• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KEPRIBADIAN WANITA MISIONARIS LAJANG (SINGLE MISSIONARY WOMAN) BERDASARKAN TEORI VIKTOR FRANKL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "GAMBARAN KEPRIBADIAN WANITA MISIONARIS LAJANG (SINGLE MISSIONARY WOMAN) BERDASARKAN TEORI VIKTOR FRANKL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Yohanny Apriyanty Palamba NIM: 039114113

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Iman berkata,”Dalam kerajaan Allah, segala Sesuatu berdasar pada janji, bukan perasaan.

Allah mempunyai rencana Yang dibangun atas dasar kasih.” Saat engkau melakukan kesalahan besar:

Ketakutan berkata,”Habislah sudah. Kau telah menghancurkan semuanya.

Akui saja kesalahanmu itu.” Iman berkata,”Kegagalan adalah suatu peristiwa, bukan orang. Allah akan menggunakan

kekuatan maupun kelemahanku untuk melaksanakan rencana-Nya.”

Ketika engkau menanti sesuatu:

Ketakutan berkata,”Kau akan terus me nunggu.” Iman berkata,”W aktuku ada di tangan Allah.

Dia akan menggenapi rencana-Nya untukku tepat pada waktunya.”

Saat engkau terpuruk dalam rasa bersalah: Ketakutan berkata,”Kau akan dihantui oleh

kekeliruanmu seumur hidup.” Iman berkata,”Allah selalu memberi

kesempatan. Dengan kuasa-Nya Dia memaafkanku.” Ketika engkau menghadapi

penyesalan yang dalam: Ketakutan berkata,”Kelemahan

membatasi dirimu.”

Iman berkata,”Aku berguna bagi Allah Justru karena kelemahanku.”

(Pam Vredevelt)

Seorang bijak pernah berkata,”Apa pun yang terjadi padaku, kupandang sebagai anugerah Allah untuk tujuan tertentu.

Jika berupa kesusahan, kuanggap Dia memberi hal itu supaya aku berjuang, menguatkan pikiran dan imanku.”

H al itu memudahkan dan mempermanis hidupku.

(5)

v

Do what you can, with what you have, where you are.

(Theodore Roosevelt)

(6)

vi

Karya ini kupersembahkan untuk:

JONI PAL AM BA

dan

YOHANA BI M BI

(7)

vii sehingga karya ini dapat terwujud.

Terselesaikannya tulisan ini tak lepas dari peran serta, dukungan, dan

bantuan berbagai pihak yang telah memotivasi penulis, untuk itu ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih atas kesediaan waktu, tenaga, pikiran, pengertian, kesabaran, dan

bantuan yang amat berarti bagi penulis dari awal hingga akhir penyusunan

skripsi ini.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing

akademik sekaligus dosen penguji. Terima kasih atas masukannya kepada

penulis untuk penyempurnaan karya ini

4. Bapak Minto Istono, S.Psi., M.Psi selaku dosen penguji. Terima kasih atas

kritik dan sarannya kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

5. Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah mendidik penulis selama menempuh

bangku perkuliahan.

6. Segenap staf Fakultas Psikologi, Mbak Nanik, mas Gandung, mas Muji, mas

Doni, dan pak Gi’, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan dalam

proses administrasi perkuliahan sejak awal kuliah. Bantuan, sapaan, dan

senyuman yang selalu terpancar di wajah kalian memb uat suasana kampus

makin penuh dengan semangat dan keceriaan.

7. Ketiga subjek penelitian yang telah bersedia berbagi kisah hidupnya untuk

dijadikan materi penelitian. Thank you very much, Vielen Dank fur ihre muhe,

Doumo Arigatou Gozaimasu God Bless You (^_^)

8. Papa-Mama yang tercinta…. Kurre sumanga’... akhirnya Anny dapat

menyelesaikan ini. Terima kasih banyak buat kasih sayang, kepercayaan,

(8)

viii

selanjutnya ya… tetap mengandalkan Tuhan, lebih peka lagi dengan orang di dekatmu, tetap rendah hati jangan sampai egois ya.) Bono & Dodo (Ayo… rajin kuliah, ingat perjuangan & kerja keras Papa-Mama, jangan sia-siakan waktu dan kesempatan yang kalian dapatkan…Jangan sampai menyesal kemudian… OK????) makasi buanget buat dukungannya selama ini. I l ov e y ou so m u ch

10.Om Natalin dan adek Wilmar buat dukungan dan bantuan yang telah banyak

diberikan bagi penulis. Terima kasih telah menunjukkan kepada penulis arti

hidup mengasihi dengan tulus & tanpa pamrih. Untuk waktu sharing &

diskusi tentang banyak hal dalam kehidupan ini. Thank u so… J

11.Saudara-saudaraku di Jogja, Kak Esaf, kak Lidya sekeluarga, Kak Monik &

Ardi, Kak Rigel, Lai… makasi buat doa, bantuan, dan dukungannya ya…,

Denny Swastika makasi dah mau direpotin untuk install komputerku yang lagi

sakit kena virus, mau berbagi laptopnya, makasi banyak ya dek (Ayo… cepat

rampung !!) Buat Victor, Kak Otri, Epaz, Rein, Zet.. thanx buat keceriaan yang kalian bagi buatku!!!! Buat Kak Jeny Bailao… Thank U.. kak buat

supportnya selama ini… Love You All!!! =)

12. Sahabat-sahabatku tercinta, Budhi Ardiyandhani, Devita Marie Astriana

Marthin, Yulita Patasik, Bernord Sadar Inna, Suster Hedwig… I ’m speechless

guys… You’r e t he best f r iend I ever had. I can only say t hank you ver y much f or

ever yt hingI love u all J

13.Novi Adrianto Bailao, thank u so much ya…buat semuanya. You’re the

inspiration for me.. Imanuel .’)

14.Maria Tridina Mustiko, Betshaida Sinaga, & Yeremia makasi dah jadi kakak

buatku. Semoga pengalaman iman bersama kalian dapat aku bagikan kepada

orang lain. Makasi buat telinga, hati, tenaga, & waktu yang telah kalian

(9)

ix

Asti, Alex, Berlin, Noncy, Rian, dan Kak Astrid. Makasi buat doa, dukungan,

dan bantuannya. I will miss our Ranch!!!

17.Teman-teman Joy Dance Ministry: Linda, Esens, Yana, Mami Nova, Kak

Neles, Kak Anto, Yesti, Abi, Adelia, Nando dan buat semua yang lum tertulis

tanpa terkecuali. Thanx a lot buat pengertiannya kalo tiba-tiba aku harus

mengundurkan diri dari pelayanan koreo… and off dari dance karena

menyelesaikan ini.

18.Teman-teman joyers yang selalu mendukung, Kak Cia, Mas Barkah, Bang

Sophar, Bang Guido, Bernat, Ko Jonis, Lisye, Ade’ Sischa dan semuanya

tanpa terkecuali… Tuhan memberkati…

19.Agatha, Kak Yeni, & Rafi di Malang yang mau berbagi dan mengantar penulis

bertemu dengan para subjek. Makasi banyak ya… buat bantuannya, GBU

20.Om Sapa sekeluarga, makasi buat bantuan dan dukungannya bagi penulis

selama di Jakarta.

21.Teman-teman seperjuangan di SMP & SMU, yang selalu setia mendukung

lewat doa, sms, telepon, dan dengan pertanyaan,”Kapan rampung?? Kok

lama??” Makasi banyak ya… Apriani, Ambun, Gepriani, Ratnawati, Irianto,

Yunicha, Yunita, Andika, Adam, Dauna, Bowo, Robert… (kapan ya.. bisa

ngumpul la gi?????? I miss it!!!!!)

