• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Paru-paru merupakan salah satu organ di dalam tubuh manusia dan berperan penting dalam sistem pernapasan yang berada di dalam sebuah kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura viseralis. Tekstur dari paru-paru manusia sangat lunak, elastis, bersifat ringan, terapung di dalam air dan berada di dalam rongga dada. Jika paru-paru mengalami kerusakan maka sistem pernapasan pada manusia juga akan terganggu, salah satu penyakit yang menyerang organ paru yaitu Tuberkulosis (Syaifuddin, 2011). Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang menyerang organ paru manusia, penyebab dari penyakit tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis dan bisa datang dalam bentuk laten ataupun aktif (Syamsudin & Keban, 2013). Terdapat 5 subtipe

Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti dan Mycobacterium canetti. Mycobacterium tersebut

dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC (Sjamsuhidajat, 2017).

(2)

2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Pada tahun 2009 kurang lebih 1,7 juta orang yang menderita tuberkulosis paru meninggal, 600.000 diantaranya adalah wanita dan 380.000 penderita HIV yang terinfeksi tuberkulosis sehingga dalam satu hari terdapat 4700 orang yang meninggal karena tuberkulosis sedangkan pada tahun 2016 angka kejadian tuberkulosis paru meningkat yaitu 10.4 juta insiden tuberkulosis paru yang setara dengan 120 kasus per 100.000. Pada tahun 2010 WHO melaporkan prevalensi terjadinya TBC di wilayah Asia Tenggara sebesar lima juta dan kasus TBC sebanyak 3.5 juta. Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta memiliki jumlah penderita TBC yang tinggi dan masuk ke dalam urutan empat tertinggi secara global. Diperkirakan prevalensi dan kejadian TBC pada tahun 2010 adalah 289 dan 189 untuk setiap 100.000 populasi (Syamsudin & Keban, 2013).

2.1.3 Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru

Menurut (InfoDATIN, 2016) penderita tuberkulosis paru memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:

a. Batuk selama dua minggu atau lebih b. Batuk dengan disertai dahak

c. Dahak bercampur dengan darah d. Sesak napas

e. Badan lemas

f. Nafsu makan menurun g. Berat badan menurun

(3)

2.1.4 Patogenesis dan Penularan 2.1.4.1 Patogenesis

Infeksi Tuberkulosis Paru terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuklei yang mengandung M. Tuberculosis. Bakteri ini akan dimakan oleh makrofag alveolus sehingga sebagian besar dari bakteri ini akan rusak atau terhambat. Sejumlah kecil dari bakteri ini dapat memperbanyak diri secara intraselular dan akan terlepas bebas ketika makrofag mati. Jika bertahan hidup, maka bakteri ini akan tersebar melalui kanal limfatik atau aliran darah menuju jaringan dan organ yang letaknya lebih jauh (termasuk area nodus limfatik, bagian apeks paru-paru, ginjal, hati, otak, dan tulang). Proses diseminasi ini akan menyebabkan sistem imun untuk memberikan respons. Sekitar 5% dari orang-orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan berkembang menjadi bentuk yang aktif dalam waktu 2 tahun setelah terinfeksi (Syamsudin & Keban, 2013).

2.1.4.2 Penularan

Tuberkulosis paru dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui udara terutama batuk atau bersin. Hal ini akan menyebabkan terjadinya paparan terhadap partikel kecil yang dikenal dengan droplet nuklei yang melayang diudara dalam waktu yang cukup lama. Masing-masing droplet mengandung satu hingga tiga organisme. Diestimasikan bahwa sekitar 30% orang akan terinfeksi Tuberkulosis paru apabila dalam waktu cukup lama terpapar atau kontak dengan pasien Tuberkulosis paru (Syamsudin & Keban, 2013).

(4)

2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Untuk menentukan klasifikasi penyakit tuberkulosis paru dalam (Laban, 2008) ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut :

a) Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

b) Hasil pemeriksaan dahak Basil Tahan Asam (BTA): positif atau negatif c) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat

Penentuan ini penting dilakukan untuk menentukan paduan obat anti-tuberkulosis yang sesuai sebelum pengobatan pada pasien dimulai. Klasifikasi tuberkulosis paru menurut adalah sebagai berikut :

1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru. Tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: a) Tuberkulosis paru BTA positif (sangat menular)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif, satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis aktif

b) Tuberkulosis paru BTA negatif

Pemeriksaan dahak positif/foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis aktif. Positif negatif yang dimaksudkan disini adalah “hasilnya meragukan”, jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif.

(5)

2. Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru-paru, misal selaput paru, selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening, tulang, pensendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, dan lain-lain. 2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pengobatan infeksi bakteri lainnya. Antibiotik harus dikonsumsi selama 3-9 bulan secara kontinu dan teratur. Jenis obat dan lamanya pengobatan bergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, risiko resistensi antibiotik, bentuk tuberkulosis (aktif atau laten), dan lokasi infeksi. Umumnya tuberkulosis laten hanya membutuhkan satu jenis antibiotik saja, sedangkan untuk tbc aktif membutuhkan kombinasi dari beberapa antibiotik. Obat yang sering digunakan adalah isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamida. Pengobatan penyakit tuberkulosis dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut :

a) Menyembuhkan penderita b) Mencegah kematian c) Mencegah kekambuhan d) Menurunkan resiko penularan

Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2017) pengobatan Tuberkulosis harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan sebagai berikut :

(6)

1. Kategori 1

Paduan OAT kategori 1 yang digunakan di Indonesia adalah 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HRZE)/4(HR). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis b) Pasien TB paru terkonfirmasi klinis

c) Pasien TB ekstra paru

Paduan OAT kategori 1 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)/4(HR) sedang dalam proses pengadaan program TB Nasional. Pemberian OAT dosis harian.

Tabel 2.1. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3

Berat Badan

Tahap Awal

tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2017)

Tabel 2.2. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2 HRZE / 4H3R3

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Dosis per hari/kali Jumlah hari/kali menelan obat Tablet Isoniasid @ 300 mgr Kaplet Rifampisin @ 450 mgr Tablet Pirazinamid @ 500 mgr Tablet Etambutol @ 250 mgr Awal 2 bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

(7)

2. Kategori 2

Paduan OAT Kategori 2 yang digunakan di Indonesia adalah 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (pasien pengobatan ulang) yaitu :

a) Pasien kambuh

b) Pasien gagal pada pengobatan Kategori I.

c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-up). Paduan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan, dibagi menjadi 2 tahapan yaitu 3 bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan. Paduan OAT Kategori 2 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E sedang dalam proses pengadaan program TB Nasional. Pemberian OAT dosis harian

Tabel 2.3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3

Berat Badan Tahap Awal tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg

Streptomisin inj. 2 tab 4KDT

2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg

Streptomisin inj. 4 tab 4KDT

4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol

(8)

≥71 kg

5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj. 5 tab 4KDT

5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2017)

Tabel 2.4. Dosis paduan OAT Kombipak Kat 2: 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3

Tahap Pengobat an Lama Pengob atan Tablet Isoniasid @ 300 mgr Kaplet Rifam pisin @ 450 mgr Tablet Pirazina mid @ 500 mgr Etambutol Strept omisin injeksi Jumlah hari/kali menelan obat Tablet @ 250 mgr Tablet @ 400 mgr Tahap Awal (dosis harian) 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 - - 0,75 gr - 56 28 Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu) 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60

Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2017)

Bagi penderita tuberkulosis, ada satu hal penting yang harus diperhatikan dan dilakukan, yaitu keteraturan minum obat tuberkulosis sampai dinyatakan sembuh, biasanya berkisar antara 6-9 bulan. Apabila hal ini tidak dilakukan maka menurut (Laban, 2008) akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:

1. Kuman penyakit tuberkulosis menjadi kebal sehingga penyakitnya lebih sulit diobati

2. Kuman berkembang lebih banyak dan menyerang organ lain 3. Membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh

(9)

2.1.7 Pencegahan Tuberkulosis Paru

Pencegahan penyakit tuberkulosis paru sangat dianjurkan supaya tidak menular dan tidak menyebar, berikut ini adalah beberapa pencegahan yang harus dilakukan menurut (Muttaqin, 2012) :

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya

a) Karyawan rumah sakit/puskesma/balai pengobatan b) Penghuni rumah tahanan

c) Siswa siswi pesantren

3. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut :

a) Bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB

b) Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular

(10)

c) Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif

d) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang

e) Penderita diabetes mellitus

4. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia – PPTI).

2.2 Kepatuhan Minum Obat

2.2.1 Definisi Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan pengguna obat/pasien terhadap cara penggunaan obat merupakan bagian paling penting untuk mengoptimalkan khasiat dan kegunaan obat dalam proses penyembuhan. Namun, pada kenyataannya tidak semua pengguna obat/pasien yang patuh terhadap disiplin penggunaan obat. Ketidakpatuhan tersebut, berdasarkan beberapa fakta sosial yang ditemukan oleh para pakar, terbagi menjadi tiga tipe. Kepatuhan penggunaan obat merupakan perilaku pengguna obat atau pasien dalam menaati segala bentuk nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh tenaga medis mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan oleh pengguna obat/pasien untuk mendapatkan pengobatan yang optimal (Zeenot, 2013).

Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya. Untuk ini, sebelum pasien pulang kerumah, tim kesehatan harus yakin bahwa pasien mengetahui beberapa hal berikut (Tambayong, 2002) :

(11)

1. Nama dan kegunaan obatnya 2. Kekuatan obat tersebut

3. Jumlah obat untuk dosis tunggal 4. Jumlah total kali minum obat

5. Waktu obat itu harus diminum, misalnya berkaitan dengan makan 6. Untuk berapa hari obat itu harus diminum

7. Rute pemberian obat

8. Perhatian khusu yang diperlukan oleh rute pemberian 9. Tindakan apa yang harus diambil bila lupa minum obat

10. Concordance dapat dipahami sebagai suatu proses pengobatan, dimana pada saat bersamaan, pengguna obat/pasien dan kalangan tenaga medis menjadi mitra bersama dalam upaya mencari solusi terbaik untuk segala permasalahan kesehatan yang sedang dialami oleh pasien. Pasien dalan kalangan tenaga medis membuat kesepakatan bersama yang untuk dipatuhi tentang pengobatan sekaligus perawatan mengenai permasalahan kesehatan yang sedang dialami oleh pasien.

Adapun gambaran dari ketidakpatuhan dalam hal ini meliputi :

1. Underdosis (kurangnya dosis). Kurangnya dosis dalam pengobatan adalah bagian pertama yang kerap terjadi di kalangan masyarakat. Kurangnya dosis tersebut dapat dipetakan menjadi beberapa bagian, antara lain:

a) Kurangnya dosis obat dari yang dianjurkan dalam penggunaan obat untuk sekali pakai

b) Kecenderungan untuk bersikap abai terhadap satu/lebih obat

c) Melakukan penghentian dalam mengonsumsi obat sebelumnya mencapai waktu yang sudah ditentukan

(12)

d) Tidak melakukan konsumsi sama sekali terhadap obat selama satu hari dalam menjalani proses pengobatan

2. Overdosis (kelebihan dosis). Kelebihan dosis dalam hal ini juga merupakan bagian lain dari beberapa fakta tipe ketidakpatuhan yang kerap pula ditemui di kalangan masyarakat. Kelebihan dosis dipetakan menjadi empat.

a) Pengguna obat secara berlebihan melampaui dari dosis yang sudah ditentukan

b) Penggunaan obat secara berlebihan melampaui dosis yang dianjurkan selama satu hari dalam menjalani proses pengobatan

c) Pengguna obat tidak beraturan, atau dengan cara tidak mematuhi anjuran yang diberikan

d) Pengguna obat yang sama dengan wadah yang berbeda dalam tempo waktu yang bersamaan

Selain kedua tipe tersebut, juga terdapat tipe ketidakpatuhan yang kerap terjadi dalam realitas pengguna obat di kalangan masyarakat, antara lain sebagai berikut :

a) Pengguna obat yang tidak mematuhi waktu yang sudah dianjurkan b) Pengguna obat yang tidak mematuhi cara yang sudah dianjurkan, baik

secara sengaja maupun tidak sengaja

c) Pengguna obat yang sesungguhnya sudah dihentikan oleh dokter d) Pengguna obat yang sudah kadaluwarsa

e) Tidak melakukan penebusan terhadap resep yang sudah diberikan oleh dokter

(13)

2.2.2 Faktor-faktor Kepatuhan Minum Obat

Ada beberapa faktor kepatuhan minum obat antara lain sebagai berikut (Magura et al., 2012) :

1. Efek samping obat

Beberapa obat mempunyai efek samping terhadap penggunanya seperti gangguan tidur, mual, gemetar, gelisah, dll. oleh karena itu penderita malas untuk meminum obat tersebut

2. Pengetahuan mengenai pengobatan yang dilakukan

Terdapat berbagai macam obat-obatan dan jadwal serta tahapan dalam pengobatan tuberkulosis. Obat dan tahapan tersebut harus dilakukan oleh penderita tuberkulosis dengan penuh, apabila salah satu tahapan tidak dipatuhi maka pengobatan termasuk kategori gagal dan harus dimulai dari awal kembali. 3. Dukungan Sosial

Penderita dengan dukungan sosial yang tinggi akan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat, karena mereka akan mendapatkan penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat penderita tersebut tidak mudah stress karena menjalani pengobatan.

(14)

2.2.3 Upaya Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh kalangan tenaga medis guna meningkatkan kepatuhan penggunaan obat atau pasien dalam penggunaan obat, antara lain sebagai berikut (Zeenot, 2013):

1. Memberikan informasi yang benar secara utuh dan menyeluruh kepada pengguna obat atau pasien sehingga mereka benar-benar bisa memahami manfaat dan pentingnya kepatuhan guna mencapai hasil yang optimal dalam pengobatan

2. Mengingatkan pengguna obat atau pasien untuk senantiasa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang sudah dianjurkan guna menuai hasil yang optimal dalam pengobatan, dengan menggunakan telepon atau alat komunikasi lainnya 3. Menunjukkan kepada pengguna obat atau pasien kemasan obat yang

sebenarnya

4. Meyakinkan pasien mengenai efektivitas obat dalam proses penyembuhan 5. Memberikan informasi yang benar utuh dan menyeluruh mengenai resiko yang

akan ditimbulkan dari ketidakpatuhan

6. Memberikan informasi yang benar utuh dan menyeluruh mengenai resiko yang akan ditimbulkan dari ketidakpatuhan

7. Memberikan layanan dengan melakukan observasi langsung, semisal dengan cara mengunjungi langsung ke rumah pengguna obat atau pasien sekaligus memberikan ruang konsultasi perihal penyakit yang dideritanya

8. Menggunakan alat bantu kepatuhan

9. Meminta atau memberikan anjuran kepada keluarga maupun lingkungan terdekat pengguna obat atau pasien untuk turut serta berperan aktif memberikan dukungan kepada pengguna obat atau pasien untuk senantiasa

(15)

teratur dalam meminum obat sesuai dengan anjuran demi memperoleh hasil yang optimal dalam proses pengobatan. Karena pada dasarnya keluarga dan lingkungan terdekat sangat memiliki pengaruh yang kuat terkait dengan patuh dan tidaknya pengguna obat atau pasien terhadap anjuran dalam pengguna obat yang telah diberikan oleh kalangan tenaga medis, apoteker atau dokter.

2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Definisi Dukungan Sosial

Menurut Cohen, Gottlieb, dan Underwood (dalam Haber, Cohen, Lucas, & Baltes, 2007) dukungan sosial adalah sebuah hasil dari interaksi sosial antara individu dengan orang lain atau lingkungannya yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan dapat meningkatkan ketahanan individu terhadap masalah kesehatan (Tola & Immanuel, 2015).

2.3.2 Jenis Dukungan Sosial

Nursalam & Nurs, (2007) membedakan empat jenis dukungan sosial menjadi 4 yaitu sebagai berikut :

1. Dukungan emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan

2. Dukungan penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju, atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri)

(16)

3. Dukungan instrumental

Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan

4. Dukungan informatif

Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk.

Sedangkan dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal menurut Jacobson, 1986 dalam Nursalam & Nurs, (2007) yaitu :

1. Emotional support, meliputi : perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan

2. Cognitive support, meliputi : informasi, pengetahuan, dan nasihat

3. Material support meliputi : bantuan/pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah

2.3.3 Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diperoleh dari beberapa sumber. Sumber dukungan ini sangat penting dalam membantu penderita tuberkulosis menjalani pengobatannya. Menurut Goetlieb (dalam Ristianti (2011) menyatakan ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu hubungan professional yakni bersumber dari orang-orang yang ahli di bidangnya, seperti konselor, psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara, serta hubungan non professional, yakni bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga maupun relasi (Kusrini & Prihartanti, 2014)

(17)

2.3.4 Hubungan Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Minum Obat

Faktor psikososial yang berkaitan dengan kepatuhan adalah dukungan sosial (social support). Individu yang merasa mendapatkan kenyamanan, kasih sayang dan bantuan yang mereka perlukan dari individu atau grup lain akan lebih patuh dalam mengikuti anjuran klinis daripada individu yang mendapat dukungan sosial yang lebih sedikit. Dukungan ini dapat berasal dari keluarga pasien, teman, atau grup pendukung seperti organisasi yang membantu orang-orang untuk menghadapi suatu penyakit tertentu. Dukungan yang pasien terima akan sangat berguna terhadap kepatuhan pengobatan terutama ketika dukungan tersebut melibat-kan dukungan dan bantuan dalam mengatasi masalah kesehatan (Tola & Immanuel, 2015).

Menurut Gottilieb (1983) dikutip Smet (1994) terdapat pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan. Dukungan sosial melindungi penderita terhadap efek negatif dari stress dalam menjalani pengobatan. Orang-orang dengan dukungan sosial yang tinggi akan kurang menilai situasi penuh stres mereka akan tahu bahwa akan ada seseorang yang dapat membantu mereka. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan mengubah perilaku dan respon mereka terhadap sumber stres misalnya pergi ke seseorang teman atau keluarga untuk membicarakan masalah yang dihadapinya saat ini.

Mekanisme bagaimana dukungan sosial berpengaruh terhadap kesehatan dikenal ada 3 mekanisme social support menurut Pearlin dan Aneshensel, 1986:418 dalam Nursalam & Nurs, (2007) :

1. Mediator pelaku, mengajak individu untuk mengubah perilaku yang buruk dan meniru perilaku yang baik

(18)

2. Psikologis, meningkatkan harga diri dan menjembatani suatu interaksi yang bermakna

3. Fisiologis, membantu relaksasi terhadap sesuatu yang mengancam dalam upaya meningkatkan sistem imun seseorang.

Gambar

Tabel 2.1. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3
Tabel 2.3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3
Tabel 2.4. Dosis paduan OAT Kombipak Kat 2: 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada peningkatan hasil belajar, Gunay dan Bekiroglu (2014) telah melakukan penelitian untuk mengetahui dampak penilaian portofolio terhadap hasil belajar

722/Menkes/PER/IX?1988, pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.. Pemanis

Dan kegiatan operasional yang akan evaluasi antara lain adalah Kinerja Arus Kapal yaitu lamanya waktu pelayanan Kapal di Pelabuhan (Turn Round Time, Waiting

Dalam menafsirkan Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 terdapat beberapa hal yang harus dimiliki oleh pustakawan perguruan tinggi pada era global antara lain : (1) Memiliki

Matakuliah iptek kulit dan hasil ikutan ternak pada variabel perencanan mempunyai nilai rata-rata dari perhitungan kuesioner 3.78, variabel media dan interaksi mempunyai

TRIWULAN I II III IV 1 Meningkatkan Pengawasan Pemerintahan Daerah Kebumen, 2 Januari 2020 IRBAN IV INSPEKTORAT HANA WIDYAWATI,S.T.. 1 Tersedianya Jasa Surat menyurat Jumlah

Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) merupakan metode pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam asetat. Kemudian diamati ada tidaknya kelainan seperti