• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA - Repository UNRAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA - Repository UNRAM"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

TAKHAYUL BIMA :

ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu

(S1) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

Oleh

RUHIL

NIM E1C 013 040

PROGRAM STUDI BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

(2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 623873 Fax. 634918 Mataram 83125

HALAMAN PERSETUJUAN

TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal,. . .Juni 2017

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Cedin Atmaja, M.Si. Drs. Syahbuddin, M.Pd.

NIP. 195612311983011004 NIP. 195712311985021001

 

Mengetahui :

Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah,

(3)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 623873 Fax. 634918 Mataram 83125

HALAMAN PENGESAHAN

TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA

Skripsi ini telah diuji dan disahkan pada tanggal…. Juni 2017 oleh tim penguji

Dewan Penguji

Ketua,

Drs. Cedin Atmaja, M. Si. NIP 195612311983011004

Sekretaris, Anggota,

Drs. Syahbuddin, M. Pd. Drs. Mar’i, M.Si.

NIP 195712311985021001 NIP196412311993031014

 

Mengetahui :

(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Berangkat dengan penuh keyakinan.

Berjalan dengan penuh keikhlasan.

Istiqomah dalam menghadapi cobaan.

Persembahan

Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta. Bapak

Arsyad dan ibu Nurmi yang selalu memberikan motivasi serta semangat untuk

selalu berjuang menggapai cita-cita. Terimakasih atas segala jerih upaya,

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Takhayul Bima : Analisis Bentuk, Fungi dan Makna”.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada baginda nabi besar

Muhammad SAW.

Ada banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi

ini, namun berkat bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak

kendala-kendal tersebut bisa diatasi. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini,

penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat.

1. Dr. H. Wildan, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Mataram.

2. Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., ketua jurusan

Pendidikan Bahasa dan Seni.

3. Drs. I Nyoman Sudika, M. Hum.,Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.

4. Murahim, S,Pd.,selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Drs. Cedin Atmaja, M.Si. Selaku dosen pembimbing pertama.

6. Drs. Syahbuddin, M.Pd. Selaku dosen pembimbing kedua.

7. Bapak dan Ibu dosen yang telah membagi ilmunya selama penulis

menimba ilmu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(6)

8. Teman-teman Bastrindo angkatan 2013 yang selama ini

menjadi teman berbagi selama penulis berada di Universitas

Mataram.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun dari semua pihak demi kualitas yang lebih baik di masa

mendatang. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pembaca pada

umumnya dan penulis pada khususnya.

Mataram, Juni 2017

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

KETERANGAN TANDA-TANDA YANG DIGUNAKAN ... x

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1 Penelitian Relevan ... 5

2.2 Landasan Teori ... 6

2.2.1 Pengertian Folklor ... 6

2.2.2 Ciri-ciri Folklor ... 8

2.2.3 Genre Folklor ... 10

(8)

a Pengertian Takhayul ... 12

b Bentuk Takhayul ... 13

c Fungsi Takhayul ... 15

d Makna Takhayul ... 16

2.2.5 Tinjauan Tentang Bentuk ... 17

2.2.6 Tinjauan Tentang Fungsi ... 18

2.2.7 Tinjauan Tentang Makna ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Jenis Penelitian ... 21

3.2 Informan Penelitian ... 21

3.3 Data ... 23

3.4 Sumber Data ... 23

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 23

a Wawancara ... 24

b Observasi ... 25

c Metode Dokumentasi ... 26

3.6 Instrumen Pengumpulan Data ... 26

3.7 Metode Analisis Data ... 30

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.9 Metode Penyajian Data ... 31

BAB IV PEMBAHASAN ... 33

(9)

4.1.1 Takhayul Berpola Sebab-Akibat ... 33

4.1.2 Takhayul Berpola Akibat-Sebab ... 41

4.1.3 Takhayul Berpola Konversi-Akibat ... 43

4.1.4 Takhayul Berpola Tanda-Akibat ... 44

4.2 Makna Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima ... 46

4.3 Fungsi Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima ... 64

4.3.1 Sebagai Sistem Proyeksi Hayalan Kolektif ... 65

4.3.2 Sebagai Penebal Emosi Keagamaan atau Kepercayaan ... 75

4.3.3 Sebagai Alat Pendidik Anak atau Remaja ... 78

4.3.4 Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Agar Norma-Norma Masyarakat Selalu Dipatuhi Aggota Kolektif ... 82

BAB V PENUTUP ... 84

5.1 Simpulan ... 84

5.2 Saran ... 85

(10)

KETERANGAN TANDA-TANDA YANG DIGUNAKAN Pada umumnya masyarakat kecamatan Wawo menggunakan bahasa

Mbojo (Bima) sebagai bahasa sehari-hari. Untuk membaca dan memahami

bahasa Mbojo, terlebih dahulu harus diketahui ejaan bahasa Mbojo. Ejaan

bahasa mbojo sama dengan ejaan bahasa Indonesia. Hanya ada beberapa bunyi

khas yang perlu diketahui yaitu :

a. Setiap konsonan akhir pada sebuah kata pasti dihilangkan. Pada umumnya

bahasa Bima (tidak berakhir dengan konsonan pada kata) kecuali pada

para penutur yang berpendidikan akibat pengaruh bahasa lain.

Penghilangan konsonan akhir ini terjadi pada nama seseorang yang

memiliki konsonan pada akhir kata dan juga terdapat pada kata-kata

serapan dari bahasa kedua atau bahasa lain. Dalam bahasa Bima untuk

setiap nama yang diakhiri oleh konsonan, akan terjadi penghilangan

fonem. Akan tetapi, apabila sebuah nama diakiri oleh vocal maka, tidak

ada penghilangan fonem akhir, misalnya nama Amri akan tetap dilafalkan

Amri. Perhatikan contoh di bawah ini :

 Firdaus akan menjadi Firdau, konsonan (s) dihilangkan.

 Ahmad akan menjadi Ahma, konsonan (d) dihilangkan.

 Bakar akan menjadi Baka, konsonan (r) dihilangkan.

b. Setiap nama panggilan kepada yang lebih tua (di lia kai atau panggilan

penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem.

Perhatikan contoh di bawah ini :

(11)

Bakar dipanggil Beko,

Hasan dipanggil Heso,

c. Terdapat dua buah konsonan laminobilabial dan laminobilabial implosif

yang berbeda dengan /b dan d/. Keduanya dilambangkan dengan /b dan d/.

Konsonan laminobilabial merupakan konsonan yang terjadi atas

penggabungan dari lamino dan bilabial yang pada proses artikulasinya ,

lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini

daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan /d/, sedangkan

bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir

bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah

bunyi /b/, /p/, dan m/. Sedangkan laminobilabial implosif merupakan

penggabungan dari dua konsonan; lamino yaitu konsonan yang terjadi

pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi

seperti bunyi /t/ dan /d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi

pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang

termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan m/. Jadi, konsonan

laminobilabial implosif artinya bunyi hambat yang terjadi dengan aliran

udara yang diisap, seperti bunyi /b/ dan /d/. Perhatikan contoh di bawah

ini.

 Kata /baba/ ‘orang Cina peria; /baba/ ‘kakak atau abang’, sedangkan

/baba/ ‘mengikat seluruh tubuh’.

 Kata /didi/ ‘memesan’; sedangkan /didi/ ‘menekan, membenam, dan lusa

(12)

d. Terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata.

Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi. Oleh karena itu,

dalam bahasa Bima kluster ini biasanya selalu muncul pada awal kata yang

berbeda dengan bahasa lain yang kadang muncul di awal kata, di tengah

kata, maupun di akhir kata. Perhatikan contoh di bawah ini.

mb seperti pada mbai artinya ‘busuk’

nc seperti pada ncai artinya ‘jalan’

nd seperti pada ndore artinya ‘berbaring’

ngg seperti pada nggala artinya ‘bajak’

(13)

TAKHAYUL BIMA : ANALISIS BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA ABSTRAK

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima (2) Bagaimanakah fungsi takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima (3) Bagaimanakah makna takhayul yang terdapat pada masyarakat Bima. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan : (1) Bentuk takhayul pada masyarakat Bima. (2) Fungsi takhayul pada masyarakat Bima (3) Makna takhayul pada masyarakat Bima. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif , yaitu yang terdiri dari populasi sampel, metode pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Berdasarkan hasil pengumpulan data maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut : (1) Bentuk-bentuk takhayul masyarakat kecamatan Wawo yaitu pola sebab-akibat, akibat-sebab, konversi-akibat, dan tanda-akibat (2) Fungsi-fungsi takhayul masyarakat kecamatan Wawo yaitu untuk mempertebal emosi keagamaan atau kepercayaan, sebagai sistem proyeksi khayalan sekelompok masyarakat, sebagai alat untuk mendididk anak atau remaja dan sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi anggota kolektif (3) Makna-makna takhayul masyarakat kecamatan Wawo banyak yang ditimbulkan dari hubungan asosiasi. Selain itu makna yang terkandung lebih banyak didominasi oleh makna falsafah kehidupan untuk mengatur dan mengawasi setiap norma yang berlaku dalam masyarakat.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas dari suatu daerah

yang juga merupakan jati diri bangsa yang mencerminkan segala aspek

kehidupan yang berada di dalamnya. Kebudayaan daerah merupakan salah

satu dari kebudayaan nasional. Kebudayaan ini diwariskan turun menurun

dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan manusia kebudayaan

memegang peranan penting, karena kebudayaan tidak berbentuk atau

tumbuh dengan sendirinya namun berlangsung melalui suatu proses.

Untuk itu, sebagai wujud kecintaan terhadap budaya bangsa sangat

diperlukan kesadaran tinggi setiap individu di masyarakat untuk

mempertahankan dan melestarikan warisan kebudayaan tersebut.

Salah satu warisan kebudayaan yang sangat syarat dengan

nilai-nilai norma baik norma agama, adat istiadat dan sebagainya adalah folklor.

Folklor merupakan bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang belum

begitu populer di kalangan banyak orang. Oleh karena itu, terhadap folklor

perlu dilakukan usaha untuk menggali dan mengembangkannya karena

folklor merupakan suatu kekayaan leluhur bangsa kita dan di dalamnya

terkandung nilai-nilai moral yang mencerminkan kepribadian dari bangsa

tersebut.

Salah satu folklor yang menjadi kekayaan budaya lokal adalah

(15)

Kecamatan Wawo kabupaten Bima. Takhayul biasanya disebarkan secara

lisan. Persebaran yang bersifat lisan itu memungkinkan takhayul akan

dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Apabila masyarakat Bima sedang

menghadapi nilai-nilai baru yang dibawa oleh kemajuan dunia pariwisata

dan globalisasi dimungkinkan takhayul tersebut bisa ditinggalkan.

Selain itu, takhayul mengandung nilai filosofis yang bermanfaat

bagi kehidupan masyarakat pendukungnya, misalnya yang berkaitan

dengan pendidikan moral. Nilai takhayul ini dapat digunakan sebagai

media pendidikan karakter pada masyarakat setempat. Nilai-nilai yang

terdapat dalam takhayul itu perlu dilestariakan oleh generasi penerus

sebagai modal dasar untuk menghadapi masuknya nilai-nilai negatif

kebudayaan asing. Bisa dikatakan nilai yang terkandung dalam takhayul

dapat dijadikan sebagai filter dan temeng yang bisa menjaga budaya lokal

sehingga tidak terkikis oleh budaya yang datang dari luar. Lebih-lebih di

era globalisasi dan informasi sekarang ini budaya-budaya asing tak

terbendung lagi pengaruhnya disetiap budaya.

Takhayul perlu dilestarikan karena merupakan salah satu khazanah

budaya bangsa Indonesia yang akan mengajarkan kita tentang arti sebuah

tradisi, kebudayaan, dan yang terpenting adalah takhayul mengajarkan kita

rasa tanggung jawab terhadap identitas daerah. Oleh karena itu perlu

diadakan penelitian tentang takhayul dalam rangka melestarikan dan

(16)

Wawo belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini

merupakan penelitian pertama tentang takhayul yang terdapat di

kecamatan tersebut. Hal-hal inilah yang mendorong peneliti untuk

melakukan penelitian dengan judul “Takhayul Bima : Analisis Bentuk,

Fungsi dan Makna.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan masalahnya

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk takhayul yang terdapat pada masyarakat

Bima?

2. Bagaimanakah fungsi takhayul yang terdapat pada masyarakat

Bima?

3. Bagaimanakah makna takhayul yang terdapat pada masyarakat

Bima?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah mendeskripsikan :

1. Bentuk takhayul pada masyarakat Bima.

2. Fungsi takhayul pada masyarakat Bima.

(17)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan peneliti tentang folklor lisan, khususnya mengenai

takhayul, memperkaya pengetahuan dalam mempelajari

seluk-beluk folklor dan menambah khazanah budaya bangsa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat

menarik minat terutama generasi muda untuk menjadikan takhayul

sebagai media pendidikan karakter serta mempertahankan adat dan

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

Penelitian tentang sastra daerah khususnya sastra lisan, telah cukup

banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Adapun penelitian satra lisan

yang pernah dilakukan antara lain:

Ainun Dwi Lestari ( 2015) menjelaskan keberadaan Ama Samawa

sebagai salah satu sastra lisan Sumbawa yang terancam punah dan

mengalami pengikisan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

bentuk, fungsi dan makna Ama Samawa di Desa Jorok Kecamatan Untir

Iwis Kabupaten Sumbawa.

Penelitian mengenai bentuk, makna dan fungsi juga pernah

dilakukan oleh Adriani (2010) dengan judul “Bentuk, Makna, dan Fungsi

Nggahi Ncemba dalam Masyarakat Donggo”. Nggahi Ncemba

merupakan salah satu jenis sastra lisan (folklor) yang tumbuh dan

berkembang pada masyarakat Donggo. Penelitian ini memperoleh

sebanyak 20 Nggahi Ncemba yang dilihat dari bunyi, diksi, tema, dan

amanat. Disampin itu juga bentuk dalam penelitian ini tidak terlepas dari

makna dan fungsi dalam masyarakatnya. Dalam penelitian ini fungsi

Nggahi Ncemba dapat dibagi menjadi dua yaitu sebagai media

pendidikan dan sebagai alat untuk memperoleh gengsi.

Selanjutnya, penelitian mengenai takhayul juga pernah dilakukan

(19)

Makna Takhayul Masyarakat Peringga Jurang Kabupaten Lombok Timur

dan Relevansinya Terhadap Pendidikan di SMAN 1 Montong Gading”.

Selain itu, penelitian mengenai takhayul juga pernah dilakukan oleh

Anugrah Ilahi (2008), peneliti menyimpulkan bahwa takhayul

masyarakat Paok Motong memiliki struktur : a) Akibat, b)

Sebab-Akibat dan Konversi, c) Sebab-Akibat-Sebab, d) Konversi-Sebab-Akibat.

Dari beberapa penelitan di atas, penelitian mengenai Takhayul

Bima : Analisis bentuk, fungsi, dan makna belum pernah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha untuk

meneliti bentuk, fungsi, dan makna takhayul Bima khususnya di

kecamatan Wawo.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Folklor

Folkloris Amerika, Dundes (dalam Endrasswra, 2013:20)

mendefinisikan folklor secara etimologis. Menurut dia, folklor

berasal dari kata folk dan lore. Dari kedua kata itu berarti ada

ketergantungan satu sama lain, sehingga membentuk makna folklor.

Folk, merujuk pada kelompok populasi. Folk juga berarti kolektif.

Kolektif tersebut disebut juga vulgus in populo, yang sering kontras

dengan istilah masyarakat. Masyarakat dimaknai sebagai kolektif

yang memiliki keberadaban (civilization). Folk dipandang tak

(20)

Istilah semacam ini, sebenarnya sudah tidak begitu relevan. Oleh

karena di era sekarang, folk telah berkembang ke arah beradab.

Sedangkan loredijelaskan oleh Dundes, (dalam Endraswara

2013:20) tidak dijelaskan lebih jauh. Lore adalah sebuah tradisi folk.

Lore merupakan representasi keinginan folk yang ekspresif. Di

dalamnya terdapat seni, sastra, budaya, dan segala tata kelakuan

folk. Semakin tinggi tingkat berpikir folk, berarti folklor mereka

juga semakin canggih. Dengan kata lain, folklor dapat dimaknai

sebagai kekayaan tradisi, sastra, seni, hukum, perilaku, dan apa saja

yang dihasilkan oleh folk secara kolektif. Folklor memiliki jiwa dan

milik bersama. Folklor pun merupakan ekspresi masyarakat

berbudaya. Jadi, folklor, tradisi, dan kolektivitas tak bisa

dipisah-pisahkan. Ketiganya menyatu dalam diri folklor.

Definisi folklor di kemukakan oleh Danandjaja adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan di wariskan

turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional

dan versi yang berbeda, baik dalam lisan maupun contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja,

1997:2). Lebih lanjut Yadnya (dalam Endrasswara, 2013: 21-22)

menjelaskan folklor adalah bagian kebudayaan yang bersifat

tradisional, tidak resmi (unofficial), dan nasional. Folklor mencakup

semua pengetahuan nilai tingkah laku, asumsi, perasaan, dan

(21)

praktek-praktek kebiasaan. Ciri dari suatu bentuk adalah foklor itu sendiri

memiliki fungsi bagi sejumlah jenis folklor sangat penting sebagai

menerapkan tekanan serta kontrol sosial.

Definisi foklor secara keseluruhan adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif mencakup semua pengetahuan nilai

tingkah laku, asumsi, perasaan, dan kepercayaan yang tersebar dan

diwarisakan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara

tadisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai

dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat dan memiliki

fungsi yang sangat penting sebagai control sosial.

2.2.2 Ciri-ciri Folklor

Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan

lainnya, harus diketahui ciri utama folklor. Folklor memiliki

ciri-ciri sebagai berikut :

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan,

yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau

dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat

pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk

relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara

kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit

(22)

3. Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang

berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut

ke mulut, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman,

sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi

(penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan

folklor), folklor dengan mudah mengalami perubahan.

Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian

luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak

diketahui oleh orang lain.

5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.

Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise

seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan

kecantikan seorang gadis, dan lain-lain.

6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu

kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai

alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan

terpendam.

7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang

tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku

bagi folklor lisan dan sebagian lisan.

8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu.

(23)

lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa

memilikinya.

9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga

seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat

dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan

proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

(Danandjaja, 1997:3).

2.2.3 Genre Folklor

Genre folklor adalah keragaman folklor. Genre akan memuat

aneka macam bentuk folklor, (Endraswara, 2013:22). Menurut Jan

Harlod Brunvand (dalam Danandjaja, 1997:21) folklor dapat

digolongkan ke dalam tiga kelompk besar berdasarkan tipenya,

yaitu:

1. Folklor lisan (verbal folklore)

Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang

murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke

dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk

speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title

kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa,

pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki;

(24)

rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian

rakyat (Danandjaja, 1997:22).

2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya

merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Sebagai

contoh kepercayaan rakyat yang oleh orang “Modern” sering

kali disebut dengan takhayul. Takhayul terdiri atas pernyataan

yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang

dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang

Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari

gangguan hantu. Takhayul yang merupakan folklor sebagian

lisan biasanya berbentuk suatu peristiwa yang terjadi pada

binatang. Selain itu, bentuk folklor yang tergolong dalam

sebagian lisan adalah permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat,

upacara, dan pesta rakyat (Danandjaja, 1997:22).

3. Folklor bukan lisan (non verba folklore)

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya

bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara

lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua kelompok

besar yakni yang material dan yang bukan material.

Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain: arsitektur

rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh

(25)

bukan material adalah gerak isyarat tradisional (gesture) bunyi

isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat (Danandjaja,

1997:22).

2.2.4 Tinjauan Tentang Takhayul

a. Pengertian Takhayul

Kepercayaan rakyat yang disebut dengan “takhayul”

adalah kepercayaan yang oleh orang berpendidikan barat

dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika,

sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan

(Danandjaja: 1997: 153). Kata ”takhayul” merupakan serapan

dari kata bahasa Arab. Takhayul dalam istilah bahasa Arab

dikenal dengan tathayyur yang berarti menjadikan sesuatu

sebagai pertanda akan datangnya nasib buruk. Kata takhayul

yang mengandung arti merendahkan atau menghina, maka ahli

folklor modern lebih sering menggunakan istilah kepercayaan

rakyat (folk bealif) atau keyakinan rakyat dari takhayul

(supersititous) Karena takhayul berarti hanya hayalan belaka,

sesuatu yang hanya diangan-angan saja, Poerdarminta (Dalam

Mujahidah, 2006: 12).

Takhayul bukan saja mencakup kepercayaan (belief),

melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman

(26)

Lebih lanjut Danandjaja memberikan penjelasan sederhana

mengenai takhayul, menurutnya takhayul adalah sesuatu yang

menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan), pada

umumnya di wariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini

dijelaskan dengan syarat-syarat yang terdiri dari tanda-tanda

(signs) atau sebab-sebab (causes) dan di perkirakan akan ada

akibatnya (result) (Danandjaja, 1997: 154).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa takhayul

adalah suatu kepercayaan rakyat yang berupa kebiasaan,

pengalaman, adakalanya berbentuk alat, biasanya diturunkan

melalui lisan, mengandung sebab akibat, dan bersifat gaib serta

kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan atau tidak

logis.

b. Bentuk Takhayul

Takhayul terdiri atas beberapa bentuk atau struktur

yaitu, 1) berupa tanda-tanda (sign), 2) sebab-sebab (cause), dan

3) akibat (result). Sebagai contoh misalnya “ jika terdengar

suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat)”

demikianlah menurut takhayul orang AS. Berikut contoh contoh

takhayul yang menunjukan sebab-akibat “jika kita memandikan

kucing (sebab), maka akan segera turun hujan (akibat)”, ini

takhayul yang ada di Sunda (Danandjaja, 1997:154). Takhayul

(27)

1997:154) termasuk takhayul berdasarkan hubungan sebab

akibat menurut hubungan asosiasi. Asosiasi adalah

bayangan-bayangan dalam pikiran yang menimbulkan bayangan-bayangan-bayangan-bayangan

baru. Sehingga terjadi suatu rangkaian bayangan-bayangan.

Sedangkan takhayul yang kedua yaitu perbuatan manusia yang

dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “Akibat”

yang disebut dengan ilmu gaib.

Hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi misalnya:

1) persamaan waktu, 2) persamaan wujud, 3) totalitas dan

bagian, dan 4) persamaan bunyi sebutan. Selain yang berstruktur

sebab akibat ada juga takhayul yang terdiri atas tiga bagian

yakni terdiri atas tanda (sign), perubahan dari satu keadaan ke

keadaan yang lain (Coversion), dan akibat (result). Contohnya

“jika menjatuhkan dandang nasimu yang sedang kau pergunakan

untuk masak, sehingga isinya tumpah berantakan (tanda),

engkau akan menjadi gila (akibat), namun engkau tidak akan

menjadi gila apabila engkau mengitari dandang itu dalam

keadaan telanjang tubuh sambil menari-nari (konversi)”. Selain

bentuk struktur seperti itu, ada juga struktur yang letak

konvensinya berada di tengah-tengah contohnya seperti “jika

engkau melihat bintang jatuh (tanda), engkau harus

menepuk-nepuk kantungmu sambil berkata ‘penuh-penuh!’ (konversi) dan

(28)

mempunyai fungsi yang sama dengan magic atau ilmu gaib

karena merupakan suatu tindakan untuk mengubah sesuatu atau

mencapai sesuatu secara gaib (Dandjaja, 1997: 154-155).

Pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa takhyul

terdiri dari tanda, sebab, akibat dan konversi, sehingga

bentuk-bentuk takhayul dapat berupa sebab-akibat, akibat-sebab,

konversi-akibat, dan tanda akibat.

c. Fungsi Takhayul

Takhayul tentu memiliki fungsi atau kegunaan bagi para

pendukungnya. Dia tidak lahir hanya sebagai kekosongan belaka

namun mengandung manfaat, adapun manfaat dari takhayul itu

antara lain:

1. Sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Hal

ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahluk-mahluk

gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan

yang berasal dari jiwa-jiwa orang mati, manusia takut akan

krisis-krisis dalam hidupnya atau manusia yakin akan

adanya gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan

dikuasai oleh akalnya, manusia percaya akan adanya

kekuatan sakti dalam alam, manusia dihinggapi kesatuan

dalam masyarakatnya, atau manusia mendapat suatu firman

(29)

2. Sebagai sistem proyeksi hayalan suatu kolektif yang berasal

dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan

jiwa dalam bentuk mahluk-mahluk gaib.

3. Fungsi yang lain adalah sebagai penjelasan yang dapat

diterima akal suatu folk terhadap gejala alam yang sangat

sukar dimengerti sehingga sangat menakutkan dan dapat

diusahakan penanggulangannya.

4. Untuk menghibur orang yang sedang mengalami musibah

(Danandjaja, 1997:169-170).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi takhayul

adalah sebagai berikut : 1) sebagai penebal emosi keagamaan atau

kepercayaan, 2) sebagai proyeksi khayalan suatu kolektif, 3)

untuk menghibur orang yang sedang mengalami musibah, 4)

sebagai alat untuk mendidik anak atau remaja, 5) dan sebagai alat

pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu

dipatuhi anggota kolektif.

d. Makna Takhayul

Menurut Wayland D. Hand (dalam Danandjaja,

1984:155-156) jenis takhayul dibagi menjadi empat golongan

besar, di antaranya:

1. Di sekitar lingkungan hidup manusia yang terdiri atas tujuh

(30)

tubuh manusia dan obat-obatan rakyat ; rumah dan

pekerjaan rumah tangga ; mata pencaharian dan hubungan

sosial ; perjalanan dan hubungan ; cinta, pacaran, dan

menikah ; kematian dan alat pemakaman.

2. Mengenai alam gaib, kepercayaan rakyat terhadap

tempat-tempat yang di anggap keramat, arwah mahluk halus, dan

alam gaib.

3. Terciptanya alam semesta dan dunia yang terdiri atas

fenomena kosmik ; cuaca, binatang, dan peternakan ;

penangkapan ikan dan berburu ; tanaman dan pertanian.

4. Dan jenis lainnya, seperti tafsir mimpi.

2.2.5 Tinjauan Tentang Bentuk

Bentuk adalah suatu susunan atau rangkaian yang mencakup

pilihan kata, susunan kalimat, jalannya irama, pikiran, perasaan yang

terjelma di dalamnya dan membentuk suatu kesatuan yang tidak

dapat terpisahkan sehingga terbentuknya suatu keindahan, Ali

Syahbana (dalam Muslim. 2011:18). Bentuk mengacu pada struktur.

Struktur berasal dari bahasa inggris “Strukture” yang berarti

(31)

2.2.6 Tinjauan Tentang Fungsi

Fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, kegunaan

suatu hal, Depdikbud (dalam Mujahidah, 2009:17). Fungsi

merupakan (1) beban makna satuan bahasa, (2) hubungan antara

satuan-satuan dengan unsur gramatikal, leksikal, atau fonologis

dalam suatu daerah satuan-satuan, (3) penggunaan bahasa untuk

tujuan tertentu, dan (4) peran unsur dalam satuan ujaran dan

hubungannya secara struktural dengan unsur lain (Kridalaksana,

2011:67).

Fungsi budaya adalah penggunaan bahasa untuk tujuan

keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,

seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan, dan

kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota

masyarakat, Asmi (dalam Septiriana, 2004:11).

2.2.7 Tinjauan Tentang Makna

Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya

mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan

yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah

(32)

yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak

langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”

yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak

pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem

sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang

kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,

ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian

berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut

akan menjadi mitos.

Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar

yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga

dapat saling dimengerti, Cf, Brice (dalam Septiriana, 2004:11).

Makna menurut Chaer (dalam Ishak, 2009:15) adalah unsur yang

terdapat dalam bahasa (integral) yang mengacu pada refren yang

merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual). Berikut pengertian

makna menurut Ullman (dalam Pateda, 2010:82), makna adalah

hubungan antara nama dengan pengertian.

Jadi, makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia

luar yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat saling

dimengerti, makna juga merupakan sebuah maksud tujuan atau

(33)

jenis makna yaitu makna denotasi yang merupakan makna

sebenarnya sesuai kamus dan makna konotasi yang merupakan

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah proses keseluruhan yang dipaparkan dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam

Moleong, 2013:4) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah

upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia

dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang

diteliti. Penelitian kualitatif memiliki deskriptif yaitu data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, Jane

Richie (dalam Moleong, 2013:6).

3.2 Informan Penelitian

Informan penelitian ini terdiri dari kaum tua (orang-orang yang

dituakan yang berada di Kecamatan Wawo) dan para kaum muda yang

mengetahui mengenai takhayul sehingga jumlah keseluruhan informan

sebanyak 6 orang (terlampir). Adapun kriteria informan tersebut yaitu :

a.Kaum Tua

(35)

2. Sehat jasmani rohani

3. Berusia diatas 35 tahun

4. Mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik dan jelas

5. Bersedia menjadi informan/memberikan jawaban

6. Mengetahui takhayul secara baik

7. Memiliki intelejensi cukup tinggi dan berpendidikan

minimal SD

8. Bersifat sabar, terbuka, ramah, jujur dan tidak terlalu

emosional dan mudah tersinggung

9. Dapat berbahasa Indonesia

b. Kaum Muda

1. Masyarakat asli Bima

2. Sehat jasmani rohani

3. Berusia 15-30 tahun

4. Mampu membaca dan menulis dengan baik

5. Mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik dan jelas

6. Bersedia menjadi informan/memberikan jawaban

7. Mengetahui takhayul pada komunitas setempat

8. Memiliki intelejensi cukup tinggi dan berpendidikan

minimal SD

(36)

10.Bersifat sabar, terbuka, ramah, jujur dan tidak terlalu

emosional dan mudah tersinggung

11.Dapat berbahasa Indonesia

3.3 Data

Data dalam penelitian ini adalah data bahasa lisan yang berupa

takhayul yang dituturkan oleh penutur secara turun pada masyarakat

Wawo.

3.4 Sumber Data

Menurut Lofland (dalam Moleong, 2010:157) Sumber data utama

dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan, dan data tambahan

seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang

diamati atau diwawancara merupakan sumber data utama. Jadi yang

menjadi sumber data dalam penelitian ini yaitu informan-informan yang

dianggap menguasai dan mengetahui takhayul secara baik.

3.5 Metode Pengumpulan Data

MenurutR.D. Jameson (dalam Endraswara, 2009:221) dalam

pemerolehan data penelitian sastra lisan, dilakukan dengan cara: 1)

pengumpulan data yang betul-betul murni maka peneliti perlu membuang

suapan baru yang mungkin ada. 2) membandingkan data-data untuk

memperoleh persamaan dan perbedaan fenomena dengan etnis lain. 3)

Pemeriksaan unsur kepercayaan dalam sastra lisan tersebut jika ada. 4)

(37)

lisan. 5) Mengkaji fungsi sastra lisan tersebut baik bagi individu maupun

kolektif.

Jadi untuk dapat memperoleh data dan informasi yang relevan

tentang takhayul masyarakat Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima peneliti

menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara merupakan metode yang digunakan dalam tahap

penyediaan data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan

percakapan atau kontak dengan penutur selaku nara sumber (Mahsun,

2012:250).

Wawancara adalah suatu proses Tanya jawab lisan terhadap dua

atau lebih dengan berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat

muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri dari suara

yang disampaikan.

Dalam metode wawancara peneliti juga melayangkan

pertanyaan dalam bentuk lisan kepada informan yang kemudian data

tersebut dikumpulkan dan dianalisis menjadi sebuah data yang lebih

baik. Penanaman metode penyajian data dengan nama metode

wawancara menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring

informal atau data dari responden dengan jumlah responden lebih

kecil, Gunarwan (dalam Muslim 2011:26).Menurut Yatim Riyanto,

(38)

yang menghendaki komunitas langsung antara penyelidik dengan

subjek atau resonden(dalam Mujahidah, 2009:26).

Dari uraian di atas dapat diambil suatu rumusan bahwa teknik

wawancara merupakan salah satu metode untuk memperoleh data

yang sekurang-kurangnya ada dua pihak yakni peneliti dan responden

atau orang yang diwawancarai sehingga terjadinya komunikasi.

Peneliti mewawancarai informan yang sifatnya terbuka yakni

wawancara mengenai hal-hal yang menyangkut takhayul masyarakat

setempat. Hasil wawancara dicatat secara sistematis pada saat

berlangsungnya wawancara dengan menggunakan kertas kosong.

b. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan

melakukan pengamatan terhadap objek yang diteliti, baik pengamatan

secara langsung maupun dengan menggunakan alat bantu (tape

recorder). Metode observasi merupakan metode pengumpulan data

yang menggunakan pengamatan secara langsung terhadap objek

penelitian (takhayul masyarakat Bima). Yang diobservasi yaitu

interaksi bahasa yang terjadi antara peneliti dengan informan dengan

maksud untuk memperoleh data yang valid dan reabel tentang

takhayul masyarakat Bima (Mujahidah,2009: 25).

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

observasi adalah pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan

(39)

yang dilihat, di dengar atau singkatnya mengamati suatu kasus secara

sistematis sesuai dengan urutan waktu.

c. Metode Dokumentasi

Meode Dokumentasi yaitu cara mengumpulkan data-data dan

bahan-bahan yang berupa catatan buku, surat kabar, majalah atau

bahan dokumentasi lain yang bersifat tertulis, Arikunto (2011).

Menurut Burhan Bungin (dalam Arikunto, 2011), metode

dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang

digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data

histories”. Sedangkan Sugiyanto (dalam Arikunto, 2011) menyatakan

bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang

berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari

seseorang. Jadi metode ini merupakan suatu cara pengumpulan data

yang menghasilkan catatan penting yang berhubungan dengan

masalah yang akan diteliti. Data yang diperoleh haruslah lengkap, sah

dan bukan berdasarkan perkiraan. Dokumentasi yaitu terjun langsung

kelapangan dan mencari data mengenai objek-objek penelitian tesebut

yang berasal dari pihak lain. Berkaitan dengan hal ini, penelitian

mendokumentasikan beberapa data dalam bentuk catatan mengenai

takhayul-takhatul yang ada di Bima khususnya kecamatan Wawo.

3.6 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk

(40)

ini instrument yang digunakan untuk mencari jawaban responden atas

pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara, Arikunto (dalam Subhan,

2012: 26). Instrument pengumpulan data dapat dilihat sebagai berikut:

a.Ketika bertemu dengan informan akan dilakukan wawancara,

sebelum mengajukan pertanyaan inti, terlebih dahulu peneliti

menanyakan biodata narasumber. Daftar pertanyaannya sebagai

berikut.

- Apakah anda masyarakat asli Bima ?

- Siapakah nama lengkap anda ?

- Berapa usia anda ?

- Apa pekerjaan anda ?

- Apakah anda mengetahui mengeni takhayul masyarakat Bima ?

- Bagaimanakah contoh takhayul masyarakat Bima yang anda

ketahui?

Jenis kelamin dari narasumber tidak perlu ditanyakan cukup

dari melihat fisik dari narasumber itu sendiri. Selain itu untuk lebih

absahnya penelitian tidak lupa peneliti mencatat tanggal wawancara

dengan narasumber itu dilakukan. (terlampir)

b.Tabel bentuk-bentuk takhayul

Tabel ini menyajikan bentuk-bentuk takhayul yang telah

diklasifikasikan berdasarkan takhayul masyarakat Kecamatan Wawo.

Tabel ini terdiri atas: nomor, bentuk atau pola takhayul dan nama

(41)

Berikut contoh tabel tersebut.

 Takhayul berpola Sebab-Akibat

Tabel 3.6.1

 Takhayul berpola Akibat-Sebab

(42)

1.

2.

3.

 Takhayul berpola Tanda-Akibat

Tabel 3.6.4

No

Takhayul berpola Tanda-Akibat

Narasumber

1.

2.

3.

c. Tabel makna dan fungsi

Untuk mengetahui makna dan fungsi takhayul dibuat tabel yang

berisi tentang nomor, takhayul, makna, serta fungsi dari takhayul itu.

Untuk lebih jelasnya lihatlah tabel berikut.

No. Takhayul Makna Fungsi

(43)

3.7 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara

sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang

diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dimulai dengan

menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari

wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam cacatan lapangan,

dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya, Neong

Muhadjir (dalam Muslim, 2011:26). Lanjut, Muhadjir dalam menganalisis

data langkah-langkah yang dilakukan adalah menyusun dalam

satuan-satuan katagorisasi dan terakhir menafsirkan atau memberikan makna.

3.8 Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data takhayul masyarakat Kecamatan

Wawo akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menerjemahkan takhayul masyarakat Wawo ke dalam bahasa

Indonesia berdasarkan arti kata perkata

2. Memilah-milah data berdasarkan bentuk takhayul pada masyarakat

Wawo, seperti pola sebab-akibat, akibat-sebab, sebab-akibat dan

konversi, dan pola tanda akibat

3. Menentukan makna-makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam

takhayul masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima

4. Menentukan fungsi-fungsi takhayul masyarakat Wawo dengan

(44)

Danandjaja. Adapun fungsi takahyul dan folklor tersebut adalah

sebagai berikut: 1) sebagai penebal emosi keagamaan atau

kepercayaan, 2) sebagai proyeksi hayalan suatu kolektif, 3) untuk

menghibur orang yang sedang mengalami musibah, 4) sebagai alat

untuk mendidik anak atau remaja, 5) dan sebagai alat pemaksa dan

pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota

kolektif.

3.9 Metode Penyajian Data

Takhayul yang diperoleh dari informan akan diklasifikasikan

berdasarkan kategori atau pola-pola yang membentuk takhayul masyarakat

Wawo seperti pola sebab-akibat, akibat-sebab, sebab-akibat dan konversi,

dan pola tanda-akibat sekaligus juga pemaknaannya. Kemudian takhayul

berbahasa Mbojo yang dicetak miring tersebut akan diartikan ke dalam

bahasa Indonesia dengan penulisan tegak. Setelah itu baru

diinterpretasikan fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya.

Bentuk-bentuk takhayul yang telah diklasifikasikan tersebut disajikan dalam

bentuk tabel yang terdiri atas nomor, contoh takhayul, beserta terjemahan

bebasnya. Selanjutnya untuk pembahasan mengenai fungsi,

takhayul-takhayul yang telah diperoleh akan disajikan dalam beberapa kelompok

fungsi. Adapun fungsi takhayul dan folklor tesebut yaitu; 1) sebagai

penebal emosi keagamaan atau kepercayaan, 2) sebagai proyeksi khayalan

suatu kolektif, 3) untuk menghibur orang yang sedang mengalami

(45)

alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi

anggota kolektif. Kemudian pembahasan mengenai makna aka disajikan

dalam bentuk tabel dimana akan disajikan takhayul dalam bahasa Mbojo

(46)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Bentuk-Bentuk Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima

Penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 April sampai 30 April

2017, ditemukan 40 takhayul Bima yang masih berkembang di Kecamatan

Wawo. Data didapat dari informan yang telah ditunjuk maupun dari kegiatan

observasi di Kecamatan Wawo. Adapun bentuk-bentuk takhayul yang

ditemukan di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima dikelompokkan dalam

pola-pola sebagai berikut.

4.1.1 Takhayul Berpola Sebab-Akibat

Takhayul berpola sebab-akibat merupakan takhayul yang terdiri

atas dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang sebab atau hal

yang menjadi timbulnya sesuatu. Bentuk kedua menjelaskan tentang

akibat yang merupakan akhir atau hasil dari suatu peristiwa (perbuatan,

keputusan) tentang keadaan yang mendahuluinya. Adapun takhayul

berpola sebab-akibat sebanyak 30 (tiga puluh). Berikut akan dipaparkan

data takhayul masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima yang

memiliki pola sebab-akibat.

1. Wati pehe dompo uhu aima ngadi pede na poro kai umur.

Artinya : Tidak boleh memotong kuku waktu malam hari, nanti tidak

(47)

Takhayul tersebut memiliki pola sebab-akibat berdasarkan

hubungan asosiasi yang ditimbulkan karena persamaan waktu dan bunyi

Wati pehe dompo uhu aima ngadi (Tidak boleh memotong kuku

waktu malam hari)” termasuk ke dalam “sebab” atau suatu lantaran yang menimbulkan suatu peristiwa. Akibat yang ditimbulkan dari

larangan memotong kuku waktu malam hari adalah tidak diberikan

umur yang panjang (cepat meninggal dunia). Jadi, kalimat yang

berbunyi pede na poro kai umur (Nantitidak diberikan umur yang

panjang/cepat meninggal dunia) termasuk “akibat” yang ditimbulkan dari perbuatan memotong kuku waktu malam hari.

2. Wati pehe maru kai lingga pohu pede na weha kai mu dou dou ne,e

ro rahi.

Artinya : tidak boleh tidur menggunakan bantal guling, nanti pacar atau

suami kita akan diambil oleh orang lain.

Takhayul di atas berpola sebab-akibat yang ditimbulkan oleh

perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Kalimat yang

menunjukan sebab pada takhayul di atas adalah kalimat yang berbunyi

Wati pehe maru kai lingga pohu (Tidak boleh tidur menggunakan

bantal guling)”, sedangkan kalimat yang menunjukan akibat adalah

kalimat yang berbunyi pede na weha kai mu dou dou ne,e ro rahi

(48)

memiliki pola sebab-akibat yang ditimbulkan dari perbuatan manusia

secara sengaja.

3. Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made pede na hengge kai

ana.

Artinya : tidak boleh memandikan bayi ketika ada orang yang

meninggal dunia nanti anaknya akan sakit.

Takhayul di atas memiliki pola yang sama dengan takhayul pada

contoh 2 dan 3 yaitu berpola sebab-akibat. Kalimat yang menunjukan

sebab adalah Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made (tidak

boleh memandikan bayi ketika ada orang yang meninggal dunia)”

dan yang menunjukan akibat adalah Pede na hengge kai ana (nanti

anaknya akan sakit)”. Kalimat yang pertama digolongkan ke dalam “sebab” karena dapat menimbulkan keadaan tertentu apabila dilakukan.

Sedangkan kalimat yang kedua dalam takhayul tersebut digolongkan ke

dalam akibat karena merupakan hasil akhir dari suatu peristiwa atau

perbuatan yang sengaja dilakukan oleh manusia.

Adapun bentuk-bentuk takhayul masyarakat Kecamatan Wawo

kabupaten Bima yang memiliki pola sebab-akibat seperti contoh 1,2 dan

3 dapat dilihat pada tabel berikut :

No. Takhayul Arti Harfiah

Sebab Akibat

(49)

aima ngadi malam hari nanti hantunya

pede raka kai rahi tua. Kalau masih gadis tidak

boleh bernyanyi di dapur

nanti akan mendapatkan

bisulan pada bagian tubuh.

4. Wati pehe panta ro

karaso rade oru

ura

na tapa ku mai ura. Tidak boleh memasang batu

nisan dan membersihkan

kuburan di kala musim

hujan nanti menunda

ti wara kai arujiki. Tidak boleh mengosongkan

air minum pada ember nanti

tidak mendapatkan rezeki.

6. Andou to,i wti pehe

ngaha talehi janga

ndei sampula kai. Anak yang masih kecil tidak

diperbolehkan memakan

(50)

membuatnya bodoh.

7. Wati pehe landa

masa ra mahar kai

wati selama kai mori. Tidak boleh menjual Mas

kawin nanti kehidupan

rumah tangganya tidak

selamat.

8. Wati pehe sapa

mu dou sarumbu

moda kura kai co’i. Tidak boleh melangkahi

badan seseorang nanti

sedikit maharnya.

9. Wati pehe maru

ama sidi

na tula kai arujiki. Tidak boleh tidur diwaktu

pagi hari, nanti rezekinya

tertunda.

10. Wati pehe wi,i piti

pita lingga na,e si

loko

pedere na ncoki kai

nggana.

Orang yang sedang hamil

tidak boleh menyimpan

uang di balik kasur nanti

akan susah melahirkan.

disaat hujan, nanti akan

disambar petir.

12. Dou ma sa,e ro ari

sama mone wati

pehe kanggihi oma

ncao tando. Harus

pede ndei made ulu

kai sabua dou.

Saudara sekandung laki

sama laki tidak boleh

menanam atau membuka

(51)

sama dampi

(sama-sama tando

di atau tando ele)

berhadapan. Tetapi harus

berdampingan (sama-sama

menghadap ke barat atau ke

timur).

13. Sampela si weki

wati pehe doho dei

ncai

moda do,o kai labo

jodoh.

Seorang gadis tidak boleh

duduk di depan pintu,

karena nanti tidak akan

mendapat jodoh.

14. Wati pehe maru

wi,i rima ese tuta

pedere wati ndende

kai umu.

Tidak boleh tidur sambil

menaruh tangan di atas

kepala, nanti tidak

na ntoka kai ana. Saat hamil tidak boleh

mengambil air yang tidak

terisi penuh nanti mata

anaknya akan berbentuk

Apabila sudah keluar dari

rumah untuk bepergian

tidak boleh pulang kembali,

nanti apa yang menjadi

(52)

akan tercapai.

utang pada malam hari nanti

akan mengurangi rezeki.

atau mengeluarkan bayi di

halaman rumah sebelum

mencapai tujuh hari setelah

masa kelahirannya nanti

akan terus diserang oleh

penyakit.

19. Wati pehe landa

marakani ma leme

aima ngadi

moda wati hina kai

amba.

Tidak boleh menjual

benda-benda tajam pada malam

hari, nanti tidak akan laku

jualannya.

20. Wati pehe turu

hade sawa wunga

na,e loko wei

pede na wari sai ku

lera ana bune lera

sawa.

Tidak boleh membunuh ular

dikala istri sedang hamil

nanti lidah anaknya seperti

lidah ular.

21. Wati pehe nikah

kadua samba,a

doumu sa,e labo

ari

pede wati selamat kai

mori.

Seseorang yang bersaudara

tidak boleh menikah dalam

tahun yang sama nanti

(53)

selamat.

sandal di kuburan karena

akan mengganggu

ketenangan mayat di dalam

kubur.

tidak baik dan jelek.

24. Wati pehe ngaha

dei tada ncai uma

wati raka kai jodo. Tidak boleh makan di depan

pintu rumah nanti tidak akan

mendapatkan jodoh.

25. Wati pehe topa/boe

tuta dambe to’i

moda sampula kaina. Tidak boleh memukul

kepala anak kecil, nanti

anak itu akan bodoh.

26. Wati pehe ngaha

samaru

na wou kai timba. Tidak boleh makan sambil

tidur nanti mayat kita akan

bau busuk.

27. Wati pehe doho

teku teme

pede roci kai made

dou matua.

Tidak boleh bertopeng dagu

nanti salah satu dari orang

(54)

4.1.2 Takhayul Berpola Akibat-Sebab

Takhayul berpola akibat-sebab merupakan takhayul yang terdiri

dari dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang akibat (result)

dari suatu perbuatan. Bentuk kedua menjelaskan tentang sebab-sebab

(causes) yang ditimbulkan dari akibat perbuatan. Takhayul tersebut

berjumlah empat. Berikut akan dipaparkan data takhayul masyarakat

Kecamatan Wawo yang berpola akibat-sebab.

1. Satunu si wunga lampa, aona wara dou ma ndonta.

Artinya : kalau kaki kita tiba-tiba terbentur batu ketika berjalan berarti

ada orang yang sedang mengingat kita.

Takhayul di atas memiliki pola akibat-sebab yang ditimbulkan

oleh perbuatan yang tidak disengaja oleh manusia. Kalimat yang

menunjukan akibat adalah kalimat pertama yang berbunyi Satunu si

wunga lampa (kalau kaki tiba-tiba terbentur batu ketika berjalan)”

termasuk dari pola akibat. Sedangkan kalimat kedua berbunyi aona

wara dou ma ndonta (berarti ada orang yang sedang mengingat

kita)” termasuk sebab. Orang yang tiba-tiba terbentur batu kakinya ketika berjalan disebabkan karena ada orang yang sedang

mengingatnya.

2. Wunga si na,e loko ntuwu ngaha wua haju sisa panihi, loa kai gaga

pahu ana.

Artinya : Ketika sedang hamil sering-sering mengonsumsi buah-buahan

(55)

Takhayul di atas memiliki pola akibat-sebab yang ditimbulkan

oleh perbuatan yang disengaja oleh manusia. Kalimat yang menunjukan

akibat adalah kalimat pertama yang berbunyi Wunga si na,e loko

ntuwu ngaha wua haju sisa panihi (Ketika sedang hamil

sering-sering mengonsumsi buah-buahan sisa makan kelelawar)” termasuk

dari pola akibat. Sedangkan kalimat kedua berbunyi loa kai gaga

pahu ana (supaya anaknya cantik atau ganteng)” termasuk sebab.

Adapun bentuk-bentuk takhayul masyarakat Kecamatan Wawo

Kabupaten Bima yang memiliki pola seperti uraian no 1 dan 2 adalah

sebagai berikut :

No. Takhayul Arti Harfiah

Akibat Sebab

1. Lampa si dei doro kani wari

baju

baida santuda. Ketika berjalan

(56)

4.1.3 Takhayul Berpola Konversi-Akibat

Takhayul berpola konversi-akibat merupakan takhayul yang

terdiri dari dua bentuk. Bentuk pertama menjelaskan tentang konversi

(tindakan untuk mengubah sesuatu). Bentuk kedua menjelaskan tentang

akibat yang ditimbulkan dari konversi tersebut. Bentuk takhayul

masyarakat Kecamatan Wawo yang berpola konversi akibat dapat

diuraikan dalam satu data berikut :

Dambe to’i sawatipu upampuru upa naina pabuadi boru wa’u

honggona, baiba mpa’a henggena.

Artinya : Anak kecil sebelum berusia empat puluh empat harinya

harus dipotong rambutnya supaya tidak sakit-sakitan.

Takhayul di atas memiliki pola konversi-akibat. Kalimat

yang menunjukan konversi adalah kalimat yang berbunyi Dambe

to’i sawatipu upampuru upa naina pabuadi boru wa’u honggona

(anak kecil sebelum berusia empat puluh empat harinya harus dipotong rambutnya)”. Sedangkan yang menunjukan akibat

adalah kalimat yang berbunyi baiba mpa’a henggena (supaya

tidak sakit-sakitan)”. Kalimat pertama digolongkan ke dalam pola konversi karena merupakan suatu tindakan untuk mengubah

sesuatu menjadi hal yang lebih baik. Sedangkan kalimat yang

kedua merupakan akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh kalimat

(57)

4.1.4 Takhayul Berpola Tanda-Akibat

Takhayul masyarakat Kecamatan Wawo ada juga yang berpola

tanda-akibat. Pola ini terdiri dari dua bentuk. Bentuk yang pertama

menjelaskan tentang tanda-tanda suatu kejadian. Bentuk yang kedua

merupakan akibat yang timbul dari tanda-tanda suatu kejadian tersebut.

Pola takhayul ini berjumlah lima. Untuk lebih jelasnya berikut akan

dipaparkan di bawah ini.

1. Eli si deke dei sonco doro aona wara mai ura.

Artinya : Apabila ada tokek yang berbunyi di puncak gunung pertanda

akan datang hujan.

Takhayul di atas memiliki pola tanda-akibat. Kalimat yang

menunjukan takhayul tersebut terdiri dari tanda adalah kalimat yang

berbunyi Eli si deke dei sonco doro (apabila ada tokek yang

berbunyi di puncak gunung)”. Bunyi tokek di puncak gunung

merupakan tanda karena dapat menjadi suatu bukti atau petunjuk

tentang akan datang hujan. Sedangkan kalimat yang menunjukan akibat

adalah kalimat yang berbunyi aona wara mai ura (pertanda akan

(58)

2. Warasi kawowo afi wunga mbako ro lowi aona wara dou ma rongga.

Artinya : Kalau ada api yang berhembus ketika sedang memasak

pertanda akan ada tamu yang datang.

Takhayul di atas juga memiliki pola yang sama dengan contoh

takhayul nomor satu yaitu berpola tanda-akibat. Kalimat yang berbunyi

Warasi kawowo afi wunga mbako ro lowi (Kalau ada api yang

berhembus ketika sedang memasak)” termasuk ke dalam tanda atau

petunjuk. Sedangkan kalimat yang berbunyi Aona wara dou ma

rongga (pertanda akan ada tamu yang datang)” termasuk akibat

yang ditimbulkan oleh tanda. Jadi dapat disimpulkan takhayul di atas

memiliki pola tanda-akibat.

Adapun contoh-contoh takhayul masyarakat kecamatan Wawo

yang memiliki pola yang sama dengan contoh di atasdapat dilihat pada

tabel di bawah ini

No. Takhayul Arti Harfiah

Tanda Pola Akibat

1. Elisi nasi Sanggodo aima ngadi aona mboto isi

dana.

Kalau ada suara

burung jagal

pada malam hari

pertanda hasil

(59)

2. Nifi si ha,a ba linta wara dou ma

3. Warasi ringa eli garaha di butu

uma

4.2 Makna Takhayul Masyarakat Kecamatan Wawo Kabupaten Bima

Makna yang terkandung dalam takhayul masyarakat Kecamatan

Wawo Kabupaten Bima lebih banyak didominasi oleh makna falsafah

kehidupan untuk mengatur dan mengawasi setiap norma yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Makna tersebut dapat berupa nilai-nilai yang mengatur

hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, dan

hubungan manusia dengan tuhan. Selain itu, makna yang terkandung dalam

takhayul masyarakat Kecamatan Wawo tidak terlepas dari unsur pembentuk

takhayul tersebut atau hubungan asosiasinya. Adapun makna takhayul

(60)

1) Wati pehe dompo uhu aima ngadi pede na poro kai umur.

Artinya : Tidak boleh memotong kuku waktu malam hari, nanti

tidak diberikan umur yang panjang.

Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memotong kuku

waktu malam hari. Menurut takhayul tersebut apabila kita memotong

kuku waktu malam hari maka tidak diberikan umur yang panjang (akan

cepat meninggal dunia). Makna yang ingin disampaikan dalam takhayul

di atas adalah dikhawatirkan orang tersebut tidak bisa melihat sehingga

jarinya teriris karena pengaruh cahaya gelap. Sehingga dikatakan tidak

diberikan umur yang panjang.

2) Wati pehe maru kai lingga pohu pede na weha kai mu dou dou ne,e ro

rahi.

Artinya : Tidak boleh tidur menggunakan bantal guling, nanti pacar

atau suami kita akan diambil oleh orang lain.

Menurut takhayul tersebut tidur menggunakan bantal guling

dapat menyebabkan pacar atau suami kita akan diambil oleh orang lain.

Makna yang disampaiakan dalam takhayul ini adalah karena yang

sebenarnya bantal guling bukan alas kepala sehingga kalau kita tidur

menggunakan bantal guling kurang etis penempatannya. Bantal guling

(61)

3) Wati pehe ndeu ando to,i wara si dou ma made pede na hengge kai

ana.

Artinya : Tidak boleh memandikan bayi ketika ada orang (tetangga)

yang meninggal dunia nanti anaknya akan sakit.

Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memandikan

bayi ketika ada orang (tetangga) yang meninggal dunia. Jika kita

memandikan bayi ketika ada orang (tetangga) yang meninggal dunia

diasosiasikan dengan bayi tersebut akan sakit. Sebenarnya bukan

melarang kalau kita mendengar tetangga yang meninggal, kita harus

melayat dulu atau menghormati ketika ada tetangga yang meninggal.

Makna yang ingin disampaikan pada takhayul di atas adalah agar

hendaknya menghormati ketika ada tetangga yang sedang berduka.

4) Wati pehe kafufi aima ngadi na mai kai gogo .

Artinya : Tidak boleh bersiul pada malam hari nanti hantunya akan

datang menghampiri kita.

Takhayul tersebut menjelaskan larangan tentang bersiul pada

pada malam hari karena akan dihampiri oleh hantu. Makna yang

terkandung dalam takhayul tersebut adalah dari segi kesenian, bersiul

pada malam hari dibolehkan jika seandainya bersiul tak kala orang lain

ingin menghayati siulan yang mengandung nilai seni. Tetapi larangan

bersiul pada malam hari yaitu kurang etis karena dapat mengganggu

orang saat tidur. Waktu malam hari merupakan waktu orang untuk

(62)

5) Wati pehe rawa dei riha sampela si weki pede raka kai rahi tua.

Artinya : Kalau masih gadis tidak boleh bernyanyi di dapur nanti

akan mendapatkan suami yang tua.

Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan bernyayi di

dapur kalau masih gadis karena akan berjodoh dengan suami yang tua.

Makna yang terkandung dalam takhayul ini adalah karena ketika sedang

memasak harus benar-benar serius, takutnya kalau kita sambil bernyanyi

nanti secara tidak sengaja liurnya akan tercampur atau masuk ke dalam

masakan kita.

6) Wati pehe paki sia pede na mposo kai sarumbu.

Artinya : Tidak boleh membuang garam nanti menimbulkan bisulan

pada bagian tubuh.

Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan membuang

garam karena dapat mengakibatkan bisulan pada bagian tubuh. Makna

yang terkandung dalam takhayul tersebut adalah Membuang sesuatu

yang menjadi kebutuhan kita itu dianggap sebagai perbuatan mubazir,

kalau kita membuang garam itu artinya kita sudah melakukan perbuatan

yang mubazir karena garam merupakan kebutuhan pokok sebagai

pelengkap bumbu dapur.

7) Wati pehe panta ro karaso rade oru ura na tapa ku mai ura

Artinya : Tidak boleh memasang batu nisan dan membersihkan

(63)

Takhayul di atas menjelaskan tentang larangan memasang batu

nisan dan membersihkan kuburan pada musim hujan karena

menyebabkan menunda kedatangan hujan (menyebabkan kemarau

panjang). Makna yang terkandung dalam takhayul tersebut adalah Kalau

membersihkan kuburan pada musim hujan nanti akan sia-sia, rerumputan

akan semakin tumbuh karena disirami terus oleh air hujan. kalau

memasang batu nisan ketika musim hujan khawatirnya ketika hujan deras

nanti batu nisannya ikut terbawa arus.

8) Wati pehe kakara oi nono dei muja(embe) ti wara kai arujiki.

Artinya : Tidak boleh mengosongkan air minum pada ember nanti

tidak mendapatkan rezeki.

Takhayul tersebut menjelaskan larangan tentang mengosongkan

air minum pada ember. Apabila mengosongkan air minum pada ember

maka akibatnya tidak mendapatkan rezeki. Makna takhayul tidak

diperbolehkan mengosongkan air minum pada ember karena kalau air

minum tidak ada atau kosong rasa kelegaan setelah makan akan

terhambat atau tidak ada rasa kepuasan. Selain itu juga akan dipandang

sebagai orang yang malas bekerja sehingga dapat mempengaruhi rezeki.

9) Andou to,i wti pehe ngaha talehi janga ndei sampula kai.

Artinya : Anak yang masih kecil tidak diperbolehkan memakan

tembolok ayam nanti akan membuatnya bodoh.

Tembolok ayam merupakan bagian dari organ pencernaan pada

Gambar

Tabel 3.6.1
tabel di bawah ini

Referensi

Dokumen terkait

Makna dari verba yaru ini tidak ada dalam teori (Makino dan tsutsui: 2003), namun bila disesuaikan dengan fungsi verba yaru yaitu memindahkan (sesuatu) ke tempat lain,

Dalam satu kelas terdapat siswa-siswi yang berasal dari berbagai etnis di Desa Labuhan Lombok, kemudian pada materi pembelajaran mengenai peribahasa bahasa daerah maka saat itulah

Berdasarkan hasil penelitian terhadap simbol representasi pendi- dikan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) perspektif: Semiotika Charles Sander Pierce, maka dapat

Fukushi youyaku berfungsi sebagai kata keterangan yang menerangkan anshin shita yang menunjukkan adanya sesuatu yang positif dalam kalimat tersebut yaitu, pada

bahwa, kata baru yang mendapatkan afiks ber- dengan bentuk dasar yang berfungsi sebagai kata benda mengalami perubahan fungsi menjadi kata kerja... Makna Afiks

Makna adalah maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna adalah sesuatu yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar

Perubahan bentuk atau perwujudan dan juga penyebutan nama dari instrumen karawitan yang tersurat dalam kakawin Arjuna Wiwaha ada yang berubah dan ada pula yang

Leksikon moncek sebagai salah satu bentuk persembahan masyarakat kampung pada saat upacara sedekah bumi kepada Tuhan dan para leluhur yang telah berjasa dalammenjaga dan