• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN PENDERITAAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS BERHEMODIALISA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMAKNAAN PENDERITAAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS BERHEMODIALISA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

BERHEMODIALISA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: I Putu Ardika Yana

NIM : 079114004

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Motto

Don’t lose who you are, in the blur of the stars

Seeing is deceiving, dreaming is believing

It’s okay not to be okay

Sometimes it

’s hard, to follow your heart

Tears don’t mean you’re losing, everybody’s bruising

Just be true to who you are

Ide kecil ini ku persembahkan kepada :

Bhagavan Sri Satya Sai Baba untuk setiap cahaya di Hidupku setiap cinta yang hadir dalam Hidupku setiap waktu yang membesarkan Jiwaku & setiap pengorbanan yang diberikan padaku

(5)

v

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Juli 2011

Penulis,

(6)

vi

BERHEMODIALISA

I Putu Ardika Yana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci pemaknaan penderitaan pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa. Penelitian ini mempunyai 2 pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses pemaknaan penderitaan melalui nilai-nilai kepercayaan dan kebudayaan, hubungan dengan orang lain, aktivitas kerja dan penyerahan diri pada pengalaman. Pertanyaan kedua adalah apa makna penderitaan tersebut. Penelitian dilakukan di unit hemodialisa di rumah sakit pemerintah. Pendataan dilakukan terhadap 2 subyek melalui wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan adalah validitas komunikatif; pernyataan dianggap terpercaya jika data yang didapatkan mampu menggambarkan realitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderitaan dimaknai sebagai: 1) keadaan yang ditakdirkan oleh Tuhan, 2) pembentuk karakter sekaligus tantangan, dan 3) kehidupan yang baru. Makna penderitaan tersebut memunculkan cara-cara bersikap terhadapnya.

(7)

vii

CHRONIC RENAL FAILURE PATIENTS

I Putu Ardika Yana

ABSTRACT

This study aimed to explore the meaning of suffering of the hemodialysed chronic renal failure patients. The two research questions are: 1) how the patients arrived at the meaning through the belief and cultural values, relationship with others, work activities and surrender to the experience, 2) what the meaning of the suffering. The study was conducted in goverment hospitas hemodialysis unit. The data were collected from two subjects through semi-structured interviews. Validity process employed communicative validity. In communicative validity, a statement is considered reliable if it can describe the reality. The results show that the suffering interpreted as: 1) a state destined by God, 2) forming the character and challenge, and 3) a new life. The meaning of suffering bering about the ways to face it.

(8)

viii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : I PUTU ARDIKA YANA NIM : 079114004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 29 Juli 2011 Yang menyatakan,

(9)

ix

Tugas akhir ini dibuat atas dasar kepedulian terhadap kompleksitas

penderitaan pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa dengan banyak perubahan

aktivitas kerja, pola makan dan minum, komplikasi akut serta berbagai masalah

psikologis.

Peneliti memberikan penghargaan kepada semua pihak yang membantu

penelitian dan penulisannya. Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Bhagavan Sri Satya Sai Baba, Dewi Saraswatyai dan Dewa Ganesha atas

berkah kehidupan, penerangan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang

tiada akhirnya.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan dan Bpk. Minta Istono, S.Psi.,

M.Si. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang memberikan dukungan berupa perizinan penelitian

3. Bpk. V. Didik Suryo H, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan

akademik.

4. Bpk. Agung Santoso, S.Psi., M.A. dan Dr. A. Priyono Marwan, S.J. selaku

dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis, kritik dan

saran yang sangat membangun skripsi ini.

5. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi, Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. Dan

ML. Anantasari, M.Si. atas pengalaman pelajaran yang tiada duanya.

6. Dr. Hutzell, Dr. Patricia dan Dr. Schulenberg atas saran-saran dan bantuan

(10)

x

Doni atas pinjaman buku-buku dan Mas Muji atas bantuan praktikumnya.

8. Bpk Dh dan Ibu Ch informan dalam penelitian ini. Tiada kata yang bisa

penulis ucapkan selain beribu-ribu terima kasih. Semoga Tuhan memberikan

anugerah yang terbaik dalam menjalani hidup ini.

9. Balitbangda Sulawesi Tengah, RSUD Undata dan perawat di unit

Hemodialisa yang membantu pelaksanaan penelitian ini.

10. Yang paling berharga dalam hidup saya adalah Mama dan Bapak. Kak Wati

dan kak Gede atas bantuannya. Adik tercintaku Dira, Ayu, Dea, Agung dan

Dewi. Buat Ryan atas abstraknya.

11. Sahabatku Dito, Andez, Wini, Reni, Ina dan Nindya. Teman-teman

Psikologi‟07. Patrik, Anton, Ateng, dan Ditra atas pengalaman debatnya.

12. Teman-teman satu bimbingan atas semangat, diskusi dan canda-tawanya.

13. Teman-teman KMHD Swastika Taruna. Keluarga setiaku genk amak-amak.

Wayan, Adi, Aix, Awi, Indri, Tari dan Andi. Sahabat Exacta‟02 yang selalu

menjadi keluarga keduaku. Wewe, Decox dan Ari atas semua bantuannya.

Peneliti membutuhkan kritik dan sumbngan pemikiran untuk kepatutan

karya tulus ini.

Yogyakarta, 29 Juli 2011 Penulis,

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BdAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Pengalaman Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa ... 7

(12)

xii

3. Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis

Berhemodialisa ... 9

B. Makna Pengalaman Pederitaan ... 12

C. Kerangka Penelitian ... 16

D. Pertanyaan Penelitian ... 17

BAB III. METODE PENELITIAN ... 18

A. Jenis Penelitian ... 18

B. Fokus Penelitian ... 18

C. Subyek Penelitian ... 19

D. Metode Pengumpulan Data ... 19

E. Proses Pengumpulann Data ... 21

F. Kepatuhan Terhadap Kode Etik Untuk Menjaga Kesejahteraan Subyek Penelitian ... 23

G. Metode Analisis Data ... 24

H. Validitas Penelitian ... 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Konteks Penelitian ... 26

B. Profil Subyek ... 27

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 31

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN ... 47

(13)

xiii

C. Saran ... 48

(14)

xiv

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 19

Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara ... 23

Tabel 3. Respon Terhadap Vonis Penyakit ... 31

Tabel 4. Sikap Awal Terhadap Penderitaan ... 34

Tabel 5. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-nilai ... 37

(15)

xv

Gambar 1. Skema Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis

(16)

xvi

Lampiran 1 Interview Protocol ... 53

Lampiran 2 Verbatim Wawancara Subyek I Ch ... 54

Lampiran 3 Tabel Tema-Tema Subyek I Ch ... 72

Lampiran 4 Verbatim Wawancara Subyek II Dh ... 74

Lampiran 5 Tabel Tema-Tema Subyek II Dh ... 90

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit gagal ginjal kronis adalah salah satu jenis penyakit berat

yang mengancam kehidupan penderitanya. Penyakit ini disebabkan oleh

menurunnya fungsi ginjal secara progresif karena kerusakan nefron dalam

jumlah yang semakin besar sehingga ginjal kehilangan kemampuannya

untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan volume cairan di dalam tubuh

(Guyton dan Hall, 2007).

Berdasarkan data di pusat nefrologi Indonesia, penderita gagal ginjal

kronis diperkirakan mencapai 100-150/1.000.000 penduduk sedangkan

prevalensinya mencapai 200-250/1.000.000 penduduk. Jumlah penderita

gagal ginjal kronis yang dicatat oleh PT. Askes meningkat secara signifikan

dari 481 kasus pada tahun 1995 menjadi 10.452 pada tahun 2005 (Suwitra,

2009). Suwitra (2009) menggambarkan penderita gagal ginjal kronis pasti

meningkat jumlahnya di masa mendatang.

Untuk mempertahankan kehidupannya, penderita gagal ginjal kronis

harus melakukan terapi pengganti fungsi ginjal. Salah satu jenis terapinya

adalah hemodialisa. Hemodialisa merupakan terapi pengganti fungsi ginjal

dengan ginjal buatan pada mesin dialiser.

Penyakit gagal ginjal kronis dan proses hemodialisa yang dilakukan

(18)

Berbagai perubahan hidup itu meliputi perubahan aktivitas kerja serta

perubahan pola maka dan minum.

