• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1 Kitosan komersil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1 Kitosan komersil"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kitin dan Kitosan

Kitin sebagai sumber awal kitosan merupakan biopolimer yang cukup melimpah di alam. Sebagian besar kitin dapat diperoleh dari krustasea laut, misalnya kepiting, udang, oyster dan cumi-cumi (Yi et al. 2005). Kitosan merupakan produk awal dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan kitosan memiliki potensi industri yang cukup besar. Kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan polisakarida yang tidak larut air serta merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi. (Kofuji et al. 2005).

Kitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan β-(1-4), tidak toksik dengan LD50

setara dengan 16 g/kg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al. 2007). Adapun Gambar kitosan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kitosan komersil

Proses deasetilasi merupakan suatu tahapan yang bertujuan untuk menghilangan gugus asetil dari kitin menjadi kitosan yang dapat dilakukan dengan proses kimiawi dan enzimatis. Secara kimiawi dilakukan dengan penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase (Chang et al. 1997). Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif sehingga kitosan

(2)

bersifat polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan menyebabkan kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999). Struktur kitin dan kitosan disajikan pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2 Struktur kimia (a) kitin dan (b) kitosan (Sumber: Robert 1992)

2.1.1 Sifat fisika dan kimia kitosan

Kitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan β-(1-4), tidak toksik dengan LD50

setara dengan 16 g/kg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al. 2007). Menurut Janesh (2003) diacu dalam Suptijah (2006), kitosan dapat dikelompokkan berdasarkan BM (bobot molekul) dan kelarutannya, yaitu :

(3)

a. Kitosan larut asam dengan BM 800.000 Dalton sampai 1.000.000 Dalton b. Kitosan mikrokristalin (larut air) dengan BM sekitar 150.000 Dalton c. Kitosan nanopartikel (larut air) dengan BM 23.000 Dalton sampai 70.000

Dalton dan dapat berfungsi sebagai imunomodulator.

Kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan kualitas sifat instrinsik yaitu kejernihan atau kemurnian, berat molekul, viskositas dan derajat deasetilasi. Sifat dan karakteristik kitosan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat dan mutu kitosan

Sifat Nilai

Ukuran partikel Serpihan/bubuk

Kadar air (% berat kering) ≤ 10% Kadar abu (% berat kering) ≤ 2%

Warna larutan Jernih

Derajat deasetilasi (DD) (%) ≥ 70% Viskositas(cps)  Rendah  Medium  Tinggi  Ekstra tinggi <200 200-799 800-2000 >2000 Sumber : Suptijah et al. (1992)

Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu yang menunjukkan gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil yang terdapat dalam kitosan tersebut semakin sedikit (Knoor 1982 diacu dalam Rochima et al. 2004). Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka berat molekulnya akan semakin rendah dan sebaliknya interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat (Ornum 1992). Larutan NaOH yang digunakan dalam proses deasetilasi mampu mengubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang. Penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi (DD) tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rochima et al. (2004) semakin tinggi suhu dan lama perendaman dengan larutan NaOH akan meningkatkan derajat deasetilasi, karena gugus fungsional amino (-NH3+) yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin aktif. Oleh karena itu, proses deasetilasi akan semakin sempurna (Arlius 1991).

(4)

Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofobik, memiliki reaktifitas yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus OH dan NH2 yang bebas dan ligan yang bervariasi. Kumpulan gugus

hidroksil (hidroksil pertama pada C-6 dan hidroksil kedua pada C-3) serta gugus amino yang sangat reaktif (C-2) atau N-asetil yang seluruhnya terdapat pada kitin (Prashanth dan Tharanathan 2007). Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan memiliki muatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Rinaudo 2006). Kitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral.

Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik misalnya asam asetat, asam format dan asam laktat. Kitosan larut dalam 1% asam hidroklorit tetapi sukar larut dalam asam sulfur dan asam fosfat. Filar dan Wirk (1978) diacu dalam Arlius (1991) menyatakan bahwa kitosan memiliki sifat yang larut dalam asam tetapi tidak larut dalam asam sulfat pada suhu kamar. Kitosan juga larut dalam beberapa pelarut asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik . Pelarut kitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0,2%-1,0%. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat atau asam cuka dengan konsentrasi 1%-2%. Kitosan larut dalam asam mempunyai keunikan yaitu membentuk gel yang stabil dan mempunyai dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH. Karakterisasi kitosan dapat ditentukan dari kelarutannya dalam asam lemah misalnya asam asetat. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2% dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang et al. 2007).

Kitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang terdapat pada kitosan. Karena kemampuannya tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur. Kitosan memiliki kemampuan yang sama dengan bahan pembentuk tekstur lain seperti CMC (karboksil metil selulosa)

(5)

dan MC (metil selulosa) yang dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas (Tang et al. 2007).

2.1.2 Penggunaan kitosan

Kitin dan kitosan telah digunakan secara luas. Abdou et al. (2007) menyatakan bahwa kitosan dapat dimanfaatkan pada berbagai bidang, diantaranya pada industri tekstil dan kertas, karena sifatnya yang biodegradable dan memiliki aktifitas antibakteri. Selain itu, kitosan dapat dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi yaitu sebagai imobilisasi enzim, medium kultur tumbuhan, bidang obat-obatan dan kesehatan, bidang kecantikan serta bidang pangan. Beberapa turunan serta penggunaan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Penggunaan kitosan dan turunannya dalam industri

Aplikasi Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian

Industri edible film

Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba,

antioksidan, flavor, obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan kegiatan browning enzimatis pada buah.

Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer dan penstabil warna.

Sifat nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan pada ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grasitis (radang lambung) dan sebagai bahan makanan bayi.

Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida dan penjernihan. Sumber : Shahidi et al. diacu dalam Suptijah et al. (1992)

2.1.3 Karakteristik kitosan sebagai antimikroba

Kitosan dan turunannya telah dimanfaatkan untuk berbagai bidang misalnya pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian dan sebagainya. Kitosan memiliki keunggulan, yaitu memiliki struktur yang mirip dengan serat selulosa yang terdapat pada buah dan sayuran. Keunggulan lain yang sangat penting adalah kemampuannya sebagai bahan pengawet yang dapat mengahambat berbagai pertumbuhan mikroba perusak makanan, kitosan juga dapat menghambat

(6)

pertumbuhan berbagai mikroba penyebab penyakit tifus yang resisten terhadap antibiotik yang ada (Yadaf dan Bhise 2004 diacu dalam Hardjito 2006).

Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat selektif permeable terhadap gas-gas CO2 dan O2, tetapi kurang mampu

menghambat perpindahan air. Pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air, tetapi efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas (Nisperroscarriedo 1995 diacu dalam Herjanti 1997). Dalam bidang pangan, kitosan dimanfaatkan sebagai edible coating (pelapis) pada makanan dan buah segar sehingga proses pembusukan dapat dikurangi (Nadarajah 2005). Penelitian Simpson (1997) juga menunjukkan bahwa udang segar mentah yang dicelupkan ke dalam larutan kitosan 1% dan 2% bertahan 4 hari lebih lama dibandingkan udang tanpa kitosan.

Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biokompatibel, tidak mengandung racun dan banyak digunakan dalam industri. Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami dan beberapa studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba. Secara umum mekanisme penghambatan senyawa antimikroba diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) interaksi dengan merusak membran sel, (2) inaktifasi enzim-enzim dan (3) perusakan bahan-bahan genetik mikroba (Coma et al. 2002). Menurut Thatte (2004) sifat kitosan sebagai antimikroba dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya sumber kitosan, derajat deasetilasi (DD) kitosan, unit monomer kitosan, mikroba uji, pH media tumbuh mikroba dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang dibutuhkan mikroba). Sifat antibakteri kitosan dengan berat molekul 479 kDa efektif untuk bakteri gram positif kecuali pada Lactobacillus sp, sedangkan kitosan dengan berat molekul 1106 kDa lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Kitosan dengan berat molekul yang lebih besar dari 500 kDa memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah, karena kitosan dengan berat molekul tinggi memiliki viskositas yang lebih besar menyebabkan kitosan sulit untuk berdifusi dalam bahan. Umumnya kitosan memiliki efek bakterisidal lebih kuat untuk bakteri gram positif misalnya Listeria monocytogenes, Bacillus megaterium, Bacillus aureus, Staphylococcus aureus, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus

(7)

brevis, and Lactobacillus bulgaris dibandingkan bakteri gram negatif, misalnya Escherichia coli, Pseudomonas fluorescens, Salmonella typhymurium dan Vibrio parahaemolyticus dengan konsentrasi larutan kitosan yang dibutuhkan sebesar 0,1% (No et al. 2002).

Kitosan digunakan sebagai antibakteri mengingat beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan terhadap produk atau bahan pangan sehingga akan meminimalkan interaksi antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Hadwiger dan Loschke 1978 diacu dalam Hardjito 2006).

Sifat afinitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri atau mikroorganisme tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar (No et al. 2002). Kitosan sebagai polikationik amin akan berinteraksi dengan kutub negatif dari lapisan sel bakteri (Young dan Kauss 1983 diacu dalam Chaiyakosha et al. 2007). Helander et al. (2001) menyatakan bahwa reduksi sejumlah sel bakteri disebabkan oleh perubahan permukaan sel dan kehilangan fungsi pelindung dalam sel bakteri tersebut. Bakteri gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsai et al. (2002), menemukan bahwa kitosan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Adanya penghambatan ini disebabkan oleh adanya sifat keelektronegatifan dari permukaan sel E. coli. Perubahan dalam potensial permukaan E. coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun sifat keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner.

(8)

2.2 Daging

Daging didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSN 2008). Daging segar (pre-rigor) yaitu daging yang diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan (Sunarlim 1992). Fase pre-rigor pada suhu ruang berlangsung 5 sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (post mortem), tergantung dari besar kecilnya hewan yang dipotong. Pada mamalia besar misalnya sapi fase pre-rigor berlangsung kurang lebih 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975). Menurut Forrest et al. (1975), pada fase pre-rigor jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan fase rigor mortis. Wilson et al. (1981) menyatakan bahwa daging pre-rigor memiliki daya ikat air yang lebih tinggi, sehingga permukaan produk yang dihasilkan tidak basah dan pada kondisi ini pH daging relatif tinggi yaitu 6,5–6,8 menyebabkan protein sarkoplasma tidak mudah rusak dan tidak mudah kehilangan daya ikat air. Protein sarkoplasma mulai mengalami kerusakan pada pH kurang dari 6,2. Daging sapi memiliki daya ikat air atauWHC minimum pada pH 5,4 –5,5 dimana pH tersebut merupakan titik isoelektrik protein sarkoplasma.

Mutu mikrobiologis dari suatu produk makanan salah satunya ditentukan oleh jumlah dan jenis mikrobiologi yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Mutu mikrobiologis ini akan menentukan ketahanan simpan dari suatu produk dan cara pengolahannya. Populasi mikrobiorganisme yang terdapat pada suatu bahan pangan umumnya bersifat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al. 1985). Daging konsumsi tidak sepenuhnya terbebas dari mikroorganisme. Dewan Standarisasi Nasional menentukan batasan maksimum cemaran mikroorganisme dalam daging untuk menjaga keamanan pangan. Batas maksimum cemaran mikroba pada daging disajikan pada Tabel 3 dan syarat mutu mikrobiologis daging sapi disajikan pada Tabel 4.

(9)

Tabel 3 Batas maksimum cemaran mikroba pada daging (cfu/g)

No Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba Daging segar/beku Daging tanpa tulang 1. Angka lempeng total bakteri

(ALTB)

1x104 1x104

2. Escherichia coli* 5x101 5x101

3. Staphylococcus aureus 1x101 1x101

4. Clostridium sp. 0 0

5. Salmonella sp.** negatif negatif

6. Coliform 1x102 1x102

7. Enterococci 1x102 1x102

8. Campylobacter sp. 0 0

9. Listeria sp. 0 0

Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram (**) dalam satuan kualitatif Sumber: BSN (2000)

Tabel 4 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Total Plate Count (TPC) cfu/g 1x106

2. Coliform cfu/g 1x102

3. Staphylococcus aureus cfu/g 1x102

4. Salmonella sp. per 25 g negatif

5. Escherichia coli cfu/g 1x101

Sumber: BSN (2008) 2.3 Edible Coating

Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2 (Bourtoom 2008). Edible

coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan efek yang sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan komposisi gas internal. Keberhasilan edible coating untuk buah tergantung pada pemilihan film atau coating yang memberikan komposisi gas internal yang dikehendaki sesuai untuk produk tertentu (Park 2002). Komponen edible coating terdiri dari tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat, pektin, tepung (starch) dan polisakarida lainnya,

(10)

sedangkan lipid terdiri dari lilin (waxs), asilgliserol dan asam lemak (Krochta dan Mulder-Johnston 1997).

Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk misalnya buah-buahan dan sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan mutu produk. Hal yang sama juga dikemukakan oleh McHugh dan Senesi (2000), bahwa edible coating berfungsi sebagai penahan (barrier) dalam pemindahan panas, uap air, O2 dan CO2 atau dengan adanya penambahan bahan

tambahan misalnya bahan pengawet dan zat antioksidan maka dapat dinyatakan bahwa kemasan tersebut memiliki kemampuan antimikroba dan antioksidan. Wong et al. (1994) menyatakan, bahwa secara teoritis bahan edible coating harus memiliki sifat antara lain, menahan kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi, berfungsi sebagai pengawet dan mempertahankan warna sehingga menjaga mutu produk. Kemasan dengan sifat antimikroba diharapkan dapat mencegah kontaminasi patogen dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang terdapat dalam permukaan bahan pangan. Substansi antimikroba yang diformulasikan dalam bahan pangan atau pada permukaan bahan pangan tidak cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam bahan pangan (Ouattara et al. 2000).

Kitosan merupakan salah satu jenis polisakarida turunan kitin mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas (Butler et al. 1996). Jenis kemasan yang banyak dibuat dari kitosan adalah jenis edible film atau coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan kitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan. Sifat lain dari kitosan sebagai bahan edible coating adalah sebagai penahan (barrier) yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya. Sifat barrier kitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya. Kitosan juga mempunyai sifat antimikrobial dan biodegradable (Steinbüchel dan Rhee 2005 diacu dalam Bourtoom 2008). Menurut Alamsyah (2006) diacu dalam Suptijah et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan kitosan sebagai bahan

(11)

pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial. Menurut, Durango et al. (2006) menyebutkan penggunaan kitosan 1,5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total coliform, kamir dan kapang selama penyimpanan.

Beberapa teknik aplikasi edible coating menurut Krochta et al. (1994), yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Proses ini biasanya digunakan dalam produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan setelah coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak buah dan sayuran.

2. Penyemprotan (sprying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan tipis dan biasa digunakan untuk produk yang mempunyai dua sisi, seperti pada produk pizza.

3. Pembungkusan

Teknik ini digunakan untuk pembentukan film yang berdiri sendiri atau terpisah dari produk. Teknik ini diadobsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan

4. Pemolesan (brushing).

Teknik ini digunakan untuk memoleskan edible coating pada produk. Edible film atau coating telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi kehilangan akan air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk. Sehingga ini menjadi salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat ditingkatkan lagi dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah.

Gambar

Gambar 1 Kitosan komersil
Gambar 2 Struktur kimia (a) kitin dan (b) kitosan
Tabel 1 Sifat dan mutu kitosan
Tabel 2 Penggunaan kitosan dan turunannya dalam industri
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mashita (2015) bahwa reaksi seorang ibu saat pertama kali mendapati anaknya tidak sempurna adalah sangat

Natalina Aritonang : Kajian Kuantitatif Pelapukan Pedokimia(C → A)pada Tanah Berbahan Induk Tuff Dasit di

Bersyukur kepada Tuhan untuk pimpinan dan berkat-Nya, maka Semester Genap tahun Akademis 2011 akan diakhiri dengan Kebaktian Pengutusan Mahasiswa STT IMAN akan diadakan pada hari

dilakukan survei kepada calon nasabah yang ingin mengajukan pembiayaan apakah calon anggota tersebut layak atau tidak mendapatkan dana pembiayaan dari pihak BMT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian yoghurt kacang tunggak dengan kandungan isoflavon selama 8 minggu dapat mencegah peningkatan kadar kolesterol

 Mengembalikan nilai indeks dari karakter pertama yang berhasil ditemukan dari suatu substring dalam suatu string yang diawali indeks pada argumen kedua. Estu Sinduningrum,

package predefinedclasses; import java.io.BufferedReader; import java.io.DataOutputStream; import java.io.IOException; import java.io.InputStreamReader;

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh konsumsi tablet besi dengan kadar Hb remaja putri anemia di SMA Negeri 01 Doro Kabupaten