• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN STRATEGI METAKOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 PADANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN STRATEGI METAKOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 PADANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

8

PENERAPAN STRATEGI METAKOGNITIF DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA

KELAS X SMA NEGERI 2 PADANG

Siska Putri Permata 1), Suherman2), dan Media Rosha3)

1)FMIPA UNP, email: siskaputri8998@yahoo.com 2,3)Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP

ABSTRACT

This action research concerning the implementation of metacognitive strategy for problem solving in mathematics. It is based on the fact that the students’ ability in problem solving still down. It can be found that the students are difficult to solve the problem in mathematics. Therefore, this research wants to know the growth of the problem solving ability since the implementation of metacognitive strategy. The research uses the pre-experiment and descriptive reseach method. The result of the research describe that the implementation of metacognitive strategy can increase the students’ ability of problem solving in mathematics.

Keywords : metacognitive strategy, mathematics learning, problem solving

PENDAHULUAN

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada 14 - 29 Februari 2012 di SMA Negeri 2 Padang, diketahui bahwa aktivitas-aktivitas kognitif siswa kelas X dalam kegiatan pembelajaran matematika belum optimal. Aktivitas-aktivitas kognitif siswa yang belum optimal tersebut yaitu mengingat, menyimbolkan, mengkategorikan, berpikir dan memecahkan masalah. Dalam aktivitas mengingat, diketahui bahwa siswa sering lupa materi yang telah dipelajari sebelumnya. Sehingga ketika guru melakukan apersepsi dengan menanyakan kembali materi yang telah dipelajari, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru tersebut.

Dalam aktivitas menyimbolkan, diketahui bahwa siswa masih sukar dalam membuat simbol-simbol dalam matematika. Khususnya dalam penyelesaian soal cerita. Siswa masih sukar membahasakan soal ke dalam simbol matematika. Kemudian dalam aktivitas mengkategorikan, diketahui bahwa siswa sering mencampuradukkan materi yang satu dengan lainnya. .

Dalam aktivitas berpikir, diketahui bahwa siswa belum terbiasa berpikir kritis, divergen dan kreatif. Siswa masih terbiasa meniru apa yang dicontohkan oleh guru, tanpa mau berpikir mencari alternatif jawaban lain yang lebih mudah dimengerti. Dengan kata lain kemampuan berpikir siswa hanya terbatas pada hal-hal rutin.

Dalam aktivitas memecahkan masalah, diketahui bahwa siswa belum optimal dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Siswa cendrung langsung mengerjakan soal untuk mencari jawaban tanpa mencoba melakukan kegiatan memahami soal, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Sehingga sering terdengar bahwa siswa lebih suka ujian obyektif daripada essay karena tidak dituntut membuat proses penyelesaian soal.

Ada beberapa faktor penyebab belum optimalnya aktivitas kognitif siswa dalam pembelajaran matematika. Diantaranya adalah

(2)

9 bahwa pada pembelajaran matematika, siswa selalu

diarahkan untuk menghafal informasi sebanyak-banyaknya kemudian digunakan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan. Dari kenyataan di lapangan, hanya sedikit siswa yang benar-benar mampu mengingat informasi-informasi tersebut karena masih rendahnya daya serap peserta didik.

Rendahnya daya serap siswa disebabkan kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan belum cukup memberikan akses bagi peserta didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Selain itu selama ini dalam pembelajaran matematika, siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba cara dan strategi lain dalam memecahkan masalah.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah menerapkan strategi pembelajaran yang mampu memperluas keterampilan siswa dalam memecahkan masalah dan mengintensifkan kemampuan kognitifnya. Salah satu strategi yang tepat adalah strategi metakognitif.

Erman (2003:104) menyatakan bahwa “Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu belajar dan bagaimana dia mengontrol dan menyesuaikan perilakunya”. Dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku. Sehingga apabila kesadaran ini terwujud, maka seseorang dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau (memonitor) dan menilai apa yang dipelajarinya (mengevaluasi). Sedangkan menurut Schoenfeld (1992:57) yang menyatakan bahwa “metakognisi berhubungan dengan berpikir

siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat”.

Lebih lanjut, Flavell dalam Muisman (2002:24-26) menyatakan metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif atau kemampuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experience or regulation).

Beberapa strategi untuk mengembangkan prilaku metakognitif dinyatakan oleh Blankey & Spence (1990), yaitu:

a. Mengidentifikasi apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui

b. Menceritakan tentang pemikirannya c. Menjaga catatan pemikiran

d. Merencanakan dan melakukan pengaturan diri

e. Menanyakan proses berpikir f. Evaluasi diri

Menurut Sudiarta (2007:26) menyatakan bahwa “Pembelajaran metakognitif adalah suatu strategi pembelajaran matematika yang mengadopsi teori/perspektif metakognisi yang dapat dilihat pada RPP terutama pada tujuan pembelajaran, skenario pembelajaran, LKS, dan masalah matematika yang digunakan”. Dalam pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk merencanakan dan memonitoring serta merefleksi (mengevaluasi) aktivitas-aktivitas kognitif yang telah dilakukannya dalam pembelajaran. Guru mengajak siswa untuk merenungkan kembali apa yang telah dibuatnya atau dipelajarinya, sehingga ia mengetahui kesalahan dan kesulitan dalam memahami suatu konsep tertentu. Selain itu dalam pembelajaran ini siswa diberikan masalah matematika yang memberikan kesempatan yang luas untuk merencanakan dan memonitoring serta merefleksi aktivitas-aktivitas kognitifnya. Hal ini memungkinkan terjadinya kegiatan metakognitif pada siswa. Jadi dengan adanya kontrol dan refleksi terhadap seluruh aktivitas kognitif dapat menimbulkan kesadaran pada siswa terhadap proses berpikirnya yang telah dilakukannya dalam pembelajaran.

(3)

10 Tahap–tahap pembelajaran matematika dalam

menerapkan konsep terhadap persoalan matematika dengan strategi metakognitif yang harus dilakukan menurut Abdul Muin (2006:39) sebagai berikut:

a. Tahap I (Perencanaan), guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan guru tentang konsep matematika. Kemudian guru membimbing siswa menanamkan keyakinan dan kesadaran dengan bertanya pada siswa saat siswa menjawab setiap pertanyaan dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan oleh guru.

b. Tahap II (Pemantauan), siswa bekerja mandiri untuk menyelesaikan soal-soal latihan yang diberikan. Guru memberi umpan balik secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika. Umpan balik yang bersifat metakognitif menuntun siswa untuk memusatkan perhatian pada kesalahan-kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri, dapat mengontrol atau memonitor proses berpikirnya serta dapat menyimpan dan menggunakan kembali ide-ide yang telah ditemukan untuk menyelesaikan soal yang diberikan.

c. Tahap III (evaluasi) yang dilakukan oleh guru/siswa. Evaluasi dari guru mengarah pada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas sehingga siswa mendapat yang lebih bermakna. Sedangkan evaluasi dari siswa lebih mengarah kepada apa yang telah dipahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi masalah yang lebih luas. Membuat rekapitulasi yang dilakukan oleh siswa sendiri dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Menurut Polya (1957) dalam Erman (2003:91) menjelaskan bahwa solusi soal pemecahan masalah

memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas X SMA Negeri 2 Padang selama diterapkan strategi metakognitif.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini digunakan gabungan antara

penelitian pra-eksperimen dan penelitian deskriptif. Penelitian pra-eksperimen digunakan untuk menyelidiki ada tidaknya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah dilakukannya pembelajaran dengan strategi metakognitif. Penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa selama menggunakan strategi metakognitif. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah One Group Pretest-Posttest Design. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 Padang pada kelas X1 semester II

tahun pelajaran 2011/2012.

Prosedur dalam penelitian ini memberikan tes awal pada kelas penelitian untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum diterapkan strategi metakognitif. Kemudian, melakukan skenario pembelajaran yang telah dibuat pada kelas penelitian. Setelah itu melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran pada kelas penelitian dengan memberikan tes akhir dengan soal yang sama dengan tes awal yang telah diberikan sebelumnya. Tes akhir ini diberikan untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Hasil tes awal (sebelum diterapkan metakognitif) dan tes akhir (setelah diterapkan metakognitif) yang diperoleh dianalisis menggunakan rubrik penskoran.

Untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemecahan masalah siswa, dilakukan: a) Perhitungan persentase jumlah siswa yang

(4)

11 mempunyai tingkat kemampuan setiap aspek pada

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, dimana dilihat untuk persentase tingkat kemampuan kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor setengah dari skor maksimum) dan lebih dari 50% (mendapat skor lebih dari setengah skor maksimum) berdasarkan rubrik penskoran kemampuan pemecahan masalah. Persentase dihitung menggunakan rumus: P=F/n X 100% dimana, P adalah persentase, F adalah jumlah siswa pada kategori persentase yang akan dihitung dan n adalah jumlah siswa seluruhnya, b) Membandingkan kemampuan siswa pada setiap aspek kemampuan pemecahan masalah siswa pada tes awal (sebelum diterapkan strategi metakognitif) dengan tes akhir (setelah diterapkan strategi metakognitif).

Aspek-aspek kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dimaksud yaitu aspek memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, membuat penyelesaian masalah, dan memeriksa kembali jawaban.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan skor tes awal dan tes akhir yang diperoleh dilakukan perhitungan rata-rata ( , dan simpangan baku (s). Dapat dilihat bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diterapkan strategi metakognitif lebih baik dari sebelum diterapkan. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata skor tes akhir siswa yaitu 70,13 lebih tinggi dari nilai rata-rata skor tes awal siswa yang hanya 31,81. Selain itu nilai maksimum siswa pada tes akhir mencapai nilai 92 sedangkan pada tes awal nilai maksimum siswa hanya 44. Kemudian dilihat dari simpangan baku diketahui bahwa simpangan baku pada tes awal lebih kecil dari tes akhir. Artinya skor kemampuan pemecahan masalah siswa pada tes akhir lebih beragam dibandingkan pada tes awal. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah pada tes akhir ada nilai siswa yang meningkat drastis dibandingkan nilai siswa pada tes awal.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lembar jawaban siswa, maka diperoleh persentase jumlah siswa yang memiliki kemampuan memahami masalah dan perkembangan kemampuan siswa dalam memahami masalah pada tes awal dan tes akhir. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu mengidentifikasi soal terkait informasi penting dan yang memerlukan perhatian khusus serta kegunaan dari informasi tersebut. Selain itu siswa juga diharapkan dapat menuangkan informasi tersebut dalam bentuk simbol-simbol matematika atau gambar/sketsa. Hal ini diharapkan dapat dilakukan siswa dalam rangka pemahaman soal secara mendalam. Pada tes awal rata-rata persentase jumlah siswa yang memahami masalah kurang atau sama dengan 50% adalah 84,37% dan lebih dari 50% adalah 15,63%. Hal yang menjadi kendala bagi siswa pada tahap ini adalah mereka malas menuliskan informasi yang diberikan pada soal. Kemudian mereka juga tidak mengindahkan informasi khusus yang menjadi kata kunci dalam soal. Setelah diberikan LKS yang mengacu kepada kemampuan pemecahan masalah pada setiap pertemuan, mereka terbiasa dalam membuat informasi penting dan informasi yang memerlukan perhatian khusus (kata kunci) yang ada pada soal.

Kemampuan siswa dalam memahami masalah pada tes akhir mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari rata-rata persentase jumlah siswa yang memahami masalah kurang atau sama dengan 50% dan lebih dari 50%. Pada tes akhir, kemampuan siswa dalam memahami masalah menjadi lebih baik. Hal ini terjadi karena mereka telah terbiasa melakukannya pada setiap pertemuan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lembar jawaban siswa, maka diperoleh persentase jumlah siswa yang memiliki kemampuan merencanakan penyelesaian masalah dan perkembangan kemampuan siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah pada tes awal dan tes akhir. Rata-rata persentase jumlah siswa yang merencanakan penyelesaian masalah pada tes awal kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 – 2) adalah 64,38% dan lebih dari 50% (mendapat skor 3 atau 4) adalah 35,62%. Hal ini berarti pada

(5)

12 tes awal kemampuan siswa dalam merencanakan

penyelesaian masalah masih rendah. Rata-rata persentase jumlah siswa yang merencanakan penyelesaian masalah pada tes akhir kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 – 2) adalah 30% dan lebih dari 50% (mendapat skor 3 atau 4) adalah 70%. Hal ini berarti pada tes akhir kemampuan siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah tinggi. Berdasarkan nilai rata-rata persentase jumlah siswa yang merencanakan penyelesaian masalah pada tes awal dan akhir dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah setelah diterapkan strategi metakognitif lebih baik dibandingkan sebelum diterapkan strategi metakognitif.

Pada aspek merencanakan penyelesaian masalah siswa dibiasakan untuk menuliskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam pengerjaan soal. Untuk beberapa soal dengan tingkat kesukaran rendah dan sedang siswa mampu membuat rencana penyelesaian masalah namun untuk soal dengan tingkat kesukaran tinggi siswa masih mengalami kesulitan dalam membuat rencana penyelesaian masalah. Hal ini disebabkan siswa belum memahami sepenuhnya masalah yang ada pada soal.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lembar jawaban siswa, maka diperoleh persentase jumlah siswa dan perkembangan kemampuan siswa dalam melaksanakan penyelesaian masalah pada tes awal dan akhir. Terlihat bahwa kemampuan siswa dalam melaksanakan penyelesaian masalah pada masing-masing soal pada tes awal dan tes akhir fluktuatif. Rata-rata persentase jumlah siswa yang melaksanakan penyelesaian masalah pada tes awal kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 atau 1) adalah 63,75% dan lebih dari 50% (mendapat skor 2) adalah 36,25%. Hal ini berarti pada tes awal kemampuan siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah masih rendah. Rata-rata persentase jumlah siswa yang melaksanakan penyelesaian masalah pada tes akhir kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 atau 1) adalah

51,87% dan lebih dari 50% (mendapat skor 2) adalah 48,13%. Hal ini berarti pada tes akhir kemampuan siswa dalam melaksanakan penyelesaian masalah lebih tinggi dibandingkan pada tes awal namun masih rendah jika dilihat dari persentase jumlah siswanya. Berdasarkan nilai rata-rata persentase jumlah siswa yang melaksanakan penyelesaian masalah pada tes awal dan akhir dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah setelah diterapkan strategi metakognitif lebih baik dibandingkan sebelum diterapkan strategi metakognitif namun belum optimal.

Pada tahap ini siswa diharapkan mampu menggunakan rumus atau kalimat matematika serta menggunakan strategi pemecahan masalah yang telah dipilih dengan konsisten sampai menemukan solusi yang diminta. Kemampuan siswa dalam memahami substansi materi dan keterampilan melakukan perhitungan matematika sangat membantu untuk melaksanakan tahap ini.

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap lembar jawaban siswa, maka diperoleh persentase jumlah siswa dan perkembangan kemampuan siswa dalam memeriksa kembali jawaban pada tes awal dan akhir. Untuk semua soal pada tes awal dan akhir, lebih banyak siswa yang memperoleh skor 0 atau 1 dibandingkan skor 2. Artinya masih banyak siswa yang belum memeriksa kembali jawaban secara keseluruhan. Rata-rata persentase jumlah siswa yang memeriksa kembali jawaban pada tes awal kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 atau 1) adalah 90% dan lebih dari 50% (mendapat skor 2) adalah 10%. Hal ini berarti pada tes awal kemampuan siswa dalam memeriksa kembali jawaban masih rendah. Rata-rata persentase jumlah siswa yang memeriksa kembali jawaban pada tes akhir kurang atau sama dengan 50% (mendapat skor 0 atau 1) adalah 60,62% dan lebih dari 50% (mendapat skor 2) adalah 39,38%. Hal ini berarti pada tes akhir kemampuan siswa dalam memeriksa kembali jawaban lebih tinggi dibandingkan pada tes awal namun masih rendah

(6)

13 jika dilihat dari persentase jumlah siswanya.

Berdasarkan nilai rata-rata persentase jumlah siswa yang memeriksa kembali jawaban pada tes awal dan akhir dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam memeriksa kembali jawaban setelah diterapkan strategi metakognitif lebih baik dibandingkan sebelum diterapkan strategi metakognitif namun belum optimal.

