• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

R

INGKASAN

E

KSEKUTIF

A. P

ROSES

P

EMULIHAN

E

KONOMI

T

AHUN

2003

Dalam tahun 2003 stabilitas moneter tetap terkendali tercermin dari stabil dan menguatnya rupiah; menurunnya laju inflasi dan suku bunga; serta meningkatnya cadangan devisa. Namun perkembangan sektor riil belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Dalam tahun 2003, perekonomian diperkirakan tumbuh sekitar 3,9% dengan pendapatan riil per kapita sekitar 97,1% dibandingkan sebelum krisis (tahun 1996).

Dalam keseluruhan tahun 2003 perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,2% sedikit lebih tinggi dari tahun 2002 meskipun dalam semester I/2003 ketidakpastian global meningkat dengan semakin memanasnya konflik AS – Irak, merebaknya virus saluran pernafasan akut di kawasan Asia, dan masih lemahnya kepercayaan masyarakat tercermin dari melemahnya kinerja pasar modal. Pada bulan Juni 2003, Bank Sentral AS kembali menurunkan suku bunga the Fed menjadi 1% yang kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga diskonto di beberapa negara industri maju lainnya. Kebijakan moneter yang longgar serta perang AS – Irak yang berlangsung singkat membantu meningkatkan kinerja perekonomian dunia pada semester II/2003

Meningkatnya kinerja bursa saham dunia serta berbagai sentimen positif dalam negeri lainnya memperbaiki kinerja pasar modal dalam negeri. Pada bulan November 2003, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta mencapai 617,1 atau naik 45,2% dibandingkan dengan akhir tahun 2002. Demikian pula nilai kapitalisasi pasar (NKP) meningkat menjadi Rp 411,7 triliun atau naik 53,9%.

Selama 11 bulan pertama tahun 2003, nilai tukar rupiah cenderung menguat. Pada bulan November 2003 nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.537,-/US$ menguat sekitar 4,5% dibandingkan dengan akhir tahun 2002. Relatif stabilnya kondisi politik dan keamanan di dalam negeri membantu mengendalikan jumlah uang beredar. Sampai akhir Oktober 2003,

(2)

posisi uang primer mencapai Rp 140,1 triliun dengan pertumbuhan rata-rata tertimbang sekitar 9,6% setahun.

Nilai tukar rupiah yang cenderung menguat dan terkendalinya laju uang primer turut mengendalikan harga barang dan jasa. Laju inflasi selama 11 bulan pertama (Januari – November) tahun 2003 mencapai 4,08%, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 8,72%. Sedangkan laju inflasi setahun (akhir November 2003 terhadap akhir November 2002) menurun menjadi 5,33%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 10,48%.

Membaiknya kinerja perekonomian dunia turut membantu kinerja eksternal. Selama 10 bulan pertama (Januari – Oktober) tahun 2003 nilai ekspor Indonesia naik sekitar 6,0% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya terutama didorong oleh ekspor migas yang meningkat 16,0%; sedangkan ekspor non-migas hanya meningkat 3,4%. Sejalan dengan itu nilai impor naik sebesar 5,8% dalam periode yang sama.

Sampai dengan triwulan III/2003, perekonomian tumbuh sebesar 3,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, didorong oleh pengeluaran konsumsi rumahtangga dan pemerintah yang naik masing-masing sebesar 4,4% dan 9,0%. Dorongan konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan tercermin antara lain dari penjualan mobil dan motor yang masing-masing naik sebesar 11,8% dan 21,7%. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto dan ekspor barang dan jasa hanya tumbuh sekitar 2,3% dan 0,5%. Dari sisi produksi, sektor pertanian tumbuh lebih baik yaitu sekitar 2,5%; industri hanya sekitar 2,3%; sedangkan lainnya hanya sekitar 4,7%.

Dalam keseluruhan tahun 2003, perekonomian diperkirakan tumbuh sekitar 3,9%, didorong oleh kenaikan pengeluaran konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah masing-masing sebesar 4,6% dan 8,7%. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto dan ekspor barang dan jasa diperkirakan meningkat sekitar 2,7% dan 1,2%. Dari sisi produksi, sektor pertanian, industri pengolahan, dan sektor-sektor lainnya diperkirakan masing-masing tumbuh sekitar 2,5%, 2,6%, dan 4,9%.

(3)

Meskipun stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2003 tetap terkendali, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2004 masih cukup besar.

Pertama adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat menjaga kesinambungan pembangunan dengan masih rendahnya investasi dan melemahnya kinerja ekspor non-migas. Pembentukan modal tetap bruto tahun 1999 – 2002 hanya tumbuh rata-rata sekitar 1,5% per tahun. Tingkat investasi (pembentukan modal tetap bruto) dalam tahun 2002 baru mencapai sekitar 75% dibandingkan sebelum krisis (tahun 1996). Dengan pemulihan investasi yang lambat tersebut, sumbangan investasi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) menurun dari 29,5% pada tahun 1996 menjadi 20,2% pada tahun 2002. Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA, juga masih lemah kecuali tahun 2000 yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat tinggi. Kenaikan penerimaan ekspor non-migas juga menunjukkan perlambatan. Nilai ekspor non-migas tahun 1999 – 2002 hanya tumbuh rata-rata sekitar 2,7% per tahun. Rendahnya investasi dan melambatnya kinerja ekspor non-migas mengakibatkan tertekannya pertumbuhan sektor industri non-migas yang dalam tahun 1999 – 2002 hanya tumbuh rata-rata sekitar 5,0% per tahun; jauh di bawah sebelum krisis yaitu sekitar 11,5% per tahun (1991 – 1997).

Kedua adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi yang terdorong dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sejak krisis, kemampuan perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja makin menurun. Dalam tahun 2000 – 2002, setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan lapangan kerja bagi 200 – 300 ribu orang; sedangkan dalam tahun 1996 mampu diciptakan lapangan kerja bagi sekitar 400 – 500 ribu orang. Dengan bertambahnya pengangguran terbuka, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dibandingkan sebelum krisis. Dalam tahun 2002, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah sekitar 38,4 juta jiwa (18,2%). Sampai dengan September 2003, upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan.

Ketiga adalah menjaga stabilitas ekonomi dengan diakhirinya program kerjasama dengan IMF pada akhir tahun 2003. Dengan tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang luar negeri, yang sebelumnya diperoleh dari Paris Club, akan dihadapi masalah

(4)

pembiayaan pembangunan dan ketidakseimbangan eksternal yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas moneter. Tantangan ini akan menjadi semakin berat dengan kemungkinan adanya policy reversal dari negara-negara industri maju dari kebijakan moneter yang longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat.

Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu ditempuh upaya-upaya pokok sebagai berikut.

Pertama, meningkatkan iklim investasi yang mampu menarik penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor yang selama ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang dan berbelit, ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif, administrasi perpajakan dan kepabeanan yang berbelit, perlu ditangani dengan segera. Pembenahan sektor riil ini semakin penting mengingat rupiah mengalami apresiasi riil relatif dibandingkan dengan mata uang negara-negara tetangga.

Kedua, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Peningkatan daya saing dalam jangka pendek dan menengah dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam jangka menengah peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi ekspor nasional.

Ketiga, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan mendorong ekspor. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik investasi. Disamping itu zona-zona ekonomi khusus dan kebijakan spasial perlu dikembangkan dalam rangka mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi penguatan ekonomi nasional tetapi juga memberi peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.

(5)

Keempat, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar secepatnya pulih. Meskipun penyaluran kredit oleh perbankan kepada masyarakat meningkat, namun dibandingkan dengan dana yang dihimpun oleh perbankan, penyalurannya relatif masih rendah. Sampai dengan Agustus 2003, loan-to-deposit ratio (LDR) baru mencapai 41,1% dengan penyaluran yang lebih cepat pada kredit konsumsi; jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum krisis yaitu sekitar 70 – 80%. Sampai akhir tahun 2002, rasio kredit terhadap PDB baru mencapai 22,7%, jauh dibandingkan dengan sebelum krisis yaitu sekitar 60,2% pada tahun 1997. Upaya untuk mendorong penyaluran kredit perbankan perlu ditingkatkan antara lain dengan mendorong suku bunga pinjaman yang saat ini penurunannya relatif lebih lambat dibandingkan dengan suku bunga deposito serta melakukan pembenahan di sektor riil untuk memperkecil resiko penyaluran kredit.

Kelima, meningkatkan ketahanan fiskal untuk menutup financing gap yang timbul sebagai akibat tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang luar negeri yang sebelumnya diperoleh melalui Paris Club. Ketahanan fiskal tersebut perlu didukung oleh stabilitas moneter dan keseimbangan eksternal melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang terpadu tanpa mengorbankan momentum pertumbuhan yang sudah ada.

Keenam, menjaga stabilitas moneter dan ketahanan sektor keuangan berkaitan dengan kemungkinan kebijakan berbalik (policy reversal) dari negara-negara industri yang saat ini menjalankan kebijakan moneter yang relatif longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat. Policy reversal ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka pendek, yang masuk ke Indonesia ke luar kembali. Selain arus modal yang sifatnya jangka panjang perlu segera didorong masuk untuk mengamankan neraca pembayaran, mekanisme dari Indonesia Financial Safety Net yang mengkoordinasikan otoritas kebijakan moneter, otoritas kebijakan fiskal, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, serta otoritas lembaga penjamin simpanan perlu segera dijabarkan agar meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani gejolak moneter yang mungkin timbul.

Ketujuh, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi beban pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan perlu menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan UMP agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan agar biaya-biaya non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja; serta meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Selain melalui pengurangan pengangguran, upaya mengurangi jumlah penduduk

(6)

miskin perlu didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan, termasuk program pemberdayaan masyarakat miskin, serta dengan pelibatan secara aktif pemerintah daerah.

Upaya-upaya pokok tersebut di atas membutuhkan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat memelihara kepercayaan konsumen dalam pelaksanaan pemilihan umum yang harus diupayakan secara tertib dan aman.

C. L

INGKUNGAN

G

LOBAL

D

AN

D

OMESTIK

Prospek perekonomian nasional tahun 2004 dipengaruhi oleh lingkungan global dan domestik, kinerja yang sudah dicapai tahun-tahun sebelumnya, tantangan yang dihadapi serta langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh tahun 2004 dan tahun-tahun berikutnya.

Perekonomian dunia tahun 2004 diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya didorong oleh kebijakan ekonomi makro relatif longgar, yang dimungkinkan oleh rendahnya inflasi, pemberian stimulus ekonomi di AS, negara industri lainnya, dan negara-negara emerging market; serta meningkatnya investasi seiring dengan membaiknya kepercayaan masyarakat dan dunia usaha. Sejalan dengan meningkatnya ekspektasi terhadap pemulihan ekonomi dunia, suku bunga di negara-negara maju diperkirakan sedikit meningkat namun masih menarik bagi kegiatan investasi. Kombinasi melimpahnya likuiditas, kebijakan moneter yang longgar, serta terbentuknya ekspektasi bahwa kebijakan suku bunga rendah akan berlangsung cukup lama diperkirakan mendorong suku bunga relatif tetap rendah dalam tahun 2004.

Meskipun arus investasi meningkat, kemungkinan meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju akan mempengaruhi arus masuk modal swasta termasuk ke kawasan Asia. Arus masuk modal swasta (neto) ke kawasan Asia diperkirakan turun dari US$ 62,4 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 13,7 miliar pada tahun 2004.

Pada tahun 2004, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh sekitar 4,1%. Pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih tinggi akan meningkatkan permintaan impor negara-negara industri maju sekitar 4,8% termasuk dari negara-negara berkembang. Sejalan dengan itu, ekspor negara berkembang meningkat 6,9%. Secara keseluruhan volume perdagangan dunia diperkirakan meningkat menjadi 5,5% pada tahun 2004, lebih tinggi dibandingkan tahun 2003 yaitu 2,9%.

(7)

Membaiknya volume perdagangan dunia pada tahun 2004 diperkirakan meningkatkan harga komoditi non-migas sebesar 2,4%; sedangkan harga ekspor minyak mentah diperkirakan menurun menjadi US$ 25,5/barel didorong oleh mulai pulihnya produksi minyak di Irak. Berbagai perkembangan di atas diperkirakan mendorong kinerja ekspor nasional yang selanjutnya akan mempercepat proses pemulihan ekonomi.

Sementara itu lingkungan domestik tahun 2004 akan dipengaruhi oleh dua peristiwa penting yaitu (a) pelaksanaan pemilihan umum yang akan memilih anggota DPR serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung serta (b) dimulainya pembangunan pasca program kerjasama dengan International Monetary Fund (IMF).

Agar proses pemulihan ekonomi tahun 2004 berlangsung lebih baik, pelaksanaan pemilihan umum perlu diupayakan berjalan secara demokratis, aman, dan tertib. Dengan stabilitas politik dan keamanan yang terkendali, akan tercipta lingkungan domestik yang kondusif bagi pelaksanaan ketujuh upaya pokok tersebut di atas.

D. P

ROYEKSI

E

KONOMI

T

AHUN

2004

Dengan terpeliharanya stabilitas politik dan keamanan, kurs rupiah ditentukan oleh fundamental ekonomi. Masih cukup besarnya cadangan devisa setelah dikurangi kewajiban pembayaran utang IMF diperkirakan dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Pada tahun 2004, rupiah diperkirakan sekitar Rp 8.600,- per dollar AS. Secara bilateral, nilai tukar rupiah ini mengalami apresiasi riil dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya sehingga menuntut pembenahan-pembenahan lebih lanjut di sektor riil yang mampu meningkatkan daya saing ekspor nasional.

Stabilitas politik dan keamanan diperlukan pada tahun 2004 untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kebijakan moneter dalam tahun 2004 perlu memberi ruang gerak bagi pemulihan sektor riil untuk mengimbangi menurunnya dorongan kebijakan fiskal berkaitan dengan upaya untuk menurunkan defisit APBN dan stok utang pemerintah serta tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang melalui Paris Club. Melalui berbagai kombinasi instrumen antara lain operasi pasar terbuka (OPT), sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah, jumlah uang beredar diharapkan tidak terlalu ketat tanpa mengabaikan pencapaian sasaran laju inflasi. Dalam kondisi politik dan keamanan yang diupayakan tetap

(8)

stabil, jumlah uang primer dapat dikendalikan dengan pertumbuhan sekitar 11 – 12%. Dengan stabilnya nilai tukar dan terjaminnya pasokan dan distribusi barang laju inflasi pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 6,5%.

Terjaganya stabilitas politik dan keamanan serta meningkatnya kepastian hukum diperkirakan akan menurunkan premi resiko. Dengan terkendalinya laju inflasi serta masih rendahnya suku bunga internasional tersedia ruang gerak untuk menurunkan suku bunga. Dalam tahun 2004, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 8,5%.

Ekspor non-migas diperkirakan tumbuh 5,5% dengan membaiknya perekonomian dunia serta didorong oleh berbagai langkah kebijakan termasuk penyederhanaan kepabeanan. Namun kenaikan ekspor non-migas tersebut tidak dapat mengimbangi menurunnya ekspor migas harga ekspor minyak mentah yang lebih rendah, serta meningkatnya kebutuhan impor barang dan jasa seiring dengan meningkatnya investasi. Pada tahun 2004 surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan menurun menjadi 1,8% PDB dari 3,4% PDB pada tahun sebelumnya.

Dengan tidak adanya fasilitas penjadwalan pembayaran utang luar negeri, defisit neraca arus modal diperkirakan meningkat menjadi US$ 5,1 miliar pada tahun 2004 dari defisit sekitar US$ 1,7 miliar pada tahun 2003. Meningkatnya defisit neraca modal tersebut terutama didorong oleh meningkatnya arus keluar modal swasta untuk pembayaran pokok utang yang pada tahun 2004 diperkirakan sekitar US$ 3,8 miliar. Dengan semakin efektifnya pengelolaan utang luar negeri pemerintah akan terjadi peningkatan penarikan pinjaman pada tahun 2004 menjadi US$ 3,5 miliar dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2003.

Dengan perkembangan tersebut, dalam tahun 2004 diperkirakan terjadi defisit neraca pembayaran sebesar US$ 1,8 miliar. Dengan meningkatnya kewajiban membayar pinjaman IMF, cadangan devisa diperkirakan turun dari US$ 35,2 miliar pada akhir tahun 2003 menjadi US$ 33,4 miliar pada akhir tahun 2004. Jumlah cadangan devisa cukup untuk membiayai sekitar 7,0 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah)

Kebijakan fiskal tahun 2004 dilaksanakan secara konsisten untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Stabilitas moneter yang relatif terjaga dengan baik akan membantu bagi terciptanya ketahanan fiskal yang berkelanjutan. Stabilitas

(9)

nilai tukar serta suku bunga dan tingkat inflasi yang rendah akan mengurangi beban pengeluaran negara.

Sejalan dengan upaya menurunkan defisit anggaran secara bertahap, defisit tahun anggaran 2004 diperkirakan sekitar 1,2% PDB, lebih rendah dibandingkan tahun 2003 yaitu 2,0% PDB.

Defisit anggaran akan dibiayai terutama dari dalam negeri yaitu dengan memanfaatkan dana pemerintah yang ada di Bank Indonesia, penjualan sisa aset BPPN, dan privatisasi BUMN. Sejalan dengan upaya untuk mengurangi stok utang luar negeri, pembiayaan luar negeri bersih diperkirakan negatif 0,8% PDB. Dalam rangka pengelolaan pinjaman dalam negeri, pelaksanaan program refinancing dan buy back perlu dilanjutkan.

Untuk menghindari gejolak politik pada masa pelaksanaan pemilihan umum, pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Dengan terbatasnya anggaran, perlu terus dilakukan upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengalokasian anggaran. Pengeluaran pembangunan diprioritaskan pada kegiatan yang mendesak, berdampak luas, serta mebuka kesempatan kerja yang luas.

Adapun pendapatan negara terus diupayakan meningkat khususnya pajak dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan pajak dilakukan melalui reformasi perpajakan yang mencakup perbaikan administrasi perpajakan. Penerimaan pajak sebagai rasio PDB diperkirakan menjadi 13,6% pada tahun 2004.

Dengan kondisi politik dan keamanan yang harus diupayakan stabil dalam tahun pelaksanaan pemilu, perekonomian dalam tahun 2004 diperkirakan mampu tumbuh 4,5%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang diperkirakan sekitar 3,9%. Siklus politik lima tahunan tersebut akan mendorong konsumsi masyarakat sebagai salah satu penggerak ekonomi dengan pertumbuhan sekitar 5,1%; sedangkan pembentukan modal tetap bruto diperkirakan tumbuh sebesar 3,8%. Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia, ekspor barang dan jasa diperkirakan tumbuh 3,7%. Sementara itu, meningkatnya investasi yang diperkirakan terjadi pada semester II/2004 akan meningkatkan impor barang dan jasa sekitar 6,2%.

(10)

Dari sisi produksi, sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,1% pada tahun 2004 atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dengan perkiraan adanya keterlambatan musim hujan. Adapun industri pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 5,5% didorong oleh perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Sementara itu, sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 4,9% atau sedikit lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan jumlah penduduk sekitar 218,2 juta orang pada tahun 2004, pendapatan riil per kapita dengan harga konstan tahun 1998 diperkirakan mencapai tingkat sebelum krisis.

Pertumbuhan ekonomi 4,5% pada tahun 2004 belum cukup memadai untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan pertumbuhan tersebut diperkirakan hanya tercipta lapangan kerja baru bagi 1,4 juta orang, lebih rendah dibandingkan tambahan angkatan kerja yaitu 2,0 juta orang. Dengan demikian, jumlah penganggur terbuka pada tahun 2004 diperkirakan bertambah sekitar 0,7 juta orang, menjadi 10,8 juta orang.

Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam jangka yang cukup panjang juga akan mempengaruhi ketahanan fiskal karena perekonomian menjadi kurang mampu untuk mengurangi beban pembangunan termasuk pembayaran utang.

Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2004 lebih rendah dari 4,5%. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) meningkatnya ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri terkait dengan pelaksanaan pemilu tahun 2004; (b) tidak dilaksanakannya kebijakan makro yang cukup hati-hati khususnya pengelolaan defisit anggaran; serta (c) melambatnya proses pemulihan ekonomi dunia.

Berbagai faktor di atas dapat menyebabkan volatilitas nilai tukar rupiah meningkat pada kisaran Rp 9.000,- hingga Rp 10.000,- per dollar AS, laju inflasi antara 8 hingga 10%, suku bunga SBI 3 bulan antara 10 hingga 12%; serta pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 3%.

(11)

1. INVESTASI

Upaya untuk menarik investasi dihadapkan pada dua lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dalam tahun 2004 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat.

Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun antara lain dengan meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal, kemungkinan terjadinya berbagai spekulasi dalam proses merger dan akuisisi perusahaan, serta masalah-masalah kelembagaan seperti kelambatan proses privatisasi di beberapa negara.

Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu saja. RRC tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai.

Lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang menghambat iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor domestik tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama adalah prosedur yang panjang dan berbelit. Untuk memulai usaha di bidang perdagangan misalnya diperlukan tidak kurang dari 46 surat izin dari berbagai tingkat pemerintahan. Berdasarkan telaah Bank Dunia (2003) terhadap peraturan perundangan yang ada, dibutuhkan sekitar 11 prosedur pokok untuk memulai usaha di Indonesia yang memakan waktu selama 168 hari atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur lainnya yaitu sekitar 66 hari. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun kepentingan nasional seperti dalam penciptaan lapangan kerja.

Kedua adalah tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah di bidang investasi serta kebijakan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi

(12)

mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi. Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang mencerminkan belum tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat satu sama lain.

Ketiga adalah kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga.

Keempat adalah kurang kondusifnya pasar tenaga kerja. Terdapat dua masalah ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat investasi yaitu: (a) kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya biaya-biaya non-UMP serta (b) ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja tidak saja tinggi, tetapi juga sulit untuk diperkirakan.

Kelima, meskipun sejak tahun 2001 stabilitas keamanan secara nasional relatif membaik, kegiatan investasi di Indonesia masih sangat sensitif terhadap gangguan keamanan di daerah sehingga penanaman modal cenderung menghindar dari daerah-daerah yang rawan konflik seperti Aceh, Maluku, dan Papua. Meningkatnya gangguan keamanan, meskipun bersifat lokal, dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekuatiran investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia atau menunda realisasi dari rencana investasinya.

Keenam adalah kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances).

(13)

Faktor-faktor penghambat investasi sebagaimana diuraikan di atas perlu diatasi secepat mungkin. Langkah-langkah awal untuk meningkatkan kembali iklim investasi di Indonesia sebagian tercantum Inpres No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF.

Dalam rangka menyederhanakan proses perijinan akan dilaksanakan sistem pelayanan satu atap (one roof system) dengan melibatkan unsur BKPM, instansi terkait, dan pemerintah daerah. Selanjutnya dalam upaya memberikan kepastian hukum sebagai payung bagi iklim investasi di Indonesia, RUU Penanaman Modal yang disusun lebih dari empat tahun diupayakan untuk diajukan kepada DPR selambat-lambatnya Desember 2003.

Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengadilan niaga sedang dilakukan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta pembaruan Cetak Biru Pengadilan Niaga. Adapun untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah akan dilakukan harmonisasi peraturan daerah dalam konteks otonomi daerah berupa pembatalan peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.

Di bidang ketenagakerjaan diupayakan penyelesaian pembahasan RUU Penyelesaian Hubungan Industrial serta penyelesaian berbagai aturan pelaksanaan dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam upaya meningkatkan kemampuan menangkal aksi terorisme yang dapat mempengaruhi iklim usaha di Indonesia akan dilakukan antara lain peningkatan kemampuan deteksi dini, peningkatan keamanan lokal, dan peningkatan kerjasama dengan negara sahabat.

Meskipun secara parsial dan apabila dilaksanakan dengan konsisten serta didukung oleh sistem insentif dan penalti yang memadai, langkah-langkah awal sebagaimana yang tercakup dalam Inpres No. 5/2003 diperkirakan akan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, namun belum memadai untuk menciptakan suatu iklim investasi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Satu strategi besar (grand strategy) di bidang investasi diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut.

Pertama, perijinan investasi perlu lebih disederhanakan dan secara bertahap diarahkan pada sistem pendaftaran (registrial system). Dengan sistem ini tidak hanya akan dihemat waktu bagi pelaksanaan kegiatan investasi di Indonesia, tetapi juga akan dikurangi biaya-biaya

(14)

untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Di banyak negara, prosedur perijinan sangat sederhana dan singkat.

Kedua, insentif untuk menarik invetasi, termasuk insentif perpajakan, perlu dikembangkan. Disamping pembenahan administrasi perpajakan, sistem perpajakan nasional, termasuk tarif pajak, perlu disempurnakan agar iklim investasi di Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Di satu pihak, pemberian insentif pajak yang berlebihan dalam jangka pendek kemungkinan dapat mempengaruhi ketahanan fiskal yang harus diperkuat untuk mengurangi beban utang yang besar. Namun apabila respon investasi sangat tinggi, maka pemberian insentif pajak akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memperkuat ketahanan fiskal. Satu kajian menyeluruh mengenai kebijakan fiskal yang terkait dengan upaya untuk mendorong investasi diperlukan untuk meningkatkan daya tarik perekonomian nasional. Pada dasarnya ketahanan fiskal dan iklim investasi yang mampu bersaing saling terkait satu sama lain.

Disamping insentif perpajakan, insentif yang terkait dengan ketentuan penggunaan lahan perlu disempurnakan. Meskipun dapat diperpanjang lagi setelah 30 tahun digunakan, hak penggunaan lahan di Indonesia relatif lebih pendek dibandingkan dengan negara lain yang menawarkan hak guna lahan hingga 100 tahun.

Ketiga, kebijakan investasi perlu diintegrasikan dengan kebijakan teknologi, kebijakan ekspor, dan pengembangan daerah dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan ke daerah. Salah satu manfaat jangka menengah dan panjang dari PMA adalah transfer teknologi. Kebijakan perpajakan selain diarahkan untuk menarik investasi juga diarahkan untuk meningkatkan transfer teknologi dari PMA kepada perekonomian nasional dalam rangka peningkatan daya saing nasional.

Kebijakan investasi juga perlu diarahkan untuk mendorong kemampuan ekspor nasional agar peningkatan investasi tidak saja digerakkan oleh permintaan dalam negeri tetapi juga untuk memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Upaya ini perlu dilakukan dengan mengembangkan zona-zona ekonomi khusus dengan memberikan insentif yang tepat sasaran dalam kerangka pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh.

(15)

Setelah krisis pada tahun 1997, ekspor non-migas Indonesia menurun pada tahun 1998 dan 1999. Dalam tahun 2000 ekspor meningkat tajam terutama didorong dengan permintaan eksternal yang kuat. Resesi dunia yang terjadi tahun 2001 dengan pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 2,2% mengakibatkan ekspor non-migas menurun sekitar 10%. Meskipun perekonomian dunia tahun 2002 mulai pulih dengan pertumbuhan sekitar 3,2%, ekspor migas hanya meningkat 1,5%. Secara lebih rinci perkembangan ekspor non-migas untuk beberapa komoditi pokok setelah krisis dapat diringkas sebagai berikut.

Dalam kelompok hasil industri, ekspor kayu lapis, tekstil dan pakaian jadi cenderung menurun. Penurunan ekspor kayu lapis bahkan sudah terjadi sejak sebelum terjadinya krisis. Ekspor pakaian jadi yang pada tahun 2000 mencapai US$ 4,7 miliar terus menurun dan pada tahun 2002 hanya mencapai US$ 3,9 miliar. Ekspor tekstil lainnya yang mencapai US$ 4,7 miliar pada tahun 1998 menurun menjadi sekitar US$ 3,1 miliar tahun 2002. Sedangkan ekspor alat-alat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 3,2 miliar, pada tahun 2002 menurun menjadi sekitar US$ 2,7 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk stabil. Ekspor bahan makanan olahan mengalami sedikit peningkatan yaitu dari US$ 0,8 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 1,2 miliar pada tahun 2002.

Volume ekspor industri setelah krisis jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Pada tahun 2002 volume ekspor sektor industri mencapai 45,5 juta ton meningkat dari tahun 1997 yang hanya mencapai 33,8 juta ton. Dengan demikian volume ekspor hasil industri dari tahun 1997 hingga tahun 2002 naik sebesar 34,5%.

Dengan membandingkan nilai ekspor hasil industri dengan kenaikan volume ekspor hasil industri, telah terjadi penurunan tingkat harga ekspor rata-rata yang cukup besar dalam 5 tahun terakhir ini (lebih dari 25%). Salah satu penyebab penurunan harga ekspor rata-rata hasil industri tersebut diantaranya adalah meningkatnya suplai dunia dari negara-negara pesaing.

Ekspor hasil pertanian, setelah mencapai puncaknya pada tahun 1998, yaitu sebesar US$ 3,7 miliar, berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 2,6 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil pertanian yang pada tahun 1997 berjumlah 1,8 juta ton justru meningkat pada tahun 1998 yaitu

(16)

mencapai 3,2 juta ton. Pada tahun 1999 -2002 volume ekspor hasil pertanian ini berflluktuasi antara 1,9 – 2,4 juta ton.

Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997 mencapai US$ 3,1 miliar, menurun pada tahun 1998 dan tahun 1999. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertambangan mencapai US$ 3,7 miliar, melampaui sebelum krisis.

Sampai dengan 10 bulan pertama tahun 2003, nilai ekspor meningkat sekitar 6,0% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2002 terutama didorong oleh ekspor migas yang naik sekitar 16,0%; sedangkan penerimaan ekspor non-migas hanya meningkat sebesar 3,4%. Peningkatan ekspor non-migas ini sebagian merupakan sumbangan dari sektor pertambangan (di luar migas) yang meningkat sebesar 15,6%. Adapun penerimaan ekspor hasil industri hanya meningkat sebesar 2,6%, dan ekspor hasil pertanian turun sebesar 1,5%.

Dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor non-migas pada masa sebelum krisis yang mencapai lebih dari 15% per tahun, pertumbuhan ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dengan pertumbuhan sebesar ini, ekspor masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi.

Dalam tahun 2004, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan ekspor non-migas harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor.

Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasar-pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar regional di kawasan Asia.

Selain itu perkembangan impor menunjukkan pola pergerakan yang sama dengan ekspor. Ini mengindikasikan bahwa berbagai bahan baku/penolong yang digunakan untuk

(17)

mengolah komoditi ekspor masih berasal dari impor sehingga akan menekan surplus neraca transaksi berjalan dan mempengaruhi cadangan devisa. Untuk itu, ketergantungan akan impor ini harus dapat dikurangi dengan memanfaatkan bahan baku/penolong dari dalam negeri. Upaya untuk mengurangi ketergantungan impor ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun harus direncanakan secara strategis dan mulai diupayakan. 3. KETENAGAKERJAAN

Situasi ketenagakerjaan dalam tahun 2004 masih dihadapkan pada permasalahan yang sama dengan tahun sebelumnya, yaitu meningkatnya jumlah pengangguran, menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian dan informal, serta beragamnya masalah TKI di luar negeri.

Upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui pertumbuhan ekonomi belum mampu mengurangi jumlah pengangguran. Selain karena pertumbuhan ekonomi relatif rendah, kemampuan perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja relatif kecil dan cenderung menurun. Penurunan penciptaan lapangan kerja terjadi setelah krisis ekonomi disebabkan oleh perubahan hubungan industrial yang drastis sejak tahun 1998. Reformasi politik dan demokrasi telah mendorong perbaikan hak-hak pekerja dan kebebasan bagi pekerja untuk berorganisasi sehingga memberi kesempatan bagi pekerja untuk lebih berpartisipasi dalam penetapan kondisi dan standar kerja. Namun perubahan tersebut mengakibatkan ketidakpastian dalam hubungan industrial sehingga sering terjadi konflik, perselisihan, dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja maupun bagi pemberi kerja. Kebijakan ketenagakerjaan juga dirasakan memberikan porsi keberpihakan yang tidak seimbang antara perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja dengan pemberi kerja. Ini menimbulkan pergeseran dari usaha yang semula padat tenaga kerja kepada padat modal.

Salah satu kebijakan yang memberatkan pemberi kerja untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja adalah penetapan upah minimum yang meningkat secara cepat. Pada tahun 2002, upah minimum secara riil untuk pekerja di sektor industri sekitar 34% lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis; sedangkan pendapatan per kapita riil masyarakat belum pulih. Peningkatan upah minimum yang berlebihan berdampak negatif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan biaya produksi yang pada gilirannya menurunkan daya saing produk yang dihasilkan.

(18)

Peningkatan upah minimum juga berdampak pada usaha yang telah menetapkan upahnya lebih tinggi dari upah minimum. Meskipun sebagian usaha formal sebelumnya telah membayarkan upah yang lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah, penetapan upah minimum yang diberlakukan mengakibatkan perusahaan tersebut secara psikologis terpaksa meningkatkan lagi upahnya agar tidak terjadi perubahan secara drastis atas perbedaan upah yang ada antara perusahaan tersebut dengan perusahaan yang lain yang upah tenaga kerjanya berada di bawah upah minimum untuk menghindari menurunnya motivasi pekerja dan timbulnya tuntutan dari pekerja karena adanya kenaikan upah di perusahaan yang lain.

Masalah lain berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja. Selama ini penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tidak dikaitkan dengan produktivitas pekerja. Kebijakan ini cenderung mengakibatkan tingginya biaya operasional untuk produksi yang menggunakan tenaga kerja dibandingkan dengan menggunakan mesin. Sebagai akibatnya timbul kecenderungan pengusaha merubah sistem produksinya dari yang semula padat karya kearah sistem produksi yang padat modal.

Kebijakan lain yang mengakibatkan pergeseran usaha dari usaha padat karya ke usaha padat modal adalah ketentuan PHK dan pemberian pesangon. Ketentuan tentang PHK dan pemberian uang pesangon dalam keberpihakan yang tidak seimbang antara pemberi kerja dan pekerja mengakibatkan perusahaan cenderung enggan untuk memperkerjakan pekerja yang baru dan cenderung untuk memilih menggunakan mesin sebagai pengganti dari tenaga kerja.

Meskipun ketentuan tersebut sudah diupayakan diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara komprehensif mengkonsolidasikan serta mengatur kembali aturan main yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, masih terdapat beberapa kebijakan yang apabila dijalankan secara kaku justru mengurangi fleksibilitas tenaga kerja antara lain sebagai berikut.

Ketentuan UU Ketenagakerjaan tentang perjanjian kerja, pemborongan pekerjaan dan agen penempatan tenaga kerja dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan keterbatasan fleksibilitas perusahaan dalam produksi dan ketenagakerjaan, mengurangi kesempatan kerja bagi kelompok pekerja tertentu dari lapangan kerja sektor modern, menghambat usaha kecil bekerjasama dengan unit usaha yang lebih besar, menghambat penciptaan pekerjaan di

(19)

sektor modern, serta menambah beban sektor informal. Perlu dipertimbangkan kebijakan yang memberikan fleksibilitas pengaturan ketenagakerjaan di tempat kerja, termasuk perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi pekerja bidang produksi dan pemborongan pekerjaan bidang produksi dan jasa.

Ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai PHK, pengurangan karyawan, dan pemberian pesangon akan mengakibatkan pengurangan pekerja serta PHK sulit dilakukan karena biayanya tinggi, membatasi perekrutan pekerja baru, menurunkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern, serta mendorong perusahaan mempertahankan pekerja lama dengan mengorbankan pekerja baru yang usianya lebih muda meskipun lebih produktif.

Beberapa penyempurnaan yang perlu dilakukan antara lain adalah: (1) memudahkan persyaratan tanpa menghilangkan hak pengusaha untuk memperoleh izin dalam pengurangan dan PHK pekerja; (2) menyesuaikan besaran uang pesangon; dan (3) menyusun skema pesangon atas dasar kontribusi pekerja. Kebijakan ini harus dapat mempermudah tenaga kerja untuk melakukan kegiatan ekonomi termasuk kemudahan bagi tenaga kerja untuk dapat berpindah pekerjaan.

Menurunnya kemampuan perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja juga disebabkan oleh iklim investasi belum pulih. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja apabila terjadi peningkatan investasi. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh konsumsi. Dengan demikian, meskipun perekonomian meningkat, penciptaan lapangan kerja sangat lambat.

Perkembangan investasi yang belum pulih dipengaruhi oleh berbagai kebijakan termasuk kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Keberpihakan yang tidak seimbang telah menimbulkan keengganan bagi para penanam modal untuk melakukan ekspansi atau menanamkan modalnya di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab dari lambatnya perkembangan investasi yang pada gilirannya memperlambat penyediaan lapangan kerja.

Dengan keterkaitan ini, upaya untuk mengatasi masalah pengangguran harus dilakukan dengan kebijakan yang terpadu yang diarahkan pada penciptaan iklim penanaman modal yang kondusif, termasuk kebijakan dalam mengatur ketenagakerjaan yang tidak terlalu memberatkan para penanam modal. Dengan iklim penanaman modal yang kondusif, investasi akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja.

(20)

Masalah lain yang memerlukan perhatian serius adalah meningkatnya penganggur usia muda (15-19 tahun) dan banyaknya pekerja di sektor informal yang kurang produktif. Jumlah pekerja di sektor formal cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2001 pengurangan pekerja formal terjadi di daerah pedesaan sebanyak 3,3 juta orang. Pada tahun 2002 pekerja formal berkurang lagi sebanyak kurang lebih 1,5 juta orang. Dari 1,5 juta orang tersebut sepertiganya merupakan pekerja yang bekerja di sektor formal di perkotaan sehingga jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian meningkat pesat sehingga mencapai sekitar 50% dari seluruh angkatan kerja.

Melimpahnya tenaga kerja informal yang umumnya berada di sektor pertanian bukan disebabkan oleh peningkatan kapasitas produksi di sektor pertanian, tetapi karena keterbatasan lapangan kerja di sektor industri. Sebagai akibatnya produktivitas cenderung semakin menurun dan berdampak pada penurunan nilai tukar petani. Ini mengakibatkan rendahnya pendapatan pada tingkat yang rawan yaitu di bawah atau sekitar garis kemiskinan. Langkah kebijakan yang tepat perlu ditempuh untuk meningkatkan penciptaan lapangan dan sekaligus pendapatan tenaga kerja. Pemberian prioritas pada sektor pertanian, melalui peningkatan perluasan usaha, di satu pihak memang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Namun peningkatan nilai tambah yang terjadi pada sektor pertanian relatif terbatas terutama karena jenis komoditas dan harga komoditas pertanian yang relatif tidak meningkat. Perlu diupayakan peningkatan kegiatan sektor industri yang memungkinkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sehingga terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dengan tetap memperkuat ketahanan pangan.

Pengiriman TKI untuk bekerja di luar negeri selain menghasilkan devisa dalam jumlah yang memadai juga membantu mengurangi beban pengangguran. Setelah mengalami pemulangan TKI dari Malaysia secara besar-besaran, berbagai permasalahan TKI timbul dalam bentuk penipuan, penganiayaan dan lain-lain.

Inti dari permasalahan yang terjadi pada TKI adalah kurang berfungsinya sistem perlindungan bagi TKI dan kalaupun ada kurang dipahami oleh TKI. Pelatihan yang diberikan pada TKI hanya dititikberatkan pada bidang pekerjaan tanpa dibekali dengan pengetahuan yang memadai untuk melakukan pembelaan diri atas pelanggaran hak-hak yang dimiliki TKI. Untuk itu sistem pengiriman TKI perlu disempurnakan dan TKI perlu

(21)

dibekali dengan pengetahuan tidak saja dalam bentuk pelatihan keterampilan namun juga pengetahuan dalam upaya pembelaan diri apabila menghadapi permasalahan.

Selain itu pemerintah perlu membentuk jaringan pengaman bagi TKI di luar negeri dalam bentuk pemantauan yang dilakukan secara berkala dan perlu berperan aktif untuk mencari pasar yang membutuhkan TKI dengan meningkatkan jaminan terhadap keselamatan dan keamanan TKI yang akan bekerja di luar negeri.

4. PEMBERDAYAAN ARBITRASE DAN MEDIASI

Keberadaaan arbitrase dan mediasi, sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bukan merupakan pengaturan baru dalam sistem penyelesaian sengketa di Indonesia. Esensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah lama dikenal dan berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang berdasarkan kondisi sosiologisnya, adalah masyarakat yang menitikberatkan pentingnya makna kekeluargaan dan kebersamaan serta saling percaya dan menghormati dalam suatu komunitas. Namun penyelesaian sengketa melalui arbritase dan/atau mediasi di bidang dunia usaha menjadi kurang menarik antara lain disebabkan oleh sulitnya proses dan pelaksanaan putusan arbritase, baik putusan arbritase nasional maupun internasional, sehingga semakin banyak peran dan fungsinya yang beralih dan digantikan oleh pengadilan.

Dari sisi penyelesaian perkara, kurang berjalannya arbitrase dan mediasi ini mengakibatkan bertambahnya jumlah perkara yang harus diselesaikan baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (banding) maupun Mahkamah Agung (kasasi). Keadaan ini pada gilirannya mengakibatkan kurang adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pada dunia usaha di Indonesia.

ARBITRASE. Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum khususnya penyelesaian

sengketa di luar pengadilan sekaligus untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang semakin kondusif, Pemerintah memprakarsai pembentukan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase, dalam UU No. 30/1999, dipahami sebagai salah satu “mekanisme alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya atau ketidaksepahamannya atau ketidaksepakatannya dengan satu atau lebih pihak lain kepada satu atau lebih arbiter (ahli yang profesional), yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak untuk

(22)

sampai pada putusan arbitrase, yang merupakan produk hukum yang dihasilkan dari proses arbitrase, yang didasarkan pada suatu pertimbangan fakta-fakta hukum, keadilan dan kepatutan, yang bersifat final dan mengikat”

Pada hakekatnya pengaturan tentang arbritase dalam UU No. 30/1999 antara lain meliputi: bidang yang dipersengketakan (diantaranya perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan HAKI), proses penyelesaian sengketa, dimana sepanjang telah diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut; putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dari keseluruhan pengaturan dalam UU No. 30/1999, apabila dibandingkan dengan lembaga peradilan, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki sejumlah kelebihan, terutama terjaminnya kerahasiaan sengketa.

Dengan kelebihan tersebut diharapkan arbitrase mampu memberikan makna penting bagi penciptaan dan peningkatan iklim usaha di Indonesia. Namun keberhasilannya dalam proses penyelesaian sengketa perlu didukung tidak hanya dengan kelengkapan dan kesiapan peraturan perundang-undangannya saja, namun oleh pelaksanaannya yang konsisten (law enforcement). Di masa yang akan datang, pemberdayaan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan perlu didukung oleh budaya hukum yang berkembang dalam suatu komunitas.

MEDIASI. Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah), namun kepadanya tidak diberikan suatu kewenangan untuk menyusun dan membuat putusan akhir, sebagaimana putusan akhir dalam proses arbitrase, atas hal yang dipersengketakan.

Esensi utama dari proses mediasi adalah lebih berperannya para pihak yang bersengketa, yang didasarkan pada suatu itikad baik dan kesukarelaannya dalam proses mediasi sehingga tercapai suatu penyelesaian sengketa yang merupakan hasil dari kesepakatan para pihak tersebut.

(23)

Salah satu keberhasilan dalam menyelesaikan sengketa terutama yang berkaitan dengan restrukturisasi utang swasta. dilakukan melalui Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative). Hingga November 2003, dari 117 kasus yang terdaftar, sebagian besar adalah dari sektor industri dasar dan kimia serta property and real estate (dengan nilai utang US$ 27 miliar dan Rp 18,31 triliun, total utang US$ 29,29 miliar), 96 kasus diantaranya telah berhasil diselesaikan (sebanyak 20 kasus pada tahap MoU dan 76 kasus pada tahap legal closure).

Upaya untuk mendorong mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ditingkatkan dengan membentuk Pusat Mediasi Nasional (PMN) pada bulan Juni 2003, Lebih lanjut, dengan maksud dan tujuan yang serupa, Prakarsa Jakarta mengusulkan pembentukan pusat mediasi utang korporasi.

Peranan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa semakin penting dengan backlog (perkara yang belum diputus di Mahkamah Agung) yang secara total, hingga tahun 2002, mencapai sekitar 16 ribu perkara. Dengan beban tersebut. Mahkamah Agung memberlakukan Surat Edaran (Sema) No. 1/2002 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2/2003 sebagai salah satu upaya untuk mendorong dan memberdayakan mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum beracara di pengadilan.

Keberhasilan dan efektivitas proses mediasi, terutama mediasi di pengadilan, tidak semata-mata didasarkan pada kelengkapan pranata hukumnya, namun dituntut adanya suatu komitmen bersama para hakim dan kuasa hukum (pengacara) untuk secara bersungguh-sungguh mendorong pihak-pihak yang bersengketa sedapat mungkin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui upaya-upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan win-win solution yang hakiki, apabila dibandingkan baik dengan proses arbitrase maupun proses litigasi di pengadilan, mengingat ketiadaan putusan dalam proses mediasi, karena sifatnya yang non-ajudikatif, non-konfrontatif dan kooperatif, merupakan suatu bentuk penghargaan dan kemenangan bersama bagi masing-masing pihak yang bersengketa.

Dengan perkembangan dunia usaha yang semakin cepat dan kompleks, di masa yang akan datang, pemberdayaan mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa di luar pengadilan perlu semakin didorong. Ini sangat penting karena dengan dinamika tersebut dibutuhkan penyelesaian sengketa yang efektif, cepat, dan murah. Dengan demikian dukungan hukum bagi pembangunan ekonomi menjadi semakin kuat.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan (1) penerapan metode JIT pada industri ubin Karya Indah dilakukan dengan cara memproduksi ubin berdasarkan pesanan dari konsumen,

bahwa tidak ada kerikil, kerakal, atau batuan yang dijumpai. Tidak adanya bahan kasar, maka masuk ke dalam kelas kesesuaian lahan S1. Kedalaman efektif tanah ini

2eadaan ibu yang dapat #engakibatkan aliran darah ibu #elalui 2eadaan ibu yang dapat #engakibatkan aliran darah ibu #elalui plasenta berkurang, sehingga aliran

Perusahaan tidak mengakui pendapatan bunga pembiayaan konsumen yang piutangnya telah lewat waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan akun diakui sebagai pendapatan

(1) Sub Bagian Produksi Daerah Bidang II dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang mempunyai tugas mengumpulkan bahan penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan

Hasil observasi kegiatan mahasiswa pada pelaksanaan siklus II menunjukkan bahwa: (1) kelompok ahli belum dapat melakukan presentasi dengan baik, (2) ada kelompok ahli sebagai penyaji

Perlakuan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar, dan luas daun per pot tanaman kacang pinto

Karya akhir dengan judul “Evaluasi Rancangan dan Implementasi Balanced Scorecard Tema Belanja Negara pada Departemen Keuangan” ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan