• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Konsep Dasar Lansia a. Definisi

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Definisi lain menyatakan bahwa penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Padilla, 2013).

Lanjut Usia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti:

(2)

1) Rambut yang mulai memutih 2) Kerut-kerut ketuaan di wajah

3) Berkurangnya ketajaman panca indera 4) Serta kemunduran daya tahan tubuh

5) Merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. 6) Kehilangan-kehilangan peran diri

7) Kedudukan sosial

8) Serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (La Ode, 2012). b. Batasan Lanjut Usia

Badan kesehatan dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu:

1) Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun 2) Lanjut usia (elderly) 60-74 tahun

3) Lanjut usia tua (old) 75-90 tahun

4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Menurut Depkes dikutip dari Azis (2014) lansia digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu :

1) Kelompok lansia dini (55-64 tahun) 2) Kelompok lansia (65 tahun keatas)

(3)

c. Teori Proses Menua 1) Teori genetik

Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit (Padilla, 2013).

2) Teori mutasi somatik

Menurut teori ini faktor lingkungan yang menyebabkan mutasi somatik, sebagai contoh adanya radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur sebaliknya menghindarinya dapat memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsi sel tersebut (Healthy Enthusiast, 2012).

3) Teori rusaknya sistem imun tubuh

Teori rusaknya sistem imun tubuh dimana mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya

(4)

sendiri. Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.

Adanya kerusakan sistem imun tubuh berbentuk sebagai proses heteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Peristiwa inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autonium (Darmojo, 2010).

4) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernapasan mitokondria. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, atau asam lemak tak jenuh. Walaupun ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan sel makin lama makin

(5)

banyak dan akhirnya sel mati. Radikal ini menyebabkan sel – sel tidak dapat regenerasi (Healthy Enthusiast, 2012).

d. Akibat Proses Menua

Faktor-faktor perubahan proses menua dipengaruhi oleh faktor endogenik dan eksogenik (Darmojo, 2009), yang dapat diartikan sebagai faktor internal dan faktor eksternal pada perubahan proses menua.

e. Faktor Internal

Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (La Ode, 2012). Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi:

1) Sistem saraf pusat

Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup, perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1, pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1 (Tilarso,1988). Disamping itu meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologi yang berarti. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi otak yang

(6)

dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak akibat pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmitter (Martono, 2009).

Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar. Keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari – hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi (Padilla, 2013).

2) Sistem kardiovaskuler

Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25% lebih tebal dari usia 30 tahun, cardiak out put turun 40% atau kira-kira kurang dari 1% per tahun, denyut jantung maksimal pada dewasa muda = 195x/menit, pada 65 tahun= 170x/menit, tekanan darah rata-rata umur 20-24 tahun pada wanita 116/70 pria 122/76 dan pada umur 60-64 tahun wanita 142/85 dan pria 140/85 (La Ode,2012).

Walaupun tanpa adanya penyakit pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup. Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung (Martono, 2009).

(7)

3) Sistem pernapasan

Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20 – 25 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya, elastisitas paru menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping itu ada penurunan gerak silia didinding sistem pernapasan, penurunan reflek batuk yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut pada saluran pernapasan (Martono, 2009).

4) Sistem metabolisme

Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa dengan kadar glukosa darah puasa yang normal, frekuensi hipertiroid tinggi pada usia lanjut, sedangkan hipotiroid merupakan penyakit yang terutama terjadi antara usia 50 – 70 tahun dengan gejala yang tidak mencolok sehingga sering tidak terdiagnosis (Martono, 2009).

5) Sistem ekskresi

Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi

(8)

ginjal dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stres fisik ginjal tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal (Martono, 2009).

6) Sistem muskuloskeletal

Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya aktifitas juga akibat gangguan metabolik atau denervasi syaraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup (olahraga atau aktifitas yang terprogram). Dengan bertambahnya usia proses perusakan dan pembentukan tulang melambat terutama pembentukkannya hal ini akibat menurunnya aktifitas tubuh juga akibat menurunnya hormon estrogen pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lainnya (parahormon dan kalsitonin), trabekula tulang menjadi lebih berongga berakibat sering mudah patah tulang akibat benturan ringan atau spontan (Martono, 2009).

7) Kondisi psikososial

Kondisi psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor predisposisi yaitu gangguan memori, cemas, gangguan tidur, perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam

(9)

kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon prilaku seseorang mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan kesehatan (Padilla, 2013).

f. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih (Padilla, 2013).

Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan kemampuan sel, faktor – faktor ini antara lain zat – zat radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua. Radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan diorbit luarnya, molekul ini sangat reaktif mencari pasangan elektronnya, jika

(10)

terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah dengan semakin banyaknya sel – sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut mati, adanya radikal bebas sel-sel tidak dapat regenerasi. Rantai – rantai inilah yang memicu timbulnya penyakit-penyakit degenerasi seperti kardiovaskuler parkinson, alzheimer dan penuaan (Hardiwinoto, 2008).

2. Konsep Kognitif pada Lansia a. Definisi

Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berfikir. Proses berfikir dimulai dengan memperoleh pengetahuan dan mengolah pengetahuan tersebut melalui kegiatan mengingat, menganalisis, memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognitif sering disebut juga kecerdasan atau intelegensia (Padilla, 2013).

Fungsi Kognitif atau kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Miller, 2014).

b. Fungsi Kognitif pada Lansia

Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari bagian otak besar merupakan area kognitif . Kemampuan kognitif seseorang berbeda dengan orang lain, dari hasil

(11)

penelitian diketahui bahwa kemunduran subsistem yang membangun proses memori dan belajar, mengalami tingkat kemunduran yang tidak sama. Memori merupakan proses yang rumit karena menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang (Padilla, 2013).

Prevalensi gangguan kognitif termasuk dimensia meningkat sejalan bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65–75 tahun dan lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Proses penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui penglihatan (visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian diteruskan oleh sensori register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian dan minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali (La Ode, 2012).

Di antara fungsi otak yang menurun secara linier (seiring) dengan bertambahnya usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup yang normal. Perubahan atau gangguan

(12)

memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/Short time memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami perubahan bermakna.

Petersen (2012) melakukan penelitian longitudinal membandingkan kemampuan kognitif pada usia lanjut normal, gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment/MCI) dan dimensia Alzheimer ringan, telah disimpulkan bahwa MCI merupakan keadaan transisi antara kognitif normal dan demensia terutama Alhzeimer. Latar belakang penelitian Petersen adalah bahwa subyek MCI mempunyai gangguan memori sesuai usia dan pendidikan tetapi tidak ada demensia, sehingga diagnosa MCI dibuat pada pasien dengan kriteria berikut :

1) Ada keluhan memori

2) Aktifitas hidup sehari-hari normal 3) Fungsi kognisi umum normal 4) Memori abnormal untuk usia 5) Tidak ada dimensia.

c. Gangguan Fungsi Kognitif

Pengelompokkan tingkat gangguan fungsi kognitif dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Menurut Mauk (2010),

(13)

berdasarkan tingkat keparahan (severity), gangguan fungsi kognitif dapat dibagi tiga yaitu :

1) Tidak ada gangguan fungsi kognitif 2) Gangguan kognitif ringan

3) Gangguan kognitif berat d. Manifestasi Gangguan Kognitif

Gangguan Kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek bahasa, memori, visuofasial dan kognisi yang akan dijelaskan sebagai berikut: Gangguan Bahasa, memori, emosi, visuofasial dan kognisi. Gangguan bahasa yang sering terjadi terutama pada perbendaharaan kosakata. Pasien tidak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan kepadanaya (confrontation naming), tetapi akan lebih sulit lagi untuk menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori (categorical naming), ini disebabkan karena daya abstraksinya mulai menurun.

Gangguan memori gejala pertama yang sering timbul pada pasien yang mengalami gangguan kognitif adalah gangguan mengingat. Pada tahap awal gangguan pada memori barunya, namun selanjutnya memori lama juga akan terganggu. Gangguan fungsi memori dibagi menjadi tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu :

(14)

1) Memori segera (immediate memory), jarak waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

2) Memori baru (recent memori), jarak waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam bulan dan bahkan tahun.

3) Memori lama (remote memory) jarak waktunya bertahun tahun bahkan seumur hidup.

4) Gangguan visuospasial

Sering terjadi pada pasien pasca stroke fase recovery. Pasien lupa dengan waktu, tidak mengenali hari, wajah teman dan sering tidak tahu tempat dimana dia berada (disorientasi waktu, tempat dan orang). Gangguan visio spasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien menyelusuri jejak secara bergantian, mengkopi gambar atau menyusun balok – balok sesuai bentuk tertentu.

Gangguan kognitif kondisi inilah yang paling sering terganggu, terutama gangguan daya abstraksi. Lansia selalu berpikir konkrit, sehingga sulit memberi makna peribahasa, juga terjadi penurunan daya persamaan (Hussain, 2008).

(15)

e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif Lansia Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif adalah faktor sosiodemografi seperti :

1) Umur 2) Pendidikan

3) Pekerjaan dan tinggal sendiri.

4) Aktifitas fisik termasuk mobilitas diidentifikasi merupakan salah satu faktor yang diduga ada hubungannya dengan fungsi kognitif.

Beberapa studi melaporkan bahwa usia lanjut yang mengalami kesulitan melakukan pergerakan fisik atau tidak aktif, akan terjadi perbedaan dalam jumlah skor fungsi kognitifnya (Padilla, 2013).

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monginsidi (2013) disebutkan bahwa lebih banyak terdapat penurunan fungsi kognitif pada lansia dengan umur yang lebih tua. Profil fungsi kognitif berdasarkan riwayat pendidikan menunjukkan bahwa sampel dengan pendidikan kurang dari Sembilan tahun sebagian besar mengalami penurunan fungsi kognitif. Penyakit – penyakit yang dihubungkan dengan fungsi kognitif pada lansia yaitu penyakit serebrovaskuler, tumor otak, trauma, dan infeksi pada otak. Sampel yang memiliki riwayat penyakit kronis memiliki hasil penurunan fungsi kognitif yang dominan dibanding yang tidak memiliki riwayat penyakit kronis.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryati (2013) mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkasn fungsi kognitif

(16)

pada lansia selain melakukan aktivitas fisik yaitu melakukan hobbi atau kegemaran.

f. Instrumen Pengukuran Fungsi Kognitif 1) Mini Mental Status Examination (MMSE)

Mini Mental Status Examination merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegenerative (Guslinda, 2010).

Mini Mental Status Examination menjadi suatu metode pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar demensia (Guslinda, 2010).

Mini Mental Status Examination (MMSE) merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi 7 kategori terdiri dari orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah

(17)

diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar) (Asosiasi Alzheimer Indonesia2003).

Skor Mini Mental Status Examinatio (MMSE) diberikan berdasarkan jumlah item yang benar sempurna. Skor yang makin rendah mengindikasikan gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 19-30 fungsi kognitif normal, 0-18 skor kognitif tidak normal. Skor MMSE mempunyai kerusakan fungsi kognitif ringan. (Asosiasi Alzheimer Indonesia 2009).

3. Konsep Dasar Senam Lansia a. Definisi

Senam lansia merupakan suatu upaya peningkatan kesegaran jasmani kelompok lansia yang jumlahnya semakin bertambah, sehingga perlu kiranya diberdayakan dan dilaksanakan secara benar, teratur, dan terukur. Menurut Robert Hoffman dan Thomas R. Collingwood dalam Human Kinetic The Information Leader in Physical Activity and Health dengan judul Reduce Stress Trough Exercise, olahraga pada lansia dapat menjadi sarana untuk mengurangi stres yang efektif dengan cara :

1) Latihan dapat berfungsi sebagai sebuah cara melepaskan ketegangan dan kecemasan.

(18)

2) Latihan dapat menjadi metode relaksasi. Olahraga teratur dapat menjadi pengalih perhatian dari hari-hari stres dan dapat memberikan. efek penenang melalui gerakan fisik alami.

3) Latihan dapat meningkatkan energi dan toleransi kelelahan.

4) Latihan dapat membantu dalam menjaga elastisitas otot dan meminimalkan efek pemendekan otot karena tidak bergerak. 5) Latihan dapat meningkatkan kontrol fisiologis. Dengan mengikuti

program latihan teratur, tubuh bisa lebih terkontrol dan membantu untuk menormalkan detak jantung, tekanan darah, dan ketegangan otot.

6) Berolahraga secara teratur meningkatkan kesejahteraan emosional.

b. Gerakan Senam Lansia

Adapun bentuk latihan senam lansia (Hutapea, 2013) sebagai berikut:

1) Sikap permulaan dan pemanasan

Tujuannya menyiapkan diri secara fisik dan psikologi untuk melaksanakan senam lansia. Berupa peregangan otot dan gerakan –gerakan pada semua persendian. Sikap permulaan, berdiri tegak, menghadap ke depan kemudian mengambil nafas dengan mengangkat kedua lengan membentuk huruf V.

(19)

1) Gerakan Inti

Berupa gerakan-gerakan yang bertujuan untuk penguatan dan pengencangan otot serta untuk meningkatkan keseimbangan. Dimulai dengan gerakan peralihan jalan, tepuk, dan goyang tangan, 2x8 hitungan.

2) Gerakan Pendinginan

Tujuan pendinginan bekerja secara bertahap untuk menurunkan suhu tubuh, denyut jantung dan tekanan darah. Berupa gerakan peregangan otot atau berjalan pelan (Hutapea, 2013).

Tilarso (2013) menyatakan pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu 30 – 60 menit adalah sesuai untuk lanjut usia dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak, perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk memelihara serta mempertahankan kesehatan di hari tua.

c. Mamfaat senam lansia

Manfaat utama senam lansia adalah melatih fisik, fokus pada kekuatan tulang, melibatkan otot otot besar. Efek lain yang didapat dari senam lansia disebutkan para peserta menyatakan bisa tidur lebih nyenyak. Senam lansia ini juga dapt menjaga pikiran lebih segar sehingga dapat mempertahankan daya ingatnya, terlebih

(20)

dengan terus menghafal gerak-gerakan senam lansia, akan melatih kemampuan daya ingat lansia (Hutapea,2013).

Orang yang melakukan senam secara teratur akan mendapatkan kesegaran jasmani yang baik yang terdiri dari unsur kekuatan otot, kelenturan persendian, kelincahan gerak, keluwesan, cardiovascular fitness dan neuromuscular fitness (Hutapea, 2013). Setiap orang yang melakukan senam, peredaran darah akan lancar dan jumlah volume darah juga akan meningkat, 20% darah terdapat di otak, sehingga melalui senam lansia akan terjadi proses endorfin hingga terbentuk hormon norepinefrin yang dapat menimbulkan rasa gembira, rasa sakit hilang, adiksi (kecanduan gerak) dan menghilangkan depresi. Dengan mengikuti senam lansia efek minimal yang di dapat adalah lansia merasa senantiasa bergembira, berbahagia, bisa tidur lebih nyenyak dan pikiran pikiran tetap segar (La Ode, 2012 ).

Beberapa studi ilmiah menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi juga memperlambat proses degenerative dan meningkatkan kebugaran fisik dan otak (Budiharjo, 2009). Terdapat perbedaan pengaruh senam lansia usia dan senam yoga terhadap peningkatan keseimbangan dinamis. Dimana hasilnya senam kesegaran jasmani lanjut usia lebih baik peningkatan keseimbangan dinamisnya dibandingkan senam yoga (Wijianto, 2013).

(21)

Aktivitas fisik juga dapat langsung menstimulasi otak. Olah raga yang teratur dapat meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived Neurotropic Factor (BDNF) (Turana, 2013). Protein BDNF ini berperan penting dalam menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat. Telah banyak penelitian mengenai peranan BDNF terhadap fungsi memori. Kadar BDNF yang rendah berhubungan dengan gejala penyakit kepikunan. Dengan olahraga yang teratur akan dapat meningkatkan kadar BDNF ini. Fakta inilah yang dapat menjelaskan bahwa lansia yang banyak melakukan aktivitas fisik yang menyenangkan mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Yaffe dkk. (2012) terhadap 5.925 wanita berusia diatas 65 tahun tentang manfaat berjalan terhadap gangguan kognitif. Kemudian dilakukan follow up selama delapan tahun, hasilnya kelompok wanita yang berjalan lebih jauh akan mengalami penurunan kognitif lebih lambat dibandingkan dengan kelompok wanita yang jarak jalannya lebih dekat.

Senam lansia merupakan latihan fisik yang memberikan pengaruh pada kebugaran otak manusia. Latihan ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernafasan dan pusat berpikir (memori dan imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam latihan senam tidak hanya melibatkan pusat – pusat gerakan otot-otot tertentu di otak (homunculus) dengan corpus calosum (gerakan

(22)

menyilang), tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak (High Cortical Functions) (Hutapea, 2013).

Gerakan – gerakan dalam senam dapat merangsang kerja sama antar belahan otak dan antar bagian – bagian otak termasuk serebelum serta aktivitas di level kortikal meningkat. Hal ini dapat meningkatkan kerja sama sel saraf dan memperbanyak terbentuknya cabang-cabang julur sel yang saling berhubungan dengan sinapsisnya sehingga dapat meningkatkan fungsi kerja otak. Kemudian reseptor sensoris (vestibuler, visual, dan propioseptif) akan ikut terstimulasi kemudian stimulus diubah menjadi impuls saraf yang akan dibawa dan diteruskan ke otak, kemudian semua informasi sensoris dikumpulkan di thalamus dan informasi tersebut dikirim dan diolah di otak kecil, pusat gerakan otot di homunculus, pusat rasa sikap dan rasa gerakan di corpus calosum lalu dipersepsikan oleh lobus frontalis (area motor dan kognisi) dan amigdala (pusat emosi) yang mana informasi dari emosi diubah menjadi pola reaksi melalui reflek vestibule-ocular dimana potensial aksi masuk ke serabut otot melalui sinapsis antara serabut saraf dan otot (neuromuscular junction). Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur. Orang yang melakukan peregangan akan

(23)

menambah cairan synovial sehingga persendian akan licin dan mencegah cedera (Hutapea, 2013).

Senam yang bersifat aerobik seperti senam merupakan usaha-usaha yang akan memberikan perbaikan pada fisik atau psikologis. Faktor fisiologi dan metabolik yang dikalkulasi termasuk penambahan sel-sel darah merah dan enzim fosforilase proses masuknya gugus fosfat kedalam senyawa organik, bertambahnya aliran darah sewaktu latihan, bertambahnya sel-sel otot yang mengandung mioglobin dan mitokondria serta meningkatknya enzim-enzim untuk proses oksigenasi jaringan (Kusmana, 2012).

Sedangkan menurut Depkes (2013) senam dapat memberi beberapa manfaat, yaitu :

1) Meningkatkan peredaran darah. 2) Menambahkan kekuatan otot. 3) Merangsang pernapasan dalam. 4) Dapat membantu pencernaan. 5) Menolong ginjal.

6) Membantu kelancaran pembuangan bahan sisa.

7) Meningkatkan fungsi jaringan, menjernihkan dan melenturkan kulit

8) Merangsang kesegran mental.

9) Membantu mempertahankan berat badan. 10) Memberikan tidur nyenyak.

(24)

11) Memberikan kesegaran jasmani.

4. Hubungan Senam Lansia Dan Fungsi Kognitif Lansia

Senam lansia merupakan aktifitas fisik yang diberikan pada lansia secara rutin dengan gerakakan – gerakan ringan secara teratur sehingga memberikan stimulus ke otak untuk berkerja dan melatih untuk mengingat gerakan – gerakan senam. Hal ini akan membawa pengaruh posif pada lansia baik secara fisik dan psikologis lansia. Hubungan senam lansia dapat meningkatkan fungsi kognitif lansia yang mengalami penurunan dikarnakan otak akan kembali berkerja dengan optimal dan fungsi kognitif akan membaik.

B. Penelitian Terkait

1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budiharjo (2009) dengan judul pengaruh senam lansia terhadap skor kognitif lansia di posyandu lansia Mekar Lanciran kecamtan Pangkal Jenek Sulawesi Selatan didapatkan hasil yang signifikan antara senam lansia dan fungsi kognitif lansia dengan tingkat kemaknaan p value 0.05 .

2. Penelitian oleh Budiharjo (2009) dengan judul hubungan senam lansia dengan fungsi kognitif serta penurunan tekanan darah penderita hipertensi di desa Sidowarjo didapatkan hasil bahwa senam secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi juga memperlambat proses degeneratif dan meningkatkan kebugaran fisik dan otak.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pipit Festi (2010), yang mengemukakan bahwa senam lansia yang dilakukan setiap hari selama 3

(25)

minggu berpengaruh terhadap fungsi kognitif lansia. Dari 10 responden yang mendapatkan intervensi perlakuan senam otak, terdapat 7 responden (70%) mengalami peningkatan dan hanya 3 responden (30%) yang konstan.

C. Kerangka Teori Senam lansia

Yaitu senam yang diajarkan pada sekelompok lansia yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam sebulan dengan waktu 45 menit.

Skema 2.1 Kerangka Teori Notoatmodjo, 2007

Kognitif lansia  Manfaat senam :

- Meningkatkan peredaran darah ke otak

- Meningkatkan suplai O2 keotak - Merangsang pernapasan dalam - Merangsang kesegaran mental - Memberikan tidur yang nyenyak - Mengaktifkan kinerja otak atau

fungsi otak

(26)

D. Kerangka Konep

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 2.2 Kerangka Konsep Notoatmodjo, 2007

E. Hipotesa Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007)

Ha: Ada hubungan antara senam lansia dengan fungsi kognitif lansia posyandu lansia Anggrek puskesmas Pulau Burung kecamatan pulau Burung kabupaten Indragiri Hilir tahun 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mendasarkan diri pada pendapat pujiastuti ( 2013 ) yang mengatakan bahwa Stres adalah respon terhadap situasi yang menyebabkan tekanan, perubahan,

Teori wear and tear atau biasa disebut dengan istilah “pemakaian dan perusakan” menyatakan bahwa terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh dapat terjadi

biomekanik yang terlihat di OA dapat memicu serta berpotensi dalam perubahan biokimia dan telah menunjukkan bahwa kompresi statis dan dinamis dari perubahan tulang rawan

Microneedling merupakan suatu proses dimana produksi kolagen fisiologis dirangsang tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada lapisan epidermis kulit dengan menggunakan roller

Berbagai kondisi yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien,

Insiden jatuh jenis ini terjadi karena kondisi kesehatan tubuh pasien (fisiologis). Kejadian jatuh jenis anticipatedphysiologicalfallspaling sering terjadi yaitu sekitar 78%

Teori Fisiologis Terdiri dari teori oksidasi stres (penyebab terjadinya stress oksidasi adalah penyakit degenerasi basal ganglion yang menyebabkan terjadinya

Obstruksi yang disebabkan oleh perubahan fungsi detrusor, diperberat oleh peningkatan usia yang menyebabkan perubahan pada fungsi kandung kemih dan fungsi sistem saraf,