• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah Iddah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah Iddah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH IDDAH DALAM PERSPEKTIF MODERN

D I S U S U N OLEH: SAIFUDDIN : 130707577

AMIR SABRI MUHAMMAD : 130707588

RAHMAD : 130808008

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AR-RANIRY

LAMGUGOB-BANDA ACEH

(2)

Pengertian Iddah

Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.

Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.1

Macam-macam Iddah Ada 5 macam masa Iddah; yaitu:

1. ‘Iddah istri yang dicerai dan ia masih haid, lama ‘iddahnya tiga kali suci (quru’). Dalilnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 228.

1. Iddah istri yang dicerai dan ia tidak haid, lama iddahnya tiga bulan. Dalilnya firman Allah surat At-Thalaq: 4.

2. Iddah istri yang ditinggal wafat oleh suaminya. Lama iddahnya empat bulan sepuluh hari, bila tidak hamil. Dalilnya firman Allah surat Al-Baqarah: 234) 3. Iddah istri yang dicerai dalam kondisi hamil. Masa iddahnya sampai melahirkan.

Dalilnya firman Allah surat At-Thalaq: 4)

4. Iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam kondisi hamil. Masa iddahnya sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan 10 hari. (menurut sebagian besar ulama).

Tujuan Disyariatkan 'Iddah

1. Tujuan Islam mensyariatkan 'iddah ke atas kaum wanita ialah untuk memastikan rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil daripada lelaki yang menyetubuhinya sebagai langkah mencegah percampuran nasab dan keturunan. 2. Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang boleh dirujuk, ini memberikan peluang kepada suaminya untuk memikirkan kembali saat-saat manis

(3)

ketika mereka bersama dan kembali rujuk kepada isterinya setelah fikirannya kembali tenang.

3. Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada pasangan suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari punca perselisihan antara mereka dan semoga itu mereka dapat bersatu semula.

4. Tujuan 'iddah juga supaya ikatan sesuatu perkahwinan itu dapatlah dipanjangkan waktunya dan pada tempoh itu adalah diharapkan kewarasan dan kematangan fikiran pasangan suami isteri yang berselisih dapat dipulihkan dan menghubungkan kembali persefahaman dan kasih sayang mereka.

5. Sewaktu melalui proses 'iddah banyak peluang yang boleh direbut oleh wakil dari kedua-dua belah pihak suami isteri bagi mencari jalan keluar dan perdamaian antara mereka dari perselisihan dan semoga dengan cara ini diharapkan dapatlah mempersatukan mereka semula serta menjauhi dari berlakunya perceraian.

6. Agama Islam meletakkan institusi kekeluargaan adalah sesuatu yang tinggi dan mulia terutama bagi pasangan suami isteri dimana hubungan kelamin bagi pasangan suami isteri tetap mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi Tuhan. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak lagi permasalahan sosial.

7. Bagi perceraian yang berlaku kerana kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami serta menjaga ama baik dan maruah diri dan keluarga agar tidak diperkatakan oleh orang lain. 8. 'Iddah adalah anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi kekeluargaan dalam Islam.2

(4)

Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Firman Allah: al-Baqarah 228 yang Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

quru’.

Mengenai masalah iddah, perbedaan masalah perhitungan quru’ menurut Syafi’i dan Malik adalah suci dari haid.3

Firman Allah surat al-Baqarah 234 yang Artinya: Orang-orang yang meninggal

dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Ahzab 49 yang artinya: Hai orang-orang

yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Dalam sunnah nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang iddah yakni: Diceritakan oleh ali bin Muhammad diceritakan oleh Waqi’ dari Sufyan dari Mansur dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah r.a. ia berkata: “Barirah diperintahkan agar ber’iddah

dengan tiga kali haid” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah).4

Ketentuan Iddah Menurut Pemikir Kontemporer

Kalau seseorang mempelajari evolusi madzhab-madzhab yang berbeda dalam hukum Islam (Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i) maka orang akan melihat bahwa formulasi mereka itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan ekonomi mereka sendiri. Perbedaan formulasi mereka secara jelas diperbedakan oleh kondisi yang berbeda.