Tahap ini penting dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh telah sesuai dengan ketentuan. Kemudian siswa harus bisa menafsirkan jawaban yang diperoleh sehingga didapat kesesuaian antara hasil yang diperoleh dengan apa yang ditanyakan pada soal. Selain itu siswa juga diharapkan dapat menemukan cara lain yang bernilai benar dalam menyelesaikan masalah. Dari hasil tes yang diberikan, sebagian besar siswa tidak memeriksa kembali hasil pekerjaan mereka. Hal ini terlihat dari kesalahan siswa dalam perhitungan kemudian ketidaksesuaian antara hasil yang diperoleh dengan apa yang ditanyakan pada soal. Hal ini disebabkan siswa telah merasa yakin terhadap jawaban yang diperoleh, sehingga merasa tidak perlu melakukan pemeriksaan ulang. Penyebab lainnya waktu yang tidak cukup sehingga siswa tergesa-gesa dalam mengerjakan soal, setelah mengerjakan satu soal siswa langsung mengerjakan soal selanjutnya. Selanjutnya siswa juga belum bisa menemukan cara lain yang bernilai benar untuk mendapatkan jawaban dari soal yang ada.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa lebih baik setelah diterapkan strategi metakognitif karena strategi ini melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa untuk proses sadar belajar (Awareness), merencanakan belajar (Planning), monitoring dan refleksi belajar (Monitoring and Reflection).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan pemecahan masalah siswa selama diterapkan strategi metakognitif dalam pembelajaran matematika di kelas X dapat dilihat

dari aspek-aspek kemampuan pemecahan masalah. Dari keempat aspek tersebut perkembangan yang paling menonjol terlihat dari aspek memahami masalah dan melaksanakan perencanaan masalah, namun dari aspek merencanakan masalah dan memeriksa kembali jawaban perkembangannya belum signifikan.

Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan agar: 1) Guru dapat menjadikan strategi metakognitif sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika, 2) Guru dapat menggunakan strategi belajar lain yang mendukung pembelajaran dengan menerapkan strategi metakognitif agar pembelajaran lebih optimal. 3) Dilakukan penelitian lanjutan dalam lingkup yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muin. (2006). Pendekatan Metakognitif

untuk Meningkatkan Kemampuan

Matematika Siswa SMA (Algoritma, vol. 2). Jakarta: Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah.

Blankey, E & Spence, S. (1990). Developing

Metacognitive. dalam Eric Degests on

Information Resources [Online]. Tersedia: http://www.iap.ac.id/ERICDigests/metacog nitive.html [13 Februari 2012].

Erman Suherman. (2003). Common Text Book:

Strategi Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Muisman. (2002). Analisis Jalur Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi berdasarkan Kecerdasan Strategi-Strategi Metakognitif dan Pengetahuan Awal. Singaraja: IKIP Singaraja.

Schoenfeld, A. (1987). Metacognition Learning and Mathematics. [Online]. Tersedia: http//mathforum.org/~sarah/Discussion. Sessions/schoenfeld.html [21 maret 2012]. Siska Putri Permata. (2012). Penerapan Strategi

Metakognitif dalam Pembelajaran

Matematika Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Padang. Padang: UNP.

Referensi

Dokumen terkait

After analyzing the data gathered during the observation and interview, the researcher discovered that several factors influenced the English teacher's decision to switch

"Conversation Analysis and Language Alternation", John Benjamins Publishing Company,

The procedures for this national collaborative research were (1) The researchers asked for permission from the university, faculty, department and then the coordinator

Feedback Workshop for English Teachers in Designing Questions Based on Higher Order Thinking Skill", AL-ISHLAH: Jurnal Pendidikan, 2022

Therefore, the current study aims to find out whether there is an improvement in teacher competence and the quality of English language questions at the Junior High School level

Referring to the research questions or research objectives, this section will be devoted to discussing two key findings, that is the readiness of the teacher in promoting

"Mastery of STEM-Based Research Approach of Science Teachers In Jakarta", AL-ISHLAH: Jurnal.

"The Effects of Trained Peer Feedback for High School Students", World Journal of English Language,