• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Ekosistem lotik/sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umunya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi

rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada

tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Berdasarkan keberadaan air, sunagai dapat disebut sebagai sungai permanen yaitu sungai yang berair sepanjang tahun, sungai intermiten, yaitu sunagai yang berair di musim hujan dan kering di musim kemarau serta sungai episodik yaitu sungai yang hanya berair pada saat terjadi hujan saja (Barus, 2004).

Menurut Maryono (2005), pada umumnya ditemukan tiga pembagian zona sungai memanjang yakni sungai bagian hulu “upstream”, bagian tengah

“middle-stream”, dan bagian hilir “downstream”. Dari hulu sampai ke hilir ini dapat

ditelusuri perubahan-perubahan komponen sungai seperti kemiringan sungai, debit sungai, temperatur, kandungan oksigen, kecepatan aliran, dan kekuatan aliran terhadap erosi.

Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut (Effendi, 2002).

Sungai secara spesifik terbagi dalam dua ekosistem yaitu perairan yang berarus cepat dan perairan yang berarus lambat. Sungai yang mengalir cepat dikarakteristikkan dengan tipe substrat berbatu dan berkerikil, sedangkan sungai

(2)

yang mengalir lambat dikarakteristikkan dengan tipe substrat berpasir dan berlumpur. Faktor pengontrol utama produktivitas pada ekosistem tersebut adalah arus yang merupakan pembatas bagi jumlah dan tipe organisme ototrof (Clapham, 1983 dalam Wijaya, 2009).

2.2 Anatomi dan Morfologi Ikan

Ikan merupakan biota akuatik yang bersifat mobil atau nekton yang hidup diperaiaran baik di sungai, danau ataupun lautan. Hewan ini sudah lama menjadi salah satu sumber daya pangan yang dimanfaatkan oleh manusia karena mempunyai nilai ekonomis yang besar. Dengan sifatnya yang mobil dalam batas tertentu ikan dapat memilih bagian perairan yang layak bagi kehidupanya. Ikan-ikan tertentu akan menghindarkan diri dari kondisi perairan yang mengalami perubahan lingkungan yang mengganggu kehidupannya, misalnya telah menjadi pencemaran asam atau sulfida, tetapi tidak menghindar pada perairan yang mengandung amonia dan tembaga. Akan tetapi ikan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memilih daerah yang aman bagi kehidupanya, karena hal tersebut tergantung dari sifat dan kadar pencemar atau ketoksikan suatu perairan (Fachrul, 2007).

Ikan merupakan hewan vertebrata dan dimasukkan ke dalam filum Chordata yang hidup dan berkembang di dalam air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil oksigen dari lingkungan air di sekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh beruapa sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga tidak tergantung pada arus atau gerakan air yang disebabkan oleh angin (Sumich, 1992 dalam Siagian, 2009).

Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut anus. Kulit ikan terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat dilisi oleh epithelium. Diantara sel-sel epithelium terdapat kelenjar uniseluler yang mengeluarkan lender yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetra, 1990 dalam Siagian, 2009).

(3)

Menurut Rahardjo et al. (2011), tubuh ikan mempunyai suatu pola dasar yang sama yakni kepala, badan dan ekor. Selain memiliki pola dasar yang sama, umumnya ikan mempunyai bentuk tubuh yang simetris bilateral.

Selain itu ikan juga memiliki ciri khas, terutama cara perkembangan yang kebanyakan bertelur (ovivar), tapi beberapa jenis diantara ikan-ikan tersebut ada juga yang menghasilkan anak yang menetas ketika masih berada dalam tubuh induknya (ovovipar), dan ada juga yang melahirkan anak berupa individu-individu baru (vivipar) seperti julung-julung (Hemirhampohodon pogonognathus) yang bersifat vivipar yang kemudian bunting yang terus menerus dan melahirkan individu baru (Effendi, 2002).

2.3 Penggolongan Ikan

Mujiman,1994 dalam Siagian (2009), membagi ikan berdasarkan jenis makanan dan cara makan sebagai berikut:

1) Ikan berdasarkan jenis makananya:

a) Ikan Herbivora yaitu ikan yang makana pokoknya terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati) seperti: ikan Pora-pora (Mystacoleocus

padangensis), ikan Nilem (Osteochilus hasselti), ikan Karper Rumput

(Ctenopharyngodon idelus), ikan Bandeng (Chanos-chanos), dan ikan Sepat Siam (Tricogaster pectoralis).

b) Ikan Karnivora yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama terdiri dari bahan asal hewan (hewani). Contohnya ikan Gabus (Ophionephalus

striatus), ikan Kakap (Lates calcarifer), ikan Kerapu (Ephinephalus spp),

dan ikan Lele (Clarias batracus).

c) Ikan Omnivora yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari tumbuhan maupun hewan. Seperti ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Mujair(Tilapia

mossambica), ikan Betutu (Oxyeleoris marmorata), ikan Nila Merah

(Oreochromis sp) dan ikan Gurami (Osphronemus goramy).

d) Ikan pemakan plankton yaitu ikan yang sepanjang hidupnya makanan pokoknya terdiri dari plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Ikan pemakan plankton hanya menyukai bahan-bahan yang halus dan berbutir hingga tulang tapis insangnya mengalami modifikasi wujud alat

(4)

penyaring gas berupa lembaran-lembaran halus yang panjan seperti ikan Silanget (Dorosoma chacunda), ikan Terbang (Cypsilurus sp), ikan Lemuru (Clupea leiogaster) dan ikan Cucut (Rhynodon typicus).

e) Ikan pemekan detritus yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari hancuran sisa-siasa bahan organic yang sudah membusuk di dalam air yang berasal dari hewan dan tumbuhan misalnya ganggang, bakteri, protozoa. Seperti ikan Belanak (Valamugil sp).

2) Ikan berdasarkan cara makan dapat dibedakan menjadi lima golongan, yaitu: a) Ikan Predator. Ikan ini disebut juga ikan buas dimana ikan ikan ini

menerkam mangsanya hidup-hidup. Ikan ini dilengkapi dengan gigi rahang yang kuat. Seperti iaka Alu-alu (Sphyraena jello), ikan Layur (Triciurus sacvla), ikan Tuna (Thunus albaceros).

b) Ikan Grazier yaitu ikan yang mengambil makananya dengan jalan menggerogotinya. Seperti ikan Mujair (Tilapia mossambica), ikan Kupu-kupu (Chaetodon lineolatus), dan ikan Nilem (Ostheochilus hasselti). c) Ikan Stainer yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan cara

menggelesernya dengan mulut yang terbuka, biasanya makanannya berupa plankton. Seperti ikan Lemuru (Clupea longiceps) dan ikan Layang (Depterus russeli).

d) Ikan Sucker yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menghisap lumpur atau pasir di dasar perairan seperti ikan Mas (Cyprinus

carpio).

e) Ikan Parasit yaitu ikan yang mendapat makanannya dengan jalan menghisap makanan dari tubuh hewan besar lainnya seperti ikan Belut Laut (Simenchelys parasiticus).

2.5 Faktor-faktor Fisik-Kimia dan Biologis Air

Dalam studi ekologi, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan. Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisika, dan kimia (Suin, 2002).

(5)

2.5.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses metabolisme organism perairan. Perubahan suhu yang mendadak atau kejadian suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari permukaan laut, letak tempat terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan kedalaman air. Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota perairan, terutama dalam proses metabolisme. Kenaikan suhu menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya kelarutan oksigen dalam air. Oleh karena itu, maka pada kondisi tersebut organisme akuatik seringkali tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut untuk keperluan proses metabolism dan respirasi (Effendi, 2002).

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air sangat besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan karena pembuangan sisa pabrik, misalnya, dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).

2.5.2 Intensitas Cahaya Matahari

Menurut Barus (2004), faktor cahaya yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan.

(6)

2.5.3 Penetrasi Cahaya

Menurut Suin (2002) kekeruhan air disebabkan adanya partikel-partikel debu, liat, pragmen tumbuh-tumbuhan dan plankton dalam air. Dengan keruhnya air maka penetrasi cahaya ke dalam air berkurang, sehingga penyebaran organisme berhijau daun tidak begitu dalam, karena proses fotosintesis tidak dapat berlangsung.

Menurut Barus (2004) kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, di mana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan.

2.5.4 pH

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hydrogen dalam peraian. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasahan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam (Effendi, 2002).

Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolism dan respirasi (Barus, 1996 dalam Siagian, 2009).

2.5.5 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volum, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja (Barus, 2004).

Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organism air. Semua tumbuhan dan semua hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut untuk bernapas. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan

(7)

hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam air. Oksigen dari udara terlarut masuk dalam air karena adanya difusi langsung dan agitasi permukaan air oleh aksi angin dan arus turbulen (Suin, 2002).

Pada umumnya oksigen terlarut berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam air dan proses fotosintesis dari tumbuhan hijau. Pengurangan oksigen terlarut disebabkan oleh proses respirasi dan penguraian bahan-bahan organik. Berkurangnya oksigen terlarut berkaitan dengan banyaknya bahan-bahan organik dari limbah industry yang mengandung bahan-bahan yang tereduksi dan lainnya (Welch, 1952 dalam Wijaya, 2009).

2.5.6 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Menurut Wardana, 1995 dalam Siagian (2009), BOD atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah bahan organik. Penguraian bahan organik melalui proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraiansenyawa organik, yang diukur pada temperature 20oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimia. Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Untuk produk-produk kimia seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004).

2.5.7 Chemical Oxygen Demand (COD)

COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organic baik yang mudah diuraikan secara

(8)

biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

2.5.8 Arus

Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertical. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus air bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut. Selain itu dikenal arus

laminar, yaitu arus air yang bergerak ke arah tertentu saja (Barus, 2004).

2.5.9 Kejenuhan Oksigen

Menurut Barus (2004), disamping pengukuran konsentrasi oksigen, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tinggkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/l, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem dari air tersebut

2.5.10 Unsur Hara

Unsur hara yang penting di perairan adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen di perairan berada dalam bentuk nitrogen bebas, nitrat, nitrit, ammonia, dan ammonium. Unsur fosfor dapat ditemukan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan folifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi, 2003).

Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini menyebabkan perairan menjadi tercemar sehingga berpangaruh terhadap kelimpahan organisme di dalam perairan (Schmit, 1978 dalam Silalahi, 2010).

(9)

Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan adalah nitrat dan amonia yang merupakan sumber utama nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonia. Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2002).

Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur penting dalam suatu ekosistem air. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor, misalnya ATP, yang terdapat di dalam sel makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Dalam ekosistem, fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme (Barus, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Serangga apa sajakah yang ditemukan di wilayah sekitar pantai Drini?.. Bagaimana klasifikasi dan ciri serangga yang telah didapatkan di wilayah sekitar

Untuk mendapatkan massa basah secara keseluruhan dalam sampel hasil kultur yang dilakukan, dapat ditentukan dengan menggunakan perbandingan massa basah pada microtube

Seperti halnya dalam ring, berikut diberikan suatu teorema yang menjelaskan bahwa bayangan homomorfisma dari suatu modul Noether merupakan modul Noether.. Jika M

Dengan model pembelajaran berbasis masalah, siswa dengan bekerja secara kelompok dapat mengkonstruksi pengetahuan, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna, sehingga hasil

Kemudian dilihat dari segi pencatatan laporan keuangan dari keseluruhan amal usaha yang menjadi sampel penelitian, satu-satunya yang menerapkan sistem pencatatan

Pengembangan kelembagaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang dilakukan dengan kerjasama, koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi lintas sektor dan antarwilayah di dalam

Variabel kepercayaan diri memediaasi persepsi siswa tentang kompetensi profesional guru terhadap motivasi belajar siswa MA se-Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Tahun