Syari’at hendaknya tidak diperlakukan sebagai sistem yang tertutup. Karena syari’at merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip Al-Qur’an. Dinamika dan vitalitasnya tergantung pada kapasitasnya untuk berubah seiring dengan perjalanan waktu. Tentu saja perubahan-perubahan tersebut bukan pada aspek prinsip dan nilai, melainkan dalam aplikasinya yang tepat berdasarkan pandangan sosial dan konteks lain. Maulana Umar Ahmad Usmani menunjukkan dalam

(5)

karyanya fiqih Al-Qur’an bahwa tasyri’ ahkam (penetapan hukum Islam atau perintah) berubah seiring denganruang, waktu dan kondisi sosial.5 Syari’at harus dianggap suatu

usaha untuk mencapai tujuan-tujuan, nilai-nilai dan prinsip al-Qur’an, ia merupakan alat bukan tujuan.

Salah satu tujuan utama adanya iddah adalah untuk mengetahui apakah dalam rahimnya ada embrio bayi atau tidak. Dalam beberapa kajian fikih atau hukum islam dalam konsep iddah sudah sesuai dengan teks al-Qur’an seperti pada surat al-Baqarah ayat 228, 234, at-Thalaq ayat 4 dan al-Ahzab ayat 49. ayat ini yang menjadikan dasar hukum adanya iddah bagi seorang perempuan setelah adanya cerai mati atau cerai hidup.

Musdah menyatakan bahwa pada dasarnya, Islam agama yang penuh rahmat (kasih sayang) dan pembawa maslahat (kedamaian dan kebaikan), sehingga setiap keputusan yang berkaitan dengan pengambilan suatu hukum disamping mempunyai dampak positif juga negatif.

Menurut Musdah ada persoalan mendasar tentang iddah yaitu bagaimana dengan hubungan antara manusia dengan manusia lain (hablummin annas), lebih spesifik lagi hubungan intern keluarga antar suami isteri. Ketika suami isteri berpisah sebenarnya tidak menganggap semua persoalan selesai, seenaknya suami menikah lagi, bagaimana dengan keluarga, anak-anak, saudara, tetangga atau teman, karena tidak ada manusia yang ingin hidup sendiri. Dari contoh di atas menurut Musdah perlu diperhatikan adalah aspek-aspek hukum relation,kebanyakan manusia memahami dalam Islam hanya melihat hablumminaallah (hubungan dengan Allah) yang menurut musdah mendapat porsi lebih, bila dibandingkan dengan hablumminannas (hubungan dengan manusia).

Mengingat keluarga adalah sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan perempuan melalui pernikahan, maka sejak terjadinya pernikahan keduanya terikat dengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Adapun yang berkaitan dengan urusan rumah tangga menjadi urusan bersama, baik mengenai urusan tempat tinggal, nafkah, anak, dan sebagainya.

Termasuk di dalamnya ketika bahtera rumah tangga mengalami bencana tidak dapat diteruskan dan tali pernikahan sudah tidak bisa dipertahankan, maka menyangkut urusan bersama. Perceraian merupakan masalah bersama antara suami isteri, perceraian ditempuh melalui jalan terakhir untuk mengakhiri kesulitan-kesulitan dalam rumah

(6)

tangga. Oleh sebab itu konsekuensi yang diakibatkan dari perceraian adalah mengikat kedua belah pihak. Ketika perceraian dipandang bencana dalam sebuahrumah tangga, maka yang harus menanggung bencana tersebut harus kedua pihak suami isteri.

Jika dilihat hikmah dari perceraian adalah agar suami isteri yang sudah bercerai melakukan introspeksi diri, apakah masih akan menjalin kembali tali cinta kasih (pada kasus talak raj’i) atau tetap memutuskan untuk bercerai. Jika keputusannya bercerai maka akibat dari perceraian tersebut juga harus ditanggung bersama. Baik yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, nafkah, harta, maupun anak.6

Menurut Musdah, iddah untuk perceraian hidup merupakan masa transisi untuk memikirkan dan merenungkan kembali antara kedua belah pihak bagaimana caranya untuk membangun masa depan kehidupan bersama. Sedangkan iddah untuk kematian untuk mempertimbangkan kembali bagaimana menjaga hubungan dengan orang tua, anak, mertua, saudara, tetangga dan teman-teman.7

Dalam CLD KHI yang Musdah usulkan bahwa masa iddah atau dia menyebutnya masa transisi sebagai berikut Bab XIII Masa Transisi, pasal 86: Bagi suami isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau iddah dan masa transisi suami ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya.

Berkenaan dengan adanya nas (ayat Al-Qur’an dan al-Hadis) yang mengikat perempuan yang ditalak, maka perlu lebih dicermati filosofi syari’ahnya (maqasid al-syar’i) dan diperlakukan secara proporsional dengan hak privasi perempuan. Jika isteri yang ditalak dikenakan sebagai larangan terkait dengan hak pribadinya, maka pihak laki-laki juga harus memperhatikan perasaan perempuan yang telah ditalak.

Diantara hikmah terpenting diaturnya masalah iddah ini selain untuk mengetahui keadaan rahim, demi menentukan hubungan nasab anak, memberi alokasi yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian.

Selain itu sebenarnya terdapat aturan mengenai masalah iddah ini yakni Surat Edaran no: D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbaga Islam tentang poligami dalam iddah isteri. Surat Edaran no: D.IV/E.d/17/1979 Dirjen Bimbingan Islam masalah poligami dalam iddah isteri di terbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta pada tanggal 10 februari 1979 diberikan kepada:

(7)

a. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat pertama.

b. Saudara ketua Pengadilan Agama tingkat Banding di seluruh Indonesia.

Sedangkan isi Surat Edaran tersebut adalah menunjuk keputusan rapat Dinas Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Negara tanggal 24 sampai 28 Mei 1976 di Tugu Bogor lampiran IV point c. 3 perihal seperti tersebut pada pokok surat , maka dengan ini kami berikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan thalak raj’i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa iddah bekas isterinya. Maka ia harus mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama. b. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakekatnya

suami isteri yang bercerai dengan thalak raj’i adalah masih ada ikatan perkawinan sebelum habis masa iddahnya. Karena kalau suami tersebut kalau menikah lagi dengan wanita lain, pada hakekatnya dari segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristeri lebih dari seorang (poligami). Oleh karena itu terhadap kasus tersebut dapat ditetapkan pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

c. Sebagai produk Pengadilan, penolakan atau ijin permohonan tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan Agama. Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secaraumum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Pengertian hukum positif diperluas, bukan saja yang sedang berlaku sekarang melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Hukum positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan hukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif yang berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan termasuk didalamnya yakni surat edaran, juklak, juknis.8

Suatu peraturan tertulis atau kaidah hukum benar-benar berfungsi senantiasa di kembalikan pada empat faktor yakni kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas

(8)

yang menegakkan atau penerap hukum, sarana yang dapat membantu, warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan.

Kaidah hukum berfungsi apabila kaidah berlaku secara yuridis atau atas dasar yang telah ditetapkan, sosiologis atau dapat dipaksakan dan filosofis sesuai dengan cita hukum. Mengenai penegak hukum dari strata atas, menengah dan bawah dalam melaksanakan tugas penerapan hukum seyogianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.

Sarana juga sangat penting untuk mengefektifitaskan suatu aturan tertentu. Sarana tersebut diantaranya sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya kendaraan dan alat komunikasi. Warga masyarakat yang dimaksud adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan atau derajat kepatuhan terhadap hukum.9

Iddah Dan Teknologi Modern

Iddah adalah periode tertentu yang wajib dijalani dan ditunggu oleh wanita yang dicerai suaminya atau yang ditinggal mati suaminya dengan berpantang melakukan perkawinan baru.10 Lamanya masa tunggu itu bervariasi, tergantung dalam kondisi

bagaimana seorang wanita itu berpisah dengan suaminya. Seorang wanita yang ditinggal mati berbeda iddahnya dengan wanita yang dicerai. Begitu pula seorang wanita yang dicerai dalam keadaan hamil berbeda dengan wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil. Semua ini ada ketentuannya dalam Quran.

Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia dalam keadaan hamil, iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi yang dikandungnya (ath-Thalaq: 4). Bagi wanita yang dicerai sedangkan ia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali quru`(Mengenai kata quru` ini ada dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu timbul dua penafsiran: ada yang mengatakan tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali haid) (al-Baqarah: 228), sedangkan jika ia belum balig atau sudah memasuki masa menopause, maka iddahnya adalah tiga bulan (ath-Thalaq: 4). Sedangkan bagi wanita yang ditinggal mati, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234). Akan tetapi Quran tidak menetapkan berapa lama iddahnya seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil. Apakah iddahnya dihitung menurut iddah kematian atau kehamilan? Terhadap

(9)

kasus ini muncul dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa iddah wanita yang dalam keadaan seperti itu adalah kelahiran anaknya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa iddahnya dengan melihat mana masa terlama di antara iddah kehamilan dan kematian. Jika masa kehamilan lebih lama, maka iddah kehamilan itu yang dijadikan patokan, yaitu sampai ia melahirkan anaknya. Akan tetapi jika iddah kamatian lebih lama, maka iddah kematian itu yang dijadikan patokan.

Ketentuan Quran tentang iddah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat diubah. Akan tetapi ada yang belum jelas di sini, yaitu apa alasan Allah mensyariatkan iddah bagi seorang wanita, Quran tidak menjelaskannya. Tidak adanya penjelasan Quran tentang hal ini tidaklah menunjukkan titik lemah dari Quran. Justru inilah cara Allah memberi kebebasan kepada manusia dalam menafsirkan syariat yang Dia turunkan. Apa alasan yang tepat dari pemberlakuan iddah ini, Dia kembalikan kepada manusia. Oleh karena itu, tidak sedikit ulama yang mencoba mendefinisikan atau mencari alasan pemberlakuan iddah itu kepada kaum wanita. Di sini pembahasan mulai memasuki wilayah fikih, bukan syariat. Hal ini tentu saja menyebabkan munculnya banyak definisi dan alasan pemberlakuan iddah itu. Dalam wacana fikih, banyaknya pendapat tentang suatu masalah fikhiyah dimungkinkan.

Menurut golongan Syafi`iyah, makna iddah adalah:

جوز ىلع اهعجفتل وأ دبعتلل وأ اهمحر ةءارب ةفرعمل ةأرملا اهيف صبرتت ةدم.

“Masa yang harus dilalui oleh istri untuk mengetahui bebasnya (kesucian) rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya.”11

Sejalan dengan golongan Syafi`iyah ini, golongan Hanafiyah mendefinisikan iddah dengan:

شارفلا وأ حاكنلا راثأ نم يقب ام ءاضقنل برض لجأ

“Suatu batas waktu yang ditetapkan (bagi wanita) untuk mengetahui sisa-sisa dari pengaruh pernikahan atau persetubuhan.”12

Dari dua definisi iddah di atas tampak bahwa tujuan iddah adalah untuk mengetahui apakah di dalam rahim wanita yang dicerai atau ditinggal mati itu terdapat

(10)

bibit yang akan tumbuh menjadi bayi atau tidak. Dalam rangka inilah masa tunggu itu diberlakukan. Demikian menurut ulama golongan Syafi`iyah dan Hanafiyah.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia, ditambah lagi dengan kemajuan sains dan teknologi, perubahan-perubahan terus berjalan. Sesuatu yang tadinya dianggap mustahil oleh manusia, saat ini terjadi. Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan adanya kini dapat disaksikan.

Dewasa ini, ilmu kedokteran telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dengan menggunakan USG (Ultrasonography), yaitu teknik diagnostik untuk pengujian struktur badan bagian dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan gelombang ultrasonik,13 seseorang dapat mengetahui jenis kelamin bayi yang masih

berada di dalam kandungan. Bukan itu saja, bahkan dengan melalui suatu alat tertentu, yaitu dengan menjalani tes urine, rahim seorang wanita dapat diketahui apakah di dalamnya terdapat janin atau tidak. Dengan kata lain, apakah ia dalam keadaan hamil atau tida. Jadi, proses untuk mengetahui kehamilan atau tidak sangat cepat. Hanya dengan hitungan menit, bahkan detik, saja.

Jika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di bidang kedokteran ini dihubungkan dengan pendapat para ulama tentang iddah di atas, maka jelas sekali perbedaannya, bahkan bertolak belakang. Di sini terbukti bahwa apa yang dahulu tak terbayangkan oleh para ulama mazhab, kini telah terjadi. Mereka mendefinisikan iddah dengan menghubungkannya dengan kehamilan, sudah pasti karena mereka tidak mengetahui akan adanya alat yang dapat digunakan untuk mengetes kehamilan, bahkan dengan waktu yang sangat singkat.

Dengan adanya kontradiktif antara pendapat ulama tentang iddah dan teknologi modern ini, timbul pertanyaan: apakah pendapat ulama mazhab tentang iddah itu masih perlu dipertahankan atau tidak? Jika dipertahankan, konsekuensinya adalah bahwa hukum iddah dianggap tidak berlaku lagi. Sebab, untuk mengetahui keadaan rahim seorang wanita, dalam arti hamil atau tidak, tak perlu menunggu sampai tiga atau empat bulan sepuluh hari. Jika hukum iddah dianggap tidak berlaku lagi, maka berarti ayat-ayat Quran yang menjelaskan tentang hal itu juga tidak berlaku lagi. Apakah hal ini dapat diterima akal yang sehat? Sudah barang tentu tidak. Ayat-ayat Quran, sebagai sumber syariat, tentang iddah akan tetap berlaku. Ketentuan-ketentuannya tentang lama masa

(11)

iddah wajib diimani dan dilaksanakan. Yang harus dianggap tidak berlaku lagi justru pendapat para ulama mazhab itu, karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Dengan kata lain, perlu ada redefinisi tentang iddah.14

(12)

1 http://alislamu.com/ibadah/29-nikah/443-bab-iddah.html

2 http://www.docstoc.com/docs/66730778/TUJUAN-DISYARIATKAN-IDDAH

3 Tengku Muhammad Hasbi Ash-shidiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2001, hlm. 291.

4 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-qazwini, Sunan ibn Majjah, juz I, Beirut: Dar Al-Fikr, tt, hlm.

671.

5 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, Cet II 2007, hlm.

34.

6 Moh Sodik, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Jakarta: PWS IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI dan

McGill-IISEP-CIDA, 2004, hlm. 242

7 Irfan Mustofa, Studi Analisis Pemikiran Siti Musdah Mulia Tentang Konsep Iddah dan

Signifikasinya Terhadap Perubahan Hukum Islam, IAIN Semarang, 2006.

8 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (suatu kajian teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm.

1-15.

9 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 94-96.

10 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 171.

11 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, Juz IV, Beirut: Ihya` at-Turats

al-`Arabi, 1969, hlm. 517.

12 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al-Mazhahib al-Arba`ah, hlm. 513.

13 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: 1994, hlm. 1101.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis menemukan skripsi manajemen dengan judul “Pengaruh Keamanan, Kemudahan Dan Resiko Kinerja Terhadap

Majelis Hakim tingkat banding juga tidak memperoleh keyakinan akan kesalahan para terdakwa yang antara lain karena keterangan saksi yang saling bertentangan; Hal yang

Setelah daun dimasukkan ke dalam alkohol yang berfungsi untuk melarutkan klorofil, warna daun menjadi kuning pucat pada bagian yang tidak ditutup, dan berwarna

NDT yang sering digunakan adalah uji visual.Pengujian visual dilakukan dengan melihat langsung kerusakan- kerusakan yang terjadi pada setiap elemen dari

Berdasarkan SPM (Standar Pelayanan Minimal), diketahui bahwa standar untuk kepemilikan akte lahir adalah 100% atau memiliki rasio 1 (Permendagri No. 62 Tahun

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan umum dilakukakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

pada anak, nilai rata-rata anak dalam kemampuan vocabulary bahasa Inggris di lingkungan sekolah adalah sebesar 60%. 3) Eksperimen Ketiga, setelah guru melakukan

Penyempurnaan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia