• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penybab Sulitnya Malaysia Lepas Dari Status Middle-Income Country

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Faktor Penybab Sulitnya Malaysia Lepas Dari Status Middle-Income Country"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Fa kto r Pe n yb a b S u litn ya Ma la ys ia Le p a s D a ri

S ta tu s Mid d le -In co m e Co u n try

Kira n a W ira S a tya D h a rm a Departem en Hubungan Internasional,

Fakultas Ilm u Sosial dan Ilm u Politik, Universitas Airlangga Em ail: kiranawr@gm ail.com

Abstract

M alay sia is a country in Southeast Asia w ith econom ic pow er in the w orld is taken into accoun t. Although regarded as an econ om ic pow er superior, M alay sia is still classified as a coun try of upper m iddle-incom e, w ith a GN I per capita of 10 570 USD in 20 15, lags behin d n eighborin g Sin gapore, w hich has becom e the high-in com e w ith GN I per capita of 52 0 90 Am erican dollars. M alay sia stagnan t econ om ic grow th an d accordin g to the in dicator by the W orld Ban k, has got stuck in the m iddle-in com e trap. This study seeks to provide an explanation of the factors that m ake it difficult for M alay sia to escape the m iddle-in com e coun try status. The author proposes the hy pothesis that the presence of Bum iputera in M alay sia policy en couragin g the grow th of a culture of cron y ism in M alay sia's political and econ om ic im plication s are then lim iting factors of econom ic grow th in M alay sia. M alay sian Bum iputera policy em bodied in rights - priv ileges to ethnic M alay s over n on -Malay ethn ic pron e then lead to the practice of ren t-seeking w hich is the beginn in g of cron y ism .

K e y w o r d s : M alay sia, m iddle-incom e trap, Bum iputera, ren t-seeking, cron y sm Abstrak

M alay sia, m erupakan negara di Asia Tenggara den gan kekuatan ekonom i y ang cukup diperhitungkan di dunia. M eskipun dian ggap sebagai kekuatan ekonom i y an g un ggul, M alay sia sam pai saat ini m asih diklasifikasikan sebagai n egara upper m iddle-in com e, dengan GN I per kapita 10 .570 dolar Am erika pada tahun 20 15, tertinggal dari n egara tetanggan y a Sin gapura y ang telah m enjadi n egara high-incom e dengan GN I per kapita sebesar 52.0 90 dolar Am erika. M alay sia m en galam i stagn an si pertum buhan ekonom i dan m en urut in dikator oleh W orld Ban k, telah terjebak dalam kon disi m iddle-incom e trap. Pen elitian in i berusaha m em berikan pen jelasan m en genai faktor-faktor y ang m en y ulitkan M alay sia untuk m elepaskan diri dari status m iddle-incom e coun try . Penulis m engajukan hipotesis bahw a adan y a Kebijakan Bum iputera di M alay sia m en dorong tum buhn y a buday a kron ism e dalam politik dan ekon om i M alay sia y ang im plikasin y a kem udian m em batasi faktor-faktor pertum buhan ekon om i M alay sia. Kebijakan Bum iputera M alay sia y an g terw ujud dalam hak – hak istim ew a terhadap etn is M elay u di atas etnis n on -M elay u ini raw an kem udian m en garah pada praktik ren t-seeking y ang m erupakan aw al dari kronism e.

K a t a K u n ci : M alay sia, m iddle-in com e trap, Kebijakan Bum iputera, rent-seekin g, kronism e

Studi oleh World Bank pada tahun 20 12 m enunjukkan bahwa dari 10 1 negara yang m encapai posisi m iddle-incom e yang pada dekade 1960 , hanya 13 di antaranya yang berhasil m encapai posisi high-incom e. Malaysia sam pai saat ini

(2)

Nam un m eskipun oleh Com ission on Growth and Developm ent Malaysia telah diidentifikasi sebagai salah satu dari hanya 13 negara yang m em iliki angka pertum buhan rata-rata lebih dari 7% tiap tahunnya dalam kurun waktu 25 tahun, pada akhirnya Malaysia harus m engalam i nasib serupa dengan banyak negara berkem bang lainnya, angka pertum buhan Malaysia m enurun dan m engantarkan pada kekhawatiran akan m iddle-incom e trap, yang dicirikan dengan hilangnya m om entum laju pertum buhan yang selam a ini dialam inya (Schum an 20 16). Terjebaknya suatu negara dalam m iddle-incom e trap m enurut Felipe et. al. (20 12) ditunjukkan dengan ketidakm am puan negara untuk lepas dari status m iddle-incom e country dalam kurun waktu m aksim al yang diperkirakan, yaitu 28 tahun untuk lower m iddle-incom e m enuju upper m iddle-incom e dan 14 tahun untuk upper m iddle-incom e m enuju high incom e. Malaysia dikatakan terjebak dalam m iddle-incom e trap sejak tahun 20 10 yaitu ketika ia m enginjak tahun ke-15 sebagai negara upper m iddle-incom e country.

Istilah m iddle-incom e trap pertam a kali digunakan oleh Inderm it Gill dan Hom i Kharas pada tahun 20 0 7 dalam An Asian Renaissance: Ideas for Econom ic Growth untuk m enggam barkan kondisi stagnansi ekonom i akibat krisis 1997 yang pada akhirnya berhasil dilalui oleh negara-negara Asia Tim ur nam un tidak kem udian oleh negara-negara Am erika Latin dan Tim ur Tengah. Kondisi m iddle-incom e trap dapat dialam i oleh negara-negara yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan m enengah dengan Gross Nastional Incom e (GNI) per kapita di antara 1.0 45 dolar Am erika sam pai 12.736 dolar Am erika, yang dapat dipisahkan lagi ke dalam lower-m iddle incom e dan upper-m iddle incoupper-m e dengan batas tengah 4.125 dolar Am erika (The World Bank 20 16). Negara-negara berpendapatan m enengah dapat terjebak dalam m iddle-incom e trap jika rata-rata pertum buhan ekonom inya berada di bawah 4,7% per tahun untuk negara dalam lower-m iddle

incom e, dan di bawah 3,5% per tahun untuk negara upper-m iddle incom e (Felipe et. Al. 20 12). Meskipun tidak ada kesepakatan resm i nam un secara um um

istilah m iddle-incom e trap m enggam barkan kondisi ketika pada level tertentu negara berpendapatan m enengah m ulai m enjadi tidak kom petitif pada sektor industri bernilai tam bah (value added industries), seperti m anufaktur. Industri padat karya akan m ulai didom inasi oleh negara berupah rendah (low-wage country), di sisi lain persaingan dengan negara-negara berteknologi tinggi (high-technology country) juga m asih terlalu sulit untuk dim enangkan, sehingga pertum buhan ekonom i negara tersebut akan cenderung stagnan atau bahkan m enurun (Paus 20 11).

Cherif dan Hasanov (20 15) m enjelaskan bahwa faktor kem unduran produktivitas yang m engancam negara terjebak dalam m iddle-incom e trap disebabkan oleh berkurangnya keuntungan yang sebelum nya didapatkan dari sektor tenaga kerja m urah dan im itasi teknologi. Seiring m eningkatnya status negara sebagai m iddle-incom e country, perubahan strategi ekonom i m enjadi dibutuhkan, karena kom petisi tenaga kerja m urah dan m anufaktur ringan m enjadi sulit dim enangkan ketika m em iliki upah tenaga kerja yang tinggi. Sehingga kem udian inovasi dalam ide, m etode, proses dan teknologi produksi m erupakan kewajiban yang tak terelakkan (Aghion & Howitt 1992, dalam Cherif & Hasanov 20 15).

(3)

yang terjebak dalam m iddle-incom e trap – Asia Tenggara dan Am erika Latin-, yang m em ungkinkan terlaksananya berbagai kebijakan berorientasi pertum buhan dalam kedua Negara tersebut.

Pertam a, pem erintah dari Korea Selatan dan Taiwan tidak harus bersaing dengan kelom pok kepentingan yang m em iliki kekuasaan besar. Kelom pok-kelom pok tersebut telah dihapuskan oleh m asa pendudukan J epang (bagi Korea), settlem ent oleh Cina daratan (bagi Taiwan), dan land reform (bagi keduanya). Karena itu, pem bentukan dan im plem entasi kebijaka dapat terhindarkan dari politik pressure group. Kedua, ketiadaan akan ketim pangan dalam skala besar m em berikan m akn a bahwa pem erintah tidak m em iliki kewajiban yang m endesak untuk m elakukan kebijakan redistribusi. Literatur analisis m engenai ekonom i politik pertum buhan m enunjukkan bahwa rezim yang m ewarisi ketim pangan besar akan secara konstan berada di

bawah tekanan untuk m engim plem entasikan

kebijakan-kebijakan growth-retarding atau yang berkontradisksi dengan pertum buhan. Ketiga, dan m asih berkaitan dengan faktor di atas, fakta bahwa pem im pin politik dapat dengan leluasa fokus pada tujuan-tujuan ekonom i, m em iliki arti

bahwa m ereka dapat m elakukan

pengawasan terhadap birokrasi secara lebih dekat dan cerm at. Hal ini penting, karena rezim yang bersifat intervensionis rawan untuk terjebak dalam dua m asalah fatal dalam birokrasinya.

Poin signifikan terakhir yang m em bedakan antara Negara-negara Asia Tim ur, khususnya Korea Selatan dan Taiwan, dengan Negara-negara Asia Tenggara ialah adanya warisan kolonisasi yang berbeda. Bagi

1

pengetahuan, keteram pilan, dan kem am puan seseorang yang dapat digunakan untuk m enghasilkan layanan profesional. Hum an capital mencerm inkan kem am puan kolektif perusahaan untuk m enghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dim iliki oleh

negara Asia Tenggara, m asa kolonial m em berikan pengalam an ketim pangan pendapatan yang sangat besar antara daerah urban dan pedesaan, antar wilayah dan antar kelom pok etnis, yan g bertahan hingga era paska-kem erdekaan. Kebanyakan dari Negara-negara ini m em ulai proses aselerasi pertum buhannya pada dekade 1960 dengan bekal perbedaan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan Korea Selatan dan Taiwan (Booth 1999).

Middle incom e trap, pada m ayoritas kasusnya, disebabkan adanya growth slowdown yang lebih dipengaruhi oleh faktor productivity slowdown daripada faktor decreasing return dari akum ulasi kapital. Pengaruh productivity slowdown – atau total factor productivity – terhadap growth slowdown m encapai 85 persen, sem entara akum ulasi kapital hanya m enyum bang 15 persen (Eichengreen, et.al 20 12). Dengan dem ikian, dari tem uan di atas, diketahui

bahwa hum an capital1 , perubahan

struktural, dan inovasi adalah faktor krusial yang m endorong pertum buhan total factor productivity (TFP), dan karenanya, sekaligus m enjadi solusi atas perm asalahan m iddle incom e trap (Vivarelli 20 14).

Im plem entasi dari klaim di atas dapat ditem ukan dalam analisis untuk IMF oleh Reda Cherif dan Fuad Hasanov (20 15), The Leap of the Tiger: How Malaysia Can Escape the Middle-Incom e Trap, yang m em bandingkan pertum buhan TFP di beberapa negara yang m am pu m enghindari m iddle-incom e trap, seperti Taiwan dan Korea Selatan, serta yang m asih terjebak di dalam nya, seperti Malaysia dan Thailand. Taiwan dan Korea Selatan m engalam i pertum buhan TFP rata-rata pertahunnya 1,8% dalam jangkauan tahun 1970 sam pai 20 10 , sedangkan

(4)

Malaysia hanya 0 ,8% dan Thailand 1,2%, padahal dari keem pat negara tersebut Malaysia m em ulai pertum buhan dengan paling baik dan m em iliki angka TFP tertinggi pada awal dekade 1970 . Hal tersebut m em buktikan kebijakan-kebijakan yang diam bil oleh Korea Selatan dan Cina terbukti berhasil m endorong produktivitas dan pertum buhan, yang kem udian m em am pukan keduanya m engejar GDP serta TFP dari Malaysia pada pertengahan dekade 198 0 .

Di sam ping pandangan m ainstream m engenai m iddle-incom e trap yang berfokus pada aspek-aspek ekonom i, terdapat pula pandangan alternatif yang m elihat fenom ena m iddle-incom e trap dari aspek non-ekonom i. Pandangan ini m eyakini bahwa kesepakatan sosial dan politik juga esensial dalam upaya m enghindari kondisi stagnansi. Kapasitas dan kom petensi dari pem im pin politik dalam m em bangun konsensus selam a im plem entasi m anajem en krisis dan reform asi struktural sangat vital pada tahapan post crisis. Karena tak dapat disangkal bahwa krisis m erupakan siklus dalam ekonom i – sering disebut sebagai konjungtur. Sehingga, aspek stabilitas sosial – politik m enjadi perlu dalam proses pem ulihan, dan sekaligus pem bangunan ekonom i (Foley, et.al. 20 11). Hal ini m enjelaskan salah satu alasan m engapa negara-negara kawasan Afrika Sub Sahara m engalam i kesulitan dalam m em bangun ekonom inya, bahkan terus dikategorikan sebagai negara berpendapatan rendah dari tahun 1950 sam pai saat ini – 31 dari 37 negara di dunia yang selalu berada di level low incom e countries berasal dari Afrika Sub Sahara – , adalah kondisi sosial – politiknya yang terus tidak stabil.

Selain ketidakstabilan politik, negara-negara yang terjebak dalam m iddle-incom e trap um um nya m enghadapi dua tantangan politik dan institusional. Pertam a, kebijakan-kebijakan yang

2

Kom oditas yang m erupakan hasil produksi dari sum ber daya alam .

dibutuhkan untuk m eningkatkan produktivitas – dalam hal ini inovasi dan hum an capital – m em butuhkan investasi yang sangat besar dalam kapasitas institusional. Kedua, tantangan-tantangan institusional ini datang ketika kapasitas politik untuk m em bangun institusi-institusi ini sedang dalam keadaan lem ah, dikarenakan oleh fragm entasi dalam koalisi politik yang seharusnya berpotensi sebagai pendukung. Aktivitas politik m enjadi terham bat juga oleh adanya perpecahan dalam kelom pok-kelom pok sosial, khususnya antara perusahaan dan tenaga kerja, dan um um nya oleh ketidaksetaraan sosial dan ekonom i (Doner 20 16).

Dalam m enganalisis keadaan ekonom i sebuah Negara, m asalah yang tam pak tidak selalu hitam atau putih, tidak sepenuhnya aspek ekonom i atau sepenuhnya aspek non-ekonom i, seringkali m asalah ekonom i begitu kom pleks dim ana kedua aspek tersebut berkaitan dan saling m em pengaruhi. Kasus m iddle-incom e trap di Malaysia juga dapat dianalisis dengan m em pertim bangkan kaitan aspek-aspek ekonom i dan non-ekonom i di atas. Di sam ping ekspor m anufaktur yang cukup besar, Malaysia belum m am pu benar-benar independen dari kom oditi

resource-based2 . Hal ini ditunjukkan

(5)

ekspor Malaysia tersebut m em berikan im presi bahwa keuntungan kom paratif Malaysia m asih berada pada produk-produk resource-based, terutam a kayu dan m inyak kelapa sawit (Yusuf et. al. 20 0 9) .

Salah satu kebijakan kontroversial yang dijalankan oleh Malaysia ialah New Econom ic Policy (NEP). Kontroversial karena NEP juga secara eksplisit m enekankan pem bentukan kelas Bisnis Bum iputera, yang kem udian dinterprestasikan dalam beragam cara oleh banyak pihak, salah satunya m enyebut kebijakan ini sebagai bentuk diskrim inasi terhadap etnis-etnis lain di Malaysia. Pengam at politik dari

Rajatnam School of International

Studies, Nanyang University di Singapura, Farish Ahm ad-Noor tidak m em bantah bahwa kebijakan NEP m em ang m em bawa perubahan dalam m asyarakat Malaysia dan penguasaan ekonom i Malaysia. Nam un ia m engungkapkan pula bahwa im plem entasi NEP selam a 30 tahun lebih m em unculkan kecenderungan kronism e dalam ekonom i politik Malaysia. Menurutnya kebijakan ini telah disalahgunakan oleh pihak pem im pin dan kroni-kroni pem erintah sendiri (BBC Indonesia 20 10 ). Edm und Terrence Gom ez m enam bahkan argum en tersebut dengan m enjelaskan bahwa secara um um NEP m em ang m enekankan praktek intervensi pem erintah dalam m em bangun ekonom i Malaysia. Dalam im plem entasinya, pem erintah Malaysia akhirnya tidak dapat m enghindari tum buhnya sistem patronase dalam perekonom ian Malaysia.

NEP m em iliki dua objektif, pertam a, yaitu untuk m enghapuskan kem iskinan rakyat Malaysia dan kedua, m elakukan restrukturisasi m asyarakat Malaysia untuk m engurangi tradisi identifikasi ras dengan fungsi ekonom i. Kedua tujuan itu direalisasikan lewat ekspansi ekonom i yang besar-besaran. NEP diaplikasikan kedalam dua bentuk kebijakan, yaitu: (1) bantuan terhadap etnis Melayu (Bum iputera) dan, (2) perencanaan pem bangunan regional. Kebijakan

pertam a diwujudkan dalam bentuk berbagai peraturan form al tertulis dan institusi yang dirancang guna m em bantu Bum iputera untuk berpartisipasi dalam sektor perkotaan, khususnya industri, perdagangan dan keuangan, term asuk juga kepem ilikan dan m anajem en perusahaannya. Melalui NEP, konsep pem bangunan regional pun berganti arah, tidak lagi sekedar m asalah kontribusi untuk peningkatan pendapatan nasional pada prim er, tapi lebih kepada upaya m engurangi disparitas regional antar etnis dan m eningkatkan pendapatan, kesehatan dan pendidikan etnis Melayu (Hansen et. al. 1990 ).

Tujuan-tujuan NEP m enyebabkan

intervensi pem erintah m enjadi tidak terhindarkan. Pengaturan di sektor pertanian dan jasa terutam a pada bidang perkebunan dan perbankan m enjadi sem akin kuat. Kelom pok Bum iputera m ulai beroperasi dan m enguasai sektor-sektor tersebut, m enggantikan m odal asing yang selam a ini m em egang peranan. Pada awal tahun 1980 an Malaysia m enerapkan kebijakan Look East Policy, yang m erupakan program insdustrialisasi dengan fokus pada industri berat dan elektronik. Disebut Look East Policy karena kebijakan ini berkaca pada program industrialiasai yang dilakukan oleh Negara-negara Asia Tim ur seperti J epang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dengan kontribusi dari J epang tersebut, pem erintah Malaysia m eningkatkan aktivitas m anufaktur dengan m em ulai proyek industri berat dan m em bentuk perencanaan industri lintas sektor guna m em perluas pertum buhan industri. Upaya-upaya tersebut diikuti dengan rencana penem patan pengusaha-pengusaha Bum iputera dalam bisnis baru yang dikem bangkan oleh pem erintah.

(6)

barang-barang oleh Bum iputera m ulai dikem bangkan dengan dukungan kuat dari pem erintah. Dukungan-dukungan yang diberikan pem erintah m elingkupi subsidi, proteksi terhadap produk asing, pengendalian persaingan dalam pasar dom estik, serta ikut cam pur secara langsung dalam kontrol usaha. Perusahaan-perusahaan besar seperti Kedah Cem ent, Perwaja, dan Proton m erupakan contoh dari perusahaan yang pem bentukannya dibawahi oleh HICOM, dan perusahaan-perusahaan tersebut secara khusus dibentuk sebagai wadah pelatihan bagi tenaga kerja Bum iputera.

Pada kasus Malaysia daya tawar ekonom i dan politik didapatkan m elalui hak yang telah diberikan secara konstitusional kepada kelom pok bangsa Melayu. Hak tersebut diatur dalam Konstitusi m ereka pada Artikel 153, yang secara garis besar m engatur kuota dalam m endapatkan fasilitas publik dan kesem patan kerja, dengan m em berikan keistim ewaan lebih

terhadap kelom pok bangsa Melayu3.

Dalam perekonom ian Malaysia, pengaturan tersebut m engakibatkan terjadinya kronism e (pelaku bisnis dan politisi berkolaborasi dalam aktifitas rent-seeking). Hal ini telah m engakibatkan terpusatnya kesem patan ekonom i pada segelitir kelom pok yang dapat dengan m udah m enetapkan harga barang dan jasa sehingga hanya dapat dijangkau oleh kelom pok tersebut. Regulasi dan eksekusi regulasi m enjadi tak terlaksana secara efektif dan tepat sasaran karena kronism e yang m em pengaruhi aktivitas pengam bilan kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan publik.

Ektrem is Melayu hingga saat ini telah

m em bela/ m em pertahankan hak Bum iputera dengan konsep Ketuanan

Melayu – sering dikaitkan dengan gagasan kontrak sosial yang terbentuk antara Melayu dan non-Melayu – dim ana orang Melayu dikatakan telah diberikan kewarganegaraan non-Melayu dalam

3

dengan mem berikan keistim ewaan lebih terhadap kelom pok bangsa Melayu

Federasi Malaya dengan ganti peningkatan hak untuk orang Melayu.

Sebagian penduduk Malaysia m engasosiasikan penyalahgunaan hak Bum iputera dengan partai dom inan dalam koalisi yang berkuasa, United Malays National Organisation (UMNO). Kritik berpendapat bahwa kebijakan pro-Bum iputera telah berevolusi dari m endukung kesejahteraan ekonom i orang Melayu yang sebelum nya berekonom i lem ah m enjadi sem ata-m ata upaya m enanam kan loyalitas politik terhadap koalisi yang berkuasa.

Berdasarkan indeks kroni-kapitalism e tahun 20 16 yang disusun oleh The Econom ist dengan data dari Forbes dan IMF, Malaysia berada pada peringkat dua di dunia untuk Negara dengan kekayaan para bilyunernya berasal dari sektor-sektor kroni, m enem pati posisi pertam a di antara Negara-negara Asia lainnya, dan hanya kalah dari Rusia. Sebagai peringkat pertam a, kekayaan bilyuner Rusia terhitung 21,3% dari keseluruhan GDP, dan 18% di antaranya berasal dari sektor kroni. Sedangkan Malaysia, m eskipun persentase kekayaan bilyunernya terhadap GDP jauh lebih rendah dari Rusia, yaitu 13,3%, nam un kontribusi sektor kroni di dalam nya m encapai 13%. Sehingga berdasarkan persentase sektor kroni terhadap kekayaan bilyuner di kedua negara, dapat dipastikan Malaysia m enem pati posisi lebih tinggi, yaitu 97,7%, dibandingkan dengan Rusia sebesar 8 4,5%.

(7)

akuntabilitas pem erintah, tapi juga m em buat ekonom i tidak sehat. Hal ini dapat dilihat pada kasus Proton, proyek m obil nasional yang dim ulai sejak 1983. Selam a bertahun-tahun, berbagai tariff dan nontariff barriers diterapkan pada m obil-m obil asing untuk m enjaga harga m obil buatan Malaysia tersebut tetap m urah secara kom paratif. Nam un Proton m em iliki kualitas yang rendah dan belum m encapai skala ekonom i. Negara harus terus m em berikan subsidi dan berbagai kebijakan proteksi, dan konsum en harus rela m enerim a kualitas Proton yang m inim , karena harga m obil asing yang terlam pau tinggi.

Banyak penduduk non-Bum iputera percaya bahwa m ereka telah diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di bawah ketentuan 'hak istim ewa'. Ada kuota Bum iputera untuk kursus Matrikulasi Pem erintah, beasiswa, tem pat di perguruan tinggi negeri, kepem ilikan perusahaan publik yang terdaftar, reksa dana pem erintah dll. Non-Bum iputera m enyatakan bahwa ketentuan ini tidak adil, terutam a dalam hal pendidikan, dim ana non-Bum iputera dengan skor tes yang tinggi tidak berhasil m asuk, sedangkan Bum iputera dengan nilai tes yang lebih rendah dapat m asuk universitas, beasiswa dll (The BBC 20 16).

Warga Malaysia m endapatkan dorongan untuk m elakukan em igrasi tidak hanya m urni faktor ekonom i, m eskipun faktor ekonom i seperti prospek karir m asih m enjadi m otivasi utam a. Ketidakadilan sosial terbukti m enjadi faktor pertim bangan penting warga Malaysia untuk m elakukan m igrasi. Ketidakadilan sosial ini berbicara m engenai kebijakan Bum iputera yang selam a ini m em eberikan pem batas tak kasat m ata antara warga etnis Melayu dan etnis lain seperti Cina dan India, dan m elahirkan persepsi di kalangan penduduk non-Bum iputera bahwa m ereka m erupakan warga kelas dua, di bawah penduduk Bum iputera. Faktor prospek kerja sebagai pendorong em igrasi sebenarnya juga sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya kebijakan Bum iputera ini. Dengan pengadaan kuota etnis terhadap

isntitusi pem erintah dan perlakuan yang berbeda dalam m enjalankan bisnis berdasarkan etnisitas, para calon tenaga kerja non-Bum iputera tentunya m em iliki kekhawatiran dalam m enjalani dunia kerja di Malaysia. laporan oleh World Bank yang m eyatakan bahwa etnis Cina m erupakan penyum bang m ayoritas dari brain drain di Malaysia (The World Bank 20 16).

Brain drain – m igrasi talent lintas batas- m enyentuh inti dari aspirasi Malaysia untuk m enjadi negara high-incom e. Hum an capital m erupakan pondasi dasar dari ekonom i high-incom e. Pertum buhan terus m enerus dan bersifat skill-intensive m em butuhkan kem ajuan dan peningkatan talent atau hum an capital. Bagi Malaysia untuk dapat sukses dalam perjalanannya m enuju negara high-incom e, ia butuh untuk m engem bangkan, m enarik kem bali dan m em elihara talent yang dim ilikinya. Fenom ena brain drain di sini nam paknya tidak selaras dengan objektif yang perlu dicapai Malaysia. Malaysia sedang m em butuhkan talent bagi pem bangunannya, nam un talent yang dibutuhkan justru pergi m eninggalkan Malaysia.

(8)

sistem berdasarkan m erit juga akan m enghapuskan kebutuhan untuk m engandalkan koneksi dan korupsi, serta akan m enum buhkan kom petisi yang sehat dalam dunia bisnis.

Kebijakan industrial dan intervensi selektif pem erintah dilaksanakan dengan kualitas yang buruk dan kurang efektif pada Malaysia, dan sebagai gantinya ada terlalu banyak bentuk intervensi pem erintah yang dim otivasi oleh pertim bangan-pertim bangan lain yang berlawanan dengan pem bangunan. Intervensi-intervensi tersebut – yang kini disebut sebagai bukti dari kroni

kapitalism e- m enanggung sebagian

tanggung jawab untuk kondisi rentan Malaysia yang m engantarkan pada krisis tahun 1997. Lebih penting lagi, kepentingan-kepentingan kroni tersebut telah m em pengaruhi respon kebijakan pem erintah yang berujung pada m em perburuk krisis. Dengan kata lain, m eskipun kroni kapitalism e tidak secara langsung dapat m enjelaskan asal m uasal krisis, di sam ping sebelum nya kepentingan finansial kroni bertanggungjawab untuk kebijakan finansial pada pertengahan dekade 1990 yang berujung pada krisis, keberadaannya secara pasti m em perburuk krisis di Malaysia. Berbagai bias kebijakan yang m enguntungkan kroni-kroni yang berpengaruh politik ini juga m erusak upaya untuk m engem balikan kepercayaan diri paska krisis, yang dinilai krusial untuk pem ulihan ekonom i (Sikorski 1997).

Praktik kontrol kapital di Malaysia oleh Perdana Menteri Mahathir dipaham i oleh para pengam at sebagai sarana untuk m em bantu perusahaan-perusahaan kroni, seperti yang diungkapkan oleh K.S. J om o:

The w in dow of opportun ity offered by capital con trols has been abused by certain pow erfully -con n ected busin ess in terests, n ot on ly to secure publicly fun ded bail-outs at public expen se, but ev en to con solidate an d exten d their

corporate dom in ation , especially in the crucial fin an ce fin an cial sector. Capital con trols hav e been part of a package focused on sav in g frien ds of the regim e, usually at the public's expen se. (Jom o 20 0 1)

Bukti anekdotal m enunjukkan bahwa krisis juga m engancam perusahaan yang m em iliki hubungan politik dan percaya bahwa kebijakan kontrol kapital m erupakan kesem patan bagi politisi untuk m endukung beberapa perusahaan yang m em iliki hubungan dengan m ereka, sehingga dapat dikatakan bahwa kontrol m odal m enciptakan ruang untuk kronism e. Inform asi yang ada juga m enunjukkan bahwa dugaan ini kem udian telah terbukti – m isalnya m elalui beberapa laporan oleh pers yang m enunjukkan adanya dukungan pem erintah kepada beberapa perusahaan yang terhubung dengan pejabat penting pem erintah setelah Septem ber 1998. Perusahaan dengan hubungan politis m em peroleh return saham yang lebih buruk pada fase awal dari krisis keuangan Asia, karena perusahaan-perusahaan ini m em iliki konsekuensi m enjadi lebih berhutang saat terkena krisis. Nam un saat kontrol kapital diterapkan, perusahaan-perusahaan ini rata-rata m enjadi lebih baik.

(9)

perusahaan oleh Bum iputera, reksa dana pem erintah, kem udahan dalam pengajuan kredit usaha m aupun perum ahan dll.-, serta politik, dim ana secara terang-terangan penguasaan ranah politik dipegang oleh UMNO yang m erupakan partai dengan sem angat suprem asi etnis Melayu dan secara konsisten m engupayakan pem enuhan hak-hak istim ewa rakyat Melayu, term asuk dengan m em pertahankan kursi kepem im pinan dengan berbagai cara, salah satunya dengan m em beli loyalitas konstituen dengan m enjual kesem patan-kesem patan strategis dalam bisnis di Malaysia kepada kelom pok-kelom pok kroni. Kelom pok-pok-kelom pok kroni di Malaysia tersebut tum buh akibat praktik rent-seeking yang m erupakan akibat dari preferential treatm ent berdasarkan etnis di Malaysia.

Di negara kaya sum ber daya alam seperti Malaysia, m udah sekali m em anfaatkan kewenangan untuk m engalokasikan sum ber daya alam kepada konstituen favoritnya dibandingkan dengan m engupayakan kebijakan ekonom i yang berorientasikan pem bangunan. Arus uang yang begitu besar dari sum ber daya alam m em bantu korupsi politik berkem bang. Penguasaan sum ber daya oleh kroni kem udian m em berikan kekayaan dan kenyam anan yang sulit untuk dikorbankan . Pem erintah kurang m erasakan urgensi m em bangun infrastruktur institusional untuk m engatur dan m em bebankan pajak bagi ekonom i produktif di luar sektor sum ber daya alam , sehingga ekonom i nasional lam bat m engalam i kem ajuan. Penulis m enduga bahwa terjebaknya Malaysia dalam kondisi m iddle-incom e trap, dapat disebabkan oleh satu faktor khusus yaitu, adanya kebijakan Bum iputera, m endorong tum buhnya budaya kronism e dalam politik dan ekonom i Malaysia yang im plikasinya kem udian m em batasi faktor-faktor pertum buhan ekonom i Malaysia.

Kebijakan bum iputera yang berdasarkan onsep Ketuanan Melayu – sering dikaitkan dengan gagasan kontrak

sosial yang terbentuk antara Melayu dan non-Melayu – dim ana orang Melayu dikatakan telah diberikan kewarganegaraan non-Melayu dalam Federasi Malaya dengan ganti peningkatan hak untuk orang Melayu, secara serius m enim bulkan persepsi ketidakadilan dan perasaan ketidakpuasan oleh etnis selain Melayu. Perlakuan dengan dasar kebijakan Bum iputera m enunjukkan bahwa etnis-etnis non-Melayu dan pribum i m erupakan rakyat kelas dua di Malaysia. Hal ini kem udian m enjadi salah satu alasan pendorong bagi etnis-etnis tersebut untuk m eninggalkan Malaysia, karena m erasa kurang diapresiasi berdasarkan eksistensi dan prestasi individual. Selain itu kesem patan untuk m endapatkan pendidikan tersier, pekerjaan di pem erintahan, dan m enjalankan bisnis secara m andiri, juga cukup terbatas.

Maraknya m igrasi warga Malaysia m enim bulkan sebuah kekhawatiran akan terjadinya, atau bahkan telah terjadinya fenom ena brain drain yang kerap ditem ui akibat praktik m igrasi. Brain drain m engacu aspek negatif dari kem udahan akses m obilitas atau m igrasi di era globalisasi ini. Dari sisi negara m iskin atau berkem bang, kem udahan akses m obilitas penduduk ini tentu kem udian m enarik para sarjana atau skilled people untuk kem udian m em perbaiki nasibnya dengan pindah dan bekerja di negara-negara m aju dan juga para calon pelajar untuk ikut m elanjutkan studi di negara-negara tersebut.

(10)

m eningkat, rata – rata pendapatan rum ah tangga m ereka m asih berada di bawah kelom pok etnis lainnya. Pem erintah Malaysia perlu untuk segera m elakukan kebijakan yang m engurangi sentim en etnisitas dalam kom unitas Malaysia. Adanya preferential treatm ent sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonom i, sosial dan politik di Malaysia. Melanjutkan kebijakan yang diskrim inatif tersebut dapat

m em perlam bat upaya – upaya

pencapaian peningkatan pertum buhan ekonom i, dan tidak m enutup

kem ungkinan akan berujung pada social unrest seperti yang terjadi pada negara – negara yang kental dengan diskrim inasi etnis di Tim ur Tengah. Ketidakpuasan rakyat Malaysia tidak hanya berakar dari preferential treatm ent, nam un juga bagaim ana kebijakan diskrim inatif tersebut disalahgunakan oleh pem egang kekuasaan politik. Sehingga reform asi terhadap institusi pem erintahan m enjadi hal yang perlu untuk dipertim bangkan, untuk m engangkat m oral dan kepercayaan rakyat Malaysia terhadap otoritas.

D a fta r Pu s ta ka

Artikel Daring

[1]BBC Indonesia, 2010 “Siapa yang untung dalam politik Bumiputera?”. Dalam

http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khus us/2010/04/100402_malaysiacronies.shtml. Diakses pada 15 Desember 2016. [daring] [2]Badawi, Abdullah Ahmad, 2004. “Moving Forward — Towards Excellence”. Dalam Wayback Machine. Diakses pada 16 Desember 2016 [daring]

[3]Bennet, Abang, 2005. “UMNO: A Threat to National Prosperity”. Dalam

http://aliran.com/archives/monthly/2005b/7d .html. Diakses pada 15 Desember 2016 [daring]

[4]HV, Vinayak “Understanding ASEAN: Seven Things You Need to Know | McKinsey & Company,” Dalam http://www.mckinsey.com/industries /public-sector/our-insights/understanding-asean-seven-things-you-need-to-know. Diakses pada 27 Maret 2016 [daring]. [5]Malaysiakini, 2016. “Should the gov’t bail

out Proton, again?” Dalam

http://www.malaysiakini.com/letters/300566 Diakses pada 18 Desember 2016 [daring] [6]Malaysia Today, 2016. “Malaysia’s National

Car Driving Into A Dead End? Not Many Options Left For Proton” Dalam

http://www.malaysia-today.net/malaysias- national-car-driving-into-a-dead-end-not-many-options-left-for-proton/. Diakses pada 18 Desember 2016 [daring]

[7]McKinsey & Company, n.d. “Understanding ASEAN: Seven Things You Need to Know”. Dalam

http://www.mckinsey.com/industries/public- sector/our-insights/understanding-asean-seven-things-you-need-to-know Diakses pada 27 Maret 2016 [daring]

[8]Ooi, Jeff, 2005. “The 30% solution” dalam Wayback Machine. Diakses pada 16 Desember 2016 [daring]

[9]Photius, Coutsoukis, 2016. “Malaysia Geography 2000”, CIA World Factbook 2001.

http://www.photius.com/wfb200/malaysia/m alysia geography.htm,. Diakses pada 8 Desember 2016. [daring]

[10]PPSDM Geologi, Mineral, dan Batubara, n.d. “Fenomena Resources Curse” Web.

http://www.pusdiklat-minerba.esdm.go.id/index.php/kerjasama/ite m/301-fenomena-resources-curse. Diakses pada 15 Desember 2016 [daring]

[11]Schuman, Michael, 2010. “Escaping the Middle-Income Trap” Time Business, 10 Agustus 2010. Dalam

http://business.time.com/2010/08/10/escapin g-the-middle-income-trap/. Diakses pada 27 Maret 2016. [daring]

[12]Security Commission Malaysia, 2016. “Bumiputera Equity Requirements For Public Listed Companies”. Dalam http://www.sc.com.my/bumiputera-equiry-requirements-for-public-listed-companies/. Diakses pada 17 Desember 2016 [daring] [13]Shari, Michael, 2002. Mahathir's Change of

Heart? “Business Week” dalam Wayback Machine. Diakses pada 16 Desember 2016 [daring]

[14]The BBC, 2013. “Is Malaysia University Entry a Level Playing Field?” BBC News. Dalam http://www.bbc.com/news/world-asia-23841888. Diakses pada 10 Desember 2016 [daring]

[15]________, 2013. “Will Malaysia’s Brain Drain Block Its Economic Ambitions? - BBC News.” Dalam

http://www.bbc.com/news/world-asia-22610210. Diakses pada 10 Desember 2016 [daring]

[16]The New York Times, 2016. “The Cost of Malays Supremacy”. Dalam

http://www.nytimes.com/2015/08/28/opinio n/the-costs-of-malay-supremacy.html?_r=1. Diakses pada 16 Desember 2016 [daring] [17]The World Bank, 2016. “Country and

Lending Groups.” Dalam

(11)

gebase/articles/906519-world-bank-country-and-lending-groups. Diakses pada 28 Maret 2016. [daring]

[18]Top University, 2016, “QS World University Rankings® 2015/16. N.p., 11 Sept. 2015”. Dalam. pada 28 Maret 2016. [daring]

[19]Trading Economics, 2016. “Singapore Average Monthly Wages | 1989-2016 | Data | Chart | Calendar.” Dalam

http://www.tradingeconomics.com/ singapore/wages. Diakses pada 28 Maret 2016. [daring]

[20]The Economist, 2016. "Our Crony

Capitalism Index: The Party Winds Down". Dalam

http://www.economist.com/news/internation al/21698239-across-world-politically- connected-tycoons-are-feeling-squeeze-party-winds. Diakses pada 14 Desember 2016 [daring]

[21]Yeap, Cindy 2015. “The State of the Nation: Has Malaysia escaped the middle-income trap?” Dalam

http://www.theedgemarkets.com/my/article/s tate-nation-has-malaysia-escaped-middle-income-trap Diakses pada 27 Maret 2016 [daring]

Buku

[22]Freeland, Christya, 2012. “Plutocrats: The Rise of the New Global Super-Rich and the Fall of Everyone Else.” Penguin Press [23]Hansen, Niles, Benjamin Higgins, Donald J.

Savoie, 1990. "Regional Policy in a Changging World." New York: Plenum Press.

[24]Hoiberg, Dale H., ed., 2010. “Abdul Razak bin Hussein, Tun Haji”. Encyclopedia Britannica. I: A-ak Bayes (15th ed.). Chicago, IL: Encyclopedia Britannica Inc. [25]Laura, Roselle dan Sharon Spray, n.d.

“Scholarly Literature and The Literature Review”, Research and Writing in

International Relations. New York: Pearson Longman.

[26]Le Grain, Philippe., 2006. "Brain Drain or Brain Grain? The costs and Benefits of Skilled Emigration, dalam Immigrants Your Country Needs Them." London: Little Brown, hal 179-197.

[27]Means, Gordon P., 1991. "Malaysian Politics: The Second Generation". Oxford University Press.

[28]Paus, Eva, 2011. “Latin America's Middle Income Trap. In Americas Quarterly 5” [29]Putra, Tunku Abdul Rahman, 1986. Political

Awakening. Pelanduk Publications

[30]Rodan, Garry, Kevin Hewison, and Richard Robison, 1997. "The Political Economy of South – East Asia: An Introduction". New York: Oxford University Press.

[31]Ulber Silalahi, n.d. “Metode Penelitian Sosial”. Bandung: Unpar Press.

[32]Jurnal

[33]Agénor, Pierre-Richard, Otaviano Canuto, and Michael Jelenic, 2012. “Avoiding Middle-Income Growth Traps”. Dalam http://siteresources.worldbank.org/

EXTPREMNET/ Resources/EP98.pdf [pdf] [34]Booth, Anne. 1999. “Initial Conditions and

Miraculous Growth: Why Is South East Asia Different from Taiwan and South Korea?” World Development 27

[35]Cherif, Reda, & Hasanov, Fuad, 2015. “The Leap of the Tiger: How Malaysia Can Escape the Middle-Income Trap”. IMF Working Paper WP/15/131; June 2015 [36]Coff, Russel W., 1997. “Human Assets and

Management Dilemmas: Coping with Hazards on the Road to Resource-Based Theory”. The Academy of Management Review Vol. 22, No. 2 (Apr., 1997), pp. 374-402

[37]Doner, R. F., & Schneider, B. R., 2016. “The Middle-Income Trap: More Politics than Economics”. World Politics, 68(4), 608–644. doi:10.1017/S0043887116000095 Dalam http://web.mit.edu/polisci/people/ faculty/documents/SchneiderandDoner2016. pdf [pdf]

[38]Eichengreen, Barry, 2011. "Escaping The Middle-Income Trap," Proceedings - Economic Policy Symposium - Jackson Hole, Federal Reserve Bank of Kansas City, pages 409-419.

[39]________________, 2012. “When Fast Growing Economies Slow Down:

International Evidence and Implications for China” NBER Working Paper No. 16919. Dalam

http://www.nber.org/papers/w16919.pdf [pdf]

[40]Felipe, Jesus, Arnelyn Abdon, and Utsav Kumar, 2012. "Tracking the Middle-Income Trap: What Is It, Who Is in It, and Why?" SSRN Electronic Journal SSRN Journal [41]Foley, J.A. et. al., 2011. “Solutions for a Cultivated Planet.” Nature 478: 337–42. [42]Gatsiounis, Ioannis, 2004. “Abdullah stirs a

hornets' nest”. Asia Times.

[43]Gelb, Alan, et. al., 1988. “Oil Windfalls – Blessing or Curse?” dalam

http://documents.worldbank.org/curated/en/5

36401468771314677/Oil-windfalls-Blessing-or-curse [pdf]

[44]Gomez, Edmund Terence, 2009. “The Rise and Fall of Capital: Corporate Malaysia in Historical Perspective.” Journal of

Contemporary Asia 39, no. 3 (August 2009): 345–381. http://www.tandfonline.com/doi/ abs/10.1080/00472330902944404. [pdf] [45]Indermit Gill dan Homi Kharas, 2007. “An

Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth“. Dalam

http://siteresources.worldbank.org

/INTEASTASIAPACIFIC/Resources/22626 2-1158536715202/EA_

Renaissance_full.pdf [pdf] [46]Johnson, Simon dan Todd Mitton,

(12)

[47]Jomo, K. S., 1998. “Malaysian Debacle: Whose Fault?” Cambridge Journal of Economics 22, no. 6 (November 1, 1998): 707–722. Dalam

http://cje.oxfordjournals.org/cgi/doi/10.1093 /cje/22.6.707. Diakses pada 29 Desember 2016 [pdf]

[48]Kahn, Joel S., 1998. “Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand.” Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. [49]Kaplan, Ethan, and Dani Rodrik, 2001. “Did

The Malaysian Capital Control Work?” NBER Working Paper Series.

[50]Kharas, Homi dan Kholi, Harinder, 2011. “What Is the Middle Income Trap, Why do Countries Fall into It, and How Can It Be Avoided”

[51]Lim, Kim-Hwa, Ratha Krishman Krishnan, and Jo-yee Yap., 2014. “The Economic Costs and Gains of Brain Drain : The Case of Malaysia and Its Policy Relevance,” no. July (2014): 1–49.

http://penanginstitute.org/v3/files/ BrainDrain_20140713.pdf. [pdf]

[52]Masuyama, Seiichi, Dona Vandenbrink and Chia Siow Yue, 1997. “Industrial Policies in East Asia.” Nomura Research Institute (NRI) and Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Japan and Singapore [53]Rajan, Raghuram G., dan Luigi Zingales,

1998. “Which Capitalism? Lessons from the East Asian Crisis,” Journal of Applied Corporate Finance 11

[54]Ramstetter, Eric D., 1990. “Policy Options for the Singapore Economy by Lim Chong Yah and Associates.” Asian Economic Journal 4, no. 1 (March 1990): 170–174. http://doi.wiley.com/10.1111/j.1467-8381.1990.tb00154.x. Diakses pada 27 Desember 2016 [pdf]

[55]Rodrik, Dani, 1995. “Getting Interventions Right: How South Korea and Taiwan Grew Rich.” Economic Policy 20

[56]Rudengren, Jan, Lars Rylander, and Claudia Rives Casanova, 2014. “It’s Democracy, Stupid: Reappraising the Middle-Income Trap”. Stockholm Paper 2014.

[57]Sachs, Jeffrey D. and Andrew Warner, 2001. “The Curse of Natural Resources” European Economic Review, 2001, vol. 45, issue 4-6, pages 827-838

[58]Sikorski, Douglas. 1997. “Southeast Asia Southeast Asia’s Misunderstood Miracle: Industrial Policy and Economic

Development in Thailand, Malaysia and Indonesia." By K.S. Jomo et Al. Boulder: Westview Press, 1997. Pp. Xiv, 196. Glossary, Tables, Chart, Bibliography, Index.” Journal of Southeast Asian Studies 29, no. 2 (September 24, 1998): 398. [59]The Economist, November 26, 1977 “The

Dutch Disease” p. 82-83.

[60]The World Bank, 2012. “China 2030: Building a Modern, Harmonious, and Creative High-Income Society”. [61]The World Bank, 2011. “Malaysia

Economic Monitor: Brain drain.”. Dalam http://documents.worldbank.org/curated/en/2 82391468050059744/Malaysia-economic-monitor-brain-drain [pdf]

[62]Vivarelli, Marco, 2014. "Structural Change and Innovation as Exit Strategies from the Middle Income Trap," IZA Discussion Papers 8148, Institute for the Study of Labor (IZA).

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian pada perusahaan dengan objek yang berbeda, misalnya dengan menambahkan jumlah variabel yang akan

Hasil belajar siswa kelompok kontrol (VIII G) dan kelompok eksperimen I (VIII E), eksperimen II (VIII F), eksperimen III (VIII H) pada sub pokok bahasan pembiasan cahaya dapat

Given the high barriers to entry and Pelindo III’s first mover advantage, it is well placed to maintain its position as the largest port operator in Central and Eastern

Budidaya padi organik bertujuan meminimalkan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia, namun kenyataannya tetap tidak terlepas dari gangguan hama dan

apabila setelah dilakukan klarifikasi , ternyata harga satuan tersebut dinyatakan timpang maka harga satuan timpang hanya berlaku untuk volume sesuai dengan Daftar

[r]

Dengan ini kami sampaikan pengumuman hasil kualifikasi untuk Pekerjaan Pemetaan Dan Identifikasi Lokasi Titik Koordinat ( BTS) Bersama Telekomunikasi pada Satuan

Daftar Sidik Ragam Rasio Bobot Kering Tajuk Akar. SK db JK KT