• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur wistar - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur wistar - USD Repository"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

IMUNO GL OBULI N G DAN I MUNO GL OBULI N M PADA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Prog Studi Farmasi

Oleh :

Ellen Naomi Nauli S inaga

NIM : 088114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2012

PE NGARUH PEMB ERIAN MADU H UT AN T ERH ADAP

(2)

i

IMUNO GL OBULI N G DAN I MUNO GL OBULI N M PADA

HEWAN UJI T I KUS JANTAN GAL UR WISTAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Prog Studi Farmasi

Oleh :

Ellen Naomi Nauli S inaga

NIM : 088114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2012

(3)
(4)
(5)

iv

Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku

dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kau buat dan jiwaku

benar-benar menyadarinya (Mazmur 139 : 14)

Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku

ada sekarang dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya

kepadaku tidak sia-sia ( 1 Korintus 15:10a)

Karya kecil ini kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesusku, Papah, Mamah, Kak Ellys, Kak Yeyen,

Lia, Kak Gendhe, Kak Beng, Malaikat keciku Renata dan

Gabriel, dan Mereka yang membuatku tersenyum

(6)
(7)

vi

segala berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “P engaruh Pem beri an Madu Hut an Terhadap Im unogl obuli n G Dan Imunogl obul in M Pada Hewan Uji Tikus

Jantan Galur Wi star” untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala dan

hambatan, namun berkat dukungan, bimbingan, kritik dan saran dari berbagai

pihak penulis dapat menyelesaikannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Yunita Linawati M.Sc, Apt selaku Dosen Pembimbing atas

kebijaksanaan, perhatian, dan kesabarannya dalam membimbing

penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan saran yang menjadikan penulisan skripsi menjadi lebih baik.

3. Dr. Ag. Yuswanto, SU, Apt, PhD selaku Dosen Penguji atas masukan

yang menjadikan penulisan skripsi menjadi lebih baik.

4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

5. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt selaku Ketua Program Studi

Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

6. Pimpinan Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Terpadu

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah mengijinkan untuk

melakukan penelitian khususnya kepada Bapak Sutari dan Ibu Istini atas

bimbingan dan bantuannya dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta yang membantu dalam

penyediaan bahan selama penelitian khususnya Ibu Darwani.

PRAKATA

(8)

vii

8. Teman-teman seperjuangan penelitian: Perthy Melati Kasih dan Kartika

Sari Senas.

9. Sahabatku tersayang Liani, Devia, Eureka Gracia Letitia; Mezcovits

Team : Matraisa Bara Asi, Rudi Frianto, Wina Gracelia, Fellin Nabella,

Ade Satrya, Edward Setiade, Stephani Nurina, Michael Andrean;

Bojoners : Adityawarman, Primaboti, Christina Putranti, Wiria Sende,

Agatha Novita, Ketut Ary Widiasih, Yohanes Hermawan; Teman

seperjuangan praktikum : Jepta Willy, Margaretha Ratih, Ledy Yoanita,

Arumsih Kristiningtyas, Elisabeth Primadhani, Deni Utik, Reyneldis

Adista; dan Jossi Arizon Purba untuk kebersamaan, canda, tawa, suka

dan duka.

10. Teman-teman angkatan 2008 khususnya FKK A ’08.

11. PMK Apostolos tempatku bertumbuh dalam Kristus dan tempatku

menemukan keluarga baru yang sangat luar biasa.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi

informasi bagi pembaca.

(9)
(10)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

3. Manfaat penelitian ... 3

a. Manfaat teoritis ... 3

b. Manfaat praktis ... 3

B.Tujuan Penelitian ... 3

(11)

x

B.Sistem Imun ... 9

1. Respon imun nonspesifik ... 9

2. Respon imun spesifik ... 10

C.Imunoglobulin ... 11

1. Jenis imunoglobulin ... 12

2. Pembentukan antibodi ... 15

D.Imunomodulator ... 17

E. Enzyme Linked Immunosorbant Assay ... 18

F. Landasan Teori ... 19

G.Hipotesis ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B.Variabel dan Definisi Operasional ... 22

1. Variabel penelitian ... 22

2. Definisi operasional ... 22

C.Bahan Penelitian ... 23

D.Alat Penelitian ... 24

E. Tata Cara Penelitian ... 24

1. Tahap penentuan dosis madu hutan ... 24

2. Tahap orientasi dosis madu hutan ... 25

3. Tahap percobaan ... 26

4. Penetapan imunoglobulin G dan imunoglobulin M ... 27

F. Analisis Hasil ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Pengukuran Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M ... 29

B.Tahap Orientasi Dosis ... 33

1. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin M pada tahap orientasi dosis ... 33

(12)

xi

C.Pengaruh Pemberian Madu Hutan Dosis 0,27 mL/200 g BB; 0,54 mL/200 g

BB; 1,08 mL/200 g BB terhadap Imunoglobulin M dan Imunoglobulin G ... 38

1. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin M ... 38

2. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G ... 40

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 43

B.Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 47

(13)

xii

Tabel I. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada

Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan ... 33

Tabel II. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G pada

Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan ... 35

Tabel III. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M

setelah Pemberian Madu Hutan ... 38

Tabel IV. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G

setelah Pemberian Madu Hutan ... 40

(14)

xiii

Gambar 1. Struktur Prototip Ig G : Struktur Rantai dan Ikatan Disulfide... 13

Gambar 2. Pentamer Imunoglobulin M ... 14

Gambar 3. Kurva Produksi Antibodi Respon Imun Primer dan Sekunder ... 16

Gambar 4. Indirect ELISA ... 18

Gambar 5. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan ... 34

Gambar 6. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan ... 35

Gambar 7. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M setelah Pemberian Madu Hutan ... 38

Gambar 8. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G setelah Pemberian Madu Hutan ... 40

(15)

xiv

Lampiran 1. Surat Kelaikan Etik ... 48

Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian ... 49

Lampiran 3. Foto Perbandingan Madu Hutan dan Madu Monoflora... 50

Lampiran 4. Komposisi ELISA... 51

Lampiran 5. Perhitungan Dosis Madu Tahap Orientasi Dosis ... 52

Lampiran 6. Titer Imunoglobulin G Hasil Orientasi Dosis ... 53

Lampiran 7. Titer Imunoglobulin M Hasil Orientasi Dosis ... 54

Lampiran 8. Pengujian Statistik Imunoglobulin G Hasil Orientasi Dosis ... 55

Lampiran 9. Pengujian Statistik Imunoglobulin M Hasil Orientasi Dosis... 57

Lampiran 10. Perhitungan Dosis Madu Tahap Percobaan ... 59

Lampiran 11. Penimbangan Berat Badan Tikus ... 60

Lampiran 12. Titer Imunoglobulin G Tahap Percobaan ... 61

Lampiran 13. Titer Imunoglobulin M Tahap Percobaan ... 62

Lampiran 14. Pengujian Statistik Imunoglobulin G Hasil Percobaan ... 63

Lampiran 15. Pengujian Statistik Imunoglobuilin M Hasil Percobaan ... 65

(16)

xv

Madu hutan mengandung beberapa senyawa organik, salah satunya flavonoid yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Flavonoid diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antibakteri serta berpotensi sebagai imunomodulator. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur Wistar.

Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Sebanyak 20 ekor tikus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok perlakuan diberikan madu hutan dengan dosis 0,27 ml/200 g BB tikus; 0,54 mL/200 g BB tikus; dan 1,08 ml/200 g BB tikus; serta kelompok kontrol negatif diberikan aquadest 2,5 mL/200 g BB tikus. Pada hari ke-1 dan ke-14 tikus diinduksi peritoneal dengan Staphylococcus epidermidis. Serum diambil pada hari 7 untuk pengukuran imunoglobulin M dan pada hari ke-18 untuk pengukuran imunoglobulin G melalui sinus orbitalis dengan menggunakan metode ELISA tak langsung. Data dianalisis dengan uji one way

ANOVA dilanjutkan dengan uji Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian madu hutan tidak berpengaruh terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M.

Kata kunci: Madu hutan, imunomodulator, imunoglobulin G, imunoglobulin M

(17)

xvi

Honey forest contains some organic compounds, like flavonoids that can increase the immune system. Flavonoids potentially has antioxidant, antibacterial and immunomodulator. The aim of this research was to evaluate the effect of honey forest to immunoglobulin G and immunoglobulin M on animals test of male rats Wistar strain.

This research is experimental with one way complete randomized design. Total of 20 rats was divided into 4 groups. Each group was given honey forest with dose of 0,27 ml/200 g BW ; 0,54 mL/200 g BW ; 1,08 ml/200 g BW, and negative control group given aquadest 2,5 mL/200 g BW. On the day 1 and 14, rats were induced peritoneal by Staphylococcus epidermidis. The serum were taken from sinus orbitalis on the day 7 and 18. The immunoglobulin G and immunoglobulin M were measured by indirect ELISA method. Data were analyzed by one way ANOVA test followed by Tukey test.

The result shows that there is no effect of honey forest to immunoglobulin G and immunoglobulin M

Key words: Forest honey, immunomodulator, immunoglobulin G, immunoglobulin M

(18)

1

PENGANTAR

Madu merupakan cairan yang berasal dari nektar tanaman yang diproses

oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Di Indonesia

terdapat beberapa jenis madu berdasarkan jenis flora yang menjadi sumber

nektarnya, yaitu madu monoflora dan madu poliflora (Suranto, 2007). Madu

monoflora merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama dan

mempunyai wangi, warna, dan rasa yang spesifik sesuai dengan sumbernya. Madu

poliflora atau yang biasa disebut madu hutan merupakan madu yang berasal dari

nektar beberapa jenis tumbuhan bunga, diproduksi oleh lebah-lebah liar dan

dianggap memiliki manfaat yang lebih baik dibandingkan madu monoflora.

Madu telah digunakan sejak zaman kuno sebagai bagian dari obat

tradisional. Penggunaan madu dalam beberapa aspek pengobatan

mengindikasikan bahwa madu memiliki fungsi sebagai antibakteri, antitumor,

antiinflamasi, antivirus, dan antioksidan (Rahadiyani, 2011). Madu mengandung

beberapa senyawa organik, yang telah terindentifikasi antara lain seperti polifenol,

flavonoid, dan glikosida (Rostinawati, 2009). Adanya kandungan flavonoid yang

terkandung di dalam madu hutan, dapat diperkirakan madu berpotensi sebagai

imunomodulator. Imunomodulator merupakan golongan obat yang mampu

mempengaruhi sistem imun atau sistem kekebalan tubuh (Sari, 2008). Menurut

Krell (cit., Jaya, dkk, 2008) kandungan flavonoid dapat meningkatkan sistem

BAB I

(19)

kekebalan tubuh baik seluler maupun humoral, salah satunya imunoglobulin.

Imunoglobulin menyediakan perlindungan yang sangat kuat untuk perawatan dan

pencegahan infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri dan juga terhadap

jamur (Yaniesa, 2011). Imunoglobulin terdiri dari imunoglobulin M (Ig M),

imunoglobulin G (Ig G), imunoglobulin A (Ig A), imunoglobulin E (Ig E), dan

imunoglobulin D (Ig D) (Baratawidjaja, 2010). Jika terpapar suatu antigen asing

untuk pertama kali, maka tubuh akan meningkatkan respon imun. Dalam respon

ini, kelas pertama immunoglobulin yang dihasilkan adalah IgM diikuti oleh IgG

(dengan penurunan serentak dalam sintesis IgM) (Kresno, 2010). Imunoglobulin

M merupakan antibodi yang paling awal muncul setelah terjadi perangsangan

antigen untuk mengikat komplemen (Louise, 2011). Imunoglubulin G merupakan

imunoglobulin utama pada serum manusia yang meliputi 75 % dari seluruh

imunoglubulin yang dibentuk atas rangsangan antigen dan dapat menembus

plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin sehingga pada bayi yang baru

lahir imunoglobulin G yang berasal dari ibu yang akan melindungi bayi dari

infeksi. Imunoglobulin G melapisi mikroorganisme sehingga partikel akan lebih

mudah difagositosis dan membantu dalam menetralisasi toksin dan virus (Kresno,

2010).

Melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh dari pemberian

madu hutan terhadap immunoglobulin G dan immunoglobulin M sehingga dapat

diperoleh informasi mengenai penggunaan madu hutan sebagai imunomodulator

(20)

1. Permasalahan

Apakah pemberian madu hutan berpengaruh terhadap imunoglobulin G dan

imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur Wistar?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang diketahui penulis, penelitian mengenai pengaruh pemberian

madu hutan terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M pada hewan uji tikus

jantan galur Wistar belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

1. Memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan mengenai

manfaat madu hutan sebagai imunomodulator.

2. Menambah informasi dalam bidang ilmu kefarmasian tentang

efektivitas madu hutan untuk kesehatan.

b. Manfaat praktis

Memberikan informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat

mengenai manfaat madu hutan sebagai imunomodulator dalam meningkatkan

kesehatan.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian madu hutan pada

(21)

2. Tujuan khusus

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian madu hutan

terhadap immunoglobulin G dan immunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan

(22)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Madu

Madu adalah cairan yang berasal dari nektar tanaman yang diproses oleh

lebah pekerja menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Berbagai

kelebihan madu sebagai makanan bernutrisi tinggi sudah diketahui sejak zaman

dahulu (Haryati, 2010).

1. Jenis madu

Berdasarkan asal cairan yang diambil oleh lebah, madu dibedakan atas

tiga jenis yaitu madu nektar, honey dew dan madu buatan. Madu nektar berasal dari cairan nektar baik dari satu macam bunga (monoflora), beberapa macam bunga (polyflora) ataupun dari bagian tanaman selain bunga (extraflora). Honey dew berasal dari cairan manis yang dikeluarkan oleh insekta pengisap tanaman yang dikumpulkan dan disimpan oleh lebah di dalam sarangnya, sedangkan madu

buatan adalah madu yang berasal dari cairan gula yang dikumpulkan dan

disimpan (Suranto, 2004).

Berdasarkan warnanya, madu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,

yaitu jernih (water white), amber, hitam (dark amber), putih (white) (National Honey Board, 2001). Madu amber telah diketahui mempunyai aktivitas

bakteriostatik dan bakterisida, baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram

negatif (Mulu, Tessema, Derby, 2004). Madu hitam mempunyai rasa pahit dan

(23)

lainnya (Ismail, 2007) dan madu putih mempunyai rasa yang sangat manis, aroma

yang khas, dan after taste yang kuat (Sukartiko, 1986).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis madu berdasarkan jenis flora yang

menjadi sumber nektarnya. Madu monoflora merupakan madu yang diperoleh dari

satu tumbuhan utama. Madu ini biasanya dinamakan berdasarkan sumber

nektarnya, seperti madu kelengkeng, madu rambutan, dan madu randu. Madu

monoflora mempunyai wangi, warna, dan rasa yang spesifik sesuai dengan

sumbernya, sedangkan jenis yang lain yaitu madu poliflora yang merupakan madu

yang berasal dari nektar beberapa jenis tumbuhan bunga. Madu ini biasanya

berasal dari hutan yang diproduksi oleh lebah-lebah liar yang bernama Apis dorsata. Madu hutan juga sangat baik untuk kesehatan karena mengandung antibiotik alami yang diproduksi oleh lebah-lebah liar. Kualitas madu hutan

dianggap lebih baik daripada madu hasil lebah ternak sebab bunga yang

dikonsumsi lebah-lebah tersebut tidak mengandung pestisida yang kemungkinan

besar ditemukan pada tanaman atau pohon yang sengaja ditanam untuk

perternakan lebah (Suranto, 2007).

2. Komposisi madu

Madu yang baik harus dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh

Standar Industri Indonesia (SII) tahun 1977 dan 1985. Kadar yang sesuai dengan

standar SII hanya mungkin terdapat pada madu murni, yaitu madu yang belum

diberi campuran dengan bahan-bahan lain (Suranto, 2007). Komposisi kimia

madu bervariasi tergantung pada sumber tanaman, musim dan metode produksi

(24)

adalah dua gula utama yang terdapat pada madu secara umum, dengan jumlah

sukrosa yang kurang (sekitar 1%), serta disakarida dan oligosakarida yang lain. Di

dalam madu juga terdapat kandungan mineral dan garam atau zat lain seperti

potassium, zat besi, sulfur, magnesium, kalsium, kalium, khlor dan natrium dan

fosfor. Potassium merupakan mineral utama pada madu. Madu mengandung

vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, C, D, E, K, beta karoten, flavonoid, asam fenolik,

asam urat, asam nikotinat, asam glukonat, antibiotika, enzim pencernaan serta

asam amino. Madu memiliki keasaman yang rendah dengan pH sekitar 3,9.

Kandungan air madu sekitar 17%, dengan aktivitas air antara 0,56-0,62. Selain itu,

madu mengandung asam glukonat dan jumlah protein yang kecil serta asam

amino (Haryati, 2010).

3. Manfaat Madu

Madu telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati

penyakit infeksi seperti infeksi pada saluran pernafasan, gastrointestinal, dan

luka-luka pada kulit (Mulu et al., 2004). Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik yang dapat meningkatkan stamina tubuh. Selain itu, madu

juga dapat digunakan sebagai pengganti gula atau suplementasi nutrisi. Produk

lebah ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti jantung,

paru-paru, lambung, sistem pencernaan, influenza, katarak, luka infeksi, dan masih

banyak lagi khasiat dari madu. Madu juga banyak digunakan dalam dunia

kosmetika, baik dalam bentuk sabun, masker, dan krim pelembut. Madu dapat

(25)

Madu mengandung zat antibiotik yang berguna melawan bakteri patogen

penyebab penyakit infeksi (Hariyati, 2010). Menurut Winarno (cit., Hariyati, 2010), gula dan mineral dalam madu berfungsi sebagai tonikum bagi jantung.

Antioksidan madu diyakini mampu mencegah terjadinya kanker, penyakit

jantung, dan penyakit lainnya. Selain itu madu juga dapat membunuh dan

mencegah kuman untuk berkembang sehingga madu dipercaya dapat

menyembuhkan berbagai macam luka seperti luka bakar, luka infeksi, luka setelah

operasi dan lain-lain.

Madu mengandung flavonoid dan menurut Krell (cit., Jaya, dkk, 2008) kandungan flavonoid dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik seluler

maupun humoral. Flavonoid merupakan golongan senyawa tanaman yang

memiliki aktivitas bilologi yang cukup luas salah satunya adalah sebagai

imunostimulator. Aktivitas flavonoid sebagai imunostimulator sangat erat

kaitannya dengan aktivitas sebagai antimikroba, antiviral, antioksidan,

antiploriferatif, sitotoksik dan antiinflamasi. Mekanisme imunostimulator

flavonoid sangat beragam. Middleton dan Kandaswami (cit., Arsani, 2010) melaporkan bahwa flavonoid dapat berefek pada sel T, B, makrofag, NK, basofil,

mast, neutrofil, eosinofil, dan platelet. Selain itu beberapa flavonoid berefek pada

sistem enzim yg berperan dalam respon imun seperti tirosin kinase, treonin

kinase, fosfolipase A2, fosfolipase C, lipooksigenase, dan lain-lain. Enzim

tersebut berperan dalam sinyal transduksi dan aktivasi sel sistem imun. Flavonoid

dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kanker,

(26)

dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme dari bakteri atau virus. Efek

lainnya adalah mencegah alergi karena flavonoid mampu mencegah lepasnya zat

utama peyebab alergi, yaitu histamin dan serotonin (Suranto, 2007).

Konsumsi madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2

kali/hari 1 sendok makan, sedangkan untuk menyembuhkan suatu penyakit,

dianjurkan untuk minum lebih banyak, yaitu 3-4 kali/hari 1 sendok makan

(Suranto, 2007).

B.Sistem Imun

Sistem imun memiliki fungsi utama melindungi tubuh dari mikroba

patogen yang terpapar ke tubuh. Fungsi tersebut melalui dua tingkatan dari respon

imun yaitu munculnya respon imun spesifik melawan paparan mikroba patogen

dan kontrol infeksi kemudian membentuk memori dari paparan pertama dan

respon imun yang cepat pada paparan patogen yang sama (Ahmed,Lanier, Pamer

,2002). Pertahanan tubuh terhadap mikroba patogen diperantarai oleh reaksi awal yang disebut respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik sebagai respon

selanjutnya (Abbas, et al, 2000)

1. Respon imun non-spesifik(Innate immunity)

Respon imun non-spesifik atau imunitas alami terdiri dari mekanisme

yang sudah ada dalam tubuh sebelum terjadinya infeksi yang mampu memberikan

respon secara cepat terhadap mikroba dan merupakan reaksi utama melalui cara

atau mekanisme yang sama untuk infeksi berulang. Komponen dasar dari respon

(27)

lapisan epithelial dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan

epithelial; sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag dan sel natural killer (NK); protein darah termasuk sistem komplemen dan mediator inflamasi; protein yang

disebut sitokin yang meregulasi dan mengkordinasi banyak dari aktivitas sel

innate immunity (Abbas et al., 2000)

2. Respon imun spesifik(Adaptive immunity)

Respon imun spesifik adalah imunitas tubuh yang diperoleh dengan cara

beradaptasi atau belajar mengenali secara spesifik berbagai jenis patogen dan

mempertahankan memori terhadap patogen tersebut untuk memberikan respon

yang cepat terhadap infeksi dimasa mendatang. Adaptasi tersebut terjadi selama

respon primer dari sistem imun terhadap berbagai jenis patogen. Respon primer

biasanya lambat dan terjadi beberapa hari setelah infeksi awal. Setelah respon

membersihkan infeksi, sistem imun akan mempertahankan memori dari berbagai

jenis patogen yang menyebabkan infeksi. Apabila tubuh terinfeksi patogen dari

jenis yang sama, tubuh tidak harus beradaptasi kembali terhadap patogen tersebut,

karena sudah ada memori terhadap patogen tersebut dan terjadi respon yang lebih

cepat yaitu respon sekunder yang biasanya terjadi dengan cepat. Memori tersebut

memberikan proteksi seumur hidup terhadap patogen tersebut (Hofmeyr, 2000).

Respon imun spesifik mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan

dengan penyebaran produk-produk spesifik (Kresno, 2010).

Ada dua tipe respon imun spesifik yaitu imunitas humoral dan seluler

yang diperantarai oleh komponen yang berbeda dari sistem imun dan berfungsi

(28)

oleh molekul dalam darah yang disebut antibodi yang diproduksi oleh sel limfosit

B dan imunitas seluler yang dimediasi oleh limfosit T (Abbas et al., 2000). Respon imun adaptive (spesifik) dibagi ke dalam 3 fase yaitu pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan fase efektor (Abbas et al., 2000).

Respon imun spesifik dapat bersifat pasif atau aktif. Imunitas pasif

adalah imunitas yang dihasilkan dari pemberian antibodi atau produk dari sistem

imun lain misalnya limfosit aktif yang telah dibentuk sebelumnya pada tubuh

individu yang lain. Imunitas aktif adalah imunitas yang diinduksi oleh terpaparnya

antigen ke dalam tubuh individu sehingga individu tersebut akan membentuk

antibodi atau produk sistem imun lain untuk menetralkan antigen tersebut.

Paparan antigen dapat berasal dari infeksi klinik, imunisasi dengan agen infeksi,

misalnya vaksin dan transplatasi sel asing (Nairn, 2005).

C. Imunoglobulin

Imunoglobulin atau antibodi adalah suatu glikoprotein yang diproduksi

oleh sel B sebagai respon terhadap terpaparnya tubuh oleh molekul asing

(imunogen). Antibodi berikatan secara spesifik dengan antigen. Antibodi

didistribusikan ke semua cairan biologis tubuh dan ditemukan pada permukaan

sejumlah kecil dari beberapa jenis sel. Semua jenis antibodi ditandai dengan

karakteristik struktur dasar yang sama, yaitu memiliki struktur inti yang terdiri

dari dua rantai ringan (berat kira-kira 24 kD) dan dua rantai ringan (berat kira-kira

(29)

Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang

terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.

Imunoglobulin termasuk dalam glikoprotein yang mempunyai struktur dasar

sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat (Akib, 2008).

Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang

terjadi setelah kontak dengan antigen (Baratawidjaja, 2010). Molekul ini disintesis

oleh sel B dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan dan

sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler (Kresno, 2010).

1. Jenis imunoglobulin

Pada manusia dikenal lima kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai

perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen

spesifik dan aktivitas biologi berlainan (Akib, 2008). Ada dua jenis rantai ringan

(kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta lima jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis immunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA,

dan IgD. Rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino, sehingga berat dan

panjang rantai berat tersebut adalah dua kali rantai ringan. Molekul imunoglobulin

mempunyai rumus bangun yang heterogen, meskipun hanya terdiri atas empat

(30)

a) Imunoglobulin G

Gambar 1. Struktur Prototip Ig G: Struktur Rantai dan Ikatan Disulfide (Baratawidjaja, 2010)

Imunoglobulin G adalah imunoglobulin yang paling banyak dalam tubuh,

berada di intravaskuler dan ekstravaskular dan memiliki waktu paro relatif lama

(23 hari) (Bellanti, 1993). Dalam serum orang dewasa normal, imunoglobulin G

merupakan 75% dari total imunoglobulin dan dijumpai dalam bentuk monomer.

Imunoglobulin G merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan

antigen, menembus plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin, sehingga

pada bayi yang baru lahir imunoglobulin G yang berasal dari ibu akan melindungi

bayi dari infeksi. Dari semua kelas imunoglobulin, imunoglobulin G paling

mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravaskuler dan melakukan aktivitas

antibodi di jaringan. Imunoglobulin G melapisi mikroorganisme, sehingga partikel

akan lebih mudah difagositosis dan membantu dalam menetralisasi toksin dan

(31)

b) Imunoglobulin M

Gambar 2. Pentamer Imunoglobulin M (Louise, 2011)

Imunoglobulin M merupakan sebuah pentamer sehingga imunoglobulin

M merupakan imunoglobulin berukuran paling besar. Imunoglobulin M terdapat

di intravaskuler dan merupakan 10% dari imunoglobulin total dalam serum

(Kresno, 2010). Imunoglobulin M merupakan antibodi yang paling awal muncul

setelah terjadi perangsangan antigen untuk mengikat komplemen (Louise, 2011).

Apabila antigen masuk ke dalam tubuh, sintesis imunoglobulin M mendahului

imunoglobulin G hingga mencapai puncaknya kemudian menurun lebih cepat dari

kadar imunoglobulin G (Bellanti, 1993).

c) Imunoglobulin A

Imunoglobulin A terdapat dalam tiga bentuk yaitu suatu monomer, suatu

dimer (didalamnya suatu rantai J mengikat dua monomer), dan suatu dimer

dengan satu potongan sekretorik. Imunoglobulin A ditemukan dalam konsentrasi

tinggi di dalam sekresi dan di dalam serum imunoglobulin A muncul dalam

bentuk dimer dengan waktu paruh 5 hari. Imunoglobulin A menempati dan

(32)

menghalangi bakteri, virus, dan toksin agar tidak melekat pada sel-sel inang

(Louise, 2011).

d) Imunoglobulin D

Imunoglobulin D merupakan 1% dari total imunoglobulin dan

merupakan komponen permukaan sel B dan pertanda dari diferensiasi sel B yang

lebih matang. Dalam serum, imunoglobulin D ditemukan dengan kadar yang

sangat rendah karena imunoglobulin D tidak dilepas sel plasma dan sangat rentan

terhadap degradasi oleh proses proteolitik. Imunoglobulin D diduga dapat

mencegah terjadinya toleransi imun akan tetapi mekanismenya belum jelas

(Baratawidjaja, 2010).

e) Imunoglobulin E

Imunoglobulin E dibentuk oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran

napas dan cerna. Pada alergi, kadar imunoglobulin E yang tinggi ditemukan pada

infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis, dam diduga berperan

dalam imunitas parasit (Baratawidjaja, 2010).

2. Pembentukan antibodi

Tahap awal pembentukan antibodi adalah fagositosis antigen oleh sel

fagosit terutama makrofag yang akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan akan menyajikan antigen tersebut kepada sel T helper. Sel T helper yang teraktivasi akan menstimulasi sel B. Sel B membawa imunoglobulin permukaan

yang spesifik terhadap antigen dan dirangsang untuk berploriferasi dan

berdiferensiasi sel plasma yang membentuk protein antibodi spesifik atau

(33)

2005). Respon pembentukan antibodi dibedakan menjadi dua yaitu respon primer

dan respon sekunder.

Gambar 3. Kurva Produksi Antibodi Respon Imun Primer dan Sekunder (Sheehan, 1997)

1. Respon primer

Bila antigen terpapar pada tubuh pertama kali akan menimbulkan respon

imun primer. Pada respon imun primer sel B immature distimulasi oleh antigen untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dan juga menjadi

sel B memori yang hidup dalam jangka waktu yang lama. Respon imun primer

timbul setelah 5-10 hari setelah terpapar antigen, ditandai dengan munculnya

imunoglobulin M sehingga produksi imunoglobulin M lebih besar dari Ig G dan

dapat diinduksi oleh semua imunogen (Kresno, 2010).

Ketika individu terpapar imunogen untuk pertama kali terjadilah respon

imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M beberapa hari

setelah pemaparan. Saat antara pemaparan imunogen dan munculnya

(34)

puncaknya setelah kira-kira 7 hari. Selama 6-7 hari setelah pemaparan,

imunoglobulin G mulai dapat dideteksi dalam serum, sedangkan imunoglobulin M

mulai berkurang sebelum kadar imunoglobulin G mencapai puncaknya, yaitu

10-14 hari setelah pemaparan imunogen (Kresno, 2010).

2. Respon sekunder

Bila terjadi pemaparan kedua dari imunogen yang sama, akan timbul

respon imun sekunder. Pada respon imun sekunder, sel B memori di stimulasi

oleh imunogen yang sama dan akan menyebabkan sel B berploriferasi dan

berdiferensiasi dengan cepat dan memproduksi antibodi spesifik yang lebih

banyak jumlahnya dari pada respon imun primer. Respon imun sekunder timbul

1-3 hari setelah paparan imunogen, ditandai dengan meningkatnya produksi

imunoglobulin G sehingga imunoglobulin G lebih banyak dari imunoglobulin M

dan hanya dapat diinduksi oleh imunogen yang sama (Abbas et al., 2000).

D. Imunomodulator

Imunomodulator merupakan senyawa yang mampu mempengaruhi

sistem imun atau sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan efek yang ditimbulkannya,

imunomodulator terbagi menjadi imunostimulan dan imunosupresan (Sari, 2008).

Imunostimulan adalah bahan yang dapat meningkatkan sistem imun

dengan cara menginduksi atau meningkatkan aktivitas dari

komponen-komponennya. Imunostimulan dikategorikan dalam dua bagian yaitu

imunostimulan spesifik dan imunostimulan tak spesifik. Imunostimulan spesifik

(35)

imun, seperti vaksin dan beberapa antigen, sedangkan imunostimulan non spesifik

adalah zat yang beraksi tidak hanya pada satu antigenik spesifik untuk menambah

respon imun dari antigen lain atau dapat meningkatkan komponen dari sistem

imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti adjuvan (Sari, 2008).

Imunosupresan merupakan senyawa (obat atau nutrisi) yang bekerja

dengan menekan respon imun. Obat imunosupresi digunakan pada pasien yang

akan menjalani transplantasi dan penyakit autoimun karena kemampuannya dalam

menekan respon imun (Baratawidjaja, 2010).

E. Enzyme Linked Immunosorbant Assay

ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang

berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai

indikator.

(36)

Beberapa metode telah dikembangkan dalam ELISA. Pemilihan metode

tergantung sifat sampel, kemampuan reagen, presisi, akurasi ( Kresno, 2010).

Salah satu metode ELISA adalah ELISA tak langsung (indirect ELISA). Prinsip dasar dari ELISA tak langsung adalah bahwa suatu antibodi dapat mengenali

suatu epitop dari antigen tertentu secara spesifik, yang kemudian divisualisasikan

dengan cara penambahan konjugat (antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan

enzim misalnya alkalin fosfatase). Selanjutnya ditambah substrat tertentu yang

sesuai sehingga akan terbentuk warna yang dapat diukur menggunakan metode

kolorimetri. Pengukuran serapan warna yang terbentuk pada ELISA dapat

dilakukan pada ELISA reader pada panjang gelombang tertentu tergantung enzim dan substrat kromogenik yang digunakan (Amri, 2008). Kelebihan teknik ELISA

adalah cukup sensitif, reagen mempunyai waktu paruh yang panjang, dapat

menggunakan spektrofotometer dan yang paling penting tidak mengandung

bahaya radioaktif (Kresno, 2010).

Madu hutan merupakan salah satu jenis madu yang berasal dari beberapa

jenis nektar tumbuhan dan diproduksi oleh lebah liar bernama Apis dorsata. Madu hutan dianggap memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan madu monoflora

karena tidak mengandung pestisida yang kemungkinan ditemukan pada madu

monoflora. Madu memiliki kandungan yang diduga dapat meningkatkan sistem

imun, yaitu flavonoid. Kandungan flavonoid ini diduga berpotensi sebagai

imunomodulator, yang merupakan suatu senyawa yang mampu mempengaruhi

(37)

sistem kekebalan tubuh, baik respon imun nonspesifik maupun respon imun

spesifik, salah satunya imunoglobulin. Ketika molekul asing masuk ke dalam

tubuh, sel B akan membentuk imunoglobulin sebagai respon pertahanan tubuh

dan akan berikatan secara spesifik dengan molekul asing tersebut. Imunoglobulin

yang pertama kali terbentuk adalah imunoglobulin M diikuti dengan

imunoglobulin G. Adanya kandungan flavonoid yang terdapat dalam madu,

diperkirakan madu hutan dapat mempengaruhi sistem imun, khususnya

imunoglobulin G dan imunoglobulin M.

Pemberian madu hutan dapat mempengaruhi imunoglobulin G dan

imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur Wistar.

(38)

21

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan

rancangan acak pola searah. Eksperimental murni karena dilakukan dengan

memberikan perlakuan terhadap kelompok perlakuan dan hasilnya dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan. Rancangan acak yaitu

sampel yang digunakan ditetapkan dengan pengacakan agar setiap sampel

memperoleh kesempatan yang sama untuk dapat masuk ke dalam kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol. Pola searah ditunjukkan dengan adanya

perlakuan yang sama pada kelompok perlakuan. Penelitian menggunakan subjek

uji tikus jantan galur Wistar yang diperoleh dari Unit Praklinik Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kriteria

inklusi yaitu tikus jantan, berat badan lebih kurang 100-300 g, berumur 2-3 bulan,

bergalur Wistar. Kriteria drop out adalah tikus yang mati selama perlakuan. Penelitian dilakukan di Unit Praklinik dan Unit III Laboratorium Penelitian dan

Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(39)

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Variabel utama

1) Variabel bebas : dosis madu hutan

2) Variabel tergantung : kadar imunoglobulin G dan imunoglobulin M

b. Variabel pengacau

1) Variabel pengacau terkendali : jenis makanan, variasi genetik, jenis

kelamin, berat badan dan umur, galur tikus.

2) Variabel pengacau tak terkendali : kondisi psikologis dan

patofisiologis.

2. Definisi operasional

a. Madu hutan atau madu poliflora merupakan madu yang diproduksi oleh

lebah liar dari tumbuh-tumbuhan obat yang ada di hutan (Suranto, 2007).

Madu yang digunakan merupakan madu hutan yang diperoleh dari salah

satu distributor madu di kota Yogyakarta yaitu Madu Pramuka.

b. Imunoglobulin G merupakan imunoglobulin yang paling banyak di

dalam serum darah dan berperan dalam menetralkan toksin dan kuman

patogen yang berbahaya (Tizard 2004).

c. Imunoglobulin M merupakan imunoglobulin yang pertama kali muncul

setelah terjadi perangsangan antigen untuk mengikat komplemen

(40)

dan virus. Selain itu mudah dideteksi karna metode assay imunoglobulin M mempunyai sensitivitas besar

d. Penetapan imunoglobulin G dan imunoglobulin M dilakukan dengan

menggunakan metode ELISA (Ausubel et al., 1995). Prinsip dasar dari ELISA tak langsung adalah bahwa suatu antibodi dapat mengenali satu

epitop dari antigen secara spesifik yang kemudian divisualisasikan

dengan cara penambahan konjugat. Selanjutnya ditambah substrat

tertentu yang sesuai sehingga terbentuk warna yang dapat diukur

menggunakan metode kolorimetri. Pengukuran yang terbentuk pada

ELISA dapat dilakukan dengan ELISA reader pada panjang gelombang tertentu, tergantung enzim dan substrat kromogenik yang digunakan

(Kresno, 2010).

C. Bahan Penelitian

1. Madu

Madu yang digunakan adalah madu yang berasal dari hutan Kalimantan yang

diperoleh dari salah satu distributor madu di Yogyakarta yaitu Madu

Pramuka.

2. Bakteri uji

(41)

3. Hewan uji

Tikus dengan jenis kelamin jantan berat badan lebih kurang 100 – 300 g

berumur 2 – 3 bulan dan bergalur Wistar.

4. Bahan ELISA

Natrium klorida, kalium klorida, natrium dihidrogen fosfat, natrium fosfat,

tween 20, p- nitrophenylphospat dinatriumsalt (p-npp) (Merck), dietanolamin 0,15 M magnesium diklorida, alkalin phosphatase conjugat antimouse IgM

(Sigma), alkalin phosphatase conjugat antimouse IgG (Sigma), bovine serum albumine (Gibco).

D. Alat Penelitian

Spuit injeksi oral, spuit injeksi intraperitonial, tabung reaksi, gelas beker,

gelas ukur, hematokrit, efendrof, yellow tip, blue tip, pipet Pasteur, micropipet, neraca analitik, sentrifus Eppendorf (Sorvall MC 124, Dupon), Super mixer

(Vortex), microplate 96 well (Nunc), ELISA reader (BioRad), freezer.

E. Tata Cara Penelitian 1. Tahap penentuan dosis madu hutan

Penggunaan madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah

1-2 kali/hari 1 sendok makan (Suranto, 2007). Dosis dikonversikan dari

manusia 70 kg ke tikus 200 g menggunakan tabel konversi Ngatidjan (1991)

dengan faktor konversi 0,018 sehingga ditemukan dosis yang sesuai untuk

(42)

Madu hutan 1 sendok makan = 15 mL

Faktor konversi = 0,018

Dosis madu hutan untuk tikus 200 g adalah

= 0,018 x 15 mL

= 0,27 mL/200 g BB tikus

2. Tahap orientasi dosis madu hutan

Tahap orientasi dosis dilakukan untuk mengetahui dosis yang dapat

meningkatkan imunoglobulin G dan imunoglobulin M. Dalam orientasi dosis

digunakan 12 ekor tikus yang dibagi menjadi menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Kelompok kontrol akuades : volume pemberian 2,5 mL/200 g BB tikus.

b. Kelompok madu hutan 1 : dosis 0,27 mL/200 g BB tikus dengan volume

pemberian 1,35 mL/200 g BB tikus.

c. Kelompok madu hutan 2 : dosis 0,405 mL/200 g BB tikus dengan

voluime pemberian 2,025 mL/200 g BB tikus.

d. Kelompok madu hutan 3 : dosis 0,54 mL/200 g BB tikus dengan volume

pemberian 2,7 mL/200 g BB tikus.

Masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor tikus dan diberikan

larutan madu hutan secara per oral sekali setiap hari selama tujuh hari. Pada

hari ke-8 dan hari ke-22, setiap tikus diinfeksi intraperitonial dengan 0,5 mL

suspensi bakteri Staphylococcus epidermidis. Pada hari ke-15 dan ke-29 dilakukan pengambilan serum tikus melalui sinus orbitalis kemudian

dilakukan penetapan imunoglobulin G dan imunoglobulin M menggunakan

(43)

3. Tahap percobaan

Dalam penelitian ini digunakan 20 ekor tikus yang dibagi menjadi

empat kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari lima ekor tikus, yaitu

kelompok kontrol akuades, kelompok madu hutan perlakuan 1, kelompok

madu hutan perlakuan 2, dan kelompok madu hutan perlakuan 3. Dosis madu

hutan pada tahap perlakuan ini disesuaikan dengan hasil orientasi dan

dijadikan sebagai dosis pertama. Dosis ini kemudian ditingkatkan dua kali

untuk kelompok perlakuan 2 dan kelompok perlakuan 3.

Tikus yang memenuhi kriteria inklusi diadaptasikan dengan

dikandangkan per-kelompok dan diberi pakan standar serta minum yang sama

secara ad libitum. Pembagian 4 kelompok tersebut yaitu :

a. Kelompok kontrol akuades : volume pemberian 2,5 mL/200 g BB tikus

b. Kelompok madu hutan 1 : dosis 0,27 mL/200 g BB tikus dengan volume

pemberian 0,675 mL/200 g BB tikus

c. Kelompok madu hutan 2 : dosis 0,54 mL/200 g BB tikus dengan volume

pemberian 1,35 mL/200 g BB tikus

d. Kelompok madu hutan 3 : dosis 1,08 mL/200 g BB tikus dengan volume

pemberian 2,7 mL/200 g BB tikus

Pemberian akuades maupun larutan madu pada setiap kelompok

dilakukan selama 18 hari perlakuan. Pada hari ke-1 dan hari ke-14 setiap tikus

(44)

melalui sinus orbitalis kemudian dilakukan penetapan imunoglobulin G dan

imunoglobulin M menggunakan metode ELISA.

4. Pengukuran imunoglobulin G dan imunoglobulin M

Microplate dilapisi dengan antigen Staphylococcus epidermidis

kadar 5 µg/mL dalam buffer bicarbonate sebanyak 100 µL per-sumuran kemudian diinkubasi semalam pada suhu 40C. Microplate dicuci tiga kali dengan PBST20 0,05 % sebanyak 200 µL setiap sumuran, kemudian di blok

dengan Bovine Serum Album (BSA) 1% dalam PBS sebanyak 100 µL per sumuran, diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 370C, dan dicuci 3 kali dengan PBST20 0,05 % sebanyak 200 µL per-sumuran. Serum diencerkan

1:100 dengan PBS, dimasukkan ke dalam microplate sebanyak 100 µL per-sumuran dan diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam, kemudian

microplate dicuci tiga kali dengan PBST20 0,05 % sebanyak 200 µL

per-sumuran. Konjugat antimouse Ig G dan Ig M alkaline fosfatase dimasukkan

pada masing-masing microplate sebanyak 100 µL per-sumuran dan diinkubasikan pada 37oC selama 1 jam. Microplate dicuci tiga kali dengan PBST20 0,05% sebanyak 200 µL per sumuran. Substrat p-NPP (p-nitriphenyl

phospatase) dimasukkan ke dalam microplate sebanyak 100 µL per-sumuran dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit hingga terjadi

(45)

F. Analisis Hasil

Data yang diperoleh dievaluasi secara statistik. Pertama dilakukan uji

normalitas data dengan metode Kolmogorov-Smirnov yang dilanjutkan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian bila terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Tukey.

(46)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian madu

hutan dalam mempengaruhi imunoglobulin G dan imunoglobulin M sehingga

dapat digunakan sebagai imunomodulator untuk meningkatkan kesehatan.

Pengukuran imunoglobulin G dan imunoglobulin M menggunakan metode ELISA

tak langsung dan hasilnya akan dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas data yang dilanjutkan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.

A. Pengukuran Imunoglobulin G dan Imunoglobulin M

Tikus dibagi menjadi empat kelompok perlakuan yang terdiri dari kontrol

negatif akuades dan tiga kelompok pemberian madu hutan. Kontrol negatif

dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan tujuan untuk melihat

kemampuan tikus dalam memproduksi antibodi tanpa dan dengan adanya

pengaruh suatu senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Tikus diinduksi

peritoneal dengan Staphylococcus epidermidis yang berperan sebagai antigen.

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif dan salah satu spesies bakteri dari genus Staphylococcus yang diketahui dapat menyebabkan infeksi oportunistik. Bakteri ini merupakan flora normal kulit dan merupakan bakteri non

patogen (Yanti, 2004). Metode induksi secara peritoneal merupakan metode yang

(47)

yang diinjeksikan dapat lebih banyak dibanding teknik lain. Menurut Subowo

(cit., Sasmito, 2006), induksi bertujuan untuk membangkitkan imunitas yang efektif sehingga terbentuk imunoglobulin dan sel-sel memori dan dilakukan

berulang agar sel memori yang terbentuk semakin banyak. Dalam penelitian ini,

induksi Staphylococcus epidermidis dilakukan sebanyak dua kali dengan tujuan menurut Hia (2007), induksi pertama akan menghasilkan respon imun primer

yang bertujuan untuk mengenalkan antigen yang akan menstimulasi sel limfosit

untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu

memproduksi antibodi serta membentuk sel memori yang dapat hidup lama pada

respon primer dan induksi kedua sebagai induksi sekunder untuk mengaktifkan

sel-sel memori akibat respon imun primer dan menghasilkan antibodi lebih cepat

dibandingkan pada pemaparan antigen yang pertama. Antibodi yang dihasilkan

pertama adalah imunoglobulin M, kemudian setelah imunisasi berulang dari

antigen yang sama maka produksi imunoglobulin M akan menurun dan terjadi

proses switch dari imunoglobulin M ke imunoglobulin G (Rachmandani, 2008). Pada tahap orientasi dosis, induksi antigen dilakukan pada hari ke-8

setelah 7 hari masa penyesuaian terhadap pemberian madu hutan sehingga tubuh

sudah terlindungi terlebih dahulu sebelum pemberian antigen. Hal ini disesuaikan

dengan penelitian Arsani (2010), yaitu pemberian madu secara berturut-turut

bertujuan untuk melindungi tubuh sebelum diberikan senyawa asing. Induksi

antigen kedua dilakukan pada hari ke-22. Pemilihan waktu ini bertujuan agar

antibodi yang terbentuk pada induksi pertama mencapai puncak sebelum induksi

(48)

menghasilkan antibodi lebih cepat dibanding pada pemaparan antigen yang

pertama (Arsani, 2010). Pada tahap percobaan, induksi antigen diberikan pada

hari ke-1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zurmiati (2003), pengenalan

antigen dilakukan pada hari pertama bertujuan agar proses pengenalan antigen

oleh sel limfosit lebih cepat. Induksi kedua dilakukan pada hari ke-14 bertujuan

agar imunoglobulin yang terbentuk pada vaksinasi pertama mencapai puncak

sebelum vaksinasi kedua dan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dalam

tubuh (Arsani, 2010).

Sampel yang digunakan pada pengukuran imunoglobulin ini adalah

serum darah. Pengambilan darah melalui sinus orbitalis karena cara ini mudah dilakukan dan menghasilkan darah yang cukup volumenya untuk penelitian. Pada

tahap orientasi dosis, serum diambil pada hari ke-15 atau satu minggu setelah

induksi pertama. Puncak imunoglobulin M setelah kira-kira 7 hari setelah

pemberian antigen sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengambilan serum

pada hari ke-15. Serum yang digunakan untuk pengukuran imunoglobulin G

dilakukan pada hari ke-29 yaitu satu minggu setelah induksi kedua karena

diperkirakan pada hari tersebut antibodi meningkat dalam tubuh. Pada tahap

percobaan, serum untuk pengukuran imunoglobulin M dilakukan pada hari ke-7

atau satu minggu setelah induksi antigen pertama karena imunoglobulin M

mencapai puncaknya setelah 7 hari pemaparan antigen (Kresno, 2010).

Pengambilan serum untuk pengukuran imunoglobulin M dilakukan pada hari

ke-18 atau empat hari setelah induksi antigen kedua. Pengambilan serum ini

(49)

mengenali antigen. Fase lag terjadi 3-5 hari setelah antigen diinjeksikan sehingga diperkirakan pada waktu ini antibodi telah meningkat dalam tubuh (Levinson dan

Jawetz, 2003, cit., Sasmito, 2006).

Pengukuran antibodi dilakukan dengan metode ELISA tak langsung.

Metode ini dipilih karena metode ini sudah umum digunakan dan merupakan

konfigurasi yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Pada metode ini,

antigen secara pasif teradsorbsi pada substrat padat, yaitu microplate. Serum dimasukkan ke dalam microplate sehingga setiap antibodi dalam serum berikatan dengan antigen yang terikat substrat. Untuk mengetahui adanya antibodi yang

terikat, dapat diketahui dengan penambahan antibodi sekunder terikat enzim

(konjugat). Pada penelitian, konjugat yang digunakan adalah antibodi antimouse

alkalin phospat dan substrat yang digunakan, yaitu p-NPP. Pengukuran titer

antibodi berdasarkan intensitas warna yang terbentuk dari reaksi enzim yang

terlabel di konjugat dengan substrat, dalam hal ini berwarna kuning. Substrat

p-NPP merupakan substrat ideal karena mempunyai puncak absorban yang optimal

pada panjang gelombang 405-410 nm, tidak karsinogenik dan mampu

menghasilkan warna yang maksimal dengan cepat. Intensitas warna yang

dihasilkan sebanding dengan jumlah antibodi. Semakin tinggi intensitas warna,

antibodi yang dihasilkan semakin banyak. Warna yang terbentuk diukur

(50)

B. Tahap Orientasi Dosis

Tahap orientasi dosis bertujuan untuk mengetahui dosis yang dapat

mempengaruhi imunoglobulin G dan imunoglobulin M dan dosis tersebut akan

digunakan pada tahap percobaan. Tahap orientasi dosis menggunakan dosis madu

hutan hasil dari konversi dari manusia ke tikus yaitu 0,27 mL/200 g BB yang

ditingkatkan satu setengah dan dua kali dari dosis pertama yaitu 0,405 mL/200 g

BB dan 0,54 mL/200 g BB.

1. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin M pada tahap orientasi dosis

Hasil pengujian Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data terdistribusi normal (Lampiran 9). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran imunoglobulin

M adalah sebagai berikut :

Tabel I. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan

Kelompok n Rata-rata OD±SD p Akuades 2,5 mL/200 g BB 5 0,160±0,048 0,852(TB) Madu 0,27 mL/200 g BB 5 0,145±0,016

Madu 0,405 mL/200 g BB 5 0,162±0,036 Madu 0,54 mL/200 g BB 5 0,142±0,032

(51)

Gambar 5. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu

Hasil pengujian statistik menggunakan one way ANOVA (Tabel I) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,852 (p>0,05) antara

kelompok perlakuan madu hutan dengan kelompok kontrol akuades, tetapi terlihat

adanya perbedaan antara kelompok akuades terhadap kelompok perlakuan madu

hutan dosis 0,405 mL/200 g BB (Gambar 5). Kelompok perlakuan madu hutan

dosis 0,405 mL/200 g BB menunjukkan peningkatan nilai rata-rata OD

dibandingkan kelompok akuades yang berarti bahwa pemberian madu hutan

memberikan pengaruh terhadap imunoglobulin M. Namun, pada kelompok

perlakuan madu hutan dosis 0,27 mL/200 g BB dan dosis 0,54 mL/200 g BB

menunjukkan penurunan nilai rata-rata OD dibandingkan kelompok akuades. Hal

ini mungkin disebabkan karena beberapa hal, yaitu 1) dosis madu hutan belum

mampu mempengaruhi imunoglobulin M. 2) adanya sistem imunitas alamiah dari

tikus yang diberikan antigen pada kelompok kontrol akuades sehingga

menunjukkan nilai rata-rata OD yang tinggi.

(52)

2. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G pada tahap orientasi dosis

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data terdistribusi normal (Lampiran 8). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran imunoglobulin G adalah

sebagai berikut :

Tabel II. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu Hutan

Kelompok n Rata-rata OD±SD p Akuades 2,5 mL/200 g BB 5 0,083±0,009 0,634(TB) Madu 0,27 mL/200 g BB 5 0,070±0,008

Madu 0,405 mL/200 g BB 5 0,093±0,033 Madu 0,54 mL/200 g BB 5 0,093±0,035

Keterangan : Hasil uji ANOVA taraf kepercayaan 95% (p<0,05)

Gambar 6. Grafik Rata-Rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G pada Tahap Orientasi Dosis setelah Pemberian Madu

Hasil pengujian menggunakan one way ANOVA (Tabel II) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,634 (p>0,05) antara kelompok

perlakuan madu hutan dengan kelompok kontrol akuades. Berdasarkan Gambar 6,

terlihat adanya perbedaan rata-rata OD antara kelompok akuades terhadap

kelompok perlakuan madu hutan dosis 0,405 mL/200 g BB dan kelompok madu

(53)

hutan dosis 0,54 mL/200 g BB. Kelompok madu hutan dosis 0,405 mL/200 g BB

dan kelompok madu hutan dosis 0,54 mL/200 g BB menunjukkan peningkatan

nilai rata-rata OD dibandingkan kelompok akuades. Namun, kelompok madu

hutan dosis 0,27 mL/200 g BB menunjukkan nilai rata-rata OD lebih rendah

dibandingkan akuades 2,5 mL/200 g BB. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

dosis madu hutan yang diberikan terlalu rendah sehingga aktifitas dalam

merespon sistem kekebalan tubuh kurang maksimum. Selain itu, adanya

kemungkinan pengaruh madu hutan dalam meningkatkan respon imunitas dalam

tubuh hanya sampai batas tertentu, yang apabila batas itu sudah tercapai, maka

efeknya akan menurun didalam tubuh hewan uji sebelum dilakukan pengukuran

karena pada tahap orientasi pemberian madu hutan hanya tujuh hari dari 29 hari

penelitian sehingga pada tahap percobaan perlu dilakukan pemberian madu hutan

selama penelitian berlangsung.

Pemilihan waktu penelitian dilakukan sedemikian rupa agar diketahui

pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin

M. Dalam penelitian ini, waktu penelitian berbeda dengan waktu tahap orientasi

dosis. Penelitian dilakukan selama 18 hari penelitian dan diberikan madu hutan

berturut-turut diharapkan terjadi sensitasi sel B yang akan berproliferasi,

berdeferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.

Pertimbangan adanya perubahan hari dikarenakan beberapa hal, yaitu 1) pada

tahap orientasi pemberian madu hutan yang hanya dilakukan 7 hari telah menurun

dalam tubuh sebelum dilakukan pengukuran; 2) kemungkinan kurang tepatnya

(54)

dilakukan pengukuran tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hasil yang

diperoleh pada tahap orientasi ini menunjukkan bahwa dosis 0,405 mL/200 g BB

merupakan dosis yang dapat memberikan pengaruh berupa peningkatan

imunoglobulin G dan imunoglobulin M. Namun, hasil uji statistik tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga dalam tahap percobaan, dosis

yang digunakan adalah dosis 0,27 mL/200 g BB. Selain itu, dosis 0,27 mL/200 g

BB merupakan dosis minimal konsumsi madu pada manusia. Konsumsi madu

untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan

(Suranto, 2007). Menurut Bellanti (1993) dan Weir (1990) (cit., Jaya, dkk , 2008) dosis dan interval antara suntikan yang berbeda menghasilkan kelompok antibodi

dengan titer dan kekuatan yang berbeda-beda. Dalam percobaan ini, diharapkan

dengan digunakannya dosis 0,27 mL/200 g BB dapat memberikan gambaran

penggunaan madu hutan dengan dosis minimal. Dosis 0,27 mL/200 g BB sebagai

dosis pertama dan akan ditingkatkan dua kali dan empat kali sehingga diharapkan

(55)

C. Pengaruh Pemberian Madu Hutan Dosis 0,27 mL/200 g BB; 0,54 mL/200 g BB; 1,08 mL/200 g BB terhadap Imunoglobulin M dan Imunoglobulin

G

1. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin M

Hasil pengujian statistik Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal (Lampiran 15). Hasil yang diperoleh adalah sebagai

berikut:

Tabel III. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M setelah Pemberian Madu Hutan

Keterangan:Hasil uji ANOVA taraf kepercayaan 95% (p<0,05)

Gambar 7. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M setelah Pemberian Madu Hutan

Pada tabel III, berdasarkan hasil uji dengan one way ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna p= 0,081 (p>0,05) antara kelompok

kontrol akuades dan kelompok perlakuan sedangkan pada Gambar 7, terlihat

adanya peningkatan rata-rata OD kelompok madu hutan dosis 0,27 mL/200 g BB

(56)

dan madu hutan dosis 1,08 mL/200 g BB terhadap kontrol akuades 2,5 mL/200 g

BB. Adanya peningkatan rata-rata OD ini menunjukkan bahwa pemberian madu

hutan dapat mempengaruhi imunoglobulin M.

Pada kelompok madu hutan dosis 0,54 mL/200 g BB, nilai rata-rata OD

yang ditunjukkan lebih rendah dari kelompok akuades (Gambar 7). Adanya

peningkatan rata-rata OD yang ditunjukkan akuades kemungkinan dikarenakan

sistem imunitas alami hewan uji akibat adanya induksi antigen (Sasmito, 2006).

Berdasarkan Gambar 7, dosis 0,27 mL/200 g BB menunjukkan nilai rata-rata OD

yang lebih tinggi dibandingkan dosis 0,54 mL/200 g BB dan dosis 1,08 mL/200 g

BB. Hal ini kemungkinan disebabkan dosis 0,27 mL/200 g BB memiliki

kemampuan dalam meningkatkan respon imun (imunostimulan), sedangkan dosis

0,54 mL/200 g BB dan dosis 1,08 mL/200 g BB memiliki kemampuan dalam

menekan respon imun (imunosupresan). Menurut Wibowo (2006), efek suatu

senyawa tergantung dari dosis, dimana pada dosis yang tinggi akan menimbulkan

efek imunosupresif sedangkan pada dosis rendah akan menimbulkan efek

imunostimulator. Kemungkinan lain terjadi penurunan dikarenakan karena salah

satu kandungan madu hutan, yaitu flavonoid yang diduga dapat meningkatkan

sistem imun memiliki aktivitas biologis yang lain seperti antimikroba, antiviral,

antioksidan, sitotoksik, antiploriferatif, dan antiinflamasi. Hal ini berdasarkan

pendekatan dari penelitian Arsani (2010) mengenai ekstrak etanolik daun kersen

yang mengandung flavonoid, pada dosis tertentu terjadi penurunan sistem imun

yang disebabkan aktivitas lain dari flavonoid sebagai antiinflamasi, sitotoksik, dan

(57)

karena sistem imun memiliki mekanisme homeostasis yang menjaga agar tidak

terjadi peningkatan respon imun yang berlebihan yang dapat menyerang tubuhnya

sendiri (Batubara, 2006).

2. Pengaruh pemberian madu hutan terhadap imunoglobulin G

Hasil uji statistik menggunakan Kolmogorov-Smornov menunjukkan data terdistribusi normal (Lampiran 14). Hasil pengukuran imunoglobulin G adalah

sebagai berikut :

Tabel IV. Rata-Rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G setelah Pemberian Madu Hutan

Keterangan: Hasil uji ANOVA taraf kepercayaan 95% (p<0,05)

Gambar 8. Grafik Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin G setelah Pemberian Madu Hutan

Hasil uji one way ANOVA (Tabel IV), tidak terdapat perbedaan yang bermakna p=0,466 (p>0,05) antara kelompok kontrol akuades dengan kelompok

perlakuan sedangkan pada Gambar 8, terlihat adanya kenaikan rata-rata OD

(58)

imunoglobulin G pada setiap kelompok madu hutan dibandingkan dengan

kelompok akuades. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian madu hutan dapat

meningkatkan imunoglobulin G.

Kelompok madu dosis 0,54 mL/200 g BB tikus menunjukkan rata-rata

OD lebih rendah dibandingkan dengan kedua kelompok madu lainnya (Gambar

8). Hal ini kemungkinan disebabkan kelipatan peningkatan dosis dari 0,27

mL/200 g BB ke dosis 0,54 mL/200 g BB yang hanya meningkat dua kali belum

mampu meningkatkan imunoglobulin G, sedangkan dari dosis 0,27 mL/200 g BB

ke dosis 1,08 mL/200 g BB meningkat empat kali sehingga menunjukkan adanya

peningkatan imunoglobulin G.

Respon imun primer ditandai dengan munculnya imunoglobulin M

beberapa hari setelah pemaparan yang kemudian diikuti dengan munculnya

imunoglobulin G. Kadar imunoglobulin M mencapai puncaknya kira-kira 7 hari

setelah pemaparan antigen dan imunoglobulin G mencapai puncaknya yaitu 10-14

hari setelah pemaparan (Kresno, 2010). Dalam penelitian ini, kadar imunoglobulin

M yang dihasilkan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kadar imunoglobulin G. Hal ini dimungkinkan karena pengambilan serum

imunoglobulin M saat mencapai puncaknya, yaitu hari ke-7 setelah pemaparan

antigen sehingga menunjukkan kadar yang sangat tinggi. Selain itu, menurut

Bellanti (1993), imunoglobulin M mudah dideteksi karena metode assay

imunoglobulin M memiliki sensitivitas yang besar.

Berdasarkan kurva pembentukan imunoglobulin (Gambar 1), hari ke-14

(59)

imunoglobulin telah menurun. Kemungkinan rendahnya kadar imunoglobulin G

dikarenakan pada saat imunoglobulin G mencapai puncaknya, dilakukan induksi

antigen yang kedua, sehingga kemungkinan antibodi telah menghilang dari serum.

Jika antibodi masih dalam serum pada saat injeksi antigen kedua, maka antibodi

akan menghilang lebih cepat dalam fase penurunan respon primer (fase negatif)

dikarenakan cepatnya reaksi antibodi yang ada sebelumnya terhadap antigen yang

baru diinduksikan untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (Bellanti, 1993).

Selain itu, kemungkinan imunoglobulin yang terbentuk belum mencapai kadar

puncaknya dan dimungkinkan masih termasuk dalam respon primer.

Sistem imunitas tubuh terdiri dari respon imun non-spesifik dan respon

imun spesifik. Pada penelitian ini, imunoglobulin G dan imunoglobulin M

termasuk dalam respon imun spesifik, khususnya imunitas humoral. Berdasarkan

hasil yang diperoleh dari penelitian ini, pemberian madu hutan tidak berpengaruh

terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M. Akan tetapi, hasil penelitian ini

tidak dapat menunjukkan bahwa pemberian madu hutan tidak berpengaruh

terhadap sistem imun karena penelitian ini hanya melihat salah satu respon imun

(60)

43

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pemberian madu hutan tidak berpengaruh terhadap imunoglobulin G dan

imunoglobulin M pada hewan uji tikus jantan galur Wistar.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis madu hutan yang

berpengaruh terhadap imunoglobulin G dan imunoglobulin M untuk mengetahui

Gambar

Tabel I.  Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada
Gambar 2. Pentamer Imunoglobulin M (Louise, 2011)
Gambar 4. Indirect ELISA  (Amrita University, 2012)
Tabel I. Rata-rata OD ± SD Hasil Pengukuran Imunoglobulin M pada Tahap Orientasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil orientasi waktu pemberian ekstrak etanol daun jambu biji ( Psidium guajava Linn.) dosis 0,775g/kgBB pada tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi karagenin 1%.

Hasil analisa menunjukkan perbedaan yang bermakna rata-rata kadar kolesterol total kelompok kontrol (negatif dan positif) dengan kelompok dosis I dan II ekstrak

Berdasarkan Gambar 1 rata-rata kadar kolesterol total kelompok uji dosis I, dosis II dan dosis III lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (-), hal

Selain hal tersebut, beberapa penelitian terdahulu juga telah membuktikan bahwa bahwa flavonoid dapat meningkatkan jumlah leukosit pada hewan uji tikus putih yang terpapar

Pemberian dosis kelompok perlakuan (ekstrak etanol daun lidah buaya) bertingkat dapat menurunkan jumlah rata-rata respon tikus diinduksi secara termik yang

Pemberian dosis kelompok perlakuan (ekstrak etanol daun lidah buaya) bertingkat dapat menurunkan jumlah rata-rata respon tikus diinduksi secara termik yang

Pada penelitian sebelumnya yang, pemberian kombinasi minyak jintan hitam dan madu juga menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk

Berdasarkan data grafik pada Gambar 3 dapat dilihat pada jam ke 1 setelah induksi karagenan 1% terjadi kenaikan rata-rata volume udem pada masing-masing kelompok perlakuan, namun