• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980-an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana aspek distribusi dan kelestarian lingkungan maupun sosial budaya memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993). Meskipun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Pada Gambar 2 klasifikasi manfaat lahan pertanian yang menjelaskan aspek-aspek yang terkait dengan kedua manfaat tersebut, yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.

Gambar 2 Klasifikasi manfaat lahan pertanian. TOTAL NILAI EKONOMI

Manfaat penggunaan

(Use values) (Intrinsic values) Manfaat bawaan

Manfaat tidak langsung Manfaat langsung Unpriced benefit Marketed output • Fungsi memperta-hankan keragaman hayati • Fungsi pendidikan lingkungan • Fungsi konservasi tanah dan air • Fungsi pengendali

pencemaran udara • Fungsi pengendali

water balance • Fungsi daur ulang

limbah • Fungsi rekreasi • Fungsi sosial - budaya • Fungsi pengen-dalian urbanisasi • Fungsi kesehatan Produk Pertanian - Pangan - Ternak/ikan - Kayu Fungsi Pendapatan masyarakat/negara

(2)

Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian pada Gambar 2, manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Irawan, et al., 2000); adalah (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata. Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996) yaitu (1) mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang memperhatikan kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan berpotensi menimbulkan dampak atau fungsi negatif, yaitu dapat menyebabkan: (1) pemanasan global melalui efek rumah kaca, (2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida), (3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah.

2.1. Faktor Pemicu Konversi Lahan Sawah

Seperti halnya penggunaan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong, beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Rustiadi et al. (2002) yang melakukan kajian pemanfaatan ruang Jabotabek menganalisis struktur berkaitan antar faktor-faktor yang diduga sebagai penentu perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek yaitu (1) struktur penggunaan lahan, (2) struktur pendidikan

(3)

masyarakat, (3) struktur aktivitas perekonomian masyarakat dan (4) kelengkapan dan daya dukung fasilitas di setiap wilayah.

Penelitian lain dilakukan Saefulhakim et el (2003) yang melakukan kajian terhadap struktur-struktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Faktor-faktor yang secara nyata menentukan perubahan penggunaan lahan yaitu tipe penggunaan lahan sebelumnya, status kawasan dalam kebijaksanaan tata ruang, status perijinan penguasaan lahan, karakteristik fisik lahan, karakteristik sosial ekonomi wilayah dan karakteristik interaksi spasial aktivitas sosial ekonomi internal dan eksternal wilayah. Selanjutnya Carolita (2005) menganalisis faktor penyebab perubahan penggunaan lahan di Jabotabek berdasarkan faktor fisik lahan (ketinggian, kemiringan lahan, jenis tanah, jenis penggunaan lahan sebelumnya), faktor sosial ekonomi (jarak dari ke pusat desa dan kepadatan penduduk) dan arahan penggunaan lahan (RTRW). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tingkat kelerengan dan ketinggian lahan yang berpengaruh terhadap perubahan lahan menjadi urban berturut turut adalah 0 – 3% dan ketinggian 250 – 400 meter. Sedangkan tingkat kelerengan dan ketinggian selain kedua kelas tersebut tidak berpengaruh nyata. Faktor jenis tanah, jarak dari pusat CBD (Cikarang-Bekasi-Darat) ke pusat desa, kepadatan penduduk, penggunaan lahan sebelumnya dan arahan penggunaan lahan secara statistik tidak nyata sebagai faktor penyebab perubahan penggunaan lahan.

Permintaan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Sedangkan penawaran sumberdaya lahan dibatasi oleh baku permukaan yang bersifat tetap, variasi dan persebaran spasial kualitas lahan alamiah yang cenderung tetap, sehingga menyebabkan penawaran penggunaan lahan cenderung inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan. Penawaran sumberdaya lahan juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan saat ini. Dengan pengguasaan teknologi yang tepat maka produktivitas lahan meningkat sehingga akan dapat menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani (Saefulhakim et al., 2003).

Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) proses konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem

(4)

kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Menurut pihak Badan Pertanahan Nasional yang dilaporkan oleh Suwarno (1996), upaya-upaya pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang dilakukan Irawan, et al. (2000) peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.

Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenur system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan 32,17 persen, dan faktor-faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada.

a. Faktor Sosial

Menurut Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.

b. Faktor Ekonomi

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi

(5)

merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah untuk penanaman padi sangat inferior dibanding penggunaan untuk turisme, perumahan dan industri. Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Penelitian Sumaryanto et al. (1996) di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%). Dari 63% tersebut, 33 persen untuk pemukiman, 6% untuk industri, 11% untuk prasarana dan 13% untuk lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan.

Konversi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus konversi seperti itu jauh lebih sedikit dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi konversi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996).

Di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan (Jamal, 2001).

c. Faktor Peraturan Kebijakan

Selain faktor sosial dan faktor ekonomi, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap konversi sawah beririgasi adalah kebijakan pemerintah.

(6)

Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri yang tertuang dalam Keppres Nomor 53/1989 memberikan keleluasaan pihak swasta untuk melakukan investasi pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.

Kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap berpengaruh terhadap kecenderungan konversi lahan adalah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Implementasi dari kebijakan ini dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan, yang kerap disertai praktek spekulasi lahan dan percaloan yang memacu peningkatan harga lahan secara cepat, sehingga pemilik lahan lebih tertarik menjual atau melepaskan pemilikan lahannya.

Kebijakan-kebijakan tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan yang tertuang dalam Paket 23 Oktober 1993 (Pakto-23), yang salah satunya ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Perolehan Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi perusahaan untuk penanaman modal, yang memberikan kemudahan izin lokasi.

2.2. Dampak Konversi Lahan

Ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun (Irawan et al., 2000). Selain itu, alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Sumaryanto, et al (1996) memperkirakan hilangnya pendapatan dari usahatani sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai Rp 1,5 - Rp 2 juta/ha/tahun dan kesempatan kerja yang hilang mencapai kisaran 300-480 HOK/ha/ tahun. Sementara itu, perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi berkurang masing-masing sebesar Rp 46 - Rp 91 ribu dan Rp 45 - Rp 114 ribu/ha/tahun.

Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh pemerintahan,

(7)

masalah lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Las et al. (2006) mengemukanan bahwa di antara masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan pertanian, ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia yaitu dampak penggunaan sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan; dampak sistem pertanian terhadap emisi gas rumah kaca ; dampak kegiatan industri dan perluasan perkotaan dengan cara melakukan konversi lahan pertanian.

Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas lahan, baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Pengelolaan dan penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), penebangan hutan (deforestation), konversi untuk nonpertanian, dan irigasi. Kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan akan menimbulkan polusi, erosi, kehilangan unsur hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi dan alkalinasi (sodification and alkalinization), pemadatan (compaction), hilangnya bahan organik, penurunan permukaan, kerusakan struktur tanah, penggurunan (desertification), dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka panjang (Agus, 2002).

Memburuknya kondisi lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan yang mengalami degradasi menghadapi berbagai ancaman seperti kekurangan sumber air, kelaparan, dan munculnya berbagai penyakit. Selain itu, degradasi lahan secara global akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan menaikkan suhu permukaan bumi.

Keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena itu, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak yang luas pada berbagai aspek pembangunan. Konversi lahan sawah akan berdampak pada manfaat tidak langsung umumnya terkait dengan lingkungan, antara lain (1) mencegah terjadinya banjir, (2) sebagai pengendali keseimbangan tata air, (3) mencegah terjadinya erosi, (4) mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan (5) mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Jenis manfaat

(8)

tersebut bersifat komunal dengan lingkup lebih luas dan dapat bersifat lintas daerah.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh manfaat lahan sawah tersebut di atas bernilai sekitar Rp.37,5 juta sampai Rp.39,6 juta per hektar per tahun. Dengan luas konversi sawah sekitar 188.000 hektar per tahun maka nilai manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah mencapai Rp. 8,67 triliun per tahun atau setara dengan 3,05% APBN tahun 2000-2002. Lebih dari 60% nilai manfaat tersebut bukan merupakan priced benefit, artinya, sebagian besar manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah merupakan manfaat yang dapat

dinikmati oleh masyarakat luas.

Salah satu dampak konversi lahan sawah yang sering mendapat sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional. Ketahanan pangan tersebut aspek dan dimensi yang cukup luas. Pengertian ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi swasembada pangan mulai diragukan sebagai satu-satunya indikator ketahanan pangan suatu negara. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi swasembada pangan tidak selalu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk. Disamping itu kekurangan pangan yang diindikasikan dari mengalirnya impor pangan sebagai akibat dari berbagai faktor seperti kondisi iklim yang buruk, bencana alam, peningkatan serangan hama penyakit dan konversi lahan.

Ruang lingkup ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu dimensi ruang lingkup ketahanan pangan yang terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan pangan, dimensi waktu dan musim yang terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dimensi sosial ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan, kulitas dan keamanan pangan.

2.3. Peraturan Pemerintah Tentang Konversi Lahan Sawah

Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian pemerintah mengantisipasi dengan membuat peraturan pertanahan. Pengaturan

(9)

ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.

Dari dua belas peraturan yang ada tersebut sebagian besar (sembilan peraturan) membahas tentang larangan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian. Tiga peraturan lainnya membahas tentang lahan subur dan pemanfaatan lahan kosong, serta batasan luas lahan untuk izin usaha. Peraturannya tersebut ditekankan hanya untuk sawah beririgasi teknis, maka akan memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan alih fungsi lahan dengan cara mengkondisikan sawah beririgasi menjadi sawah dengan tidak beririgasi, sehingga dapat dialih fungsikan. Keadaan ini banyak terjadi di lapangan, terutama pada lahan sawah beririgasi di sekitar pemukiman dan perkotaan, antara lain yang dilaporkan oleh Rusastra et al.(1997).

Walaupun sebagian besar peraturan yang berlaku berisi larangan, masih ada celah bagi pengejar rente untuk melakukan negosiasi dan lobi dengan memanfaatkan peraturan. Dalam peraturan tersebut penggunaaan tanah sawah beririgasi masih dapat dilakukan asalkan sesedikit mungkin dan dalam keadaan terpaksa. Dua keadaan ini sifatnya sangat relatif, sehingga berpotensi untuk memicu terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke non pertanian. Di samping itu tidak ada kejelasan ganjaran atau sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar aturan yang ada tersebut. Dengan demikian hasil analisis sesuai dengan pendapat Irawan et al. (2000), yang menyatakan alih fungsi lahan subur, seperti lahan sawah beririgasi terus berkembang seperti tanpa kendali. Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang ada kurang efektif karena tidak dilengkapi sistem pemberian sanksi bagi pelanggar dan sistem penghargaan atau insentif bagi yang patuh.

2.4. Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lainnya yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan bentuk konsekwensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah

(10)

menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (Winoto et al., 1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi struktur perekonomian dan preferensi masyarakat yang bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka berimplikasi terhadap dinamika struktur penggunaan lahan sehingga dengan sendirinya alih fungsi lahan tidak dapat dihindarkan. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah ekosistem, dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies lainnya. Terdapat kesamaan fenomena tersebut pada sistem perubahan penggunaan lahan. Pada Tabel 1 berisikan persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan persaingan spesies.

Tabel 1 Persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan persaingan spesies Tahap perubahan Proses Perubahan penggunaan lahan Persaingan spesies Ke 1 Area pertanian terbagi atau

terpecah oleh adanya perubahan jalan dan area permukiman

Jalan dan area permukiman menyerbu ke dalam area pertanian

Ke 2 Area permukiman diperluas ke dalam area pertanian

Area permukiman tumbuh semakin banyak mengkonversi area pertanian

Ke 3 Area komersial mengganggu batas hingga ke dalam area permukiman

Area komersial menyerbu area permukiman dan area permukiman tumbuh terus menerus

(11)

2.5. Efektifitas Kebijakan dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah Pendekatan yang diterapkan baru sebatas pendekatan hukum (law enfercement) yang masih banyak kelemahannya, sehingga peraturan-peraturan tentang lahan belum mampu mengendalikan kegiatan konversi lahan sawah. Ada tiga kelemahan mendasar. Pertama, obyek lahan yang dilindungi dari kegiatan konversi terutama ditentukan oleh kondisi fisik lahan (contoh: irigasi teknis) padahal kondisi fisik tersebut begitu mudah utuk dimodifikasi dengan rekayasa tertentu. Kedua, perataturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sanksi maupun pihak yang dikenai sanksi. Ketiga, kelemahan-kelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu untuk meraih keuntungan pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Persepsi dan penilaian pasar terhadap lahan sawah yang cenderung under esti-mate, dimana nilai ekonomi lahan sawah hanya dilihat dari fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah, menjadi salah satu faktor penyebab kurang efektifnya implementasi peraturan-peraturan yang dibuat untuk pengendalian konversi lahan sawah. Kenyataan itu tampak dari pelaksanaan kebijakan daerah yang tidak konsisten dengan peraturan-peraturan itu, seperti dikemukakan oleh Nasoetion (2003) bahwa banyak dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang justru mengalokasikan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. Kondisi tersebut juga mengidikasikan masih lemahnya koordinasi kebijakan dan adanya dualisme kepentingan yang saling bertolak belakang, dimana di satu sisi pemerintah berupaya keras melarang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah. Selain itu, peraturan-peraturan yang ada belum menyentuh kepada pihak perorangan yang melakukan perubahan penggunaan lahan sawah ke non pertanian, meskipun alih fungsi yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.

(12)

2.6. Analisis Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Selain itu SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Jaya, 2002). Dijelaskan juga SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial.

Keuntungan GIS adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan. Deteksi perubahan adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian khusus dari sisi waktu maupun keakurasian. Mengetahui perubahan menjadi penting dalam hal mengetahui hubungan dan interaksi antara manusia dan fenomena alam sehingga dapat dibuat kebijakan penggunaan lahan yang tepat (Lu, 2004).

Banyak pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga,kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat.

Dalam analisis SIG dikenal analisis spasial. Analisis spasial salah satunya dilakukan dengan tumpang susun (overlay) terhadap beberapa data

(13)

spasial (seperti parameter kelerengan, jenis tanah, curah hujan dan lainnya) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yaitu data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Manajemen data atribut dalam sofware ArcView memiliki beberapa fasilitas diantaranya: (a) sortir data, (b) perhitungan numerik, (c) penampilan statistik dan (d) pengekstraksian data tertentu. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial baru (Jaya, 2002).

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang ilmu seperti pengolahan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang bisnis dan perencanaan pelayanan seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru. Di bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan (gap analysis). Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain kewenangan di bidang pertahanan , pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan informasi kependudukan dan pemantauan lingkungan.

Menurut Lillesand dan Kiefer (1993) penggunaan SIG yang dikombinasikan dengan sistem penginderaan jauh menjadikan suatu teknologi yang terintegrasi dan dapat diterima dalam pengembangan studi atau penelitian. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan memadukan penerapan SIG dengan data penginderaan jauh adalah:

1. Basis dalam SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam proses klasifikasi atau analisis data penginderaan jauh, sehingga dapat meningkatkan akurasi dan ketepatan peta yang dihasilkan.

2. SIG mempunyai fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data yang dipadukan. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data khususnya data spasial yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan permodelan fenomena-fenomena alamiyang komplek, dimana dengan

(14)

sistem penginderaan jauh dapat mengakomodasi semua tuntutan data tersebut.

3. Data penginderaan jauh dapat digunakan dengan cepat pada saat proses memperbaharui peta, utamanya pada kasus data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu kegiatan.

4. Data penginderaan jauh sangat bermanfaat bila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya atau citra beberapa waktu (multitemporal) dan spektrum yang berbeda (multispektral) yang disajikan secara bersama-sama.

Gambar

Gambar 2  Klasifikasi manfaat lahan pertanian.
Tabel 1 Persamaan konsep dalam proses perubahan penggunaan lahan dan   persaingan spesies  Tahap  perubahan  Proses  Perubahan   penggunaan lahan  Persaingan spesies  Ke 1  Area  pertanian  terbagi  atau

Referensi

Dokumen terkait

Upaya pemerintah dalam meningkatkan dan merangsang pertanian pangan dapat dilihat dari program yang dilakukan seperti Upaya Khusus (Upsus) dalam peningkatan produksi pangan

Walaupun pada dasarnya kata sifat ringan ini sinonim dengan makna terasnya iaitu merujuk kepada ukuran, namun hasil analisis melalui contoh-contoh ayat yang telah dipaparkan

“Hubungan Antara Semangat Kerja Dengan Disiplin Penerapan K3 Pada Karyawan PLN Rayon Magelang ” skripsi ini sebagai tugas akhir dari Fakultas Psikologi

Adapun Hornsby (Oktafiani et al., 2018) mentakrifkan disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja (mengujar) secara betul

Konsumen umumnya sudah merasa puas dengan krim yoghurt Activia dan tidak berminat untuk mengganti dengan merek lain.Lima variabel teratas yang menjadi pertimbangan utama

Pelaksanaan Administrasi Keuangan dan Umum merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar untuk mengolah data dan mengkoordinasi di

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa hasil uji (Adjusted R 2) nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.242 atau 24,2%, ini menunjukkan bahwa variabilitas dari

Nasionalisme Indonesia yang pada mulanya berkembang secara alamiah dikalangan pemuda dan masyarakat Aceh Utara pada akhirnya mengalami keruntuhan sebagai akibat dari kebijakan