• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu

Umi Pudji Astuti et al. (2011) didalam penelitiannya mengenai faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pangan menjadi kebun sawit di Bengkulu menggunakan metode Analysis Hierarchy Process (AHP) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengarui keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan ke tanaman perkebunan. Faktor-faktor yang perhitungkan adalah aspek ekonomi (harga komoditas pangan yang rendah pada saat panen, pemanenan sawit dilakukan bertahap setiap 2 minggu, usahatani sawit yang lebih menguntungkan, harga jual komoditas sawit lebih stabil, biaya produksi sawit yang lebih rendah), aspek lingkungan (lahan yang lebih sesuai untuk berkebun sawit, hama dan penyakit pada tanaman pangan lebih tinggi, kondisi irigasi, petani sawit berpenghasilan lebih tinggi, kebun sawit membutuhkan tenaga kerja lebih sedikit), dan aspek teknis (usia tanaman sawit yag lebih panjang, kesulitan pengolahan pasca panen tanaman pangan, teknik budidaya sawit lebih mudah, kendala pengadaan pupuktanaman pangan).

Hasil pengolahan data menunjukkan 85,1% responden beralih fungsi menjadipetani kelapa sawit. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya adalah ekonomi (58,4%), lingkungan (22,2%), dan teknis (19,4%). Aspek ekonomi terdiri dari (1) Harga jual tanaman pangan yang rendah pada saat panen (23,1%), (2) sawi yang dipanen secara bertahap setiap 2 minggu (13,3%), (3) keuntungan usahatani sawit lebih tinggi (10,2%), (4) harga jual sawit yang stabil (9.9%), dan (5) kebutuhan tenaga kerja sawit yang lebih sedikit(1,0%). Aspek lingkungan terdiri atas (1) kesesuaian lahan untuk berkebun sawit (6,9%), (2) Tingginya penyakit dan hama pada tanaman pangan (6,7%), (3) lahan yang tidak beririgasi (4,9%), (4) Nilai tawar yang lebih tinggi pada petani sawit (2,7%), dan (5) tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit (1,0%). Aspek teknis terdiri atas (1)tanaman sawit berumur panjang (13,3%), (2) proses pasca panen tanaman pangan lebih sulit (2,4%), (3) teknik budidaya sawit lebih sederhana (2,2%), dan (4) pengadaan pupuk tanaman pangan yang sulit (1,5%).

(2)

6

Hamdan et al. (2012) didalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit dan strategi pengendaliannya dibengkulu menggunakan alat analisis regresi logistik dan analisis SWOT. Faktor-faktor yang dianalisis adalah: resiko usahatani padi, jumlah tanggungan keluarga, lua lahan sawah, pengalaman usahatani, intensitas penyuluhan, pengetahuan petani tentang tata guna dan tata kelola lahan, dan kendala ketersediaan air irigasi. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan dianilis menggunakan regresi logistik hasil dari pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi diperoleh beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan, yaitu resiko usahatani padi, intensitas penyuluhan, pengetahuan tentang peraturan pemerintah tentang tata guna dan tata kelola lahan, dan kendala ketersediaan air irigasi.

Variabel yang mempengaruhi secara positif alih fungsi lahan adalah : resiko usahatani padi, pengetahuan mengenai peraturan pemerintah tentang tata guna dan tata kelola lahan dan kendala ketersediaan air irigasi, artinya semangkin tinggi intensitas dari masing-masing variabel maka kecenderungan alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Variabel yang berpengaruh negatif adalah intensitas penyuluhan maka semakin tinggi intensitas penyuluhan yang dilakukan kecenderungan petani untuk melakukan alih fungsi lahan juga akan menurun.

Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengindentifikasi faktor internal dan eksternal menggunakananalisis faktor stategis internal (IFAS) dan analisis faktor stategis eksternal (EFAS). Hasil amalisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan), didapatkan hasil skor sebesar 0,15 utnuk faktor kekuatan yang artinya petani mempunyai kemampuan untuk menghambat alih fungsi lahan. Penerapan Teknologi yang masih rendah merupakan kekurangan petani yang perlu diatasi. Sinergi antara penyuuh, dinas terkait, dan petani maju juga sangat dibutuhkan. Peningkatan intensitas pelatihan dan penyuluhan serta pendampingan berbagai pihak dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini. Ditinjau dari faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman), faktor ancaman mempunyai skor lebih besar dibanding dengan skor peluang dengan selisih skor sebesar 1,30 yang berarti bahwa kondisi eksternal dapat

(3)

7

menyebabkan petani melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi kelapa sawit. Peneliti kemudian menyusun matriks SWOT berdasarkan analisis faktor strategis internal dan eksternal. Berdasarkan matriks SWOT dapat dirumuskan alternatif strategi yang dapat digunakan untuk menanggulangi alih fungsi lahan pertanian menjadi kebun sawit yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan perlu ditetapkan lahan pertanian pangan abadi di wilayah penghasil pangan.

2. Melakukan pembangunan dan perawatan saluran irigasi dan lembaga yang mengelola saluran irigasi tersebut.

3. Melakukan edukasi kepada petani dan kelompok tani terhadap adanya peraturan tentang larangan beralihfungsi lahan.

4. Penerapan teknologi dan informasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan.

Penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Persamaan berupaidentifikasi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dan konsep pengendalian alih fungsi lahan. Perbedaannya terletak pada faktor-faktor alih fungsi lahan yang diidentifikasi, faktor ekonomi tidak hanya faktor pendapatan petani, tetapi mencakup tingkat permintaan pasar dan kemudahan pemasaran. Perbedaan berikutnya adalah mengenai komoditas yang dieliti.

2.1.2 Lahan Pertanian

Lahan pertanian merupakan lahan yang diusahakan dan tidak diusahakan untuk sementara waktu (1-2 tahun). Lahan pertanian dapat berupa lahan pertanian sawah dan lahan pertanian bukan sawah. Lahan yang berpetak-petak dan dibatasi pematang atau galengan, serta beririgasi adalah lahan sawah. Lahan pertanian bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah seperti lahan pekarangan, huma, lading, tegalan/kebun, lahan perkebunan, kolam, tambak, danau, rawa, dan lainnya. Lahan yang berstatus lahan sawah yang sudah tidak berfungsi sebagai lahan sawah lagi, dimasukkan dalam lahan pertanian bukan sawah (BPS, 2016).

Menurut jenis irigasinya lahan sawah terdiri dari tiga jenis, diantaranya : (1) Sawah yang irigasinya berasal dari bendungan dan disalurkan melalui saluran utama yang selanjutnya dibagi oleh pintu pembagi menjadi saluran sekunder dan

(4)

8

tersier, saluran ini adalah saluran irigasi teknis. (2) Sawah yang saluran irigasinya berasal dari bendungan, namun hanya bangunan penyadap yang mengatur air yang dimiliki oleh pemerintah, saluran ini adalah saluran semi teknis. (3) Sawah yang irigasinya menggunakan bangunan semi permanen yang airnya berasal dari mata air setempat. Pembangunan irigasinya dilakukan oleh masyarakat setempat, saluran ini adalah saluran irigasi sederhada atau non teknis. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2004).

2.1.3 Alih Fungsi Lahan

Menurut Ruswandi, (2005) alih fungsi lahan merupakan perubahan fungsi lahan daari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, sehingga menimbulkan banyak permasalahan tentang kebijakan tata guna lahan. Lahan sawah yang dialihfungsikan merupakan lahan sawah teknis yang produktif. Ketika petani beralihfungsi lahan maka petani akan merubah mata pencaharian mereka dan ketersediaan bahan pangan pun akan berkurang. Baik secara lingkungan dan social alih fungsi lahan menjadi fokus utama terkait pada pembatasan pertumbuhan fisik dan kota untuk mempertahankan kualitas hidup(Kivell dalam Rohani, 2015).

