 menunjukkan perkembangan DAU di 21 provinsi. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 42 775 102 880 000 adalah sedikit menurun dari tahun 2004 sebesar Rp. 39 717 608 680 000, tetapi naik secara terus menerus menjadi sebesar Rp. 59 105 014 65 000 pada tahun 2006, sebesar Rp. 61 713 805 360 000 pada tahun 2007, dan sebesar Rp. 65 595 309 920 000 pada tahun 2008.

(4)

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 17. Dana Alokasi Umum di 21 Provinsi Tahun 2004 -2008

Adapun keragaan tentang perkembangan dana alokasi umum yang tertinggi dan terendah di 21 provinsi penelitian antara tahun 2004 sampai tahun 2008, dikombinasi dengan pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) pada tahun bersamaan, dapat dilihat pada Gambar 18 berikut ini.

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 18. Dana Alokasi Umum Tertinggi dan Terendah Dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008

0 0

(5)

Provinsi penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat pertama,

kedua, dan ketiga tertinggi adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 38 944 969 320 000, Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 34 531 560 220 000,

dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 20 028 031 880 000. Sementara provinsi penerima dana alokasi umum yang menduduki peringkat ke 19, 20, dan 21 adalah Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp. 4 953 886 560 000, Provinsi Bengkulu sebesar Rp. 4 749 808 540 000, dan Provinsi Riau sebesar Rp. 4 505 596 300 000.

Provinsi Kalimantan Timur dan Riau dikenal sebagai penghasil pendapatan yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam, ternyata termasuk sebagai provinsi yang menerima dana alokasi umum terendah. Rendahnya dana alokasi umum Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau dikonpensasi dengan alokasi anggaran bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup besar. Hal ini mengkonfirmasi fungsi dana alokasi umum sebagai dana transfer keuangan pusat ke daerah untuk pemerataan pembangunan, sementara fungsi bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah untuk peningkatan pendapatan daerah penghasil pajak dan bukan pajak, terutama bagi hasil pajak dan bukan pajak dari sumberdaya alam.

5.2. Blok Belanja Daerah

5.2.1. Belanja Sektor Pendidikan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa belanja sektor pendidikan (BSP) minimal mencapai 20 persen dari total anggaran belanja Pemerintah, namun secara faktual tidak seluruh provinsi melaksanakannya. Tabel 5 menunjukan 3 provinsi dengan alokasi belanja sektor pendidikan tertinggi yaitu Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 22 702 206 270 000 (37.32 persen), Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 19 662 153 790 000 (29.85 persen), dan Provinsi

(6)

Sumatera Utara sebesar Rp. 9 055 098 480 000 (26.79 persen). Sementara 3 provinsi dengan belanja sektor pendidikan terendah berurutan hingga yang paling rendah adalah Provinsi Papua sebesar Rp. 2 322 395 450 000 (10.45 persen), Provinsi Maluku sebesar Rp. 1 637 366 450 000 (16,50 persen), dan Provinsi Bengkulu sebesar Rp. 1 383 752 110 000 (19.26 persen).

Tabel 5. Provinsi dengan Anggaran Belanja Sektor Pendidikan Tertinggi dan Terendah Tahun 2004-2008

Urutan Provinsi Total Belanja Pemerintah Belanja Sektor Pendidikan Persentase 1. Jawa Tengah 60 832 137.10 22 702 206.27 37.32 2. Jawa Barat 65 870 073.16 19 662 153.79 29.85 3. Sumatra Utara 33 805 583.26 9 055 098.48 26.79 19. Papua 22 213 721.49 2 322 395.45 10.45 20. Maluku 9 921 646.01 1 637 366.45 16.50 21. Bengkulu 7 185 077.64 1 383 752.11 19.26

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Belanja sektor pendidikan pada 21 provinsi tersebut selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 mencapai Rp. 120 720 893 150 000, atau dibandingkan dengan seluruh belanja Pemerintah di 21 provinsi tersebut pada kurun waktu yang sama sebesar Rp. 485 998 332 890 000, maka belanja sektor pendidikan mencapai 24.83 persen dari total anggaran, atau sudah melebihi amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Perbandingan alokasi belanja sektor pendidikan dengan total belanja Pemerintah pada tahun 2004 sampai tahun 2008 di 21 provinsi penelitian ditunjukkan pada Gambar 19. Terlihat kecendrungan belanja sektor pendidikan dan total belanja Pemerintah menunjukan arah yang sama-sama mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 belanja sektor pendidikan Rp. 19 872 632 000 000 atau 25.42 persen dari total belanja Pemerintah sebesar Rp. 78 164 805 430 000,

(7)

namun sedikit turun pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp. 19 478 774 910 000 (25.74 persen), kemudian meningkat cukup tajam berturut turut pada tahun 2006 sebesar Rp. 24 212 947 860 000 atau 24.84 persen, lalu meningkat menjadi sebesar Rp. 28 805 676 270 000 atau 23.72 persen pada tahun 2007, lalu pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi sebesar Rp. 33 120 799 180 000 atau 25.60 persen.

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 19. Perbandingan Alokasi Belanja Sektor Pendidikan dan Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Penelitian Tahun 2004-2008

Kenaikan belanja sektor pendidikan selama 5 tahun, dari semula pada tahun 2004 sebesar Rp. 19 872 632 000 000 menjadi Rp. 33 120 799 180 000 pada tahun 2008. Kondisi ini memberikan gambaran jika selama 5 tahun, capaian belanja sektor pendidikan mencapai sekitar 40 persen, atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 8 persen per tahun.

(8)

5.2.2. Belanja Sektor Kesehatan

Alokasi belanja sektor kesehatan (BSK) tidak sebesar belanja sektor pendidikan, rata-rata belanja sektor kesehatan hanya mencapai sepertiga dari belanja sektor pendidikan. Tabel 6 menunjukkan perbandingan antara belanja sektor kesehatan dengan total belanja Pemerintah selama 5 tahun, dari tahun 2004 sampai tahun 2008.

Tabel 6. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total Belanja Pemerintah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008

Tahun Total Belanja

Pemerintah Belanja Sektor Kesehatan Persentase 2004 78 164 805.43 6 444 414.05 8.24 2005 75 752 734.03 6 256 084.00 8.26 2006 97 469 289.86 7 980 088.53 8.19 2007 121 422 193.75 9 895 349.95 8.15 2008 129 417 820.02 10 683 451.63 8.26

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (Diolah)

Provinsi dengan belanja sektor kesehatan tertinggi dan terendah disajikan pada Gambar 20.

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah).

Gambar 20. Belanja Sektor Kesehatan Tertinggi dan Terendah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004-2008 0

(9)

Nampak bahwa Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan belanja sektor kesehatan tertinggi sebesar Rp. 5 914 113 390 000 (9.72 persen dari total belanja Pemerintah sebanyak Rp. 60 832 137 100 000), Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 5 253 724 530 000 (7.98 persen), dan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 3 057 588 880 000 (9.04 persen).

Provinsi dengan belanja sektor kesehatan rendah hingga terendah adalah Provinsi Jambi sebesar Rp. 745 810 820 000 (7.73 persen), Provinsi Bengkulu Rp. 741 320 640 000 (10.32 persen), serta Provinsi Sulawesi Utara sebesar Rp. 630 680 890 000 (6.67 persen). Provinsi Bengkulu menunjukan perhatian yang tinggi terhadap sektor kesehatan meskipun belanja sektor kesehatannya secara nominal berada pada posisi terendah kedua, tetapi dari sisi persentasi justru tertinggi, bahkan mengalahkan provinsi-provinsi yang menduduki urutan tertinggi secara nominal.

5.3. Blok Permintaan Agregat

Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Adapun komponen belanja konsumsi Pemerintah (PKP) dan net ekspor (NX) dijadikan variabel eksogen penelitian ini. Penjumlahan dari 4 variabel tersebut disebut dengan produk domestik regional bruto dari sisi pengeluaran (PDRBEXP).

Gambar 21 berikut menyajikan proporsi komponen PDRBEXP pada 21 provinsi penelitian. Proporsi komponen PKRT mencapai Rp. 2 795 287 616.52 juta (53 persen PDRBEXP). Komponen lainnya yaitu PKP Rp. 515 312 645.19 juta (10 persen). Sementara PMTB sebesar Rp. 967 608 994.33 juta (18 persen), dan net ekspor (NX) sebesar Rp. 1 021 194 519.70 juta (19 persen).

(10)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010a (diolah).

Gambar 21. Proporsi Komponen dalam Produk Domestik Bruto dari Sisi Pengeluaran Tahun 2004-2008

5.4. Blok Penawaran Agregat

Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas total produksi sektor pertanian (TQST), total produksi sektor industri (TQSI), total produksi sektor bangunan dan infrastruktur (TQSB), serta total produksi sektor lainnya (TQSLL). Penjumlahan dari 4 variabel tersebut disebut dengan produk domestik regional bruto sektoral atau dari sisi penerimaan (PDRSEC). Gambar 22 berikut menyajikan proporsi komponen produk domestik regional bruto sektoral atau sisi penerimaan total di 21 provinsi penelitian dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b (diolah).

Gambar 22. Proporsi Komponen Dalam Produk Domestik Bruto Sektoral Tahun 2004-2008

(11)

Proporsi komponen total produksi sektor pertanian (TQST) sebesar Rp. 1 047 305 000 juta (20 persen), total produksi sektor industri (TQSI) sebesar Rp. 1 367 821 000 juta (25 persen), total produksi sektor bangunan dan infrastruktur (TQSB) sebesar Rp. 256 858 000 (5 persen), serta total produksi sektor lainnya (TQSLL) sebesar Rp. 2 627 555 321.97 (50 persen).

5.5. Blok Tenaga Kerja

Variabel endogen dalam blok ini terdiri atas tenaga kerja sektor pertanian (TKST), tenaga kerja sektor industri (TKSI), dan tenaga kerja sektor bangunan dan infrastruktur (TKKSB). Sementara tenaga kerja sektor lainnya (TKKSL) dijadikan variabel eksogen. Keseluruhan dari tenaga kerja sektor tersebut disebut dengan tenaga kerja sektor (TKS). Selanjutnya selisih antara angkatan kerja (AK) dengan tenaga kerja sektor (TKS) disebut pengangguran (U). Gambar 23 menunjukan provinsi dengan persentase jumlah pengangguran terendah dan tertinggi pada tahun 2008.

Sumber: Balitfo Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010 (diolah).

Gambar 23. Provinsi dengan Pengangguran Terendah dan Tertinggi Tahun 2008

(12)

Provinsi dengan pengangguran terendah adalah provinsi Bali sebesar 3.31 persen, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 3.73 persen, dan Provinsi Papua sebesar 4.39 persen, sementara pengangguran tertinggi berada di Provinsi Jawa Barat sebesar 12.08 persen, Provinsi Kalimantan Timur sebesar 11.11 persen, serta Provinsi Maluku sebesar 10.67 persen. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan provinsi Papua menarik untuk didalami, karena meskipun angka pengangguran rendah, tetapi dapat dikonstantir terserap menjadi tenaga kerja sektor pertanian yang tergolong tenaga kerja mandiri di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tidak menentu, sehingga tingkat kemiskinan desa dan kota tetap tinggi.

5.6. Blok Indeks Pembangunan Manusia

5.6.1. Rata-Rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah (RLS) bersama dengan angka melek huruf (AMH) merupakan dua sub komponen pembentuk komponen indeks pendidikan (IP), sementara komponen indeks pendidikan bersama-sama dengan komponen indeks hidup panjang (IHP) dan komponen hidup layak (IHL) adalah 3 komponen pembentuk indeks pembangunan manusia (IPM). Gambar 24 menunjukan provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi dan terendah pada tahun 2008, dan Gambar 25 menunjukan perkembangan rata-rata lama sekolah di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.

Pada tahun 2008 rata-rata lama sekolah tertinggi berturut-turut adalah Provinsi Kalimantan Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun, Provinsi Sulawesi Utara memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.8 tahun, dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rata-rata lama sekolah selama 8.71 tahun. Sedangkan provinsi dengan rata-rata lama sekolah rendah hingga

(13)

terendah adalah Provinsi Kalimantan Barat memiliki rata-rata lama sekolah 6.7 tahun, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rata-rata lama sekolah selama 6.55 tahun, dan Provinsi Papua memiliki rata-rata lama sekolah selama 6.52 tahun.

Sumber: DJPK, Kementerian Keuangan, 2011 (diolah) dan Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 24. Perbandingan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah, Pendapatan Per Kapita, dan Persentase Belanja Sektor Pendidikan Tahun 2008

Dibandingkan dengan persentasi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja Pemerintah pada tahun 2008, nampaknya rata-rata lama sekolah pada tahun bersamaan tidak mempunyai hubungan kausalitas yang kuat, tetapi sebaliknya rata-rata lama sekolah memiliki hubungan yang kuat dengan pendapatan per kapita per tahun (ICAP). Misalnya Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi, tetapi hanya dengan mengeluarkan belanja sektor pendidikan belanja sektor pendidikan sebanyak

(14)

13.36 persen dari total belanja Pemerintah. Berbeda dengan belanja sektor pendidikan, maka pendapatan per kapita per tahun Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp. 33.97 juta adalah tertinggi di Indonesia tentu memiliki pengaruh yang besar terhadap rata-rata lama sekolah.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 25. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Perkembangan rata-rata lama sekolah dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan tetapi terjadi jurang yang cukup dalam antara 3 provinsi dengan rata-rata lama sekolah tertinggi dengan 3 provinsi lainnya yang masuk dalam kelompok dengan rata-rata lama sekolah terendah.

Sejak tahun 2005 tren rata-rata lama sekolah cenderung datar, artinya walaupun ada peningkatan rata-rata lama sekolah tetapi dalam bilangan yang kecil sekali, sementara kenaikan belanja sektor pendidikan setiap tahun rata-rata

(15)

mencapai 8 persen, ini menjelaskan bahwa dampak belanja sektor pendidikan terhadap rata-rata lama sekolah tidak signifikan.

5.6.2. Angka Melek Huruf

Angka melek huruf seperti juga rata-rata lama sekolah merupakan sub komponen pembentuk komponen indeks pendidikan, hanya saja bobot angka melek huruf adalah dua per tiga dibandingkan sepertiga bobot rata-rata lama sekolah (BPS, 2008). Gambar 26 menunjukan provinsi yang memiliki angka melek huruf tertinggi dan terendah pada tahun 2008, dan Gambar 27 menunjukan perkembangan angka melek huruf di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 26. Perbandingan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Pendidikan, dan Rata-Rata Lama Sekolah Tahun 2008

(16)

Secara grafis terlihat bahwa pola hubungan yang searah antara angka melek huruf dengan rata-rata lama sekolah, namun tidak nampak jelas pola hubungan antara angka melek huruf dengan persentase belanja sektor pendidikan, oleh karena itu patut diduga pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap angka melek huruf cukup kuat karena sama-sama sebagai indikator output pembangunan manusia, sedang pengaruh belanja sektor pendidikan terhadap angka melek huruf tidak signifikan, karena belanja sektor pendidikan merupakan indikator input pembangunan manusia, sementara angka melek huruf merupakan indikator output pembangunan manusia.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 27. Perkembangan Angka Melek Huruf Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Perkembangan angka melek huruf tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 di Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, dan Riau yang memiliki angka melek huruf tertinggi sudah cenderung datar, karena nilainya mendekati 100 persen. Sementara

(17)

angka melek huruf di provinsi yang memiliki angka melek huruf terendah menunjukan tren kenaikan mendekati 90 persen untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta angka melek huruf menuju 80 persen untuk Provinsi Papua. Provinsi Sulawesi Utara memiliki sekaligus angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah tertinggi, maka dapat dipastikan akan memiliki indeks pendidikan tertinggi di antara 21 provinsi penelitian. Sebaliknya Provinsi Papua berada pada posisi terendah untuk angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, yang berarti memiliki indeks pendidikan yang terendah pula.

5.6.3. Angka Harapan Hidup

Gambar 28 menunjukkan provinsi yang memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 29 menunjukan perkembangan AHH di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 28. Perbandingan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah, Persentase Belanja Sektor Kesehatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008

(18)

Secara grafis tidak terlihat pola hubungan yang searah antara angka harapan hidup dengan belanja sektor kesehatan, dan pengeluaran rumah tangga per kapita (KRTCAP) pada tahun yang bersamaan. Diduga penyebabnya karena indikator angka harapan hidup merupakan indikator output pembangunan manusia, sementara indikator belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per kapita sebagai indikator input pembangunan manusia, sehingga kurang kuat hubungan kausalitas satu sama lain dalam tahun yang sama.

Pada Gambar 29 di bawah ini menunjukkan perkembangan angka harapan hidup yang cenderung datar bagi provinsi dengan angka harapan hidup tertinggi, dan naik sangat landai bagi provinsi dengan angka harapan hidup terendah. Keadaan ini memberikan konfirmasi bahwa upaya meningkatkan angka harapan hidup perlu perjuangan yang berat, dengan kemajuannya sangat sedikit, meskipun belanja sektor kesehatan dan pengeluaran rumah tangga per kapita ditingkatkan lebih signifikan. Sisi yang menggembirakan adalah secara matematis tidak ada batasan umur tertinggi bagi setiap orang.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 29. Perkembangan Angka Harapan Hidup Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

(19)

Dibandingkan dengan perkembangan pengeluaran rumah tangga per kapita pada Gambar 30, terlihat bahwa perkembangan angka harapan hidup pada Gambar 29 memang searah, sehingga patut diduga kenaikan indikator input pembangunan manusia berupa pengeluaran rumah tangga per kapita mempengaruhi belanja keluarga untuk sub komponen maupun komponen Indeks Pembangunan Manusia, termasuk peningkatan angka harapan hidup. Namun, hubungan antara angka harapan hidup dengan pengeluaran rumah tangga per kapita yang searah tersebut tidak dapat diartikan bahwa provinsi yang tinggi pengeluaran rumah tangga per kapitanya dapat dipastikan tinggi pula angka harapan hidupya.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 30. Perkembangan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Selatan, kendati provinsi ini membelanjakan pengeluaran rumah tangga per kapita yang tinggi antara Rp. 70 000 hingga Rp. 170 000 per kapita per tahun, tetapi dalam kenyataannya

(20)

angka harapan hidupnya menduduki peringkat kedua terbawah. Sebaliknya, meskipun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya membelanjakan pengeluaran rumah tangga per kapita antara Rp. 40 000 sampai Rp. 60 000 per kapita per tahun, tetapi angka harapan hidupnya berada pada peringkat pertama tertinggi.

5.6.4. Daya Beli

Daya beli atau disebut dengan purchasing power parity (PPP), merupakan satu satunya komponen pembentuk indeks hidup layak. UNDP menggunakan kemampuan daya beli yang diambil dari pendapatan riil per kapita, sementara Badan Pusat Statistik menggunakan dari perhitungan pengeluaran untuk sejumlah barang konsumsi tertentu yang telah disepakati para ahli. Hasil perhitungan BPS ini yang kemudian digunakan untuk menghitung indeks hidup layak dalam penelitian ini (Badan Pusat Statistik, 2008).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 31. Perbandingan Kemampuan Daya Beli Tertinggi dan Terendah, Persentase Pengangguran, dan Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Tahun 2008

(21)

Gambar 31 menunjukkan provinsi yang memiliki kemampuan daya beli tertinggi dan terendah tahun 2008, sedangkan Gambar 32 menunjukan perkembangan kemampuan daya beli di provinsi tersebut dari tahun 2004 sampai tahun 2008.

Secara grafis kemampuan daya beli mempunyai hubungan kausalitas yang searah dengan pengeluaran rumah tangga per kapita, artinya kenaikan kemampuan daya beli sejalan dengan kenaikan pengeluaran rumah tangga per kapita. Sebaliknya kemampuan daya beli mempunyai arah yang berlawanan dengan pengangguran (U), sehingga setiap kenaikan pengangguran akan menurunkan kemampuan daya beli.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 32. Perkembangan Daya Beli Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Pada Gambar 31 menunjukan provinsi dengan daya beli tertinggi adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan

(22)

Timur. Sedang provinsi dengan daya beli terendah adalah Provinsi Maluku, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Papua.

Daya beli mempunyai prilaku yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, baik bagi kelompok provinsi dengan daya beli tertinggi, maupun bagi kelompok provinsi dengan daya beli terendah. Jika prilaku komponen daya beli ini dibandingkan dengan prilaku sub komponen rata-rata lama sekolah dan sub komponen angka melek huruf, serta komponen angka harapan hidup yang semuanya mempunyai tren sudah melandai, maka upaya menaikkan indeks pembangunan manusia yang paling realistis dalam jangka pendek adalah melalui peningkatan daya beli. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi untuk menghasilkan pertumbuhan dan pemerataan perekonomian adalah titik bermula dari upaya peningkatan indeks pembangunan manusia secara merata di seluruh Indonesia.

5.6.5. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks pembangunan manusia merupakan indeks rata-rata dari hasil penjumlahan komponen indeks pendidikan, indeks hidup panjang, dan indeks hidup layak, yang kesemuanya merupakan variabel-variabel endogen, sehingga indeks pembangunan manusia merupakan variabel endogen pula. Gambar 33 berikut menunjukkan perkembangan Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Riau, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua, dengan indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah yang dibandingkan dengan masing-masing indeks hidup panjang, indeks pendidikan, dan indeks hidup layak.

(23)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 33. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah, Indeks Hidup Panjang, Indeks Pendidikan, dan Indeks Hidup Layak Tahun 2008

Provinsi dengan indeks pembangunan manusia tertinggi adalah provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 75.16, Provinsi Riau yaitu sebesar 75.09, dan Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta yaitu sebesar 74.88. Sementara provinsi dengan indeks pembangunan manusia terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 66.15, Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 64.12, dan Provinsi Papua yaitu sebesar 63.99. Contoh pengambilan provinsi yang memiliki indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perilaku indeks pembangunan manusia dari tahun ke tahun, khususnya dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Secara lebih lengkap kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 34.

(24)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 34. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Tertinggi dan Terendah Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Secara grafis terlihat kesenjangan yang cukup dalam antara indeks pembangunan manusia tertinggi dan terendah, serta adanya perbedaan sudut kemiringan antara indeks pembangunan manusia tertinggi dengan terendah. Dengan kata lain, upaya peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi berindeks pembangunan manusia tinggi akan lebih sulit dibandingkan dengan peningkatan indeks pembangunan manusia bagi provinsi memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah.

5.6.6. Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota

Tingkat kemiskinan desa dan kota (TKDK) merupakan persentasi penduduk miskin di desa dan di kota terhadap total penduduknya. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan desa dan kota merupakan seluruh penduduk miskin di suatu wilayah yang memiliki kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan sekaligus.

(25)

Gambar 35 menyajikan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah dan tertinggi pada 21 provinsi penelitian.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 35. Perbandingan Tingkat Kemiskinan Desa dan Kota Terendah dan Tertinggi dengan Daya Beli Tahun 2008

Secari grafis terlihat hubungan yang berkebalikan antara tingkat kemiskinan desa dan kota dengan daya beli, baik bagi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah maupun tertinggi. Pada Gambar 36 menunjukan perkembangan kemiskinan di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah maupun tertinggi.

Secara grafis terlihat tren yang mendatar untuk penurunan tingkat kemiskinan desa dan kota di provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota terendah, sebaliknya nampak tren yang agak curam untuk penurunan tingkat kemiskinan desa dan kota bagi provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota tertinggi. Fenomena ini memberikan konfirmasi untuk penanggulangan

(26)

kemiskinan harus fokus pada provinsi dengan tingkat kemiskinan desa dan kota tinggi.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009c (diolah).

Gambar 36. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Desa Kota Terendah dan Tertinggi Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008

Gambar

Gambar 15. Perkembangan Pajak Daerah pada 21 Provinsi
Gambar  16.  Konstribusi Pajak Daerah Tertinggi dan Terendah dalam  Pendapatan Asli Daerah di 21 Provinsi Tahun 2004-2008
Gambar 17. Dana Alokasi Umum di 21 Provinsi Tahun 2004 -2008  Adapun keragaan tentang perkembangan dana alokasi umum yang tertinggi  dan terendah di 21 provinsi penelitian antara tahun 2004 sampai tahun 2008,  dikombinasi dengan pendapatan asli daerah dan
Tabel 5.   Provinsi  dengan  Anggaran  Belanja Sektor Pendidikan Tertinggi  dan Terendah Tahun 2004-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui penambahan mobilisasi thorakal menggunakan postural auto correction exercise pada intervensi segmental breathing exercise dan chest mobility dalam

NTNP mengalami kenaikan sebesar 0,52 persen pada September 2017, hal ini terjadi karena kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 0,46 persen, lebih

 Konsep rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya melakukan dan bertanggungjawab dalam kegiatan pembudidayaan,

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa media yang paling responsif untuk regenerasi kalus somatik embriogenik terung dilihat dari hari terbentuknya

Hasil penelitian menunjukkan gambaran kondisi gangguan menstruasi pada pasien yang berkunjung ke Klinik Pratama UIN Sunan Ampel Surabaya periode tahun 2015 - 2017 adalah terdapat

Iskemia adalah penurunan aliran darah ke area otak. Otak normalnya menerima sekitar 60-80 ml darah per 100 g jaringan otak per menit. Jika alirah darah aliran

Psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan yang terdiri dari enam aspek yaitu, menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu,

Tidak adanya ketentuan dan tidak diberikannya bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima)