• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil dan Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil dan Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1. Profil dan Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Yogyakarta sejauh ini banyak dikenal oleh banyak kalangan terutama para wisatawan. Wisatawan yang pernah berkunjung ke Yogyakarta juga merasa ingin kembali lagi ke kota tersebut. Banyaknya destinasi wisata dan nilai-nilai budaya yang masih dijunjung tinggi membuat orang merasa nyaman untuk berkunjung ke kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta merupakan wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Yogyakarta didirikan berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel, yang isinya: Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.48

Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta

48Sejarah Kota Yogyakarta. (2007, 8 Oktober). Diakses pada 27 Juni 2015 dari http://www.jogjakota.go.id/about/sejarah-kota-yogyakarta.

(2)

yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.49

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.50

49 Ibid. 50 Ibid.

(3)

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin tinggi. Oleh karena itu muncullah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.51

Keunikan pengalaman Yogyakarta merupakan salah satu fakta yang menjadikannya sebagai daerah istimewa. Dalam proses perkembangan pemerintahannya, Yogyakarta berproses dari tipe pemerintahan feodal dan tradisional menjadi suatu pemerintahan dengan struktur modern. Dalam perkembangan dan dinamika negara bangsa terdapat keterkaitan yang erat antara Republik Indonesia dan DIY. Entitas DIY mempunyai aspek politis-yuridis berkaitan dengan sejarah berdirinya yang merupakan wujud pengintegrasian diri dari sebuah kerajaan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan respons atas eksistensi DIY dan juga merupakan pengakuan kewenangan untuk menangani berbagai urusan dalam menjalankan pemerintahan serta urusan yang bersifat khusus. Undang-Undang ini telah diubah dan ditambah, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor

(4)

1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa DIY merupakan daerah setingkat provinsi dan meliputi bekas Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap Undang-Undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui.52

4.1.2. Visi Misi

Visi adalah pandangan jauh tentang suatu perusahaan ataupun lembaga dan lain-lain, visi juga dapat di artikan sebagai tujuan perusahaan atau lembaga dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuannya tersebut pada masa yang akan datang atau masa depan.

Visi dari Pemerintah Kota Yogyakarta adalah Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru.53

Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih berkarakter dimaknai sebagai kondisi masyarakat yang lebih memiliki kualitas moral yang positif, memanusiakan manusia sehingga mampu membangun kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Ini sejalan dengan konsep Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbudaya, dimana interaksi budaya melalui proses inkulturasi dan akulturasi justru mampu memperkokoh budaya lokal, menambah daya tahan serta mengembangkan identitas budaya masyarakat dengan

52 Sejarah. (2010, 1 Juni). Diakses pada 27 Juni 2015 dari

http://web.jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/sejarah.

53 Visi Misi Tujuan dan Sasaran. (2014, 4 September). Diakses pada 27 Juni 2015 dari

(5)

kearifan dan keunggulan lokal. Daerah Istimewa Yogyakarta yang maju dimaknai sebagai peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara lebih merata dengan menurunnya ketimpangan antar penduduk dan menurunnya ketimpangan antar wilayah. visi ini juga menggambarkan kemajuan yang tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial.54

Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta yang mandiri adalah kondisi masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhannya (self-help), mampu mengambil keputusan dan tindakan dalam penanganan masalahnya, dan mampu merespon dan berkontribusi terhadap upaya pembangunan dan tantangan zaman secara otonom dengan mengandalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Masyarakat yang sejahtera dimaknai sebagai kondisi masyarakat yang relatif terpenuhi kebutuhan hidupnya baik spiritual maupun material secara layak dan berkeadilan sesuai dengan perannya dalam kehidupan.55

Misi adalah suatu pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan atau lembaga dalam usaha mewujudkan Visi tersebut. Misi perusahaan di artikan sebagai tujuan dan alasan mengapa perusahaan atau lembaga itu dibuat. Misi juga akan memberikan arah sekaligus batasan-batasan proses pencapaian tujuan.

Misi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mewujudkan visinya adalah: 1. Membangun peradaban yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan. Misi

ini mengemban upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

54 Ibid. 55 Ibid.

(6)

masyarakat dengan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Misi ini juga dimaknai sebagai upaya mendorong peningkatan derajat kesehatan seluruh masyarakat, serta meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial.

2 Menguatkan perekonomian daerah yang didukung dengan semangat kerakyatan, inovatif dan kreatif. Misi ini mengemban upaya untuk meningkatkan produktivitas rakyat agar rakyat lebih menjadi subyek dan aset aktif pembangunan daerah dan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata, mengurangi tingkat kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran, serta membangkitkan daya saing agar makin kompetitif.

3 Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggung jawab, efektif, dan efisien, melalui sinergitas interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Misi ini mengemban tujuan peningkatan efektivitas layanan birokrasi yang responsif, transparan dan akuntabel, serta meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik.

(7)

4 Memantapkan prasarana dan sarana daerah. Peningkatan pelayanan publik yang berkualitas dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesesuaian tata ruang.56

4.1.3. Logo dan Tagline Lama “Jogja Never Ending Asia”

Gambar IV.1 Logo Jogja Never Ending Asia57

Jogja Never Ending Asia adalah logo dan tagline yang digunakan untuk

branding Daerah Istimewa Yogyakarta pada 200158. Dalam desain dan

konsepnya, logo ini diharapkan dapat mencerminkan brand image Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai ”Experience that never end in Asia” atau pengalaman yang tidak dapat dilupakan di Asia, pada khususnya dalam kaitannya dengan bidang pariwisata.

Penggunaan kata “Asia” dalam slogan ini membuktikan keseriusan Jogja untuk keluar dari citra buruk Indonesia pada masa itu dan sekaligus juga pernyataan “perang” dengan destinasi-destinasi wisata lain di lingkup Asia,

56 Ibid.

57 Waizly Darwin. Jogja istimewa Visual Identity. (2015, 5 februari 2015). Diakses pada 2 Desember 2015 dari http://www.slideshare.net/waizly/jogja-istimewa-city-branding

58 Ahmad Rosyidi Syahid. Berani Belajar dari Jogja. (2015, 8 Mei). Diakses pada 16 Februari 2016 dari http://studipariwisata.com/serba-serbi/belajar-berani-dari-jogja/

(8)

seperti Singapura yang pada saat itu menggunakan slogan “New Asia” dan Malaysia yang menggunakan slogan “Truly Asia”. Melihat dari potensi wisata budayanya, Yogyakarta dapat dibilang lebih unggul dari destinasi lain di Asia dengan adanya tempat-tempat suci dari agama-agama besar di Asia seperti Kerajaan Mataram (Islam), Borobudur (Budha), Candi Prambanan (Hindu), dan Sendang Sono (Katolik).59

Jogja Never Ending Asia mempunyai visi untuk menjadikan Yogyakarta to become the leading economic region in Asia for trade, tourism, and investment in five years (menjadi pemimpin/pelopor daerah-daerah Asia dalam bidang perdagangan, pariwisata, dan investasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan).60

Jogja Never Ending Asia mempunyai satu misi, yaitu untuk menarik, memberikan kepuasan dan mempertahankan para pelaku pasar, wisatawan, investor, pengembang dan para organisator kelas dunia untuk berusaha dan menanamkan investasinya di Yogyakarta. Untuk mewujudkan hal itu, Yogyakarta harus mengembangkan diri, menciptakan LIV, yaitu livability, yakni suasana damai dan nyaman, investability, yakni mampu digunakan untuk berinvestasi, dan

visitability, yakni menarik dan berkesan untuk dikunjungi. Smeua upaya ini pada

akhirnya dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Yogyakarta.61

59 Ibid.

60 Jogja Never Ending Asia. (2011, 3 Oktober). Diakses pada 2 April 2016 dari http://jogjaprov.go.id/pemerintahan/kalender-kegiatan/view/jogja-never-ending-asia. 61 Ibid.

(9)

Berdasarkan hal di atas dapat diinterpretasikan bahwa melalui tagline “Never Ending Asia” Yogyakarta ingin membuktikan bahwa daerahnya aman dan bebas dari kerusuhan dan sejajar dengan negara-negara Asia lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang sama-sama menggunakan kata “Asia” pada logo

city branding. Selain itu untuk membangun citra sebagai kota yang berbeda dari

kondisi umum di Indonesia pada saat itu (krisis) agar dapat menarik para wisatawan dan juga para investor untuk tetap datang dan mempercayakan bisnisnya di Yogyakarta.

4.1.4. Logo dan Tagline “Jogja A New Harmony”

Sejak awal 2014, Yogyakarta sudah mempersiapkan untuk melakukan

rebranding dengan mengganti logo dan tagline city branding. Sultan

Hamengkubuwono telah memilih tim Hermawan Kertajaya, yang merupakan

founder dari MarkPlus Inc. untuk membuat logo baru tersebut berdasarkan

arahannya. Hal ini dikarenakan logo yang sebelumnya, Jogja Never Ending Asia, juga dibuat oleh tim Hermawan, dan sukses membesarkan nama Yogyakarta baik di Indonesia maupun di kancah Internasional.

Sultan menyebutnya Jalma Kang Utama berazas rasa Ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Wujud Renaissance dituangkan dalam sembilan bidang strategis di antaranya meliputi pendidikan, pariwisata, teknologi, ekonomi, energi pangan, kesehatan, dan tata ruang lingkungan. Misinya yang diunggulkan itu salah satunya adalah berorientasi pembangunan dengan mengedepankan pembangunan di pesisir dan menjadi laut selatan sebagai pintu gerbang DIY.

(10)

Dalam rapat itu, Hermawan sempat diberi waktu untuk mensosialisasikan desain branding baru tersebut. Salah satu pilihannya adalah masih mempertahankan huruf J dengan garis lurus di atas yang lebih besar seperti pada Jogja Never

Ending Asia sekarang, karena sebagai lambang payung atau Sultan sebagai

pengayom (Hamenayu Hayuning Bawana).62

Pada tubuh huruf J itu bewarna kuning keemasan sebagai simbol warna Kraton, sedangkan pada garis lurus dan atasnya bewarna merah, sedangkan pada huruf O-G-J-A bewarna putih sebagai simbol bendera kebangsaan Indonesia. Adapun renaissance itu tercermin pada total garis sketsa garis Jogja yang berjumlah sembilan. “Jogja harus berani mengatakan bahwa Jogja The Spirit of Indonesia karena punya Sabdatama dan renaisance,” kata Hermawan.

Hermawan menjelaskan bahwa logo baru Jogja disusun berdasarkan ciri keistimewaan Yogyakarta yang tersirat dalam Sabda Tama Sultan dan arah pembangunan Jogja Renaisans. Logo tersebut adalah perwujudan dari visi Sultan Jogja tentang pembangunan dan perubahan Jogja ke depan yang meliputi teknologi, sosio-kultural, politik legal, pasar, dan ekonomi. Berbagai simbol serta makna kedudukan Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI juga disuntikkan ke dalam logo baru itu.63

62 Andreas Tri Pamungkas. Branding „Jogja Never Ending Asia‟ akan Diubah. (2014, 24 April). Diakses pada 2 April 2016 dari http://www.harianjogja.com/baca/2014/04/24/branding-jogja-never-ending-asia-akan-diubah-504270

63 Hendra Wardhana. “TOGUA”, Logo Baru Jogja yang Dikritik & Jadi Candaan Netizen

(Akankah Muncul “Logo Tandingan”?). (2014, 30 Oktober). Diakses pada 2 April 2016 dari

http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/togua-logo-baru-jogja-yang-dikritik-jadi-candaan-netizen-akankah-muncul-logo-tandingan_54f3fafb745513a42b6c83bd

(11)

Gambar IV..2 Logo city branding Yogyakarta yang dirancang oleh tim ahli Hermawan Kartajaya, pakar marketing sekaligus CEO dan founder MarkPlus Inc.64

Namun meski berusaha mengadopsi banyak nilai keistimewaan dan belum 100% final, logo baru Jogja tersebut telah menuai kritik dari sejumlah kalangan. Selain sangat berbeda dengan yang lama, logo dan brand baru “JOGJA” juga dianggap aneh karena lebih terbaca sebagai “TOGUA”. Logo baru yang ditulis dengan bentuk huruf ramping dan didominasi warna merah dianggap kurang mencerminkan Yogyakarta.65

Awalnya peresmian logo yang terbaru akan dilaksanakan pada November 2014. Akan tetapi belum sampai selesai proses pembuatannya, dan baru dipresentasikan oleh tim Hermawan, terjadi protes di kalangan masyarakat Yogyakarta. Logo tersebut dianggap tidak mencerminkan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan sempat menjadi trending topic di media sosial twitter karena logo “Jogja” terlihat seperti kata TOGUA, yang akhirnya membuat banyak orang menjadi penasaran.

Akar persoalannya antara lain dari aspek artistic-optik, dan aspek substansial-lalu merembet pada aspek lain, seperti ketimpangan antara besaran

64 Ibid. 65 Ibid.

(12)

anggaran disbanding capaian kerja lembaga konsultan itu. Dari aspek artistik-optik, banyak yang menganggap bahwa pilihan tipografi untuk kata “Jogja” kurang tepat, tidak memiliki nuansa keindahan, dan celakanya, secara optic, lebih terbaca sebagai “TOGUA” ketimbang “JOGJA”.66

4.1.5. Logo dan Tagline Baru “jogja istimewa”

Gambar IV.3 Logo dan Tagline Baru City branding Daerah Istimewa Yogyakarta67

Rebranding berupa penggantian logo dan tagline “Jogja Istimewa” (yang

baru) akhirnya diluncurkan dengan perhelatan “Jogja Gumregah”, sebuah pisowanan agung rakyat Yogyakarta pada hari Sabtu, 7 Maret 2015 yang dipusatkan di Pagelaran Kraton Ngayogyakarta.68

Pada tanggal tersebut pemda Daerah Istimewa Yogyakarta bersama timnya resmi mengganti logo dan tagline city branding dengan “jogja istimewa”. Awal mula tercetusnya rebranding ini adalah dari Gubernur DIY yang menyampaikan

66 Kuss Indarto. Rebranding Luar Dalam. Diakses pada 2 April 2016 dari http://jogjaistimewa.co/rebranding-luar-dalam/

67 Waizly Darwin. Jogja istimewa Visual Identity. (2015, 5 februari 2015). Diakses pada 2 Desember 2015 dari http://www.slideshare.net/waizly/jogja-istimewa-city-branding 68 Kuss Indarto, loc.cit.,

(13)

visi dan misinya di DPRD dan menyampaikan gagasan tentang Renaisans Yogyakarta. Gagasan renaisans ini menyangkut sembilan pilar, antara lain pendidikan, kesehatan, ekonomi, pariwisata, energi, keterlindungan warga, teknologi, pangan, tata ruang dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan citra Yogyakarta yang memiliki gagasan renaisans tersebut, terciptalah keinginan untuk rebranding dengan mengubah logo city branding yang lama dengan logo yang baru.

Ide perubahan logo sekaligus rebranding Jogja sebenarnya bermula dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Orang nomor 1 di DIY ini menilai bahwa logo lama yang telah bertahan selama 15 tahun, kini sudah tidak relevan lagi. Selain itu, tagline “Jogja Never Ending Asia” juga dianggap perlu diubah.69

Terkait dengan gagasan Renaisans dan keistimewaan tersebut, Jogja perlu melakukan rebranding yang mana tagline lama “Jogja Never Ending Asia” itu perlu dikaji ulang. Proses rebranding ini, menurut Tavip, sudah melalui berbagai proses. Proses ini diawali dengan wawancara mendalam dengan Sultan Hamengku Buwono X, baik di Jakarta maupun di keraton. Lalu, ada proses riset dan pematangan konsep, termasuk dari sisi filosofis, historis, visual, warna, dan sebagainya. Lalu, ada proses untuk memperkenalkannya dalam bentuk softlaunching dalam urun rembug yang lalu. Kalau dilihat dari proses, rangkaiannya cukup panjang. Apalagi setelah melihat dinamika masyarakat, kami menyampaikan kepada Pak Gubernur untuk tidak memaksakan rebranding ini

69Rebranding Jogja Tak Sekadar Ganti Logo. Diakses pada 2 April 2016 dari http://jogjaistimewa.co/rebranding-jogja-tak-sekadar-ganti-logo/

(14)

selesai pada tahun ini sesuai rencana awal.70

Untuk menyukseskan perubahan logo tersebut, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk Dewan City Branding yang selama proses penentuan logo, membantu memantau dan mengarahkan implementasi dan internalisasi perubahan logo dan tagline yang baru. Dewan City Branding merupakan warga sipil non-birokrat yang secara independen mewakili elemen-elemen masyarakat agar ruang diskusi dan partisipasi publik selalu terbuka.

Dewan City Branding ini diendorse penuh oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan tim perumus strategi branding Jogja yang dipimpin oleh Hermawan Kartajaya dan terwujud atas kolaborasi dengan tim 11, yang beranggotakan:71

1. Herry Zudianto (mantan walikota Yogyakarta) – selaku koordinator 2. Mohammad Marzuki (Jogja Hiphop Foundation)

3. Butet Kartaredjasa (seniman)

4. M. Arief Budiman (P31 Jogja/ADGI) 5. Noor Arief (Dagadu Djogja)

6. Ong Hari Wahyu (Seniman / ADGI Jogja) 7. Sumbo Tinarbuko (ISI Yogyakarta) 8. Waizly Darwin (MarkPlus, Inc)

9. Fitriani Kuroda (Jogja International Heritage Walk) 10. dr. Tendean (IMA Jogja)

11. Prof. M. Suyanto (STMIK Amicom)

70 Rebranding Jogja Perlu Melibatkan Masyarakat. Diakses pada 12 Februari 2016 dari http://urunrembugjogja.co/rebranding-jogja-perlu-melibatkan-masyarakat/

(15)

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan logo dan tagline yang baru. Pemerintah bersama Dewan

City Branding mengajak masyarakat Yogyakarta untuk “urun rembug” dengan

cara mengirim ide desain dan tagline ke website www.urunrembug.com. Di dalam portal tersebut juga telah disebutkan syarat dan ketentuan desain dan juga hadiah yang akan diterima bagi yang ide desain atau slogan yang nantinya terpilih. Akan tetapi partisipasi masyarakat hanya mengirim ide, sedangkan untuk logo dan

tagline baru akan diolah kembali oleh tim 11.

Hasil dari Urun Rembug Jogja ini telah berhasil untuk menjaring 1061 urunan logo dari 581 orang serta 995 urunan tagline dari 610 orang. Semua peserta yang telah mensubmit akan mendapatkan sertifikat keikutsertaan yang akan ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sebagaimana yang telah diumumkan sebelumnya, ada pula hadiah istimewa senilai total Rp 200 juta yang akan dibagikan kepada para peserta dengan ide terbaik. Untuk Logo akan dibagikan senilai Rp 20 juta ke tiap orang yang berhasil terpilih oleh Tim 11 sebagai ide terbaik. Untuk peserta dengan ide tagline terbaik akan diberikan hadiah masing-masing sejumlah Rp 2.5 juta.72

Berikut adalah nama-nama peserta dengan urunan ide terbaik untuk kategori logo dan kategori tagline:73

Kategori Logo

1. Aditya Wardani

72 Pengumuman Pemenang Hadiah Istimewa Urun Rembug Citizen Branding Jogja. Diakses pada

25 Februari 2016 dari http://urunrembugjogja.com/news/13 73 Ibid.

(16)

2. Dedi Purnomo Sari 3. Hartanto

4. Iemha Ainun Fiqi Syatoto 5. Reiga B Tom

6. Syafa’at Marcomm 7. Yohanes Kristianto Kategori Tagline

1. Andrian Tri Prasetyo 2. Arif Adi Putranto 3. Bayu Aji Pamungkas

4. Dain Nur Rafita Ardani Rahmansyah 5. Ebdi Aditama

6. Elias aprilianto

7. Ferdinandus Eko Budi 8. Fery Muslikh

9. Hyginus Yosaphat Ageng Nugroho Wijanarko 10. Imam Muslim

11. Isyudi 12. Kohironuhu 13. Menyala Studio

14. Muhammad Ridho Dharma Putera 15. Nur Rohman Sahara

(17)

17. Radea Ananendra 18. Redy Handrianto 19. Situr Kuswantoro, S.Sn.M.Pd. 20. Sudaryanta 21. Suhastanto 22. Tio Tamara 23. Virna Maulina 24. Yohan Kristianto

Konsep partisipasi ini disambut baik, dibuktikan dengan hasil dari Urun Rembug Jogja ini berhasil menjaring 2.166 urunan logo dan tagline yang dikirim oleh 1191 orang. Selama sekitar tiga minggu, Tim11 memilih ribuan sumbangan ide dari masyarakat tersebut, kemudian terpilih 7 logo terbaik untuk dipadukan. Artinya, logo yang akan dihasilkan adalah hasil perpaduan dari beberapa logo terbaik tersebut. Proses memadukan ini akhirnya menghasilkan 3 logo yang kemudian dipilih salah satu oleh Sri Sultan HB X. Sementara, tagline “Istimewa” terpilih karena 40% penyumbang tagline mengusulkan kata itu.74

4.2. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap logo dan tagline Yogyakarta yang baru yaitu “jogja istimewa” yang menggantikan logo lama “Jogja Never Ending Asia”. Makna perubahan logo dan tagline city branding Daerah Istimewa Yogyakarta

74Press Release Launching Branding Jogja Istimewa. Diakses pada 30 Mei 2016 dari http://jogjaistimewa.co/press-release-launching-branding-jogja-istimewa/

(18)

dianalisis oleh penulis dimulai dari analisis teks, warna, font, bentuk dan ukuran logo, dengan analisis semiotika Ferdinand de Saussure.

4.2.1. Analisis Teks pada Logo dan Tagline Baru City branding Daerah Istimewa Yogyakarta

Huruf dan tipografi merupakan suatu desain yang merepresentasikan teks sebagai komunikasi dalam bentuk visual, yang dapat dilihat dari bentuk huruf, jenis huruf, cara dan teknik penyusunan huruf. Logo baru dari city branding Daerah Istimewa Yogyakarta berupa teks yang berupa representasi dari tagline barunya yaitu “jogja istimewa”.

Objek Penelitian

Gambar IV.4 Logo Baru City Branding DIY Berupa Teks dengan tagline “jogja istimewa”

Penanda Petanda

Kata “jogja” merupakan sebutan singkat dari Yogyakarta.

Kata “Jogja” yang dianggap lebih mudah dalam pengucapannya.75

Hal ini diperjelas apabila dilihat dari visi

75 Yunanto Wiji Utomo. Mengeja Jogja, Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogja?.(2006). Diakses pada 2 April 2016 dari www.yogyes.com/id/Yogyakarta-travel-guide/jogja-or-yogya/.

(19)

dan misinya, sektor pariwisata di Yogyakarta tidak hanya ditujukan kepada masyarakat Indonesia, melainkan seluruh dunia.

“Istimewa” dalam bahasa Inggris adalah special yang berarti berbeda dan lebih baik dari yang lainnya.

Tagline “Istimewa” mencerminkan

keistimewaan Jogja yang progresif, berintegritas, dan memiliki diferensiasi yang kuat dibanding daerah lain.76

Istimewa di sini dimaksud untuk mencakup segala hal, baik dari sisi masyarakat, dan juga dari sisi pemerintahan, yang harus memiliki sifat jujur dan benar-benar mengayomi masyarakat dibandingkan daerah lain.

Dari hasil analisis di atas penulis mengkaji lebih lanjut mengenai kata-kata atau teks yang tidak terpilih menggunakan kerangka pemikiran analisis semiotika Saussure yang berupa paradigmatik dan sintagmatik sehingga pada logo city

branding baru Yogyakarta terpilihlah kata “jogja” dan “istimewa”.

Kata Yogyakarta yang diambil dari nama geografis Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak digunakan dalam logo baru tersebut dikarenakan lebih mengarah ke hal-hal yang berkaitan dengan geografis dan administrasi daerah.

76Press Release Launching Branding Jogja Istimewa. Diakses pada 30 Mei 2016 dari http://jogjaistimewa.co/press-release-launching-branding-jogja-istimewa/

(20)

Kata “Yogyakarta” juga memiliki empat suku kata yang dianggap terlalu panjang dalam hal pengucapan. Bagi warga asing, pengucapan kata ”Yogyakarta” sangatlah tidak mudah. Oleh karena itu dipilihlah kata “Jogja” yang dianggap lebih mudah dalam pelafalannya.

Kata “Djokdja”, yang pernah digunakan pada masa kolonial Belanda, pelafalannya mirip dengan kata “jogja”. Hal ini dibuktikan pada saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda.77

Kata “Djokdja” tidak digunakan pada logo dan tagline baru karena “Djokdja” merupakan cara penulisan kata “jogja” pada zaman dahulu sehingga akan memberikan kesan kuno terhadap kota Yogyakarta sedangkan citra yang ingin ditampilkan adalah kesan modern yang tidak luput dari budayanya.

Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.78

Akan tetapi kata “Ngayogyakarta” juga susah untuk diucapkan oleh orang asing karena terlalu panjang, dan memang sebenarnya “Ngayogyakarta” sendiri merupakan kata dari bahasa Jawa sedangkan target dari city branding ini bukan hanya masyarakat Jawa namun juga dunia. Oleh karena itu kata “Ngayogyakarta” tidak digunakan untuk mewakili slogan city branding Daerah Istimewa Yogyakarta.

77 Yunanto Wiji Utomo. Loc.cit,. 78 Ibid.

(21)

Tagline yang baru tidak menggunakan bahasa inggris seperti Never Ending Asia, ataupun A New Harmony yang merupakan tagline pada logo

sebelumnya. Hal ini dikarenakan apabila menggunakan bahasa Inggris, “special” atau bahasa asing lainnya maka akan menciptakan pemikiran bahwa Yogyakarta tidak percaya diri dengan bahasa negara sendiri. Oleh karena itu untuk menunjukkan bahwa Yogyakarta mampu dan bisa bangga dengan bahasa bangsa sendiri, digunakanlah bahasa Indonesia, yaitu “istimewa”.

Sebelumnya, kata “Asia” digunakan sebagai pengganti “Indonesia” pada

tagline. Hal ini disebabkan ketika city branding tersebut dibuat, citra Indonesia

sedang kurang bagus akibat krisis di mata internasional. Selain itu dengan harapan Yogyakarta dapat sejajar dengan negara-negara di Asia. Namun untuk logo yang baru, tidak menggunakan kata “Asia” kembali karena yang ingin ditonjolkan adalah keistimewaan dari Yogyakarta yang merupakan bagian dari Indonesia bukan Asia. Selain itu citra Indonesia di mata dunia sudah kembali membaik dan semakin dikenal. Oleh karenanya, dipilihlah kata “istimewa” sebagai tagline baru dari city branding Daerah Istimewa Yogyakarta.

4.2.2. Analisis Font pada Logo dan Tagline Baru City Branding Daerah Istimewa Yogyakarta

Pada logo baru city branding Daerah Istimewa Yogyakarta yang baru, menggunakan jenis huruf (font) yang diadopsi dari aksara Jawa dan dibuat khusus hanya untuk logo tersebut. Kata “jogja” didesain dengan ukuran yang lebih besar

(22)

dan lebih mirip dengan aksara Jawa. Sedangkan kata “istimewa” didesain dengan ukuran yang lebih kecil dengan huruf yang terlihat lebih sederhana.

Objek Penelitian

Gambar IV.5 Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Menggunakan Huruf yang Diadopsi dari Aksara jawa

Penanda Petanda

Jenis huruf yang digunakan adalah font original yang diadopsi berdasarkan Aksara Jawa.

Jenis huruf yang digunakan “jogja istimewa” untuk melambangkan egaliterisme, kesederajatan dan persaudaraan masyarakat Yogyakarta. 79 Aksara jawa, atau dikenal juga sebagai hanacaraka adalah salah satu jenis huruf tradisional yang merupakan ciri khas budaya Jawa. Oleh karenanya, huruf yang diadopsi dari aksara jawa tersebut menggambarkan bahwa logo baru tersebut mencerminkan budaya Jawa.

(23)

Dari hasil analisis di atas penulis mengkaji lebih lanjut mengenai jenis huruf yang tidak terpilih meskipun hampir dapat merepresentasikan citra yang ingin ditonjolkan, yaitu citra positif berupa egaliterisme, kesederajatan dan persaudaraan yang erat di Yogyakarta (paradigmatik dan sintagmatik).

Berbeda dengan logo sebelumnya yaitu pada tulisan “Jogja Never Ending

Asia”, huruf yang digunakan mengadopsi dari tulisan tangan dari Sri Sultan

Hamengkubuwono ke 10. Pada kata “Jogja” menggunakan huruf kapital dan pada kata “Never Ending Asia” menggunakan jenis huruf arial dengan percampuran huruf kapital dan huruf kecil. Jenis huruf ini tidak digunakan lagi karena tidak memberikan kesan baru sesuai tujuannya untuk melakukan rebranding Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, apabila diterapkan dengan 2 jenis huruf seperti pada logo sebelumnya dan dengan perpaduan antara huruf kapital dengan huruf kecil, unsur kesederhanaannya menjadi berkurang.

Times New Roman, yang merupakan salah satu jenis huruf dasar yang

berkarakter sederhana dan sering digunakan dalam penulisan naskah atau tulisan-tulisan resmi lainnya. Jenis huruf ini termasuk dalam kriteria jenis huruf yang digunakan pada logo baru city branding Yogyakarta, yaitu sederhana. Akan tetapi jenis huruf Times New Roman, masih dianggap tidak cocok untuk melambangkan egaliterisme, kesederajatan dan persaudaraan sesuai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan jenis huruf tersebut terlalu sederhana dan kurang bisa dikonstruksikan maknanya. Terlebih lagi Times New Roman identik dengan hal-hal yang formal dan juga kurang kreatif.

(24)

Jenis huruf Script menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Kesan yang ditimbulkannya adalah sifat pribadi yang akrab. Scrift yang berkarakteristik pribadi yang akrab, masih belum dianggap cocok untuk digunakan dalam logo dan tagline city branding Daerah Istimewa Yogyakarta karena jika menggunakan huruf tersebut, masih ada yang kurang tersampaikan dari maksud dan tujuan

rebranding Yogyakarta.

Hanacaraka dan Carakan adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Jika jenis huruf ini digunakan, maka akan mencerminkan kekentalan budaya Yogyakarta. Akan tetapi sasaran dari perubahan logo tersebut merupakan masyarakat global, yaitu seluruh Indonesia dan juga masyarakat mancanegara. Jika jenis huruf ini digunakan, maka yang mengerti atau dapat membaca dari tulisan yang dimaksud hanya orang-orang tertentu yang pernah mempelajari hanacaraka.

4.2.3. Analisis Warna pada Logo dan Tagline Baru City Branding Daerah Istimewa Yogyakarta

Warna dalam suatu logo dapat memberikan pengaruh terhadap psikologi dan juga emosi dari orang yang melihatnya. Warna juga merupakan salah satu bentuk dari komunikasi non verbal yang dapat mengungkapkan pesan-pesan yang dimaksudkan oleh pemilih warna pada logo tersebut.

(25)

Pemilihan warna logo “jogja istimewa” juga terbilang tidak mudah karena harus menyesuaikan dengan visi misi yang ingin ditampilkan pada logo tersebut hingga akhirnya terpilihlah satu warna yaitu merah bata. Warna ini juga digunakan pada logo Keraton Yogyakarta.

Objek Penelitian

Gambar IV.6 Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Menggunakan Warna Merah dan Latar Belakang Putih

Penanda Petanda

Warna logo didominasi dengan warna merah bata, yang merupakan percampuran warna primer merah dengan kuning.

Dalam psikologi warna, merah merupakan simbol dari energi, gairah, action, kekuatan dan kegembiraan.80 Dominasi warna merah mampu merangsang indra fisik seperti meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan semangat ataupun gairah. Dibandingkan dengan warna-warna yang digunakan sebelumnya yaitu hijau dan kuning, warna merah bata dianggap lebih

(26)

cocok untuk menggambarkan semangat baru masyarakat Yogyakarta.

Dasar atau background dari logo “jogja istimewa” adalah warna putih yang merupakan salah satu warna netral.

Logo berwarna merah di atas background berwarna putih dimaksudkan untuk mencerminkan bahwa Yogyakarta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan sejarah bangsa Indonesia.

Berdasarkan cara pandang ilmu psikologi, warna hijau sangat membantu seseorang yang berada dalam situasi tertekan untuk menjadi lebih mampu dalam menyeimbangkan emosi dan memudahkan keterbukaan dalam berkomunikasi. Hal ini diyakini sebagai efek rileksasi dan menenangkan yang terkandung dalam warna hijau. Dalam bidang desain, warna hijau memiliki nilai tersendiri karena dapat memberi kesan segar dan membumi terlebih jika dikombinasikan dengan warna coklat gelap. Pada lambang Daerah Istimewa Yogyakarta dilukiskan dengan warna hijau tua dan hijau muda, karena ada bagian ngarai yang subur dan ada daerah perbukitan yang kering.

Dari sisi psikologi, keberadaan warna kuning dapat merangsang aktivitas pikiran dan mental. Warna kuning sangat baik digunakan untuk membantu penalaran secara logis dan analitis sehingga individu penyuka warna kuning cenderung lebih bijaksana dan cerdas dari sisi akademis, mereka lebih kreatif dan pandai menciptakan ide yang original. Akan tetapi warna hijau dan kuning tidak digunakan kembali dalam logo baru tersebut. Hal ini dikarenakan Yogyakarta

(27)

ingin menonjolkan kesan semangat dan kebulatan tekad untuk bersama-sama membangun Daerah Istimewa Yogyakarta.

Warna merah merupakan simbol semangat dan keberanian. Sedangkan warna hijau dan kuning hanya menyimbolkan keseimbangan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu terpilihlah warna merah untuk logo dan tagline baru city branding Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selain warnah putih, ada beberapa warna netral lainnya seperti hitam. Secara pkologi warna hitam merupakan warna yang menggambarkan kegelapan, suram, menakutkan namun juga memiliki kesan elegan. Meskipun perpaduan warna merah dengan hitam terlihat elegan, akan tetapi latar belakang hitam dirasa kurang cocok untuk mewakili karakteristik yang ingin ditonjolkan pada logo baru

city branding Yogyakarta.

4.2.4. Analisis Bentuk (ukuran dan simbol) pada Logo dan Tagline Baru City

Branding Daerah Istimewa Yogyakarta

Bentuk adalah segala hal yang memiliki diameter tinggi dan lebar. Bentuk dasar yang dikenal banyak orang adalah kotak (rectangle), lingkaran (circle), dansegitiga (triangle). Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategorikanmenjadi tiga, yaitu: Bentuk Geometrik, yaitu bentuk yang segala sesuatu dapat diukur (balok, kubus, kerucut dan lainnya), Bentuk Natural, yaitu bentuk yang dapat berubah-ubah, berkembang dan tumbuh secara ukuran

(28)

(manusia, pohon, daun, bunga), Bentuk Abstrak, yaitu bentuk yang dapat berubah yang tidak sesuai dengan bentuk aslinya.81

Objek Penelitian

Gambar IV.7 Titik pada Huruf “j” Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Menggunakanperpaduanantara Biji dan Daun

Penanda Petanda

Titik pada huruf “j” merupakan perpaduan antara biji dan daun. 82

Perpaduan antara biji dan daun tersebut melambangkan keselarasan yang akan menjadi pedoman untuk pembangunan dengan alam.83

Perpaduan antara bentuk biji dan daun tersebut merupakan salah satu prinsip teori

81 Lia Anggraini S. dan Kirana Nathalia. Desain Komunikasi Visual: Dasar-Dasar Panduan Untuk

Pemula. Bandung: Nuansa Cendekia. 2014 hal. 32

82 Waizly Darwin. Jogja istimewa Visual Identity. (2015, 5 februari 2015). Diakses pada 2 Desember 2015 dari http://www.slideshare.net/waizly/jogja-istimewa-city-branding 83 Ibid.

(29)

Gestalt, yaitu similarity.

Menurut Gestalt84, mengenai similarity yaitu bentuk visual berdasarkan kesederhanaan (simple) dan stabilitas bentuk. Prinsipnya menekankan pada bentuk dasar seperti persegi panjang, lingkaran, dan segitiga. Sehingga otak yang menerima pesan visual tersebut akan menyelektif pada bentuk yang paling sederhana dan stabil.

Berdasarkan hasil analisis di atas, penulis menginterpretasikan mengenai unsur-unsur lain yang berkaitan atau bahkan memiliki kemiripan bentuk namun tidak terpilih (paradigmatik dan sintagmatik) yaitu berupa biji dan juga daun.

Filosofi biji dalam logo identik dengan melambangkan pangan dan mencerminkan kesejahteraan. Jika titik pada “j” hanya berbentuk biji tanaman saja, maka tidak dapat melambangkan makna dari keselarasan pembangunan seperti yang diharapkan pada logo baru karena hanya merepresentasikan kesejahteraan.

Sedangkan daun, identik dengan lambang atau merepresentasikan kesuburan. Jika titik pada huruf “j” hanya menggunakan simbol daun, maka yang

84 Chiipriscilla. Teori Gestalt dan Contructivism Pada Pesan Visual. (2014, 9 Maret) Diakses pada 2 Februari 2016 dari

(30)

ditekankan pada makna logo tersebut adalah kesuburan mengenai alam yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Citra yang ingin ditampilkan berdasarkan perpaduan biji dan daun tersebut adalah keselarasan dalam hal pembangunan. Jika biji ditanam, maka lama kelamaan akan tumbuh daun dari tunas tanamannya. Oleh karena itu ditetapkan untuk memadukan antara biji dan daun sebagai simbolnya.

Objek Penelitian

Gambar IV.8 Huruf “g” dan “j” pada Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Seperti Saling Memangku

Penanda Petanda

Huruf “g” dan “j” bentuknya seolah-olah saling memangku dan bersinggungan.

Huruf “g” dan “j” melambangkan semangat “Hamemayu Hayuning Bhawana” yaitu pedoman para pemimpin atau pengampu kebijakan dalam melaksanakan pembangunan dengan selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan

(31)

menjadikan dirinya sebagai pelayan rakyat yang sejati.85

Di dalam logo tersebut memanfaatkan huruf yang berdekatan dan juga memiliki kemiripan bentuk sehingga terlihat seperti saling memangku untuk menampilkan filosofi atau makna baru. Makna yang ingin ditonjolkan di logo tersebut adalah dasar dari pemerintah Yogyakarta untuk melaksanakan kewajibannya dengan ikhlas sebagai pelayan rakyat dan selalu mengutamakan rakyatnya.

Objek Penelitian

Gambar IV.9 Huruf “g” pada Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Menyerupai Angka 9

Penanda Petanda

Huruf “g” pada logo baru menggunakan huruf kecil yang kemudian menyerupai angka 9.

Huruf “g” kecil melambangkan 9 renaisance yang memuat 9 cita-cita pembangunan Yogyakarta di bidang pendidikan, pariwisata, teknologi,

85 Waizly Darwin. Jogja istimewa Visual Identity. (2015, 5 februari 2015). Diakses pada 2 Desember 2015 dari http://www.slideshare.net/waizly/jogja-istimewa-city-branding

(32)

ekonomi, energi, pangan, kesehatan, keamanan serta tata ruang dan pangan.86 Sudut kanan atas pada huruf “g”

terdapat lubang yang meruncing ke dalam dan siap tumbuh tunas baru.

Untuk melambangkan kelestarian alam, pada logo baru city branding Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan garis dan lekukan berupa lubang yang meruncing pada sudut kanan huruf “g”.87

Pada kata “jogja” menggunakan huruf kecil semua dengan alasan jika menggunakan huruf capital, maka huruf “g” juga akan menjadi “G” (kapital). Jika huruf “g” menggunakan huruf kapital maka akan menyerupai angka 6 dan tidak dapat mewakili lambang dari 9 renaisans yang merupakan visi misi sekaligus tujuan dari perubahan logo city branding Daerah Istimewa Yogyakarta. Rounded

archs adalah lengkung bulat yang mengesankan kekokohan88

Dalam hubungannya dengan elemen seni rupa, garis atau lekukan tertentu dibuat untuk mengungkapkan konsep. Jika pada sudut kanan huruf “g” tersebut menggunakan rounded archs atau lengkungan bulat, maka kesan yang ditampilkan adalah kesan kekokohan sehingga tidak ada kaitannya dengan makna yang diharapkan pada logo baru tersebut meskipun bentuknya hampir menyerupai karena terdiri dari lengkungan.

86 Ibid. 87 Ibid.

88 Kepheta. Arti Garis Warna dan Bentuk Pada Sebuah Logo. (2008, 31 Oktober) Diakses pada 12 Februari 2016 dari https://kepheta.wordpress.com/2008/10/31/arti-garis-warna-dan-bentuk-pada-sebuah-logo

(33)

Objek Penelitian

Gambar IV.10 Tulisan “jogja” pada Logo dan Tagline Baru City Branding DIY Lebih Besar daripada “istimewa”

Penanda Petanda

Tulisan “jogja istimewa” menggunakan huruf kecil namun kata “jogja” memiliki ukuran lebih besar dari pada kata “istimewa”.

Selain karena “jogja” merupakan kata yang dianggap mudah dilafalkan, Yogyakarta sebagai daerah yang melakukan rebranding dan ingin lebih mempopulerkan daerahnya perlu lebih menonjolkan kata “jogja” untuk mempertegas nama wilayah yang perlu diingat oleh banyak orang.

Seperti logo terdahulunya, kata “jogja” pada “Jogja Never Ending Asia” juga dibuat lebih besar ukuran hurufnya dibandingkan kata ”Never Ending Asia”. Hal ini dikarenakan kata “jogja” adalah kata yang paling diingat oleh semua kalangan, di samping “jogja” adalah nama lain yang mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika kata “istimewa” yang ditampilkan dengan ukuran huruf lebih besar dari pada kata “jogja” maka tujuan dari city branding tersebut tidak dapat terwujud karena orang akan fokus pada tulisan yang lebih besar.

(34)

4.3. Pembahasan

Logo dan tagline baru city branding Daerah Istimewa Yogyakarta telah berpengaruh terhadap daya tarik pariwisata Yogyakarta saat ini. Dengan melakukan rebranding melalui perubahan logo dan tagline, secara tidak langsung turut mengubah kinerja pemerintahannya untuk terus mempopulerkan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya melalui sektor pariwisata. Hal ini terbukti bahwa Yogyakarta menjadi destinasi terpopuler ke 3 di Indonesia setelah Bali dan Jakarta, berdasarkan Travelers Choice Top Destination 2016 yang diadakan oleh www.tripavisor.co.id.89

Hasil penelitian pada logo dan tagline “jogja istimewa” dianalisis sebagai penanda dan petanda menggunakan analisis semiotika Ferdinand De Saussure. Berdasar hasil analisis tersebut, maka penulis dapat memaparkan makna logo dan

tagline baru dari city branding Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan

citra positif dari masing-masing aspek berupa teks, font, bentuk dan warna.

Tabel IV.1 Analisis Gabungan Tanda dan Makna

KATEGORI TANDA MAKNA

Teks Logo dan tagline baru dari city

branding Yogyakarta berupa

1. Kata “jogja” merupakan sebutan lain untuk

89 TripAdvisor® adalah situs wisata terbesar di dunia yang membantu wisatawan merencanakan dan memesan perjalanan impian. TripAdvisor menawarkan saran dari jutaan wisatawan serta berbagai pilihan dan fitur perencanaan wisata dengan link cepat ke alat bantu pemesanan yang memeriksa ratusan situs web untuk mencari harga hotel terbaik. Situs web TripAdvisor merupakan komunitas wisata terbesar di dunia yang menjangkau 340 juta pengunjung unik setiap bulannya, serta menampilkan lebih dari 350 juta ulasan dan opini tentang 6,5 juta akomodasi, restoran, dan objek wisata. Situs ini beroperasi di 48 negara di seluruh dunia.

(35)

tulisan “jogja istimewa” Yogyakarta yang dianggap mudah dalam pelafalannya karena tujuan rebranding ini juga ingin mempopulerkan Yogyakarta di kancah Internasional.

2. Istimewa, yang berarti beda dari yang lain. Istimewa yang dimaksud bukan sekedar dalam status politik, namun menjadi dasar dalam kehidupan di masyarakat Yogyakarta agar bisa menjadi lebih baik dari yang lain.

Font Logo “jogja istimewa”

menggunakan jenis huruf original yang diadopsi berdasarkan Aksara Jawa.

Jenis huruf tersebut dimaksudkan untuk mewakili kekuatan akar budaya masyarakat Yogyakarta. Bentuk

(ukuran dan

1. Titik pada huruf “j” merupakan perpaduan

1. Perpaduan bentuk biji dan daun pada huruf “j”

(36)

simbol) bentuk biji dan daun.

2. Huruf “g” dan “j” seperti saling memangku dan bersinggungan

melambangkan semangat “Hamemayu Hayuning Bhawana”.

3. Huruf “g” menggunakan huruf kecil agar menyerupai

angka 9 untuk

mencerminkan 9

renaisance. Selain itu di sudut kanan atas terdapat lubang yang bentuknya meruncing ke dalam.

4. Tulisan “jogja” berukuran lebih besar daripada tulisan “istimewa”.

dimaksudkan sebagai apabila kita menanam biji, maka akan tumbuh tunas baru berupa daun. Hal ini melambangkan pedoman untuk yang lestari dan selaras dengan alam.

2. Huruf “g” dan “j” yang saling memangku dan bersinggungan untuk melambangkan pedoman bagi setiap pemimpin dan pengampu kebijakan untuk selalu menjadikan dirinya sebagai “pelayan rakyat sejati” dalam mewujudkan pembangunan.

3. Angka 9 yang digambarkan pada huruf “g” memiliki makna 9 renaisance yang dimanifestasikan dalam gerakan “Jogja Gumregah” dalam bidang:

(37)

(1) Pendidikan, (2) Pariwisata, (3) Teknologi, (4) Ekonomi, (5) Energi, (6) Pangan, (7) Kesehatan, (8) Keterlindungan Warga dan (9) Tata Ruang dan Lingkungan.

4. Tulisan “jogja” lebih besar daripada tulisan “istimewa” dimaksudkan agar

masyarakat ataupun wisatawan akan selalu mengingat kota Yogyakarta yang istimewa. Bukan sekedar istimewa

berdasarkan geografisnya saja, namun didukung oleh masyarakat dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Warna Warna tulisan pada logo “jogja istimewa” adalah merah bata. Sedangkan backgroundnya

Warna merah bata sebagai warna pelambang keratin dan spirit keberanian untuk

(38)

adalah warna putih. mewarnai era modern dan masa depan namun tetap berbekal akar budaya dan sejarah masa lalu.

Sedangkan warna merah di atas background warna putih untuk menggambarkan Yogyakarta selalu menyimpan ruh ke-Indonesia-an yang berdiri kokoh di atas sejarah panjang kebudayaan unggul Nusantara.

Untuk menanamkan semangat perubahan di benak masyarakat, maka pemerintah daerah melakukan city branding. Dalam proses branding ini, kota atau suatu wilayah digambarkan dengan suatu identitas atau brand identity. Melalui

brand identity inilah sejarah, budaya, karakter dan kondisi sosial di suatu wilayah

direpresentasikan ke dalam komunikasi visual berupa logo dan juga verbal melalui slogan (tagline).

Makna pada logo dan tagline “jogja istimewa” terdapat unsur budaya jawa yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat terlihat jelas pada jenis huruf yang digunakan yang diadopsi dari huruf aksara Jawa. Semangat dari masyarakat dan juga pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga ditunjukkan melalui pemilihan

(39)

warna merah bata yang merupakan warna yang digunakan juga pada lambing keratin Yogyakarta. Sedangkan rasa cinta dan bangganya Yogyakarta terhadap sejarah bangsa Indonesia, ditunjukkan pada logo yang berwarna merah berlatar belakang putih.

Rasa bangga terhadap Yogyakarta juga diperkuat dengan pemilihan

tagline “jogja istimewa”. Tagline tersebut merepresentasikan citra keistimewaan

yang dimiliki Yogyakarta tidak hanya dari segi geografis yang merupakan kota sejarah, namun melalui kesederhanaannya, keramahan masyarakat sekitar, dan kenyamanan bagi siapapun yang singgah ataupun tinggal di kota tersebut. Citra positif inilah yang ingin dibentuk untuk lebih mempopulerkan Yogyakarta sebagai kota yang istimewa di mata dunia.

Menurut Herry Zudianto, Branding ini harapannya menjadi citizen

branding. Ini akan menjadi simbol gerakan seperti yang dilandasi gagasan Sultan

pada arah pembangunan Jogja Renaisans dan Sabda Tama.90

Rebranding Yogyakarta tidak sekedar mengubah logo dan tagline dari city branding akan tetapi didukung dengan pergantian arah pembangunan dari

Yogyakarta saat ini. Hal ini dapat dilihat dari sektor pariwisatanya, Yogyakarta bukan hanya mempertahankan yang sudah ada namun juga mulai membangun daerah-daerah wisata baru. Dari segi perekonomian, semakin banyak para pengusaha yang tertarik membuka usahanya di Yogyakarta bahkan kedai kopi ala café, yang identik dengan perkotaan, juga mulai banyak di Yogyakarta.

90 Jogja Kedepankan Keistimewaan Pada Logo Baru. (2015, 3 Oktober) Diakses pada 30 Mei 2016 dari http://jogjaistimewa.co/jogja-kedepankan-keistimewaan-dalam-logo-baru/

(40)

Saat masih menggunakan Jogja Never Ending Asia, citra yang dibentuk lebih mengarah kepada fungsi pemasaran dan pendukung sektor pariwisata. Akan tetapi pemahaman akan slogan yang digunakan masih sangat minim, baik di kalangan umum maupun akademisi. Kurangnya pemahaman mengenai filosofi dari slogan dan juga simbol-simbol yang digunakan memunculkan pendapat bahwa slogan tersebut tidak relevan atau tidak mencerminkan potensi Yogyakarta. Bahkan slogan Never Ending Asia dianggap terlalu berat bagi Yogyakarta dan juga tidak mencerminkan bagian dari Indonesia.

Pada logo dan tagline baru city branding Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu “jogja istimewa” citra yang dibentuk lebih ke nilai-nilai keistimewaan yang ada di internal Yogyakarta sebagai bagian dari Indonesia. Oleh karena itu

rebranding ini harus didukung penuh dari internalisasi maupun dari dalam diri

Gambar

Gambar IV.1 Logo Jogja Never Ending Asia 57
Gambar IV..2 Logo city branding Yogyakarta yang dirancang oleh tim ahli Hermawan  Kartajaya, pakar marketing sekaligus CEO dan founder MarkPlus Inc
Gambar IV.3 Logo dan Tagline Baru City branding Daerah Istimewa  Yogyakarta 67
Gambar IV.4 Logo Baru City Branding DIY Berupa Teks dengan tagline “jogja  istimewa”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kami telah mengaudit posisi keuangan Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Utara (Yayasan PBSU) tanggal 31 Desember 2008 dan2007 serta laporan aktivitas

Istri wajib mendapatkan tempat tinggal dan peralatannya sesuai dengan kemampuan dan keadaan suami baik kaya, miskin dan kesederhanaan atau berkecukupan suami. Jika suami

Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan prestasi akademik mencakup faktor kognitif dan faktor non

Memberikan masukan kepada para pemandu katekese/pendalaman iman di Lingkungan Santo Paulus Paroki Santa Maria Pengantara Lahat bahwa tayangan “Penyejuk Imani Katolik”

Dari hasil pembahasan mengenai penelitian kinerja guru PJOK SMP Negeri se-Kota Blitar, berdasarkan persepsi kepala sekolah dan pengawas serta pengukuran kadar keguruan

Medan Merdeka Selatan 8-9 , Gedung Balaikota, Blok G Lt 2, Jakarta Pusat 10110 7 Ruang Menza Badan Diklat Provinsi DKI.

Penilaian masyarakat pembangunan riko cukup efektif pada item pertanyaan: bangunan memberikan rasa nyaman, rehabilitasi hunian cepat, jangka waktu pembangunan,

Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman