PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai daerah tropis memiliki sekitar 90% dari 7000 spesies tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat dan di antaranya adalah daun dewa (Badan POM 2001). Sebagian besar (hampir 80%) dari tumbuhan obat tersebut telah dipergunakan sebagai obat-obatan tradisional meskipun belum diuji secara klinis (Simanjuntak 1998). Negara-negara yang sudah maju banyak memanfaatkan sumber hayati dari daerah tropis untuk pengembangan ilmu biologi terapan seperti farmakologi dan bioteknologi dalam bidang rekayasa genetika (Posey dan Dutfield 1996), sehingga negara-negara berkembang di daerah tropis seperti Indonesia berpotensi menjadi konsumen bahan tanaman dan bahan baku obat dari negara-negara yang lain. Sebagai upaya untuk mengimbangi kemajuan teknologi di bidang tumbuhan obat pada negara-negara berkembang, maka perlu dilakukan penelitian dan uji klinis secara berkelanjutan.
Tanaman daun dewa mengandung berbagai unsur kimia, antara lain saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan antikoagulan. Oleh karena itu daun dewa mempunyai banyak kegunaan dan salah satunya adalah untuk mengatasi stroke. Selain stroke, daun dan umbi tanaman daun dewa juga memiliki khasiat sebagai obat untuk: rematik, kencing manis, mencairkan darah yang membeku pada luka sekaligus menghentikan pendarahan dan pembengkakan payudara, membersihkan racun, mengatasi peradangan pada jaringan tubuh, seperti radang pankreas pada penderita diabetes militus dan infeksi herves (Hembing et al. 1996; Soedibyo 1998; Lemmens dan Bunyapraphatsara 2003; Kardinan dan Taryono 2003).
Cahaya merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena selain berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai pengendali, pemicu dan modulator respon morfogenesis khususnya pada tahap awal pertumbuhan tanaman (McNellis dan Deng 1995). Spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman berkisar antara panjang gelombang 400-700 nm, yang biasa disebut
photosynthetically active radiation (PAR).
Hasil penelitian Nirwan et al. (2007) pada tanaman daun dewa menunjukkan bahwa terjadi perubahan mekanisme adaptasi tanaman daun dewa antara yang tumbuh pada cahaya 100% dan dalam naungan dengan periode pencahayaan yang berbeda-beda. Jumlah stomata, jumlah trichoma dan tebal daun cenderung lebih rendah pada
naungan yang semakin tinggi dibanding dengan cahaya yang 100%. Kandungan enzim superoxide dismutase (SOD) mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya persentase naungan, sedangkan rasio klorofil a/b semakin rendah dan kloroplas mengalami pembengkakan (dilatasi). Struktur kloroplas antara 50 dan 25% naungan memiliki bentuk yang proposional. Naungan dan periode pencahayaan optimum yang menghasilkan antosianin, total flavonoid kasar (17.371%) dan kadar kuersetin tertinggi adalah naungan 50% dibandingkan dengan periode pencahayaan 25 dan 100%.
Disamping pengaturan intensitas cahaya (naungan) untuk mendukung pertumbuhan di lapang, pemberian unsur hara melalui pemupukan sangat penting untuk mekanisme produksi bioaktif (flavonoid/ antosianin) pada tanaman daun dewa. Magnesium dan sulfur yang merupakan unsur hara yang akan dicobakan pada penelitian ini memiliki peran spesifik pada mekanisme produksi senyawa flavonoid. Menurut Hornok (1992) sulfur dalam bentuk SO42- merupakan elemen esensial dalam sintesis
protein dan produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid, sedangkan magnesium dapat membentuk senyawa cianidin Mg-compleks yang merupakan salah satu aglikon antosianin (Vickery dan Vickery 1981). Penambahan kandungan Mg dalam tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk Mg yaitu kieserit (magnesium sulfate/ MgSO4.H2O) dengan kandungan 29% Mg
dan 23% S. Penentuan dosis magnesium dan sulfur yang tepat untuk meningkatkan kandungan flavonoid daun dewa sangat penting untuk diketahui.
Tujuan
(1) Mengetahui pengaruh naungan terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi antosianin daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC).
(2) Mengetahui pengaruh dosis pupuk MgSO4.H2O terhadap pertumbuhan tanaman dan
produksi antosianin tanaman daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC).
(3) Mengetahui pengaruh interaksi antara naungan dan dosis pemupukan MgSO4.H2O
terhadap pertumbuhan dan produksi kandungan senyawa bioaktif tanaman daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC).
Hipotesis
(1) Ada periode naungan terbaik yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi senyawa bioaktif tanaman daun dewa (Gynura pseudochina (L) DC).
(2) Ada dosis pupuk MgSO4.H2O terbaik yang menghasilkan pertumbuhan dan
(3) Ada interaksi terbaik naungan dan dosis pemupukan MgSO4.H2O terhadap
pertumbuhan dan produksi senyawa bioaktif tanaman daun dewa (Gynura
pseudochina (L) DC).
TINJAUAN PUSTAKA
Botani, Penyebaran Dan Manfaat Daun Dewa
Daun dewa disebut Gynura procumbens (back), mempunyai nama sinonim
Gynura pseudochina (L) DC, merupakan tanaman asli Birma Dan China. Menurut
Winarto (2003), tanaman dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi Spermatophyta; Sub Divisi Angiospermae; Kelas Dicotyledonae; Sub Kelas Sympetalae; Bangsa Asterales/Campanulatae; Suku Asteraceae/Compositae; Marga Gynura; Jenis Gynura
kedalam famili asteraceae, marga gynura, tinggi mencapai 40-75 cm dan tumbuh tegak, berbatang pendek dan lunak, berbentuk segi lima, penampang lonjong, berambut halus dan berwarna ungu kehijauan.
Gambar 1 Gynura pseudochina (L) DC
Daunnya termasuk tunggal, tersebar mengelilingi batang, bertangkai pendek, berbentuk bulat lonjong, berbulu halus, ujung lancip, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, berwarna hijau, panjang daun sekitar 20 cm dan lebar 10 cm. Bunganya termasuk bunga majemuk yang tumbuh di ujung batang, bentuk bongkol, berbulu, kelopak hijau berbentuk cawan, benang sari kuning dan berbentuk jarum. Akarnya merupakan akar serabut, berwarna kuning muda, membentuk umbi sebagai tempat cadangan makanan (Winarto 2003; Heyne 1987). Daerah pertumbuhan daun dewa tersebar mulai dataran rendah sampai dataran tinggi yang mencapai ketinggian 1-1200 m di atas permukaan laut (dpl), namun paling banyak ditemui pada ketinggian 500 m dpl. Daun dewa menghendaki iklim pertumbuhan berupa curah hujan dengan kisaran 1500-3500 mm/tahun (iklim sedang sampai basah), tanah agak lembab sampai lembab serta subur (Syukur dan Hermani 2001)
Menurut Heyne (1987) daun dewa merupakan tanaman asli dari Birma dan China, di Indonesia dikenal dengan nama beluntas cina (nama lokal). Di pulau Jawa (Burkill 1953) tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman berkhasiat obat. Hasil pengamatan habitat daun dewa oleh Hidayat (2000) di daerah Aceh, tanaman ini tumbuh secara liar pada daerah kisaran suhu 22-26°C, kelembaban 67-90%, pH tanah 6.6-7 dan cahaya yang masuk 75-90%, sedangkan di daerah Sulawesi Tengah daun dewa tumbuh pada ketinggian 840-1250 m dpl, suhu 25-30°C, kelembaban 75-85% dan cahaya yang masuk 50-75%. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung, karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya yang rendah.
Daun dewa merupakan tanaman obat yang banyak dimanfaatkan karena banyak khasiatnya antara lain untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit, menyembuhkan migraine, hepatitis B dan anti tumor atau anti kanker. Di samping itu air perasan daun dewa dapat digunakan sebagai penurun panas dan menghilangkan bengkak-bengkak. Secara tradisional daun dewa telah banyak digunakan sebagai obat anti kanker. Pembuktian pada penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak daun dewa mampu menghambat pertumbuhan tumor pada mencit (tikus) (Suharmiati dan Maryani 2003). Pada habitat asalnya, tanaman ini digunakan sebagai sumber sayuran sehat, sedangkan di pulau Jawa digunakan sebagai sumber obat khususnya untuk penyakit ginjal (Heyne 1987). Daun dan umbi tanaman ini mengandung bahan aktif seperti flavonoid, terpenoid, saponin, tannin, alkaloid dan minyak atsiri (Ratnaningsih et al. 1985; Syamsuhidayat dan Hutapea 1991; Nugroho et
al. 2000; Siregar dan Utami 2002). Hasil penelitian Soetarno et al. (2000) menunjukkan
bahwa senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida kuersetin. Pada penelitian ini juga ditemukan delapan asam fenolat di antaranya asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoate dan asam vanilat, sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Hasil penelitian Agusta et al. (1998) menunjukkan bahwa daun dewa mengandung 0.05% minyak atsiri dari bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen senyawa yang didominasi oleh seskuiterpena.
Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang banyak terdapat dalam tumbuh tumbuhan hijau. Diperkirakan 2% dari seluruh karbon yang digunakan dalam proses fotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya (Markham 1988). Flavonoid juga salah satu senyawa aromatik dalam tanaman yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi manusia (Jaakola 2003).
Telah banyak penelitian dilaksanakan tentang penggunaan senyawa flavonoid, di antaranya senyawa senyawa anti oksidan alami yang terpenting adalah senyawa flavonoid. Menurut Bartolene et al. (2005) antigenetoksitas sampel tanaman adalah bagian yang mendukung adanya senyawa polifenol dalam tanaman dan kapasitas antioksidan mereka. Beberapa sudi in vitro menunjukkan aktivitas antioksidan flavonoid, yaitu mencegah bergabungnya oksigen dan zat lain sehingga tidak
menimbulkan kerusakan sel sel pada tubuh (Miller 1996; Nakamura et al. 2000; Liu dan Guo 2006). Senyawa flavonoid bersifat antibakteri, antiinflamasi, antialergi, antimutagen, antineoplastik dan anti trombosit (Miller 1996; Nakamura et al. 2000; Trouilas et al. 2006; Lin et al. 2006). Senyawa flavonoid juga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase (Darusman et al. 2001)
Antosianin merupakan zat pewarna alami yang tergolong kedalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon membentuk
cincin. Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Pigmen ini larut dalam air yang terdapat pada bunga, buah dan daun tumbuhan (Moss 2002). Antosianin terdapat dalam vakuola sel bagian tanaman. Vakuola adalah organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi oleh membran yang indentik dengan membran tanaman (Kimbal 1993). Secara kimia antosianin merupakan turunan garam flavilum atau benziflavilum. Antosianin merupakan satuan gugus glikosida yang terbentuk dari gugus aglikon dan glikon (Markakis 1982). Terdapat lima jenis gula yang ditemui pada molekul antosianin, yaitu: glukosa, rhamnosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Sedangkan senyawa-senyawa bentuk lainnya sangat jarang ditemui (Francis 1985).
Antosianin merupakan produk metabolisme sekunder yang menyebabkan warna merah jambu, ungu dan biru. Antosianin dibentuk dari asam Phenylalanine melalui lintasan sikimat di sitoplasma dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa. PAL (phenylalanine Ammonia Lyase ) merupakan enzim kunci dalam metabolisme, aktivitasnya meningkat seiring dengan umur daun dan berhubungan dengan proses penuaan (Noh dan Spalding 1998), Buchanan et al. 2000). Lintasan pembentukan antosianin disajikan pada Gambar 3.
Pembentukan antosianin dipengaruhi oleh cahaya (ultra violet dan cahaya tampak) juga stress hara, kekeringan serta suhu rendah (Hoch et al. 2003). Sifat dan warna antosianin di dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksi dan metoksi, kopigmentasi, dan sebagainya (Markakis1982). Warna antosianin berubah dengan berubahnya pH. Pada pH tinggi antosianin akan berwarna biru, kemudian berwarna violet dan akhirnya berwarna merah pada pH rendah (DeMan 1997). Menurut Salisbury dan Ross (1995) antosianin pada tanaman berfungsi dalam hal resistensi terhadap penyakit. Choung et al.
(2001) melaporkan bahwa antosianin memiliki efek farmakologi dan telah digunakan dalam perawatan berbagai penyakit inflamasi serta dapat mengurangi resiko serangan jantung karena sifat antioksidannya.
Antosianin mampu menghambat pertumbuhan sel kanker diantaranya sel kanker perut, kanker usus besar, kanker payudara, dan kanker paru-paru (Zhang et al. 2005). Penelitian Katsuba et al. (2003) menyatakan bahwa antosianin khususnya delphinidin yang diekstrak dari bilberry mampu menghambat pertumbuhan sel kanker darah (leukimia) dan colon carcinoma secara in vitro. Suprapta (2004) juga melaporkan bahwa antosianin dapat berfungsi sebagai pencegah tumbuhnya bibit penyakit kanker. Gamba r 2 Rumus bangun antosianin
Pengaruh Naungan dan Pencahayaan Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tanaman daun dewa dalam proses pertumbuhannya di lapangan membutuhkan intensitas cahaya tertentu dan tergolong tanaman toleran naungan. Di daerah Aceh ditemukan bahwa daun dewa dapat tumbuh baik pada cahaya yang masuk berkisar 75-90%, dan di Sulawesi tengah 50-75% (Hidayat 2000). Pertumbuhan daun dewa akan lebih baik pada naungan 25%. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung, karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah, dan idealnya memperoleh 60% sinar matahari (Suharmiati dan Maryani 2003).
Daun dewa yang tumbuh di daerah yang ternaungi menghasilkan daun yang lebih lebar, renyah, warna lebih cerah dan halus sehingga rasanya lebih enak bila dimakan segar. Sedangkan daun dewa yang ditanam pada intensitas cahaya yang tinggi (tanpa naungan) menghasilkan daun yang keras. Penipisan daun pada intensitas cahaya yang rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 1991). Tanaman daun dewa memiliki satu lapis sel lapisan palisade (Suharmiati dan Maryani 2003).
Hasil penelitian Sopandie et al. (2003a) pada tanaman padi gogo menyebutkan bahwa morfologi daun tanaman dan kandungan klorofil a, b serta nisbah klorofil a/b berbeda antara tanaman toleran dan peka terhadap naungan. Luas daun genotype padi gogo toleran naungan lebih tinggi dibandingkan dengan genotype yang peka, tetapi ketebalan daun, ketebalan mesofil dan kerapatan stomata rendah. Nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran dan peka terjadi penurunan pada naungan 50% dibandingkan dengan control, namun penurunan yang tajam terjadi pada genotype peka.
Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, yang disebabkan oleh peningkatan klorofil b pada tanaman yang ternaungi, yang berkaitan dengan peningkatan klorofil a/b pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. Efisiensi respirasi juga lebih tinggi pada tanaman toleran naungan. Menurut Sopandie et al. (2003b) pada tanaman padi gogo toleran naungan yang ditumbuhkan pada kondisi gelap memiliki efisiensi respirasi yang tinggi dengan kandungan pati dan karbohidrat yang lebih tinggi disbandingkan dengan tanaman yang peka kondisi gelap.
Adaptasi tanaman terhadap naungan menurut Levitt (1980) dilakukan melalui : 1) mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap kekurangan cahaya, dan 2) mekanisme toleran terhadap kekurangan cahaya. Mekanisme penghindaran oleh tanaman dengan cara meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatan penangkapan cahaya per unit luas fotosintesis, sedangkan pada mekanisme toleran, tanaman akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan mengurangi laju respirasi di bawah titik kompensasi cahaya.
Cahaya sangat penting untuk fotosintesis, tetapi terdapat kemungkinan terjadinya stress oksidatif pada intensitas cahaya yang tinggi (tanpa naungan). Intensitas cahaya yang tinggi (tanpa naungan) menyebabkan proses fotosintesis akan mengalami penurunan karena penghambatan oleh cahaya yang tinggi (photoinhibition) yang memproduksi radikal bebas (O2) yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran
tylakoid pada kloroplas, kerusakan pada pusat reaksi dan penghambatan tranpor electron pada FS II (Hideg 1997).
Energi cahaya dalam proses fotosintesis dikonversi ke molekul lebih tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman yang meliputi
klorofil a, klorofil b, dan karatenoid xantofil menyerap PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu. Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 dan 660 nm. Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 dan 660 nm. Klorofil b menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440 dan 640 nm, sedangkan karotenoid termasuk xanthofil mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang 425 dan 470 nm (Salisbury dan Ross 1992).
Salah satu enzim yang bekerja untuk menghambat kerusakan pusat reaksi pada proses photoinhibition adalah superoxide dismutase (SOD) (Ismail et al. 2001; Slooten 1995; Yu et al. 1999). Pengamatan pada aktivitas enzim ini akan membantu pembahasan pada respon tanaman pada lama pencahayaan.
Intensitas cahaya juga berperan penting pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman. Awad et al. (2001) melaporkan bahwa intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar “ janagold ” (Tabel 1).
Tabel 1 Kandungan flavonoid (mg/g) pada kulit apel “janagold” yang dipengaruhi posisi buah pada pohon
Posisi buah pada Pohon
Cyanidin 3-galaktoside
Phloridzin Catechin Quercetin 3-glycosides Total Flavonoid Atas DalamTajuk TimurTajuk Barat Tajuk 0.55 0.02 0.23 0.25 1.2 1.1 1.2 1.2 3.0 3.6 3.7 3.5 8.8 2.5 7.0 6.8 13.5 7.2 12.2 11.8 Sumber : Awad et al. (2001)
Kandungan triterpenoid, steroid, dan flavanoid dihasilkan cukup banyak oleh tanaman pegagan (Centalla asiatica L. (Urban)) jenis besar pada naungan 20%, sedangkan pada naungan 55-75% kandungan ketiga golongan metabolit sekunder tersebut mengalami penurunan (Rahmawaty 2004).
Pemupukan
Magnesium Sulfat (MgSO4.H2O) atau biasa disebut dengan kieserit mempunyai
kandungan 29% MgO dan 23% S. Kieserit masuk dalam kelompok pupuk Mg yang larut dalam air, berbentuk kristal, berwarna putih berbintik coklat-hitam, kelarutannya lebih kecil dari garam Inggris (Epson Salt), dan aplikasi pupuk ini efektif apabila
melalui tanah. Pupuk ini baik untuk jenis tanah kecuali tanah masam sebaiknya dipakai dolomit agar menaikkan pH tanah (Tisdale et al. 1985). Penambahan pupuk magnesium (Mg) dan sulfur (S) pada tanaman daun dewa diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fotosintesis dan hasil metabolisme sekunder tanaman (senyawa bioaktif).
Magnesium
Magnesium (Mg) adalah unsur hara makro esensial. Tanaman mengambil unsur ini dalam bentuk ion Mg2- melalui intersepsi dan aliran massa. Dibanding dengan N dan K, kebutuhan terhadap tanaman terhadap Mg relatif rendah, sehingga sering disebut unsur makro sekunder. Magnesium berperan sebagai penyusun klorofil, mengaktifkan enzim pada proses fosforilasi dan fotosintesis, serta translokasi karbohidrat (Marschner 1995). Magnesium diperlukan ebagai aktivator enzim pada metabolisme karbohidrat dan terutama dalam siklus asam sitrat yang penting dalam respirasi sel (Leiwakabessy 1988). Kekurangan Mg dapat menghambat fotosintesis karena hambatan pada transport fosfor (Frederick dan Linch 1985).
Penambahan kandungan Mg dalam tanah adalah dolomitic limestone (CaCO3 +
MgCO3) dengan kandungan 6-12% Mg, Kieserite (magnisium sulfate) (MgSO4.H2O)
dengan kandungan 18% Mg serta magnesium oxide (MgO) dengan kandungan 50-55% Mg (Jones 1998).
Sulfur
Sulfur (S) diperoleh melalui tanah dan udara yang masing-masing dalam bentuk anion sulfat (SO42-) dan sulfur dioksida (SO2). Sulfur dikenal sebagai faktor pembatas
yang intakenya sebanding dengan kebutuhan fosfor pada daerah tropis. Sulfur merupakan elemen esensial yang berhubungan dengan sintesis protein. Sulfur dalam bentuk (SO42-) berperan pada produksi seyawa-senyawa metabolit sekunder dalam
tanaman seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992). Gejala kekurangan unsur ini mirip dngan gejala kekurangan N yaitu tanaman berwarna pucat, terkadang berwarna coklat-kuning terang atau seperti warna jerami, dan pertumbuhannya terhenti (Ahn 1993). Kekurangan S menghambat sintesis protein (Marschner 1995) dan S dalam bentuk SO42- menghambat sintesis senyawa metabolit sekunder terutama pada golongan
flavonoid (Vagujfalvi 1992).
Pupuk S biasanya diberikan dalam bentuk garam sulfida bersama dengan N, P, atau K. Gypsum (CaSO4.2H2O) kadang digunakan sebagai sumber, tetapi potasium