Perubahan aktivitas kerja disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik

akibat ketidakstabilan cairan dan racun di dalam tubuh. Selain itu,

perubahan aktivitas kerja juga disebabkan oleh terbatasnya waktu penderita

untuk melakukan rutinitasnya. Smeltzer dan Bare (2002) mengatakan waktu

hemodialisa mengurangi ketersediaan waktu untuk melakukan aktivitas lain

seperti aktivitas kerja dan sosial.

Perubahan pola makan dan minum terjadi karena penderita gagal

ginjal kronis memiliki produksi urin sedikit sehinga untuk mencegah

penumpukan cairan di dalam tubuh, penderita harus membatasi asupan

cairannya. Perubahan ini tidak mudah dilakukan oleh setiap penderita.

Anger dan Anger (dalam Starck, 1985) menemukan penderita cenderung

marah ketika harus melakukan diet dan mengembangkan perilaku destruktif

dengan makan dan minum sepuasnya pada hari-hari menjelang hemodialisa.

Hal ini menunjukkan perubahan pola makan dan minum dapat

menyebabkan masalah psikologis seperti penolakan dan kemarahan.

Masalah-masalah psikologis juga muncul dalam diri penderita.

Masalah psikologis tersebut meliputi: penolakan terhadap penyakit dan

terapinya, keputusasaan, kecemasan, depresi, rasa ketidakberdayaan dan

perasaan takut akan kematian. Kecemasan muncul karena ketakutan pada

(19)

kematian muncul karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan

kehidupannya bergantung pada proses hemodialisa (Suminar, 2001).

Menurut Holmes dan Rahe (1967) yang mengukur tingkat stres

perubahan hidup menggunakan Life Events Scale; sakit yang mengancam

kehidupan merupakan keadaan yang menimbulkan tekanan psikologis

dengan angka 53 poin dari rentangan 0 – 100.

Sakit dan penderitaan dapat dipandang dari filsafat yang

dikemukakan oleh Descartes (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006).

Descartes menyatakan tubuh dan pikiran (jiwa) merupakan dua hal terpisah,

tetapi keduanya saling berhubungan melalui pineal gland di dalam otak

sehingga menjadi satu kesatuan dalam memahami realita. Oleh karena itu,

ketika fisik mengalami sakit maka pikiran (jiwa) juga terganggu akibat sakit

tersebut. Pandangan ini melihat kesatuan manusia yang mempunyai aspek

tubuh dan pikirannya (jiwa). Tubuh menjelaskan tentang proses fisik

manusia dan pikiran (jiwa) menjelaskan tentang proses berpikir dan

merasakan.

Coward (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan

penemuan makna sangat penting bagi penderita penyakit berbahaya yang

terancam kehidupannya. Melalui penemuan makna berkembanglah identitas

dan diri untuk memahami kehidupan dan mengalami trensendensi diri.

Perkembangan identitas dan diri terjadi ketika penderita berproses dari

(20)

penderitaanya (Frankl, 1963). Dari penemuan makna ini, penderita dapat

memahami kehidupan dan mengalami trensendensi diri (Bastaman, 1996).

Copp (dalam Starck, 1985) yang meneliti makna sakit dan

penderitaan menemukan bahwa penderitaan dimaknai sebagai tantangan,

musuh, hukuman, kelemahan, kebebasan, strategi, kehilangan, dan

nilai-nilai kehidupan. Chochinov (2009) menyatakan penderita yang memaknai

penderitaanya secara negatif, dengan memunculkan sikap penolakan secara

terus-menerus, menimbulkan perasaan putus asa dalam dirinya.

Penelitian Copp (dalam Starck, 1985) dan Chochinov (2009)

dilakukan pada penderita sakit secara umum tanpa melihat jenis penyakit.

Selain itu, penelitian tersebut hanya mengungkap isi makna pengalaman

penderitaan dan dampaknya bagi kehidupan penderita, tetapi tidak

mengeksplisitkan bagaimana proses penemuan makna dari penghayatan

tanpa makna.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian pada pasien gagal

ginjal kronis berhemodialisa. Alasan peneliti memilih subyek tersebut

karena kompleksitas penderitaannya dengan banyak komplikasi akut,

perubahan aktivitas kerja serta pola makan dan minum, dan berbagai

masalah psikologis. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplisitkan proses

pemaknaan penderitaan dari penghayatan tanpa makna hingga penemuan

(21)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian

ini adalah bagaimana proses pemaknaan penderitaan dan apa makna

pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa?

C. TUJUAN

Tujuan penelitian analisis fenomenologi interpretatif ini adalah untuk

mengeksplorsi secara terperinci proses pemaknaan penderitaan dan makna

pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa.

D. MANFAAT

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini mengeksplisitkan proses pemaknaan penderitaan sakit

gagal ginjal kronis berhemodialisa dari penghayatan tanpa makna

hingga penemuan makna sehingga berguna bagi perkembangan

ilmu psikologi khususnya psikologi kesehatan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini membantu pihak medis dan psikolog kesehatan untuk

memilih pendekatan dan bantuan yang sesuai terkait proses

(22)

b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga penderita. Dengan

proses pemaknaan penderitaan, keluarga menentukan bantuan yang

(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGALAMAN PENDERITAAN PASIEN GAGAL GINJAL

KRONIS BERHEMODIALISA 1. Penyakit Gagal Ginjal Kronis

Ginjal adalah organ vital manusia yang berperan dalam sistem

ekskresi. Setiap ginjal terdiri dari 1.000.000 nefron dengan struktur dan

fungsi sama (Wilson dan Price, 2006). Ginjal membersihkan tubuh dari

sisa hasil pencernaan atau metabolisme berupa urea, asam urat,

kreatinin, hormon dan obat-obatan (Wilson dan Price, 2006). Ginjal

juga berfungsi mengontrol volume dan komposisi cairan dalam tubuh.

Jadi, fungsi ginjal adalah memelihara kestabilan volume dan komposisi

cairan lingkungan sel serta membuang sisa-sisa metabolisme dalam

tubuh.

Penyakit gagal ginjal kronis merupakan patofisiologis dengan

etiologi beragam yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara

progresif (Wilson dan Price, 2006). Ketidakberfungsian ginjal

memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal berupa transplantasi ginjal,

dialisis proteirnal, dan hemodialisa.

Hemodialisa adalah terapi pengganti fungsi ginjal dengan ginjal

buatan pada mesin dialiser. Hemodialisa umumnya dilakukan 2 – 3 kali

(24)

2. Penderitan

Penderitaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)

merupakan keadaan menyedihkan yang harus ditanggung seperti sakit,

cacat, kesengsaraan dan kesusahan. Frethowan (dalam Starck, 1985)

menyatakan penderitaan muncul sebagai akibat dari kondisi sakit yang

dialami baik itu sakit fisik maupun sakit mental. Secara khusus pada

kondisi sakit fisik, penderitaan digambarkan sebagai kekecewaan,

kesedihan dan perasaan kehilangan sesuatu.

Dari pengertian di atas, beberapa unsur penderitaan dapat

dijabarkan. Unsur-unsur tersebut adalah:

a. Penyebab penderitaan. Frankl (1968) menyebut sakit,

kesalahan, dan kematian sebagai tiga ragam penderitaan

atau The tragic triads of human existence.

b. Perasaaan tidak menyenangkan akibat penderitaan. Perasaan

ini berbeda dan unik pada masing-masing penderita, mulai

dari perasaan sementara sampai dengan menetap, perasaan

dangkal sampai dengan mendalam, dan yang berlangsung

cepat sampai dengan lama.

c. Reaksi-reaksi akibat penderitaan. Reaksi ini bersifat unik

pada setiap orang. Travelbee (dalam Bastaman, 1996)

menyebut tahap-tahap reaksi itu sebagai the why me

reaction dan the acceptance reaction. The why me reaction

(25)

menimpa mereka. Mereka mengatakan mengapa bukan

orang lain saja yang menerima hal tersebut. Umumnya,

reaksi ini terwujud dalam bentuk kemarahan, depresi, tidak

peduli dan mencari-cari kesalahan. The acceptance reaction

terjadi saat penderita menerima dengan penuh kesabaran

penderitaan yang dialami. Secara kronologis, setelah terjadi

shock dan penolakan atas penderitaan yang dialami,

penderita berusaha memahami keadaan dengan menerima

hal tersebut meski dalam keadaan sulit (Pollock dan Sands,

1997).

d. Individu yang menderita. Dalam rumusan ini, penderitaan

dirasakan oleh penderita dan juga orang lain yang

mengasihi atau mencintai penderita.

3. Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa

Sakit dan penderitaan dapat dipandang secara filsafat. Terdapat

dua pandangan filosofis mengenai hal tersebut. Pertama, Plato (dalam

Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan tubuh dan pikiran (jiwa)

merupakan dua hal yang berbeda sehingga diasumsikan jika fisik sakit

maka pikiran (jiwa) tidak terganggu akibat sakit tersebut. Kedua,

Descartes (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan tubuh dan

pikiran (jiwa) merupakan dua hal yang terpisah, tetapi keduanya saling

(26)

kesatuan dalam memahami realita. Peneliti memilih pandangan kedua

untuk membangun asumsi tentang sakit dan penderitaan. Alasan

peneliti memilih pandangan tersebut karena mampu melihat

keseluruhan manusia dari aspek tubuh dan pikirannya (jiwa). Tubuh

menjelaskan proses fisik manusia dan pikiran (jiwa) menjelaskan proses

berpikir dan merasakan.

Hal lain yang mendukung asumsi sakit fisik menimbulkan

penderitaan adalah adanya penyebab penderitaan dan perasaan yang

tidak menyenangkan selama proses hemodialisa. Penyebab penderitaan

dan perasaan tidak menyenangkan itu antara lain: ancaman komplikasi

akut selama hemodialisa, perubahan aktivitas kerja, perubahan pola

makan dan minum, tekanan ekonomi untuk biaya pengobatan, dan

berbagai masalah psikologis dalam diri penderita.

Pelakasanaan hemodialisa memunculkan komplikasi akut antara

lain: hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,

sakit punggung, gatal, demam dan menggigil. Komplikasi lain yang

sangat membahayakan nyawa pasien adalah kejang, emboli udara,

tamponade jantung serta perdarahan intrakranial (Suwitra, 2009).

Ancaman munculnya komplikasi ini menimbulkan perasaan cemas dan

takut dalam menjalankan proses hemodialisa.

Hemodialisa menyebabkan perubahan aktivitas kerja. Perubahan

aktivitas kerja disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik akibat

(27)

aktivitas kerja juga disebabkan oleh terbatasnya waktu yang dimiliki

oleh penderita untuk melakukan rutinitasnya. Smeltzer dan Bare (2002)

mengatakan waktu yang diperlukan untuk hemodialisa mengurangi

waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas seperti aktivitas kerja,

sosial dan lain-lain.

Hemodialisa juga mengubah pola makan dan minum. Perubahan

ini berupa pembatasan asupan cairan, kalium dan natrium dari minuman

dan makanan. Berbagai masalah psikologis dapat muncul karena

pembatasan ini, seperti yang ditemukan oleh Anger dan Anger (dalam

Starck, 1985) bahwa pasien hemodialisa cenderung marah ketika harus

melakukan diet dan memunculkan perilaku destruktif dengan makan

dan minum sepuasnya pada hari-hari menjelang hemodialisa.

Tarif hemodialisa juga menimbulkan tekanan psikologis bagi

penderita. Menurut Santoso (2008) tingginya biaya hemodialisa yang

mencapai Rp. 4.000.000 per bulan membuat penderita mengalami stres.

Hemodialisa memunculkan perasaan-perasaan yang tidak

menyenangkan. Perasaan-perasaan tersebut meliputi: penolakan,

kemarahan, kecemasan, depresi, dan perasaan takut akan kematian.

Kecemasan muncul karena ketakutan terhadap proses hemodialisa yang

dijalankan. Yudiartini (2005) dalam penelitiannya tentang persepsi

pasien gagal ginjal kronis terhadap hemodialisa menemukan bahwa

(28)

berakibat pada menurunnya motivasi untuk menjalani hemodialia

(Suminar, 2001)

Perasaan takut akan kematian muncul karena penyakit gagal

ginjal kronis tidak dapat disembuhkan dan untuk mempertahankan

kehidupannya sangat tergantung pada hemodialisa. Smeltzer dan Bare

(2002) menyatakan pasien merasa khawatir karena kondisi sakitnya

yang tidak dapat diramalkan serta adanya gangguan dalam hidupnya

karena menjalani hemodialisa.

Carpenter dan Lazarus (1984) memperkirakan hanya 10 – 20%

pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa dapat melakukan aktivitas

layaknya orang sehat. 30 – 40% dapat melakukan aktivitas

fungsionalnya meskipun tidak bekerja secara penuh. 20% hanya

melakukan tindakan merawat dirinya dan aktivitas ringan. 20% lainnya

menggantungkan hidupnya pada orang lain. Perbedaan tingkat ini

tergantung dari riwayat perjalanan klinisnya serta komplikasi yang

diderita.

B. MAKNA PENGALAMAN PENDERITAAN

Frankl (1963) menganalogikan penderitaan dengan sifat gas. Jika

sejumlah gas dimasukkan dalam sebuah ruangan kosong maka ruang

tersebut terisi penuh dengan gas, tidak peduli berapa besarnya ruangan

(29)

dan kesadarannya. Penderitaan tetap mengisi kehidupan manusia tanpa

peduli bagaimana besar dan kecilnya penderitaan tersebut.

Penderitaan dapat menjadi pengoreksi kekeliruan sekalipun

kekeliruannya tidak dapat terhapuskan. Melalui penderitaan, akan

didapatkan pelajaran tentang hal yang benar dan hal yang salah, sehingga

dapat mengoreksi kekeliruan dan membawa pada pembaruan moral. Oleh

karena itu, penderitaan dapat dimaknai sebagai pembentuk karakter dan

ketahanan diri agar tidak mudah menyerah dan putus asa.

Penderitaan menghasilkan suatu penghayatan penderitaan tanpa

makna (1963). Frankl menyatakan ketika seseorang menderita karena

sesuatu, seseorang bergerak menjauhi sesuatu itu. Ia membentuk jarak

antara kepribadiannya dan sesuatu itu. Selama seseorang menderita, ia

berada dalam tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang

mestinya terjadi. Akibatnya ia mempertahankan pandangannya pada sesuatu

yang ideal (Frankl, 1963)

Gerakan menjauh itu menimbulkan penghayatan penderitaan tanpa

makna sehinggga penderitaan belum dapat dipahami dan ditemukan

cara-cara menghadapinya. Dalam keadaan ini muncul respon awal terhadap

penderitaan yang berupa penolakan, kemarahan, kesedihan dan penyesalan.

Respon memunculkan sikap awal terhadap penderitaan (Bastaman, 1996).

Sikap merupakan kesiapan bereaksi dengan cara-cara tertentu terhadap suatu

keadaan. (Allport dalam Azwar, 2002). Sikap juga suatu evaluasi umum

(30)

Cacioppo dalam Azwar, 2002). Berdasarkan kedua pengertian tersebut,

peneliti menyimpulkan sikap adalah evaluasi umum terhadap diri, orang

lain, obyek atau keadaan, serta kesiapan untuk bereaksi dengan cara-cara

tertentu. Terkait dengan sikap awal penderitaan, sikap berarti suatu evaluasi

atas diri dan keadaan penderitaan serta kesiapannya untuk bereaksi terhadap

penderitaan tersebut.

Setiap orang memiliki kehendak hidup bermakna (Frankl, 1963).

Artinya, motivasi utama dalam diri seseorang adalah menemukan makna

atas setiap kejadian (Frankl, 1963). Motivasi ini yang mendorong penemuan

makna penderitaan dari penghayatan penderitaan tanpa makna.

Penemuan makna sangat penting bagi penderita penyakit berbahaya

yang terancam kehidupannya (Coward dalam Lyons dan Chamberlain,

2006). Coward berfokus pada perkembangan identitas dan diri melalui

makna penderitaan untuk trensendensi diri. Trensendensi diri berarti

kemampuan seseorang menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan

memproyeksikannya ke masa depan. Trensendesi diri terwujud dalam

rencana hidup, perubahan sikap, mengasihi orang dan menemukan arti

hidupnya (Bastaman, 1996).

Terdapat berbagai cara untuk memaknai penderitaan. Cara tersebut

digunakan sesuai kondisi dan keadaan penderita. Cara manapun yang

digunakan dapat menghantarkan penderita pada penemuan makna

(31)

King (2004) menyatakan tiga cara memaknai penderitaan. Cara-cara

tersebut antara lain: melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan yang

berarti dalam aktivitas, dan penyerahan diri pada pengalaman kehidupan.

Selain melalui tiga cara tersebut, makna juga dapat ditemukan

melalui nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan (Starck, 1985). Kleinman

(dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menyatakan setiap kebudayaan

memiliki stigma-stigma tentang sakit. Stigma-stigma tersebut memunculkan

ancaman terhadap pribadi dan kompetensinya. Ancaman terhadap pribadi

dan kompetensi ini mempengaruhi penemuan makna penderitaan.

Makna penderitaan juga dapat ditemukan melalui nilai-nilai

kepercayaan kepada Tuhan. Dalam nilai ini, terkandung nilai kebenaran

tentang kehidupan. Melalui nilai ini, keberadaan Tuhan yang mengatur

kehidupan dapat diakui sehingga menimbulkan rasa aman dalam menjalani

keadaan apapun termasuk penderitaan (Hawari, 2007).

Jadi, terdapat empat cara bagaimana penderitaan dapat dimaknai.

Cara-cara tersebut adalah: melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan

dalam aktivitas, penyerahan diri pada pengalaman kehidupan, serta

nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan.

Menurut Frankl (1968) esensi dari nilai bersikap adalah mengambil

sikap positif, ikhlas, dan menemukan makna dalam keadaan apapun untuk

(32)

C. KERANGKA PENELITIAN

Proses pemaknaan penderitaan dimulai saat munculnya penderitaan.

Penderitaan yang dimaksud adalah penyakit gagal ginjal kronis dan

keharusan menjalani hemodialisa untuk mempertahankan hidup.

Tahap awal penderitaan terjadi saat dokter memberi vonis penyakit.

Tahap ini dinyatakan Coward (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006)

sebagai krisis kehidupan untuk mulai memaknai penderitaan. Oleh karena

penderitaan baru dialami, maka tahap ini disebut sebagai penghayatan

penderitaan tanpa makna yaitu penderitaan yang belum dipahami dan

ditemukan cara-cara menghadapinya. Penghayatan ini muncul dalam respon

awal terhadap vonis penyakit dan sikap awal terhadap penderitaan.

Motivasi utama dalam diri seseorang adalah menemukan makna atas

setiap kejadian (Frankl, 1963). Motivasi ini mendorong penemuan makna

penderitaan dari penghayatan penderitaan tanpa makna.

Makna penderitaan dapat ditemukan melalui hubungan dengan orang

lain, keterlibatan dalam aktivitas, penyerahan diri pada pengalaman

kehidupan, serta nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan. Melalui cara-cara

tersebut, penderitaan dapat dipahami dan ditemukan cara-cara

(33)

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Peneliti menyusun pertanyaan penelitian berdasarkan kerangka

penelitian. Pertanyaan penelitian disusun menjadi 2 macam yaitu central

question atau pertanyaan utama dan subquestion atau pertanyaan kedua.

1. Central Question : Bagaimana proses pemaknaan penderitaan

dan apa makna pengalaman tersebut bagi pasien gagal ginjal

kronis berhemodialisa?

2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan

penelitian utama. Subquestion pada penelitian ini adalah :

a. Apa respon awal penderita terhadap vonis dokter ?

b. Apa sikap awal penderita terhadap penderitaan?

c. Bagaimana proses pemaknaan penderitaan melalui

hubungan dengan orang lain, keterlibatan dalam aktivitas

kerja, penyerahan diri pada pengalaman serta nilai-nilai

kepercayaan dan kebudayaan?

d. Apa makna penderitaan bagi pasien gagal ginjal kronis

(34)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode

analisis fenomenologi interpretatif. Metode ini terdiri dari dua langkah.

Pertama, subyek mencoba mengartikan dunia mereka. Kedua, peneliti

mengartikan kegiatan subyek yang sedang mengartikan dunia mereka

(Smith dan Osborn, 2003). Dengan memunculkan kedua aspek ini,

penelitian mengarah pada analisis yang lebih subur dan sesuai dengan

totalitas keadaan subyek. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode ini

agar dapat mengeksplisitkan proses pemaknaan penderitaan secara

terperinci dan menemukan makna penderitaan tersebut.

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian terbagi menjadi dua. Pertama, berfokus pada proses

pemaknaan penderitaan melalui hubungan dengan orang lain, keterlibatan

dalam aktivitas kerja, penyerahan diri pada pengalaman serta nilai-nilai

kebudayaan dan kepercayaan. Kedua, berfokus pada makna penderitaan

(35)

C. SUBYEK PENELITIAN

Subyek penelitian ini berjumlah 2 orang. Subyek dipilih

menggunakan Criterion Sampling; cara penentuan subyek berdasarkan

kriteria tertentu dari peneliti yaitu menderita gagal ginjal kronis dan

berhemodialisa. Hal yang terpenting dari kriteria tersebut adalah memiliki

pengalaman atas fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 1998).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pendataan adalah wawancara semi-terstruktur. Metode ini

memungkinkan peneliti dan partisipan terlibat dalam dialog, sehingga

pertanyaan dapat dimodifikasi untuk menggali wilayah menarik dan penting

selama wawancara (Smith dan Osborn, 2003).

Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan

pertanyaan berdasarkan fokus penelitian. Panduan pertanyaan berjenis

pertanyaan terbuka yang tidak mengarahkan subyek pada jawaban tertentu.

Tabel 1. Panduan Wawancara

No Panduan Pertanyaan

1.

2. 3.

4.

Bisakah anda menceritakan secara singkat riwayat masalah penyakit ginjal anda?

Apa yang anda pikirkan saat anda mengetahui kenyataan itu?

Bagaimana perasaan anda saat mengetahui bahwa anda sakit dan harus menjalani hemodialisa?

Bisakah anda menceritakan bagaimana aktivitas kerja anda sehari-hari saat ini? Adakah perbedaan

(36)

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Bagaimana anda memandang hidup anda saat ini?

Dorongan : Terkait dengan keadaan saat ini, bagaimana anda melihat suatu kebenaran dalam filsafat hidup? Bagaimana anda mengalaminya?

Menurut anda, bagaimana kehadiran orang lain bagi diri anda?

Dorongan : Pasangan, keluarga dan kerabat. Adakah perubahan dari mereka?Adakah pengaruhnya terhadap anda?

Menurut anda, Bagaimana cara orang lain memandang diri anda?

Dorongan : Adakah pengaruhnya?

Dari hari ke hari, bagaimana cara anda menghadapi penyakit gagal ginjal ini (Rasa sakit yang diderita) ?

Dorongan : Apakah anda memiliki strategi khusus, cara-cara menghadapi secara praktis dan mental. Melalui spiritual dan doa-doa.

Bisakah anda menceritakan apa yang akan anda lakukan ke depan?

Dorongan : Apakah terjadi perubahan tujuan hidup sebelum dan sesudah sakit?

Bagaimana anda memikirkan tentang masa depan itu?

Tahapan proses wawancara antara lain :

1. Mencari subyek untuk menjadi partisipan penelitian.

2. Melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan dan

memastikan kesediaan subyek.

3. Membuat jadwal wawancara sesuai kesepakatan subyek dan

peneliti.

4. Melakukan wawancara secara bertahap.

Proses wawancara mengikuti pola “zig-zag”. Pola ini berarti peneliti

ke lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisisnya dan ke lapangan

lagi untuk mencari atau menambahkan data untuk dianalisis kembali

(Creswell, 1998). Proses tersebut dilakukan hingga ditemukan data yang

(37)

wawancara direkam menggunakan digital recorder untuk disalin dalam

transkrip wawancara verbatim.

E. PROSES PENGUMPULAN DATA

Proses pendataan diawali dengan mencari penderita penyakit gagal

ginjal kronis dan menjalani hemodialisa. Peneliti menggunakan subyek di

unit hemodialisa rumah sakit pemerintah yang memilliki 20 pasien. Peneliti

melakukan izin penelitian kepada pihak yang berwenang sebagai langkah

awal. Setelah memperoleh izin, peneliti mulai melaksanakan penelitian.