Koversi lahan atau biasa disebut alih fungsi lahan adalah berubahnya seluruh atau sebagian fungsi lahan dari fungsi awalnya (sesuai perencanaan) menjadi fungsi lain yang berdampak negatif dan mengurangi potensi lahan tersebut. Secara garis besar keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang semakin bertambah serta tuntutan terhadap mutu kehidupan yang leih baik menjadi faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Konversi lahan dapat bersifat sementara dan bersifat permanen. (Utomo, 1992).

Sumaryanto dan Thalim (2005) menjelaskan pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Terdapat 3 motif tindakan yang akan dilakukan : (1) untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, (2) guna peingkatan pendapatan dengan ganti usaha, (3) kombinasi antara (1) dan (2) seperti pembangunan rumah dan sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha. Pola ini berdampak secara signifikan dalam jangka panjang dan hal ini terjadi di berbagai tempat yang tersebar. Kedua, alih fungsi berawal dari alih penguasaan lahan. Dampak konversi

(5)

9

lahan terhadap keberadaan sawah disekitarnya berlangsung cepat dan signifikan. Hal tersebut terjadi karena lahan yang dialihfungsikan luas dan terkonsentrasi, dan umumnya berhubungan positif dengan pengkotaan atau urbanisasi.

2.1.4Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan yang terjadi dapat berdampak kepada dua hal. Pertama, ancaman terhadap ketahanan pangan, karena lahan yang dialihfungsikan merupakan lahan pertanian pangan. Kedua, kerugian biaya yang diderita oleh pemerintah yang sudah diinvestasikan guna mencetak lahan sawah, membangun bendungan, dan saluran irigasi, jika sawah beralihfungsi menjadi lahan non pertanian. (Ilham et al, 2010).

Sumaryanto et al(2005) menyataan bahwa menurunnya daya dukung ketahanan pangan, tingkat kemiskinan masyarakat yang semakin tinggi, serta penurunan pendapatan petani merupakan dampak negatif dari alih fungsi lahan. Perubahan budaya masyarakat menjadi budaya urban juga dapat mengakibatkan naiknya angka kriminalitas.

Menurut Widjanarko et al(2006) Dampak negatif alih fungsi lahan, antara lain :

1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibabkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya ketahanan pangan.

2. Konflik sosial antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang akibat lapangan pekerjaan yang berkurang dan berkonsentrasi di bidang non pertanian .

3. Pemerintah menderita kerugian karena telah berinvestasi pada pembangunan saluran irigasi yang kemudian diaihfungsian.

4. Alih fungsi lahan yang gagal berdampak pada meningkatnya luas lahan tidur yang tidak bermanfaatan. Lahan tersebut nantinya dapat menimbulkan konflik sosial berupa penjarahan lahan.

5. Berkurangnya luas lahan di daerah sentra penghasil pangan khususnya pulau Jawa. Budaya menanam padi yang telah terbentuk puluhan tahun akan sulit digantikan oleh daerah lain.

Alih fungsi lahan yang tidak segera diatasi dapat bermuara pada import pangan yang harus dilakukan oleh pemerintah.Pangan merupakan kebutuhan pook

(6)

10

yang ketersediannya tidak dapat tidunda, jika alihfungsi lahan menyebaban ancaaman terhadap ketahanan pangan, maka, import pangan adalah jalan keluar satu-satunya.

2.1.5Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Menurut Pakpahanet al (1994), alih fungsi ahan dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor langsung yang terjadi di tingkat mikro dan dapat mempengaruhi secara langsung keputusan petani. Faktor langsung antara lain pendapatan, pendidikan, lokasi tanah, dan pajak tanah. Faktor yang kedua adalah faktor tidak langsung. Faktor tidak langsung mempengaruhi variabel-variabel lain yang pada akhirnya mempengaruhi keputusan petani seperti tingkat pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi perubahan struktur eonomi dan naiknya kebutuhan lahan bagi penduduk.

Menurut Spriyadi (2004) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu : (1) faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan pertumbuhan fisik dan spasial perkotaan, demografi maupun ekonomi. (2) faktor internal, yaitu tingginya nilai lahan yang diperoleh akibat kegiatan ekonomi di bidang non pertanian. (3) faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan.

Menurut Winoto (2005), faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian antara lain :

1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan penduduk jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah, selain itu peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas non pertanian dibanding dengan sektor pertanian. Rendahnya intensif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasi tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

(7)

11

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan keuntungan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada.

Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi lahan dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasiantar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masil lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum masih lemah.

2.1.6 Padi Sawah

Tanaman padi merupakan salah satu tanaman terpenting di dalam sejarah budidaya tanaman oleh manusia. Padi telah dibudidayakan sejak 3000 tahum SM di Zheijian Cina. Butir padi purba ditemukan di India sekitar 100-800 SM. Selain kedua wilayah tersebut beberapa wilayah asal padi diantaranya Burma, Tahiland, Laos, Vietnam, dan Bangladesh (Menegristek, 2008).

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim. Menurut Sanchez (1993), terdapat dua jenis tanaman padi, yaitu padi sawah dan padi kering. Dalam pertumbuhannya padi sawah membutuhkan air yang menggenang, sedangkan padi kering langsung ditanam di lading sehingga tidak perlu air menggenang. 65% tanaman padi di daerah tropis adalah padi sawah. Tanaman padi yang dikaji dalam penelitian ini adalah padi sawah.

Padi sawah adalah padi yang ditanam dilahan sawah . Termasuk padi sawah adalah padi rendengan, padi gadu, padi pasang surut, padi lebak, padi rembesan dan lain-lain. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut (BPS, 2017). Berikut klasifikasi botani tanaman padi berdasarkan literature Grist (1960) :

(8)

12

Divisi : Spermatophyta(tumbuhan berbiji) Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Poales

Famili : Graminae Genus : Oryza Linn Spesies : Oryza sativa L.

Padi merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang dibutuhkan adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan, pada musim kemarau produksi padi dapat meningkat asal air irigasi selalu tersedia, di musim hujan walaupun air melimpah produksi dapat menurun karena penyerbukan kurang intensif. Tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan, angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman.

Beras merupakan komoditas yang penting bagi masyarakat Indonesia. Sebagai proteksi terhadap ancaman keamanan pangan kebijakan diversiikasi pangan terkait pengolahan pangan, sektor perindustrian, perdagangan koperasi dan UKM serta pendidikan nasional akan memainkan peran penting. Penganekaragaman pangan harus dimulai dengan serius dengan melakukan tindakan nyata untuk menggali kembali bahan pangan loal terutama umbi-umbian yang tersedia melimpah. Perlu dikampanyekan dengan sistematis terkait alternatif bahan pangan lokal sebaai subtitusi beras sampai tataran tertentu (Subejo, 2011). 2.1.7 Tanaman Buah Naga

Menurut Warisno dan Kres Dahana (2007), tanaman buah naga termasuk dalam keluarga katus dari genus Hylocerus. Beberapa spesies anggota genus ini disebut sebagai buah naga, antara lain H.undatus, H.triangularis,H.polyrhizus, dan sebagainya. Berikut klasifikasi botani dalam tanaman buah naga :

(9)

13

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Trachcobionta

Super Division : Spermatophyta(tumbuhan berbiji) Division : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida (Dicotyledon)

Ordo : Caryophyllales

Famili : Cactaceae

Genus : Hylocereus

Spesies : Hylocereus spp.

Buah naga atau dragon fruit sejatinya merupakan tanaman kaktus. Tanaman ini berasal dari meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara (Colombia). Di daerah asalnya, buah naga terkenal dengan sebutan pitahaya atau pitaya roja. Tanaman buah naga awalnya dipergunakan sebagai tanaman hias karena sosoknya yang unik, eksotik, serta tampilan bunga dan buahnya yang cantik. Bunganya cukup unik mirip dengan bunga wijayakusuma, berbentuk corong. Bunga mulai mekar saat senja dan mekar sempurna pada malam hari (night blooming cereus). Bunga buah naga akan berkembang menjadi buah. Tampilan buahnya berkulit merah dan bersisik. Sejak penduduk asli mengetahui bahwa buah naga bias dimakan dan rasanya enak, mereka mengkonsumsi buah naga sebagai buah-buahan segar di meja hidangan. Selain rasanya enak dan renyah, buah naga juga memiliki kandungan gizi yang bermanfaat serta berkhasiat seperti vitamin, mineral, dan kandungan serat yang cukup tinggi (Hardjadinata, 2010).

Menurut Daniel Kristanto (2003), hingga kini ada empat jenis tanaman buah naga yang diusahakan dan memiliki prospek baik. Keempat jenis tersebut sebagai berikut :

1. Hylocereus undatus (buah naga putih)

Buah naga putih adalah buah naga yang memiliki daging buah berwarna putih. Rata-rata buah naga ini berbobot 400-500 gram per buah. Tingkat kemanisan jenis ini tergolong rendah yaitu 10-13 briks jika dibandingkan dengan jenis lainnya. Daerah yang ideal untuk menanam buah ini adalah ketinggian 400 mdpl. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai kulit dan pohon buah naga putih jika dibandingkan dengan buah naga lainnya yaitu berkulit merah, dengan sisik berwarna hijau.

(10)

14 2. Hylocereus polyrhizus (buah naga merah)

Buah naga merah banyak dibudidayakan di Australia dan Cina. Buah ini memilii daging berwarna merah keunguan, berkuit merah dengan sisik hijau. Dibandingkan dengan buah naga putih buah ini memiliki rasa yang lebih manis (13-15 briks). Struktur batangnya lebih kokoh dibanding buah naga putih, dengan duri dan cabang yang lebih rapat. Buah jenis ini sering sekali berbunga, akan tetapi tingkat keberhasilan menjadi buah sangat kecil sehingga produktivitasnya pun rendah. Ukuran buahnya lebih kecil jika dibandingkat buah naga putih, rata-rata hanya berukuran 400 gram. Buah ini dapat tumbuh baik pada ketinggian rendah hingga sedang.

3. Hylocereus costaricencis (buah naga super merah)

Buah naga super merah memiliki warna daging buah yang lebih merah dibandingkan spesies Hylocereus polyrhizus. Memiliki sisik yang lebih besar, dan pada usia tua batang serta cabangnya akan berwarna loreng. Tingkat kemanisannya lebih tinggi dibandin buah naga merah yaitu 14-15 briks, serta ukuran buah yang lebih besar atau rata-rata 400-500 gram. Tanaman ini sangat menyukai iklim yang panas dengan ketinggian tanah yan rendah.

4. Selenicereus megalanthus (buah naga kuning)

Apabila dibandingkan dengan tiga jenis buah naga lainnya, buah naga kuning merupakan buah yang memiliki tingkat kemanisan tertinggi yaitu 15-18 briks. Berbeda dengan tiga jenis buah naga yang berkulit merah, buah naga kuning memiliki kulit yang kuning dan tidak bersisik. Buah naga ini berharga mahal di pasaran, akan tetapi tingkat kesulitan budidayanya menyebabkan masih sedikit petani yang membudayakan jenis ini.

Menurut Ir. Sinatra (2010), keberhasilan budidaya buah naga diawali dengan menyiapkan bibit yang baik dan berkualitas tinggi. Bibit yang sehat, vigor, serta bebas hama dan penyakit merupakan beberapa ciri bibit berkualitas tinggi. Bibit yang demikian akan menghasilkan tanaman yang berkualitas dengan hasil yang optimal. Kualitas bibit juga dapat dilihat dari kualitas induknya. Induk yang memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat dengan kualitas buah yang bagus, besar kemungkinan bibit yang dihasilkan juga memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dari induknya.

(11)

15

Keberhasilan usahatani buah naga juga tergantung dari teknik budidaya buah naga itu sendiri. Menurut Emil (2011). Beberapa teknik budidaya tersebut dapat digambarkan pada bagan 2.1 sebagai berikut:

Bagan 2.3 Skema Budidaya Buah Naga, pada Tahun l Sumber: Emil. 2011

Menurut Emil (2011), beberapa tahapan pembudidayaan buah naga terdiri dari pemilihan lahan, buah naga dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan ketinggian 20-500 m di atas permukaan laut. Khususnya di daerah tropis, tanaman buah naga tumbuh dengan baik dengan curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan buah naga yaitu 60 mm/bulan atau 720 mm/tahun. Tahap kedua

Pengadaan bibit

Pengadaan Lahan

Pembuatan Tiang Panjatan

Penanaman

Sistem Pengairan

Perawatan dan Pemeliharaan

a. Penyulaman b. Pengaturan letak dan Pengikatan cabang/batang c. Pemupukan d.Penyiangan TanamanPengganggu e. Penyerbukan dan Seleksi f. Pemangkasan g. Panen Pemilihan Lahan

(12)

16

adalah pengadaan bibit, bibit buah naga yang akan ditanam harus memiliki kualitas yang baik. Pengadaan bibit dapat dilakukan dengan mengembangbiakkan sendiri atau membeli dari penyedia bibit. Pengembangbiakkan bibit dapat dilakukan dengan cara generative (menggunakan biji) dan cara vegetatif (menggunakan stek cabang atau batang). Tahap ketiga adalah pengolahan lahan, tanah yang terlalu liat atau keras menyebabkan akar tidak bias tumbuh dengan baik. Lahan yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari gulma dan rerumputan untuk menghindari penyakit, kemudian dicangkul agar tanah menjadi gembur. Tahap keempat adalah pembuatan tiang panjatan, bahan tiang penyangga harus kuat dan tahan lama, karena tanaman buah naga di orientasikan berumur panjang 15-20 tahun .

Panjatan yang umum digunakan adalah panjatan tiang beton segi empat dengan kurang lebih 2,5 meter. Tahap kelima adalah penanaman, proses penanaman bibit yang harus diperhatikan adalah kedalaman tanam, yaitu kurang lebih 20% dari panjang bibit, yaitu kurang lebih sekitar 10-15 cm. Taham keenam ialah system pengairan, air merupakan faktor yang penting dalam proses pertumbuhan tanaman. Meskipun tanaman buah naga tahan kekeringan, tetapi jika kekurangan air maka pertumbuhannya kurang baik dan produktivitasnya rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan sistem pengairan secara teratur sehingga tidak berlebihan atau kekurangan air. Tahapan terakhir ialah perawatan dan pemeliharaan tanaman yang meliputi penyulaman, pengikatan dan pengaturan letak, pengairan, pemupukan, pembumbunan, pemangkasan, serta penyeleksian bunga dan calon buah.

2.2 Kerangka Penelitian

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena dibutuhkan dalam setiap kegiatan. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat bergantung kepada ketersediaan sumberdaya lahan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang diikuti oleh peningkatan tingkat ekonomi masyarakat berdampak pada meningkatnya jumlah kebutuhan lahan. Perlu adanya perencanaan dan arah kebijakan yang tepat agar pemanfaatan sumberdaya lahan dapat dilakukan secara optimal. Ketimpangan

(13)

17

akan terjadi ketika steakholdertidak menjalankan perencanaan sebagaimana mestinya dan tanpa kebijakan yang pasti karena sektor pertanian, khususnya pertanian pangan akan menjadi sektor yang tersisihkan ketika terjadi pembangunan guna meningkatkan perekonomian suatu kota atau daerah.

Terjadi alih fungsi lahan pertanian pangan ini disebabkan oleh beberapa faktor baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi alih fungsi lahan disebabkan oleh faktor pendapatan petani. Faktor yang mempengaruhi secara lingkungan diantaranya luas lahan. Selain itu faktor terakhir yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah faktor sosial yang diantaranya usia petani, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan lama usaha tani yang sudah dijalani.

Faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian pangan ini saling terkait satu sama lain, sehingga perlu adanya kebijakan secara keseluruhan yang dapat menjadi solusi serta menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Penelitian ini menjadi penting mengingat Kabupaten Banyuwangi merupakan salah santu sentra penghasil padi di Provinsi Jawa Timur. Dilain pihak, sub-sektor perkebunan khususnya buah naga merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi masyarakat Kabupaten Banyuwangi terus dipacu pertumbuhannya. Belum maksimalnya implementasi peraturan perundang-undangan yang ada dan fungsi pengawasan pemerintah dalam melindungi lahan pertanian tanaman pangan menjadi peluang bagi masyarakat untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan yang sudah lama diusahakan. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pangan yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan bagi pemerintah atau steakholderterkait permasalahan ketersediaan lahan ini. Secara lengkap kerangka penelitian peneliti dapat dilihat pada bagan 2.2

(14)

18

Bagan 2. 4 Kerangka Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Alih Fungsi Lahan

Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Alih Fugsi Lahan Sumberdaya Lahan Kebutuhan Lahan Pertumbuhan Ekonomi Pertanian Pangan Pertumbuhan Penduduk Regresi Logistik Sosial

Pertanian Non Pangan

Ekonomi Lingkungan

(15)

19 2.3 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1.Alih fungsi lahan pertanian padi sawah menjadi kebun buah naga diduga dipengaruhi oleh :

a. Pendapatan petani padi sawah yang lebih rendah dibandingkan pendapatan usaha kebun buah naga yang berdampak positif terhadap terjadinya alih fungsi lahan.

b. Luas lahan, semakin besar luas lahan yang dimiliki petani, diduga berdampak positif terhadap alih fungsi lahan.

c. Usia petani, semakin lama waktu hidup yang telah dilalui petani, diduga berdampak negatif terhadap alih fungsi lahan.

d. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan petani, diduga berdampak negatif terhadap alih fungsi lahan

e. Jumlah anggota keluarga, semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, diduga berdampak positif terhadap alih fungsi lahan.

f. Lama usaha tani, semakin lama petani melakukan kegiatan usahatani, diduga berdampak negatif terhadap alih fungsi lahan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada iterasi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi alih fungsi lahan lahan pertanian, maka didapatkan ada 3 faktor yang

Analisis Alih Fungsi Lahan dengan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Terkait dengan fungsi alih kode (Crystal,1987) ditemukan bahwa alih kode yang dilakukan anak-anak seharusnya dilihat sebagai suatu masalah pemendekan, sebagai masalah

Menurut penelitian sebelumnya alih fungsi lahan pertanian akan terjadi ketika teknologi yang digunakan dalam suatu daerah untuk sektor pertanian tergolong minim, karena hasil

Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi Kondisi alih fungsi

Selain itu, peraturan- peraturan yang ada belum menyentuh kepada pihak perorangan yang melakukan perubahan penggunaan lahan sawah ke non pertanian, meskipun alih fungsi yang

Jurnal Hadinata, Christian dan Sugiyantoro, Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian dan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bandung.. Diakses melalui www.sappk.itb.ac.id pada

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan, Pasal 22 ayat 3 Kriteria lahan yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan