BERHEMODIALISA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: I Putu Ardika Yana
NIM : 079114004
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Motto
Don’t lose who you are, in the blur of the stars
Seeing is deceiving, dreaming is believing
It’s okay not to be okay
Sometimes it
’s hard, to follow your heart
Tears don’t mean you’re losing, everybody’s bruising
Just be true to who you are
Ide kecil ini ku persembahkan kepada :
Bhagavan Sri Satya Sai Baba untuk setiap cahaya di Hidupku setiap cinta yang hadir dalam Hidupku setiap waktu yang membesarkan Jiwaku & setiap pengorbanan yang diberikan padaku
v
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 29 Juli 2011
Penulis,
vi
BERHEMODIALISA
I Putu Ardika Yana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci pemaknaan penderitaan pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa. Penelitian ini mempunyai 2 pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses pemaknaan penderitaan melalui nilai-nilai kepercayaan dan kebudayaan, hubungan dengan orang lain, aktivitas kerja dan penyerahan diri pada pengalaman. Pertanyaan kedua adalah apa makna penderitaan tersebut. Penelitian dilakukan di unit hemodialisa di rumah sakit pemerintah. Pendataan dilakukan terhadap 2 subyek melalui wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan adalah validitas komunikatif; pernyataan dianggap terpercaya jika data yang didapatkan mampu menggambarkan realitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderitaan dimaknai sebagai: 1) keadaan yang ditakdirkan oleh Tuhan, 2) pembentuk karakter sekaligus tantangan, dan 3) kehidupan yang baru. Makna penderitaan tersebut memunculkan cara-cara bersikap terhadapnya.
vii
CHRONIC RENAL FAILURE PATIENTS
I Putu Ardika Yana
ABSTRACT
This study aimed to explore the meaning of suffering of the hemodialysed chronic renal failure patients. The two research questions are: 1) how the patients arrived at the meaning through the belief and cultural values, relationship with others, work activities and surrender to the experience, 2) what the meaning of the suffering. The study was conducted in goverment hospitas hemodialysis unit. The data were collected from two subjects through semi-structured interviews. Validity process employed communicative validity. In communicative validity, a statement is considered reliable if it can describe the reality. The results show that the suffering interpreted as: 1) a state destined by God, 2) forming the character and challenge, and 3) a new life. The meaning of suffering bering about the ways to face it.
viii
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
NAMA : I PUTU ARDIKA YANA NIM : 079114004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 29 Juli 2011 Yang menyatakan,
ix
Tugas akhir ini dibuat atas dasar kepedulian terhadap kompleksitas
penderitaan pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa dengan banyak perubahan
aktivitas kerja, pola makan dan minum, komplikasi akut serta berbagai masalah
psikologis.
Peneliti memberikan penghargaan kepada semua pihak yang membantu
penelitian dan penulisannya. Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Bhagavan Sri Satya Sai Baba, Dewi Saraswatyai dan Dewa Ganesha atas
berkah kehidupan, penerangan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang
tiada akhirnya.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan dan Bpk. Minta Istono, S.Psi.,
M.Si. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
yang memberikan dukungan berupa perizinan penelitian
3. Bpk. V. Didik Suryo H, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan
akademik.
4. Bpk. Agung Santoso, S.Psi., M.A. dan Dr. A. Priyono Marwan, S.J. selaku
dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis, kritik dan
saran yang sangat membangun skripsi ini.
5. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi, Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. Dan
ML. Anantasari, M.Si. atas pengalaman pelajaran yang tiada duanya.
6. Dr. Hutzell, Dr. Patricia dan Dr. Schulenberg atas saran-saran dan bantuan
x
Doni atas pinjaman buku-buku dan Mas Muji atas bantuan praktikumnya.
8. Bpk Dh dan Ibu Ch informan dalam penelitian ini. Tiada kata yang bisa
penulis ucapkan selain beribu-ribu terima kasih. Semoga Tuhan memberikan
anugerah yang terbaik dalam menjalani hidup ini.
9. Balitbangda Sulawesi Tengah, RSUD Undata dan perawat di unit
Hemodialisa yang membantu pelaksanaan penelitian ini.
10. Yang paling berharga dalam hidup saya adalah Mama dan Bapak. Kak Wati
dan kak Gede atas bantuannya. Adik tercintaku Dira, Ayu, Dea, Agung dan
Dewi. Buat Ryan atas abstraknya.
11. Sahabatku Dito, Andez, Wini, Reni, Ina dan Nindya. Teman-teman
Psikologi‟07. Patrik, Anton, Ateng, dan Ditra atas pengalaman debatnya.
12. Teman-teman satu bimbingan atas semangat, diskusi dan canda-tawanya.
13. Teman-teman KMHD Swastika Taruna. Keluarga setiaku genk amak-amak.
Wayan, Adi, Aix, Awi, Indri, Tari dan Andi. Sahabat Exacta‟02 yang selalu
menjadi keluarga keduaku. Wewe, Decox dan Ari atas semua bantuannya.
Peneliti membutuhkan kritik dan sumbngan pemikiran untuk kepatutan
karya tulus ini.
Yogyakarta, 29 Juli 2011 Penulis,
xi
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BdAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Pengalaman Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa ... 7
xii
3. Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis
Berhemodialisa ... 9
B. Makna Pengalaman Pederitaan ... 12
C. Kerangka Penelitian ... 16
D. Pertanyaan Penelitian ... 17
BAB III. METODE PENELITIAN ... 18
A. Jenis Penelitian ... 18
B. Fokus Penelitian ... 18
C. Subyek Penelitian ... 19
D. Metode Pengumpulan Data ... 19
E. Proses Pengumpulann Data ... 21
F. Kepatuhan Terhadap Kode Etik Untuk Menjaga Kesejahteraan Subyek Penelitian ... 23
G. Metode Analisis Data ... 24
H. Validitas Penelitian ... 25
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26
A. Konteks Penelitian ... 26
B. Profil Subyek ... 27
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 31
BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN ... 47
xiii
C. Saran ... 48
xiv
Tabel 1. Panduan Wawancara ... 19
Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara ... 23
Tabel 3. Respon Terhadap Vonis Penyakit ... 31
Tabel 4. Sikap Awal Terhadap Penderitaan ... 34
Tabel 5. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-nilai ... 37
xv
Gambar 1. Skema Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis
xvi
Lampiran 1 Interview Protocol ... 53
Lampiran 2 Verbatim Wawancara Subyek I Ch ... 54
Lampiran 3 Tabel Tema-Tema Subyek I Ch ... 72
Lampiran 4 Verbatim Wawancara Subyek II Dh ... 74
Lampiran 5 Tabel Tema-Tema Subyek II Dh ... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit gagal ginjal kronis adalah salah satu jenis penyakit berat
yang mengancam kehidupan penderitanya. Penyakit ini disebabkan oleh
menurunnya fungsi ginjal secara progresif karena kerusakan nefron dalam
jumlah yang semakin besar sehingga ginjal kehilangan kemampuannya
untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan volume cairan di dalam tubuh
(Guyton dan Hall, 2007).
Berdasarkan data di pusat nefrologi Indonesia, penderita gagal ginjal
kronis diperkirakan mencapai 100-150/1.000.000 penduduk sedangkan
prevalensinya mencapai 200-250/1.000.000 penduduk. Jumlah penderita
gagal ginjal kronis yang dicatat oleh PT. Askes meningkat secara signifikan
dari 481 kasus pada tahun 1995 menjadi 10.452 pada tahun 2005 (Suwitra,
2009). Suwitra (2009) menggambarkan penderita gagal ginjal kronis pasti
meningkat jumlahnya di masa mendatang.
Untuk mempertahankan kehidupannya, penderita gagal ginjal kronis
harus melakukan terapi pengganti fungsi ginjal. Salah satu jenis terapinya
adalah hemodialisa. Hemodialisa merupakan terapi pengganti fungsi ginjal
dengan ginjal buatan pada mesin dialiser.
Penyakit gagal ginjal kronis dan proses hemodialisa yang dilakukan
Berbagai perubahan hidup itu meliputi perubahan aktivitas kerja serta
perubahan pola maka dan minum.
Perubahan aktivitas kerja disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik
akibat ketidakstabilan cairan dan racun di dalam tubuh. Selain itu,
perubahan aktivitas kerja juga disebabkan oleh terbatasnya waktu penderita
untuk melakukan rutinitasnya. Smeltzer dan Bare (2002) mengatakan waktu
hemodialisa mengurangi ketersediaan waktu untuk melakukan aktivitas lain
seperti aktivitas kerja dan sosial.
Perubahan pola makan dan minum terjadi karena penderita gagal
ginjal kronis memiliki produksi urin sedikit sehinga untuk mencegah
penumpukan cairan di dalam tubuh, penderita harus membatasi asupan
cairannya. Perubahan ini tidak mudah dilakukan oleh setiap penderita.
Anger dan Anger (dalam Starck, 1985) menemukan penderita cenderung
marah ketika harus melakukan diet dan mengembangkan perilaku destruktif
dengan makan dan minum sepuasnya pada hari-hari menjelang hemodialisa.
Hal ini menunjukkan perubahan pola makan dan minum dapat
menyebabkan masalah psikologis seperti penolakan dan kemarahan.
Masalah-masalah psikologis juga muncul dalam diri penderita.
Masalah psikologis tersebut meliputi: penolakan terhadap penyakit dan
terapinya, keputusasaan, kecemasan, depresi, rasa ketidakberdayaan dan
perasaan takut akan kematian. Kecemasan muncul karena ketakutan pada
kematian muncul karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan
kehidupannya bergantung pada proses hemodialisa (Suminar, 2001).
Menurut Holmes dan Rahe (1967) yang mengukur tingkat stres
perubahan hidup menggunakan Life Events Scale; sakit yang mengancam
kehidupan merupakan keadaan yang menimbulkan tekanan psikologis
dengan angka 53 poin dari rentangan 0 – 100.
Sakit dan penderitaan dapat dipandang dari filsafat yang
dikemukakan oleh Descartes (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006).
Descartes menyatakan tubuh dan pikiran (jiwa) merupakan dua hal terpisah,
tetapi keduanya saling berhubungan melalui pineal gland di dalam otak
sehingga menjadi satu kesatuan dalam memahami realita. Oleh karena itu,
ketika fisik mengalami sakit maka pikiran (jiwa) juga terganggu akibat sakit
tersebut. Pandangan ini melihat kesatuan manusia yang mempunyai aspek
tubuh dan pikirannya (jiwa). Tubuh menjelaskan tentang proses fisik
manusia dan pikiran (jiwa) menjelaskan tentang proses berpikir dan
merasakan.
Coward (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan
penemuan makna sangat penting bagi penderita penyakit berbahaya yang
terancam kehidupannya. Melalui penemuan makna berkembanglah identitas
dan diri untuk memahami kehidupan dan mengalami trensendensi diri.
Perkembangan identitas dan diri terjadi ketika penderita berproses dari
penderitaanya (Frankl, 1963). Dari penemuan makna ini, penderita dapat
memahami kehidupan dan mengalami trensendensi diri (Bastaman, 1996).
Copp (dalam Starck, 1985) yang meneliti makna sakit dan
penderitaan menemukan bahwa penderitaan dimaknai sebagai tantangan,
musuh, hukuman, kelemahan, kebebasan, strategi, kehilangan, dan
nilai-nilai kehidupan. Chochinov (2009) menyatakan penderita yang memaknai
penderitaanya secara negatif, dengan memunculkan sikap penolakan secara
terus-menerus, menimbulkan perasaan putus asa dalam dirinya.
Penelitian Copp (dalam Starck, 1985) dan Chochinov (2009)
dilakukan pada penderita sakit secara umum tanpa melihat jenis penyakit.
Selain itu, penelitian tersebut hanya mengungkap isi makna pengalaman
penderitaan dan dampaknya bagi kehidupan penderita, tetapi tidak
mengeksplisitkan bagaimana proses penemuan makna dari penghayatan
tanpa makna.
Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian pada pasien gagal
ginjal kronis berhemodialisa. Alasan peneliti memilih subyek tersebut
karena kompleksitas penderitaannya dengan banyak komplikasi akut,
perubahan aktivitas kerja serta pola makan dan minum, dan berbagai
masalah psikologis. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplisitkan proses
pemaknaan penderitaan dari penghayatan tanpa makna hingga penemuan
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian
ini adalah bagaimana proses pemaknaan penderitaan dan apa makna
pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa?
C. TUJUAN
Tujuan penelitian analisis fenomenologi interpretatif ini adalah untuk
mengeksplorsi secara terperinci proses pemaknaan penderitaan dan makna
pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa.
D. MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini mengeksplisitkan proses pemaknaan penderitaan sakit
gagal ginjal kronis berhemodialisa dari penghayatan tanpa makna
hingga penemuan makna sehingga berguna bagi perkembangan
ilmu psikologi khususnya psikologi kesehatan.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini membantu pihak medis dan psikolog kesehatan untuk
memilih pendekatan dan bantuan yang sesuai terkait proses
b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga penderita. Dengan
proses pemaknaan penderitaan, keluarga menentukan bantuan yang
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGALAMAN PENDERITAAN PASIEN GAGAL GINJAL
KRONIS BERHEMODIALISA 1. Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Ginjal adalah organ vital manusia yang berperan dalam sistem
ekskresi. Setiap ginjal terdiri dari 1.000.000 nefron dengan struktur dan
fungsi sama (Wilson dan Price, 2006). Ginjal membersihkan tubuh dari
sisa hasil pencernaan atau metabolisme berupa urea, asam urat,
kreatinin, hormon dan obat-obatan (Wilson dan Price, 2006). Ginjal
juga berfungsi mengontrol volume dan komposisi cairan dalam tubuh.
Jadi, fungsi ginjal adalah memelihara kestabilan volume dan komposisi
cairan lingkungan sel serta membuang sisa-sisa metabolisme dalam
tubuh.
Penyakit gagal ginjal kronis merupakan patofisiologis dengan
etiologi beragam yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara
progresif (Wilson dan Price, 2006). Ketidakberfungsian ginjal
memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal berupa transplantasi ginjal,
dialisis proteirnal, dan hemodialisa.
Hemodialisa adalah terapi pengganti fungsi ginjal dengan ginjal
buatan pada mesin dialiser. Hemodialisa umumnya dilakukan 2 – 3 kali
2. Penderitan
Penderitaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)
merupakan keadaan menyedihkan yang harus ditanggung seperti sakit,
cacat, kesengsaraan dan kesusahan. Frethowan (dalam Starck, 1985)
menyatakan penderitaan muncul sebagai akibat dari kondisi sakit yang
dialami baik itu sakit fisik maupun sakit mental. Secara khusus pada
kondisi sakit fisik, penderitaan digambarkan sebagai kekecewaan,
kesedihan dan perasaan kehilangan sesuatu.
Dari pengertian di atas, beberapa unsur penderitaan dapat
dijabarkan. Unsur-unsur tersebut adalah:
a. Penyebab penderitaan. Frankl (1968) menyebut sakit,
kesalahan, dan kematian sebagai tiga ragam penderitaan
atau The tragic triads of human existence.
b. Perasaaan tidak menyenangkan akibat penderitaan. Perasaan
ini berbeda dan unik pada masing-masing penderita, mulai
dari perasaan sementara sampai dengan menetap, perasaan
dangkal sampai dengan mendalam, dan yang berlangsung
cepat sampai dengan lama.
c. Reaksi-reaksi akibat penderitaan. Reaksi ini bersifat unik
pada setiap orang. Travelbee (dalam Bastaman, 1996)
menyebut tahap-tahap reaksi itu sebagai the why me
reaction dan the acceptance reaction. The why me reaction
menimpa mereka. Mereka mengatakan mengapa bukan
orang lain saja yang menerima hal tersebut. Umumnya,
reaksi ini terwujud dalam bentuk kemarahan, depresi, tidak
peduli dan mencari-cari kesalahan. The acceptance reaction
terjadi saat penderita menerima dengan penuh kesabaran
penderitaan yang dialami. Secara kronologis, setelah terjadi
shock dan penolakan atas penderitaan yang dialami,
penderita berusaha memahami keadaan dengan menerima
hal tersebut meski dalam keadaan sulit (Pollock dan Sands,
1997).
d. Individu yang menderita. Dalam rumusan ini, penderitaan
dirasakan oleh penderita dan juga orang lain yang
mengasihi atau mencintai penderita.
3. Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa
Sakit dan penderitaan dapat dipandang secara filsafat. Terdapat
dua pandangan filosofis mengenai hal tersebut. Pertama, Plato (dalam
Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan tubuh dan pikiran (jiwa)
merupakan dua hal yang berbeda sehingga diasumsikan jika fisik sakit
maka pikiran (jiwa) tidak terganggu akibat sakit tersebut. Kedua,
Descartes (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan tubuh dan
pikiran (jiwa) merupakan dua hal yang terpisah, tetapi keduanya saling
kesatuan dalam memahami realita. Peneliti memilih pandangan kedua
untuk membangun asumsi tentang sakit dan penderitaan. Alasan
peneliti memilih pandangan tersebut karena mampu melihat
keseluruhan manusia dari aspek tubuh dan pikirannya (jiwa). Tubuh
menjelaskan proses fisik manusia dan pikiran (jiwa) menjelaskan proses
berpikir dan merasakan.
Hal lain yang mendukung asumsi sakit fisik menimbulkan
penderitaan adalah adanya penyebab penderitaan dan perasaan yang
tidak menyenangkan selama proses hemodialisa. Penyebab penderitaan
dan perasaan tidak menyenangkan itu antara lain: ancaman komplikasi
akut selama hemodialisa, perubahan aktivitas kerja, perubahan pola
makan dan minum, tekanan ekonomi untuk biaya pengobatan, dan
berbagai masalah psikologis dalam diri penderita.
Pelakasanaan hemodialisa memunculkan komplikasi akut antara
lain: hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam dan menggigil. Komplikasi lain yang
sangat membahayakan nyawa pasien adalah kejang, emboli udara,
tamponade jantung serta perdarahan intrakranial (Suwitra, 2009).
Ancaman munculnya komplikasi ini menimbulkan perasaan cemas dan
takut dalam menjalankan proses hemodialisa.
Hemodialisa menyebabkan perubahan aktivitas kerja. Perubahan
aktivitas kerja disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik akibat
aktivitas kerja juga disebabkan oleh terbatasnya waktu yang dimiliki
oleh penderita untuk melakukan rutinitasnya. Smeltzer dan Bare (2002)
mengatakan waktu yang diperlukan untuk hemodialisa mengurangi
waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas seperti aktivitas kerja,
sosial dan lain-lain.
Hemodialisa juga mengubah pola makan dan minum. Perubahan
ini berupa pembatasan asupan cairan, kalium dan natrium dari minuman
dan makanan. Berbagai masalah psikologis dapat muncul karena
pembatasan ini, seperti yang ditemukan oleh Anger dan Anger (dalam
Starck, 1985) bahwa pasien hemodialisa cenderung marah ketika harus
melakukan diet dan memunculkan perilaku destruktif dengan makan
dan minum sepuasnya pada hari-hari menjelang hemodialisa.
Tarif hemodialisa juga menimbulkan tekanan psikologis bagi
penderita. Menurut Santoso (2008) tingginya biaya hemodialisa yang
mencapai Rp. 4.000.000 per bulan membuat penderita mengalami stres.
Hemodialisa memunculkan perasaan-perasaan yang tidak
menyenangkan. Perasaan-perasaan tersebut meliputi: penolakan,
kemarahan, kecemasan, depresi, dan perasaan takut akan kematian.
Kecemasan muncul karena ketakutan terhadap proses hemodialisa yang
dijalankan. Yudiartini (2005) dalam penelitiannya tentang persepsi
pasien gagal ginjal kronis terhadap hemodialisa menemukan bahwa
berakibat pada menurunnya motivasi untuk menjalani hemodialia
(Suminar, 2001)
Perasaan takut akan kematian muncul karena penyakit gagal
ginjal kronis tidak dapat disembuhkan dan untuk mempertahankan
kehidupannya sangat tergantung pada hemodialisa. Smeltzer dan Bare
(2002) menyatakan pasien merasa khawatir karena kondisi sakitnya
yang tidak dapat diramalkan serta adanya gangguan dalam hidupnya
karena menjalani hemodialisa.
Carpenter dan Lazarus (1984) memperkirakan hanya 10 – 20%
pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa dapat melakukan aktivitas
layaknya orang sehat. 30 – 40% dapat melakukan aktivitas
fungsionalnya meskipun tidak bekerja secara penuh. 20% hanya
melakukan tindakan merawat dirinya dan aktivitas ringan. 20% lainnya
menggantungkan hidupnya pada orang lain. Perbedaan tingkat ini
tergantung dari riwayat perjalanan klinisnya serta komplikasi yang
diderita.
B. MAKNA PENGALAMAN PENDERITAAN
Frankl (1963) menganalogikan penderitaan dengan sifat gas. Jika
sejumlah gas dimasukkan dalam sebuah ruangan kosong maka ruang
tersebut terisi penuh dengan gas, tidak peduli berapa besarnya ruangan
dan kesadarannya. Penderitaan tetap mengisi kehidupan manusia tanpa
peduli bagaimana besar dan kecilnya penderitaan tersebut.
Penderitaan dapat menjadi pengoreksi kekeliruan sekalipun
kekeliruannya tidak dapat terhapuskan. Melalui penderitaan, akan
didapatkan pelajaran tentang hal yang benar dan hal yang salah, sehingga
dapat mengoreksi kekeliruan dan membawa pada pembaruan moral. Oleh
karena itu, penderitaan dapat dimaknai sebagai pembentuk karakter dan
ketahanan diri agar tidak mudah menyerah dan putus asa.
Penderitaan menghasilkan suatu penghayatan penderitaan tanpa
makna (1963). Frankl menyatakan ketika seseorang menderita karena
sesuatu, seseorang bergerak menjauhi sesuatu itu. Ia membentuk jarak
antara kepribadiannya dan sesuatu itu. Selama seseorang menderita, ia
berada dalam tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang
mestinya terjadi. Akibatnya ia mempertahankan pandangannya pada sesuatu
yang ideal (Frankl, 1963)
Gerakan menjauh itu menimbulkan penghayatan penderitaan tanpa
makna sehinggga penderitaan belum dapat dipahami dan ditemukan
cara-cara menghadapinya. Dalam keadaan ini muncul respon awal terhadap
penderitaan yang berupa penolakan, kemarahan, kesedihan dan penyesalan.
Respon memunculkan sikap awal terhadap penderitaan (Bastaman, 1996).
Sikap merupakan kesiapan bereaksi dengan cara-cara tertentu terhadap suatu
keadaan. (Allport dalam Azwar, 2002). Sikap juga suatu evaluasi umum
Cacioppo dalam Azwar, 2002). Berdasarkan kedua pengertian tersebut,
peneliti menyimpulkan sikap adalah evaluasi umum terhadap diri, orang
lain, obyek atau keadaan, serta kesiapan untuk bereaksi dengan cara-cara
tertentu. Terkait dengan sikap awal penderitaan, sikap berarti suatu evaluasi
atas diri dan keadaan penderitaan serta kesiapannya untuk bereaksi terhadap
penderitaan tersebut.
Setiap orang memiliki kehendak hidup bermakna (Frankl, 1963).
Artinya, motivasi utama dalam diri seseorang adalah menemukan makna
atas setiap kejadian (Frankl, 1963). Motivasi ini yang mendorong penemuan
makna penderitaan dari penghayatan penderitaan tanpa makna.
Penemuan makna sangat penting bagi penderita penyakit berbahaya
yang terancam kehidupannya (Coward dalam Lyons dan Chamberlain,
2006). Coward berfokus pada perkembangan identitas dan diri melalui
makna penderitaan untuk trensendensi diri. Trensendensi diri berarti
kemampuan seseorang menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan
memproyeksikannya ke masa depan. Trensendesi diri terwujud dalam
rencana hidup, perubahan sikap, mengasihi orang dan menemukan arti
hidupnya (Bastaman, 1996).
Terdapat berbagai cara untuk memaknai penderitaan. Cara tersebut
digunakan sesuai kondisi dan keadaan penderita. Cara manapun yang
digunakan dapat menghantarkan penderita pada penemuan makna
King (2004) menyatakan tiga cara memaknai penderitaan. Cara-cara
tersebut antara lain: melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan yang
berarti dalam aktivitas, dan penyerahan diri pada pengalaman kehidupan.
Selain melalui tiga cara tersebut, makna juga dapat ditemukan
melalui nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan (Starck, 1985). Kleinman
(dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan setiap kebudayaan
memiliki stigma-stigma tentang sakit. Stigma-stigma tersebut memunculkan
ancaman terhadap pribadi dan kompetensinya. Ancaman terhadap pribadi
dan kompetensi ini mempengaruhi penemuan makna penderitaan.
Makna penderitaan juga dapat ditemukan melalui nilai-nilai
kepercayaan kepada Tuhan. Dalam nilai ini, terkandung nilai kebenaran
tentang kehidupan. Melalui nilai ini, keberadaan Tuhan yang mengatur
kehidupan dapat diakui sehingga menimbulkan rasa aman dalam menjalani
keadaan apapun termasuk penderitaan (Hawari, 2007).
Jadi, terdapat empat cara bagaimana penderitaan dapat dimaknai.
Cara-cara tersebut adalah: melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan
dalam aktivitas, penyerahan diri pada pengalaman kehidupan, serta
nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan.
Menurut Frankl (1968) esensi dari nilai bersikap adalah mengambil
sikap positif, ikhlas, dan menemukan makna dalam keadaan apapun untuk
C. KERANGKA PENELITIAN
Proses pemaknaan penderitaan dimulai saat munculnya penderitaan.
Penderitaan yang dimaksud adalah penyakit gagal ginjal kronis dan
keharusan menjalani hemodialisa untuk mempertahankan hidup.
Tahap awal penderitaan terjadi saat dokter memberi vonis penyakit.
Tahap ini dinyatakan Coward (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006)
sebagai krisis kehidupan untuk mulai memaknai penderitaan. Oleh karena
penderitaan baru dialami, maka tahap ini disebut sebagai penghayatan
penderitaan tanpa makna yaitu penderitaan yang belum dipahami dan
ditemukan cara-cara menghadapinya. Penghayatan ini muncul dalam respon
awal terhadap vonis penyakit dan sikap awal terhadap penderitaan.
Motivasi utama dalam diri seseorang adalah menemukan makna atas
setiap kejadian (Frankl, 1963). Motivasi ini mendorong penemuan makna
penderitaan dari penghayatan penderitaan tanpa makna.
Makna penderitaan dapat ditemukan melalui hubungan dengan orang
lain, keterlibatan dalam aktivitas, penyerahan diri pada pengalaman
kehidupan, serta nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan. Melalui cara-cara
tersebut, penderitaan dapat dipahami dan ditemukan cara-cara
D. PERTANYAAN PENELITIAN
Peneliti menyusun pertanyaan penelitian berdasarkan kerangka
penelitian. Pertanyaan penelitian disusun menjadi 2 macam yaitu central
question atau pertanyaan utama dan subquestion atau pertanyaan kedua.
1. Central Question : Bagaimana proses pemaknaan penderitaan
dan apa makna pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal
kronis berhemodialisa?
2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan
penelitian utama. Subquestion pada penelitian ini adalah :
a. Apa respon awal penderita terhadap vonis dokter ?
b. Apa sikap awal penderita terhadap penderitaan?
c. Bagaimana proses pemaknaan penderitaan melalui
hubungan dengan orang lain, keterlibatan dalam aktivitas
kerja, penyerahan diri pada pengalaman serta nilai-nilai
kepercayaan dan kebudayaan?
d. Apa makna penderitaan bagi pasien gagal ginjal kronis
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode
analisis fenomenologi interpretatif. Metode ini terdiri dari dua langkah.
Pertama, subyek mencoba mengartikan dunia mereka. Kedua, peneliti
mengartikan kegiatan subyek yang sedang mengartikan dunia mereka
(Smith dan Osborn, 2003). Dengan memunculkan kedua aspek ini,
penelitian mengarah pada analisis yang lebih subur dan sesuai dengan
totalitas keadaan subyek. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode ini
agar dapat mengeksplisitkan proses pemaknaan penderitaan secara
terperinci dan menemukan makna penderitaan tersebut.
B. FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian terbagi menjadi dua. Pertama, berfokus pada proses
pemaknaan penderitaan melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan
dalam aktivitas kerja, penyerahan diri pada pengalaman serta nilai-nilai
kebudayaan dan kepercayaan. Kedua, berfokus pada makna penderitaan
C. SUBYEK PENELITIAN
Subyek penelitian ini berjumlah 2 orang. Subyek dipilih
menggunakan Criterion Sampling; cara penentuan subyek berdasarkan
kriteria tertentu dari peneliti yaitu menderita gagal ginjal kronis dan
berhemodialisa. Hal yang terpenting dari kriteria tersebut adalah memiliki
pengalaman atas fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 1998).
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pendataan adalah wawancara semi-terstruktur. Metode ini
memungkinkan peneliti dan partisipan terlibat dalam dialog, sehingga
pertanyaan dapat dimodifikasi untuk menggali wilayah menarik dan penting
selama wawancara (Smith dan Osborn, 2003).
Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan
pertanyaan berdasarkan fokus penelitian. Panduan pertanyaan berjenis
pertanyaan terbuka yang tidak mengarahkan subyek pada jawaban tertentu.
Tabel 1. Panduan Wawancara
No Panduan Pertanyaan
1.
2. 3.
4.
Bisakah anda menceritakan secara singkat riwayat masalah penyakit ginjal anda?
Apa yang anda pikirkan saat anda mengetahui kenyataan itu?
Bagaimana perasaan anda saat mengetahui bahwa anda sakit dan harus menjalani hemodialisa?
Bisakah anda menceritakan bagaimana aktivitas kerja anda sehari-hari saat ini? Adakah perbedaan
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Bagaimana anda memandang hidup anda saat ini?
Dorongan : Terkait dengan keadaan saat ini, bagaimana anda melihat suatu kebenaran dalam filsafat hidup? Bagaimana anda mengalaminya?
Menurut anda, bagaimana kehadiran orang lain bagi diri anda?
Dorongan : Pasangan, keluarga dan kerabat. Adakah perubahan dari mereka?Adakah pengaruhnya terhadap anda?
Menurut anda, Bagaimana cara orang lain memandang diri anda?
Dorongan : Adakah pengaruhnya?
Dari hari ke hari, bagaimana cara anda menghadapi penyakit gagal ginjal ini (Rasa sakit yang diderita) ?
Dorongan : Apakah anda memiliki strategi khusus, cara-cara menghadapi secara praktis dan mental. Melalui spiritual dan doa-doa.
Bisakah anda menceritakan apa yang akan anda lakukan ke depan?
Dorongan : Apakah terjadi perubahan tujuan hidup sebelum dan sesudah sakit?
Bagaimana anda memikirkan tentang masa depan itu?
Tahapan proses wawancara antara lain :
1. Mencari subyek untuk menjadi partisipan penelitian.
2. Melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan dan
memastikan kesediaan subyek.
3. Membuat jadwal wawancara sesuai kesepakatan subyek dan
peneliti.
4. Melakukan wawancara secara bertahap.
Proses wawancara mengikuti pola “zig-zag”. Pola ini berarti peneliti
ke lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisisnya dan ke lapangan
lagi untuk mencari atau menambahkan data untuk dianalisis kembali
(Creswell, 1998). Proses tersebut dilakukan hingga ditemukan data yang
wawancara direkam menggunakan digital recorder untuk disalin dalam
transkrip wawancara verbatim.
E. PROSES PENGUMPULAN DATA
Proses pendataan diawali dengan mencari penderita penyakit gagal
ginjal kronis dan menjalani hemodialisa. Peneliti menggunakan subyek di
unit hemodialisa rumah sakit pemerintah yang memilliki 20 pasien. Peneliti
melakukan izin penelitian kepada pihak yang berwenang sebagai langkah
awal. Setelah memperoleh izin, peneliti mulai melaksanakan penelitian.
Peneliti melakukan konsultasi dengan kepala ruangan untuk
mendapatkan subyek penelitian. Konsultasi mengenai pasien yang dapat
berkomunikasi dengan baik dan diperkirakan mampu menceritakan
pengalamannya. Pasien yang direkomendasikan oleh kepala ruangan adalah
pasien yang kesehatan dan kondisi emosionalnya baik. Hal ini dilakukan
untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, peneliti
memperkenalkan diri kepada pasien yang direkomendasikan oleh kepala
ruangan.
Setelah melakukan perkenalan, peneliti memutuskan menggunakan
tiga subyek. Pertimbangan dalam menentukan jumlah subyek adalah
terbatasnya subyek yang bersedia karena tidak menyukai topik penelitian
dan tidak nyaman jika diwawancarai. Selain itu, keterbatasan waktu
Proses wawancara didahului dengan melakukan perkenalan, rapport,
penjelasan informed concent dan menentukan waktu wawancara. Dalam
penentuan waktu wawancara, peneliti sepakat dengan subyek untuk
melakukan wawancara saat menjalani hemodialisa.
Dalam pelaksanaanya, satu dari ketiga subyek berhenti menjadi
partispan penelitian. Subyek takut untuk mengingat kejadian dan perasaan
yang tidak menyenangkan di masa lalu. Peneliti menghargai keputusan
subyek tersebut untuk mundur sehingga penelitian dilanjutkan hanya pada
dua subyek yang tersisa.
Pada subyek 1, rapport dilaksanakan dengan cepat. Hal ini karena
subyek seorang pribadi yang ramah dan terbuka pada siapa saja sehingga
mudah menerima peneliti dan menceritakan apa saja. Setelah rapport
dilaksanakan dengan baik dan subyek paham dengan tugasnya, proses
wawancara pun dilakukan hingga beberapa tahap.
Untuk subyek 2, rapport dilaksanakan cukup lama. Hal ini karena
subyek yang agak tertutup dan pendiam sehingga dibutuhkan waktu lama
untuk dapat menerima dan mempercayai peneliti. Setelah peneliti diterima
dan dipercaya, subyek dapat terbuka dan menceritakan apa saja.
Peneliti membatasi durasi waktu setiap wawancara maksimal 45
menit. Pembatasan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
kesehatan subyek dan kesediaan waktu yang dimiliki. Akan tetapi, peneliti
tetap melanjutkan proses wawancara ketika subyek masih semangat
Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara
No Subyek Tanggal Waktu Tempat
1. CH 2 Feb 2011
5 Feb 2011 9 Feb 2011 12 Feb 2011
09.00 – 10.00 08.00 – 09.00 10.00 – 11.00 11.00 – 12.00
Unit Hemodialisa
2. DH 2 Feb 2011
5 Feb 2011 7 Feb 2011 12 Feb 2011 17 Feb 2011
09.00 – 10.00 11.00 – 12.00 10.00 – 11.00 10.00 – 11.00 09.00 – 10.00
Unit Hemodialisa
F. KEPATUHAN TERHADAP KODE ETIK UNTUK MENJAGA
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SUBYEK PENELITIAN
Peneliti berusaha mentaati kode etik Himpunan Psikologi Indonesia
(2008) untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Peneliti berlandaskan
pada pasal 7.2.2 tentang menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan
dibidang riset.
Tujuan penelitian, proses pengumpulan data, tanggungjawab
masing-masing pihak, serta akibat-akibat penelitian, dijelaskan sebelum
pelaksanaan penelitian. Hal tersebut menjadi pertimbangan subyek untuk
memtuskan kesediaannya dalam penelitian. (Huruf G dan H).
Untuk memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan subyek,
penelitian memilih subyek yang tidak takut pada topik penelitiannya (Huruf
G. METODE ANALISIS DATA
Analisis fenomenologi interpretatif bertujuan mengartikan gejala
dalam dunia partisipan (Smith dan Osborn, 2003). Tujuan ini menuntut
penafsiran transkrip wawancara. Langkah-langkah proses analisis
fenomenologi interpretatif diuraikan sebagai berikut:
1. Mencari tema-tema
Mencari tema-tema dilakukan dengan membaca transkrip
beberapa kali. Tepi kiri tabel digunakan untuk mencatat apa yang
menarik atau signifikan dari transkrip. Berdasarkan catatan tersebut,
tema-tema dirumuskan pada sisi kanan tabel. Tema-tema menunjukkan
abstraksi yang tinggi dan memunculkan istilah-istilah psikologi (Smith
dan Osborn, 2003).
2. Menghubungkan tema-tema dalam-dalam satu kasus
Tema-tema dalam satu kasus didaftar secara kronologis dan
analitis. Dalam daftar kronologis, tema-tema disusun berdasarkan urutan
kemunculannya dalam transkrip. Tema-tema yang telah didaftar secara
kronologis, didaftar lagi secara analitis dengan melihat hubungan antar
tema-tema. Tema-tema yang tidak sesuai dengan fokus penelitian dapat
dibuang.
3. Menghubungkan tema-tema dalam beberapa kasus
Tema-tema dari salah satu kasus digunakan untuk menganalisis
transkrip lainnya. Dalam analisis ini, ditemukan tema-tema yang sama
kasus. Tema-tema tersebut disusun dalam tabel kelompok subyek. Tabel
ini memperlihatkan titik temu dan titik pisah kedua subyek berdasarkan
tema-tema.
H. VALIDITAS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan validitas kualitatif yang
mendeskripsi-kan setting, eksplorasi, proses dan pola masalah. Untuk mendeskripsiknnya,
validitas kualitatif menggunakan metode wawancara dan analisis
fenomenologi interpretatif.
Selain itu, penelitian ini menggunakan validitas komunikatif.
Validitas ini dilakukan dengan mengkonfirmasi kembali transkrip kepada
subyek dan melakukan koreksi terhadap transkrip yang tidak sesuai dengan
realitas. Transkrip dinyatakan terpercaya jika sesuai dengan realitasnya.
Untuk memenuhi validitas tersebut, kedua subyek diminta membaca
hasil transkrip mereka masing-masing dan mengkoreksinya. Hasilnya,
kedua subyek melakukan beberapa koreksi terhadap transkrip. Kalimat atau
kata yang tidak tepat, diperbaiki dan dijelaskan lebih detail oleh kedua
subyek. Contoh pada subyek Ch, ketika peneliti menuliskan kalimat “berat
menjalaninya” Ch menjelaskan lebih detail kalimat itu sesuai dengan
realitas. Hal ini dilakukan juga pada kata atau kalimat lain yang tidak tepat
bagi mereka. Dengan demikian, didapatkan pernyataan yang sesuai dengan
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan proses pemaknaan penderitaan dan makna
pengalamannya bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa. Pemaknaan
penderitaan menjelaskan proses penemuan makna dari penghayatan penderitaan
tanpa makna sampai dengan penghayatan penderitaan dengan makna. Makna
penderitaan menjelaskan isi makna penderitaan.
A. KONTEKS PENELITIAN
Unit hemodialisa di rumah sakit ini berdiri sekitar tahun 1999. Unit
tersebut berada dibawah pengawasan dokter spesialis penyakit dalam serta
profesor ahli ginjal dan hipertensi. Unit tersebut memiliki 12 mesin dialiser.
Staf paramedis berjumlah berjumlah 13 orang. Mereka berstatus
terlatih dan berpendidikan. Mereka juga memenuhi standar perawatan
hemodialisa karena telah menempuh pendidikan intensif di berbagai rumah
sakit pusat hemodialisa. Meski memiliki staf paramedis terstandar, unit
tersebut tidak memiliki psikolog atau konselor kesehatan. Akibatnya,
pelayanan jasa psikologis tidak tertangani secara profesional. Banyak pasien
yang menyatakan bahwa masalah psikologis seperti kecemasan, ketakutan,
kejenuhan dan lain-lain tidak tertangani dengan baik oleh staf paramedis.
Dari pengamatan dan pengalaman langsung selama beberapa bulan
jarang saling berkomunikasi saat hemodialisa berlangsung. Mereka hanya
berkomunikasi saat proses memasang atau mencabut peralatan hemodialisa.
Tidak hanya antara pasien dan paramedis, antarpasien pun jarang terlibat
komunikasi.
Pembahasan penelitian ini dibatasi pada konteks tempat penelitian.
B. PROFIL SUBYEK
Berikut adalah profil subyek dalam penelitian ini :
1. Subyek 1
a. Deskripsi Subyek
Subyek pertama berinisal Ch. Ch adalah seorang wanita
berusia 42 Tahun. Perawakan Ch cukup gemuk, berkulit sawo
matang dan berjilbab. Menurut pasien-pasien lainnya, Ch adalah
seorang yang cerewet dan gemar bercanda sehingga dapat
menghidupkan suasana dalam proses hemodialisa yang sepi.
Berdasarkan hasil wawancara, Ch memiliki kesabaran dan
keteguhan hati dalam menghadapi penderitaan. Meskipun sempat
terjadi penolakan, ia tidak membutuh-kan waktu lama untuk
kembali bangkit. Menurut Ch, pribadinya yang periang membuat ia
kuat menghadapi penyakitnya. Oleh karena itu, dalam
b. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Dokter mendiagnosa Ch dengan penyakit asam urat atau
sakit di bagian persendian. Setelah pemeriksaan laboratorium
lengkap diketahui bahwa subyek menderita gagal ginjal kronis.
Manifestasi klinis pada setiap penderita berbeda satu sama
lain. Hal ini terkait kondisi fisik penderita dan riwayat penyakit.
Pada Ch, manifestasi klinis diawali dengan rasa mual, tekanan
darah tinggi serta nyeri artritis pada persendian kaki dan lutut.
Tingkat keparahan manifestasi ini tidak berpengaruh pada kondisi
fisik Ch secara keseluruhan sehingga memungkinkannya tidak
menjalani hemodialisa dan tetap beraktivitas.
Setelah satu tahun riwayat penyakit tanpa hemodialisa,
manisfestasi klinis meningkat hingga mengalami gangguan
kesadaran (koma). Untuk mencegah komplikasi yang berlanjut, Ch
langsung menjalani hemodialisa secara intensif.
Ch menjalani hemodialisa 2 kali seminggu masing-masing
selama 5 jam. Sampai dengan 12 februari 2011, Ch sudah
menjalani hemodialisa sebanyak 120 kali.
2. Subyek 2
a. Deskripsi Subyek
Subyek kedua dalam penelitian ini berinisal Dh. Dh adalah
hitam, bersisik dan berambut putih. Dh adalah bapak dari dua orang
anak. Dh tinggal bersama istri dan anak keduanya yang masih
bersekolah, sedangkan anak pertamanya tinggal di tempat lain
untuk bekerja.
Menurut pasien-pasien lain, Dh suka berdiam diri dan
melamun saat menjalani hemodialisa. Mereka sering menyarankan
Dh agar lebih bersemangat menjalani keadaannya.
Dari hasil wawancara, Dh menyatakan mengalami
kesedihan dan ketakutan dalam menghadapi penyakitnya. Sejak
divonis, Dh dihantui rasa takut akan penyakitnya. Rasa takut itu
membuatnya sering sesak nafas secara tiba-tiba. Menurut dokter,
sesak nafas ini tidak muncul hanya karena komplikasi penyakitnya
namun juga karena stres. Menurut Dh, kehadiran istri dan
anak-anak membuatnya kuat menghadapi penderitaan. Kekuatan itu
menyebabkannya mau menjalani hemodialisa agar tetap bertahan
hidup.
Dalam kesehariannya, Dh terlihat seperti orang sakit.
Wajahnya pucat dan lambat saat berjalan. Dh mengatakan tidak
mampu lagi menutupi kondisi fisiknya karena kondisinya sudah
lemah. Menurut Dh, kalau pun akan beraktivitas, ia hanya
melakukan pekerjaan ringan-ringan saja dan dilakukan sesudah
b. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Sebelum menderita penyakit gagal ginjal kronis, Dh pernah
menderita batu ginjal. Penyakit ini menyebabkan penurunan fungsi
ginjal sementara. Oleh karena itu, dokter menyarankan Dh
beristirahat dan mengurangi aktivitas kerjanya untuk mencegah
penuruan fungsi ginjal yang lebih parah. Akan tetapi, Dh tidak
mengikuti saran dokter dan tetap bekerja berat setiap harinya.
Beberapa tahun kemudian, Dh menderita tekanan darah
tinggi dan sesak nafas. Setelah dilakukan pengecekan laboratorium,
dokter memvonis Dh menderita penyakit gagal ginjal kronis.
Manifestasi klinis pada setiap penderita berbeda satu sama
lain. Hal ini terkait kondisi fisik penderita dan riwayat penyakit.
Manifestasi klinis Dh ditandai dengan tekanan darah tinggi dan
sesak nafas. Tingkat keparahan manifestasi berpengaruh besar pada
kondisi fisik Dh secara keseluruhan.
Setelah satu tahun perjalanan penyakit tanpa hemodialisa,
manisfestasi klinis meningkat hingga mengalami gangguan
kesadaran (koma). Untuk mencegah komplikasi yang berlanjut, Dh
langsung menjalani hemodialisa secara intensif.
Dh menjalani hemodialisa 3 kali seminggu masing-masing
4 jam. Sampai dengan 21 Januari 2011, Dh sudah menjalani
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian merupakan hasil analisis lanjutan terhadap kedua
subyek. Analisis lanjutan dilakukan dengan mensistesiskan tema-tema yang
berulang kemunculannya dan tema-tema yang baru didapatkan pada
masing-masing. Dengan demikian, ditemukan tema-tema yang sama dan berbeda
pada masing-masing subyek.
Hasil penelitian berupa tema-tema yang sama dan berbeda pada
masing-masing subyek disajikan dalam tabel-tabel menurut tahapannya.
Angka pada masing-masing tabel menunjukkan pada nomer verbatimnya.
Sesudah disajikan dalam bentuk tabel, tema-tema tersebut dibahas menurut
tahapannya.
1. Respon Terhadap Vonis Penyakit
Tabel 3. Respon Terhadap Vonis Penyakit
Tema-tema yang sama pada kedua subyek: a. Terkejut mendengar informasi yang
tidak diduga.
b. Penolakan terhadap kenyataan. c. Menolak pengobatan yang dikaitkan
dengan ketidaktahuan informasi. d. Marah mendapat perlakuan yang
tidak baik terkait pemberian informasi.
e. Menerima kenyataan dalam keadaan tak berdaya.
f. Kesedihan yang memunculkan sikap menyalahkan diri sendiri dan
penyesalan yang mendalam.
Ch
75 – 77
20 – 21 79 – 81
145 – 146
67 – 70
181 – 182
Dh
77 – 78
23 – 24 33 – 35
74 – 76
88 – 89
Seperti yang tersaji dalam tabel 3 huruf a, pasien memiliki respon
awal yang sama terhadap vonis dokter. Respon tersebut adalah terkejut
atas vonis yang diterima.
Pasien terkejut karena mereka tidak mengenali secara dini
gejala-gejala penyakit gagal ginjal kronis. Gejala-gejala-gejala penyakit itu dikenali
sebagai gejala penyakit lain, sehingga ketika dokter memvonis sakit
gagal ginjal kronis, mereka terkejut mendengarnya.
Setelah terkejut, pasien memunculkan penolakan pada penyakit
tersebut. Penolakan ini dapat muncul karena adanya informasi bahwa
penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit berbahaya yang tidak dapat
disembuhkan. Kenyataan bahwa penyakit itu berbahaya dan mengancam
kehidupan membuat pasien takut untuk menerima kenyataanya. Akhirnya
mereka menolak penyakit tersebut dan mencari jawaban lain dari
penyakitnya dengan mendatangi berbagai alternatif pengobatan. Tahap
ini disebut Travelbee (dalam Bastaman, 1996) sebagai The why me
reaction; pasien mempertanyakan mengapa penyakit tersebut menimpa
diri mereka padahal mereka merasa sudah melakukan banyak hal untuk
menjaga kesehatan.
Penolakan pada penyakit menyebabkan pasien menolak menjalani
hemodialisa. Penolakan itu disebabkan oleh adanya informasi negatif
tentang proses berhemodialisa yang menyakitkan dan memperpendek
pengobat dari penyakitnya. Mereka menolak menjalani hemodialisa
mencari alternatif pengobatan lain.
Selain menolak, pasien juga marah kepada dokter yang memvonis
penyakit gagal ginjal kronis dan menyuruhnya menjalani hemodialisa.
Menurut mereka, dokter tidak menjelaskan penyakit dan pengobatannya
secara detail.
Verbatim menyatakan, kemarahan pasien terjadi karena dokter
tidak menjelaskan diagnosa penyakit dengan baik. Akibatnya, pasien
tidak memiliki informasi yang benar mengenai penyakit dan
pengobatannya. Padahal, Winefield (dalam Lyons dan Camberlain, 2006)
menyatakan interaksi komunikasi antara dokter dan pasien dalam
menjelaskan diagnosa penyakit harus dilakukan sebaik mungkin.
Interaksi komunikasi yang baik membuat pasien mengerti penyakitnya
dan pengobatan yang harus dijalani. Apabila hal itu tidak dilakukan,
dapat memunculkan berbagai masalah mental dan stigma negatif
terhadap penyakit dan pengobatannya.
Dalam tabel 3 huruf e, terlihat bahwa penolakan untuk menjalani
hemodialisa tidak bertahan lama. Hal itu disebabkan oleh kondisi
penyakitnya yang semakin membahayakan nyawa pasien. Dalam
keadaan tersebut, satu-satunya cara mempertahankan kehidupan adalah
menjalani hemodialisa meski mereka takut menjalaninya. Travelbee
reaction. Pasien mulai menerima kondisi yang awalnya sulit untuk
diterima meski dalam keadaan terpaksa.
Keputusan untuk menjalani hemodialisa menunjukkan bahwa
pasien mulai menerima penyakitnya. Akan tetapi, mereka masih
memunculkan sikap penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Sikap itu
muncul saat mereka merefleksikan perilaku-perilakunya di masa lalu
yang dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit tersebut. Sikap itu
terwujud dalam berbagai ungkapan seperti “andai dulu saya jaga
kesehatan” atau “kenapa saya tidak langsung berobat saja”. Berbagai
ungkapan itu memunculkan kesedihan terhadap diri sendiri yang
dianggap lalai menjaga kondisi kesehatan fisik.
2. Sikap Awal Terhadap Penderitaan
Tabel 4. Sikap Awal Terhadap Penderitaan
a. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:
1) Penolakan terhadap penderitaan yang membatasi diri
2) Sikap ketergatungan pada orang lain
b. Tema-tema yang sama pada kedua subyek
1) Penerimaan terhadap penderitaan 2) Merubah aktivitas kerja
Ch
-
-
749 – 752 272 – 273
Dh
560 – 562
319 – 320
670 – 674 201 – 204
Kedua pasien memiliki sikap awal yang berbeda terhadap
dimunculkan Dh dalam bentuk penolakan terhadap penderitaan yang
membatasi diri dan ketergantungannya pada orang lain. Di lain pihak, Ch
tidak memunculkan sikap tersebut.
Munculnya penolakan Dh terhadap penderitaan karena Dh melihat
sakitnya sebagai sesuatu yang membatasi diri padahal selama ini Dh
bebas melakukan apapun yang diinginkannya. Di samping itu,
munculnya ketergantungan Dh pada orang lain disebabkan ia takut untuk
beraktivitas sendiri. Ketakutan itu muncul karena Dh memiliki trauma
terhadap sesak nafas yang sering muncul sebelum ia menjalani
hemodialisa. Peneliti menduga, Dh mengasosiasikan traumanya pada
sesak nafas dengan beraktivitas sendiri. Ia takut saat sedang beraktivitas
sendiri, sesak nafasnya kambuh dan ia tidak dapat melakukan apapun
untuk menolong dirinya sendiri.
Berbeda dengan Dh, subyek Ch tidak memunculkan penolakan
terhadap penderitaan dan ketergantungan pada orang lain. Hal itu terjadi
karena Ch lebih realistis melihat penderitaannya. Ia tidak melihat
penderitaan sebagai sesuatu yang membatasi diri melainkan suatu
keadaan yang harus dijalani. Oleh karena Ch tidak merasa dibatasi oleh
penderitaan, ia tidak memunculkan sikap ketergantungan pada orang lain.
Kedua pasien juga memuncukan sikap yang sama yaitu penerimaan
terhadap penderitaan. Akan tetapi, Dh melalui proses penolakan terlebih
dahulu untuk kemudian menerima penderitaan, sedangkan Ch dapat
penerimaan diri menentukan penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.
Dengan adanya penerimaan diri yang baik, akan memunculkan
penyesuaian diri yang baik sehingga dapat menentukan pilihan-pilihan
yang bertanggungjawab. Pasien dapat menerima penyakitnya dan
menyadari bahwa hemodialisa adalah cara untuk mempertahankan
kehidupannya. Sebagai keputusan yang bertanggungjawab pasien
bersedia menjalani hemodialisa, diet dan berbagai aturan yang disarankan
dokter.
Persamaan sikap yang juga dimunculkan kedua pasien adalah
merubah aktivitas kerja. Hal itu terlihat dalam tabel 4 huruf b bagian 2.
Sikap untuk merubah aktivitas kerja muncul karena penurunan kondisi
fisik yang tidak memungkin pasien melakukan aktivitas berat. Sebelum
sakit, aktivitas kerja subyek Ch adalah berwirausaha. Setelah sakit, Ch
menghentikan aktivitas tersebut. Demikian juga dengan subyek Dh.
Sebelum sakit, subyek Dh bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Setelah
sakit, Dh berhenti dari pekerjaan tersebut. Aktivitas kerja yang dilakukan
setelah sakit adalah aktivitas ringan yang tidak membutuhkan banyak
3. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-Nilai
Tabel 5. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-Nilai a. Tema-tema yang sama pada kedua
subyek:
1) Memaknai penderitaan melalui nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan.
a) Menyadari keadaan hidup yang tidak bisa dikendalikan.
b) Kehidupan disyukuri dalam keadaan apapun.
2) Memaknai penderitaan melalui hubungan dengan orang lain.
a) Hidup untuk keluarga sebagai bentuk tanggungjawab
b) Mendapat perhatian dan cinta kasih dari keluarga.
b. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:
1) Memaknai penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman keindahan.
a) Menghilangkan rasa menderita, mendapatkan kebebasan, dan kekuatan hidup
2) Memaknai penderitaan melalui aktivitas kerja dan mendapatkan kebahagiaan saat melakukannya.
Ch
414 – 418
652 – 654
460 – 461
384 – 386
-
360 – 362
Dh
777 – 778
727 – 739
450 – 451
383 – 384
486 – 488
-
Kedua pasien memiliki cara-cara yang sama dan berbeda untuk
memaknai penderitaan. Pada tabel 5 huruf a terlihat cara-cara yang sama
untuk memaknai penderitaan.
a. Nilai kepercayaan terhadap Tuhan
Dalam nilai kepercayaan terhadap Tuhan, kedua pasien
percaya bahwa hidup sudah ditakdirkan oleh Tuhan dan manusia
tersebut, pasien dituntut untuk menerima penderitaan secara ikhlas,
tawakal dan selalu bersyukur dalam keadaan apapun.
b. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain memberi makna penderitaan
bagi kedua pasien. Pemaknaan itu didapatkan dengan cara memberi
dan menerima cinta dari keluarga. Dengan mencintai, pasien
merasa berharga bari keluarganya. Pasien akan mengerahkan segala
potensi dan kekuatan yang dimilikinya untuk tetap bertahan hidup.
Dengan menerima cinta, pasien mendapatkan dukungan sosial
dalam menghadapi penderitaan. Dukungan sosial membuat pasien
merasa nyaman, berharga dan diterima apa adanya. Hal itu
membuat pasien kuat dan tidak menyerah menghadapi
penderitaanya.
Selain menempuh cara-cara yang sama, pasien juga menempuh
cara-cara berbeda untuk memaknai penderitaan. Pada tabel 5 huruf b
terlihat cara-cara yang berbeda untuk memaknai penderitaan. Pasien Dh
memaknai penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman
keindahan sedangkan pasien Ch memaknai penderitaan melalui aktivitas
kerja.
a. Pemaknaan penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman
keindahan
Penyerahan diri pada pengalaman keindahan memberikan
tekanan, tenang dari ketakutan, dan nyaman dari keadaan
penderitaan. perasaan-perasaan itu menghilangkan rasa sakit dari
penderitaan. Frankl (1963) menyatakan pemaknaan penderitaan
dapat ditempuh melalui cara ini karena dapat memberikan
kebebasan pada seseorang yang terbelenggu oleh penderitaan.
b. Pemaknaan penderitaan melalui aktivitas kerja
Aktivitas kerja memberikan makna bagi pasien Ch.
Beraktivitas kerja membuat pasien melupakan penyakitnya,
mengembangkan pribadi yang berguna dan memiliki kepercayaan
diri. Melalui aktivitas, pasien memaknai penderitaanya sebagai
tantangan dan pembentuk ketahanan diri agar tidak menyerah dan
putus asa. Pasien yakin memiliki kesempatan selama mereka
mampu melakukannya. Frankl (1963) mengungkapkan bahwa arti
dapat diberikan pada kehidupan melalui aktivitas kerja.
Berbedanya cara-cara yang ditempuh kedua pasien untuk
memaknai penderitaannya terjadi karena perbedaan riwayat dan
komplikasi penyakit serta kondisi kesehatan fisik kedua pasien.
Subyek Dh telah sakit selama empat tahun dan mengalami berbagai
komplikasi seperti sesak nafas dan jantung. Keadaan itu membuat
kondisi fisiknya menurun dan tidak mampu melakukan aktivitas
kerjanya. Oleh karena itu, Dh menempuh cara menyerahkan diri pada
Subyek Ch telah sakit selama dua tahun. Dalam riwayat
penyakitnya, Ch tidak mengalami berbagai komplikasi penyakit berat
seperti yang dialami Dh. Akibatnya kondisi fisik Ch tidak terlalu lemah
dan memungkinannya melakukan aktivitas kerja ringan. Oleh karena itu,
Ch menempuh cara melibatkan diri dalam aktivitas kerja untuk
memaknai penderitaanya.
Meskipun melalui cara-cara yang berbeda, kedua pasien tetap dapat
memaknai penderitaanya asalkan pasien melibatkan diri seutuhnya pada
cara-cara tersebut.
Pemaknaan penderitaan diawali dari penghayatan penderitaan tanpa
makna sampai dengan penghayatan penderitaan dengan makna. Dalam
proses pemaknaan, penderitaan dimaknai melalui nilai-nilai kepercayaan
kepada Tuhan, hubungan dengan orang lain, menyerahkan diri pada
pengalaman keindahan dan keterlibatan dalam aktivitas kerja. Jadi,
penderitaan melalui nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai:
a. Keadaan yang ditakdirkan Tuhan. Artinya bahwa penderitaan
adalah keadaan yang sudah digariskan oleh Tuhan sehingga
manusia hanya perlu menerima dengan ikhlas dan menjalani
kehidupan dalam keadaan apapun.
b. Pembentuk karakter dan tantangan menghadapi kehidupan. Melalui
makna ini, pasien tidak menyerah dan putus asa menghadapi
penderitaan. Pasien melihat kesempatan lain dalam hidup ini untuk
menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan
memproyeksikannya ke masa. Trensendensi diri terwujud daam
dalam rencana hidup, perubahan sikap, bertanggungjawab dan
menemukan arti hidupnya.
c. Hidup baru yang Tuhan berikan melalui hemodialisa.
Makna penderitaan tersebut memunculkan cara-cara menghadapi
penderitaan dan mengalami trensendensi diri.
4. Cara-Cara Menghadapi Penderitaan
Tabel 6. Cara-cara menghadapi penderitaan a. Tema-tema yang sama pada kedua
subyek:
1) Tabah menghadapi penderitaan 2) Mental yang kuat sebagai obat
utama
3) Tujuan hidup yang tidak bersifat duniawi
a) Hidup yang tidak ditujukan pada kenikmatan duniawi yang dikaitkan dengan keterbatasan fisik.
b. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:
1) Mengatasi sakit dengan tidak menganggap diri sakit.
2) Melawan ketidakberdayaan dengan memberi dukungan sosial kepada orang lain.
Ch
320 – 321 581 – 582
696 – 700
562 – 572
576 – 578
Dh
455 – 459 724 – 726
703 – 705
-
-
Kedua pasien memunculkan cara-cara yang sama dan berbeda
untuk menghadapi penderitaanya. Pada tabel 6 huruf a terlihat cara-cara
a. Tabah menghadapi penderitaan
Tabah menghadapi penderitaan menunjukkan kekuatan hati
untuk menerima penderitaan. Sikap itu merupakan keberanian dan
kemuliaan dalam menghadapi penderitaan. Jika suatu penderitaan
dapat diterima dengan tabah, pasien tidak membentuk jarak antara
kepribadiannya dan keadaan penderitaan. Pasien tidak memiliki
tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang
semestinya terjadi. Akibatnya, pasien tidak mempertahankan
pandangannya pada sesuatu yang ideal dan dapat menerima
kenyataan.
b. Mental yang kuat sebagai obat utama
Mental yang kuat adalah obat utama bagi kedua pasien.
Mental yang kuat membuat pasien menerima keadaan diri yang
terbatas. Saat diri yang terbatas diterima, mereka tidak lagi
mencela, mencari-cari kesalahan, atau menilai diri tidak berguna.
c. Tujuan hidup yang tidak bersifat duniawi
Kedua pasien memiliki tujuan hidup yang tidak bersifat
duniawi. Pasien merasa khawatir terhadap kondisi sakitnya yang
tidak dapat diramalkan karena menjalani hemodialisa. Sebelum
sakit, pasien memiliki tujuan hidup untuk memenuhi hal-hal
duniawi seperti tabungan, rumah dan harta benda. Setelah sakit,
spritual; mendekatkan diri kepada Tuhan dan membahagiaan
anak-anaknya.
Selain memunculkan cara-cara yang sama, pasien memunculkan
cara-cara berbeda untuk menghadapi penderitaanya. Hal itu terlihat pada
tabel 6 huruf b. Perbedaan cara menghadapi penderitaan dimunculkan Ch
dalam bentuk mengatasi sakit dengan tidak menganggap diri sakit dan
melawan ketidakberdayaan dengan memberi dukungan sosial kepada
orang lain. Di lain pihak, Dh tidak memunculkan sikap tersebut.
Perbedaan itu diduga karena Ch memiliki penerimaan diri yang
baik dan dan tidak selalu mengeluh atas keadaan tersebut. Tidak selalu
mengeluh ini dinyatakan dengan tidak menganggap diri sakit. Selain itu,
Ch juga memiliki minat sosial yang tinggi. Peneliti menduga, minat
sosial itu mendorongnya memberikan sumbangan pribadi kepada orang
lain dengan menjadi motivator bagi pasien lain. Dengan memberikan
sesuatu kepada orang lain, ia dapat melawan ketidakberdayaannya dan
meraih kebahagiaan dalam penderitaan.
Berbagai cara yang digunakan untuk menghadapi penderitan
menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa
mengalami trensendensi diri. Trensendensi diri berarti kemampuan
menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan
memproyeksikannya ke masa depan. Trensendensi diri terwujud dalam
menerima kondisi fisik yang sakit, mengasihi orang lain, menemukan
Gambar 1 : Skema Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa
Pengalaman Penderitaan
Makna Penderitaan : 1. Keadaan yang ditakdirkan Tuhan
2. Pembentu karakter dan tantangan agar tidak mudah menyerah dan putus asa
3. Hidup baru yang Tuhan berikan melalui hemodialisa Penghayatan penderitaan dimaknai melalui nilai-nilai: 1. Kepercayan bahwa hidup sudah diatur oleh Tuhan yang maha
kuasa dan manusia hanya bisa menerimanya
2. Hubungan memberi dan menerima cinta dari orang lain 3. Aktivitas kerja untuk menunjukkan potensi diri
4. Pengalaman menyerahkan diri pada keindahan alam untuk bisa merasakan kebebasan dalam kehidupan