• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai merupakan perairan mengalir yang dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis batuan dasar dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus semakin cepat. Sungai bagian hulu dicirikan dengan badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan mengalir cepat. Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau landai badan air dalam, keruh dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).

Sungai secara spesifik terbagi dalam dua ekosistem yaitu perairan yang berarus cepat dan perairan yang berarus lambat. Sungai yang mengalir cepat dikarakteristikkan oleh tipe substrat berbatu dan berkerikil, sedangkan sungai yang mengalir lambat dikarakteristikkan dengan tipe substrat berpasir dan berlumpur. Faktor pengontrol utama produktivitas pada ekosistem tersebut adalah arus yang merupakan pembatas bagi jumlah dan tipe organisme ototrof (Clapham, 1983, dalam Wijaya, 2009).

Ekosistem sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona mata air (krenal) yang umunya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Berdasarkan keberadaan air, sungai dapat disebut sebagai sungai permanen yaitu sungai yang berair sepanjang tahun, sungai intermiten, yaitu sunagai yang berair di musim hujan dan kering di musim kemarau serta sungai episodik yaitu sungai yang hanya berair pada saat terjadi hujan saja (Barus, 2004).

(2)

2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu satuan wilayah pembangunan yang perlu ditata agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Kegiatan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, industri, pertambangan, pariwisata dan pemukiman membutuhkan air, lahan dan mineral yang berada dalam suatu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) (Bappedal, 2002).

Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Perubahan pola pemanfaatan lahan berarti telah terjadi perubahan jumlah dan jenis vegetasi penutup tanah (Asdak, 2010).

2.3 Keanekaragaman Ikan

Berdasarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2010), diperkirakan terdapat 4000-6000 jenis ikan di seluruh perairan Indonesia. Di Asia Tenggara terdapat 2917 jenis ikan air tawar yang teridentifikasi. Menurut Kottelat et al., (1993), jumlah setiap jenis ikan pada pulau-pulau besar di Indonesia berbeda. Di Sumatera ada 272 jenis dengan 30 jenis endemik (11%), jenis ikan di Kalimantan berjumlah sekitar 394 jenis dengan 149 jenis endemik (38%), di Jawa berjumlah 132 jenis dengan 52 jenis endemik (9%) dan di Sulawesi berjumlah 68 jenis dengan 52 jenis endemik (76%).

Menurut Eschmeyer (1998), ikan dikelompokkan dalam 6 kelas, yaitu: a. Kelas Myxini memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, tidak mempunyai tulang

belakang (vertebrata), tidak mempunyai rahang mata rudimenter, tidak ada sirip berpasangan, tidak ada sirip dorsal, bertulang rawan, lubang hidung pada bagian kepala, nostril di bagian depan kepala, terdapat 5-15 kantung insang pada setiap sisi, sistem garis sisi mengalami degenerasi. Semua anggota kelas Myxini hidup di laut yaitu sebagian besar di zona intertidal pada dasar berlumpur lunak dan berpasir.

b. Kelas Cephalaspidomorphi memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, vertebrae terdiri atas tulang rawan, tidak mempunyai rahang, mata berkembang baik,

(3)

nostril di bagian atas kepala, tidak ada lengkung insang sejati untuk menyokong dan melindungi insang sebagai gantinya terdapat suatu kantung yang terletak di luar insang, arteri insang dan saraf terletak di dalamnya, satu lubang hidung, sirip berpasangan tidak ada, sirip dorsal satu atau dua, usus bersilia, telur kecil dengan kait. Salah satu spesies ikan anggota kelas ini adalah ikan lamprey (Lampreta planeri, Petromyzon marinus)

c. Kelas Holocephali umum disebut sebagai ratfish karena ekornya yang ramping dan memanjang serta kepala yang meruncing memberikan gambaran seperti tikus, rahang atas menyatu dengan kranium, jumlah insang ada empat pasang dan celah insang satu pasang, ikan dewasa tidak bersisik, tidak punya spirakel dan tidak ada kloaka, ikan jantan mempunyai alat penyalur sperma disebut tenakulum yang terletak di kepala bagian depan.

d. Kelas Elasmobranchii mempunyai rahang, jumlah insang dan celah insang berkisar antara 5-7 pasang yang setiap pasangnya mempunyai sekat pelat insang, spirakel terletak di depan celah insang, sirip berpasangan, terdapat sepasang nostril (dirhinous), bersisik plakoid atau tidak bersisik, ikan jantan biasanya mempunyai alat penyalur sperma yang dinamakan klasper (miksopterigium), bentuk sirip ekor tidak simetris (heteroserkal).

e. Kelas Sarcopterygii merupakan sebagian kelas yang sudah punah dan tinggal fosil. Salah satu anggota kelas ini adalah coelacanth yang berupa fosil dan diperhitungkan hidup pada kurun waktu antara masa pertengahan Devonian (350 juta tahun yang lalu) sampai akhir Cretaceous (66 juta tahun yang lalu). f. Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Kelas ini

mempunyai ciri-ciri lengkung insang merupakan tulang sejati yang terletak di bagian tengah insang mengandung arteri dan saraf, notokorda seperti rangkaian manik atau seperti manik-manik yang terpisah mempunyai rahang (maksila dan premaksila) rangka terdiri atas tulang sejati, mempunyai sirip yang berpasangan (sirip dada dan sirip perut), mempunyai sepasang lubang hidung, mempunyai sisik yang umumnya bertipe sikloid dan stenoid tetapi ada juga yang bersisik tipe ganoid dan beberapa kelompok tanpa sisik biasanya mempunyai gelembung gas tidak ada kloaka.

(4)

Kelimpahan ikan dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas: fekunditas, ruang gerak, penyakit dan batas waktu bertahan hidup (Samuel, 1982, dalam Kristina, 2001).

Kekayaan jenis memiliki hubungan positif dengan suatu area yang ditempati tergantung pada dua faktor. Pertama peningkatan jumlah mikro habitat akan meningkatkan keragaman. Kedua, area yang lebih luas sering memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang sempit (Wooton 1975). Sehingga semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah jenis ikan yang menempati (Kottelat et al., 1993).

Komposissi komunitas ikan dapat menunjukkan spesies yang mempunyai dominansi ekologis. Spesies yang dominan merupakan spesies yang mempunyai peran yang jauh lebih besar terhadap komunitas dan lingkungannya (Restu, 1990, dalam Kristina, 2001).

2.4 Ekologi Ikan

Menurut Myers (1951) dalam Rahardjo et al., (2011) ikan yang ditemukan di perairan air tawar secara garis besar dipisahkan dalam enam kelompok yaitu: a. Ikan primer adalah kelompok ikan yang tidak atau sedikit bertoleransi terhadap

air laut misalnya Cyprinidae dan Clariidae. Air asin bertindak sebagai pembatas distribusi ikan.

b. Ikan sekunder adalah kelompok ikan yang sebarannya terbatas pada perairan air tawar tetapi cukup bertoleransi terhadap salinitas, sehingga mereka dapat masuk ke laut dan kadang kala melintasi hambatan air asin misalnya Cichlidae. c. Ikan diadromus adalah kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara

perairan tawar dan perairan laut, misalnya Sidat dan Salmon.

d. Ikan vicarious adalah kelompok ikan laut yang bukan peruaya yang hidup di perairan tawar misalnya Burbot (Lota).

e. Ikan komplementer adalah kelompok ikan laut peruaya yang mendominasi habitat tawar bila itidak ada ikan primer dan sekunder misalnya Belanak dan Obi.

f. Ikan sporadik adalah kelompok ikan yang kadangkala masuk perairan atau yang dapat hidup dan memijah di antara salah satu perairan misalnya Belanak.

(5)

Penyebaran suatu organisme tergantung pada tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Organisme yang dapat hidup pada selang faktor lingkungan yang lebar (euri) cenderung akan tersebar luas pula di permukaan bumi ini, sebaliknya jenis organisme yang hanya dapat hidup pada selang faktor lingkungan yang sempit (steno) penyebarannya sangat terbatas. Penyebaran organisme ditentukan oleh pola penyebarannya. Organisme yang tersebar sangat luas umumnya pola penyebarannya berkelompok atau beraturan (Suin, 2002).

2.5 Karakteristik Ikan Sungai dan Pola Adaptasinya

Ikan merupakan organisme akuatik dan bernafas dengan insang. Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut anus. Kulit ikan terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat dilapisi oleh epithelium. Di antara sel-sel epithelium terdapat kelenjar uniseluler yang mengeluarkan lender yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetro, 1990, dalam Siagian 2009). Tubuh ikan mempunyai suatu pola dasar yang sama yakni kepala, badan dan ekor. Selain memiliki pola dasar yang sama, umumnya ikan mempunyai bentuk tubuh yang simetris bilateral (Rahardjo et al., 2011).

Sebagian besar ikan yang hidup di perairan sungai membentuk komunitas yang berbeda-beda. Setiap jenis ikan memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan pakan dengan seefisien mungkin karena persaingan antar jenis ikan sangat tinggi dalam hal memperoleh pakan alami. Jenis-jenis ikan tersebut sangat peka terhadap lingkungan (Kottelat et al., 1993).

Proses adaptasi terhadap lingkungan baru bisa terjadi dalam kurun waktu yang singkat (aklimatisasi) dan bisa juga dalam kurun waktu yang lama (adaptasi/evolusi). Respon dalam waktu singkat misalnya eksresi urin yang berlebihan bagi ikan yang akan masuk ke perairan dengan konsentrasi garam (ion) lebih tinggi. Sedangkan ikan akan menghindari kekurangan cahaya dengan bergerak arah permukaan (avoidence). Perubahan tersebut bisa terjadi dalam waktu yang lama seperti proses endemisitas ikan air tawar (Willmer, 2000).

(6)

2.6. Faktor Fisik-Kimia dan Biologis Perairan Sungai 2.6.1 Suhu Air Sungai

Suhu merupakan faktor lingkungan yang sering sekali beroperasi sebagai faktor pembatas. Suhu juga mempengaruhi termoregulasi tubuh ikan dalam lingkungan yang berbeda. Suhu juga mempengaruhi aktivitas reproduksi ikan dalam pembentukan gonad. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Ardiyana, 2010).

Kenaikan suhu air akan mengakibatkan : 1) jumlah 15 oksigen terlarut dalam air menurun, 2) kecepatan reaksi kimia meningkat, 3) kehidupan ikan dan biota air lainnya terganggu, 4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui maka akan menyebabkan ikan dan biota air mati (Fardiaz, 1992). Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. (Effendi, 2003).

2.6.2 Arus Sungai

Perpindahan air sangat penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas terlarut dan garam-garam juga mempengaruhi perilaku organisme kecil. Kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan ke dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apa pun. Arus akan semakin lambat bila makin dekat ke dasar. Perubahan kecepatan air itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup dalam air mengalir yang kedalamannya berbeda (Michael, 1995).

2.6.3 Kekeruhan Air Sungai

Kekeruhan pada sungai lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme

(7)

akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya dan kedalaman air (Odum, 1996).

Nilai kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari oleh sebab itu dapat membatasi proses fotosintesis sehingga produktivitas primer perairan cenderung akan berkurang (Wardoyo, 1975, dalam Supartiwi, 2000).

2.6.4 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut atau kebutuhan oksigen merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas air. Nilai DO yang semakin besar pada air mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Oksigen terlarut pada air yang ideal pada ikan adalah 5-7 ppm, jika kurang dari itu maka resiko kematian akan semakin tinggi. Menurut Salmin (2005), kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas.

Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada jenis ikan. Toleransi umumnya adalah 4-12 ppm yang dapat diterima oleh ikan. Ikan yang biasa memijah di air mengalir dan dingin biasanya memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang biasanya memijah di air tergenang (stagnan) atau berarus lambat. Tekanan oksigen dapat mempengaruhi jumlah elemen meristik (Rahardjo et al., 2011).

2.6.5 Kejenuhan Oksigen

Disamping pengukuran konsentrasi oksigen, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air maka disamping mengukur konsentrasi oksigen terlarut dalam mg/l, diperlukan juga pengukuran temperatur dari air (Barus, 2004).

(8)

2.6.6 Nilai pH

Potensial Hidrogen (pH) merupakan derajat keasaman yang menyatakan keasaman atau kebasaan dalam suatu larutan. pH juga merupakan suatu ukuran keasaman air yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan perairan (Odum, 1993). pH didaerah hulu sungai umumnya cenderung lebih rendah (Samuel, 2008). Hal ini dikarenakan sungai bagian hulu masih belum tercemar. Adanya pengaruh pembuangan limbah dari penduduk dapat menurunkan pH air di Sungai. Maka pH air sangatlah penting dari faktor lingkungan di sungai dan berpengaruh terhadap keanekaragam jenis ikan pada sungai.

Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami memiliki pH berkisar antara 6-9. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi, 2003). Kondisi bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 1996 dalam Siagian, 2009).

2.6.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada didalam air lingkungannya tersebut. Pembuangan bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Salmin, 2005).

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperature 20oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimia. Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Untuk produk-produk kimia seperti senyawa minyak dan

(9)

buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004). BOD dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Menurut Lee et al., (1978), dalam Supartiwi (2000), mengklasifikasikan besarnya tingkat pencemaran perairan untuk kehidupan organisme akuatik berdasarkan BOD.

2.6.8 Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan

mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

2.6.9 Kandungan Nitrat dan Posfat

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme ototrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan (Eaton et al., 1995).

Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari atmosfter bersama air hujan (Barus, 2004). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen (Effendi 2003). Umumnya kandungan fosfor total di perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter kecuali pada perairan penerima limbah rumah tangga dan dari daerah pertanian yang mengalami pemupukan fosfor (Eaton et al., 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Adapun alasan pemilihan rencana tempat-tempat penelitian ini adalah dikarenakan memiliki kriteria yang sama yakni sebagai ruang tinggal atlet (karakterisitik sama dengan kelas

Saat ini perusahaan mengelola sendiri 35 unit usaha ( termasuk 6 unit Pabrik Kelapa Sawit, 2 unit Pabrik Gula (PG, 2 unit Pabrik Karet, 3 unit Rumah Sakit (RS), 1 unit Bengkel

Berdasarkan tekanan darah diastolik responden sebelum dan setelah pemberian cincau hijau menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan memberikan cincau hijau

•• Sel lemak dalam tubuh (sel adipose) yang ada di pinggang,pinggul Sel lemak dalam tubuh (sel adipose) yang ada di pinggang,pinggul atau tempat lain mensekresi leptin ke dalam

Negara-negara bagian dan daerah- daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST)

Sebagaimana telah dinyatakan untuk mengukur intensitas dan menentukan frekuensi kebisingan diperlukan peralatan khusus yang berbeda bagi jenis kebisingan dimaksud. Jika tujuan

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nilai daya ledak otot tungkai antar dua cabang olahraga, yaitu bola voli dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antar sektor pertanian dengan sektor lainnya sehingga dapat mengetahui besarnya pemakaian barang dan jasa dari