22.Buat Yedia (thanx buat sharingnya dan sms-sms yang menguatkanku… Life is

beautiful Bro… Right???), Lingkar, Nurlim, Iwan, Vera, Adi kurre sumanga’ siulu, sangmane, sia sangbeneku tu attu ta lendui sola inde Jogja… Sukses

buat ke depannya ya… Bless u

23.Teman-teman KKN: Eva, Tesha, Arum, Avi, Betha, Dito, Martha, Tomlok, &

Sapi, Mas Riyan Sokola & Mbak Seni Jembrot. Makasi buat pengalaman

indah yang telah kita lalui bersama J

(10)

x

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 September 2008

Penulis

(11)

xi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2008

Penelitian ini menggunakan kerangka teori kepribadian (Logoterapi) Viktor Frankl. Teori kepribadian Viktor Frankl menekankan keinginan individu akan makna dan berurusan dengan usaha untuk membantu individu dalam mengatasi masalah pribadinya yang menyangkut pemenuhan keinginan akan makna. Tidak ada orang atau sesuatu yang lain dapat memberi pengertian tentang makna dan maksud dalam kehidupan tiap individu. Hal ini menunjukkan bahwa

peranan kepribadian sejalan dengan peran wanita misionaris lajang (single

missionary woman) yaitu tetap bertahan menjalankan tugasnya sebagai seorang misionaris yang diyakini sebagai panggilan Tuhan, meskipun banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gambaran kepribadian

pada wanita misionaris lajang (single missionary woman). Desain penelitian yang

digunakan adalah studi deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Data penelitian diperoleh dengan metode wawancara semi terstruktur pada tiga

orang subjek wanita misionaris lajang (single missionary woman). Analisis data

berdasarkan respon verbal subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita misionaris lajang (single

missionary woman) cenderung memiliki gambaran kepribadian yang sehat berdasarkan konsep logoterapi Viktor Frankl yaitu subjek sanggup mengambil keputusan tanpa paksaan dari orang lain seperti ketika memutuskan menjadi misionaris, memilih untuk menjalankan pelayanan dengan konsekuensi tidak menikah, dan tidak menyesali keputusan-keput usannya tersebut. Keinginan akan makna yang paling dominan adalah adanya relasi pribadi dengan Tuhan, iman kepada Tuhan, dan adanya tujuan hidup. Selain itu, adanya keyakinan untuk menjadi misionaris dan menjadikan tunjangan bukan hal yang utama. Berkaitan dengan makna hidup, subjek terlihat dapat mewujudkan tiga nilai yaitu nilai daya cipta/kreatif dengan melayani orang lain; dapat merasakan keuntungan dan perubahan ketika menjadi misionaris yang lajang; serta adanya tindakan

komitmen terhadap pekerjaannya sebagai misionaris. Nilai

eksperiensial/pengalaman yakni dengan menemukan sesama seperti relasi subjek dengan orang di sekitarnya; dan menemukan kebenaran melalui realisasi nilai-nilai agama Kristen. Terakhir adalah nilai-nilai bersikap yang dialami subjek ketika menghadapi permasalahan, tantangan atau situasi berat seperti terus bersekutu dengan Tuhan, membaca Alkitab, dan berdoa agar Tuhan selalu menguatkannya.

(12)

xii Yogyakarta

2008

This Research use Viktor Frankl’s personality theory (logotherapy). It is about an individual will to meaning and related to endeavor of helping an individu to solve problem especially about a fulfilment of will to meaning. There is none/nothing who can give an understanding of meaning and purpose of life in each individual's life. It indicate that personality's role equal to single missionary woman's role i.e being survive to do her job as a missionary as she believe it's God's calling even if she may has many difficulties or challenges to face.

The aim of this resource is to describe personality of single missionary woman. Research design is qualitative descriptive study with fenomenology approach. The informations are taken from semi-structural introduction method on three single missionary women. Data analyse is based on verbally response of research subject.

Result of the research shows single missionary woman is disposed to have good personality description based on logotherapy of Viktor Frankl i.e Subject can decide without feeling forced such as to be a missionary, to be a minister with unmarried consequency, and no regret. The dominant will to meaning are a relationship with God, Faith of God and the purpose of life. Beside, beliefs of being a missionary and the subsidy of life aren’t principal. Related to meaning of life, subject has three values, consists of creation value by serving people, has benefits of being single missionary woman, and a commitment for her job. The second value is experience value by finding people like her relationship with people surround her and to find the Truth by realization of Christian values. The last is attitude value, how Subject faces her problems, challenges and difficult times by keep a partnership with God, reading bible and praying for God strengthen her.

(13)

xiii

Nama : Yohanny Apriyanty Palamba

Nomor Mahasiswa : 039114113

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman ) Berdasarkan Teori Viktor Frankl”.

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Denga n demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam Bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 24 September 2008

Yang menyatakan,

(14)

xiv

Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran yang

membangun sebagai masukan yang amat berarti dalam menyempurnakan karya

tulis ini. Akhir kata, harapan penulis semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca sekalian.

Yogyakarta, 24 September 2008

Penulis

(15)

xv

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… x

ABSTRAK ……… xi

ABSTRACT ……… xii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... xiii

KATA PENGANTAR ……….. xiv

DAFTAR ISI ………. xv

DAFTAR TABEL ………. xviii

DAFTAR SKEMA ………... xix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan Penelitian ………. 6

D. Manfaat Pene litian ……… 7

1. Manfaat Teoritis ……… 7

2. Manfaat Praktis ………. 7

BAB II LANDASAN TEORI ……… 8

A. Gambaran Kepribadian Viktor Frankl ……….. 8

1. Pengertian Kepribadian ……… 8

2. Pandangan Tentang Kepribadian Berdasarkan Teori Viktor Frankl ……… 11

a. Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will).... 12

b. Keinginan akan makna (The Will To Meaning) … 13 c. Makna Hidup (Meaning Of Life)……….. 14

(16)

xvi

a. Misionaris Lajang

(Single Missionary/Unmarried Missionary)... 26

b. Misionaris yang Menikah (Married Missionary)... 29

5. Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman)... 30

C. Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang Berdasarkan Teori Viktor Frankl ...………... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 39

A. Jenis Penelitian ……… 39

B. Batasan Penelitian ………. 40

C. Subjek Penelitian ……….. 40

D. Metode Pengumpulan Data ……… 42

E. Prosedur Penelitian ……….. 46

F. Metode Analisis Data ……….. 47

1. Organisasi Data ………... 47

2. Pengkodean ……… 48

3. Interpretasi ……… 48

G. Keabsahan Data ……….. 48

1. Credibility ………. 48

2. Dependability ……… 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .……….. 51

A. Hasil Penelitian ……….…... 51

1. Pelaksanaan Penelitian ……….. 51

a. Subjek 1 ………... 51

b. Subjek 2 ………... 52

c. Subjek 3 ………... 53

2. Identitas Subjek Penelitian ..………. 54

(17)

xvii

(18)

xviii 1. Tabel 1. Pedoman Umum Wawancara

(19)

xix

(20)

1

A. Latar Belakang Masalah

Konsep tentang kepribadian yang sehat telah lama menjadi bahan

pertanyaan dari banyak orang. Apakah itu kepribadian sehat? Bagaimanakah

tingkah laku, pikiran, serta perasaan orang ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini

sering ditanyakan bukan hanya oleh ahli- ahli psikologi tetapi juga oleh

berjuta-juta orang lain. Namun, pertanyaan-pertanyaan semacam itu jugalah yang telah

memicu munculnya berbagai jawaban yang menyertakan cara untuk mencapai

kepribadian yang sehat.

Schultz (1991) mengungkapkan bahwa kepribadian dilihat dari perspektif

beberapa ahli psikologi menunjukkan telah terjadi perubahan radikal dalam

memandang kepribadian manusia. Fokus atau arah baru itu untuk memperhatikan

sisi sehat manusia. Tujuan dari pembaharuan ini adalah membuka potensi positif

dari diri individu agar dapat mengaktualisasikan diri, memenuhi bakat-bakatnya

dan menemukan makna kehidupan. Pandangan tentang kepribadian yang sehat

diajukan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gordon Allport, Carl Rogers,

Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung dan Viktor Frankl.

Pandangan tentang kepribadian jika ditinjau dari sistem logoterapi Viktor

Frankl (1967), memiliki tiga konsep yang menjadi landasan filosofisnya yaitu

kebebasan berkeinginan (Freedom of will), keinginan akan makna (Will to

(21)

Frankl percaya bahwa individu bisa menemukan makna dengan menemui

kebenaran, baik melalui realisasi nilai- nilai yang berasal dari agama maupun yang

berasal dari filsafat hidup yang sekuler (dalam Semiun, 2006). Frankl (1984)

menuturkan bahwa bagaimanapun manusia bertanggungjawab atas dan di hadapan

sesuatu, baik itu masyarakat, kemanusiaan, sesama ataupun hati nuraninya sendiri

dan bagi sebagian orang, manusia juga bertanggung jawab atas dan di hadapan

”sesuatu” yang lain yang dinamakan Tuhan (dalam Koeswara, 1992).

Orang yang percaya dan meyakini adanya Tuhan, terdorong untuk

memiliki relasi dengan-Nya. Relasi dengan Tuhan dapat diwujudkan dengan

melayani Dia melalui persekutuan pribadi denganNya dan terhadap sesama. Ada

berbagai macam faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang melayani

Tuhan. Namun, faktor yang paling utama yang mendasari pelayanan yang sejati

adalah panggilan Tuhan. Faktor panggilan Tuhan akan menjadikan seseorang

hidup untuk melayani, bukan melayani untuk hidup. Oleh karena panggilan itu

pula, seseorang mempunyai pengalaman nyata kasih karunia Allah dalam

hidupnya, kemudian menjadikannya kasih kepada Allah dan sesama sebagai dasar

kehidupan serta pelayanannya (Surjantoro, 2005).

Kemudian Egawati (2005) memaparkan bahwa panggilan Tuhan

dinyatakan dengan berbagai cara yaitu melalui Firman-Nya yang secara khusus

memberi jawaban terhadap pergumulan; melalui orang lain atau melalui

pengalaman/kejadian tertentu. Hal ini seperti dialami oleh Ria Zebua seorang

misionaris di Filipina yang berasal dari Indonesia

(22)

Yesus. Tapi rupanya di tempat-tempat lain banyak sekali yang belum pernah mendengar. Dan sebuah kerinduan tumbuh dalam jiwa saya. “Saya mau pergi membawa berita keselamatan kepada mereka! Saya mau jadi misionaris!” Saya merasa menjadi misionaris adalah tugas saya sebagai orang yang sudah ditebus Tuhan Yesus. Kebenaran ini saya pahami saat di kelas 2 SMP. Waktu itu kami sedang merayakan Natal. Pengkhotbah mengatakan bahwa dunia bergerak maju begitu pesat, semakin canggih. Tapi sangat menyedihkan bahwa manusia hidup seperti berlomba masuk neraka saja. Tuhan membutuhkan orang-orang percaya untuk memberitakan kepada mereka keselamatan di dalam Tuhan Yesus.” (Zebua, 2002, hal.12-13)

Dalam Conference Our Vocation as Missionaries 22 of January, 1998, ada

sembilan hal yang menj adi karakteristik misionaris yaitu aktif (mobile), fleksibel

(flexible), terpelajar (inculturated), dikenal dengan kemiskinan (identified with poor), pendiri komunitas (abuilder of community), ahli di bidang sosial ajaran

Gereja (an expert in social doctrine of the church), penggerak bagi misionaris

yang belum dinobatkan (apromoter of lay missionaries), seorang Penginjil (an evangelizer), dan Anak Tuhan (a man of God).

Untuk menjadi seorang misionaris bukanlah hal yang mudah karena akan

menghadapi banyak tantangan, kendala, kesulitan dan bahkan ancaman terhadap

nyawanya. Tanpa keyakinan bahwa Tuhan telah memanggilnya, ia tidak akan

dapat bertahan untuk menghadapi semua ini (Egawati, 2005).

Beberapa kendala yang harus dihadapi oleh seorang misionaris adalah

kesepian, kehilangan privasi (goldfish bowl syndrome), beban kerja yang tinggi,

kekurangan fasilitas, dukungan finansial yang mengkhawatirkan, tidak

menemukan harapan, konflik interpersonal, masalah kesehatan, kecemasan

terhadap anak (bagi misionaris yang menikah), tekanan untuk melakukan

pekerjaannya serta tekanan lintas-budaya seperti perbedaan bahasa, adat, hukum,

(23)

Selain itu, ada banyak misionaris yang sebelumnya melayani secara lintas

budaya tidak bisa bertahan dan dengan berbagai alasan meninggalkan

pelayanannya yang dikenal dengan istilah attrition. Paul Mckaughan (1997)

mengungkapkan bahwa attrition terjadi ketika misionaris, karena kesalahan

pengelolaan (mismanagement), harapan- harapan tidak realistik (unrealistic

expectations), penyalagunaan sistem (systemic abuse), kegagalan pribadi

(personal failure) meninggalkan daerah misi sebelum perwakilan misi atau gereja memperbolehkannya. Namun, ada juga misionaris yang mampu bertahan dan

menyelesaikan pelayanannya meskipun mengalami hal yang sama.

Para misionaris meskipun hidup di daerah asing, namun sanggup bertahan

dalam situasi yang dihadapi, mampu melaksanakan perannya, dan memaknai

setiap peristiwa yang mereka alami tentulah sangat dipengaruhi oleh

kepribadiannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alexander Schneiders bahwa:

“Kepribadian adalah kunci untuk menyesuaikan diri dan kesehatan mental.

Kepribadian sehat, yang berkembang dan terintegrasi dengan baik merupakan

jaminan untuk penyesuaian diri yang efektif” (dalam Semiun, 2006). Penyesuaian

diri dan kesehatan mental selalu dipengaruhi oleh macamnya kepribadian yang

dimiliki individu. Cara individu menangani masalah- masalahnya ditentukan oleh

kepribadiannya. Individu dianggap dapat menyesuaikan diri jika dapat

memecahkan masalah-masalahnya secara normal, dan sebaliknya dianggap tidak

dapat menyesuaikan diri jika individu bereaksi terhadap tekanan-tekanan dari

(24)

Subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah wanita misionaris lajang

(Single Missionary Woman) yang berasal dari Amerika, Jerman dan Jepang. Pertimbangan peneliti memilih subjek wanita misionaris lajang karena

perbandingan misionaris wanita dan laki- laki yang ada di ladang misi di berbagai

daerah sejak awal abad kedua puluh adalah 2:1 (Tucker & Liefeld, 1999) dan di

dunia, lebih dari 60% misionaris adalah wanita lajang (NECF Malaysia, 2004).

Misionaris lajang juga memiliki pelayanan yang unik dan penting sebab

mereka bisa pergi melayani kemana saja tanpa perlu melapor dan tanpa mendapat

imbalan atau bayaran. Namun yang menjadi masalah adalah status mereka yang

tidak menikah. Kesulitan yang lazim mereka alami adalah kesepian (loneliness).

Namun sekarang ini di sebagian besar belahan dunia, misionaris lajang

menjalankan peran yang modern seperti dokter, perawat dan pengajar. Isu lain

tentang misionaris lajang adalah relasi mereka dengan orang yang telah menikah,

misal wanita misionaris lajang harus menjaga agar hubungannya dengan laki- laki

yang telah menikah tidak terlalu dekat supaya tidak menimbulkan kecurigaan

terhadap istrinya dan juga agar tidak menimbulkan persepsi yang salah dari pihak

laki- laki yaitu merasa disukai. Kebutuhan-kebutuhan dan gagasan-gagasan

misionaris lajang ini sering diabaikan dan tidak didengarkan dalam proses

pengaturan kerja. Sangat penting membangun rasa persaudaraan dalam kerja tim

antara para misionaris dengan melibatkan singles sebagai partner yang utuh

(Hiebert, 1985).

Selain itu, para wanita misionaris lajang yang menjalankan tugasnya di

(25)

hukum yang sangat berbeda dengan negaranya. Tidak hanya itu saja, Indonesia

adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah Non-Kristen. Namun, para

misionaris ini dengan sangat berani mempertaruhkan hidupnya untuk tetap

menjalankan misinya walaupun harus mencari cara lain untuk menyembunyikan

identitas dan tujuan keberadaannya di Indonesia.

Berdasarkan paparan di atas peneliti tertarik untuk melihat seperti apa

gambaran kepribadian yang dimiliki oleh seorang wanita misionaris lajang jika

ditinjau dari teori Viktor Frankl karena ia dapat bertahan menghadapi

bermacam-macam kendala yang kadang menimbulkan kesulitan, sakit hati, dan putus asa

meskipun terkadang secara kasat mata para misionaris ini terlihat tenang dan tidak

memiliki konflik. Peneliti tertarik untuk dapat melihat tiga hal yang menjadi

landasan filosofis dari sistem logoterapi yang merupakan teori dari Frankl,

pertama bagaimana kebebasan berkeinginan seorang wanita misionaris lajang,

kedua bagaimana keinginan akan maknanya, dan terakhir adalah bagaimana

makna hidup seorang wanita misionaris lajang.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran kepribadian pada wanita misionaris lajang

ditinjau dari teori Viktor Frankl?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepribadian seorang

(26)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis:

a. Memberikan wacana tambahan bagi bidang ilmu Psikologi, khususnya

Psikologi Kepribadian dan Psikologi Pertumbuhan mengenai

kecenderungan kepribadian yang sehat secara psikologis.

b. Mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang kecenderungan

kepribadian sehat secara lebih nyata atau konkrit pada diri single

missionary women.

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi para misionaris, penelitian ini dapat membantu mereka untuk

mengetahui deskripsi kepribadian sehat sehingga dapat memotivasi

diri untuk memaknai setiap hal yang dialami dalam menjalankan

tugas-tugasnya.

b. Membuat orang awam mengetahui gambaran kepribadian sehat yang

dimiliki oleh wanita misionaris lajang sehingga dapat dijadikan

inspirasi dalam menjalani kehidupan.

c. Dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di masa

(27)

8

A. Gambaran Kepribadian Viktor Frankl 1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian merupakan terjemahan dari kata Inggris, Personality, dan

kata Inggris ini diturunkan dari kata Latin, Persona. Carl Gustav Jung

mengutarakan bahwa Persona adalah kepribadian publik, segi-segi yang

diperlihatkan seseorang kepada dunia atau pendapat publik yang mengait pada

individu, sebagai yang berbeda dengan kepribadian privat yang ada di belakang

tampilan sosial. Kata Persona seperti yang diutarakan oleh Jung berlawanan

dengan arti kepribadian yang sekarang. Psikolog sekarang memakai kata

“kepribadian” untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercayai

mengenai individu. Beranekaragam definisi yang diajukan oleh para psikolog

dengan judul-judul segi pandanga n omnius, integratif, hierarkis, keunikan,

penyesuaian diri (Allport & Vernon dalam Semiun, 2006) dan hakikat.

a. Definisi Omnibus

Istilah kepribadian yang digunakan di sini untuk memasukkan segala

sesuatu mengenai individu. Kepribadian dianggap sebagai jumlah keseluruhan

dari tingkah laku seseorang.

b. Definisi Integratif

Definisi ini mengemukakan bahwa kepribadian merupakan organisasi atau

(28)

Kepribadian adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap

segala macam tingkah laku yang dilakukan oleh individu.

c. Definisi Hierarkis

Definisi ini adalah sama dengan membatasi fungsi- fungsi atau

lapisan-lapisan sifat atau ciri khas. Dua orang ahli teori yang sangat terkemuka dalam

kelompok ini adalah William James dan Sigmund Freud. James melihat diri (dia

jarang menggunakan kata “kepribadian”) sebagai sesuatu yang terdiri dari

lapisan-lapisan yang dipandang dari dalam. Pertama, ada lapisan diri material (the

material self) yang terdiri dari harta milik, keluarga, sahabat-sahabat seseorang.

Kedua, ada lapisan diri sosial (the social self) yang berupa kesan-kesan orang lain terhadap seseorang (kepribadian sebagai objek stimulus). Seseorang dapat

memiliki diri sosial sebanyak orang atau kelompok mengenalinya. Lapisan ketiga

adalah diri spiritual (the spiritual self) yang digunakan untuk mengatur

kecenderungan-kecenderungan atau sifat-sifat yang bertentangan. Lapisan

keempat adalah ego murni (the pure self) yang sebenarnya tidak terpisah dari diri sosial. Itulah “I” (saya) atau orang yang mengetahui dan berlawanan dengan

“seseorang” atau diri yang diperlihatkan. Ego murni merupakan sisi lain dari diri

spiritual. Konsep Freud mengenai kepribadian sebagai sesuatu yang berstruktur

terdiri dari id, ego, dan superego yang juga cocok jika dimasukkan ke dalam

(29)

d. Definisi Keunikan

Kepribadian disamakan dengan segi-segi yang unik atau khas dari tingkah

laku. Definisi ini menunjukkan hal- hal mengenai individu yang menyebabkan dia

berbeda dari orang lain.

e. Definisi Penyesuaian Diri

Dalam kelompok definisi ini, kepribadian dipandang berdasarkan

penyesuaian diri. Penekanannya terletak pada ciri khas-ciri khas atau tingkah

laku-tingkah laku yang memungkinkan seseorang menyesuaikan diri atau bergaul

dengan baik dalam lingkungannya. Inilah tipe pendekatan ilmu kesehatan mental.

Kepribadian dalam konsep ini ditentukan oleh tindakan-tindakan yang kita

lakukan dan yang membantu kita menjaga keseimbangan (ekuilibrium) atau tetap

berada dalam keharmonisan dengan lingkungan kita. Apabila usaha-usaha ini

gagal, maka kita akan sampai pada apa yang dinamakan kepribadian yang tidak

mampu menyesuaikan diri.

f. Definisi Hakikat

Definisi ini mengemukakan bahwa kepribadian merupakan hakikat

keadaan manusia. Ahli teori dari kelompok ini berpendapat bahwa kepribadian

merupakan bagian dari individu yang sangat representatif, tidak hanya karena dia

membedakan individu tersebut dari orang-orang lain, tetapi yang lebih penting

karena itulah dia yang sebenarnya.

Uraian tentang definisi-definisi kepribadian di atas dapat disimpulkan

(30)

hakikat keadaan individu, yang membantu seseorang untuk menyesuaikan diri

atau menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.

2. Pandangan Tentang Kepribadian Berdasarkan Teori Viktor Frankl

Viktor Frankl adalah pendiri logoterapi (logotherapy). Istilah logoterapi

itu berasal dari dua kata, yakni “logos” dan terapi (therapy), yakni suatu terapi

yang berani menembus dimensi spiritual dari keberadaan manusia. Kata “logos”

berarti makna (meaning) menjadi manusia. Artinya diarahkan pada sesuatu dari

seseorang dan bukan pada diri sendiri. Bisa juga berarti Roh (spirit), yakni

dimensi “noetik” (spiritual) manusia dalam arti antropologis dan bukan dalam arti

teologis. Logoterapi dalam kenyataannya merupakan suatu terapi yang diarahkan

pada makna, yakni makna dalam dan untuk keberadaan manusia. Karena itu,

manusia harus menerima tanggung jawab dan menemukan nilai-nilai bagi

kehidupannya (dalam Semiun, 2006).

Frankl (1964) mengungkapkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan

makna dalam kehidupan merupakan motivasi utama kekuatan seseorang. Itulah

sebabnya Frankl menyebutnya sebagai suatu keinginan akan makna; yang berbeda

dengan prinsip kesenangan yang dalam psikologi Freud lebih diutamakan,

demikian juga berbeda dengan keinginan untuk berkuasa yang ditekankan oleh

psikologi Adlerian.

Pandangan tentang kepribadian dari sistem logoterapi Frankl ini dapat

dilihat dari tiga konsep yang me njadi landasan filosofisnya, (Frankl, 1967; dalam

(31)

a. Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will)

Frankl (1967) menekankan bahwa kebebasan manusia adalah salah satu

faktor yang menandai keberadaan manusia dan ya ng membentuk esensi manusia.

Kebebasan manusia sebagai makhluk terbatas adalah kebebasan di dalam

batas-batas. Manusia tidak bebas dari faktor- faktor biologis, psikologis, dan sosiologis

tetapi bagaimanapun, manusia bisa dan bebas mengambil sikap terhadap semua

kondisi yang dihadapinya itu.

Frankl mengungkapkan bahwa manusia bebas untuk tampil di atas

determinan-determinan somatik dan psikis dari keberadaannya sehingga dia bisa

memasuki dimensi noetis atau dimensi spiritual, suatu dimensi tempat kebebasan

manusia ada dan dialami dimana manusia dapat mengambil sikap bukan saja

terhadap dunia melainkan juga terhadap dirinya sendiri. Untuk memasuki dimensi

spiritual ini, manusia harus dapat memisahkan diri (self detachment) atau

mengambil jarak terhadap dirinya sendiri serta meninggalkan dimensi biologis

dan psikologis (dalam Koeswara, 1992 dan dalam Semiun, 2006).

Dimensi noetis membuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap

dirinya sendiri, dan dengan kesanggupan tersebut manusia bisa menentukan sikap

terhadap fakta, keadaan atau situasi yang dihadapinya, dan juga bisa merubah

dirinya sendiri (dalam Koeswara, 1992 dan dalam Semiun, 2006). Pada

pandangan Frankl, kesanggupan manusia untuk melakukan pemisahan diri atau

mengambil jarak terhadap diri sendiri itu lekat dengan humor yakni sanggup

menertawakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Humor

(32)

melihat diri dan kesulitannya itu sebagai sesuatu yang terpisah dari atau berjarak

terhadap dirinya sendiri (Frankl, 1967).

b. Keinginan Akan Makna (The Will To Meaning)

Logoterapi menekankan keinginan akan makna dan usaha membantu

individu dalam mengatasi masalah pribadinya yang menyangkut pemenuhan

keinginan akan makna itu (dalam Koeswara, 1992).

Frankl (1964, dalam Sumanto, 2006) mengungkapkan bahwa manusia

berperilaku tidak selalu didorong dan terdorong untuk mengurangi ketegangan

agar memperoleh keseimbangan melainkan mengarahkan diri sendiri menuju

tujuan tertentu yang bermanfaat bagi dirinya, yakni makna. Frankl (dalam Schultz,

1991) menyatakan bahwa ada satu dorongan yang fundamental, yakni keinginan

akan makna yang begitu kuat sampai mampu mengalahkan semua dorongan lain

pada manusia. Keinginan akan makna sangat penting untuk kesehatan psikologis

dan dalam situasi-situasi yang gawat. Keinginan akan makna perlu supaya tetap

hidup. Tanpa adanya makna maka tidak ada alasan untuk meneruskan kehidupan.

Frankl (1964, dan dalam Semiun, 2006) mengemukakan bahwa keinginan

akan makna merupakan suatu kekuatan (nilai) yang mendorong manusia untuk

memperoleh makna dalam hidup. Keinginan akan makna berarti tanggung jawab

dan komitmen. Manusia individu bertanggung jawab untuk memenuhi makna

khusus kehidupan pribadinya terhadap masyarakat, kemanusiaan, atau terhadap

dirinya sendiri. Keinginan akan makna berasal dari keinginan bawaan manusia

untuk memberikan sebanyak mungkin makna bagi hidupnya, mengaktualisasikan

(33)

Frankl berpendapat bahwa seseorang hanya bisa mengaktualisasikan diri

sejauh ia melakukan pemenuhan makna. Menurut Frankl (1967), orientasi kepada

makna bisa membawa manusia kepada konfrontasi dengan makna. Orientasi

kepada makna menunjuk pada manusia itu apa yang telah dicapai atau

diselesaikan, sedangkan konfrontasi dengan makna menunjuk pada manusia

hendaknya bagaimana atau semestinya menjadi apa (apa yang harus dicapai atau

diselesaikan) .

c. Makna Hidup (Meaning Of Life)

Makna itu dicapai melalui bermacam- macam nilai. Frankl menyebut tiga

macam nilai yakni nilai- nilai daya cipta, nilai- nilai eksperiensial, dan nilai- nilai

bersikap (Frankl, 1964 & 1967; dalam Schultz, 1991; dalam Koeswara 1992 dan

dalam Semiun, 2006).

1) Nilai-nilai daya cipta (kreatif)

Nilai-nilai ini diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif.

Makna diberikan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan

atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang lain yang

merupakan suatu ungkapan individu. Suatu pekerjaan baru memiliki makna kalau

pekerjaan tersebut, apa pun bentuknya, merupakan usaha untuk memberikan

sesuatu kepada hidup (kehidupan diri dan sesama) yang didekati secara kreatif dan

dijalankan sebagai tindakan komitmen pribadi yang berakar pada seluruh

(34)

2) Nilai-nilai eksperiensial (pengalaman)

Nilai-nilai eksperiensial menyangkut penerimaan dari dunia. Ini tercapai

dengan menemukan keindahan, kebenaran, dan sesama lewat cinta. Frankl

mengemukakan bahwa satu momen puncak dari nilai pengalaman dapat mengisi

seluruh kehidupan seseorang dengan makna. Frankl tidak memberikan penjelasan

terperinci mengenai realisasi nilai-nilai eksperiensial melalui pertemuan dengan

kebenaran maupun tentang kebenaran itu sendiri. Namun ia tampaknya percaya

bahwa individu bisa menemukan makna baik melalui realisasi nilai- nilai yang

berasal dari agama maupun yang berasal dari filsafat hidup yang sekuler.

Menurut Frankl, menemui sesama dengan segala keunikan dan dalam

ketunggalannya berarti mencintainya. Cinta pada hemat Frankl adalah anugerah

dan sekaligus perluasan. Jadi, dengan menyerahkan diri kepada orang dicintai,

seseorang akan mengalami pemerkayaan batin. Pemerkayaan batin ini merupakan

salah satu unsur yang membentuk makna hidup.

3) Nilai-nilai bersikap

Nilai yang diperoleh dalam kondisi-kondisi yang negatif. Situasi-situasi

yang menimbulkan nilai-nilai bersikap adalah situasi-situasi dimana kita tidak

mampu untuk mengubahnya atau menghindarinya.

Individu menunjukkan nilai- nilai bersikap dengan mengungkapkan

keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan. Frankl menekankan bahwa

penderitaan itu mempunyai makna, ketika manusia berada dalam

(35)

Makna hidup, sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Semiun,

2006) memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:

a)Makna hidup harus direspon dengan berbuat dan bertindak, bukan dengan

kata-kata karena manusia bertanggung jawab terhadap hidup.

b)Makna hidup merupakan ungkapan yang tepat atas keadaan manusia, ciri khas

dari kodrat manusia yang sangat penting.

c)Makna itu bersifat objektif sehingga memiliki sifat menuntut dan menantang

manusia untuk meraihnya.

d)Makna juga mutlak, dalam artian makna adalah milik kawasan tertentu serta

cocok dengan situasi tertentu.

e)Sifat subjektif makna adalah makna itu khas dan unik bagi setiap individu.

f) Untuk mencapai makna, individu harus menunjukkan komitmen yang muncul

dari dalam dan pusat kepribadiannya.

Menurut pendapat Frankl (Bastaman, 1996), makna hidup merupakan

sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai

khusus bagi seseorang. Bila makna hidup ini ditemukan dan dipenuhi maka

seseorang akan merasakan hidup ini berarti dan berharga dan akhirnya akan

menimbulkan kebaha giaan. Kemudian, Bastaman (1996), berpendapat bahwa

penghayatan hidup secara bermakna berarti mampu menjalani kehidupan

sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.

Tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari merupakan sumber kepuasan dan

kesenangan tersendiri sehingga mampu mengerjakannya dengan semangat dan

(36)

pengalaman baru dan hal- hal menarik yang semuanya menambah pengalaman

hidup.

Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan, individu yang memiliki

kepribadian berdasarkan teori Logoterapi Victor Frankl adalah individu yang

memiliki:

1) Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will) yakni manusia bisa dan bebas

mengambil sikap terhadap semua kondisi yang dihadapinya untuk memasuki

dimensi spiritual, dimensi dimana manusia sanggup mengambil jarak terhadap

dirinya sendiri, dan dengan kesanggupan tersebut manusia bisa menentukan sikap

terhadap fakta, keadaan atau situasi yang dihadapinya, dan juga bisa merubah

dirinya sendiri,

2) Keinginan akan makna (The Will To Meaning) yakni suatu kekuatan (nilai)

yang mendorong manusia untuk memperoleh makna dalam hidup. Manusia

berperilaku mengarahkan dirinya untuk menuju tujuan tertentu yang penting bagi

dirinya yakni makna,

3) Makna Hidup (Meaning Of Life) adalah sesuatu yang dapat dicapai melalui tiga

macam nilai yaitu nilai- nilai kreatif, nilai- nilai eksperensial, dan nilai- nilai

(37)

B. Misionaris

1. Pengertian Misionaris

Menurut The Contemporary Indonesian-English Dictionary, misionaris

adalah seseorang yang dikirim untuk melakukan suatu misi, khususnya seorang

beriman atau murah hati yang melakukan penyebaran Injil di beberapa wilayah

atau negeri asing.

Seorang misionaris adalah seseorang yang memilih untuk terlibat dalam

misi gereja dengan melayani orang-orang dari budaya lain dan sering di negeri

asing. Seorang misionaris mungkin ditahbiskan, atau orang beriman yang

bersumpah, atau seseorang yang belum dinobatkan menjadi pendeta

(www.ozvocations.catholic.org.au/thingking/dictionary.html).

Istilah misionaris menunjuk pada setiap orang yang bekerja penuh waktu

untuk organisasi keagamaan di luar batas-batas negaranya dan tujuan utamanya

adalah menyampaikan ajaran seperti yang dinyatakan dalam Alkitab. Misionaris

adalah pekerjaan seperti halnya dalam bidang kedokteran, pendidikan,

pembangunan, pertanian, penterjemahan, pengangkutan, tetapi tujuan utama

mereka dari semua tugas pelayanannya adalah mengajak orang untuk masuk ke

dalam agama Kristen seperti perintis gereja, pendeta, dan penginjil (Jones &

Jones, 1995)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa misionaris adalah orang

beriman yang bekerja di luar batas negara atau keluar dari daerah asalnya dan

berada di lingkungan asing untuk menyampaikan Injil tentang Yesus Kristus atau

(38)

2. Kualifikasi Untuk Menjadi Misionaris

Kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang misionaris dapat

dijabarkan dalam beberapa kategori (Kane, 1975):

a. Kualifikasi Fisik: Semua misionaris diwajibkan melakukan pemeriksaan medis secara menyeluruh karena kehidupan di ladang misi lebih keras

daripada kehidupan di tanah asal. Seorang misionaris tidak harus berbadan

besar atau memiliki fisik yang nyaris sempurna, tetapi ia harus baik, konsisten,

dan sehat secara keseluruhan.

b. Kualifikasi Akademik: Untuk menjadi seorang misionaris diperlukan pendidikan sebaik mungkin sebelum ditugaskan ke ladang misi. Misionaris

diharapkan dengan jalan ini akan mampu mengatasi permasalahan pendidikan,

sosial, politik, dan keagamaan yang akan ia masuki dalam tugas

kemisionarisannya. Hal ini sangat penting apalagi jika ia merencanakan untuk

bekerja di antara para pelajar atau mahasiswa dan orang-orang yang memiliki

intelektual tinggi lainnya.

c. Kualifikasi Kejuruan: Banyak misionaris yang butuh pelatihan kejuruan atau teknis melebihi pendidikan budaya mereka. Mereka membutuhkan

keterampilan khusus atau pelatihan khusus untuk menjalankan pekerjaannya

sebab lembaga misionaris memiliki ruangan untuk semua jenis kekhususan

dalam bidang teologi, pengajaran, kesehatan, penginjilan (evangelisme), radio

& televisi, literatur, jurnalisme, bisnis, keuangan, akuntansi, bahasa, dll.

(39)

akan mampu mencapai pribadi yang secara keseluruhan sempurna, namun

hubungan antarmanusia akan mudah jika orang tersebut memiliki kepribadian

yang menyenangkan.

Aspek-aspek dalam kualifikasi psikologis ini terdiri atas:

1) Stabilitas emosi: Kesulitan hidup datang dalam seratus satu gangguan kecil

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misionaris. Dalam jangka waktu

yang lama, hal ini dapat mengganggu keseimbangan emosi seseorang.

Seseorang yang mawas diri, merasa rendah diri, menderita ketakutan dan

frustasi atas banyak hal, biasanya memiliki kesulitan menyesuaikan diri

dengan budaya setempat yang mereka temui ketika ditugaskan di ladang misi.

Kesehatan mental dan kematangan emosi tercatat sebanyak 10,9% dari tingkat

kegagalan tugas.

2) Kemampuan beradaptasi: jika seorang misionaris ingin berhasil maka ia harus

beradaptasi dengan budaya negara yang mereka kunjungi. Hal ini sangat

penting bila ingin menjalin pertemanan dan mempengaruhi orang lain.

Seseorang yang tidak mampu mengubah cara hidupnya kemungkinan hanya

bertahan setahun atau dua tahun dalam tugas pelayanannya.

3) Selera humor: pekerjaan misionaris adalah urusan yang serius. Oleh karena

itu, misionaris sebaiknya mampu menertawai diri sendiri. Banyak tekanan dan

situasi ledakan potensial yang dapat dihindari jika ia melihat sisi humor dari

setiap kejadian.

4) Semangat kerjasama: misonaris adalah bagian dari kelompok. Dalam

(40)

setiap misionaris harus belajar untuk bekerja secara harmonis dengan

keduanya. Misionaris tidak bisa bertindak seperti orang yang suka bekerja

sendirian sebab terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, terlalu

banyak peran yang harus dijalankan.

5) Kemauan untuk menerima perintah: dalam lembaga kemisionarisan, tanggung

jawab bagi pembuatan keputusan berakhir dengan keputusan pemimpin. Di

atas dewan daerah terdapat dewan nasional atau dewan internasional yang

bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasi misi di daerah asal dan di

luar negeri. Anggota dewan daerah harus mau mengimplementasikan

kebijakan yang telah ditetapkan oleh dewan internasional, dan para misionaris

harus siap tunduk kepada keputusan dewan daerah.

6) Kemampuan untuk menahan kepahitan: misionaris yang berasal dari negara

yang makmur seperti Amerika, menemui kesulitan dan bersusah payah agar

bisa hidup dengan gaya hidup sederhana di Negara Dunia Ketiga (negara

berkembang). Namun, mereka harus mampu menahan kekerasan seperti laskar

Kristus untuk mengenal orang-orang yang akan dimenangkan. Kesenjangan

antara negara “kaya” dan negara “miskin” sangat besar. Misionaris Kristen

dengan cara apapun tidak akan mampu menutup kesenjangan it u, tetapi ia

dapat menolong menjembataninya dengan penduduk lokal jika ia bersedia

untuk menahan kepahitan.

7) Kesabaran dan ketekunan: Tugas misionaris tidaklah untuk mengubah dunia

(41)

misionaris adalah melamban (s-l-o-w d-o-w-n). Oleh karena itu, dalam semua aspek kehidupan dan pekerjaannya dibutuhkan kesabaran dan ketekunan.

8) Tanpa merasa unggul diri: Ada seratus satu jalan bagi misionaris

menunjukkan rasa unggul dirinya tanpa disadari. Ada godaan yang sulit

ditahan untuk membandingkan rendahnya kualitas dan keterampilan antara

penduduk lokal dan misionaris yang berasal dari luar negeri, misal Amerika.

Selain itu, misionaris dengan gelarnya yang tinggi serta keahliannya dapat

dengan mudah menjadi sombong dan berpikiran bahwa ia memiliki semua

jawaban dan semua pemimpin nasional harus mendengarkan dan mengikuti

sarannya. Setiap hari dalam kehidupannya para misionaris harus berhati-hati

dengan sifat merasa unggul diri.

9) Tanpa prasangka rasial: dalam bentuk yang menyolok rasisme sudah hilang

dari tugas pelayanan, tetapi ada seratus satu bentuk halus rasisme yang masih

dapat dilihat. Tidak terlalu kelihatan dalam pekerjaan ataupun dalam berbagai

aspek kehidupan sosialnya. Namun, masih terdapat kecenderungan bagi para

misionaris untuk mencari rombongan rekan-rekan misionaris lainnya yang

bertempat tinggal di kota besar. Ujian sebenarnya terhadap kasih misionaris

bagi orang-orang adalah ketika berbagi dengan teman-temannya di waktu

senggang. Prasangka rasial sangat tidak menguntungkan dalam penyebaran

ajaran agama Kristen karena pertama, hal tersebut merupakan penyangkalan

ajaran Kristus dan kedua, hal tersebut mengasingkan orang lain dimana ia

(42)

e. Kualifikasi Spiritual: Kualifikasi terpenting adalah spiritual, yang terdiri atas aspek-aspek:

1) Pengalaman perubahan sungguh-sungguh: untuk menjadi misionaris seseorang

harus memiliki semangat penginjilan yang tumbuh dari pengalaman

perubahan kehidupannya, misalnya misionaris yang paling bersemangat

biasanya datang dari latar belakang penyembah berhala yang terpanggil dan

masuk agama Kristen. Misionaris yang tidak yakin akan keselamatan dirinya

sendiri tidak boleh memimpin orang lain menuju pengetahuan penyelamatan

oleh Kristus.

2) Pengetahuan tentang Alkitab: tugas utama misionaris adalah mengenalkan

Yesus Kristus pada dunia non-Kristen. Semua yang ia ketahui mengenai

Kristus dipelajarinya dari Alkitab. Maka dari itu dia harus memiliki

pengetahuan mendalam mengenai Alkitab yang mampu membuat orang lain

menuju keselamatan. Lebih jauh lagi Alkitab adalah sumber dimana dia

mendapatkan makanan yang diperlukan untuk kehidupan spiritualnya.

Singkatnya, Alkitab dasar dimana ia membangun kehidupan dan

pekerjaannya.

3) Jaminan bimbingan akan hal-hal yang bersifat Ketuhanan: jika misionaris

memiliki kedalaman, keyakinan penuh bahwa ia berada di ladang misi atas

kehendak Tuhan maka ia tidak akan kembali dan lari ketika pertama kali

melihat atau mendengar adanya bahaya, atau ia tidak akan menyerah ketika

kesulitan menghadang berkali-kali lipat dan frustasi nyaris membuatnya gila.

(43)

sampai matahari menghilang, hanya jika ia yakin bahwa ia berada di sana atas

kehendak Tuhan.

4) Kehidupan kebaktian yang kuat: kehidupan kebaktian misionaris sangat

penting. Ia akan menjadi orang utusan Tuhan bila kehidupan spiritualnya

secara sistematis berkembang dengan pembelajaran Alkitab, berdoa, meditasi,

dan penyembahan secara rutin.

5) Disiplin diri: misionaris sangat tergantung pada disiplin diri. Jika misionaris

bermalas- malasan dengan pekerjaannya atau malas dalam fisik maupun

pikiran maka ia dapat dengan mudah melarikan diri dari peran dan tugas

kemisionarisannya.

6) Hati penuh dengan kasih: misionaris tidak perlu terlalu pintar atau berani

untuk sukses (walaupun kedua hal tersebut sangat diinginkan), tetapi mereka

harus memiliki kasih. Penduduk lokal akan mengabaikan

kelemahan-kelemahan dan memaafkan kesalahan besar jika mereka diyakinkan bahwa

misionaris memiliki hati penuh kasih.

7) Kesuksesan dalam pelayanan Kristen: misionaris sebelum berangkat ke luar

negeri harus memiliki beberapa bukti atas berkat Tuhan dalam kehidupannya

dan beberapa bukti atas kekuatan Roh Kudus dalam pelayanannya. Sebelum di

tempatkan di daerah yang jauh, ia harus diakui terlebih dulu oleh gereja atau

lembaga pelayanan di daerah asalnya. Satu hal yang bisa diyakini adalah

(44)

3. Karakteristik Misionaris

Surjantoro (2005) memaparkan 7 karakteristik seorang nelayan yang

paling tidak adalah gambaran karakter dasar yang dimiliki oleh misionaris atau

untuk menjadi utusan Injil. Karakteristik tersebut antara lain:

a. Memiliki fokus yang jelas: sebagai seorang murid Kristus, selalu “berfokus

pada jiwa-jiwa terhilang untuk diselamatkan” dalam hal apapun yang

dilakukannya, dalam cara dan profesi apapun dalam kehidupannya.

b.Terbiasa hidup sederhana: orang biasa hidup sederhana akan terbiasa

menghadapi penderitaan dan masa krisis. Dalam peperangan rohani, yang

diperlukan adalah bekal-bekal rohani dan jasmani seperlunya.

c. Rajin: orang-orang yang rajin bekerja keras, berinisiatif, dan kreatif dalam

pekerjaanNya akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Orang yang malas

mempunayi banyak alasan dan melakukan hal- hal yang bukannya membangun

melainkan meresahkan banyak orang. Bagi orang yang rajin bekerja di ladang

Tuhan, tidak ada waktu untuk mengganggu orang lain tetapi menjadi berkat

bagi orang lain.

d.Sabar: untuk memenangkan jiwa harus sabar. Seringkali pekerjaan memerlukan

waktu yang lama untuk melihat hasil yang kasat mata. Kesabaran menolong

dalam menghadapi tantangan dan penderitaan.

e. Berani dalam tugas dan profesinya: perlu keberanian untuk melakukan

tugasNya. Berani mengatakan kebenaran, berani bertindak benar dalam

(45)

f. Beriman: beriman kepada Tuhan berarti mempertaruhkan seluruh kehidupan

kepadaNya. Berserah dan percaya total kepadaNya. Rasa aman dan damai

sejahtera akan menyertai jika dapat senantiasa memercayakan hidup dan

pelayanan kepadaNya.

g. Suka bekerja sama: dalam melakukan pekerjaannya, “penjala manusia” atau

misionaris harus suka bekerja sama untuk mencapai tujuan akhir yang penting,

yaitu jiwa-jiwa yang dimenangkan ke dalam kerajaan terangNya. Bukannya

membangun kerajaan-kerajaan kecil sendiri-sendiri tapi bersama membangun

Kerajaan Allah.

h. Mencintai dan setia kepada profesinya: sekalipun pekerjaan itu berat, namun

dia tetap setia. Itu semua dilakukan karena kecintaan dan kesetiaannya terhadap

profesinya.

4. Macam-macam Misionaris

a. Misionaris Lajang (Single Missionary/Unmarried Missionary)

Seorang wanita bujang yang pergi ke ladang misi untuk pelayanan harus

meyakinkan hatinya bahwa ia kemungkinan terpanggil untuk hidup melajang.

Hidup bujang dalam Kristus dan dipenuhi oleh Roh Kudus bukan berarti tidak

memiliki hasrat untuk menikah dan menjalin relasi dengan seorang pendamping

hidup. Tidak berarti pula bahwa dorongan-dorongan (keinginan) biologis

dihilangkan. Keinginan itu, tempat yang kosong itu tetap ada, tetapi dari

(46)

secara berangsur-angsur mendapat dan dipenuhi berkat rohani seiring dengan

berlanjutnya kehidupan.

Masa cuti adalah waktu yang sangat sulit bagi seorang misionaris lajang.

Tahun berlalu, menyebabkan berkurangnya perkumpulan misionaris lajang

dengan teman-temannya berkurang. Orang tua meninggal; relasi dengan yang lain

tidak begitu dekat; serta tidak tertarik dengan hal- hal yang umum. Kebanyakan

sahabat dan teman-teman misionaris lajang ini berada di ladang misi, baik

penduduk lokal maupun rekan sesama misionaris.

Kesulitan-kesulitan misionaris yang melajang tidak mungkin dapat

disembunyikan, terutama ketika bercampur dengan masalah atau kekecewaan

terhadap orang lain. Jika hidup melajang tidak dapat diterima dalam hati, maka

pertumbuhan spiritual akan melambat atau terhambat. Depresi kemungkinan

terjadi dan timbul keinginan untuk meninggalkan ladang misi.

Menurut Hale (1995), ada 4 (empat) kerugian menjadi lajang di ladang

misi, yaitu:

1) Misionaris lajang tidak dapat memilih teman sekamar. Ketidakrukunan dengan

teman sekamar biasanya merupakan masalah besar bagi para misionaris lajang,

2) Sebagai misionaris lajang sangat besar kemungkinannya untuk ditempatkan dan

dipindahkan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Memindahkan seorang

misionaris lajang lebih mudah daripada misionaris yang telah berkeluarga,

sehingga dalam hal ini para lajang merasa diperlakukan berbeda

(47)

3) Melajang di budaya Dunia Ketiga tidak diterima sebagai keadaan yang normal.

Misionaris lajang selalu ditanyai terus menerus tentang usia mereka, tentang

mengapa mereka tidak menikah, apa yang salah dengan mereka. Pada akhirnya

orang akan segera menerima status lajang tersebut sampai ketika misionaris itu

pindah ke lokasi baru, dimana inti dari pertanyaan yang sama kembali ditanyakan,

4) Hal yang sangat merugikan menjadi misionaris lajang adalah kesepian.

Pengalihan utama dari perasaan ini adalah dengan bekerja. Setiap orang

membutuhkan paling tidak seorang yang dekat dan teman untuk berbagi, dan di

waktu yang bersamaan cocok. Di ladang misi, tidak selalu mungkin untuk

menyatukan setiap misionaris lajang dengan teman sekamar yang tepat karena

petugas administrasi harus memilih dari jumlah orang yang terbatas; ditambah ada

yang cuti, terserang penyakit, dan kemungkinan akan dipindahkan.

Hale (1995) juga mengungkapkan lima keuntungan menjadi seorang

misionaris lajang, yaitu:

1) Misionaris lajang mempunyai lebih banyak waktu bebas; mereka bebas dari

tanggung jawab keluarga, bebas dari beban pikiran yang tak terelakkan yang

menjadi bagian dari kehidupan berkeluarga. Mereka mempunyai waktu lebih

banyak untuk belajar bahasa,

2) Misionaris lajang rata-rata punya kemampuan untuk menjalin relasi yang lebih

dekat dengan masyarakat setempat. Masyarakat bebas terjun di antara para

misionaris; misionaris lajang dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk

(48)

mengikuti gaya hidup masyarakat setempat yang akan mebantu dalam pembinaan

hubungan di antara mereka,

3) Misionaris lajang lebih fleksibel. Kefleksibelan ini menguntungkan, tetapi

ketika dianggap perlu untuk pindah atau mengubah rencana, maka kefleksibelan

tersebut akan lebih memudahkan misionaris lajang tersebut,

4) Lebih murah menanggung hidup para lajang (karena mereka tidak punya anak),

ditambah lagi mereka lebih banyak bekerja,

5) Bagi misionaris lajang ada upah spiritual yang berlimpah. Misionaris lajang

yang berada di ladang misi biasanya lebih cakap, stabil, sukses, dan dipenuhi Roh

Kudus.

b. Misionaris yang menikah (Married Missionary)

Baik buruk misionaris yang menikah di ladang misi adalah kebalikan dari

baik buruknya misionaris lajang. Kecuali ada dua tambahan keuntungan bagi

misionaris yang menikah (Hale, 1995), yaitu pertama adalah di dalam setiap

perkawinan yang berbahagia, setiap pasangan secara emosional dan psikologis

dikuatkan dan ditingkatkan oleh hubungan. Keuntungan kedua yang harus

dilakukan sebagai saksi perkawinan Kristen adalah saling memiliki kele mbutan

hati yang mendalam di antara suami dan istri, hormat pada kaum wanita,

mendisiplikan anak-anak dengan cinta, akrab, tentram, dan harmonis. Kesaksian

teladan Allah melalui misionaris yang menikah sangat penting dalam masyarakat

yang kaum wanitanya dianggap rendah dan anak-anak yang tidak disiplin.

Menjadi seorang misionaris adalah pekerjaan yang penuh dengan stres

(49)

perkawinan misionaris walaupun demikian menjadi pasangan misionaris yang

menikah adalah petualangan yang menyenangkan. Dalam perkawinan, suami dan

istri menjadi satu tim. Kesaksian keindahan dan keberhasilan sebuah perkawinan

Kristen ditentukan dengan cara bekerja bersama antara suami dan istri. Suami dan

istri adalah rekan yang setara meskipun peran-perannya berbeda; dan sebagai

rekan yang seimbang, mereka harus menyumbang secara seimbang juga

usaha-usaha sebagai misionaris (Hale,1995)

5. Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman)

Banyak para misionaris yang menikah, namun dalam beberapa bidang,

banyak juga-khususnya wanita muda- yang menjalankan pelayanan sebagai

seorang misionaris yang melajang.

Misionaris lajang tidak pernah meragukan bahwa Allah selalu memenuhi

semua kebutuhannya, apakah itu berupa kebutuha n rohani, badani atau emosi,

teristimewa dalam satu jabatan yang penuh tantangan seperti misalnya pekerjaan

misionaris. Meskipun ketetapan Allah yang berkuasa, para wanita misionaris

lajang ini terus saja menghadapi tantangan-tantangan unik atau bahkan berbagai

persoalan aneh atau yang tidak menyenangkan dalam ladang misi mereka

masing-masing atau juga di rumah tempat para masyarakatnya berorientasikan

perkawinan.

Wanita misionaris lajang dalam pelayanan mempunyai keuntungan dan

kerugian. Tanggung jawab tetap besar walaupun ada potensi yang tidak terbatas

(50)

mengindikasikan bahwa depresi mengganggu misionaris wanita yang melajang

(http:/www.necf.org.my/newsmaster.cfm?&menuid=12&action=view&retrieveid

=571)

Menurut The National Evangelical Christian Fellowship atau NECF

Malaysia (2004), tantangan-tantang unik bagi wanita misionaris lajang

diantaranya:

a. Wanita misionaris lajang, tanpa seorang pasangan tempat untuk berbagi

kegembiraan dan frustasi membutuhkan lebih dari sekedar keamanan finansial

dan dukungan doa. Beberapa dari mereka berada dalam tekanan masyarakat

lokal yang memandang rendah para wanita lajang. Sikap terhadap hidup

melajang, peranan budaya, dan perilaku gender dalam kebudayaan lokal dapat

menjadi hambatan amat besar terhadap tugas-tugas pelayanan wanita

misionaris lajang ini.

b. Tantangan lain muncul dari dalam tim sepelayanan, baik yang di tempat asal

maupun yang di luar negeri. Sepanjang menyangkut kepemimpinan dalam

bidang misi, kebanyakan wanita misionaris lajang seringkali terlihat sebagai

orang-orang yang tidak penting, diabaikan dalam pengambilan keputusan,

pembuatan strategi dan komunikasi. Kadang-kadang keputusan yang dibuat

untuk wanita misionaris yang melajang tidak dikonsultasikan terlebih dulu

dengan mereka. Selain itu, hal ini juga tampak dimana laki- laki memimpin

banyak perwakilan-perwakilan dimana wanita (kebanyakan lajang) mayoritas.

c. Saat beberapa wanita mempunyai kecenderungan untuk membuktikan bahwa

(51)

dengan teman sekerja laki- laki, wanita yang lain mungkin terpaksa

mengerjakan tugas-tugasnya yang memerlukan keterampilan secara teknis dan

kekuatan secara fisik yang besar ketika tidak ada satupun laki- laki di

sekitarnya. Aspek keamanan yang keadaan kebudayaannya berlainan

merupakan masalah lain yang khas, misalnya kesusahan transportasi di

beberapa daerah pedalaman, lingkungan yang berbahaya, dll. Bepergian

sendiri di masyarakat tertentu yang tidak dapat diterima dan dimengerti oleh

masyarakat setempat..

d. Talenta dan godaan wanita misionaris lajang berbeda dari rekan laki- laki

mereka. Wanita secara sosial diakui lebih relasional daripada laki- laki. Mereka

mungkin merasa kurang mendapat ancaman daripada laki- laki dari beberapa

budaya dan mempunyai akses yang lebih mudah kepada wanita-wanita dan

anak-anak di hampir semua masyarakat. Wanita misionaris lajang dalam

kenyataannya menemukan kesulitan melayani lawan jenisnya dan kadang

merasa tertantang oleh wanita yang menikah. Godaan seksual dapat menjadi

masalah yang berarti bagi kebanyakan wanita misionaris lajang. Sekalipun

kemampuan mereka adalah menghabiskan banyak waktu untuk memberikan

perhatian, pengertian dan disiplin pada orang lain tanpa keseimbangan dengan

kebutuhan-kebutuhan dan kerja bagi keluarga, mungkin tanpa disadari

menambahkan beban kerja yang lebih berat untuk dipikul sehingga terlalu

banyak beban kerja bagi mereka.

e. Pokok persoalan wanita misionaris lajang pertengahan hidup (usia 40-60

(52)

perubahan secara fisik dan penyesuaian terhadap orang tua yang makin tua

mengambil bagian dalam tahap kehidupan. Hal ini menyampaikan bahwa

masalah wanita dewasa pertengahan bukan karena menopause atau sudah

lanjut usia, tetapi merawat orang tua mereka, karena hampir selalu anak

perempuanlah selalu menjadi pengurus yang utama. Beberapa wanita

misionaris lajang melayani atau diharapkan oleh saudara-saudara kandungnya

untuk mengurus orang tua mereka. Di waktu yang bersamaan, wanita

misionaris lajang seperti wanita yang menikah lainnya, berdukacita karena

kehilangan masa muda dan kesuburan yang menyebabkan pergolakan secara

emosi, psikologis, dan spiritual.

f. Seperti orang lain pada umumnya, wanita misionaris lajang juga mengalami

krisis identitas dan cenderung untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan

dalam karakter mereka. “Tetapi orang-orang cenderung untuk menceritakan

perjuangan kami sebagai suatu hasil menjadi orang yang tidak menikah” kata

beberapa wanita yang diwawancara oleh Research Commission NECF

Malaysia. Sekalipun menopause tidak sinonim dengan proses penuaan, hal itu

secara nyata menentukan pengalaman misionaris wanita secara fisik,

psikologis, sosial dan spiritual. Umumnya, semua wanita berjalan melalui

jalan kehidupan sambil menegaskan kembali diri mereka sendiri dan

peran-peran mereka, namun wanita misionaris lajang secara stereotipe digambarkan

sebagai orang neurotik, emosional dan sengsara oleh kebanyakan orang.

g. Banyak wanita misionaris lajang juga yang menemukan kesulitan dalam

(53)

mengundurkan diri dari masing- masing ladang misi mereka dimana mereka

telah menghabiskan waktu bertahun-tahun beralkulturasi melalui usaha yang

disadari. Kebanyakan misionaris wanita mengungkapkan perhatian mereka

untuk menghidupkan kembali jaringan sosial mereka karena hubungan dengan

teman-teman lama dan beberapa anggota gereja telah kelihatan tidak

mendalam. Oleh karena identitas wanita misionaris lajang dihubungkan

dengan relasi, keterkaitan dengan orang lain dan intim, beberapa akan

berjuang untuk membangkitkan kembali jaringan yang baru dalam

persahabatan walaupun itu harus dilakukan dengan susah payah.

h. Tantangan lain yang dihadapi oleh wanita misionaris lajang adalah

menemukan suatu tempat yang tetap untuk masa pensiun mereka. Beberapa

perwakilan (agencies) telah memberitahu atau tepatnya meminta agar

misionaris yang mereka kirim membayar iuran lebih besar dalam membangun

sumber keuangan meskipun ini bermaksud baik untuk mencegah persoalan

tempat tinggal pada masa depan, namun pokok persoalan bagi wanita

misionaris lajang adalah mereka harus bekerja keras untuk mengumpulkan

dukungan finansial mereka. Jaminan keuangan setelah purna karya, misalnya

pensiun atau Dana Kesejahteraan Pegawai, masih merupakan suatu kenyataan

(54)

C. Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman) Ditinjau dari Teori Viktor Frankl

Seperti sudah ditulis di awal bahwa cara individu menangani

masalah-masalahnya ditentukan oleh kepribadiannya. Individu dianggap dapat

menyesuaikan diri jika individu dapat memecahkan masalahnya secara normal

dan sebaliknya dianggap tidak dapat menyesuaikan diri jika individu bereaksi

terhadap tekanan-tekanan dari kehidupan sehari- hari dengan suatu simtom khusus

(Semiun, 2006). Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kepribadian

sangatlah penting bagi setiap individu. Manusia memiliki kepribadian agar ia

mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat menyelesaikan

masalah- masalahnya.

Para misionaris dalam kenyataannya banyak mengalami kendala atau

masalah- masalah yang kadang menimbulkan kesulitan, sakit hati, dan

keputusasaan. Hal ini seperti yang dialami oleh para wanita misionaris lajang

(Single missionary woman). Persoalan hidup wanita misionaris lajang yang sering dialami adalah status yang tidak menikah selalu memunculkan pertanyaan atau

menjadi tanda tanya bagi orang di daerah tempatnya melayani. Selain itu,

orang-orang pada umumnya terutama yang berada di Dunia Ketiga melihat bahwa masih

banyak pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang jauh lebih baik

daripada menjadi misionaris. Wanita misionaris lajang juga sering mengalami

tantangan seperti kesepian dan adanya tekanan lintas budaya yakni perbedaan

Gambar

Tabel 1. Pedoman Umum Wawancara (General Guide Interview)

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah