• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA. Catatan Kuliah: PL-4201 Perencanaan Partisipatif Penerbit ITB. Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR PUSTAKA. Catatan Kuliah: PL-4201 Perencanaan Partisipatif Penerbit ITB. Bandung."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

177

Catatan Kuliah: PL-4201 Perencanaan Partisipatif. 2007. Penerbit ITB. Bandung.

Departemen Kehutanan. 1995. Pedoman Penetapan Zonasi Taman Nasional.

Dirjen PHPA. Bogor.

Harjasoemantri, Koesnadi. 1996. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

McKinnon, J. K Mckinnon, G Child, J Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang

Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Moleong, Lexy.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.

Bandung.

Mulyana, Deddy. DR. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru

Ilmu Komunikasi & Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakrya.

Bandung.

Parwoto. 2004. From Community Participation for Citixen Participation. URDI.

Vol. 16.

Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methond,

Second Edition. Sage Publication. Los Angeles.

White, Alastair.1981. Community Participation in Water and Sanitation :

Concepts Strategies and Methods. Technical Paper Series. Vol. 17.

World Health Organitation. The Netherlands.

Zuriah, Nurul. 2006. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan

Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Tugas Akhir

Dwicaksana, Aninda. 2006. Penyelerasan Fungsi Otorita Pengembangan Daerah

(2)

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi

Bandung.

Ichwani, M Ali. 2007. Bentuk Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang

Kawasan Perbatasan Antarnegara (Studi Kasus: Kawaan Perbatasan

Antarnegara Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur-Sabah dan

Sarawak, Malaysia). Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

Institut Teknologi Bandung.

Joko Suryono, Nasruddin dan Yudi Basuki. 1998. Arahan Fisik Penataan Ruang

Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Penyangganya.

Departemen Teknik Planologi. Institut Teknologi Bandung.

Tesis

Anwar, Toni. 2005. Penentuan Sistem Zonasi di Areal Perluasan Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango Sebagai Masukan Bagi Revisi RTRW

Kabupaten. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut

Teknologi Bandung.

Jurnal Ilmiah dan Terbitan Terbatas

Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan. 2002. Letak Geografis dan Batas

Kawasan TNBD.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi. 2004. Rencana Pengelolaan Taman

Nasional Bukit Duabelas 2005-2029. Jambi.

Blower, J.H. 1976. Management Problem. Bahan Kuliah pada Training Course in

Management of Natural Reservasi 16-26 Maret. Biotrop. Bogor.

Buletin Langkah. 2002. Sebuah Perjalanan Bersama dalam Pengelolaan Hutan:

Konsep, Penelitian, Partisipatoris dan Praksis. ACM CIFOR, Yayasan

Gita Buana, dan PSHK-ODA. Muara Bungo Jambi.

Departemen

Kehutanan.

2001.

Kawasan

Taman

Nasional,

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2001/PHKA/iii_2_1.htm. Dikutip

tanggal 17 Januari 2006.

Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Badan Perencanaan

(3)

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program Pengembangan

Wilayah Terpadu. Jakarta.

Forest Watch Indonesia. Kawasan Konservasi Taman Nasional Bukit Duabelas,

http://fwi.or.id/index.php?lang=ina&link=konservasi&f=bukit12.html.

Dikutip tanggal 12 Juli 2006.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. 2004. Dokumen Taman Nasional

Bukir Duabelas. Jambi.

Kusumanto, Trikurniati., Elizabeh Linda Yuliani, Phil Macoun, Yayan Indriatmoko,

dan Hasantoha Adnan. 2006. Belajar Beradaptasi-Bersama-sama

Mengelola Hutan di Indonesia. Center for International Forestry Research

(CIFOR). Bogor Barat. http://www.cifor.cgiar.org.

Notulensi Hasil Diskusi Studi Kasus I Perluasan Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak (TNGHS) dan Implikasinya Terhadap Pemanfaatan

Tanah-Tanah Desa di sekitarnya. Jakarta.

Oetomo, Andi. 2007. Catatan Kuliah PL 4202 Manajemen Pembangunan.

Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Teknologi Bandung

Santosa, Andri. Makalah Penunjang Diskusi Kawasan Halimun dalam Bingkai

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam. RMI The Indonesian Institute

for Forest and Environment. Jakarta.

Sirait, Martua, Chip Say, A. Kusworo. 2001. Bagaimana Hak-Hak Masyarakat

Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?. ICRAF

LATIN-P3AE_UI. Jakarta.

Trisurat, Y. 2003. Ecosystem-Based Management Zones of the Western Forest

Complex, Thailand. Faculty of Forestry, Kasetsart University, Bangkok,

Thailand. www. sampaa.org.

Peraturan Perundangan

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya.

(4)

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung.

Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan

Sosial Komunitas Adat Terpencil.

SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000 Tentang

Perubahan Fungsi Sebagian Hutan Produksi Terbatas Serengam Hulu

seluas ± 20.700 (Dua Puluh Ribu Tujuh Ratus) Hektar dan sebagian

Hutan Produksi Tetap Serengam Hilir seluas ± 11.400 (Sebelas Ribu

Empat Ratus) Hektar. Serta Penunjukan Sebagian Areal Penggunaan

Lain seluas 1200 (Seribu Dua Ratus) Hektar dan Kawasan Suaka Alam

Dan Pelestarian Alam (Cagar Biosfer) Bukit Duabelas Seluas ± 27.200

(Dua Puluh Tujuh Ribu Dua Ratus) Hektar, yang terletak di Kabupaten

Sarolangon Bangko, Batang Hari Dan Bungo Tebo, Propinsi Jambi

menjadi Taman Nasional seluas 60.500 (Enam Puluh Ribu Lima Ratus)

Hektar dan Diberi Nama Taman Nasional Bukit Duabelas.

(5)

LAMPIRAN

(6)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN & PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2007

“BENTUK PERAN SERTA KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA DALAM

PENATAAN KEMBALI KAWASAN

TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)”

CHECKLIST WAWANCARA

PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN PENATAAN KAWASAN TNBD

BKSDA Provinsi Jambi telah menyusun dokumen Rencana Pengelolaan

Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Namun ketika RPTNBD tersebut

disosialisasikan menimbulkan kritik dari komunitas adat Orang Rimba terhadap

proses penyusunan dan substansi RPTNBD. Kritikan ini muncul karena BKSDA

Provinsi Jambi tidak mengikutsertakan komunitas adat Orang mulai dari tahapan

awal penyusunan RPTNBD, yaitu penataan kawasan TNBD. Kesepakatan antara

komunitas adat Orang Rimba dengan BKSDA Provinsi Jambi, pada tahun 2006

akan dilaksanakan review RPTNBD dengan mengutamakan peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Hal ini

penting karena dengan adanya penataan kembali kawasan TNBD, komunitas

adat Orang Rimba memiliki batas yang jelas terhadap wilayah adat mereka dan

bersedia untuk berperan serta dalam pengelolaan TNBD di masa yang akan

datang. Namun hingga saat ini kesepakatan untuk mereview RPTNBD tersebut

belum terlaksana karena belum ditemukan bentuk peran serta komunitas adat

Orang Rimba yang tepat dalam penataan kembali kawasan TNBD. Oleh karena

itu, dalam studi ini akan dilihat persepsi para pemangku kepentingan dalam

penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta masyarakat lokal dalam

penataan kawasan taman nasional dan preferensi para pemangku kepentingan

dalam penataan kawasan TNBD terhadap alternatif bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang

telah dirumuskan.

Data wawancara dan responden

1. Waktu Wawancara

2. Tempat Wawancara

3. Nama Responden

(7)

I. Persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD

terhadap bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan TNBD. Dan permasalahan yang mungkin

terjadi jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam

penataan kawasan TNBD

II. Persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD

terhadap peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten, LSM, dan komunitas adat Orang Rimba yang diharapkan

dalam bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD. Yaitu dalam:

a. Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang

Rimba.

b. Penunjukkan kawasan TNBD.

c. Rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam

penataan kembali kawasan TNBD.

d. Penataan batas dan penataan zona di dalam TNDB.

e. Penetapan kawasan TNBD.

(8)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN & PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2007

“BENTUK PERAN SERTA KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA DALAM

PENATAAN KEMBALI KAWASAN

TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)”

CHECKLIST WAWANCARA

PREFERENSI PEMANGKU KEPENTINGAN PENATAAN KAWASAN TNBD

BKSDA Provinsi Jambi telah menyusun dokumen Rencana Pengelolaan

Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Namun ketika RPTNBD tersebut

disosialisasikan menimbulkan kritik dari komunitas adat Orang Rimba terhadap

proses penyusunan dan substansi RPTNBD. Kritikan ini muncul karena BKSDA

Provinsi Jambi tidak mengikutsertakan komunitas adat Orang mulai dari tahapan

awal penyusunan RPTNBD, yaitu penataan kawasan TNBD. Kesepakatan

antara komunitas adat Orang Rimba dengan BKSDA Provinsi Jambi, pada tahun

2006 akan dilaksanakan review RPTNBD dengan mengutamakan peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Hal ini

penting karena dengan adanya penataan kembali kawasan TNBD, komunitas

adat Orang Rimba memiliki batas yang jelas terhadap wilayah adat mereka dan

bersedia untuk berperan serta dalam pengelolaan TNBD di masa yang akan

datang. Namun hingga saat ini kesepakatan untuk mereview RPTNBD tersebut

belum terlaksana karena belum ditemukan bentuk peran serta komunitas adat

Orang Rimba yang tepat dalam penataan kembali kawasan TNBD. Oleh karena

itu, dalam studi ini akan dilihat persepsi para pemangku kepentingan dalam

penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta masyarakat lokal dalam

penataan kawasan taman nasional dan preferensi para pemangku kepentingan

dalam penataan kawasan TNBD terhadap alternatif bentuk peran serta

komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang

telah dirumuskan.

Data wawancara dan responden

1. Waktu Wawancara

2. Tempat Wawancara

3. Nama Responden

(9)

Preferensi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD

terhadap bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD (alternatif dan penjelasan terlampir).

a. Preferensi alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba

dalam penataan kembali kawasan TNBD yang paling tepat untuk

diterapkan.

Alternatif Bentuk Peran Serta Komunitas Adat Orang Rimba dalam

Penataan Kembali Kawasan TNBD

Alternatif

Bentuk Peran Serta

Alternatif 1

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD langsung kepada pemerintah pusat.

 Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya

untuk memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang

mereka miliki di lapangan.

Alternatif 2

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara pemerintah provinsi

kepada pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah

provinsi dan para pemangku kepentingan lainnya dalam

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.

Alternatif 3

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara pemerintah

kabupaten kepada pemerintah pusat.

(10)

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah

kabupaten dan para pemangku kepentingan lainnya dalam

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten.

Alternatif 4

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjasama antara

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kepada

pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah

provinsi, pemerintah kabupaten, dan para pemangku

kepentingan lainnya dalam penataan batas dan penataan

zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten.

Alternatif 5

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara LSM dimana LSM

hanya beperan sebagai penerus informasi (penyambung lidah)

antara komunitas adat Orang Rimba dan pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya

untuk memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang

mereka miliki di lapangan.

(11)

Alternatif 6

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara LSM kepada

pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama LSM dan para

pemangku kepentingan lainnya dalam penataan batas dan

penataan zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah LSM.

Alternatif 7

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjasama antara

LSM dan pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama LSM, pemerintah

provinsi dan para pemangku kepentingan lainnya dalam

penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh LSM dan pemerintah

provinsi.

Alternatif 8

 Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan

kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjsama antara

LSM dan pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga

tahap pengambilan keputusan bersama LSM, pemerintah

kabupaten, dan para pemangku kepentingan lainnya

(12)

dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.

Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang

Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan

melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih

dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.

Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas

adat Orang Rimba dilaksanakan oleh LSM dan pemerintah

kabupaten.

b. Alasan pilihan alternatif bentuk peran serta tersebut.

c. Alternatif bentuk peran serta lainnya yang mungkin ada.

d. Alasan pilihan alternatif bentuk lain peran serta tersebut.

(13)

TRANSKRIP WAWANCARA

Bapak Rakhmat Hidayat Direktur Eksekutif LSM KKI Warsi

Jumat, 23 November 2007. 19.50 WIB

T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD?.

J: Kalo berbicara peran serta Orang Rimba ya ki, dia harus jadi stakeholder utama kan, karena mereka lah yang akan menerima manfaat maupun akibat dari keberadaan kawasan itu. Dikatakan manfaat karena yang pertama, mereka tergantung hidup dan berpenghidupannya dari kawasan itu. Baik untuk memanfaatkan dari hasil hutan non kayu, seperti: rotan, nanau, jernang, berburu, mengumpulkan umbi-umbian, kemudian juga madu, ikan, dan yang lain-lainnya gitu ya. Tadi juga mereka berhak untuk memanfaatkan kayu untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya subsisten misalnya membangun tempat hidup mereka. Juga ketika kalo hutannya rusak mereka juga yang akan mendapat dampak pertama, ketika kebakaran hutan ya mereka lah yang mendapat dampaknya, ketika illegal logging ya merekalah yang terkena dampaknya, ketika di hulu-hulu sungai dijadikan tempat pertambangan mereka lah yang terkena pencemaran pertama kali. Dan Orang Rimba merasakan berbeda dengan Orang Melayu sehingga memang mereka lah yang harus dimintakan persepsinya tekait pengelolaan kedepan. Sehingga perlu dibangun peran serta Orang Rimba, peran serta yang dimaksud barangkali bukan hanya peran serta yang ditanyakan setuju atau tidak setuju tetapi lebih kepada bagaimana pengelolaan ruang kedepannya kira-kira dimana Orang Rimba boleh memanfaatkan mana yang tidak. Sampai sekarang juga Orang Rimba juga kan secara tradisional sudah memiliki pembagian zona-zona. Ada kawasan namanya tanah pranoon yaitu tanah tempat melahirkan, itu kawasan yang tidak akan pernah diapa-apakan, tidak akan ditebang kayunya, dan tidak akan dirusak. Karena emang itu kawasan yang semua Orang Rimba menjaga kawasan itu. Pertama, karena kawasan itu ada banyak tanaman obat, kedua dekat dengan sungai. Kemudian juga ada kawasan tempat mereka menikah, itu juga tidak akan dirusak. Karena memang ketika menikah Orang Rimba harus bisa mengumpulkan suatu jenis bunga, nah ketika bunga gak cukup yang lain juga sama, jadi mereka sudah punya kawasan yang harus dijaga. Yang ketiga mereka juga punya etika, mereka tidak akan buang air di sungai, kenapa tidak? karena memang ketika mereka buang air di sungai mereka mengambil air mencuci disitu juga artinya ketika sungai tercemar banyak yang terkena penyakit. Kemudian mereka juga harus untuk tidak memburu binatang-binatang yang sedang mengandung. Mereka juga tidak memburu harimau, gajah, dll. Mereka udah punya peraturan mana binatang yang boleh diburu dan yang tidak. Makanan mereka dari babi, babi memang binatang merusak untuk Orang Melayu. Nah jadi ketika pemerintah merencanakan pengelolaan maka konsep-konsep pengelolaan versi Orang Rimba harus menjadi substansi utama dalam pengelolaan. Jadi tidak hanya diminta pendapat saja tapi harus diekstraksi pengetahuan tradisional mereka ke dalam rencana pengelolaan. Nah ada peran perguruan tinggi, peran LSM, dimana peran mereka hanya sebagai fasilitator, misalnya bagaimana LSM menjembatani hasil pemikiran pemerintah untuk dikonsultasikan kepada Orang Rimba dan bagaimana juga menjembatani pengetahuan Orang Rimba agar bisa dipahami oleh pengelola kawasan. Kalo berbicara RPTNBD, RPTNBD itu kan proyek, proyek itu kan berbasis anggaran. Jadi klo ada proyek segini anggarannya segini. Nah kalo untuk sebuah rencana pengelolaan tidak bisa dibatasi oleh proyek. Nah seharusnya dari situ. Oke kalo proyek seharusnya ada studi dulu, harus ada studi yang lebih mendalam untuk memahami budaya. Jadi, pengelolaan itu bukan top down tapi berbasis dari bawah dulu, mana yang kawasan harus dijaga oleh mereka yang disebut zona inti. Zona inti kan tidak harus satu kawasan 1000 hektar jadi zona inti tidak, tetapi berbentuk mozaik-mozaik, ini

(14)

dilindungi, ini tidak, ini boleh berburu, nah jadi seperti itu, nah jadi basisnya dari bawah dulu, bukan sesuatu yang dari atas, yang nanti dikerjakan oleh Orang Rimba tapi mengadopsi konsep-konsep pengelolaan yang telah dijalankan Orang Rimba. Nah, kalo sudah diadopsi tentunya tidak akan terjadi benturan karena mereka sudah biasa. Oh, ini tidak akan kita apa-apa kan karena ini tempat pohon peliharaan dan tidak akan ditebang, oh ini tidak akan kita apa-apa kan karena ini tanah pranoon, kalo itu sudah ada dan diadopsi tidak akan menjadi masalah, persoalannya adalah ketika kemudian tanah pranoon, tanah tempat berburu mereka jadi kawasan zona inti, tentu masalah. Kalo zona inti kan kawasan yang tidak bisa diapa-apa kan, itu hanya untuk keperluan riset, padahal itu tempat berburu mereka nah itu terjadi kles. Nah, jadi yang lebih penting adalah dilakukan studi yang lebih mendalam terlebih dahulu sebelum menyusun RPTNBD. Ada studi mendalam kajian antropologi Orang Rimba kemudian baru ada konsultasi-konsultasi yang lebih intensif dengan masyarakat di kelompok-kelompok. Karena memang mereka banyak kelompok-kelompok-kelompok. Nah, bagaiamana kelompok-kelompok ini diajak berdialog. Warsi sendiri sudah memberikan masukan-masukan, sudah memberikan beberapa argumenatsi tetapi kapasitas bukan ada di Warsi tapi di kebijakan kan. Kalo kebiajakan sudah bilang oke maka tinggal dijalankan dan selesai. Maka perlu diubah paradigma penyusunan kebijakannya. Artinya apabila kebijakan oke maka pemerintah perlu merespon masukan-masukan dari Orang Rimba bukan malah melanjutkan pelaksanaannya. Nah, persiapan tersebut tidak mempertemukan inisiatif lokal dengan yang dari atas. Persoalannya disitu sehinga menimbulkan konflik. Konfliknya sebagian dari kelompok merasa ini tempat berburu kok malah jadi zona inti sehingga timbul persepsi dari Orang Rimba, kok mereka malah akan diusir, ga boleh ya itu persepsinya. Sehingga menurut saya kan peran LSM lebih kepada upaya penguatan kapasitas Orang Rimba. Sehingga dia memahami sebetulnya kapan RPTNBD dibikin, bagaimana Orang Rimba bisa memberi masukan.

T: Menurut Bapak, apakah akan muncul permasalahan jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? Jika iya permasalahan seperti apa?.

J: Oh iya pasti, permasalahan jika Orang Rimba tidak dilibatkan, RPTNBD tidak akan berjalan, akan timbul konflik yang berkepanjangan, akan terjadi pelanggaran HAM.

T: Menurut Bapak, apakah benar dalam penyusunan RPTNBD komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan? J: Dibeberapa hal dilibatan, mereka diajak berdialog kadang-kadang hasil dialog ini tidak selalu diserap oleh orang yang buat. Jadi yang buat bukan BKSDA, BKSDA punya konsultan. Itu kan sama kayak teman-teman ITB menyusun tata ruang. Kan konsultan kadang-kadang asumsi yang di lemparkan masyarakat lain, yang dilemparkan konsultan lain, oleh pemda lain sehingga ada deviasi. Disitu konsultan orang yang tidak paham tentang itu. Konsultan diburu waktu bagaimana menyusun sebuah kerangka yang komprehensif sedangkan waktu yang diberikan hanya tiga bulan. Kan itu juga jadi masalah. Jadi untuk menyusun rencana tata ruang pengelolaan kawasan itu tidak hanya setahun tetapi lima tahun. Ada studi mendalam, ada proses-proses konsultatif. Ya bagaiamana tiga bulan harus menyusun rencana itu. Bagaimana bisa melibatkan Orang Rimba dalam waktu yang segitu. Untuk studi pustaka aja udah abis sebulan, untuk merumuskan kemudian habis 2 minggu, udah habis 1 setengah bulan. Kemudian baru dikonsultasikan. Kemudin jalan ke Jambi aja udah 1 minggu lagi, udah hampir 2 bulan. Pasti ini tidak akan maksimal. Menurut saya, yang udah biarlah tetapi bagaimana kedepannya mendisain sebuah kerangka yang kita mulai benar-benar pemahaman dari bawah. RPTNBD yang disusun kan hanya sebuah rencana. Udah bagaimana kita sekarang menyusun sebuah rencana yang benar-benar melibatkan peran serta komunitas adat Orang Rimba yang menyeluruh.

T: Jadi, menurut Bapak sebelum menyusun RPTNBD itu perlu dilakukan studi yang lebih mendalam dulu? J: Iya, ada kajian antropologi, ada kajian bentuk pengelolaan ruang mereka, ada kajian interaksi Orang Rimba dan Orang Melayu, ada kajian tekanan terhadap kawasan. Jadi yang komprehensif sehingga kemudian dari

(15)

kajian tersebut muncul bagaimana upaya-upaya untuk pemahaman terhadap Orang Rimba lebih kepada konsultasi yang bukan hanya dalam skup baik ini bagus untuk Orang Rimba tetapi konsultasi dari awal bagaimana nanti pada waktu menyusun, mereka tau bagaimana menyusunnya. Mereka juga harus diminta pendapatnya, seperti apa menyusunnya, bagaimana mereka harus terlibat, hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh Orang Rimba, kalo ada masukan seperti apa masukannya. Jadi ada sebuah tahapan yang jelas sehingga semua orang bisa berperan, pernah Orang Rimba diundang satu kali pertemuan di jambi, pertemuan itu 2 jam, gimana mau maksimal.

T: Menurut Bapak, Memang benar ya RPTNBD itu bermasalah jika diterapkan dan perlu dibikin yang baru lagi? J: Sebenarnya jika merujuk kepada UU No.5 Tahun 1990, tentang pengelolaan SDAH dan ekosistemnya, itu betul, tetapi persoalannya kan aturan itu muncul juga aturan yang sangat tidak menghormati hak-hak masyarakat asli. Artinya pertama, perbaiki dulu UU pokok itu. Yah di UU itu tidak ada hal yang macem-macem. Pokoknya negara bikin ya sudah. Jadi persoalannya mendasar, itu jadi seolah-olah negara lah yang punya itu. Nah, sekarang tidak lagi konteksnya tidak seperti itu. Konteknya adalah bagaimana kemudian sebuah kebijakan yang responsif dan dinamis. Kenapa responsif adalah karena dia harus merespon segala perubahan-perubahan. Dinamis karena beberapa hal yang memang oh ini tidak cocok dan harus dirubah. Ya klo emang bermasalah RPTNBD nya untuk diterapkan jelas bermasalah.

T: Menurut Bapak, kalau memang mau dibikin RPTNBD yang baru musti dari awal sekali ya? yang jelas tahapan-tahapannya?

J: Iya dari awal dulu. Oke mungkin studinya agak lama. Yang penting masing-masing stakeholders pasti punya data. Itu harus ada kompilasi data, analisis data, artinya yah dari awal menyusun RPTNBD itu. Dari awal menata kawasan itu. Jadi bukan hanya dari satu pihak saja.

T: Jadi menurut Bapak harus di tata lebih dulu kawasan TNBD itu dengan jelas?

J: Iya harus ditata batas dulu dari awal karena tata batas itu sendiri belum ketemu gelang. Jadi harus ketemu gelang dulu.

T: Menurut Bapak, peran LSM dalam pemberdayaan dan pembelajaran komunitas adat Orang Rimba seperti apa?

J: Pemberdayaan itu kan lebih kepada peningkatan kapasitas Orang Rimba sehingga mereka mampu berdialog, mampu mengadvokasi dirinya, mampu memahami kira-kira argumen apa yang bisa diberikan kepada pengambil kebijakan. Jadi lebih kepada pemberdayaan intelektual sehingga mereka mempunyai kapasitas yang setara ketika bernegosiasi. Peran LSM ya itu menguatkan kapasitas Orang Rimba baik dari aspek ekologi budaya maupun politik.

T: Bentuk pemberdayaan dan pembelajaran yang Bapak maksud seperti apa?

J: Pemberdayaan yang dimaksud artinya secara rutin selalu mengajak Orang Rimba untuk mendiskusikan rencana pengelolaan kedepannya seperti apa. Jadi kita mendorong lahirnya jaringan antar tumenggung Orang Rimba, kemudian juga kita membantu mereka studi banding ke beberapa kawasan taman nasional, seperti ke ... dan ke mentawai. Jadi mereka juga bisa belajar, terus juga pemberdayaan dalam kesehatan, pemberdayaan untuk meningkatkan ekonomi mereka, melalui hompongan karet. Kemudian juga kita mempekuat mereka untuk kemampuan baca dan tulis selain dari penguatan kelembagaan mereka sendiri.

(16)

T: Kalo bentuk pemberdayaan dan pembelajaran sebelum berperan serta dalalm penataan kembali kawasan TNBD seperti apa?

J: Pemberdayaan sebelum penataan kawasan memang penting seperti pemetaan secara sederhana dan penggunanaan GPS agar mereka punya peta-peta sosial sendiri. Mereka itu sudah punya peta-peta sosial mereka sendiri dan itu sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Jadi mereka lah yang mengadvokasi dimana sumber daya mereka, dimana tempat berburu mereka, dimana ladang mereka, sudah ada di peta itu. Cuma tidak dimasukkan ketika penyusunan RPTNB. Bagi saya itu cuma teknik tapi yang penting bagi saya kemampuan dalam berdialog dan bernegosiasi. Apalah artinya peta-peta sosial tersebut jika tidak dimasukkan dalam penyusunan RPTNBD. Jadi yang lebih penting adalah bagaimana cara mengadvokasikan peta-peta sosial mereka. Itu lebih penting. Itu hanya alat-alat saja, mereka bisa buat peta-peta sederhana tapi jika petanya tidak dipake apalah artinya. Tetapi yang diharapkan adalah mereka bisa buat peta dan bisa mengadvokasikan peta-peta tersebut kedepannya itu jauh lebih baik. Oke untuk saat ini mereka perlu didampingi LSM tetapi kedepannya mereka harus bisa lebih mandiri dan otonom.

T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba sebelum mereka ikut berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD?

J: Kalo pemberdayaan menurut saya itu tugas pemerintah tapi untuk saat ini yang lebih concern dalam pemberdayaan adalah LSM.

T: Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran? J: Kalo sampai saat ini kira-kira sepuluh tahun pemberdayaan belum selesai dilaksanakan. Pemberdayaan harus disesuaikan dengan budaya mereka. Jadi yang pertama itu mengajarkan mereka membaca dulu. Untuk meyakinkan mereka membaca itu butuh waktu 5 tahun karena adat melarang mereka membaca. Jadi ada tahap-tahap itu. Jadi beda-beda pemberdayaannya tergantung budaya mereka. Jadi setelah diajarkan membaca, bagaimana kemudian diajak diskusi yang lebih mendalam tentang pengelolaan, dikasih buku-buku, diajak studi banding, nah itu bagian dari pemberdayaannya. Jadi pemberdayaan bukan hanya diukur dari fisik dan ekonomi semata. Ya kalo menggunakan GPS saja mereka 1 minggu juga sudah bisa menggunakannya. Tinggal ajarin pencet ini, pencet ini, itu mereka bisa. Itu lebih ke teknis tetapi bagaimana mereka bisa berdialog dan bernegosiasi. Tidak takut ketika berhadapan dengan orang luar, tidak takut ketika berhadapan dengan Pak Camat. Ini kan pelan-pelan merubah kultur, merubah budaya. Kalo GPS kan alat, tinggal pencet-pencet bisa. Pakai komputer sebentar, pakai handy cam mereka sudah bisa, tapi bukan itu pemberdayaan.

T: Menurut Bapak, apakah pemerintah pusat berperan dalam pelaksanaan pemberdayaan dan pembelajaran? J: Seharusnya tugas-tugas dalam pemberdayaan dilaksanakan pemerinah pusat, mengajak mereka, mendampingi mereka, tetapi ya tidak jalan. Iya itu karena keterbatasan jalan, keterabatasan anggaran, proyek, dll.

T: Kalau pemerintah provinsi berperan tidak dalam pemberdayaan dan pembelajaran?

J: Sama saja dengan pemerintah pusat, pemberdayaan menurut mereka lebih kepada fisik., membagunkan rumah, kan mereka dibangunkan rumah, pertanyaannya apakah Orang Rimba membutuhkan rumah?. Orang Rimba kan berpindah-pindah hidupnya. Jadi dibangunkan rumah, rumah itu ditinggalkan sama mereka, dibangunkan sekolah, Orang Rimba kan pindah-pindah. Jadi sekolah tersebut juga ditinggalkan. Tapi pemberdayaan yang dimaksud adalah bagaimana mengamankan hutan tersebut agar nyaman bagi Orang Rimba sebagai tempat berburu dan tempat hidup. Jadi pemberdayaan yang dimaksud oleh pemerintah itu lebih ke fisik. Rumah itu dibangun akhirnya yang nempatin Orang melayu, Orang Padang, Orang Batak. Sekolah

(17)

dibangun akhirnya tidak ditempatin juga, pemerintah itu memaknai pemberdayaan itu fisik. Kalo kita memaknai pemberdayaan itu kapasitas. Memang ukurannya tidak terkuantifikasikan. Tapi memang itu yang utama. Pernah ada bantuan ternak, ternak kambing, ternak ayam, mereka itu haram makan ayam . Bagaimana mereka mau beternak klo itu haram menurut budayanya. Pernah dibangun rumah dibuat dengan cara potong pohon, bagi mereka tabu membangun rumah diatas tungkul. Dibangun rumah dengan atap seng, bagi mereka atap seng itu tabu, karena menurut mereka atap seng tabu karena dewa tidak bisa berhubungan dengan mereka. Itulah pemberdayaan menurut pemerintah, pemberdayan yang tidak tepat. Untuk memahami pemberdayaan, untuk memahami pengelolaan, belajarlah dari kondisi budaya mereka. Bagi Orang Melayu dan Orang Padang tidak apa-apa, tetapi bagi Orang Rimba bukan itu permintaannya. Mereka di tiap pertemuan selalu meminta agar kawasan hutan tidak dirusak, karena tanah mereka itu hutan, tempat mencari makan mereka di hutan, tempat menikah di hutan, tempat melahirkan di hutan. Nah kalo emang perlu pemberdayaan, pemerintah tolong mengirimkan ada dokter yang rutin terjun ke Orang Rimba. Sementara Warsi yang mengambil alih peran pemerintah tersebut. Warsi mengirimkan tenaga kesehatan, ada guru, dibangunkan kebun karet. Ada program karet rakyat dari pemerintah, tidak sampai ke Orang Rimba, hanya Orang-Orang Melayu yang menerimanya, Orang Melayu itu orang kampung atau orang dusun yang tinggal di sekitar TNBD. Ada program sekarang itu dana bantuan langsung tunai, Orang Rimba tidak dapat karena Orang Rimba tidak punya KTP, ya memang mereka tidak punya KTP. Ya jadi seperti itu pemberdayaan dari pemerintah tidak tepat, baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten sama saja, tetapi beberapa pemerintah kabupaten, seperti Sarolangun sudah mulai merubah pendekatannya ke Orang Rimba.

T: Menurut Bapak siapa pihak yang paling tepat melakukan pemberdayaan dan pembelajaran?

J: Sebenarnya persoalan Orang Rimba tidak bisa dipikirkan oleh dinas-dinas teknis tetapi harus terpadu, misalnya Depdiknas seolah-olah dia hanya mengurus pendidikannya saja tetapi pendidikan juga terkait dengan bagaimana pendapatan, sehingga harus ada sebenarnya sinergi lintas sektor kalo untuk melaksanakan pemberdayaan. Jadi bukan hanya memikirkan satu sisi saja. Kalo Depsos hanya bangun rumah saja, mau rumah ditempatin atau enggak mereka tidak peduli, Depdiknas bangun gedung sekolah mau itu digunain ato enggak ya tidak peduli. Seharusnya kan terintegrasi.

T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat melaksanakan penunjukkan kawasan TNBD?

J: Kalo TNBD itu berbeda. Kawasan TNBD itu dulunya oleh Pemprov Jambi dijadikan Cagar Biosfer Bukit Duabelas awalnya. Itu dulunya kawasan berbukit dan Orang Rimba tidak tinggal disitu. Mereka tinggal di kawasan-kawasan datar. Ada tempat berburu disitu, binatang banyak disitu, jernang ada disitu, semua lah penghidupan mereka disitu. Kawasan berbukit kan tidak, nah kalo kawasan yang datar tempat hidup Orang Rimba itu oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan HPH dan perkebunan transmigrasi. Nah waktu itu kawasan yang sekarang menjadi TNBD tadinya menjadi HTI, mau ditanami dengan akasia. Kita proses, karena kalo ditebang Orang Rimba mau tinggal dimana?. Nah melakukan advokasi Orang Rimba juga terlibat, Orang Rimba setuju, ke mereka juga dijelaskan, ini mau dijadikan HTI, mereka juga protes, kalo ditebang nantinya mereka akan tinggal dimana. Akhirnya Warsi dan beberapa LSM di jambi bahu-membahu melakukan advokasi baik ke tingkat provinsi maupun ke pusat agar membatalkan kawasan itu menjadi HTI. Proses advokasi itulah yang kemudian juga didukung oleh gubernur. Gubernur merekomendasikan agar kawasan itu menjadi HTI dicabut. Mereka berjuang di Dephut, protes, demo segala macem. Akhirnya Dephut setuju untuk mencabut kawasan itu dan tidak menjadi HTI. Cuma di Indonesia dasar hukumnya tidak ada cagar biosfer, yang ada itu taman nasional, hutan lindung, itu yang ada, sehingga memang dengan sangat pahit, iya taman nasional. Iya tapi TNBD itu berbeda dengan taman nasional yang lain, berbeda karena TNBD itu diperbolehkan Orang Rimba hidup di dalamnya, sedangkan taman nasional yang lain tidak boleh, kalo ini boleh, sehingga Orang Rimba masih selamat karena tempat hidup mereka masih hutan. Coba seandainya dijadikan HTI mereka mau hidup

(18)

dimana?. Kalo ini aspirasi dari bawah. Nah memang saya tidak setuju kalo pusat menetapkan sekendak hati. Seharusnya proses dari bawah dulu, kebutuhan dari atas bukan dari atas. Tapi emang kita ga ada pilihan kan karena kita tidak ada bentuk yang lain selain taman nasional yang mempunyai kekuatan yang lebih kuat. Kalo jadi Tahura nanti bisa dibalak orang. Jadi saya setuju penunjukkan kawasan taman nasional dari pemerintah pusat berdasarkan usul dari bawah. Jadi berdasarkan aspirasi dari bawah. Jika memerlukan perlindungan dalam bentuk penunjukkan baru departemen menyetujui. Bukan departemen yang menetukan setuju tidak setuju.

T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD?

J: Dimulai dari Orang Rimba dulu, Orang Rimba kita lihat persepsinya, mungkin yang paling dekat dengan Orang Rimba bisa LSM lah. LSM memfasilitasi proses bagaimana mengumpulkan aspirasi Orang Rimba itu yang pertama. Yang kedua mengumpulkan model-model pengelolaan kawasan versi Orang Rimba. Yang ketiga LSM kemudian bersama Orang Rimba membantu untuk merancang disain awal ruangnya, ini bisa disebut pemetaan sederhana, ini sumber daya kami, ini tempat berburu, ini tempat apa, ini tempat yang kita jaga, pokoknya untuk disain awal. Kemudian peran LSM membantu mengkonsultasikannya, pertama dengan sesama Orang Rimba dulu, sudah sama kah pendapatnya, sudah sama kah persepsinya. Kemudian peran LSM bersama Orang Rimba menyampaikan ini kepada UPT taman nasional. UPT taman nasional merupakan dari pemerintah pusat. Cuma dia bertempat di kawasan. Kemudian juga menyampaikan kepada pemerintah daerah. Jadi aspirasi tadi meliputi pengelolaan, perlindungan, juga bagaimana pengembagangan kedepan. Orang Rimba kan punya konsep hompongan yaitu memagari taman nasional dengan karet. Nah mungkin Pemkab bertugas untuk bagaimana membatu menyediakan karetnya. Mengatur pembagian karet agar tidak merugikan Orang Rimba. Bagaimana pemerintah memperbaiki infratrukturnya lah seperti jalan, itu peran pemerintah. Kemudian juga pemerintah juga bertugas untuk melindungi hak hidup Orang Rimba. Dan membangun sarana yang dibutuhkan seperti sarana kesehatan. Nah baru pemerintah provinsi harus bersama-sama pemerintah kabupaten meyakinkan pemerintah pusat bahwa aspirasi Orang Rimba lah yang harus menjadi substansi RPTNBD. Ya pemerintah pusat hanya kemudian merancang sesuai dengan apa yang telah dirancang dari bawah. Dia mengkonsultasikan, mengkoreksi apakah sudah sesuai semuanya, kalo sudah ya itu yang dipake, ya yg dari bawah. Nah ketika semua itu dari bawah, semua aspirasi dari bawah, ya itu tidak akan jadi masalah. Yang jadi masalah adalah ketika orang dibawah ga ngerti tiba-tiba harus ada ini kan. Jadi dibalik prosesnya. Jadi peran Pemkab, Pemprov adalah mendukung dan meyakinkan pemerintah pusat bahwa aspirasi Orang Rimba inilah yang menjadi substansi RPTNBD. Jadi pemerintah pusat tinggal ketuk palu setelah menerima aspirasi Orang Rimba tersebut.

T: Kemudian bagaimana persepsi Bapak terhadap penetapan kawasan TNBD?

J: Aturannya emang begitu. Aturannya emang pusat yang menetapkan tetapi pusat juga harus melibatkan Orang Rimba. Pemda dan LSM lah kalo ada untuk menjadi anggota badan pengelola. Selama ini badan pengelola taman nasional hanya UPT taman nasional saja tanpa melibatkan orang luar. Nah kedepan itu harus badan pengelola yang partisipatif, ada Orang Rimbanya, ada Pemdanya, sehingga jika terjadi masalah bisa dikonsultasikan dulu. Ini kan enggak UPT kan pegawai departemen kehutanan semua, tapi seandanya kalo ada Orang Rimba bisa memberikan aspirasinya. Kalo ada LSM bisa memberi koreksi, ada Pemda bisa menyatakan keberatan klo ada program yang tidak singkron. Itu semua ditampung dalam satu badan pengelola yang partisipatif.

(19)

T: Mau bertanya Pak tentang perbedaan Dephut dan BKSDA?

J: Dibawah Dephut ada sekjen, sekjen itu ngurusin internal, kepegawaian dan macem-macem, ada BPK, itu ngurusin HTH, HTI disini. Ada RLPS, itu ngurusin rehabikitasi lahan dan kehutanan sosial, reboisasi, dll, itu disini. Ada Irjen untuk inspektorat, untuk pengawasan. Ada PHKA, ini untuk konservasi alam, jadi PHKA itu Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Ada Litbang untuk penelitian dan macem-macem. Dan ada Baplan, untuk peta-peta disini. Masing-masing tersebut dibawahnya punya UPT. Dibawah BPK itu ada BP2H. Sekjen tidak ada UPT. Dibawah RLPS ada BPDA. Irjen tidak ada. Dibawah PHKA, ada BKSDA. Dibawah Litbang, ada Litbang Tera. Nah itu kan ada UPT. Nah ada BKSDA, itu untuk mengelola kawasan diluar kawasan konservasi, seperti: hutan lindung, Tahura, dll, itu disini. Terus ada lagi yang dibawah PHKA yaitu UPT taman nasional. Dulu tidak ada UPT taman nasional, jadi taman nasional dipegang oleh BKSDA. Jadi taman nasional udah ada badan pengelola sendiri yaitu UPT taman nasiobal, yang dibentuk belum satu tahun lah. Jadi tidak lagi dikelola BKSDA. BKSDA itu unit pengelola teknis di daerah di tiap-tiap provinsi. BKSDA itu hanya di provinsi. Kalo dinas kehutanan beda lagi. Dinas kehutanan di kabupaten tidak bertanggung jawab kepada Dishut di provinsi, hubungannya hanya sebatas koordinasi. Dishut di kabupaten bertanggung jawab kepada bupati, dan Dishut di provinsi bertanggung jawab kepada gubernur. Kawasan hutan lain diluar hutan lindung, taman nasional, Tahura, HTI, HTH, suaka alam, baru dikelola oleh departemen kehutanan lewat dinas kehutanan di daerah. Jika di kabupaten dikelola oleh Dishut kabupaten dan jika di provinsi dikelola oleh Dishut provinsi. Hutan lain itu seperti hutan-hutan yang tersisa.

T: Kemudian bagaimana preferensi Bapak terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba yang saya tawarkan?

J: Sebernarnya kalo untuk pemberdayaan yah semuanya perlu dilibatkan. Tidak ada pemerintah pusat saja, tidak ada pusat provinsi, tidak ada pusat kabupaten, tidak ada pusat dan kerjasama kabupaten dan provinsi, tidak ada pusat dan LSM yang tidak melakukan pemberdayaan, dll. Iya kalo saya yah semuanya perlu dilibatkan dalam pemberdayaan karena masing-masing tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda. Kalo berbicara untuk dalam kawasannya, iya itu pemerintah pusat karena kawasan taman nasional, Pemda tidak boleh masuk. Karena untuk pemberdayaan di dalam kawasan taman nasional itu kan emang pemerintah pusat lewat UPT taman nasional, karena Pemda tidak punya hak untuk masuk ke dalam taman nasional. Pemda hanya berkewajiban diluar kawasan taman nasional. Tetapi persoalan taman nasional bukan persoalan yang berdiri sendiri tetapi juga berinteraksi dengan daerah sekitanya. Jadi pusat bisa di dalam, Orang Rimba juga berhubungan dengan daerah sekitarnya, disitulah peran Pemkab, pemberdayaan ekonomi Orang Rimba dan masyarakat desa. Kalo hanya masyarakat desa yang diberdayakan sedangkan Orang Rimba tidak, nantinya Orang Rimba cemburu. Mereka cenderung melakukan tindakan yang destruktif dalam pengelolaan hutan. Dan pemerintah provinsi untuk beberapa kabupaten yang beririsan itu terlibat disini. Artinya provinsi misalnya, TNBD itu kan sebagian Sarolangun, sebagian Tebo, sebagian Batanghari. Pemda Sarolangun, dia hanya membantu program untuk masyarakat disekitar Sarolangun saja, Pemda Batanghari hanya di sekitar Batanghari saja, Pemda tebo hanya disekitar Tebo aja. Nah pemerintah provinsi adalah mengkover untuk semua program yang terkait dengan ketiganya, pemerintah pusat untuk yang di dalam taman nasional nya. Jadi kalo Pemda hanya di desa-desa sekitar taman nasional, dia tidak bisa masuk ke dalam taman nasional karena tidak ada wewenang dia. Nah kalo cuma pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi saja terus yang di dalam siapa, trus kalo hanya pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten saja, trus yang memberdayakan Orang Rimba siapa. Ini harus ada LSM mungkin juga harus berperan disini, LSM bisa menjembatani Pemprov dan Pemkab, menjembati pemerintah provinsi dan taman nasional. Jadi menjadi fasilitator antar pihak-pihak itu. Jadi Pemda itu tidak boleh masuk ke dalam taman nasional karena sesuai dengan tupoksinya.

(20)

T: Preferensi Bapak terhadap rincian/tahapan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba bagaimana? J: Iya dimulai dari LSM yang melakukan pemberdayaan, yang digunakan untuk membangun kapasitas Orang Rimba agar mampu berdialog dan berdiskusi dengan pihak-pihak luar.

T: Kalau dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD, Bapak lebih prefer siapa yang lebih tepat melaksanakannya?

J: Iya pertama lebih baik ditentukan oleh Orang Rimba dulu. Jadi mereka menentukan mana-mana kawasan yang dijaga oleh Orang Rimba. Kalo yang berhak sebetulnya pemerintah pusat karena aturannya seperti itu. Nah kenapa harus Orang Rimba dulu yang melakukan itu supaya mereka tau dulu mana-mana yang akan diusulkan. Inilah yang perlu mendapat dukungan dari Pemkab dan Pemprov. Tata batas tidak akan bisa berjalan tanpa disyahkan oleh bupati dan gubernur. Kalo gubernur, saya tidak mau tanda tangan kalo Orang Rimba tidak setuju. Kan penting membangun dukungan agar gubernur mendukung apa yang telah kita bangun dari bawah. LSM dan Orang Rimba membuat penataan batas dan penataan zona versi mereka, lalu hasil itu dikomunikasikan ke Pemda untuk meminta dukungan-dukungan.

T: Jadi kesimpulannya preferensi Bapak terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba seperti apa?

J: Kesimpulannya ya alternatif yang baru, dimana semua pihak perlu terlibat, mulai dari Orang Rimba, masyarakat desa sekitar, LSM, Pemkab, Pemprov, dan pemerintah pusat.

Bapak Rudi Syaf

Manager Program Kominfo LSM KKI Warsi

Senin, 26 November 2007. 10.15 WIB

T: Bagaimana pandangan Bapak tentang bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD?

J: Sebenarnya penataan kawasan TNBD itu sudah ada di SK Penunjukkan TNBD seluas 60.500 ha pada tahun 2000. Nah, dalam perkembangaannya setelah jadi taman nasional yang ideal itu luasnya tidak mencapai 60.500 ha, tetapi kurang dari itu. Nah, jadi bentuk yang ideal dari kawasan taman nasional itu seperti ini, luasnya tidak mencapai seperti dalam SK itu. Karena seperti di dalam ini sudah ada orang, ini sudah ada permukiman, di atas ini juga ada. Jadi bentuk kawasan yang mungkin itu ya seperti ini karena sudah banyak tekanan dari luar. Nah kemudian kita mendorong Orang Rimba untuk menggunakan sistem-sistem tradisional mengurangi tekanan ini. Jadi Orang Rimba itu sepanjang batas luar membuat kebun karet yng menjadi hompongan. Tekanan semakin berkurang. Hanya setelah taman nasional, secara administrarsi telah terbentuk balai taman nasional (UPT taman nasional) sekitar tahun 2005. Nah, Indonesia ini kan punya UU tentang taman nasional bahwa taman nasional dibagi dalam zonasi maka muncullah proyek RPTNBD itu dalam pengelolaan TNBD. Karena proyek maka yang kerja itu konsultan. Karena tidak ada kewajiban-kewajiban itu akhirnya. Nanti klo dengan Pak Robert dia punya produk RPTNBD yang dibuat konsultan itu. Hampir yang dibawah ini, gitulah kira-kira, semua ini jadi zona inti. Nah kalo zona inti kan tidak boleh ada apa-apa. Nah itu Orang Rimba itu jadi keberatan. Karena kalo sampe hari ini walaupun RPTNBD udah dibuat, Orang Rimba itu kan menyebar di dalam TNBD ini. Memang mereka sedikit yang ada di zona inti. Yang terbanyak itu ya di atas ini, jika melihat sebaran Orang Rimba tadi. Nah yang jadi zona inti itu bukit ini. Nah, tapi mobilitas mereka kan tinggi. Nah itu yang menjadi masalah. Nah yang menjadi masalah utamanya itu adalah mereka tidak sependapat dengan zona inti yang dibuat dalam RPTNBD. Itupun yang menjadi masalah utama antara Orang Rimba dengan kasus RPTNBD hanya di zona intinya yang tidak sepakat. Nah, kalo Warsi sekarang mendorong bagaimana karena

(21)

aturan pemerintah itu bilang kalo taman nasional harus ada zona-zona nya itu. Jadi kita harus tetap mengakomodasi, jadi bagaimana zona intinya tetap ada tapi zona inti yang memang diakui oleh Orang Rimba. Nah Orang Rimba itu kan juga punya aturan pengelolaan kawasan. Dia punya tanah pranoon, tanah pranoon itu tempat ada pohon-pohon tertentu yang kalo anaknya lahir, ari-ari bayi itu ditanam disitu. Nah itu kan daerah inti itu, daerah lindung, hanya itu kecil-kecil, jadi bukan satu kawasan ini jadi daerah lindung mereka bukan. Jadi menurut kita kalo mengikuti Orang Rimba, zona inti itu akan menjadi banyak, kecil-kecil seperti ini. Dan itu tidak ada salahnya, yang penting kan latar belakang taman nasional ini dibentuk untuk Orang Rimba dasar berpijaknya. Jadi bukan sebaliknya kalo taman nasional untuk kepentingan konservasi jelas zona intinya harus paling luas karena kepentingannya ekologi, ekosistem, dan lain sebagainya. Tapi inikan lain, ini kepentingan untuk Orang Rimba berarti kepentingan Orang Rimba yang harus diutamakan jadi pendapat kita zona inti tetap mungkin ada di dalam RPTNBD tapi zona inti yang mengikuti zonanya Orang Rimba, point utamanya yang paling penting. Hanya memang zona intinya jadi kayak mozaik-mozaik gini. Dan sampai dengan hari ini sudah dimulai lagi ada dialog lagi yang intensif antara BKSDA, Orang Rimba, dan masyarakat sekelililng taman untuk membahas RPTNBD itu. RPTNBD itu juga harus memikirkan kawasan seperti ini. Ini bukan kawasan Orang Rimba lagi ini, kalo taman nasional kan disini. Nah klo disini udah kawasan orang melayu, ini kebun karet semua. Klo diliat dari citra tadi kan terlihat kalo kawasan ini udah terbuka. Tidak mungkin orang-orang ini diusir keluar kan. Makanya kawasan yang paling mungkin itu seperti itu.

T: Pandangan Bapak sendiri terhadap peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya seperti apa?

J: Iya menjadi penting, jadi stakeholder paling pentingnya ya Orang Rimba karena memang taman nasional ini diperuntukkan untuk mereka, tapi seperti apa membangun komunikasinya. Berarti perlu lah mediator dan fasilitator nah disitulah peran Warsi bisa. Warsi bisa berperan lah disitu untuk menjadi mediator. Pertama seperti kasus dulu sewaktu konsultan bikin RPTNBD itu, penerjemah dia perlu kan, nah penerjemah dari Warsi, itu paling tidak, tapi idealnya kan perlu mediator. Warsi udah disini sejak tahun 1997, jadi relatif udah semua kelompok kita kenal. Tipikal Orang Rimba kan cenderung defensif, umpama jika ada orang baru datang dia tidak bisa langsung jadi terbuka, dia cenderung menghindar. Jika ada orang baru datang mereka langsung masuk ke semak-semak. Tapi memang cara mereka mempertahankan hidup seperti itu. Jadi Orang Rimba itu menjadi stakeholder penting dan mereka udah punya sistem pengelolaan ruang sendiri, seperti tadi ada tanah pranoon, ada padang jernang, padang jernang itu pohon jernang semua itu satu hamparan. Nah itu kan harus di protect juga, karena jernang tidak akan tumbuh kalo tidak ada naungan, kalo tidak ada pohon besar pohon jernangnya mati, nah itu kan udah jadi seperti zonasi. Jadi Orang Rimba itu punya tata ruang sendiri juga, itu tadi ada kawasan tanah pranoon, ada padang jernang, ladang yang mereka sebut ladang itu, itu kan hanya di tanamin padi dan itu pindah-pindah kan, itu juga pada kawasan tertentu. Jadi yang udah jadi belukar disebut sesak, nah sesak itu akan diulang lagi dan akan dibuka lagi setelah dianggap subur. Jadi ada udah terbagi lah ruangnya, nah ini untuk perladangan ini, dan ada juga hutan yang betul-betul jadi hutan permanen. Nah yang perlu didorong adalah bagaimana menemukan, mengambarkan pegelolaan Orang Rimba itu. Mereka itu kan hanya lisan. Oh disitu tanah pranoon, disini ditanam jernang, disini ditanam durian, disini kawasan ini tempat kita bisa buka ladang padi. Nah itu bagaimana bisa diruangkan dalam bentuk yang menjadi tergambarkan. Point yang utama untuk menghasilkan RPTNBD itu adalah menemukan itu. Berarti itu kan harus wawancara semuanya. Nanti dia bilang tanah pranoon kami disini, jadi kerjaan panjang emang. Diapakan dengan GPS di lapangan akhirnya dibuat poligonnya. Harusnya begitu tapi itu kan RPTNBD keterbatasannya kan proyek. Anggaranngya mungkin tidak sanggup. Tapi kalopun itu proyek mungkin bisa proyeknya RPTNBD itu dibuat selama 3 tahun, tahun pertama lebih ke wawancara kan, tahun kedua mulai mensurvey dan mendigitasikannya, tahun ketiga jadi. Itu kendala utama. Karena proyek pemerintah sulit untuk itu. Itu kedala utama.

(22)

T: Menurut Bapak sendiri penting ya peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya?

J: Dia jadi stakeholder utama tetapi dia punya kelemahan karena interaksi dia dengan orang luar minimal. Punya perbedaan budaya yang sangat signifikan apalagi dengan konsultan.

T: Kalo peran serta komunitas adat Orang Rimba sendiri dalam penataan kawasan TNBD, menurut Bapak penting ga?

J: Saya pikir masih sama pointnya dengan yang di atas karena pemangku kepentingan utamanya disini yaitu Orang Rimba. Sesuai dengan SK menteri dan mereka sudah hidup disini dari puluhan tahun yang lalu. Mereka punya batas yang jelas dengan orang melayu.

T: Menurut Bapak, apakah akan muncul masalah jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD?

J: Pasti ada masalah, karena kalaupun dipaksakan ada zona inti mau disini mereka akan tetap masuk pada saat mereka akan bergerak kesitu, mereka akan tetap masuk. Tetap ada masalah. RPTNBD sulit kalo emang dipaksakan untuk diterapkan karena ini memang tempat hidup Orang Rimba. Beda dengan taman nasional lain, taman nasional dibentuk awalnya tidak ada orang. Tapi kemudian orang merambah. Nah itu kan lain kasusnya. Klo kasus perambahan berbeda. Klo ini memang orang yang hidup disitu. Usulan dulu ini dibentuk untuk mereka disitu. Ya pasti jadi masalah besar. Jadinya hak hidup mereka jadi terganggu kan.

T: Pandangan Bapak, terhadap pemberdayaan yan pembelajaran sebelum komunitas adat Orang Rimba berperan serta dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya, pihak-pihak mana saja yang seharusnya terlibat?

J: Harusnya semua berperan tapi ya itulah persepsinya berbeda-beda. Contoh pemerintah pusat, mereka ada peran disini, mereka bikin rumah disini, diluar taman nasional, ada sekitar 50 atau 60 rumah, atap seng, dinding papan, lantai tanah, mereka dari dalam hutan ini disuruh pindah keluar itu kan maksudnya pemberdayaan, bahwa hidup di dalam hutan tidak baik, lebih baik di rumah ini. Itu konsep pembangunan yang saya sebut integrationist romantic, ingin segera orang-orang yang dianggap terbelakang itu ingin segera hari ini bisa seperti kita, segera bisa berintegrasi seperti orang yang sudah maju ini. Tapi romantic terlalu dipaksakan, akhirnya apa, rumah itu kosong, ataupun kalo ada yang nunggu orang jawa, orang batak, Orang Rimba kembali lagi ke hutan. Ada banyak pembangunan seperti itu yang menjadi sia-sia, itu contoh bahwa upaya pemberdayaan, persepsinya berbeda dengan apa yang diinginkan Orang Rimba itu contoh. Kemudian contoh yang lain, beberapa titik dari tempat lokasi mereka ini ada puskesmas. Puskesma itu kan melayani pengobatan kesehatan masyarakat. Orang Rimba kan bagian dari masyarakat, tapi Orang Rimba tidak bisa dilayani di puskesmas, kenapa? karena Orang Rimba tidak punya KTP. Nah itu kontradiksi lagi, kalo tadi kan dibangunkan rumah. Kalo ini pelayanan kesehatan tapi tidak bisa diakses Orang Rimba. Artinya Orang Rimba tidak bisa berobat kesitu. Nah itu yang menjadi kontradiksi dalam pemberdayaan. Trus ada banyak SD, lagi-lagi Orang Rimba tidak bisa memanfaatkan fasilitas itu untuk pemberdayaan mereka, karena apa? karena Orang Rimba cenderung nomaden, cenderung bergerak. Jadi kalo bulan ini mereka lagi disini, SD disini bisa diakses, tapi kalo bulan berikutnya mereka berpindah lagi berarti juga pindah ke SD ini. Jadi tidak mungkin dengan sistem pendidikan kita. Itu lah contoh-contoh. Jadi semua pihak sebenarnya sudah terlibat. Nah kalo yang dikembangkan oleh LSM, khususnya Warsi, kalo terkait rumah tadi menurut kita itu terlalu romantic, terlalu dipaksakan, jadi harus dilakukan secara bertahap. Yang paling penting pemberdayaan bagi mereka adalah pengakuan wilayah ini dulu. Ini adalah wilayah hidup mereka. Itu satu. Yang kedua mendorong mereka intensif dengan pertanian. Nah kita bikin hompongan dengan kebun karet, nah itu kan mulai intensif, jadi mereka mulai jadi petani karet. Secara perlahan kita dorong. Kalo karet nya udah bagus disini kan susah kalo mereka mau pindah jauh-jauh,

(23)

kan rugi mereka meninggalkan kebun karetnya. Nah itu yang kedua pemberdayaan ekonomi. Yang ketiga hak mereka untuk mengakses pelayanan pemerintah, ada puskesmas, jangan ditanyakan mana KTP nya, jangan ditanyakan mereka penduduk desa mana, tapi dia bisa akses pelayanan kesehatan, pendidikan, harusnya pemerintah mulai mengembangkan pendidikan yang bisa mengikuti mobilitas mereka. Bararti pendidikan yang mobile. Nah Warsi mampu melakukan hal itu seharusnya pemerintah juga mampu. Itu yang keempat pendidikan. Yang terakhir bagaimana secara bertahap mendorong mereka kearah pengakuan sama seperti warga negara yang lain. Sama hak sama kewajiban. Menurut saya pendekatan pemberdayaan yang dilakukan tidak mengikuti persepsi Orang Rimba tapi mengikuti persepsinya kita. Itu sama, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten.

T: Kalo pemberdayaan dan pembelajaran sebelum berperan serta dalam penataan kawasan TNBD, menurut Bapak bagaimana?

J: Sekarang sudah mulai, mereka udah bisa menggunakan GPS tapi kalo bikin peta modern seperti ini belum lah ya, tapi klo sketsa atau peta sederhama mungkin udah bisa. Contoh ini, ini kita buat dengan GPS sama-sama dengan mereka, ini ladang-ladang mereka yang kita ukur. Jadi kalo diliat secara utuh tadi nah ini dia kan. Beberapa udah kita buat dan kerjakan sama-sama. Nah yang diluar ini juga kita kerjakan sama-sama. Jadi kita udah coba buat sama-sama. Jadi mereka udah bisa memetakan ladang-ladang mereka. Dan mereka itu sangat fasih dengan peta, maksudnya peta yang seperti ini mereka tidak punya. Tapi kalo kita bentang, ini sungai ini, ini sungai, mereka langsung nyambung. Orientasinya lebih baik dari pada orang yang di kota. Kalo ini sudah berhasil dibuat semua zonasi di dalam RPTNBD menjadi gampang, tapi inikan susah, ini kan pekerjan yang bertahun. Kalo masalah waktu pemberdayaan, Warsi itu udah 10 tahun disitu, kalo berbicara pemberdayaan pastilah butuh waktu yang panjang. Karena itu lebih ke bagaimana akhirnya mereka mengubah budaya. Kalo pemerintah kan pengennya cepat, bikin rumah, suruh pindah, kan pusing mereka. Kalo ini bertahap jadi emang butuh waktu yang banyak, tapi saya tidak punya ukuran, oh ini 10 tahun jadi.

T: Trus kalo pemberdayaan untuk penggunan GPS dan pemetaan secara sederhana itu membutuhkan waktu yang lama ga Pak?

J: Oh itu sebentar kalo yang teknis sebentar tapi yang sulit adalah bagaimana mendorong mereka untuk tidak lagi pindah. Kalo ada yang meninggal jangan pindah, itu tidak mungkin kan. Nah itu yang butuh waktu bertahun-tahun. Itu budaya. Kalo pake handy cam aja bisa kita ajarin. Baca tulis udah berapa ratus orang yang udah bisa baca tulis. Cepat.

T: Pendapat Bapak, tentang penunjukkan kawasan TNBD dari pemerintah pusat, apakah sudah sesuai? J: Kalo kasus TNBD kan terbalik, penunjukkannya bukan dari pusat. Kasus TNBD justru kasusnya ini kan. Penunjukkan oleh pusat malah ingin mengharuskan ini menjadi HTI. Justru kita bersama-sama Orang Rimba menolak HTI ini. Tapi emang untuk kasus taman nasional lain justru penunjukkan dari pusat. Pada dasarnya penunjukkan dari pusat kalo tidak mengacu kepada kepentingan masayarakat yang ada disitu, itu salah. Contoh ini yang salah itu penunjukkan HTI ini, dulu kan pusat nunjuk ini menjadi HTI. Penunjukkan itu kan diawali dari suatu rencana. Rencana itu kan harus didialogkan sec ara partisipatif, nah itu yang paling bagus, kalo mereka setuju, oke. Kalo mereka setuju dengan catatan atau mereka tidak setuju. Nah itu yang harus menjadi point yang paling menentukan apakah ini ditetapkan atau tidak. Jadi perencanaannya yang didiskusikan.

T: Pengen tau pendapat Bapak tentang rincian bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD?

(24)

J: Kalo saya yang itu tadi, seperti ini, dimulai dari mendialogkan dengan semua Orang Rimba untuk mendefinsikan tata ruang versi mereka. Umpama ini, ini daerah perladangan, ini kan perladangan semua. Ini kenapa bisa hijau, ini daerah hutan kami, bararti inikan bisa jadi zona inti. Nanti disini ada lagi perladangan, perladangan itu kan mengikuti sungai. Maka tahapannya dalam penataan kawasan TNBD ini adalah mewawancarai semuanya, dimana wilayah mereka, dan kemudian setelah mencatat narasi-narasi, karena semua berbicara, di overlaykan , di survey dengan survey bersama-sama seperti ini. Sehingga di dapat polygon-polygon ini kan. Barulah yang ketiga diputuskan dimana zonasinya. Kalo ini udah dapat semua, ketahuan kan ladangnya ini semua, kawasan lindungnya ini, tanah pranoon nya ini. Jadi harus dari bawah dulu itu tahapannya. Nah, tahapan selanjutnya adalah setelah dilakukan penataan batas selanjutnya adalah pengelolaan yang dilakukan bersama. Pada dasarnya Orang Rimba diberdayakan, kalo kita kan pada saatnya Orang Rimba sudah bisa sama dengan orang melayu di luar, tapi bukan hari ini, bukan integrationist romantic, jadi harus bertahap. Tuduhan yang banyak itu kegiatan seperti Warsi ini, Warsi dituduh conservationist. Pengen Orang Rimba itu seperti ini terus sampe kapanpun, nah itu kan salah juga. Kita bukan conservationist romantic. Jadi ada dua kutub antara integrationist dan conservationist. Conservationist kzlo yang kaku ingin sampe kapanpun tetap kayak gitu. Klo integrationist yang kaku ini ingin segera hari ini bisa seperti saya, sebenarnya ada ditengah itu. Tujuannya ke arah integrationist tapi jalannya.

T: Bagaimana menurut Bapak peran Pempus, Pemprov, dan Pemkab terhadap peran serta komunitas adat Orang Rimba ini?

J: Semua pihak punya kekuasaan yang kuat, contoh pemerintah pusat, mereka punya anggaran yang jelas. Harusnya anggaran itu dialokasikan, diimplemnetasikan sesuai dengan persepsi Orang Rimba. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten sama, mereka punya. Contoh Pemprov dan Pemkab seperti puskesmas, fasilitas pendidikan, itu kan tanggung jawab ada di daerah. Pendidikan itu di kabupaten, puskesmas di provinsi dan kabupaten. Bagaimana itu bisa dioptimalkan sehingga Orang Rimba bisa mengaksesnya, memanfaatkannya, nah itu perannya. Peran yang lebih ideal adalah bagaimana mendorong Orang Rimba juga bisa mendapatkan dukungan untuk meningkatkan sistem pertaniannya, sistem ekonominya, contoh aja sekarang mereka jual jernang, mereka mau jual kemana, paling datang juga tengkulak, jadi ada banyak tugas yang bisa dilakukan pemerintah pusat sampai kabupaten. Ini kan menyangkut manusia. Pemberdayaan jadinya bukan lagi sekedar keruangan. Keruangan menjadi penting untuk legalitas dia hidup disini. Kalo dia terancam diusir dari sini, hidupnya kan menjadi tidak nyaman.

T: Menurut Bapak, siapakah yang lebih berperan dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD? J: Pemeran utamanya tetap Orang Rimba, yang berikutnya jelas yaitu balai taman nasional. Kemudian ada LSM yang menjadi mediator dan fasilitator, dan yang terakhir orang-orang desa diluar untuk juga ikut mengakui itu. Kalo orang desa tidak mengakui, jadi rumit lagi, paling tidak 4 stakeholders itu lah. Karena kalo di dalam taman, aturan UU di Indonesia itu kewenangannya masih pusat, bupati dan gubernur tidak punya kewenangan. Itu di dalam taman nasional. Nah perpanjangan tangan pusat itu balai taman nasional. Jadi seperti yang saya bilang yang penting itu, Orang Rimba, balai, LSM, dan masyarakat, tapi kalo udah menyangkut pemberdayaan Pemprov dan Pemkab juga harus punya peran, karena kan puskesmas, SD, pendidikan itu di luar taman semua. Bagaimana bisa diakses ataupun kalau mau bikin guru yang bisa mobile. Yang punya dana itu kan Pemprov dan Pemkab. Kalo soal keruangan Orang Rimba udah punya sendiri pola keruangan versi mereka.

T: Menurut Bapak, siapakah pihak yang lebih tepat untuk menetapkan kawasan TNBD ini?

J: Kalo saya melihatnya masih pemerintah pusat, dalam kasus ini kan masih presiden. Kalo ditetapkan di bawah nanti konfliknya terlalu tinggi. Kalo udah presiden yang menetapkan, konfliknya agak berkurang.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan : 1) media perbanyakan in vitro yang terbaik untuk sambang colok adalah MS + BA 0,1 mg/l dengan jumlah tunas rata-rata

Nabi Ya’qub adalah seorang ayah yang patut dijadikan teladan, dimana beliau mendidik anak- anaknya dengan pendidikan yang baik, memberikan nasihat kepada mereka dan

Didalam setiap isim arobi yang lebih dari tiga huruf dan huruf sebelum terahir bukan ya‟ contoh dan kalau huruf sebelum terakhir berupa ya‟ maka ditulis alif

Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

4)Kawasan di sekitar Bandar Udara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta di bawah Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas di sebelah Barat pada landasan Utara dinyatakan oleh garis

Dari uraian yang telah dijabarkan, maka persoalan atau pertanyaan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah bagaimana profil kemiskinan di Kabupaten Kebumen dan bagaimana

Data Mining Data Analyst Data Analyst Data Mining Data Mining Information Discovery Information Discovery Data Exploration Data Exploration DBA

[r]