• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Novelet a. Pengertian Novelet

Kata novelet diturunkan dari kata novel ditambah dengan suffiks –ette yang berarti ―kecil‖. Dengan singkat ―novelet‖ adalah novel kecil (Tarigan, 1993: 174). Jika dilihat dari pengertian di atas, novelet dapat dianggap sebagi novel. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang mencolok antara novel dengan novelet. Pada umumnya unsur-unsur novelet sama saja dengan unsur-unsur novel. Khusus dalam sastra Indonesia, apa yang disebut novel dalam bahasa Inggris dan Amerika biasa disebut roman; sedangkan yang disebut novelet dalam sastra Inggris dan Amerika biasa disebut dengan istilah novel.

Novelet jika ditinjau dari segi jumlah katanya berkisar antara 10.000-35.000 kata, atau berkisar antara 60-100 halaman. Jadi novelet ini merupakan penengah antara cerita pendek dan novel. Memang secara tegas sulit untuk menentukan batas antara cerita pendek dengan novelet dan antara novelet dengan novel. Hal ini menyebabkan banyak orang cenderung lebih menyederhanakan lagi pembagian jenis fiksi dari segi bentuk atau dari segi panjang-pendeknya itu atas cerita pendek dan novel saja. Ini dapat dilihat dalam uraian-uraian yang begitu singkat mengenai novelet, sedangkan uraian mengenai novel dan cerita pendek biasanya relatif lebih panjang. Dalam penelitian ini, pembahasan tentang novelet lebih ke arah novel dan berbagai unsur pendukungnya.

Istilah novel sendiri berasal dari bahasa Latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti ―baru‖. Kata ini kemudian diadaptasikan dalam bahasa Inggris menjadikan istilah novel. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman (Waluyo, 2011: 36). Jadi dapat dikatakan bahwa novel ini merupakan hal baru yang berbeda dengan karya sastra sebelumnya. Kebaruan ini bisa terlihat dari salah satu ciri-ciri

(2)

commit to user

9

novel yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup. Hal ini berbeda dengan cerita pendek yang tidak menunjukkan perubahan nasib hidup pelakunya.

Novel merupakan karya fiksi yang mengungkap aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Aspek kemanusiaan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang diungkapkan dalam novel dapat memberikan gambaran tersendiri bagi masyarakat pembaca. Tarigan (2003: 164) dalam “The American Colege Dictionary” mengatakan bahwa novel merupakan prosa fiksi dengan panjang tertentu, yang isinya antara lain: melukiskan para tokoh, gerak serta adegan peristiwa kehidupan nyata representatif dengan suatu alur atau suatu keadaan yang kompleks.

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.

Novel memiliki fungsi dasar yaitu untuk menghibur pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3) membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel yang merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup ini dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan aspek-aspek kehidupan. Dari permasalahan hidup manusia yang kompleks dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Berawal dari itulah kemudian muncul upaya-upaya dalam menghadapi permasalahan hidup. Novel dapat berfungsi untuk mempelajari tentang kehidupan manusia pada suatu zaman tertentu.

(3)

commit to user

10 b. Unsur Pembangun Novelet

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain. (Nurgiyantoro, 2005: 4). Unsur-unsur pembangun novelet sama dengan unsur-unsur novel. Unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1) Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang turut serta membangun cerita. Sebuah novel akan terwujud dengan baik jika antarunsur intrinsik saling terkait dan terpadu. Unsur-unsur tersebut adalah:

a) Tema

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2003: 1029) tema adalah pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang. Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pada hakikatnya ada banyak makna yang dikandung di dalam cerita, maka dari itu pembaca diharapkan mampu menemukan makna khusus yang dapat dinyatakan sebagai tema. Tema merupakan hal penting dalam sebuah novel, karena melalui tema dapat dilihat ide, gagasan yang disampaikan oleh pengarang.

Nurgiyantoro (2005: 70) mengatakan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Pengarang sebelumnya telah menentukan gagasan dasar umum ini lalu mengembangkan ceritanya. Cerita akan mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga peristiwa-konflik dan unsur intrinsik lainnya diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut. Namun, terkadang pengarang tak jarang untuk mengembangkan cerita sesuai dengan ide-ide kreatif yang dimilikinya, sehingga pengembangan cerita itu tidak sejalan dengan kerangka pikiran semula. Hal di atas menunjukkan bahwa dasar utama cerita sekaligus berarti tujuan utama cerita. Jika pengembangan cerita sesuai dengan dasar cerita, maka tujuan dari pengarang untuk mengemukakan sesuatu yang diinginkannya dapat diterima oleh pembaca.

(4)

commit to user

11

Menurut Waluyo (2011:8) tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, tetapi yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra tersebut secara menyeluruh dan bahkan harus berulang kali. Tema dapat berupa persoalan agama, moral, etika, sosial budaya, teknologi, tradisi yang berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Biasanya pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra karena gagasan yang sudah dibuat pengarang akan dikembalikan dan cerita yang dibuat tidak keluar dari tema. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan penting yang digunakan sebagai dasar mengarang dalam suatu karya sastra. Tema dalam sebuah novel berhubungan erat dengan permasalahan dalam kehidupan manusia.

Stanton (dalam Nurgiyantoro: 2005:86-88) mengemukakan bahwa dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, ada kriteria yang dipertimbangkan, antara lain: 1) mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol, hal tersebut dikarenakan pengarang akan mengungkapkan sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca di detil cerita tersebut. 2) penafsiran tema hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. 3) penafsiran tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. 4) penafsiran haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita. Penunjukan tema harus dibuktikan dengan data atau detil cerita dalam sebuah novel.

b) Alur Cerita (Plot)

Plot atau alur dapat diartikan sebagai kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, alur sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi sulit dipahami. Novel yang tergolong aluran akan

(5)

commit to user

12

sangat memperhatikan struktur plot atau alur sebagai salah satu kekuatan novel untuk mencapai efek estetis.

Plot menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Plot tidak hanya sekadar peristiwa demi peristiwa yang didasarkan pada urutan waktu saja, tetapi peristiwa-peristiwa tersebut harus diolah dengan kreativitas yang tinggi sehingga hasilnya akan terwujud plot yang indah dan menarik. Hal serupa juga diungkapkan Waluyo (2011: 11) bahwa alur atau plot adalah jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Pengertian plot didefinisikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.

Plot atau alur terbagi atas beberapa macam. Nurgiyantoro (2005: 153-155) mengungkapkan bahwa alur berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu: (a) alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa; (b) alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika dalam cerita tersebut tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir cerita, kemudian menuju ke awal cerita; dan (c) alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur. Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar progresif dan regresifnya.

c) Penokohan dan Perwatakan

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) berpendapat bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang disampaikan dalam sebuah cerita. Adapun perwatakan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang

(6)

commit to user

13

ditafsirkan pembaca, lebih tertuju pada kualitas pribadi seorang tokoh. Waluyo (2011: 164) juga berpendapat bahwa perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu, sedangkan penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh itu.

Abrams (dalam Nurgiyantoro. 2005: 165) tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Di antara tokoh dan kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca. Perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel merupakan suatu bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya.

Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Hal tersebut diungkapkan oleh Waluyo (2011: 24). Lebih lanjut, tokoh protagonis merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Berkebalikan dengan itu, tokoh antagonis merupakan tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca. Kedua jenis tokoh ini dapat digolongkan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau menjadi pusat penceritaan karena kedua jenis tokoh tersebut mendominasi keseluruhan cerita.

Altendebernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro: 2005: 178) berpendapat bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh ini menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Segala yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili pembaca. Dalam karya fiksi, tokoh protagonis harus memiliki konflik atau ketegangan. Tokoh antagonis merupakan penyebab konflik tersebut, tetapi konflik

(7)

commit to user

14

yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus hanya yang disebabkan oleh tokoh antagonis seseorang (beberapa orang) individu yang ditunjuk dengan jelas. Konflik dapat disebabkan oleh hal-hal lain di luar individualitas seseorang, bisa berupa bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, nilai-nilai moral dan yang lainnya. Konflik bahkan mungkin disebabkan oleh diri sendiri, sebagai contoh seseorang yang akan memutuskan sesuatu yang penting yang masing-masing menuntut konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam dirinya sendiri.

d) Sudut Pandang

Waluyo (2011: 31) menyatakan bahwa point of view dinyatakan sebagai sudut pandang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Pengarang bisa berarti orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Abrams (dalam Nurgiyantoro: 2005:248) juga berpendapat bahwa sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2005: 256-266) membedakan sudut pandang menjadi tiga, yaitu :

(1) Sudut pandang persona ketiga: ‖dia‖, yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya ‖dia‖. Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu ‖dia‖ maha tahu dan ‖dia‖ terbatas (‖dia‖ pengamat). Posisi narator, dalam hal ini berada di luar cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama, atau kata gantinya.

(2) Sudut pandang persona pertama: ‖aku‖, yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, gaya ‖aku‖. Posisi narator adalah ikut terlibat dalam cerita, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca.

(8)

commit to user

15

(3) Sudut pandang campuran, yaitu penggunaan sudut pandang lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.

e) Latar (setting)

Hudson (dalam Waluyo, 2011: 30) berpendapat bahwa setting dikaitkan dengan keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Latar/ setting dalam novel tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan waktu terjadinya peristiwa. Latar juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh yang menciptakan berbagai suasana dan menjadi gambaran keadaan dalam diri tokoh yang bersangkutan. Namun, tidak selamanya latar itu sesuai dengan peristiwa yang dilatari. Selain itu suasana dalam cerita dapat berganti atau berkembang.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216) mengatakan bahwa latar atau

setting yang disebut juga landas tumpu menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dapat memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Dengan demikian, pembaca dapat dengan mudah mengoperasikan daya imajinasinya dan memungkinkan dapat berperan serta secara kritis dengan pengetahuan mengenai latar.

Lebih lanjut Nurgiyantoro membagi latar dalam tiga unsur pokok yaitu: tempat, waktu, dan sosial.

(1) Latar tempat, yakni menjelaskan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, misalnya tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu.

(2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur waktu yang digunakan pengarang dalam cerita ini misalnya berupa waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah; dan

(9)

commit to user

16

(3) Latar sosial, yakni menjelaskan hal-hal yang ada kaitannya dengan karya fiksi misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.

f) Amanat

Sebuah karya sastra tentulah menyiratkan amanat bagi pembacanya. Amanat adalah ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Amanat ini bisa berupa pesan moral, ajakan (persuasi), atau yang lainnya. Wujud amanat dapat berupa jalan keluar yang diajukan pengarang terhadap permasalahan dalam cerita. Amanat diartikan pula sebagai pesan, berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan pengarang lewat cerita baik eksplisit maupun implisit.

Amanat secara umum dapat dikatakan sebagai bentuk penyampaian nilai dalam fiksi yang mungkin bersifat langsung atau tidak langsung (Nurgiyantoro, 2005). Dalam penyampaian amanat ini, pengarang tidak melakukannya dengan serta merta, tetapi biasanya melalui pesan tersirat dan terserah pembaca dalam menafsirkan amanat yang terkandung dalam karya tersebut. Amanat dalam novel adalah bagian dari dialog dan tindakan tokoh dalam menghadapi suatu permasalahan yang mungkin berbeda antarmasing-masing individu tokoh. Di sinilah amanat tersebut mulai terlihat, bagaimana amanat tersebut sampai di hati pembaca melalui kepiawaian pengarang dalam mengemasnya.

2) Unsur-unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang ada di luar karya sastra yang secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut ikut berpengaruh terhadap totalitas sebuah karya sastra.

Wellek dan Warren (dalam Waluyo, 2011: 61) menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni:

(10)

commit to user

17

a) Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari pengarangnya. Karya-karya tersebut dapat ditelusuri melalui biografinya. b) Psikologis (proses kreatif): adalah aktivitas psikologis pengarang pada

waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan tokoh dan wataknya.

c) Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat diasumsikan bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan kehidupan sosial adalah profesi atau institusi, problem hubungan sosial, adat istiadat antarhubungan manusia satu dengan lainnya, dan sebagainya.

d) Filosofis: bahwa pengarang menganut aliran filsafat aliran tertentu dalam berkarya seni. Dengan aliran filsafat yang dianut oleh pengarang itu, pembaca akan lebih mudah menangkap makna karya sastra tersebut. Faktor biografi, psikologis, sosiologis, dan filosofis itu tidak dapat dianalisis secara terpisah, tetapi dibutuhkan kepaduan antara satu dengan yang lain. Keempat faktor tersebut mungkin dapat juga dikaitkan dengan faktor religius karena biasanya religiusitas yang tinggi mampu memengaruhi pembaca yang berkaitan erat dengan kepercayaan yang mereka anut.

2. Hakikat Psikologi Sastra a. Pengertian Psikologi Sastra

Secara etimologi, kata psikologi berasal dari psyche yang berarti jiwa dan

logos yang berarti ilmu. Jadi, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa atau

ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa. Psikologi menurut Worth dan Margius (dalam Walgito, 1997: 8) merupakan ilmu tentang tingkah laku. Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran kejiwaan manusia yang terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses panca indera. Secara umum, psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan.

Seiring berjalannya waktu, psikologi ini terus berkembang sehingga memunculkan cabang-cabang psikologi. Hubungan antara psikologi dan sastra

(11)

commit to user

18

berdampak positif pada kedua cabang ilmu tersebut. Psikologi mendapat manfaat memahami manusia secara lebih mendalam, lebih jujur, tidak hanya sebatas khayalan belaka, tetapi juga berusaha memuliakan dan membahagiakan manusia. Pendekatan psikologi dalam penelitian terhadap karya sastra dapat berpijak pada psikologi kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ataupun teori-teori psikologi lainnya bergantung pada karya sastra yang diteliti.

Karya sastra baik novel, drama dan puisi di zaman modern ini sarat dengan unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi: kejiwaan pengarang, para tokoh fiksional dalam kisahan dan pembaca. Dengan demikian, akhir-akhir ini telaah sastra melalui pendekatan psikologi mendapat tempat di hati para peneliti, mahasiswa dan para dosen sastra. Karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul dengan spiritual, emosional dan mental para tokoh dengan cara lebih banyak mengkaji perwatakan (Minderop, 2011: 53).

Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara dalam Minderop, 2011: 59). Lebih lanjut dikatakan bahwa mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek ―dalam― ini yang acapkali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar. Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.

Quthub (dalam Sangidu, 2004:30) berpendapat bahwa pendekatan psikologi terhadap sastra adalah suatu pendekatan yang menggambarkan perasaan dan emosi pengarang. Untuk menganalisis teks sastra yang mengandung perasaan dan emosi pengarang diperlukan bantuan ilmu psikologi. Sementara itu, Wellek dan Werren (1990: 41) mengemukakan bahwa karakter dalam cerita novel-novel, lingkungan serta plot yang terbentuk sesuai dengan kebenaran dalam psikologi,

(12)

commit to user

19

sebab kadang-kadang ilmu jiwa dipakai oleh pengarang untuk melukiskan tokoh-tokoh serta lingkungannya. Menurut Semi (dalam Sangidu, 2004:30) psikologi sastra adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh imajiner yang ada di dalamnya atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Hal ini merangsang untuk melakukan penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk manusia yang beraneka ragam. Dengan perkataan lain, psikologi sastra adalah suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis.

Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis, hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berbeda pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara dalam Minderop, 2011: 55).

Freud announced that mental processes are themselves unconscious and that of all mental life it is only certain individual acts and portions that are conscious. (dikutip dari Yang, 2010). Freud menyatakan bahwa proses mental itu

sendiri adalah sadar dan bahwa dari semua kehidupan mental itu hanya tindakan individu tertentu dan bagian-bagian yang sadar. Dapat dikatakan bahwa ada keadaan tak sadar (setengah sadar) dalam memproses sebuah karya sastra.

Freud's use of the term unconscious referred to the passive side that is, to things occurring without active knowledge. It was the concept of the unconscious that lent itself most readily to literary interpretation, and writers eagerly incorporated this concept into their work. (dikutip dari Yang, 2010). Lebih lanjut,

Freud menjelaskan dalam kutipan tersebut bahwa ketidaksadaran merupakan sisi pasif, yaitu untuk hal-hal yang terjadi tanpa sepengetahuan aktif. Hal tersebut adalah konsep alam bawah sadar dalam proses interpretasi sastra. Pengarang menggunakan konsep ini dalam penulisan karya sastra yang dibuatnya.

(13)

commit to user

20

Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis.

Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat dilakukan melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian (Endraswara dalam Minderop, 2011: 59). Selanjutnya, memperlihatkan bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra ternyata dapat mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang diusung oleh tokoh fiksional.

Psikologi sastra yaitu sebuah kajian yang memandang bahwa karya sastra banyak menyajikan tentang peristiwa kehidupan manusia yang selalu memperlihatkan perilaku beragam melalui tokoh-tokohnya dan mempertimbangkan segi penokohan untuk mengetahui makna totalitas suatu karya sastra. Secara tidak langsung psikologi dan sastra mempelajari kehidupan manusia, sedangkan secara fungsional psikologi dan sastra mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut nyata, sedangkan sastra bersifat imajinatif. Jadi, arah pendekatan psikologi sastra diperlukan untuk membahas peristiwa kehidupan manusia dengan berbagai fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak melalui perilaku tokoh-tokoh dalam karya satra.

Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya. Melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan psike. Ratna (dalam Minderop, 2011: 54) berpendapat, ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra,

(14)

commit to user

21

yaitu a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Sejalan dengan pendapat tersebut, Scoot (dalam Sangidu, 2004: 30) menyampaikan metodenya yang yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis suatu karya sastra. Pertama, menguraikan hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca. Kedua, menguraikan kehidupan pengarang untuk memahami karyanya. Ketiga, menguraikan karakter para tokoh yang ada dalam karya yang diteliti Ketiga metode di atas dapat diterapkan semuanya dalam analisis suatu karya sastra ataupun hanya dimanfaatkan salah satu saja tergantung pada objek material (karya sastra) yang diteliti.

b. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2003: 199). Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.

The psychoanalytic focus on the structure of the personality and the operation of its characteristic defenses as well as its insistence on the uniqueness of the individual. (dikutip dari Lunbeck, 2006). Dalam konsep Freud pada kutipan

di atas dijelaskan bahwa, fokus psikoanalisis adalah pada struktur kepribadian dan operasi pertahanan karakteristik serta desakan pada keunikan individu. Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa bagian, yaitu : struktur kepribadian, aspek dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian. Struktur kepribadian merupakan uraian sistem-sistem psikologi dalam diri manusia. Dinamika kepribadian merupakan cara kerja dan saling pengaruh antara

(15)

commit to user

22

ketiga sistem dalam struktur kepribadian untuk mengurai ketegangan. Sedangkan perkembangan kepribadian secara sederhana dapat dimengerti sebagai aplikasi ketiga sistem tersebut dan perananya dalam hidup manusia.

1) Struktur Kepribadian

Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id, ego, dan

superego.

a) Id

Id (terletak di bagian tak sadar) yang merupakan reservoir pulsi dan

menjadi sumber energi psikis. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasarnya. Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan ( Freud dalam Minderop, 2011: 21).

Freud (dalam Koswara, 1991:32) menyampaikan bahwa id adalah sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor – faktor bawaan. Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Lebih lanjut disampiakan bahwa naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts). ―Yang dimaksud naluri kehidupan oleh Freud adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the

individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species).

Dengan kata lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan manusia sebagai individu maupun spesies. Adapun naluri kematian adalah naluri yang ditujukan kepada penghancuran atau pengrusakan yang telah ada‖.

b) Ego

Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai

penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego. Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang

(16)

commit to user

23

dibatasi oleh realitas. Ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberikan tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian (Freud dalam Minderop, 2011: 21-22).

Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena

kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, dalam Suryabrata, 2007:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34).

Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara

dorongan naluri id dengan keadaan lingkungan yang ada. Menurut Freud, ego dalam perjalanan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari id, melainkan bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri–naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan‖(dalam Koswara, 1991:34).

c) Superego

Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian tak

sadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasaan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua.

Superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya

dengan ‗hati nurani‘yang mengenali nilai baik dan buruk (Freud dalam Minderop, 2011: 22).

(17)

commit to user

24

Superego merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan latar belakang

sosial dari kepribadian. Superego adalah suara hati atau bagian moral dari kepribadian. Dalam hal ini, superego bersifat sebagai kontrol terhadap adanya dorongan-dorongan dari id dan ego pada diri manusia yang mengalami konflik.

Superego dapat juga dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya

menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik ego yang dirasakan dalam emosi-emosi, seperti rasa bersalah, menyesal dan sikap observasi diri dan kritik diri (Suryabrata, 2007: 127-128).

2) Dinamika Kepribadian

Freud berpendapat bahwa energi manusia dapat dibedakan dari penggunaannya, yaitu aktivitas fisik disebut energi fisik dan aktivitas psikis disebut energi psikis. Berdasarkan teori ini, Freud mengatakan, energi fisik dapat diubah menjadi energi psikis. Id dengan naluri-nalurinya merupaan media atau jembatan dari energi fisik dengan kepribadian.

Menurut Freud, kekuatan id mengungkapkan tujuan hakiki kehidupan organisme individu. Hal ini tercakup dalam pemenuhan kepuasan. Id tidak mampu mewujudnyatakan tujuan mempertahankan kehidupan atau melindungi kondisi dari bahaya. Ini menjadi tugas ego, termasuk mencari cara memenuhi kebutuhan dan kepuasan, superego mengendalikan keinginan-keinginan tersebut. Menurut konsep Freud, naluri merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul suatu kebutuhan tubuh.

Freud percaya bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari konflik antara pulsi id dan pertahanan dari ego dan superego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Freud mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya pendorong untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan energi. Energi ada dua yaitu energi fisik dan energi psikis. Energi fisik adalah energi yang dipakai untuk kekuatan fisik, sedangkan energi psikis adalah energi yang digunakan untuk kekuatan psikologis.

(18)

commit to user

25

Dalam konsep Freud, naluri adalah reprensentasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh (dalam Koswara, 1991:36). Dalam dinamika kepribadian, Freud menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan tenaga penekanan (anti–cathexis). Kateksis adalah pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kataeksis adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan

superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk

kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id. Pengerahan dan pengalihan energi psikis dari satu objek ke objek lain ini merupakan gambaran dari dinamika kepribadian dalam teori Freud (dalam Koswara, 1991:37).

Lingkungan tempat orang hidup kadang kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego, maka ego diliputi kecemasan. Kecemasan adalah suatu konsep terpenting dalam psikoanalisis dan juga memainkan peranan yang penting, baik dalam perkembangan kepribadian maupun dinamika kepribadian (dalam Koswara, 1991:39).

3) Perkembangan Kepribadian

Kepribadian selalu berubah dan berkembang, perkembangan kepribadian adalah suatu proses untuk mengatasi ketegangan jiwa. Perkembangan kepribadian memilki empat sumber ketegangan pokok, yaitu : proses pertumbuhan fisiologis, frustasi, konflik, dan ancaman (Hall & Lindzey, 2000:82). Setiap individu mempelajari cara-cara baru untuk mereduksi ketegangan yang disebabkan oleh keempat sumber ketegangan tersebut. proses belajar ini yang dimaksudkan sebagai perkembangan kepribadian.

(19)

commit to user

26

3 Hakikat Nilai Didik dalam Karya Sastra a. Pengertian Nilai

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu akan bernilai apabila berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, falsafah, religi, dan sebagainya, baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Oleh karena itu, sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai kehidupan manusia dalam arti yang menyeluruh.

Hamalik (2011:75) berpendapat bahwa nilai adalah ukuran umum yang dipandang baik oleh masyarakat dan menjadi pedoman dari tingkah laku manusia tentang cara hidup yang sebaik-baiknya. Sementara itu, menilai oleh Setiadi (2006: 110) dikatakan sebagai kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh menjadi suatu keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius, berdasarkan jenis tersebutlah nilai ada.

Driyarkara (dalam Mardiatmadja, 1986: 54) menyatakan bahwa nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas ―dikejar‖ oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia, atau yang berguna untuk suatu tujuan. Nilai dalam hal ini mengacu pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia. Oleh karena itu, nilai bersifat normatif yang merupakan keharusan untuk diwujudkan dalam tingkah laku manusia yang selalu ingin dihargai, dijunjung tinggi serta selalu sejajar dengan manusia yang lain dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Apabila nilai itu dihayati seseorang, akan sangat berpengaruh terhadap cara berfikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya.

(20)

commit to user

27 b. Pengertian Pendidikan

Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak‖ dan kata “ago” yang berarti ―Aku membimbing‖ (Hadi, 2003: 17), jadi dapat disimpulkan bahwa paedogogike berarti aku membimbing anak. Tilaar (2002: 435) mengatakan hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dikatakan pula bahwa memanusiakan manusia atau proses humanisasi adalah melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini merupakan penempatan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang oleh manusia.

Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran (Ratna, 2005: 449).

Ciri khas manusia adalah kemampuannya dalam mendidik dan dididik melalui aktivitas pendidikan. Dalam masyarakat, unsur pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. Pendidikan menjadi suatu instrument untuk mentransmisikan keabudayaan pada masyrakat dan generasi baru. Selain itu, pendidikan juga bersifat mengawetkan

(21)

commit to user

28

kebudayaan, sehingga dapat membuat anak-anak menjadi manusia yang berbudaya (Hamalik, 2011: 88).

c. Nilai Didik dalam Sastra

Secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik. Lebih jauh, dikaitkan dengan pesan dan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana estetika. (Ratna, 2005: 447). Lebih lanjut, relevansi pendidikan terhadap sastra adalah terselenggaranya keseluruhan dimensi aktivitas kreatif di sekolah-sekolah. Pada gilirannya masyarakat memperoleh banyak manfaat, seperti aspek etis estetis dan berbagai pesan yang terkandung di dalamnya. Pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya, baik terhadap terhadap seniman sebagai pencipta, maupun pembaca sebagai penikmat (Ratna, 2005: 452-453).

Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab (Setiadi, 2006: 114). Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya. Nilai-nilai pendidikan menyiratkan berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya dan nilai-nilai tersebut mutlak dihayati dan diresapi manusia sebab ia mengarah pada kebaikan dalam berpikir dan bertindak sehingga dapat memajukan budi pekerti serta pikiran/ intelegensinya.

Nilai-nilai pendidikan dapat diperoleh manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra khususnya humaniora sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan. Secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik (Ratna, 2009: 447). Lebih lanjut menurutnya, nilai-nilai pendidikan dikaitkan dengan pesan dan muatannya,

(22)

commit to user

29

hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana etika. Jadinya antara pendidikan dan karya sastra adalah dua hal yang saling berkaitan.

Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan ciptaan terbaru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi. Sastrawan pada waktu menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu.

Karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang harus dikembangkan. Karya sastra harus bisa dijadikan sebagai wahana untuk meneruskan dan mewariskan tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi berikutnya, yang berupa gagasan, pemikiran, bahasa, pengalaman, sejarah, nilai moral, dan budaya. Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk memengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru dan sebagainya. Karya sastra diciptakan bukan sekadar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya.

Karya sastra tidak sekadar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.

d. Macam-macam Nilai Didik dalam Karya Sastra

Manusia dalam kehidupan dunia ini tidak pernah terlepas dari tata nilai yang melingkupinya. Pendidikan dalam pengertian proses belajar seseorang

(23)

commit to user

30

tentang hidup dan kehidupan ini, menjadikan nilai sebagai faktor penting yang harus ada pada setiap kegiatannya. Nilai pendidikan dapat diperoleh dari membaca karya-karya sastra sebab sastra merupakan pencerminan hidup manusia di dalam kehidupan.

Sastra dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Suyitno (1986: 3) mengatakan bahwa berbicara mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai hasil olahan sastrawan yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan lain. Hal ini merupakan kelebihan karya sastra. Kelebihan lain dari karya sastra ialah bahwa karya sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup baik, buruk, benar, salah, mengenai hidupnya sendiri ataupun bangsanya. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, falsafah, religi, dan sebagainya.

Bertolak pada pendapat Suyitno di atas, terdapat hubungan yang erat antara sastra dengan pendidikan. Hubungan ini disebabkan oleh kandungan nilai didik di dalam karya sastra. Nilai pendidikan di dalam karya sastra tidak selalu berupa petuah bagi pembaca, tetapi dapat pula berupa kritikan bagi seseorang, sekelompok orang, atau sebuah struktur sosial yang tidak sesuai dengan harapan pengarang di dalam kehidupan nyata. Terlepas dari bagaimana nilai-nilai pendidikan tersebut dibentuk pengarangnya di dalam karyanya, secara garis besar terdapat 4 (empat) nilai pendidikan dalam karya sastra, yakni sebagai berikut :

1) Nilai Pendidikan Sosial

Karya sastra merupakan karya imajinatif, artinya lahir dari hasil proses imajinasi pengarangnya. Meskipun demikian, sifat imajinasi di dalam karya sastra tidak jarang berangkat dari realitas yang terdapat di sekitar pengarang. Kesusastraan bisa lahir dari situasi sosial yang ada di sekitar pengarang, yang dengan seluruh kesadaran ditangkap pengarang dan kemudian dituangkannya dalam sebuah karya yang menarik, utuh, dan tentu saja tidak terlepas dari pendapat pengarang pribadi sebagai penciptanya.

(24)

commit to user

31

Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, dan bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk nilai sosial. Di dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga kesinambungan masyarakat. Dorongan sosial berkenaan dengan pembentukan dan pemeliharaan jenis-jenis tingkah laku, hubungan antar individu, dan hubungan antar individu dengan masyarakat. Dorongan sosial pada akhirnya akan mendorong penciptaan sastra yang mau tidak mau akan memperjuangkan berbagai bentuk aktifitas sosial tersebut (Semi, 1993: 22).

Karya sastra merupakan salah satu hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, yang tentunya hidup dan memiliki kehidupan di tengah masyarakat. Kenyataan tersebut membawa karya sastra, seperti diungkap Sumardjo (1986: 120), bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di tengah masyarakat. Sastra adalah produk masyarakat dan berada di tengah masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa kesusastraan berkaitan erat dengan nilai-nilai yang terdapat dalam wilayah sosial. Perkembangan sosial memberi dorongan manusia untuk masuk pada lingkungan masyarakat, individu ingin keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki lingkungan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Mujiyanto (1988: 8) menyatakan bahwa dengan menekuni karya-karya sastra yang ada, manusia dapat membina kepekaan sosialnya. Membaca karya sastra adalah membaca realitas sosial yang ada di lingkungan sekitar kita. Memahami makna dan hakikat karya sastra sama artinya dengan memahami pola-pola kehidupan sosial di tengah masyarakat. Dengan demikian, pendapat di atas menyatakan bahwa aktivitas membaca dan memahami karya-karya sastra adalah aktivitas membina kepekaan sosial, kepekaan terhadap sesama manusia, kepekaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, dan kepekaan terhadap kesadaran bagi dirinya untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.

Bertolak dari beberapa pengertian tentang nilai pendidikan sosial di dalam karya sastra di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan sosial dalam

(25)

commit to user

32

karya sastra adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran sosial, sikap sosial, dan kemampuan sosial.

2) Nilai Pendidikan Moral

Nilai moral, yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patutnya manusia bergaul di dalam kehidupan bermasyarakat. Moral erat kaitannya dengan agama dan sosial. Dalam moral terdapat unsur moral agama, moral sosial dan moral-moral lainnya sehingga moral-moral merupakan sesuatu yang sangat kompleks yang selalu dihadapi seseorang. Karya sastra sebagai ciptaan dari seorang pengarang yang tentunya hidup dan bergaul di tengah masyarakat di sekitarnya, tentunya juga mengandung nilai etika atau nilai moral. Kegunaan karya sastra harus mampu menjadikan para penikmatnya peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan mendorong lahirnya perilaku-perilaku yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan. Pendek kata kegunaan yang menjadikan manusia menjadi lebih arif.

Karya sastra dapat dipahami sebagai alat didik yang cukup bagus untuk memenuhi kelayakan bagi seorang makhluk sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Karena tuntutan ini pula, seorang pengarang haruslah berhati-hati dalam menciptakan karya sastra. Ia tidak bisa seenaknya saja menciptakan karya-karya sastra yang menyesatkan, tetapi harus mampu menghadirkan nilai pendidikan etika yang benar sehingga menimbulkan efek yang positif bagi pembacanya. Dojosantosa (2006: 740) menyatakan bahwa banyaknya karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral membuktikan hal tersebut. Dengan terkandungnya nilai moral dalam karya sastra, pengarang dapat merefleksikan pandangan hidupnya melalui nilai-nilai kebenaran sehingga karya sastra tersebut dapat menawarkan pesan-pesan moral yang berkaitan dengan sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan tingkah laku para tokoh dalam sebuah karya sastra dapat membantu membentuk pribadi pembaca sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak menjadi lebih baik lagi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa inilah pesona karya sastra dalam pendidikan moral.

(26)

commit to user

33

Sastra memang sebuah karya yang bersifat fiksi. Meskipun demikian, kehadirannya mampu memberikan sumbangan yang cukup besar bagi kehidupan melalui nilai-nilai pendidikan yang ada padanya. Bentuk karya sastra memang berbeda dari bentuk pendidikan lainnya seperti khotbah, esay, ataupun kritik langsung, tetapi karya sastra mempunyai keunikan sendiri dalam bentuknya tersebut karena mampu menunjukkan nilai pendidikannya secara lebih utuh dan lengkap. Dalam hal ini, Mujiyanto (1988: 133) berpendapat bahwa sastra bukan khotbah agama atau biro konsultasi pemberi nasehat, tetapi secara hakiki, sifat edukatifnya mempunyai peran yang sejalan dengan fatwa-fatwa rohaniwan. Sastra berangkat dari itikad baik, tidak sunyi dari untaian hikmah di antara seru derunya konflik atau peristiwa cerita. Di sisi lain, sastra pun menawarkan teladan-teladan terpuji, figur-figur idola, tokoh-tokoh, dan kata hidup yang pantas dijadikan cermin pematut diri.

Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 322) mengemukakan bahwa moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu sarana yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Moral merupakan petunjjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Nilai etika atau moral dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik pembaca agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti.

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, dapat dipahami bahwa keberadan nilai etika atau moral di dalam karya sastra adalah bentuk nasehat yang diberikan pengarangnya secara tidak langsung seperti yang banyak dilakukan oleh para pemuka agama, pengkhotbah, dan rohaniwan lainnya. Pengarang mencoba memberikan bentuk tersendiri untuk membingkai segala sesuatu yang ingin dikemukakannya. Ia memberi nasehat melalui kritikan yang ada di dalam dialog tokoh-tokoh yang hidup di dalam karyanya, kadang hanya sepintas lalu menyebutkan sepatah dua patah kata di tengah narasinya, dan tidak jarang pula

(27)

commit to user

34

nilai pendidikan etika terselubung di seluruh permukaan cerita. Artinya, pembaca harus memahami keseluruhan cerita untuk dapat menemukan petuah pengarang tentang nilai moral atau etika.

3) Nilai Pendidikan Religius

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 326). Nilai religius merupakan sudut yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Sesuatu yang berbau religius dapat berarti segala sumber ketenangan dan kebahagiaan hidup. Manusia dalam kehidupan ini membutuhkan pegangan, dan pegangan yang paling bermakna adalah agama. Setiap agama unsur pokok yang selalu ada adalah masalah akidah, ibadah, dan akhlak. Akidah merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan. Ibadah berkaitan erat dengan perilaku dan perbuatan manusia yang dutujukan kepada Tuhan. Unsur pokok yang terakhir yakni akhlak, berkaitan erat dengan moral manusia di dunia, termasuk tentang perilaku dan sikap manusia itu di dalam kahidupan bermasyarakat.

Karya sastra sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia tentunya tidak luput dari masalah agama. Mengingat bahwa setiap manusia seperti juga seorang pengarang karya sastra, membutuhkan agama sebagai pegangan hidupnya, seringkali bahkan selalu, karya sastra banyak dipengaruhi oleh unsur agama atau religi. Semi (1993: 22) mengatakan bahwa agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham, dan sekaligus pula sering membuat sastra bermuara kepadanya. Nilai religius merupakan sudut yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Sesuatu yang berbau religius dapat berarti segala sumber ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Mangunwijaya (1995: 54) menyatakan bahwa religius adalah konsep keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius. Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama dalam argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti mutlak dan kebesaran manusia dalam arti relatif selaku makhluk. Berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan tidak akan terlepas dari apa yang

(28)

commit to user

35

dikenal manusia dengan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Apapun yang ingin dilakukan manusia akan selalu kembali kepada derajatnya yang tidak lebih merupakan hamba Tuhan.

Dojosantosa (1999: 15) berpendapat bahwa dalam religius iman tumbuh dan berkembang melalui pengalaman demi pengalaman, tahap demi tahap acap kali tergantung pada tingkat perkembangan kesadaran manusia itu sendiri. Tugas utama manusia ialah mendewasakan imannya, yakni dengan terbuka terhadap kehadiran Allah dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah keterbukaan vertikal dan horizontal. Keterbukaan vertikal dimaksudkan pada keterbukaan hati manusia terhadap eksistensi Allah sebagai dasar dan tujuan hidup manusia. Adapun hubungan horisontal adalah hubungan manusia dengan manusia. Hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan ditandai dengan adanya doa melalui agama yang dianut dan menyakini ajaran-ajaran agama tersebut. Hubungan horisontal antara manusia dengan manusia dapat terjalin dalam hubungan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial masyarakat. Orang yang menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh akan berusaha menjauhi larangan dan menjalankan perintah agama. Dalam hal ini, moral seseorang yang beragama akan berbeda dengan moral orang yang tidak beragama. Oleh karena ada perasaan takut terhadap siksaan Allah di kemudian hari, orang yang beragama akan membatasi perbuatannya yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Sastra tumbuh dari jiwa pengarangnya, karena tidak mungkin sastra memiliki dunianya sendiri tanpa sedikitpun dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup pengarangnya. Dengan demikian, jelas bahwa keberadaan unsur religius di dalam sebuah karya sastra adalah sesuatu yang secara otomatis hadir bersamaan dengan adanya karya sastra itu sendiri. Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa sastra dan agama, atau sastra dengan unsur religius adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat terutama karena sastra banyak berangkat dari pengalaman-penglaman religi pengarangnya. Dengan demikian, pada awal segala sastra tersebut adalah religius.

(29)

commit to user

36 4) Nilai Pendidikan Estetika

Salah satu fungsi sastra adalah fungsi estetika atau fungsi keindahan. Semi (1993: 56) menyatakan bahwa fungsi estetika sastra adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan keindahan bagi pembacanya. Membaca karya sastra seringkali membuat tercengang pembaca karena mendapati untaian bahasa yang indah, bahkan untuk melukiskan sebuah kecelakaan yang tragis pun seorang pengarang sanggup menceritakannya dengan sangat manis dan mendalam maknanya.

Mujiyanto (1988: 132) berpendapat bahwa membaca karya sastra merupakan suatu kegiatan yang sarat dengan keindahan. Dengan membaca karya sastra, pembaca akan menemukan gaya bahasa yang indah, keberadaan diksi-diksi yang indah, irama dan nada yang indah, peristiwa yang indah, dan lain-lainnya termasuk peristiwa-peristiwa di dalam cerita yang dipulasnya dengan keindahan. Seorang pengarang dapat berkomunikasi dengan masyarakat menggunakan bahasa yang sesuai dengan alatnya, yaitu media tulis. Pengarang menggunakan media tulis sebagai alatnya, maka gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa dalam kalimat. Gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran seseorang melalui bahasa secara khas yang dapat memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa penulis bahasa (Keraf, 2002: 13).

Dengan bahasa manusia dapat menuangkan ide-ide, pengetahuan, mengajak, menolak, menyampaikan pesan, memahami orang lain, dan sebagainya. Komunikasi dipandang sebagai suatu kombinasi perbuatan atau tindakan serangkaian unsur-unsur yang mengandung maksud dan tujuan (Tarigan, 1993: 8). Keestetisan karya sastra dapat dirasakan apabila karya itu mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca, menuntunnya melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap hal yang dimiliki. Selain itu, karya sastra tersebut mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir, berbuat lebih banyak, dan berkarya lebih baik bagi penyempurnaan kehidupan. Lebih lanjut, karya sastra juga mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, dan politik masa lalu yang berkaitan dengan peristiwa masa kini dan masa depan.

(30)

commit to user

37 4. Hakikat Materi Ajar

Pendidikan menurut Hamid (2007: 23) mempunyai dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, yaitu belajar dan mengajar. Belajar menunjuk pada apa yang dilakukan seseorang sebagai penerima pelajaran (peserta didik), sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh seorang guru sebagai pengajar. Kegiatan belajar-mengajar ini di dalamnya terdapat beberapa unsur, salah satunya adalah adanya materi ajar.

a. Pengertian Materi Ajar

Widodo (2008: 40) berpendapat bahwa materi ajar yang baik harus dirancang dan ditulis sesuai kaidah instruksional, ini diperlukan karena materi ajar akan digunakan pendidik untuk membantu tugas mereka dalam proses belajar-mengajar. Hal ini senada dengan pendapat Winkel (1996: 261) bahwa materi ajar adalah suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional. Materi ajar diharapkan mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Lebih lanjut Winkel menjelaskan bahwa materi ajar bukan hanya mencakup data, kejadian dan relasi antara data, melainkan juga oleh pengolahan siswa.

Menurut Inoe (2008), materi ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis sehingga lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Materi yang dimaksud itu berupa materi tertulis, maupun materi yang tidak tertulis. Materi ajar bertujuan untuk membantu siswa dalam mempelajari sesuatu. Guru dapat menyediakan berbagai jenis pilihan materi ajar agar lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran. Selain itu juga agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik. Siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis, sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu dengan menggunakan materi ajar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa materi ajar merupakan dasar atau pokok yang ada dalam proses belajar -mengajar. Materi ini akan disampaikan oleh guru/ pendidik ke peserta didik pada saat proses

(31)

commit to user

38

pembelajaran untuk mencapai tujuan intruksional dan dapat membangkitkan motivasi siswa.

b. Dasar Pemilihan Materi Ajar

Dalam pembelajaran sastra, guru/ pendidik terkadang menemui kesulitan dalam memilih dan memilah materi ajar yang sesuai dengan karakteristik siswanya. Oleh karena itu, seorang guru perlu memahami dasar-dasar pemilihan bahan atau materi ajar. Menurut Winkel (1996: 297), dasar pemilihan bahan atau materi ajar tersebut antara lain:

1) Materi atau bahan ajar harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2) Materi atau bahan ajar harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu.

3) Materi atau bahan ajar harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu mungkin.

4) Materi atau bahan ajar harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan.

5) Materi atau bahan ajar harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunkan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok.

6) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pelajaran yang tersedia.

Menurut Semi (2002: 13) bahwa dasar pemilihan bahan atau materi pelajaran sastra adalah sebagai berikut:

1) Bahan atau materi tersebut valid untuk mencapai tujuan pengajaran sastra.

(32)

commit to user

39

2) Bahan atau materi tersebut harus bermakna dan bermanfaat jika ditinjau dari kebutuhan peserta didik (kebutuhan pengembangan insting etis dan estetis, imajinasi, dan daya kritis).

3) Bahan atau materi tersebut harus menarik supaya dapat merangsang minat peserta didik.

4) Bahan atau materi tersebut berada dalam batas keterbacaan dan intelektual peserta didik. Artinya bahan tersebut dapat dipahami, ditanggapi, dan diproses peserta didik sehingga mereka merasa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang menarik, bukan pengajaran yang berat.

5) Bahan atau materi berupa bacaan haruslah berupa karya sastra yang utuh, bukan sinopsisnya saja, karena karya sinopsis itu hanya berupa problem kehidupan tanpa diboboti nila-nilai estetika yang menjadi pokok atau inti karya sastra.

Rahmanto (1988: 27) juga menyebutkan aspek yang tidak boleh dilupakan dalam memilih bahan ajar sastra. Ketiga aspek tersebut adalah bahasa, latar belakang kebudayaan siswa dan kematangan jiwa (psikologi) siswa.

1) Bahasa

Penguasaan bahasa setiap peserta didik berbeda-beda. Pada hakikatnya, penguasaan bahasa ini tumbuh dan berkembang melalui tahapan-tahapan yang jelas. Berkaitan dengan pengajaran sastra, guru perlu mengetahui terlebih dahulu penguasaan bahasa anak didiknya, baru kemudian memilih bahan ajar yang sesuai. Selain itu, guru juga harus mampu mengembangkan penguasaan bahasa anak didiknya. Pemilihan materi ajar dalam hal kebahasaan ini dikatakan tepat jika pemilihan bahan tersebut didasarkan pada wawasan yang ilmiah. 2) Latar Belakang Budaya

Karya sastra yang diajarkan di kelas hendaknya dipilih yang sesuai dengan latar belakangnya siswa, dikenal dan akrab atau berasal dari lingkungan di sekitar siswa. Latar belakang budaya ini meliputi hampeir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti geografi,

Referensi

Dokumen terkait

Dimensi pengetahuan agama pada peserta didik meliputi pengetahuan maupun materi pendidikan agama Islam yang nantinya akan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari,

Praktik keseharian yang terjadi dalam sistem pendaftaran merek Indonesia, klasifikasi barang dan jasa yang digunakan adalah Nice Classification edisi kesepuluh yang

Evaluasi 8 Emas Interaksi Manusia Dan Komputer mencakup penerapan konsep konsistensi pada aplikasi yang dibuat dengan penggunaan GUI yang seragam, memungkinkan

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah elitsm selection yaitu memilih individu berdasarkan popSize terbaik dengan mengurutkan individu-individu dari nilai

Petugas RR dan perawat ruangan melakukan serah terima pasien serta menjelaskan seluruh laporan tindakan invasif yang sudah dilakukan pada pasien tersebut

Perbaikan Rumah dan Jalan Lingkungan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh di Perkotaan Purbalingga. Kel. Purbalingga Wetan, Kel. Purbalingga Lor, Kel. Purbalingga

Bila suatu ammonium kuaterner hidroksida (padat) dipanaskan, terjadi suatu reaksi eliminasi yang disebut eliminasi Hofmann. Reaksi ini adalah suatu reaksi E2 dalam

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah keanekaragaman lingkungan, dengan judul Kajian Degradasi Ekosistem