TAKHAYUL BIMA :
ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu
(S1) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Oleh
RUHIL
NIM E1C 013 040
PROGRAM STUDI BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 623873 Fax. 634918 Mataram 83125
HALAMAN PERSETUJUAN
TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA
Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal,. . .Juni 2017
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Drs. Cedin Atmaja, M.Si. Drs. Syahbuddin, M.Pd.
NIP. 195612311983011004 NIP. 195712311985021001
Mengetahui :
Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah,
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 623873 Fax. 634918 Mataram 83125
HALAMAN PENGESAHAN
TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA
Skripsi ini telah diuji dan disahkan pada tanggal…. Juni 2017 oleh tim penguji
Dewan Penguji
Ketua,
Drs. Cedin Atmaja, M. Si. NIP 195612311983011004
Sekretaris, Anggota,
Drs. Syahbuddin, M. Pd. Drs. Mar’i, M.Si.
NIP 195712311985021001 NIP196412311993031014
Mengetahui :
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Berangkat dengan penuh keyakinan.
Berjalan dengan penuh keikhlasan.
Istiqomah dalam menghadapi cobaan.
Persembahan
Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta. Bapak
Arsyad dan ibu Nurmi yang selalu memberikan motivasi serta semangat untuk
selalu berjuang menggapai cita-cita. Terimakasih atas segala jerih upaya,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Takhayul Bima : Analisis Bentuk, Fungi dan Makna”.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada baginda nabi besar
Muhammad SAW.
Ada banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi
ini, namun berkat bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak
kendala-kendal tersebut bisa diatasi. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini,
penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat.
1. Dr. H. Wildan, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Mataram.
2. Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., ketua jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni.
3. Drs. I Nyoman Sudika, M. Hum.,Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
4. Murahim, S,Pd.,selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Drs. Cedin Atmaja, M.Si. Selaku dosen pembimbing pertama.
6. Drs. Syahbuddin, M.Pd. Selaku dosen pembimbing kedua.
7. Bapak dan Ibu dosen yang telah membagi ilmunya selama penulis
menimba ilmu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
8. Teman-teman Bastrindo angkatan 2013 yang selama ini
menjadi teman berbagi selama penulis berada di Universitas
Mataram.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kualitas yang lebih baik di masa
mendatang. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya.
Mataram, Juni 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
KETERANGAN TANDA-TANDA YANG DIGUNAKAN ... x
ABSTRAK ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4
1.4.2 Manfaat Praktis ... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5
2.1 Penelitian Relevan ... 5
2.2 Landasan Teori ... 6
2.2.1 Pengertian Folklor ... 6
2.2.2 Ciri-ciri Folklor ... 8
2.2.3 Genre Folklor ... 10
a Pengertian Takhayul ... 12
b Bentuk Takhayul ... 13
c Fungsi Takhayul ... 15
d Makna Takhayul ... 16
2.2.5 Tinjauan Tentang Bentuk ... 17
2.2.6 Tinjauan Tentang Fungsi ... 18
2.2.7 Tinjauan Tentang Makna ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Jenis Penelitian ... 21
3.2 Informan Penelitian ... 21
3.3 Data ... 23
3.4 Sumber Data ... 23
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 23
a Wawancara ... 24
b Observasi ... 25
c Metode Dokumentasi ... 26
3.6 Instrumen Pengumpulan Data ... 26
3.7 Metode Analisis Data ... 30
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 30
3.9 Metode Penyajian Data ... 31
BAB IV PEMBAHASAN ... 33
4.1.1 Takhayul Berpola Sebab-Akibat ... 33
4.1.2 Takhayul Berpola Akibat-Sebab ... 41
4.1.3 Takhayul Berpola Konversi-Akibat ... 43
4.1.4 Takhayul Berpola Tanda-Akibat ... 44
4.2 Makna Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima ... 46
4.3 Fungsi Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima ... 64
4.3.1 Sebagai Sistem Proyeksi Hayalan Kolektif ... 65
4.3.2 Sebagai Penebal Emosi Keagamaan atau Kepercayaan ... 75
4.3.3 Sebagai Alat Pendidik Anak atau Remaja ... 78
4.3.4 Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Agar Norma-Norma Masyarakat Selalu Dipatuhi Aggota Kolektif ... 82
BAB V PENUTUP ... 84
5.1 Simpulan ... 84
5.2 Saran ... 85
KETERANGAN TANDA-TANDA YANG DIGUNAKAN Pada umumnya masyarakat kecamatan Wawo menggunakan bahasa
Mbojo (Bima) sebagai bahasa sehari-hari. Untuk membaca dan memahami
bahasa Mbojo, terlebih dahulu harus diketahui ejaan bahasa Mbojo. Ejaan
bahasa mbojo sama dengan ejaan bahasa Indonesia. Hanya ada beberapa bunyi
khas yang perlu diketahui yaitu :
a. Setiap konsonan akhir pada sebuah kata pasti dihilangkan. Pada umumnya
bahasa Bima (tidak berakhir dengan konsonan pada kata) kecuali pada
para penutur yang berpendidikan akibat pengaruh bahasa lain.
Penghilangan konsonan akhir ini terjadi pada nama seseorang yang
memiliki konsonan pada akhir kata dan juga terdapat pada kata-kata
serapan dari bahasa kedua atau bahasa lain. Dalam bahasa Bima untuk
setiap nama yang diakhiri oleh konsonan, akan terjadi penghilangan
fonem. Akan tetapi, apabila sebuah nama diakiri oleh vocal maka, tidak
ada penghilangan fonem akhir, misalnya nama Amri akan tetap dilafalkan
Amri. Perhatikan contoh di bawah ini :
Firdaus akan menjadi Firdau, konsonan (s) dihilangkan.
Ahmad akan menjadi Ahma, konsonan (d) dihilangkan.
Bakar akan menjadi Baka, konsonan (r) dihilangkan.
b. Setiap nama panggilan kepada yang lebih tua (di lia kai atau panggilan
penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem.
Perhatikan contoh di bawah ini :
Bakar dipanggil Beko,
Hasan dipanggil Heso,
c. Terdapat dua buah konsonan laminobilabial dan laminobilabial implosif
yang berbeda dengan /b dan d/. Keduanya dilambangkan dengan /b dan d/.
Konsonan laminobilabial merupakan konsonan yang terjadi atas
penggabungan dari lamino dan bilabial yang pada proses artikulasinya ,
lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini
daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan /d/, sedangkan
bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir
bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah
bunyi /b/, /p/, dan m/. Sedangkan laminobilabial implosif merupakan
penggabungan dari dua konsonan; lamino yaitu konsonan yang terjadi
pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi
seperti bunyi /t/ dan /d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi
pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang
termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan m/. Jadi, konsonan
laminobilabial implosif artinya bunyi hambat yang terjadi dengan aliran
udara yang diisap, seperti bunyi /b/ dan /d/. Perhatikan contoh di bawah
ini.
Kata /baba/ ‘orang Cina peria; /baba/ ‘kakak atau abang’, sedangkan
/baba/ ‘mengikat seluruh tubuh’.
Kata /didi/ ‘memesan’; sedangkan /didi/ ‘menekan, membenam, dan lusa
d. Terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata.
Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi. Oleh karena itu,
dalam bahasa Bima kluster ini biasanya selalu muncul pada awal kata yang
berbeda dengan bahasa lain yang kadang muncul di awal kata, di tengah
kata, maupun di akhir kata. Perhatikan contoh di bawah ini.
mb seperti pada mbai artinya ‘busuk’
nc seperti pada ncai artinya ‘jalan’
nd seperti pada ndore artinya ‘berbaring’
ngg seperti pada nggala artinya ‘bajak’
TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA ABSTRAK
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima (2) Bagaimanakah fungsi takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima (3) Bagaimanakah makna takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan : (1) Bentuk takhayul pada masyarakat Bima. (2) Fungsi takhayul pada masyarakat Bima (3) Makna takhayul pada masyarakat Bima. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif , yaitu yang terdiri dari populasi sampel, metode pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Berdasarkan hasil pengumpulan data maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut : (1) Bentuk-bentuk takhayul masyarakat kecamatan Wawo yaitu pola sebab-akibat, akibat-sebab, konversi-akibat, dan tanda-akibat (2) Fungsi-fungsi takhayul masyarakat kecamatan Wawo yaitu untuk mempertebal emosi keagamaan atau kepercayaan, sebagai sistem proyeksi khayalan sekelompok masyarakat, sebagai alat untuk mendididk anak atau remaja dan sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi anggota kolektif (3) Makna-makna takhayul masyarakat kecamatan Wawo banyak yang ditimbulkan dari hubungan asosiasi. Selain itu makna yang terkandung lebih banyak didominasi oleh makna falsafah kehidupan untuk mengatur dan mengawasi setiap norma yang berlaku dalam masyarakat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas dari suatu daerah
yang juga merupakan jati diri bangsa yang mencerminkan segala aspek
kehidupan yang berada di dalamnya. Kebudayaan daerah merupakan salah
satu dari kebudayaan nasional. Kebudayaan ini diwariskan turun menurun
dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan manusia kebudayaan
memegang peranan penting, karena kebudayaan tidak berbentuk atau
tumbuh dengan sendirinya namun berlangsung melalui suatu proses.
Untuk itu, sebagai wujud kecintaan terhadap budaya bangsa sangat
diperlukan kesadaran tinggi setiap individu di masyarakat untuk
mempertahankan dan melestarikan warisan kebudayaan tersebut.
Salah satu warisan kebudayaan yang sangat syarat dengan
nilai-nilai norma baik norma agama, adat istiadat dan sebagainya adalah folklor.
Folklor merupakan bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang belum
begitu populer di kalangan banyak orang. Oleh karena itu, terhadap folklor
perlu dilakukan usaha untuk menggali dan mengembangkannya karena
folklor merupakan suatu kekayaan leluhur bangsa kita dan di dalamnya
terkandung nilai-nilai moral yang mencerminkan kepribadian dari bangsa
tersebut.
Salah satu folklor yang menjadi kekayaan budaya lokal adalah
Kecamatan Wawo kabupaten Bima. Takhayul biasanya disebarkan secara
lisan. Persebaran yang bersifat lisan itu memungkinkan takhayul akan
dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Apabila masyarakat Bima sedang
menghadapi nilai-nilai baru yang dibawa oleh kemajuan dunia pariwisata
dan globalisasi dimungkinkan takhayul tersebut bisa ditinggalkan.
Selain itu, takhayul mengandung nilai filosofis yang bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat pendukungnya, misalnya yang berkaitan
dengan pendidikan moral. Nilai takhayul ini dapat digunakan sebagai
media pendidikan karakter pada masyarakat setempat. Nilai-nilai yang
terdapat dalam takhayul itu perlu dilestariakan oleh generasi penerus
sebagai modal dasar untuk menghadapi masuknya nilai-nilai negatif
kebudayaan asing. Bisa dikatakan nilai yang terkandung dalam takhayul
dapat dijadikan sebagai filter dan temeng yang bisa menjaga budaya lokal
sehingga tidak terkikis oleh budaya yang datang dari luar. Lebih-lebih di
era globalisasi dan informasi sekarang ini budaya-budaya asing tak
terbendung lagi pengaruhnya disetiap budaya.
Takhayul perlu dilestarikan karena merupakan salah satu khazanah
budaya bangsa Indonesia yang akan mengajarkan kita tentang arti sebuah
tradisi, kebudayaan, dan yang terpenting adalah takhayul mengajarkan kita
rasa tanggung jawab terhadap identitas daerah. Oleh karena itu perlu
diadakan penelitian tentang takhayul dalam rangka melestarikan dan
Wawo belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian pertama tentang takhayul yang terdapat di
kecamatan tersebut. Hal-hal inilah yang mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian dengan judul “Takhayul Bima : Analisis Bentuk,
Fungsi dan Makna.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan masalahnya
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk takhayul yang terdapat pada masyarakat
Bima?
2. Bagaimanakah fungsi takhayul yang terdapat pada masyarakat
Bima?
3. Bagaimanakah makna takhayul yang terdapat pada masyarakat
Bima?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah mendeskripsikan :
1. Bentuk takhayul pada masyarakat Bima.
2. Fungsi takhayul pada masyarakat Bima.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan peneliti tentang folklor lisan, khususnya mengenai
takhayul, memperkaya pengetahuan dalam mempelajari
seluk-beluk folklor dan menambah khazanah budaya bangsa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat
menarik minat terutama generasi muda untuk menjadikan takhayul
sebagai media pendidikan karakter serta mempertahankan adat dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian tentang sastra daerah khususnya sastra lisan, telah cukup
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Adapun penelitian satra lisan
yang pernah dilakukan antara lain:
Ainun Dwi Lestari ( 2015) menjelaskan keberadaan Ama Samawa
sebagai salah satu sastra lisan Sumbawa yang terancam punah dan
mengalami pengikisan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
bentuk, fungsi dan makna Ama Samawa di Desa Jorok Kecamatan Untir
Iwis Kabupaten Sumbawa.
Penelitian mengenai bentuk, makna dan fungsi juga pernah
dilakukan oleh Adriani (2010) dengan judul “Bentuk, Makna, dan Fungsi
Nggahi Ncemba dalam Masyarakat Donggo”. Nggahi Ncemba
merupakan salah satu jenis sastra lisan (folklor) yang tumbuh dan
berkembang pada masyarakat Donggo. Penelitian ini memperoleh
sebanyak 20 Nggahi Ncemba yang dilihat dari bunyi, diksi, tema, dan
amanat. Disampin itu juga bentuk dalam penelitian ini tidak terlepas dari
makna dan fungsi dalam masyarakatnya. Dalam penelitian ini fungsi
Nggahi Ncemba dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai media
pendidikan dan sebagai alat untuk memperoleh gengsi.
Selanjutnya, penelitian mengenai takhayul juga pernah dilakukan
Makna Takhayul Masyarakat Peringga Jurang Kabupaten Lombok Timur
dan Relevansinya Terhadap Pendidikan di SMAN 1 Montong Gading”.
Selain itu, penelitian mengenai takhayul juga pernah dilakukan oleh
Anugrah Ilahi (2008), peneliti menyimpulkan bahwa takhayul
masyarakat Paok Motong memiliki struktur : a) Akibat, b)
Sebab-Akibat dan Konversi, c) Sebab-Akibat-Sebab, d) Konversi-Sebab-Akibat.
Dari beberapa penelitan di atas, penelitian mengenai Takhayul
Bima : Analisis bentuk, fungsi, dan makna belum pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha untuk
meneliti bentuk, fungsi, dan makna takhayul Bima khususnya di
kecamatan Wawo.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Folklor
Folkloris Amerika, Dundes (dalam Endrasswra, 2013:20)
mendefinisikan folklor secara etimologis. Menurut dia, folklor
berasal dari kata folk dan lore. Dari kedua kata itu berarti ada
ketergantungan satu sama lain, sehingga membentuk makna folklor.
Folk, merujuk pada kelompok populasi. Folk juga berarti kolektif.
Kolektif tersebut disebut juga vulgus in populo, yang sering kontras
dengan istilah masyarakat. Masyarakat dimaknai sebagai kolektif
yang memiliki keberadaban (civilization). Folk dipandang tak
Istilah semacam ini, sebenarnya sudah tidak begitu relevan. Oleh
karena di era sekarang, folk telah berkembang ke arah beradab.
Sedangkan loredijelaskan oleh Dundes, (dalam Endraswara
2013:20) tidak dijelaskan lebih jauh. Lore adalah sebuah tradisi folk.
Lore merupakan representasi keinginan folk yang ekspresif. Di
dalamnya terdapat seni, sastra, budaya, dan segala tata kelakuan
folk. Semakin tinggi tingkat berpikir folk, berarti folklor mereka
juga semakin canggih. Dengan kata lain, folklor dapat dimaknai
sebagai kekayaan tradisi, sastra, seni, hukum, perilaku, dan apa saja
yang dihasilkan oleh folk secara kolektif. Folklor memiliki jiwa dan
milik bersama. Folklor pun merupakan ekspresi masyarakat
berbudaya. Jadi, folklor, tradisi, dan kolektivitas tak bisa
dipisah-pisahkan. Ketiganya menyatu dalam diri folklor.
Definisi folklor di kemukakan oleh Danandjaja adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan di wariskan
turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dan versi yang berbeda, baik dalam lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja,
1997:2). Lebih lanjut Yadnya (dalam Endrasswara, 2013: 21-22)
menjelaskan folklor adalah bagian kebudayaan yang bersifat
tradisional, tidak resmi (unofficial), dan nasional. Folklor mencakup
semua pengetahuan nilai tingkah laku, asumsi, perasaan, dan
praktek-praktek kebiasaan. Ciri dari suatu bentuk adalah foklor itu sendiri
memiliki fungsi bagi sejumlah jenis folklor sangat penting sebagai
menerapkan tekanan serta kontrol sosial.
Definisi foklor secara keseluruhan adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif mencakup semua pengetahuan nilai
tingkah laku, asumsi, perasaan, dan kepercayaan yang tersebar dan
diwarisakan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara
tadisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat dan memiliki
fungsi yang sangat penting sebagai control sosial.
2.2.2 Ciri-ciri Folklor
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan
lainnya, harus diketahui ciri utama folklor. Folklor memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan,
yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau
dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat
pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk
relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara
kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit
3. Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang
berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut
ke mulut, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman,
sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi
(penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan
folklor), folklor dengan mudah mengalami perubahan.
Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian
luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak
diketahui oleh orang lain.
5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise
seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan
kecantikan seorang gadis, dan lain-lain.
6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai
alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang
tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku
bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu.
lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa
memilikinya.
9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga
seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat
dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan
proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
(Danandjaja, 1997:3).
2.2.3 Genre Folklor
Genre folklor adalah keragaman folklor. Genre akan memuat
aneka macam bentuk folklor, (Endraswara, 2013:22). Menurut Jan
Harlod Brunvand (dalam Danandjaja, 1997:21) folklor dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompk besar berdasarkan tipenya,
yaitu:
1. Folklor lisan (verbal folklore)
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang
murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke
dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk
speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title
kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa,
pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki;
rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian
rakyat (Danandjaja, 1997:22).
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Sebagai
contoh kepercayaan rakyat yang oleh orang “Modern” sering
kali disebut dengan takhayul. Takhayul terdiri atas pernyataan
yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang
dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang
Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari
gangguan hantu. Takhayul yang merupakan folklor sebagian
lisan biasanya berbentuk suatu peristiwa yang terjadi pada
binatang. Selain itu, bentuk folklor yang tergolong dalam
sebagian lisan adalah permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat,
upacara, dan pesta rakyat (Danandjaja, 1997:22).
3. Folklor bukan lisan (non verba folklore)
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya
bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara
lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar yakni yang material dan yang bukan material.
Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain: arsitektur
rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh
bukan material adalah gerak isyarat tradisional (gesture) bunyi
isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat (Danandjaja,
1997:22).
2.2.4 Tinjauan Tentang Takhayul
a. Pengertian Takhayul
Kepercayaan rakyat yang disebut dengan “takhayul”
adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan barat
dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika,
sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan
(Danandjaja: 1997: 153). Kata ”takhayul” merupakan serapan
dari kata bahasa Arab. Takhayul dalam istilah bahasa Arab
dikenal dengan tathayyur yang berarti menjadikan sesuatu
sebagai pertanda akan datangnya nasib buruk. Kata takhayul
yang mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli
folklor modern lebih sering menggunakan istilah kepercayaan
rakyat (folk bealif) atau keyakinan rakyat dari takhayul
(supersititous) Karena takhayul berarti hanya hayalan belaka,
sesuatu yang hanya diangan-angan saja, Poerdarminta (Dalam
Mujahidah, 2006: 12).
Takhayul bukan saja mencakup kepercayaan (belief),
melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman
Lebih lanjut Danandjaja memberikan penjelasan sederhana
mengenai takhayul, menurutnya takhayul adalah sesuatu yang
menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan), pada
umumnya di wariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini
dijelaskan dengan syarat-syarat yang terdiri dari tanda-tanda
(signs) atau sebab-sebab (causes) dan di perkirakan akan ada
akibatnya (result) (Danandjaja, 1997: 154).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa takhayul
adalah suatu kepercayaan rakyat yang berupa kebiasaan,
pengalaman, adakalanya berbentuk alat, biasanya diturunkan
melalui lisan, mengandung sebab akibat, dan bersifat gaib serta
kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan atau tidak
logis.
b. Bentuk Takhayul
Takhayul terdiri atas beberapa bentuk atau struktur
yaitu, 1) berupa tanda-tanda (sign), 2) sebab-sebab (cause), dan
3) akibat (result). Sebagai contoh misalnya “ jika terdengar
suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat)”
demikianlah menurut takhayul orang AS. Berikut contoh contoh
takhayul yang menunjukan sebab-akibat “jika kita memandikan
kucing (sebab), maka akan segera turun hujan (akibat)”, ini
takhayul yang ada di Sunda (Danandjaja, 1997:154). Takhayul
1997:154) termasuk takhayul berdasarkan hubungan sebab
akibat menurut hubungan asosiasi. Asosiasi adalah
bayangan-bayangan dalam pikiran yang menimbulkan bayangan-bayangan-bayangan-bayangan
baru. Sehingga terjadi suatu rangkaian bayangan-bayangan.
Sedangkan takhayul yang kedua yaitu perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “Akibat”
yang disebut dengan ilmu gaib.
Hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi misalnya:
1) persamaan waktu, 2) persamaan wujud, 3) totalitas dan
bagian, dan 4) persamaan bunyi sebutan. Selain yang berstruktur
sebab akibat ada juga takhayul yang terdiri atas tiga bagian
yakni terdiri atas tanda (sign), perubahan dari satu keadaan ke
keadaan yang lain (Coversion), dan akibat (result). Contohnya
“jika menjatuhkan dandang nasimu yang sedang kau pergunakan
untuk masak, sehingga isinya tumpah berantakan (tanda),
engkau akan menjadi gila (akibat), namun engkau tidak akan
menjadi gila apabila engkau mengitari dandang itu dalam
keadaan telanjang tubuh sambil menari-nari (konversi)”. Selain
bentuk struktur seperti itu, ada juga struktur yang letak
konvensinya berada di tengah-tengah contohnya seperti “jika
engkau melihat bintang jatuh (tanda), engkau harus
menepuk-nepuk kantungmu sambil berkata ‘penuh-penuh!’ (konversi) dan
mempunyai fungsi yang sama dengan magic atau ilmu gaib
karena merupakan suatu tindakan untuk mengubah sesuatu atau
mencapai sesuatu secara gaib (Dandjaja, 1997: 154-155).
Pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa takhyul
terdiri dari tanda, sebab, akibat dan konversi, sehingga
bentuk-bentuk takhayul dapat berupa sebab-akibat, akibat-sebab,
konversi-akibat, dan tanda akibat.
c. Fungsi Takhayul
Takhayul tentu memiliki fungsi atau kegunaan bagi para
pendukungnya. Dia tidak lahir hanya sebagai kekosongan belaka
namun mengandung manfaat, adapun manfaat dari takhayul itu
antara lain:
1. Sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Hal
ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahluk-mahluk
gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan
yang berasal dari jiwa-jiwa orang mati, manusia takut akan
krisis-krisis dalam hidupnya atau manusia yakin akan
adanya gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan
dikuasai oleh akalnya, manusia percaya akan adanya
kekuatan sakti dalam alam, manusia dihinggapi kesatuan
dalam masyarakatnya, atau manusia mendapat suatu firman
2. Sebagai sistem proyeksi hayalan suatu kolektif yang berasal
dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan
jiwa dalam bentuk mahluk-mahluk gaib.
3. Fungsi yang lain adalah sebagai penjelasan yang dapat
diterima akal suatu folk terhadap gejala alam yang sangat
sukar dimengerti sehingga sangat menakutkan dan dapat
diusahakan penanggulangannya.
4. Untuk menghibur orang yang sedang mengalami musibah
(Danandjaja, 1997:169-170).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi takhayul
adalah sebagai berikut : 1) sebagai penebal emosi keagamaan atau
kepercayaan, 2) sebagai proyeksi khayalan suatu kolektif, 3)
untuk menghibur orang yang sedang mengalami musibah, 4)
sebagai alat untuk mendidik anak atau remaja, 5) dan sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektif.
d. Makna Takhayul
Menurut Wayland D. Hand (dalam Danandjaja,
1984:155-156) jenis takhayul dibagi menjadi empat golongan
besar, di antaranya:
1. Di sekitar lingkungan hidup manusia yang terdiri atas tujuh
tubuh manusia dan obat-obatan rakyat ; rumah dan
pekerjaan rumah tangga ; mata pencaharian dan hubungan
sosial ; perjalanan dan hubungan ; cinta, pacaran, dan
menikah ; kematian dan alat pemakaman.
2. Mengenai alam gaib, kepercayaan rakyat terhadap
tempat-tempat yang di anggap keramat, arwah mahluk halus, dan
alam gaib.
3. Terciptanya alam semesta dan dunia yang terdiri atas
fenomena kosmik ; cuaca, binatang, dan peternakan ;
penangkapan ikan dan berburu ; tanaman dan pertanian.
4. Dan jenis lainnya, seperti tafsir mimpi.
2.2.5 Tinjauan Tentang Bentuk
Bentuk adalah suatu susunan atau rangkaian yang mencakup
pilihan kata, susunan kalimat, jalannya irama, pikiran, perasaan yang
terjelma di dalamnya dan membentuk suatu kesatuan yang tidak
dapat terpisahkan sehingga terbentuknya suatu keindahan, Ali
Syahbana (dalam Muslim. 2011:18). Bentuk mengacu pada struktur.
Struktur berasal dari bahasa inggris “Strukture” yang berarti
2.2.6 Tinjauan Tentang Fungsi
Fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, kegunaan
suatu hal, Depdikbud (dalam Mujahidah, 2009:17). Fungsi
merupakan (1) beban makna satuan bahasa, (2) hubungan antara
satuan-satuan dengan unsur gramatikal, leksikal, atau fonologis
dalam suatu daerah satuan-satuan, (3) penggunaan bahasa untuk
tujuan tertentu, dan (4) peran unsur dalam satuan ujaran dan
hubungannya secara struktural dengan unsur lain (Kridalaksana,
2011:67).
Fungsi budaya adalah penggunaan bahasa untuk tujuan
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan, dan
kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat, Asmi (dalam Septiriana, 2004:11).
2.2.7 Tinjauan Tentang Makna
Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah
yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak
pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,
ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut
akan menjadi mitos.
Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar
yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga
dapat saling dimengerti, Cf, Brice (dalam Septiriana, 2004:11).
Makna menurut Chaer (dalam Ishak, 2009:15) adalah unsur yang
terdapat dalam bahasa (integral) yang mengacu pada refren yang
merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual). Berikut pengertian
makna menurut Ullman (dalam Pateda, 2010:82), makna adalah
hubungan antara nama dengan pengertian.
Jadi, makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia
luar yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat saling
dimengerti, makna juga merupakan sebuah maksud tujuan atau
jenis makna yaitu makna denotasi yang merupakan makna
sebenarnya sesuai kamus dan makna konotasi yang merupakan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah proses keseluruhan yang dipaparkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 2013:4) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah
upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia
dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang
diteliti. Penelitian kualitatif memiliki deskriptif yaitu data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, Jane
Richie (dalam Moleong, 2013:6).
3.2 Informan Penelitian
Informan penelitian ini terdiri dari kaum tua (orang-orang yang
dituakan yang berada di Kecamatan Wawo) dan para kaum muda yang
mengetahui mengenai takhayul sehingga jumlah keseluruhan informan
sebanyak 6 orang (terlampir). Adapun kriteria informan tersebut yaitu :
a.Kaum Tua
2. Sehat jasmani rohani
3. Berusia diatas 35 tahun
4. Mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik dan jelas
5. Bersedia menjadi informan/memberikan jawaban
6. Mengetahui takhayul secara baik
7. Memiliki intelejensi cukup tinggi dan berpendidikan
minimal SD
8. Bersifat sabar, terbuka, ramah, jujur dan tidak terlalu
emosional dan mudah tersinggung
9. Dapat berbahasa Indonesia
b. Kaum Muda
1. Masyarakat asli Bima
2. Sehat jasmani rohani
3. Berusia 15-30 tahun
4. Mampu membaca dan menulis dengan baik
5. Mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik dan jelas
6. Bersedia menjadi informan/memberikan jawaban
7. Mengetahui takhayul pada komunitas setempat
8. Memiliki intelejensi cukup tinggi dan berpendidikan
minimal SD
10.Bersifat sabar, terbuka, ramah, jujur dan tidak terlalu
emosional dan mudah tersinggung
11.Dapat berbahasa Indonesia
3.3 Data
Data dalam penelitian ini adalah data bahasa lisan yang berupa
takhayul yang dituturkan oleh penutur secara turun pada masyarakat
Wawo.
3.4 Sumber Data
Menurut Lofland (dalam Moleong, 2010:157) Sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan, dan data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati atau diwawancara merupakan sumber data utama. Jadi yang
menjadi sumber data dalam penelitian ini yaitu informan-informan yang
dianggap menguasai dan mengetahui takhayul secara baik.
3.5 Metode Pengumpulan Data
MenurutR.D. Jameson (dalam Endraswara, 2009:221) dalam
pemerolehan data penelitian sastra lisan, dilakukan dengan cara: 1)
pengumpulan data yang betul-betul murni maka peneliti perlu membuang
suapan baru yang mungkin ada. 2) membandingkan data-data untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan fenomena dengan etnis lain. 3)
Pemeriksaan unsur kepercayaan dalam sastra lisan tersebut jika ada. 4)
lisan. 5) Mengkaji fungsi sastra lisan tersebut baik bagi individu maupun
kolektif.
Jadi untuk dapat memperoleh data dan informasi yang relevan
tentang takhayul masyarakat Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima peneliti
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan metode yang digunakan dalam tahap
penyediaan data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan
percakapan atau kontak dengan penutur selaku nara sumber (Mahsun,
2012:250).
Wawancara adalah suatu proses Tanya jawab lisan terhadap dua
atau lebih dengan berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat
muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri dari suara
yang disampaikan.
Dalam metode wawancara peneliti juga melayangkan
pertanyaan dalam bentuk lisan kepada informan yang kemudian data
tersebut dikumpulkan dan dianalisis menjadi sebuah data yang lebih
baik. Penanaman metode penyajian data dengan nama metode
wawancara menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring
informal atau data dari responden dengan jumlah responden lebih
kecil, Gunarwan (dalam Muslim 2011:26).Menurut Yatim Riyanto,
yang menghendaki komunitas langsung antara penyelidik dengan
subjek atau resonden(dalam Mujahidah, 2009:26).
Dari uraian di atas dapat diambil suatu rumusan bahwa teknik
wawancara merupakan salah satu metode untuk memperoleh data
yang sekurang-kurangnya ada dua pihak yakni peneliti dan responden
atau orang yang diwawancarai sehingga terjadinya komunikasi.
Peneliti mewawancarai informan yang sifatnya terbuka yakni
wawancara mengenai hal-hal yang menyangkut takhayul masyarakat
setempat. Hasil wawancara dicatat secara sistematis pada saat
berlangsungnya wawancara dengan menggunakan kertas kosong.
b. Observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan terhadap objek yang diteliti, baik pengamatan
secara langsung maupun dengan menggunakan alat bantu (tape
recorder). Metode observasi merupakan metode pengumpulan data
yang menggunakan pengamatan secara langsung terhadap objek
penelitian (takhayul masyarakat Bima). Yang diobservasi yaitu
interaksi bahasa yang terjadi antara peneliti dengan informan dengan
maksud untuk memperoleh data yang valid dan reabel tentang
takhayul masyarakat Bima (Mujahidah,2009: 25).
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
observasi adalah pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan
yang dilihat, di dengar atau singkatnya mengamati suatu kasus secara
sistematis sesuai dengan urutan waktu.
c. Metode Dokumentasi
Meode Dokumentasi yaitu cara mengumpulkan data-data dan
bahan-bahan yang berupa catatan buku, surat kabar, majalah atau
bahan dokumentasi lain yang bersifat tertulis, Arikunto (2011).
Menurut Burhan Bungin (dalam Arikunto, 2011), metode
dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data
histories”. Sedangkan Sugiyanto (dalam Arikunto, 2011) menyatakan
bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang
berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari
seseorang. Jadi metode ini merupakan suatu cara pengumpulan data
yang menghasilkan catatan penting yang berhubungan dengan
masalah yang akan diteliti. Data yang diperoleh haruslah lengkap, sah
dan bukan berdasarkan perkiraan. Dokumentasi yaitu terjun langsung
kelapangan dan mencari data mengenai objek-objek penelitian tesebut
yang berasal dari pihak lain. Berkaitan dengan hal ini, penelitian
mendokumentasikan beberapa data dalam bentuk catatan mengenai
takhayul-takhatul yang ada di Bima khususnya kecamatan Wawo.
3.6 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk
ini instrument yang digunakan untuk mencari jawaban responden atas
pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara, Arikunto (dalam Subhan,
2012: 26). Instrument pengumpulan data dapat dilihat sebagai berikut:
a.Ketika bertemu dengan informan akan dilakukan wawancara,
sebelum mengajukan pertanyaan inti, terlebih dahulu peneliti
menanyakan biodata narasumber. Daftar pertanyaannya sebagai
berikut.
- Apakah anda masyarakat asli Bima ?
- Siapakah nama lengkap anda ?
- Berapa usia anda ?
- Apa pekerjaan anda ?
- Apakah anda mengetahui mengeni takhayul masyarakat Bima ?
- Bagaimanakah contoh takhayul masyarakat Bima yang anda
ketahui?
Jenis kelamin dari narasumber tidak perlu ditanyakan cukup
dari melihat fisik dari narasumber itu sendiri. Selain itu untuk lebih
absahnya penelitian tidak lupa peneliti mencatat tanggal wawancara
dengan narasumber itu dilakukan. (terlampir)
b.Tabel bentuk-bentuk takhayul
Tabel ini menyajikan bentuk-bentuk takhayul yang telah
diklasifikasikan berdasarkan takhayul masyarakat Kecamatan Wawo.
Tabel ini terdiri atas: nomor, bentuk atau pola takhayul dan nama
Berikut contoh tabel tersebut.
Takhayul berpola Sebab-Akibat
Tabel 3.6.1
Takhayul berpola Akibat-Sebab
1.
2.
3.
Takhayul berpola Tanda-Akibat
Tabel 3.6.4
No
Takhayul berpola Tanda-Akibat
Narasumber
1.
2.
3.
c. Tabel makna dan fungsi
Untuk mengetahui makna dan fungsi takhayul dibuat tabel yang
berisi tentang nomor, takhayul, makna, serta fungsi dari takhayul itu.
Untuk lebih jelasnya lihatlah tabel berikut.
No. Takhayul Makna Fungsi
3.7 Metode Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara
sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dimulai dengan
menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari
wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam cacatan lapangan,
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya, Neong
Muhadjir (dalam Muslim, 2011:26). Lanjut, Muhadjir dalam menganalisis
data langkah-langkah yang dilakukan adalah menyusun dalam
satuan-satuan katagorisasi dan terakhir menafsirkan atau memberikan makna.
3.8 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data takhayul masyarakat Kecamatan
Wawo akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menerjemahkan takhayul masyarakat Wawo ke dalam bahasa
Indonesia berdasarkan arti kata perkata
2. Memilah-milah data berdasarkan bentuk takhayul pada masyarakat
Wawo, seperti pola sebab-akibat, akibat-sebab, sebab-akibat dan
konversi, dan pola tanda akibat
3. Menentukan makna-makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam
takhayul masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima
4. Menentukan fungsi-fungsi takhayul masyarakat Wawo dengan
Danandjaja. Adapun fungsi takahyul dan folklor tersebut adalah
sebagai berikut: 1) sebagai penebal emosi keagamaan atau
kepercayaan, 2) sebagai proyeksi hayalan suatu kolektif, 3) untuk
menghibur orang yang sedang mengalami musibah, 4) sebagai alat
untuk mendidik anak atau remaja, 5) dan sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota
kolektif.
3.9 Metode Penyajian Data
Takhayul yang diperoleh dari informan akan diklasifikasikan
berdasarkan kategori atau pola-pola yang membentuk takhayul masyarakat
Wawo seperti pola sebab-akibat, akibat-sebab, sebab-akibat dan konversi,
dan pola tanda-akibat sekaligus juga pemaknaannya. Kemudian takhayul
berbahasa Mbojo yang dicetak miring tersebut akan diartikan ke dalam
bahasa Indonesia dengan penulisan tegak. Setelah itu baru
diinterpretasikan fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk takhayul yang telah diklasifikasikan tersebut disajikan dalam
bentuk tabel yang terdiri atas nomor, contoh takhayul, beserta terjemahan
bebasnya. Selanjutnya untuk pembahasan mengenai fungsi,
takhayul-takhayul yang telah diperoleh akan disajikan dalam beberapa kelompok
fungsi. Adapun fungsi takhayul dan folklor tesebut yaitu; 1) sebagai
penebal emosi keagamaan atau kepercayaan, 2) sebagai proyeksi khayalan
suatu kolektif, 3) untuk menghibur orang yang sedang mengalami
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi
anggota kolektif. Kemudian pembahasan mengenai makna aka disajikan
dalam bentuk tabel dimana akan disajikan takhayul dalam bahasa Mbojo
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Bentuk-Bentuk Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima
Penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 April sampai 30 April
2017, ditemukan 40 takhayul Bima yang masih berkembang di Kecamatan
Wawo. Data didapat dari informan yang telah ditunjuk maupun dari kegiatan
observasi di Kecamatan Wawo. Adapun bentuk-bentuk takhayul yang
ditemukan di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima dikelompokkan dalam
pola-pola sebagai berikut.
4.1.1 Takhayul Berpola Sebab-Akibat
Takhayul berpola sebab-akibat merupakan takhayul yang terdiri
atas dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang sebab atau hal
yang menjadi timbulnya sesuatu. Bentuk kedua menjelaskan tentang
akibat yang merupakan akhir atau hasil dari suatu peristiwa (perbuatan,
keputusan) tentang keadaan yang mendahuluinya. Adapun takhayul
berpola sebab-akibat sebanyak 30 (tiga puluh). Berikut akan dipaparkan
data takhayul masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima yang
memiliki pola sebab-akibat.
1. Wati pehe dompo uhu aima ngadi pede na poro kai umur.
Artinya : Tidak boleh memotong kuku waktu malam hari, nanti tidak
Takhayul tersebut memiliki pola sebab-akibat berdasarkan
hubungan asosiasi yang ditimbulkan karena persamaan waktu dan bunyi
“Wati pehe dompo uhu aima ngadi (Tidak boleh memotong kuku
waktu malam hari)” termasuk ke dalam “sebab” atau suatu lantaran yang menimbulkan suatu peristiwa. Akibat yang ditimbulkan dari
larangan memotong kuku waktu malam hari adalah tidak diberikan
umur yang panjang (cepat meninggal dunia). Jadi, kalimat yang
berbunyi “pede na poro kai umur (Nantitidak diberikan umur yang
panjang/cepat meninggal dunia) termasuk “akibat” yang ditimbulkan dari perbuatan memotong kuku waktu malam hari.
2. Wati pehe maru kai lingga pohu pede na weha kai mu dou dou ne,e
ro rahi.
Artinya : tidak boleh tidur menggunakan bantal guling, nanti pacar atau
suami kita akan diambil oleh orang lain.
Takhayul di atas berpola sebab-akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Kalimat yang
menunjukan sebab pada takhayul di atas adalah kalimat yang berbunyi
“Wati pehe maru kai lingga pohu (Tidak boleh tidur menggunakan
bantal guling)”, sedangkan kalimat yang menunjukan akibat adalah
kalimat yang berbunyi “pede na weha kai mu dou dou ne,e ro rahi
memiliki pola sebab-akibat yang ditimbulkan dari perbuatan manusia
secara sengaja.
3. Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made pede na hengge kai
ana.
Artinya : tidak boleh memandikan bayi ketika ada orang yang
meninggal dunia nanti anaknya akan sakit.
Takhayul di atas memiliki pola yang sama dengan takhayul pada
contoh 2 dan 3 yaitu berpola sebab-akibat. Kalimat yang menunjukan
sebab adalah “Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made (tidak
boleh memandikan bayi ketika ada orang yang meninggal dunia)”
dan yang menunjukan akibat adalah “Pede na hengge kai ana (nanti
anaknya akan sakit)”. Kalimat yang pertama digolongkan ke dalam “sebab” karena dapat menimbulkan keadaan tertentu apabila dilakukan.
Sedangkan kalimat yang kedua dalam takhayul tersebut digolongkan ke
dalam akibat karena merupakan hasil akhir dari suatu peristiwa atau
perbuatan yang sengaja dilakukan oleh manusia.
Adapun bentuk-bentuk takhayul masyarakat Kecamatan Wawo
kabupaten Bima yang memiliki pola sebab-akibat seperti contoh 1,2 dan
3 dapat dilihat pada tabel berikut :
No. Takhayul Arti Harfiah
Sebab Akibat
aima ngadi malam hari nanti hantunya
pede raka kai rahi tua. Kalau masih gadis tidak
boleh bernyanyi di dapur
nanti akan mendapatkan
bisulan pada bagian tubuh.
4. Wati pehe panta ro
karaso rade oru
ura
na tapa ku mai ura. Tidak boleh memasang batu
nisan dan membersihkan
kuburan di kala musim
hujan nanti menunda
ti wara kai arujiki. Tidak boleh mengosongkan
air minum pada ember nanti
tidak mendapatkan rezeki.
6. Andou to,i wti pehe
ngaha talehi janga
ndei sampula kai. Anak yang masih kecil tidak
diperbolehkan memakan
membuatnya bodoh.
7. Wati pehe landa
masa ra mahar kai
wati selama kai mori. Tidak boleh menjual Mas
kawin nanti kehidupan
rumah tangganya tidak
selamat.
8. Wati pehe sapa
mu dou sarumbu
moda kura kai co’i. Tidak boleh melangkahi
badan seseorang nanti
sedikit maharnya.
9. Wati pehe maru
ama sidi
na tula kai arujiki. Tidak boleh tidur diwaktu
pagi hari, nanti rezekinya
tertunda.
10. Wati pehe wi,i piti
pita lingga na,e si
loko
pedere na ncoki kai
nggana.
Orang yang sedang hamil
tidak boleh menyimpan
uang di balik kasur nanti
akan susah melahirkan.
disaat hujan, nanti akan
disambar petir.
12. Dou ma sa,e ro ari
sama mone wati
pehe kanggihi oma
ncao tando. Harus
pede ndei made ulu
kai sabua dou.
Saudara sekandung laki
sama laki tidak boleh
menanam atau membuka
sama dampi
(sama-sama tando
di atau tando ele)
berhadapan. Tetapi harus
berdampingan (sama-sama
menghadap ke barat atau ke
timur).
13. Sampela si weki
wati pehe doho dei
ncai
moda do,o kai labo
jodoh.
Seorang gadis tidak boleh
duduk di depan pintu,
karena nanti tidak akan
mendapat jodoh.
14. Wati pehe maru
wi,i rima ese tuta
pedere wati ndende
kai umu.
Tidak boleh tidur sambil
menaruh tangan di atas
kepala, nanti tidak
na ntoka kai ana. Saat hamil tidak boleh
mengambil air yang tidak
terisi penuh nanti mata
anaknya akan berbentuk
Apabila sudah keluar dari
rumah untuk bepergian
tidak boleh pulang kembali,
nanti apa yang menjadi
akan tercapai.
utang pada malam hari nanti
akan mengurangi rezeki.
atau mengeluarkan bayi di
halaman rumah sebelum
mencapai tujuh hari setelah
masa kelahirannya nanti
akan terus diserang oleh
penyakit.
19. Wati pehe landa
marakani ma leme
aima ngadi
moda wati hina kai
amba.
Tidak boleh menjual
benda-benda tajam pada malam
hari, nanti tidak akan laku
jualannya.
20. Wati pehe turu
hade sawa wunga
na,e loko wei
pede na wari sai ku
lera ana bune lera
sawa.
Tidak boleh membunuh ular
dikala istri sedang hamil
nanti lidah anaknya seperti
lidah ular.
21. Wati pehe nikah
kadua samba,a
doumu sa,e labo
ari
pede wati selamat kai
mori.
Seseorang yang bersaudara
tidak boleh menikah dalam
tahun yang sama nanti
selamat.
sandal di kuburan karena
akan mengganggu
ketenangan mayat di dalam
kubur.
tidak baik dan jelek.
24. Wati pehe ngaha
dei tada ncai uma
wati raka kai jodo. Tidak boleh makan di depan
pintu rumah nanti tidak akan
mendapatkan jodoh.
25. Wati pehe topa/boe
tuta dambe to’i
moda sampula kaina. Tidak boleh memukul
kepala anak kecil, nanti
anak itu akan bodoh.
26. Wati pehe ngaha
samaru
na wou kai timba. Tidak boleh makan sambil
tidur nanti mayat kita akan
bau busuk.
27. Wati pehe doho
teku teme
pede roci kai made
dou matua.
Tidak boleh bertopeng dagu
nanti salah satu dari orang
4.1.2 Takhayul Berpola Akibat-Sebab
Takhayul berpola akibat-sebab merupakan takhayul yang terdiri
dari dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang akibat (result)
dari suatu perbuatan. Bentuk kedua menjelaskan tentang sebab-sebab
(causes) yang ditimbulkan dari akibat perbuatan. Takhayul tersebut
berjumlah empat. Berikut akan dipaparkan data takhayul masyarakat
Kecamatan Wawo yang berpola akibat-sebab.
1. Satunu si wunga lampa, aona wara dou ma ndonta.
Artinya : kalau kaki kita tiba-tiba terbentur batu ketika berjalan berarti
ada orang yang sedang mengingat kita.
Takhayul di atas memiliki pola akibat-sebab yang ditimbulkan
oleh perbuatan yang tidak disengaja oleh manusia. Kalimat yang
menunjukan akibat adalah kalimat pertama yang berbunyi “Satunu si
wunga lampa (kalau kaki tiba-tiba terbentur batu ketika berjalan)”
termasuk dari pola akibat. Sedangkan kalimat kedua berbunyi “aona
wara dou ma ndonta (berarti ada orang yang sedang mengingat
kita)” termasuk sebab. Orang yang tiba-tiba terbentur batu kakinya ketika berjalan disebabkan karena ada orang yang sedang
mengingatnya.
2. Wunga si na,e loko ntuwu ngaha wua haju sisa panihi, loa kai gaga
pahu ana.
Artinya : Ketika sedang hamil sering-sering mengonsumsi buah-buahan
Takhayul di atas memiliki pola akibat-sebab yang ditimbulkan
oleh perbuatan yang disengaja oleh manusia. Kalimat yang menunjukan
akibat adalah kalimat pertama yang berbunyi “Wunga si na,e loko
ntuwu ngaha wua haju sisa panihi (Ketika sedang hamil
sering-sering mengonsumsi buah-buahan sisa makan kelelawar)” termasuk
dari pola akibat. Sedangkan kalimat kedua berbunyi “loa kai gaga
pahu ana (supaya anaknya cantik atau ganteng)” termasuk sebab.
Adapun bentuk-bentuk takhayul masyarakat Kecamatan Wawo
Kabupaten Bima yang memiliki pola seperti uraian no 1 dan 2 adalah
sebagai berikut :
No. Takhayul Arti Harfiah
Akibat Sebab
1. Lampa si dei doro kani wari
baju
baida santuda. Ketika berjalan
4.1.3 Takhayul Berpola Konversi-Akibat
Takhayul berpola konversi-akibat merupakan takhayul yang
terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang konversi
(tindakan untuk mengubah sesuatu). Bentuk kedua menjelaskan tentang
akibat yang ditimbulkan dari konversi tersebut. Bentuk takhayul
masyarakat Kecamatan Wawo yang berpola konversi akibat dapat
diuraikan dalam satu data berikut :
Dambe to’i sawatipu upampuru upa naina pabuadi boru wa’u
honggona, baiba mpa’a henggena.
Artinya : Anak kecil sebelum berusia empat puluh empat harinya
harus dipotong rambutnya supaya tidak sakit-sakitan.
Takhayul di atas memiliki pola konversi-akibat. Kalimat
yang menunjukan konversi adalah kalimat yang berbunyi “Dambe
to’i sawatipu upampuru upa naina pabuadi boru wa’u honggona
(anak kecil sebelum berusia empat puluh empat harinya harus dipotong rambutnya)”. Sedangkan yang menunjukan akibat
adalah kalimat yang berbunyi “baiba mpa’a henggena (supaya
tidak sakit-sakitan)”. Kalimat pertama digolongkan ke dalam pola konversi karena merupakan suatu tindakan untuk mengubah
sesuatu menjadi hal yang lebih baik. Sedangkan kalimat yang
kedua merupakan akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh kalimat
4.1.4 Takhayul Berpola Tanda-Akibat
Takhayul masyarakat Kecamatan Wawo ada juga yang berpola
tanda-akibat. Pola ini terdiri dari dua bentuk. Bentuk yang pertama
menjelaskan tentang tanda-tanda suatu kejadian. Bentuk yang kedua
merupakan akibat yang timbul dari tanda-tanda suatu kejadian tersebut.
Pola takhayul ini berjumlah lima. Untuk lebih jelasnya berikut akan
dipaparkan di bawah ini.
1. Eli si deke dei sonco doro aona wara mai ura.
Artinya : Apabila ada tokek yang berbunyi di puncak gunung pertanda
akan datang hujan.
Takhayul di atas memiliki pola tanda-akibat. Kalimat yang
menunjukan takhayul tersebut terdiri dari tanda adalah kalimat yang
berbunyi “Eli si deke dei sonco doro (apabila ada tokek yang
berbunyi di puncak gunung)”. Bunyi tokek di puncak gunung
merupakan tanda karena dapat menjadi suatu bukti atau petunjuk
tentang akan datang hujan. Sedangkan kalimat yang menunjukan akibat
adalah kalimat yang berbunyi “aona wara mai ura (pertanda akan
2. Warasi kawowo afi wunga mbako ro lowi aona wara dou ma rongga.
Artinya : Kalau ada api yang berhembus ketika sedang memasak
pertanda akan ada tamu yang datang.
Takhayul di atas juga memiliki pola yang sama dengan contoh
takhayul nomor satu yaitu berpola tanda-akibat. Kalimat yang berbunyi
“Warasi kawowo afi wunga mbako ro lowi (Kalau ada api yang
berhembus ketika sedang memasak)” termasuk ke dalam tanda atau
petunjuk. Sedangkan kalimat yang berbunyi “Aona wara dou ma
rongga (pertanda akan ada tamu yang datang)” termasuk akibat
yang ditimbulkan oleh tanda. Jadi dapat disimpulkan takhayul di atas
memiliki pola tanda-akibat.
Adapun contoh-contoh takhayul masyarakat kecamatan Wawo
yang memiliki pola yang sama dengan contoh di atasdapat dilihat pada
tabel di bawah ini
No. Takhayul Arti Harfiah
Tanda Pola Akibat
1. Elisi nasi Sanggodo aima ngadi aona mboto isi
dana.
Kalau ada suara
burung jagal
pada malam hari
pertanda hasil
2. Nifi si ha,a ba linta wara dou ma
3. Warasi ringa eli garaha di butu
uma
4.2 Makna Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima
Makna yang terkandung dalam takhayul masyarakat Kecamatan
Wawo Kabupaten Bima lebih banyak didominasi oleh makna falsafah
kehidupan untuk mengatur dan mengawasi setiap norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Makna tersebut dapat berupa nilai-nilai yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, dan
hubungan manusia dengan tuhan. Selain itu, makna yang terkandung dalam
takhayul masyarakat Kecamatan Wawo tidak terlepas dari unsur pembentuk
takhayul tersebut atau hubungan asosiasinya. Adapun makna takhayul
1) Wati pehe dompo uhu aima ngadi pede na poro kai umur.
Artinya : Tidak boleh memotong kuku waktu malam hari, nanti
tidak diberikan umur yang panjang.
Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memotong kuku
waktu malam hari. Menurut takhayul tersebut apabila kita memotong
kuku waktu malam hari maka tidak diberikan umur yang panjang (akan
cepat meninggal dunia). Makna yang ingin disampaikan dalam takhayul
di atas adalah dikhawatirkan orang tersebut tidak bisa melihat sehingga
jarinya teriris karena pengaruh cahaya gelap. Sehingga dikatakan tidak
diberikan umur yang panjang.
2) Wati pehe maru kai lingga pohu pede na weha kai mu dou dou ne,e ro
rahi.
Artinya : Tidak boleh tidur menggunakan bantal guling, nanti pacar
atau suami kita akan diambil oleh orang lain.
Menurut takhayul tersebut tidur menggunakan bantal guling
dapat menyebabkan pacar atau suami kita akan diambil oleh orang lain.
Makna yang disampaiakan dalam takhayul ini adalah karena yang
sebenarnya bantal guling bukan alas kepala sehingga kalau kita tidur
menggunakan bantal guling kurang etis penempatannya. Bantal guling
3) Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made pede na hengge kai
ana.
Artinya : Tidak boleh memandikan bayi ketika ada orang (tetangga)
yang meninggal dunia nanti anaknya akan sakit.
Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memandikan
bayi ketika ada orang (tetangga) yang meninggal dunia. Jika kita
memandikan bayi ketika ada orang (tetangga) yang meninggal dunia
diasosiasikan dengan bayi tersebut akan sakit. Sebenarnya bukan
melarang kalau kita mendengar tetangga yang meninggal, kita harus
melayat dulu atau menghormati ketika ada tetangga yang meninggal.
Makna yang ingin disampaikan pada takhayul di atas adalah agar
hendaknya menghormati ketika ada tetangga yang sedang berduka.
4) Wati pehe kafufi aima ngadi na mai kai gogo .
Artinya : Tidak boleh bersiul pada malam hari nanti hantunya akan
datang menghampiri kita.
Takhayul tersebut menjelaskan larangan tentang bersiul pada
pada malam hari karena akan dihampiri oleh hantu. Makna yang
terkandung dalam takhayul tersebut adalah dari segi kesenian, bersiul
pada malam hari dibolehkan jika seandainya bersiul tak kala orang lain
ingin menghayati siulan yang mengandung nilai seni. Tetapi larangan
bersiul pada malam hari yaitu kurang etis karena dapat mengganggu
orang saat tidur. Waktu malam hari merupakan waktu orang untuk
5) Wati pehe rawa dei riha sampela si weki pede raka kai rahi tua.
Artinya : Kalau masih gadis tidak boleh bernyanyi di dapur nanti
akan mendapatkan suami yang tua.
Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan bernyayi di
dapur kalau masih gadis karena akan berjodoh dengan suami yang tua.
Makna yang terkandung dalam takhayul ini adalah karena ketika sedang
memasak harus benar-benar serius, takutnya kalau kita sambil bernyanyi
nanti secara tidak sengaja liurnya akan tercampur atau masuk ke dalam
masakan kita.
6) Wati pehe paki sia pede na mposo kai sarumbu.
Artinya : Tidak boleh membuang garam nanti menimbulkan bisulan
pada bagian tubuh.
Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan membuang
garam karena dapat mengakibatkan bisulan pada bagian tubuh. Makna
yang terkandung dalam takhayul tersebut adalah Membuang sesuatu
yang menjadi kebutuhan kita itu dianggap sebagai perbuatan mubazir,
kalau kita membuang garam itu artinya kita sudah melakukan perbuatan
yang mubazir karena garam merupakan kebutuhan pokok sebagai
pelengkap bumbu dapur.
7) Wati pehe panta ro karaso rade oru ura na tapa ku mai ura
Artinya : Tidak boleh memasang batu nisan dan membersihkan
Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memasang batu
nisan dan membersihkan kuburan pada musim hujan karena
menyebabkan menunda kedatangan hujan (menyebabkan kemarau
panjang). Makna yang terkandung dalam takhayul tersebut adalah Kalau
membersihkan kuburan pada musim hujan nanti akan sia-sia, rerumputan
akan semakin tumbuh karena disirami terus oleh air hujan. kalau
memasang batu nisan ketika musim hujan khawatirnya ketika hujan deras
nanti batu nisannya ikut terbawa arus.
8) Wati pehe kakara oi nono dei muja(embe) ti wara kai arujiki.
Artinya : Tidak boleh mengosongkan air minum pada ember nanti
tidak mendapatkan rezeki.
Takhayul tersebut menjelaskan larangan tentang mengosongkan
air minum pada ember. Apabila mengosongkan air minum pada ember
maka akibatnya tidak mendapatkan rezeki. Makna takhayul tidak
diperbolehkan mengosongkan air minum pada ember karena kalau air
minum tidak ada atau kosong rasa kelegaan setelah makan akan
terhambat atau tidak ada rasa kepuasan. Selain itu juga akan dipandang
sebagai orang yang malas bekerja sehingga dapat mempengaruhi rezeki.
9) Andou to,i wti pehe ngaha talehi janga ndei sampula kai.
Artinya : Anak yang masih kecil tidak diperbolehkan memakan
tembolok ayam nanti akan membuatnya bodoh.
Tembolok ayam merupakan bagian dari organ pencernaan pada