Peneliti melakukan konsultasi dengan kepala ruangan untuk

mendapatkan subyek penelitian. Konsultasi mengenai pasien yang dapat

berkomunikasi dengan baik dan diperkirakan mampu menceritakan

pengalamannya. Pasien yang direkomendasikan oleh kepala ruangan adalah

pasien yang kesehatan dan kondisi emosionalnya baik. Hal ini dilakukan

untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, peneliti

memperkenalkan diri kepada pasien yang direkomendasikan oleh kepala

ruangan.

Setelah melakukan perkenalan, peneliti memutuskan menggunakan

tiga subyek. Pertimbangan dalam menentukan jumlah subyek adalah

terbatasnya subyek yang bersedia karena tidak menyukai topik penelitian

dan tidak nyaman jika diwawancarai. Selain itu, keterbatasan waktu

(38)

Proses wawancara didahului dengan melakukan perkenalan, rapport,

penjelasan informed concent dan menentukan waktu wawancara. Dalam

penentuan waktu wawancara, peneliti sepakat dengan subyek untuk

melakukan wawancara saat menjalani hemodialisa.

Dalam pelaksanaanya, satu dari ketiga subyek berhenti menjadi

partispan penelitian. Subyek takut untuk mengingat kejadian dan perasaan

yang tidak menyenangkan di masa lalu. Peneliti menghargai keputusan

subyek tersebut untuk mundur sehingga penelitian dilanjutkan hanya pada

dua subyek yang tersisa.

Pada subyek 1, rapport dilaksanakan dengan cepat. Hal ini karena

subyek seorang pribadi yang ramah dan terbuka pada siapa saja sehingga

mudah menerima peneliti dan menceritakan apa saja. Setelah rapport

dilaksanakan dengan baik dan subyek paham dengan tugasnya, proses

wawancara pun dilakukan hingga beberapa tahap.

Untuk subyek 2, rapport dilaksanakan cukup lama. Hal ini karena

subyek yang agak tertutup dan pendiam sehingga dibutuhkan waktu lama

untuk dapat menerima dan mempercayai peneliti. Setelah peneliti diterima

dan dipercaya, subyek dapat terbuka dan menceritakan apa saja.

Peneliti membatasi durasi waktu setiap wawancara maksimal 45

menit. Pembatasan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi

kesehatan subyek dan kesediaan waktu yang dimiliki. Akan tetapi, peneliti

tetap melanjutkan proses wawancara ketika subyek masih semangat

(39)

Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara

No Subyek Tanggal Waktu Tempat

1. CH 2 Feb 2011

5 Feb 2011 9 Feb 2011 12 Feb 2011

09.00 – 10.00 08.00 – 09.00 10.00 – 11.00 11.00 – 12.00

Unit Hemodialisa

2. DH 2 Feb 2011

5 Feb 2011 7 Feb 2011 12 Feb 2011 17 Feb 2011

09.00 – 10.00 11.00 – 12.00 10.00 – 11.00 10.00 – 11.00 09.00 – 10.00

Unit Hemodialisa

F. KEPATUHAN TERHADAP KODE ETIK UNTUK MENJAGA

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SUBYEK PENELITIAN

Peneliti berusaha mentaati kode etik Himpunan Psikologi Indonesia

(2008) untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Peneliti berlandaskan

pada pasal 7.2.2 tentang menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan

dibidang riset.

Tujuan penelitian, proses pengumpulan data, tanggungjawab

masing-masing pihak, serta akibat-akibat penelitian, dijelaskan sebelum

pelaksanaan penelitian. Hal tersebut menjadi pertimbangan subyek untuk

memtuskan kesediaannya dalam penelitian. (Huruf G dan H).

Untuk memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan subyek,

penelitian memilih subyek yang tidak takut pada topik penelitiannya (Huruf

(40)

G. METODE ANALISIS DATA

Analisis fenomenologi interpretatif bertujuan mengartikan gejala

dalam dunia partisipan (Smith dan Osborn, 2003). Tujuan ini menuntut

penafsiran transkrip wawancara. Langkah-langkah proses analisis

fenomenologi interpretatif diuraikan sebagai berikut:

1. Mencari tema-tema

Mencari tema-tema dilakukan dengan membaca transkrip

beberapa kali. Tepi kiri tabel digunakan untuk mencatat apa yang

menarik atau signifikan dari transkrip. Berdasarkan catatan tersebut,

tema-tema dirumuskan pada sisi kanan tabel. Tema-tema menunjukkan

abstraksi yang tinggi dan memunculkan istilah-istilah psikologi (Smith

dan Osborn, 2003).

2. Menghubungkan tema-tema dalam-dalam satu kasus

Tema-tema dalam satu kasus didaftar secara kronologis dan

analitis. Dalam daftar kronologis, tema-tema disusun berdasarkan urutan

kemunculannya dalam transkrip. Tema-tema yang telah didaftar secara

kronologis, didaftar lagi secara analitis dengan melihat hubungan antar

tema-tema. Tema-tema yang tidak sesuai dengan fokus penelitian dapat

dibuang.

3. Menghubungkan tema-tema dalam beberapa kasus

Tema-tema dari salah satu kasus digunakan untuk menganalisis

transkrip lainnya. Dalam analisis ini, ditemukan tema-tema yang sama

(41)

kasus. Tema-tema tersebut disusun dalam tabel kelompok subyek. Tabel

ini memperlihatkan titik temu dan titik pisah kedua subyek berdasarkan

tema-tema.

H. VALIDITAS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan validitas kualitatif yang

mendeskripsi-kan setting, eksplorasi, proses dan pola masalah. Untuk mendeskripsiknnya,

validitas kualitatif menggunakan metode wawancara dan analisis

fenomenologi interpretatif.

Selain itu, penelitian ini menggunakan validitas komunikatif.

Validitas ini dilakukan dengan mengkonfirmasi kembali transkrip kepada

subyek dan melakukan koreksi terhadap transkrip yang tidak sesuai dengan

realitas. Transkrip dinyatakan terpercaya jika sesuai dengan realitasnya.

Untuk memenuhi validitas tersebut, kedua subyek diminta membaca

hasil transkrip mereka masing-masing dan mengkoreksinya. Hasilnya,

kedua subyek melakukan beberapa koreksi terhadap transkrip. Kalimat atau

kata yang tidak tepat, diperbaiki dan dijelaskan lebih detail oleh kedua

subyek. Contoh pada subyek Ch, ketika peneliti menuliskan kalimat “berat

menjalaninya” Ch menjelaskan lebih detail kalimat itu sesuai dengan

realitas. Hal ini dilakukan juga pada kata atau kalimat lain yang tidak tepat

bagi mereka. Dengan demikian, didapatkan pernyataan yang sesuai dengan

(42)

26

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan proses pemaknaan penderitaan dan makna

pengalamannya bagi pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa. Pemaknaan

penderitaan menjelaskan proses penemuan makna dari penghayatan penderitaan

tanpa makna sampai dengan penghayatan penderitaan dengan makna. Makna

penderitaan menjelaskan isi makna penderitaan.

A. KONTEKS PENELITIAN

Unit hemodialisa di rumah sakit ini berdiri sekitar tahun 1999. Unit

tersebut berada dibawah pengawasan dokter spesialis penyakit dalam serta

profesor ahli ginjal dan hipertensi. Unit tersebut memiliki 12 mesin dialiser.

Staf paramedis berjumlah berjumlah 13 orang. Mereka berstatus

terlatih dan berpendidikan. Mereka juga memenuhi standar perawatan

hemodialisa karena telah menempuh pendidikan intensif di berbagai rumah

sakit pusat hemodialisa. Meski memiliki staf paramedis terstandar, unit

tersebut tidak memiliki psikolog atau konselor kesehatan. Akibatnya,

pelayanan jasa psikologis tidak tertangani secara profesional. Banyak pasien

yang menyatakan bahwa masalah psikologis seperti kecemasan, ketakutan,

kejenuhan dan lain-lain tidak tertangani dengan baik oleh staf paramedis.

Dari pengamatan dan pengalaman langsung selama beberapa bulan

(43)

jarang saling berkomunikasi saat hemodialisa berlangsung. Mereka hanya

berkomunikasi saat proses memasang atau mencabut peralatan hemodialisa.

Tidak hanya antara pasien dan paramedis, antarpasien pun jarang terlibat

komunikasi.

Pembahasan penelitian ini dibatasi pada konteks tempat penelitian.

B. PROFIL SUBYEK

Berikut adalah profil subyek dalam penelitian ini :

1. Subyek 1

a. Deskripsi Subyek

Subyek pertama berinisal Ch. Ch adalah seorang wanita

berusia 42 Tahun. Perawakan Ch cukup gemuk, berkulit sawo

matang dan berjilbab. Menurut pasien-pasien lainnya, Ch adalah

seorang yang cerewet dan gemar bercanda sehingga dapat

menghidupkan suasana dalam proses hemodialisa yang sepi.

Berdasarkan hasil wawancara, Ch memiliki kesabaran dan

keteguhan hati dalam menghadapi penderitaan. Meskipun sempat

terjadi penolakan, ia tidak membutuh-kan waktu lama untuk

kembali bangkit. Menurut Ch, pribadinya yang periang membuat ia

kuat menghadapi penyakitnya. Oleh karena itu, dalam

(44)

b. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Kronis

Dokter mendiagnosa Ch dengan penyakit asam urat atau

sakit di bagian persendian. Setelah pemeriksaan laboratorium

lengkap diketahui bahwa subyek menderita gagal ginjal kronis.

Manifestasi klinis pada setiap penderita berbeda satu sama

lain. Hal ini terkait kondisi fisik penderita dan riwayat penyakit.

Pada Ch, manifestasi klinis diawali dengan rasa mual, tekanan

darah tinggi serta nyeri artritis pada persendian kaki dan lutut.

Tingkat keparahan manifestasi ini tidak berpengaruh pada kondisi

fisik Ch secara keseluruhan sehingga memungkinkannya tidak

menjalani hemodialisa dan tetap beraktivitas.

Setelah satu tahun riwayat penyakit tanpa hemodialisa,

manisfestasi klinis meningkat hingga mengalami gangguan

kesadaran (koma). Untuk mencegah komplikasi yang berlanjut, Ch

langsung menjalani hemodialisa secara intensif.

Ch menjalani hemodialisa 2 kali seminggu masing-masing

selama 5 jam. Sampai dengan 12 februari 2011, Ch sudah

menjalani hemodialisa sebanyak 120 kali.

2. Subyek 2

a. Deskripsi Subyek

Subyek kedua dalam penelitian ini berinisal Dh. Dh adalah

(45)

hitam, bersisik dan berambut putih. Dh adalah bapak dari dua orang

anak. Dh tinggal bersama istri dan anak keduanya yang masih

bersekolah, sedangkan anak pertamanya tinggal di tempat lain

untuk bekerja.

Menurut pasien-pasien lain, Dh suka berdiam diri dan

melamun saat menjalani hemodialisa. Mereka sering menyarankan

Dh agar lebih bersemangat menjalani keadaannya.

Dari hasil wawancara, Dh menyatakan mengalami

kesedihan dan ketakutan dalam menghadapi penyakitnya. Sejak

divonis, Dh dihantui rasa takut akan penyakitnya. Rasa takut itu

membuatnya sering sesak nafas secara tiba-tiba. Menurut dokter,

sesak nafas ini tidak muncul hanya karena komplikasi penyakitnya

namun juga karena stres. Menurut Dh, kehadiran istri dan

anak-anak membuatnya kuat menghadapi penderitaan. Kekuatan itu

menyebabkannya mau menjalani hemodialisa agar tetap bertahan

hidup.

Dalam kesehariannya, Dh terlihat seperti orang sakit.

Wajahnya pucat dan lambat saat berjalan. Dh mengatakan tidak

mampu lagi menutupi kondisi fisiknya karena kondisinya sudah

lemah. Menurut Dh, kalau pun akan beraktivitas, ia hanya

melakukan pekerjaan ringan-ringan saja dan dilakukan sesudah

(46)

b. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Kronis

Sebelum menderita penyakit gagal ginjal kronis, Dh pernah

menderita batu ginjal. Penyakit ini menyebabkan penurunan fungsi

ginjal sementara. Oleh karena itu, dokter menyarankan Dh

beristirahat dan mengurangi aktivitas kerjanya untuk mencegah

penuruan fungsi ginjal yang lebih parah. Akan tetapi, Dh tidak

mengikuti saran dokter dan tetap bekerja berat setiap harinya.

Beberapa tahun kemudian, Dh menderita tekanan darah

tinggi dan sesak nafas. Setelah dilakukan pengecekan laboratorium,

dokter memvonis Dh menderita penyakit gagal ginjal kronis.

Manifestasi klinis pada setiap penderita berbeda satu sama

lain. Hal ini terkait kondisi fisik penderita dan riwayat penyakit.

Manifestasi klinis Dh ditandai dengan tekanan darah tinggi dan

sesak nafas. Tingkat keparahan manifestasi berpengaruh besar pada

kondisi fisik Dh secara keseluruhan.

Setelah satu tahun perjalanan penyakit tanpa hemodialisa,

manisfestasi klinis meningkat hingga mengalami gangguan

kesadaran (koma). Untuk mencegah komplikasi yang berlanjut, Dh

langsung menjalani hemodialisa secara intensif.

Dh menjalani hemodialisa 3 kali seminggu masing-masing

4 jam. Sampai dengan 21 Januari 2011, Dh sudah menjalani

(47)

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian merupakan hasil analisis lanjutan terhadap kedua

subyek. Analisis lanjutan dilakukan dengan mensistesiskan tema-tema yang

berulang kemunculannya dan tema-tema yang baru didapatkan pada

masing-masing. Dengan demikian, ditemukan tema-tema yang sama dan berbeda

pada masing-masing subyek.

Hasil penelitian berupa tema-tema yang sama dan berbeda pada

masing-masing subyek disajikan dalam tabel-tabel menurut tahapannya.

Angka pada masing-masing tabel menunjukkan pada nomer verbatimnya.

Sesudah disajikan dalam bentuk tabel, tema-tema tersebut dibahas menurut

tahapannya.

1. Respon Terhadap Vonis Penyakit

Tabel 3. Respon Terhadap Vonis Penyakit

Tema-tema yang sama pada kedua subyek: a. Terkejut mendengar informasi yang

tidak diduga.

b. Penolakan terhadap kenyataan. c. Menolak pengobatan yang dikaitkan

dengan ketidaktahuan informasi. d. Marah mendapat perlakuan yang

tidak baik terkait pemberian informasi.

e. Menerima kenyataan dalam keadaan tak berdaya.

f. Kesedihan yang memunculkan sikap menyalahkan diri sendiri dan

penyesalan yang mendalam.

Ch

75 – 77

20 – 21 79 – 81

145 – 146

67 – 70

181 – 182

Dh

77 – 78

23 – 24 33 – 35

74 – 76

88 – 89

(48)

Seperti yang tersaji dalam tabel 3 huruf a, pasien memiliki respon

awal yang sama terhadap vonis dokter. Respon tersebut adalah terkejut

atas vonis yang diterima.

Pasien terkejut karena mereka tidak mengenali secara dini

gejala-gejala penyakit gagal ginjal kronis. Gejala-gejala-gejala penyakit itu dikenali

sebagai gejala penyakit lain, sehingga ketika dokter memvonis sakit

gagal ginjal kronis, mereka terkejut mendengarnya.

Setelah terkejut, pasien memunculkan penolakan pada penyakit

tersebut. Penolakan ini dapat muncul karena adanya informasi bahwa

penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit berbahaya yang tidak dapat

disembuhkan. Kenyataan bahwa penyakit itu berbahaya dan mengancam

kehidupan membuat pasien takut untuk menerima kenyataanya. Akhirnya

mereka menolak penyakit tersebut dan mencari jawaban lain dari

penyakitnya dengan mendatangi berbagai alternatif pengobatan. Tahap

ini disebut Travelbee (dalam Bastaman, 1996) sebagai The why me

reaction; pasien mempertanyakan mengapa penyakit tersebut menimpa

diri mereka padahal mereka merasa sudah melakukan banyak hal untuk

menjaga kesehatan.

Penolakan pada penyakit menyebabkan pasien menolak menjalani

hemodialisa. Penolakan itu disebabkan oleh adanya informasi negatif

tentang proses berhemodialisa yang menyakitkan dan memperpendek

(49)

pengobat dari penyakitnya. Mereka menolak menjalani hemodialisa

mencari alternatif pengobatan lain.

Selain menolak, pasien juga marah kepada dokter yang memvonis

penyakit gagal ginjal kronis dan menyuruhnya menjalani hemodialisa.

Menurut mereka, dokter tidak menjelaskan penyakit dan pengobatannya

secara detail.

Verbatim menyatakan, kemarahan pasien terjadi karena dokter

tidak menjelaskan diagnosa penyakit dengan baik. Akibatnya, pasien

tidak memiliki informasi yang benar mengenai penyakit dan

pengobatannya. Padahal, Winefield (dalam Lyons dan Camberlain, 2006)

menyatakan interaksi komunikasi antara dokter dan pasien dalam

menjelaskan diagnosa penyakit harus dilakukan sebaik mungkin.

Interaksi komunikasi yang baik membuat pasien mengerti penyakitnya

dan pengobatan yang harus dijalani. Apabila hal itu tidak dilakukan,

dapat memunculkan berbagai masalah mental dan stigma negatif

terhadap penyakit dan pengobatannya.

Dalam tabel 3 huruf e, terlihat bahwa penolakan untuk menjalani

hemodialisa tidak bertahan lama. Hal itu disebabkan oleh kondisi

penyakitnya yang semakin membahayakan nyawa pasien. Dalam

keadaan tersebut, satu-satunya cara mempertahankan kehidupan adalah

menjalani hemodialisa meski mereka takut menjalaninya. Travelbee

(50)

reaction. Pasien mulai menerima kondisi yang awalnya sulit untuk

diterima meski dalam keadaan terpaksa.

Keputusan untuk menjalani hemodialisa menunjukkan bahwa

pasien mulai menerima penyakitnya. Akan tetapi, mereka masih

memunculkan sikap penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Sikap itu

muncul saat mereka merefleksikan perilaku-perilakunya di masa lalu

yang dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit tersebut. Sikap itu

terwujud dalam berbagai ungkapan seperti “andai dulu saya jaga

kesehatan” atau “kenapa saya tidak langsung berobat saja”. Berbagai

ungkapan itu memunculkan kesedihan terhadap diri sendiri yang

dianggap lalai menjaga kondisi kesehatan fisik.

2. Sikap Awal Terhadap Penderitaan

Tabel 4. Sikap Awal Terhadap Penderitaan

a. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:

1) Penolakan terhadap penderitaan yang membatasi diri

2) Sikap ketergatungan pada orang lain

b. Tema-tema yang sama pada kedua subyek

1) Penerimaan terhadap penderitaan 2) Merubah aktivitas kerja

Ch

-

-

749 – 752 272 – 273

Dh

560 – 562

319 – 320

670 – 674 201 – 204

Kedua pasien memiliki sikap awal yang berbeda terhadap

(51)

dimunculkan Dh dalam bentuk penolakan terhadap penderitaan yang

membatasi diri dan ketergantungannya pada orang lain. Di lain pihak, Ch

tidak memunculkan sikap tersebut.

Munculnya penolakan Dh terhadap penderitaan karena Dh melihat

sakitnya sebagai sesuatu yang membatasi diri padahal selama ini Dh

bebas melakukan apapun yang diinginkannya. Di samping itu,

munculnya ketergantungan Dh pada orang lain disebabkan ia takut untuk

beraktivitas sendiri. Ketakutan itu muncul karena Dh memiliki trauma

terhadap sesak nafas yang sering muncul sebelum ia menjalani

hemodialisa. Peneliti menduga, Dh mengasosiasikan traumanya pada

sesak nafas dengan beraktivitas sendiri. Ia takut saat sedang beraktivitas

sendiri, sesak nafasnya kambuh dan ia tidak dapat melakukan apapun

untuk menolong dirinya sendiri.

Berbeda dengan Dh, subyek Ch tidak memunculkan penolakan

terhadap penderitaan dan ketergantungan pada orang lain. Hal itu terjadi

karena Ch lebih realistis melihat penderitaannya. Ia tidak melihat

penderitaan sebagai sesuatu yang membatasi diri melainkan suatu

keadaan yang harus dijalani. Oleh karena Ch tidak merasa dibatasi oleh

penderitaan, ia tidak memunculkan sikap ketergantungan pada orang lain.

Kedua pasien juga memuncukan sikap yang sama yaitu penerimaan

terhadap penderitaan. Akan tetapi, Dh melalui proses penolakan terlebih

dahulu untuk kemudian menerima penderitaan, sedangkan Ch dapat

(52)

penerimaan diri menentukan penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.

Dengan adanya penerimaan diri yang baik, akan memunculkan

penyesuaian diri yang baik sehingga dapat menentukan pilihan-pilihan

yang bertanggungjawab. Pasien dapat menerima penyakitnya dan

menyadari bahwa hemodialisa adalah cara untuk mempertahankan

kehidupannya. Sebagai keputusan yang bertanggungjawab pasien

bersedia menjalani hemodialisa, diet dan berbagai aturan yang disarankan

dokter.

Persamaan sikap yang juga dimunculkan kedua pasien adalah

merubah aktivitas kerja. Hal itu terlihat dalam tabel 4 huruf b bagian 2.

Sikap untuk merubah aktivitas kerja muncul karena penurunan kondisi

fisik yang tidak memungkin pasien melakukan aktivitas berat. Sebelum

sakit, aktivitas kerja subyek Ch adalah berwirausaha. Setelah sakit, Ch

menghentikan aktivitas tersebut. Demikian juga dengan subyek Dh.

Sebelum sakit, subyek Dh bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Setelah

sakit, Dh berhenti dari pekerjaan tersebut. Aktivitas kerja yang dilakukan

setelah sakit adalah aktivitas ringan yang tidak membutuhkan banyak

(53)

3. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-Nilai

Tabel 5. Pemaknaan Penderitaan Melalui Nilai-Nilai a. Tema-tema yang sama pada kedua

subyek:

1) Memaknai penderitaan melalui nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan.

a) Menyadari keadaan hidup yang tidak bisa dikendalikan.

b) Kehidupan disyukuri dalam keadaan apapun.

2) Memaknai penderitaan melalui hubungan dengan orang lain.

a) Hidup untuk keluarga sebagai bentuk tanggungjawab

b) Mendapat perhatian dan cinta kasih dari keluarga.

b. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:

1) Memaknai penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman keindahan.

a) Menghilangkan rasa menderita, mendapatkan kebebasan, dan kekuatan hidup

2) Memaknai penderitaan melalui aktivitas kerja dan mendapatkan kebahagiaan saat melakukannya.

Ch

414 – 418

652 – 654

460 – 461

384 – 386

-

360 – 362

Dh

777 – 778

727 – 739

450 – 451

383 – 384

486 – 488

-

Kedua pasien memiliki cara-cara yang sama dan berbeda untuk

memaknai penderitaan. Pada tabel 5 huruf a terlihat cara-cara yang sama

untuk memaknai penderitaan.

a. Nilai kepercayaan terhadap Tuhan

Dalam nilai kepercayaan terhadap Tuhan, kedua pasien

percaya bahwa hidup sudah ditakdirkan oleh Tuhan dan manusia

(54)

tersebut, pasien dituntut untuk menerima penderitaan secara ikhlas,

tawakal dan selalu bersyukur dalam keadaan apapun.

b. Hubungan dengan orang lain

Hubungan dengan orang lain memberi makna penderitaan

bagi kedua pasien. Pemaknaan itu didapatkan dengan cara memberi

dan menerima cinta dari keluarga. Dengan mencintai, pasien

merasa berharga bari keluarganya. Pasien akan mengerahkan segala

potensi dan kekuatan yang dimilikinya untuk tetap bertahan hidup.

Dengan menerima cinta, pasien mendapatkan dukungan sosial

dalam menghadapi penderitaan. Dukungan sosial membuat pasien

merasa nyaman, berharga dan diterima apa adanya. Hal itu

membuat pasien kuat dan tidak menyerah menghadapi

penderitaanya.

Selain menempuh cara-cara yang sama, pasien juga menempuh

cara-cara berbeda untuk memaknai penderitaan. Pada tabel 5 huruf b

terlihat cara-cara yang berbeda untuk memaknai penderitaan. Pasien Dh

memaknai penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman

keindahan sedangkan pasien Ch memaknai penderitaan melalui aktivitas

kerja.

a. Pemaknaan penderitaan melalui penyerahan diri pada pengalaman

keindahan

Penyerahan diri pada pengalaman keindahan memberikan

(55)

tekanan, tenang dari ketakutan, dan nyaman dari keadaan

penderitaan. perasaan-perasaan itu menghilangkan rasa sakit dari

penderitaan. Frankl (1963) menyatakan pemaknaan penderitaan

dapat ditempuh melalui cara ini karena dapat memberikan

kebebasan pada seseorang yang terbelenggu oleh penderitaan.

b. Pemaknaan penderitaan melalui aktivitas kerja

Aktivitas kerja memberikan makna bagi pasien Ch.

Beraktivitas kerja membuat pasien melupakan penyakitnya,

mengembangkan pribadi yang berguna dan memiliki kepercayaan

diri. Melalui aktivitas, pasien memaknai penderitaanya sebagai

tantangan dan pembentuk ketahanan diri agar tidak menyerah dan

putus asa. Pasien yakin memiliki kesempatan selama mereka

mampu melakukannya. Frankl (1963) mengungkapkan bahwa arti

dapat diberikan pada kehidupan melalui aktivitas kerja.

Berbedanya cara-cara yang ditempuh kedua pasien untuk

memaknai penderitaannya terjadi karena perbedaan riwayat dan

komplikasi penyakit serta kondisi kesehatan fisik kedua pasien.

Subyek Dh telah sakit selama empat tahun dan mengalami berbagai

komplikasi seperti sesak nafas dan jantung. Keadaan itu membuat

kondisi fisiknya menurun dan tidak mampu melakukan aktivitas

kerjanya. Oleh karena itu, Dh menempuh cara menyerahkan diri pada

(56)

Subyek Ch telah sakit selama dua tahun. Dalam riwayat

penyakitnya, Ch tidak mengalami berbagai komplikasi penyakit berat

seperti yang dialami Dh. Akibatnya kondisi fisik Ch tidak terlalu lemah

dan memungkinannya melakukan aktivitas kerja ringan. Oleh karena itu,

Ch menempuh cara melibatkan diri dalam aktivitas kerja untuk

memaknai penderitaanya.

Meskipun melalui cara-cara yang berbeda, kedua pasien tetap dapat

memaknai penderitaanya asalkan pasien melibatkan diri seutuhnya pada

cara-cara tersebut.

Pemaknaan penderitaan diawali dari penghayatan penderitaan tanpa

makna sampai dengan penghayatan penderitaan dengan makna. Dalam

proses pemaknaan, penderitaan dimaknai melalui nilai-nilai kepercayaan

kepada Tuhan, hubungan dengan orang lain, menyerahkan diri pada

pengalaman keindahan dan keterlibatan dalam aktivitas kerja. Jadi,

penderitaan melalui nilai-nilai tersebut dimaknai sebagai:

a. Keadaan yang ditakdirkan Tuhan. Artinya bahwa penderitaan

adalah keadaan yang sudah digariskan oleh Tuhan sehingga

manusia hanya perlu menerima dengan ikhlas dan menjalani

kehidupan dalam keadaan apapun.

b. Pembentuk karakter dan tantangan menghadapi kehidupan. Melalui

makna ini, pasien tidak menyerah dan putus asa menghadapi

penderitaan. Pasien melihat kesempatan lain dalam hidup ini untuk

(57)

menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan

memproyeksikannya ke masa. Trensendensi diri terwujud daam

dalam rencana hidup, perubahan sikap, bertanggungjawab dan

menemukan arti hidupnya.

c. Hidup baru yang Tuhan berikan melalui hemodialisa.

Makna penderitaan tersebut memunculkan cara-cara menghadapi

penderitaan dan mengalami trensendensi diri.

4. Cara-Cara Menghadapi Penderitaan

Tabel 6. Cara-cara menghadapi penderitaan a. Tema-tema yang sama pada kedua

subyek:

1) Tabah menghadapi penderitaan 2) Mental yang kuat sebagai obat

utama

3) Tujuan hidup yang tidak bersifat duniawi

a) Hidup yang tidak ditujukan pada kenikmatan duniawi yang dikaitkan dengan keterbatasan fisik.

b. Tema-tema yang berbeda pada kedua subyek:

1) Mengatasi sakit dengan tidak menganggap diri sakit.

2) Melawan ketidakberdayaan dengan memberi dukungan sosial kepada orang lain.

Ch

320 – 321 581 – 582

696 – 700

562 – 572

576 – 578

Dh

455 – 459 724 – 726

703 – 705

-

-

Kedua pasien memunculkan cara-cara yang sama dan berbeda

untuk menghadapi penderitaanya. Pada tabel 6 huruf a terlihat cara-cara

(58)

a. Tabah menghadapi penderitaan

Tabah menghadapi penderitaan menunjukkan kekuatan hati

untuk menerima penderitaan. Sikap itu merupakan keberanian dan

kemuliaan dalam menghadapi penderitaan. Jika suatu penderitaan

dapat diterima dengan tabah, pasien tidak membentuk jarak antara

kepribadiannya dan keadaan penderitaan. Pasien tidak memiliki

tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang

semestinya terjadi. Akibatnya, pasien tidak mempertahankan

pandangannya pada sesuatu yang ideal dan dapat menerima

kenyataan.

b. Mental yang kuat sebagai obat utama

Mental yang kuat adalah obat utama bagi kedua pasien.

Mental yang kuat membuat pasien menerima keadaan diri yang

terbatas. Saat diri yang terbatas diterima, mereka tidak lagi

mencela, mencari-cari kesalahan, atau menilai diri tidak berguna.

c. Tujuan hidup yang tidak bersifat duniawi

Kedua pasien memiliki tujuan hidup yang tidak bersifat

duniawi. Pasien merasa khawatir terhadap kondisi sakitnya yang

tidak dapat diramalkan karena menjalani hemodialisa. Sebelum

sakit, pasien memiliki tujuan hidup untuk memenuhi hal-hal

duniawi seperti tabungan, rumah dan harta benda. Setelah sakit,

(59)

spritual; mendekatkan diri kepada Tuhan dan membahagiaan

anak-anaknya.

Selain memunculkan cara-cara yang sama, pasien memunculkan

cara-cara berbeda untuk menghadapi penderitaanya. Hal itu terlihat pada

tabel 6 huruf b. Perbedaan cara menghadapi penderitaan dimunculkan Ch

dalam bentuk mengatasi sakit dengan tidak menganggap diri sakit dan

melawan ketidakberdayaan dengan memberi dukungan sosial kepada

orang lain. Di lain pihak, Dh tidak memunculkan sikap tersebut.

Perbedaan itu diduga karena Ch memiliki penerimaan diri yang

baik dan dan tidak selalu mengeluh atas keadaan tersebut. Tidak selalu

mengeluh ini dinyatakan dengan tidak menganggap diri sakit. Selain itu,

Ch juga memiliki minat sosial yang tinggi. Peneliti menduga, minat

sosial itu mendorongnya memberikan sumbangan pribadi kepada orang

lain dengan menjadi motivator bagi pasien lain. Dengan memberikan

sesuatu kepada orang lain, ia dapat melawan ketidakberdayaannya dan

meraih kebahagiaan dalam penderitaan.

Berbagai cara yang digunakan untuk menghadapi penderitan

menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronis berhemodialisa

mengalami trensendensi diri. Trensendensi diri berarti kemampuan

menilai kondisi diri serta lingkungannya saat ini dan

memproyeksikannya ke masa depan. Trensendensi diri terwujud dalam

(60)

menerima kondisi fisik yang sakit, mengasihi orang lain, menemukan

(61)

Gambar 1 : Skema Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis Berhemodialisa

Pengalaman Penderitaan

Makna Penderitaan : 1. Keadaan yang ditakdirkan Tuhan

2. Pembentu karakter dan tantangan agar tidak mudah menyerah dan putus asa

3. Hidup baru yang Tuhan berikan melalui hemodialisa Penghayatan penderitaan dimaknai melalui nilai-nilai: 1. Kepercayan bahwa hidup sudah diatur oleh Tuhan yang maha

kuasa dan manusia hanya bisa menerimanya

2. Hubungan memberi dan menerima cinta dari orang lain 3. Aktivitas kerja untuk menunjukkan potensi diri

4. Pengalaman menyerahkan diri pada keindahan alam untuk bisa merasakan kebebasan dalam kehidupan

Gambar

Tabel 1. Panduan Wawancara ..................................................................
Gambar 1. Skema Pemaknaan Penderitaan Pasien Gagal Ginjal Kronis
Tabel 1. Panduan Wawancara
Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat