Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Yohanny Apriyanty Palamba NIM: 039114113
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Iman berkata,”Dalam kerajaan Allah, segala Sesuatu berdasar pada janji, bukan perasaan.
Allah mempunyai rencana Yang dibangun atas dasar kasih.” Saat engkau melakukan kesalahan besar:
Ketakutan berkata,”Habislah sudah. Kau telah menghancurkan semuanya.
Akui saja kesalahanmu itu.” Iman berkata,”Kegagalan adalah suatu peristiwa, bukan orang. Allah akan menggunakan
kekuatan maupun kelemahanku untuk melaksanakan rencana-Nya.”
Ketika engkau menanti sesuatu:
Ketakutan berkata,”Kau akan terus me nunggu.” Iman berkata,”W aktuku ada di tangan Allah.
Dia akan menggenapi rencana-Nya untukku tepat pada waktunya.”
Saat engkau terpuruk dalam rasa bersalah: Ketakutan berkata,”Kau akan dihantui oleh
kekeliruanmu seumur hidup.” Iman berkata,”Allah selalu memberi
kesempatan. Dengan kuasa-Nya Dia memaafkanku.” Ketika engkau menghadapi
penyesalan yang dalam: Ketakutan berkata,”Kelemahan
membatasi dirimu.”
Iman berkata,”Aku berguna bagi Allah Justru karena kelemahanku.”
(Pam Vredevelt)
Seorang bijak pernah berkata,”Apa pun yang terjadi padaku, kupandang sebagai anugerah Allah untuk tujuan tertentu.
Jika berupa kesusahan, kuanggap Dia memberi hal itu supaya aku berjuang, menguatkan pikiran dan imanku.”
H al itu memudahkan dan mempermanis hidupku.
v
Do what you can, with what you have, where you are.
(Theodore Roosevelt)
vi
Karya ini kupersembahkan untuk:
JONI PAL AM BA
dan
YOHANA BI M BI
vii sehingga karya ini dapat terwujud.
Terselesaikannya tulisan ini tak lepas dari peran serta, dukungan, dan
bantuan berbagai pihak yang telah memotivasi penulis, untuk itu ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi.
Terima kasih atas kesediaan waktu, tenaga, pikiran, pengertian, kesabaran, dan
bantuan yang amat berarti bagi penulis dari awal hingga akhir penyusunan
skripsi ini.
3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus dosen penguji. Terima kasih atas masukannya kepada
penulis untuk penyempurnaan karya ini
4. Bapak Minto Istono, S.Psi., M.Psi selaku dosen penguji. Terima kasih atas
kritik dan sarannya kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.
5. Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah mendidik penulis selama menempuh
bangku perkuliahan.
6. Segenap staf Fakultas Psikologi, Mbak Nanik, mas Gandung, mas Muji, mas
Doni, dan pak Gi’, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan dalam
proses administrasi perkuliahan sejak awal kuliah. Bantuan, sapaan, dan
senyuman yang selalu terpancar di wajah kalian memb uat suasana kampus
makin penuh dengan semangat dan keceriaan.
7. Ketiga subjek penelitian yang telah bersedia berbagi kisah hidupnya untuk
dijadikan materi penelitian. Thank you very much, Vielen Dank fur ihre muhe,
Doumo Arigatou Gozaimasu… God Bless You (^_^)
8. Papa-Mama yang tercinta…. Kurre sumanga’... akhirnya Anny dapat
menyelesaikan ini. Terima kasih banyak buat kasih sayang, kepercayaan,
viii
selanjutnya ya… tetap mengandalkan Tuhan, lebih peka lagi dengan orang di dekatmu, tetap rendah hati jangan sampai egois ya.) Bono & Dodo (Ayo… rajin kuliah, ingat perjuangan & kerja keras Papa-Mama, jangan sia-siakan waktu dan kesempatan yang kalian dapatkan…Jangan sampai menyesal kemudian… OK????) makasi buanget buat dukungannya selama ini. I l ov e y ou so m u ch…
10.Om Natalin dan adek Wilmar buat dukungan dan bantuan yang telah banyak
diberikan bagi penulis. Terima kasih telah menunjukkan kepada penulis arti
hidup mengasihi dengan tulus & tanpa pamrih. Untuk waktu sharing &
diskusi tentang banyak hal dalam kehidupan ini. Thank u so… J
11.Saudara-saudaraku di Jogja, Kak Esaf, kak Lidya sekeluarga, Kak Monik &
Ardi, Kak Rigel, Lai… makasi buat doa, bantuan, dan dukungannya ya…,
Denny Swastika makasi dah mau direpotin untuk install komputerku yang lagi
sakit kena virus, mau berbagi laptopnya, makasi banyak ya dek (Ayo… cepat
rampung !!) Buat Victor, Kak Otri, Epaz, Rein, Zet.. thanx buat keceriaan yang kalian bagi buatku!!!! Buat Kak Jeny Bailao… Thank U.. kak buat
supportnya selama ini… Love You All!!! =)
12. Sahabat-sahabatku tercinta, Budhi Ardiyandhani, Devita Marie Astriana
Marthin, Yulita Patasik, Bernord Sadar Inna, Suster Hedwig… I ’m speechless
guys… You’r e t he best f r iend I ever had. I can only say t hank you ver y much f or
ever yt hing… I love u all J
13.Novi Adrianto Bailao, thank u so much ya…buat semuanya. You’re the
inspiration for me.. Imanuel .’)
14.Maria Tridina Mustiko, Betshaida Sinaga, & Yeremia makasi dah jadi kakak
buatku. Semoga pengalaman iman bersama kalian dapat aku bagikan kepada
orang lain. Makasi buat telinga, hati, tenaga, & waktu yang telah kalian
ix
Asti, Alex, Berlin, Noncy, Rian, dan Kak Astrid. Makasi buat doa, dukungan,
dan bantuannya. I will miss our Ranch!!!
17.Teman-teman Joy Dance Ministry: Linda, Esens, Yana, Mami Nova, Kak
Neles, Kak Anto, Yesti, Abi, Adelia, Nando dan buat semua yang lum tertulis
tanpa terkecuali. Thanx a lot buat pengertiannya kalo tiba-tiba aku harus
mengundurkan diri dari pelayanan koreo… and off dari dance karena
menyelesaikan ini.
18.Teman-teman joyers yang selalu mendukung, Kak Cia, Mas Barkah, Bang
Sophar, Bang Guido, Bernat, Ko Jonis, Lisye, Ade’ Sischa dan semuanya
tanpa terkecuali… Tuhan memberkati…
19.Agatha, Kak Yeni, & Rafi di Malang yang mau berbagi dan mengantar penulis
bertemu dengan para subjek. Makasi banyak ya… buat bantuannya, GBU
20.Om Sapa sekeluarga, makasi buat bantuan dan dukungannya bagi penulis
selama di Jakarta.
21.Teman-teman seperjuangan di SMP & SMU, yang selalu setia mendukung
lewat doa, sms, telepon, dan dengan pertanyaan,”Kapan rampung?? Kok
lama??” Makasi banyak ya… Apriani, Ambun, Gepriani, Ratnawati, Irianto,
Yunicha, Yunita, Andika, Adam, Dauna, Bowo, Robert… (kapan ya.. bisa
ngumpul la gi?????? I miss it!!!!!)
22.Buat Yedia (thanx buat sharingnya dan sms-sms yang menguatkanku… Life is
beautiful Bro… Right???), Lingkar, Nurlim, Iwan, Vera, Adi kurre sumanga’ siulu, sangmane, sia sangbeneku tu attu ta lendui sola inde Jogja… Sukses
buat ke depannya ya… Bless u…
23.Teman-teman KKN: Eva, Tesha, Arum, Avi, Betha, Dito, Martha, Tomlok, &
Sapi, Mas Riyan Sokola & Mbak Seni Jembrot. Makasi buat pengalaman
indah yang telah kita lalui bersama J
x
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 September 2008
Penulis
xi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2008
Penelitian ini menggunakan kerangka teori kepribadian (Logoterapi) Viktor Frankl. Teori kepribadian Viktor Frankl menekankan keinginan individu akan makna dan berurusan dengan usaha untuk membantu individu dalam mengatasi masalah pribadinya yang menyangkut pemenuhan keinginan akan makna. Tidak ada orang atau sesuatu yang lain dapat memberi pengertian tentang makna dan maksud dalam kehidupan tiap individu. Hal ini menunjukkan bahwa
peranan kepribadian sejalan dengan peran wanita misionaris lajang (single
missionary woman) yaitu tetap bertahan menjalankan tugasnya sebagai seorang misionaris yang diyakini sebagai panggilan Tuhan, meskipun banyak tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gambaran kepribadian
pada wanita misionaris lajang (single missionary woman). Desain penelitian yang
digunakan adalah studi deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Data penelitian diperoleh dengan metode wawancara semi terstruktur pada tiga
orang subjek wanita misionaris lajang (single missionary woman). Analisis data
berdasarkan respon verbal subjek penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita misionaris lajang (single
missionary woman) cenderung memiliki gambaran kepribadian yang sehat berdasarkan konsep logoterapi Viktor Frankl yaitu subjek sanggup mengambil keputusan tanpa paksaan dari orang lain seperti ketika memutuskan menjadi misionaris, memilih untuk menjalankan pelayanan dengan konsekuensi tidak menikah, dan tidak menyesali keputusan-keput usannya tersebut. Keinginan akan makna yang paling dominan adalah adanya relasi pribadi dengan Tuhan, iman kepada Tuhan, dan adanya tujuan hidup. Selain itu, adanya keyakinan untuk menjadi misionaris dan menjadikan tunjangan bukan hal yang utama. Berkaitan dengan makna hidup, subjek terlihat dapat mewujudkan tiga nilai yaitu nilai daya cipta/kreatif dengan melayani orang lain; dapat merasakan keuntungan dan perubahan ketika menjadi misionaris yang lajang; serta adanya tindakan
komitmen terhadap pekerjaannya sebagai misionaris. Nilai
eksperiensial/pengalaman yakni dengan menemukan sesama seperti relasi subjek dengan orang di sekitarnya; dan menemukan kebenaran melalui realisasi nilai-nilai agama Kristen. Terakhir adalah nilai-nilai bersikap yang dialami subjek ketika menghadapi permasalahan, tantangan atau situasi berat seperti terus bersekutu dengan Tuhan, membaca Alkitab, dan berdoa agar Tuhan selalu menguatkannya.
xii Yogyakarta
2008
This Research use Viktor Frankl’s personality theory (logotherapy). It is about an individual will to meaning and related to endeavor of helping an individu to solve problem especially about a fulfilment of will to meaning. There is none/nothing who can give an understanding of meaning and purpose of life in each individual's life. It indicate that personality's role equal to single missionary woman's role i.e being survive to do her job as a missionary as she believe it's God's calling even if she may has many difficulties or challenges to face.
The aim of this resource is to describe personality of single missionary woman. Research design is qualitative descriptive study with fenomenology approach. The informations are taken from semi-structural introduction method on three single missionary women. Data analyse is based on verbally response of research subject.
Result of the research shows single missionary woman is disposed to have good personality description based on logotherapy of Viktor Frankl i.e Subject can decide without feeling forced such as to be a missionary, to be a minister with unmarried consequency, and no regret. The dominant will to meaning are a relationship with God, Faith of God and the purpose of life. Beside, beliefs of being a missionary and the subsidy of life aren’t principal. Related to meaning of life, subject has three values, consists of creation value by serving people, has benefits of being single missionary woman, and a commitment for her job. The second value is experience value by finding people like her relationship with people surround her and to find the Truth by realization of Christian values. The last is attitude value, how Subject faces her problems, challenges and difficult times by keep a partnership with God, reading bible and praying for God strengthen her.
xiii
Nama : Yohanny Apriyanty Palamba
Nomor Mahasiswa : 039114113
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman ) Berdasarkan Teori Viktor Frankl”.
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Denga n demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam Bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 24 September 2008
Yang menyatakan,
xiv
Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran yang
membangun sebagai masukan yang amat berarti dalam menyempurnakan karya
tulis ini. Akhir kata, harapan penulis semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.
Yogyakarta, 24 September 2008
Penulis
xv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… x
ABSTRAK ……… xi
ABSTRACT ……… xii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... xiii
KATA PENGANTAR ……….. xiv
DAFTAR ISI ………. xv
DAFTAR TABEL ………. xviii
DAFTAR SKEMA ………... xix
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Perumusan Masalah ……… 6
C. Tujuan Penelitian ………. 6
D. Manfaat Pene litian ……… 7
1. Manfaat Teoritis ……… 7
2. Manfaat Praktis ………. 7
BAB II LANDASAN TEORI ……… 8
A. Gambaran Kepribadian Viktor Frankl ……….. 8
1. Pengertian Kepribadian ……… 8
2. Pandangan Tentang Kepribadian Berdasarkan Teori Viktor Frankl ……… 11
a. Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will).... 12
b. Keinginan akan makna (The Will To Meaning) … 13 c. Makna Hidup (Meaning Of Life)……….. 14
xvi
a. Misionaris Lajang
(Single Missionary/Unmarried Missionary)... 26
b. Misionaris yang Menikah (Married Missionary)... 29
5. Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman)... 30
C. Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang Berdasarkan Teori Viktor Frankl ...………... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 39
A. Jenis Penelitian ……… 39
B. Batasan Penelitian ………. 40
C. Subjek Penelitian ……….. 40
D. Metode Pengumpulan Data ……… 42
E. Prosedur Penelitian ……….. 46
F. Metode Analisis Data ……….. 47
1. Organisasi Data ………... 47
2. Pengkodean ……… 48
3. Interpretasi ……… 48
G. Keabsahan Data ……….. 48
1. Credibility ………. 48
2. Dependability ……… 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .……….. 51
A. Hasil Penelitian ……….…... 51
1. Pelaksanaan Penelitian ……….. 51
a. Subjek 1 ………... 51
b. Subjek 2 ………... 52
c. Subjek 3 ………... 53
2. Identitas Subjek Penelitian ..………. 54
xvii
xviii 1. Tabel 1. Pedoman Umum Wawancara
xix
1
A. Latar Belakang Masalah
Konsep tentang kepribadian yang sehat telah lama menjadi bahan
pertanyaan dari banyak orang. Apakah itu kepribadian sehat? Bagaimanakah
tingkah laku, pikiran, serta perasaan orang ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
sering ditanyakan bukan hanya oleh ahli- ahli psikologi tetapi juga oleh
berjuta-juta orang lain. Namun, pertanyaan-pertanyaan semacam itu jugalah yang telah
memicu munculnya berbagai jawaban yang menyertakan cara untuk mencapai
kepribadian yang sehat.
Schultz (1991) mengungkapkan bahwa kepribadian dilihat dari perspektif
beberapa ahli psikologi menunjukkan telah terjadi perubahan radikal dalam
memandang kepribadian manusia. Fokus atau arah baru itu untuk memperhatikan
sisi sehat manusia. Tujuan dari pembaharuan ini adalah membuka potensi positif
dari diri individu agar dapat mengaktualisasikan diri, memenuhi bakat-bakatnya
dan menemukan makna kehidupan. Pandangan tentang kepribadian yang sehat
diajukan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gordon Allport, Carl Rogers,
Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung dan Viktor Frankl.
Pandangan tentang kepribadian jika ditinjau dari sistem logoterapi Viktor
Frankl (1967), memiliki tiga konsep yang menjadi landasan filosofisnya yaitu
kebebasan berkeinginan (Freedom of will), keinginan akan makna (Will to
Frankl percaya bahwa individu bisa menemukan makna dengan menemui
kebenaran, baik melalui realisasi nilai- nilai yang berasal dari agama maupun yang
berasal dari filsafat hidup yang sekuler (dalam Semiun, 2006). Frankl (1984)
menuturkan bahwa bagaimanapun manusia bertanggungjawab atas dan di hadapan
sesuatu, baik itu masyarakat, kemanusiaan, sesama ataupun hati nuraninya sendiri
dan bagi sebagian orang, manusia juga bertanggung jawab atas dan di hadapan
”sesuatu” yang lain yang dinamakan Tuhan (dalam Koeswara, 1992).
Orang yang percaya dan meyakini adanya Tuhan, terdorong untuk
memiliki relasi dengan-Nya. Relasi dengan Tuhan dapat diwujudkan dengan
melayani Dia melalui persekutuan pribadi denganNya dan terhadap sesama. Ada
berbagai macam faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang melayani
Tuhan. Namun, faktor yang paling utama yang mendasari pelayanan yang sejati
adalah panggilan Tuhan. Faktor panggilan Tuhan akan menjadikan seseorang
hidup untuk melayani, bukan melayani untuk hidup. Oleh karena panggilan itu
pula, seseorang mempunyai pengalaman nyata kasih karunia Allah dalam
hidupnya, kemudian menjadikannya kasih kepada Allah dan sesama sebagai dasar
kehidupan serta pelayanannya (Surjantoro, 2005).
Kemudian Egawati (2005) memaparkan bahwa panggilan Tuhan
dinyatakan dengan berbagai cara yaitu melalui Firman-Nya yang secara khusus
memberi jawaban terhadap pergumulan; melalui orang lain atau melalui
pengalaman/kejadian tertentu. Hal ini seperti dialami oleh Ria Zebua seorang
misionaris di Filipina yang berasal dari Indonesia
Yesus. Tapi rupanya di tempat-tempat lain banyak sekali yang belum pernah mendengar. Dan sebuah kerinduan tumbuh dalam jiwa saya. “Saya mau pergi membawa berita keselamatan kepada mereka! Saya mau jadi misionaris!” Saya merasa menjadi misionaris adalah tugas saya sebagai orang yang sudah ditebus Tuhan Yesus. Kebenaran ini saya pahami saat di kelas 2 SMP. Waktu itu kami sedang merayakan Natal. Pengkhotbah mengatakan bahwa dunia bergerak maju begitu pesat, semakin canggih. Tapi sangat menyedihkan bahwa manusia hidup seperti berlomba masuk neraka saja. Tuhan membutuhkan orang-orang percaya untuk memberitakan kepada mereka keselamatan di dalam Tuhan Yesus.” (Zebua, 2002, hal.12-13)
Dalam Conference Our Vocation as Missionaries 22 of January, 1998, ada
sembilan hal yang menj adi karakteristik misionaris yaitu aktif (mobile), fleksibel
(flexible), terpelajar (inculturated), dikenal dengan kemiskinan (identified with poor), pendiri komunitas (abuilder of community), ahli di bidang sosial ajaran
Gereja (an expert in social doctrine of the church), penggerak bagi misionaris
yang belum dinobatkan (apromoter of lay missionaries), seorang Penginjil (an evangelizer), dan Anak Tuhan (a man of God).
Untuk menjadi seorang misionaris bukanlah hal yang mudah karena akan
menghadapi banyak tantangan, kendala, kesulitan dan bahkan ancaman terhadap
nyawanya. Tanpa keyakinan bahwa Tuhan telah memanggilnya, ia tidak akan
dapat bertahan untuk menghadapi semua ini (Egawati, 2005).
Beberapa kendala yang harus dihadapi oleh seorang misionaris adalah
kesepian, kehilangan privasi (goldfish bowl syndrome), beban kerja yang tinggi,
kekurangan fasilitas, dukungan finansial yang mengkhawatirkan, tidak
menemukan harapan, konflik interpersonal, masalah kesehatan, kecemasan
terhadap anak (bagi misionaris yang menikah), tekanan untuk melakukan
pekerjaannya serta tekanan lintas-budaya seperti perbedaan bahasa, adat, hukum,
Selain itu, ada banyak misionaris yang sebelumnya melayani secara lintas
budaya tidak bisa bertahan dan dengan berbagai alasan meninggalkan
pelayanannya yang dikenal dengan istilah attrition. Paul Mckaughan (1997)
mengungkapkan bahwa attrition terjadi ketika misionaris, karena kesalahan
pengelolaan (mismanagement), harapan- harapan tidak realistik (unrealistic
expectations), penyalagunaan sistem (systemic abuse), kegagalan pribadi
(personal failure) meninggalkan daerah misi sebelum perwakilan misi atau gereja memperbolehkannya. Namun, ada juga misionaris yang mampu bertahan dan
menyelesaikan pelayanannya meskipun mengalami hal yang sama.
Para misionaris meskipun hidup di daerah asing, namun sanggup bertahan
dalam situasi yang dihadapi, mampu melaksanakan perannya, dan memaknai
setiap peristiwa yang mereka alami tentulah sangat dipengaruhi oleh
kepribadiannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alexander Schneiders bahwa:
“Kepribadian adalah kunci untuk menyesuaikan diri dan kesehatan mental.
Kepribadian sehat, yang berkembang dan terintegrasi dengan baik merupakan
jaminan untuk penyesuaian diri yang efektif” (dalam Semiun, 2006). Penyesuaian
diri dan kesehatan mental selalu dipengaruhi oleh macamnya kepribadian yang
dimiliki individu. Cara individu menangani masalah- masalahnya ditentukan oleh
kepribadiannya. Individu dianggap dapat menyesuaikan diri jika dapat
memecahkan masalah-masalahnya secara normal, dan sebaliknya dianggap tidak
dapat menyesuaikan diri jika individu bereaksi terhadap tekanan-tekanan dari
Subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah wanita misionaris lajang
(Single Missionary Woman) yang berasal dari Amerika, Jerman dan Jepang. Pertimbangan peneliti memilih subjek wanita misionaris lajang karena
perbandingan misionaris wanita dan laki- laki yang ada di ladang misi di berbagai
daerah sejak awal abad kedua puluh adalah 2:1 (Tucker & Liefeld, 1999) dan di
dunia, lebih dari 60% misionaris adalah wanita lajang (NECF Malaysia, 2004).
Misionaris lajang juga memiliki pelayanan yang unik dan penting sebab
mereka bisa pergi melayani kemana saja tanpa perlu melapor dan tanpa mendapat
imbalan atau bayaran. Namun yang menjadi masalah adalah status mereka yang
tidak menikah. Kesulitan yang lazim mereka alami adalah kesepian (loneliness).
Namun sekarang ini di sebagian besar belahan dunia, misionaris lajang
menjalankan peran yang modern seperti dokter, perawat dan pengajar. Isu lain
tentang misionaris lajang adalah relasi mereka dengan orang yang telah menikah,
misal wanita misionaris lajang harus menjaga agar hubungannya dengan laki- laki
yang telah menikah tidak terlalu dekat supaya tidak menimbulkan kecurigaan
terhadap istrinya dan juga agar tidak menimbulkan persepsi yang salah dari pihak
laki- laki yaitu merasa disukai. Kebutuhan-kebutuhan dan gagasan-gagasan
misionaris lajang ini sering diabaikan dan tidak didengarkan dalam proses
pengaturan kerja. Sangat penting membangun rasa persaudaraan dalam kerja tim
antara para misionaris dengan melibatkan singles sebagai partner yang utuh
(Hiebert, 1985).
Selain itu, para wanita misionaris lajang yang menjalankan tugasnya di
hukum yang sangat berbeda dengan negaranya. Tidak hanya itu saja, Indonesia
adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah Non-Kristen. Namun, para
misionaris ini dengan sangat berani mempertaruhkan hidupnya untuk tetap
menjalankan misinya walaupun harus mencari cara lain untuk menyembunyikan
identitas dan tujuan keberadaannya di Indonesia.
Berdasarkan paparan di atas peneliti tertarik untuk melihat seperti apa
gambaran kepribadian yang dimiliki oleh seorang wanita misionaris lajang jika
ditinjau dari teori Viktor Frankl karena ia dapat bertahan menghadapi
bermacam-macam kendala yang kadang menimbulkan kesulitan, sakit hati, dan putus asa
meskipun terkadang secara kasat mata para misionaris ini terlihat tenang dan tidak
memiliki konflik. Peneliti tertarik untuk dapat melihat tiga hal yang menjadi
landasan filosofis dari sistem logoterapi yang merupakan teori dari Frankl,
pertama bagaimana kebebasan berkeinginan seorang wanita misionaris lajang,
kedua bagaimana keinginan akan maknanya, dan terakhir adalah bagaimana
makna hidup seorang wanita misionaris lajang.
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran kepribadian pada wanita misionaris lajang
ditinjau dari teori Viktor Frankl?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepribadian seorang
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis:
a. Memberikan wacana tambahan bagi bidang ilmu Psikologi, khususnya
Psikologi Kepribadian dan Psikologi Pertumbuhan mengenai
kecenderungan kepribadian yang sehat secara psikologis.
b. Mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang kecenderungan
kepribadian sehat secara lebih nyata atau konkrit pada diri single
missionary women.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi para misionaris, penelitian ini dapat membantu mereka untuk
mengetahui deskripsi kepribadian sehat sehingga dapat memotivasi
diri untuk memaknai setiap hal yang dialami dalam menjalankan
tugas-tugasnya.
b. Membuat orang awam mengetahui gambaran kepribadian sehat yang
dimiliki oleh wanita misionaris lajang sehingga dapat dijadikan
inspirasi dalam menjalani kehidupan.
c. Dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di masa
8
A. Gambaran Kepribadian Viktor Frankl 1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian merupakan terjemahan dari kata Inggris, Personality, dan
kata Inggris ini diturunkan dari kata Latin, Persona. Carl Gustav Jung
mengutarakan bahwa Persona adalah kepribadian publik, segi-segi yang
diperlihatkan seseorang kepada dunia atau pendapat publik yang mengait pada
individu, sebagai yang berbeda dengan kepribadian privat yang ada di belakang
tampilan sosial. Kata Persona seperti yang diutarakan oleh Jung berlawanan
dengan arti kepribadian yang sekarang. Psikolog sekarang memakai kata
“kepribadian” untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercayai
mengenai individu. Beranekaragam definisi yang diajukan oleh para psikolog
dengan judul-judul segi pandanga n omnius, integratif, hierarkis, keunikan,
penyesuaian diri (Allport & Vernon dalam Semiun, 2006) dan hakikat.
a. Definisi Omnibus
Istilah kepribadian yang digunakan di sini untuk memasukkan segala
sesuatu mengenai individu. Kepribadian dianggap sebagai jumlah keseluruhan
dari tingkah laku seseorang.
b. Definisi Integratif
Definisi ini mengemukakan bahwa kepribadian merupakan organisasi atau
Kepribadian adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap
segala macam tingkah laku yang dilakukan oleh individu.
c. Definisi Hierarkis
Definisi ini adalah sama dengan membatasi fungsi- fungsi atau
lapisan-lapisan sifat atau ciri khas. Dua orang ahli teori yang sangat terkemuka dalam
kelompok ini adalah William James dan Sigmund Freud. James melihat diri (dia
jarang menggunakan kata “kepribadian”) sebagai sesuatu yang terdiri dari
lapisan-lapisan yang dipandang dari dalam. Pertama, ada lapisan diri material (the
material self) yang terdiri dari harta milik, keluarga, sahabat-sahabat seseorang.
Kedua, ada lapisan diri sosial (the social self) yang berupa kesan-kesan orang lain terhadap seseorang (kepribadian sebagai objek stimulus). Seseorang dapat
memiliki diri sosial sebanyak orang atau kelompok mengenalinya. Lapisan ketiga
adalah diri spiritual (the spiritual self) yang digunakan untuk mengatur
kecenderungan-kecenderungan atau sifat-sifat yang bertentangan. Lapisan
keempat adalah ego murni (the pure self) yang sebenarnya tidak terpisah dari diri sosial. Itulah “I” (saya) atau orang yang mengetahui dan berlawanan dengan
“seseorang” atau diri yang diperlihatkan. Ego murni merupakan sisi lain dari diri
spiritual. Konsep Freud mengenai kepribadian sebagai sesuatu yang berstruktur
terdiri dari id, ego, dan superego yang juga cocok jika dimasukkan ke dalam
d. Definisi Keunikan
Kepribadian disamakan dengan segi-segi yang unik atau khas dari tingkah
laku. Definisi ini menunjukkan hal- hal mengenai individu yang menyebabkan dia
berbeda dari orang lain.
e. Definisi Penyesuaian Diri
Dalam kelompok definisi ini, kepribadian dipandang berdasarkan
penyesuaian diri. Penekanannya terletak pada ciri khas-ciri khas atau tingkah
laku-tingkah laku yang memungkinkan seseorang menyesuaikan diri atau bergaul
dengan baik dalam lingkungannya. Inilah tipe pendekatan ilmu kesehatan mental.
Kepribadian dalam konsep ini ditentukan oleh tindakan-tindakan yang kita
lakukan dan yang membantu kita menjaga keseimbangan (ekuilibrium) atau tetap
berada dalam keharmonisan dengan lingkungan kita. Apabila usaha-usaha ini
gagal, maka kita akan sampai pada apa yang dinamakan kepribadian yang tidak
mampu menyesuaikan diri.
f. Definisi Hakikat
Definisi ini mengemukakan bahwa kepribadian merupakan hakikat
keadaan manusia. Ahli teori dari kelompok ini berpendapat bahwa kepribadian
merupakan bagian dari individu yang sangat representatif, tidak hanya karena dia
membedakan individu tersebut dari orang-orang lain, tetapi yang lebih penting
karena itulah dia yang sebenarnya.
Uraian tentang definisi-definisi kepribadian di atas dapat disimpulkan
hakikat keadaan individu, yang membantu seseorang untuk menyesuaikan diri
atau menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.
2. Pandangan Tentang Kepribadian Berdasarkan Teori Viktor Frankl
Viktor Frankl adalah pendiri logoterapi (logotherapy). Istilah logoterapi
itu berasal dari dua kata, yakni “logos” dan terapi (therapy), yakni suatu terapi
yang berani menembus dimensi spiritual dari keberadaan manusia. Kata “logos”
berarti makna (meaning) menjadi manusia. Artinya diarahkan pada sesuatu dari
seseorang dan bukan pada diri sendiri. Bisa juga berarti Roh (spirit), yakni
dimensi “noetik” (spiritual) manusia dalam arti antropologis dan bukan dalam arti
teologis. Logoterapi dalam kenyataannya merupakan suatu terapi yang diarahkan
pada makna, yakni makna dalam dan untuk keberadaan manusia. Karena itu,
manusia harus menerima tanggung jawab dan menemukan nilai-nilai bagi
kehidupannya (dalam Semiun, 2006).
Frankl (1964) mengungkapkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan
makna dalam kehidupan merupakan motivasi utama kekuatan seseorang. Itulah
sebabnya Frankl menyebutnya sebagai suatu keinginan akan makna; yang berbeda
dengan prinsip kesenangan yang dalam psikologi Freud lebih diutamakan,
demikian juga berbeda dengan keinginan untuk berkuasa yang ditekankan oleh
psikologi Adlerian.
Pandangan tentang kepribadian dari sistem logoterapi Frankl ini dapat
dilihat dari tiga konsep yang me njadi landasan filosofisnya, (Frankl, 1967; dalam
a. Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will)
Frankl (1967) menekankan bahwa kebebasan manusia adalah salah satu
faktor yang menandai keberadaan manusia dan ya ng membentuk esensi manusia.
Kebebasan manusia sebagai makhluk terbatas adalah kebebasan di dalam
batas-batas. Manusia tidak bebas dari faktor- faktor biologis, psikologis, dan sosiologis
tetapi bagaimanapun, manusia bisa dan bebas mengambil sikap terhadap semua
kondisi yang dihadapinya itu.
Frankl mengungkapkan bahwa manusia bebas untuk tampil di atas
determinan-determinan somatik dan psikis dari keberadaannya sehingga dia bisa
memasuki dimensi noetis atau dimensi spiritual, suatu dimensi tempat kebebasan
manusia ada dan dialami dimana manusia dapat mengambil sikap bukan saja
terhadap dunia melainkan juga terhadap dirinya sendiri. Untuk memasuki dimensi
spiritual ini, manusia harus dapat memisahkan diri (self detachment) atau
mengambil jarak terhadap dirinya sendiri serta meninggalkan dimensi biologis
dan psikologis (dalam Koeswara, 1992 dan dalam Semiun, 2006).
Dimensi noetis membuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap
dirinya sendiri, dan dengan kesanggupan tersebut manusia bisa menentukan sikap
terhadap fakta, keadaan atau situasi yang dihadapinya, dan juga bisa merubah
dirinya sendiri (dalam Koeswara, 1992 dan dalam Semiun, 2006). Pada
pandangan Frankl, kesanggupan manusia untuk melakukan pemisahan diri atau
mengambil jarak terhadap diri sendiri itu lekat dengan humor yakni sanggup
menertawakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Humor
melihat diri dan kesulitannya itu sebagai sesuatu yang terpisah dari atau berjarak
terhadap dirinya sendiri (Frankl, 1967).
b. Keinginan Akan Makna (The Will To Meaning)
Logoterapi menekankan keinginan akan makna dan usaha membantu
individu dalam mengatasi masalah pribadinya yang menyangkut pemenuhan
keinginan akan makna itu (dalam Koeswara, 1992).
Frankl (1964, dalam Sumanto, 2006) mengungkapkan bahwa manusia
berperilaku tidak selalu didorong dan terdorong untuk mengurangi ketegangan
agar memperoleh keseimbangan melainkan mengarahkan diri sendiri menuju
tujuan tertentu yang bermanfaat bagi dirinya, yakni makna. Frankl (dalam Schultz,
1991) menyatakan bahwa ada satu dorongan yang fundamental, yakni keinginan
akan makna yang begitu kuat sampai mampu mengalahkan semua dorongan lain
pada manusia. Keinginan akan makna sangat penting untuk kesehatan psikologis
dan dalam situasi-situasi yang gawat. Keinginan akan makna perlu supaya tetap
hidup. Tanpa adanya makna maka tidak ada alasan untuk meneruskan kehidupan.
Frankl (1964, dan dalam Semiun, 2006) mengemukakan bahwa keinginan
akan makna merupakan suatu kekuatan (nilai) yang mendorong manusia untuk
memperoleh makna dalam hidup. Keinginan akan makna berarti tanggung jawab
dan komitmen. Manusia individu bertanggung jawab untuk memenuhi makna
khusus kehidupan pribadinya terhadap masyarakat, kemanusiaan, atau terhadap
dirinya sendiri. Keinginan akan makna berasal dari keinginan bawaan manusia
untuk memberikan sebanyak mungkin makna bagi hidupnya, mengaktualisasikan
Frankl berpendapat bahwa seseorang hanya bisa mengaktualisasikan diri
sejauh ia melakukan pemenuhan makna. Menurut Frankl (1967), orientasi kepada
makna bisa membawa manusia kepada konfrontasi dengan makna. Orientasi
kepada makna menunjuk pada manusia itu apa yang telah dicapai atau
diselesaikan, sedangkan konfrontasi dengan makna menunjuk pada manusia
hendaknya bagaimana atau semestinya menjadi apa (apa yang harus dicapai atau
diselesaikan) .
c. Makna Hidup (Meaning Of Life)
Makna itu dicapai melalui bermacam- macam nilai. Frankl menyebut tiga
macam nilai yakni nilai- nilai daya cipta, nilai- nilai eksperiensial, dan nilai- nilai
bersikap (Frankl, 1964 & 1967; dalam Schultz, 1991; dalam Koeswara 1992 dan
dalam Semiun, 2006).
1) Nilai-nilai daya cipta (kreatif)
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif.
Makna diberikan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan
atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang lain yang
merupakan suatu ungkapan individu. Suatu pekerjaan baru memiliki makna kalau
pekerjaan tersebut, apa pun bentuknya, merupakan usaha untuk memberikan
sesuatu kepada hidup (kehidupan diri dan sesama) yang didekati secara kreatif dan
dijalankan sebagai tindakan komitmen pribadi yang berakar pada seluruh
2) Nilai-nilai eksperiensial (pengalaman)
Nilai-nilai eksperiensial menyangkut penerimaan dari dunia. Ini tercapai
dengan menemukan keindahan, kebenaran, dan sesama lewat cinta. Frankl
mengemukakan bahwa satu momen puncak dari nilai pengalaman dapat mengisi
seluruh kehidupan seseorang dengan makna. Frankl tidak memberikan penjelasan
terperinci mengenai realisasi nilai-nilai eksperiensial melalui pertemuan dengan
kebenaran maupun tentang kebenaran itu sendiri. Namun ia tampaknya percaya
bahwa individu bisa menemukan makna baik melalui realisasi nilai- nilai yang
berasal dari agama maupun yang berasal dari filsafat hidup yang sekuler.
Menurut Frankl, menemui sesama dengan segala keunikan dan dalam
ketunggalannya berarti mencintainya. Cinta pada hemat Frankl adalah anugerah
dan sekaligus perluasan. Jadi, dengan menyerahkan diri kepada orang dicintai,
seseorang akan mengalami pemerkayaan batin. Pemerkayaan batin ini merupakan
salah satu unsur yang membentuk makna hidup.
3) Nilai-nilai bersikap
Nilai yang diperoleh dalam kondisi-kondisi yang negatif. Situasi-situasi
yang menimbulkan nilai-nilai bersikap adalah situasi-situasi dimana kita tidak
mampu untuk mengubahnya atau menghindarinya.
Individu menunjukkan nilai- nilai bersikap dengan mengungkapkan
keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan. Frankl menekankan bahwa
penderitaan itu mempunyai makna, ketika manusia berada dalam
Makna hidup, sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Semiun,
2006) memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:
a)Makna hidup harus direspon dengan berbuat dan bertindak, bukan dengan
kata-kata karena manusia bertanggung jawab terhadap hidup.
b)Makna hidup merupakan ungkapan yang tepat atas keadaan manusia, ciri khas
dari kodrat manusia yang sangat penting.
c)Makna itu bersifat objektif sehingga memiliki sifat menuntut dan menantang
manusia untuk meraihnya.
d)Makna juga mutlak, dalam artian makna adalah milik kawasan tertentu serta
cocok dengan situasi tertentu.
e)Sifat subjektif makna adalah makna itu khas dan unik bagi setiap individu.
f) Untuk mencapai makna, individu harus menunjukkan komitmen yang muncul
dari dalam dan pusat kepribadiannya.
Menurut pendapat Frankl (Bastaman, 1996), makna hidup merupakan
sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai
khusus bagi seseorang. Bila makna hidup ini ditemukan dan dipenuhi maka
seseorang akan merasakan hidup ini berarti dan berharga dan akhirnya akan
menimbulkan kebaha giaan. Kemudian, Bastaman (1996), berpendapat bahwa
penghayatan hidup secara bermakna berarti mampu menjalani kehidupan
sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.
Tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari merupakan sumber kepuasan dan
kesenangan tersendiri sehingga mampu mengerjakannya dengan semangat dan
pengalaman baru dan hal- hal menarik yang semuanya menambah pengalaman
hidup.
Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan, individu yang memiliki
kepribadian berdasarkan teori Logoterapi Victor Frankl adalah individu yang
memiliki:
1) Kebebasan berkeinginan (The Freedom Of Will) yakni manusia bisa dan bebas
mengambil sikap terhadap semua kondisi yang dihadapinya untuk memasuki
dimensi spiritual, dimensi dimana manusia sanggup mengambil jarak terhadap
dirinya sendiri, dan dengan kesanggupan tersebut manusia bisa menentukan sikap
terhadap fakta, keadaan atau situasi yang dihadapinya, dan juga bisa merubah
dirinya sendiri,
2) Keinginan akan makna (The Will To Meaning) yakni suatu kekuatan (nilai)
yang mendorong manusia untuk memperoleh makna dalam hidup. Manusia
berperilaku mengarahkan dirinya untuk menuju tujuan tertentu yang penting bagi
dirinya yakni makna,
3) Makna Hidup (Meaning Of Life) adalah sesuatu yang dapat dicapai melalui tiga
macam nilai yaitu nilai- nilai kreatif, nilai- nilai eksperensial, dan nilai- nilai
B. Misionaris
1. Pengertian Misionaris
Menurut The Contemporary Indonesian-English Dictionary, misionaris
adalah seseorang yang dikirim untuk melakukan suatu misi, khususnya seorang
beriman atau murah hati yang melakukan penyebaran Injil di beberapa wilayah
atau negeri asing.
Seorang misionaris adalah seseorang yang memilih untuk terlibat dalam
misi gereja dengan melayani orang-orang dari budaya lain dan sering di negeri
asing. Seorang misionaris mungkin ditahbiskan, atau orang beriman yang
bersumpah, atau seseorang yang belum dinobatkan menjadi pendeta
(www.ozvocations.catholic.org.au/thingking/dictionary.html).
Istilah misionaris menunjuk pada setiap orang yang bekerja penuh waktu
untuk organisasi keagamaan di luar batas-batas negaranya dan tujuan utamanya
adalah menyampaikan ajaran seperti yang dinyatakan dalam Alkitab. Misionaris
adalah pekerjaan seperti halnya dalam bidang kedokteran, pendidikan,
pembangunan, pertanian, penterjemahan, pengangkutan, tetapi tujuan utama
mereka dari semua tugas pelayanannya adalah mengajak orang untuk masuk ke
dalam agama Kristen seperti perintis gereja, pendeta, dan penginjil (Jones &
Jones, 1995)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa misionaris adalah orang
beriman yang bekerja di luar batas negara atau keluar dari daerah asalnya dan
berada di lingkungan asing untuk menyampaikan Injil tentang Yesus Kristus atau
2. Kualifikasi Untuk Menjadi Misionaris
Kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang misionaris dapat
dijabarkan dalam beberapa kategori (Kane, 1975):
a. Kualifikasi Fisik: Semua misionaris diwajibkan melakukan pemeriksaan medis secara menyeluruh karena kehidupan di ladang misi lebih keras
daripada kehidupan di tanah asal. Seorang misionaris tidak harus berbadan
besar atau memiliki fisik yang nyaris sempurna, tetapi ia harus baik, konsisten,
dan sehat secara keseluruhan.
b. Kualifikasi Akademik: Untuk menjadi seorang misionaris diperlukan pendidikan sebaik mungkin sebelum ditugaskan ke ladang misi. Misionaris
diharapkan dengan jalan ini akan mampu mengatasi permasalahan pendidikan,
sosial, politik, dan keagamaan yang akan ia masuki dalam tugas
kemisionarisannya. Hal ini sangat penting apalagi jika ia merencanakan untuk
bekerja di antara para pelajar atau mahasiswa dan orang-orang yang memiliki
intelektual tinggi lainnya.
c. Kualifikasi Kejuruan: Banyak misionaris yang butuh pelatihan kejuruan atau teknis melebihi pendidikan budaya mereka. Mereka membutuhkan
keterampilan khusus atau pelatihan khusus untuk menjalankan pekerjaannya
sebab lembaga misionaris memiliki ruangan untuk semua jenis kekhususan
dalam bidang teologi, pengajaran, kesehatan, penginjilan (evangelisme), radio
& televisi, literatur, jurnalisme, bisnis, keuangan, akuntansi, bahasa, dll.
akan mampu mencapai pribadi yang secara keseluruhan sempurna, namun
hubungan antarmanusia akan mudah jika orang tersebut memiliki kepribadian
yang menyenangkan.
Aspek-aspek dalam kualifikasi psikologis ini terdiri atas:
1) Stabilitas emosi: Kesulitan hidup datang dalam seratus satu gangguan kecil
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misionaris. Dalam jangka waktu
yang lama, hal ini dapat mengganggu keseimbangan emosi seseorang.
Seseorang yang mawas diri, merasa rendah diri, menderita ketakutan dan
frustasi atas banyak hal, biasanya memiliki kesulitan menyesuaikan diri
dengan budaya setempat yang mereka temui ketika ditugaskan di ladang misi.
Kesehatan mental dan kematangan emosi tercatat sebanyak 10,9% dari tingkat
kegagalan tugas.
2) Kemampuan beradaptasi: jika seorang misionaris ingin berhasil maka ia harus
beradaptasi dengan budaya negara yang mereka kunjungi. Hal ini sangat
penting bila ingin menjalin pertemanan dan mempengaruhi orang lain.
Seseorang yang tidak mampu mengubah cara hidupnya kemungkinan hanya
bertahan setahun atau dua tahun dalam tugas pelayanannya.
3) Selera humor: pekerjaan misionaris adalah urusan yang serius. Oleh karena
itu, misionaris sebaiknya mampu menertawai diri sendiri. Banyak tekanan dan
situasi ledakan potensial yang dapat dihindari jika ia melihat sisi humor dari
setiap kejadian.
4) Semangat kerjasama: misonaris adalah bagian dari kelompok. Dalam
setiap misionaris harus belajar untuk bekerja secara harmonis dengan
keduanya. Misionaris tidak bisa bertindak seperti orang yang suka bekerja
sendirian sebab terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, terlalu
banyak peran yang harus dijalankan.
5) Kemauan untuk menerima perintah: dalam lembaga kemisionarisan, tanggung
jawab bagi pembuatan keputusan berakhir dengan keputusan pemimpin. Di
atas dewan daerah terdapat dewan nasional atau dewan internasional yang
bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasi misi di daerah asal dan di
luar negeri. Anggota dewan daerah harus mau mengimplementasikan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh dewan internasional, dan para misionaris
harus siap tunduk kepada keputusan dewan daerah.
6) Kemampuan untuk menahan kepahitan: misionaris yang berasal dari negara
yang makmur seperti Amerika, menemui kesulitan dan bersusah payah agar
bisa hidup dengan gaya hidup sederhana di Negara Dunia Ketiga (negara
berkembang). Namun, mereka harus mampu menahan kekerasan seperti laskar
Kristus untuk mengenal orang-orang yang akan dimenangkan. Kesenjangan
antara negara “kaya” dan negara “miskin” sangat besar. Misionaris Kristen
dengan cara apapun tidak akan mampu menutup kesenjangan it u, tetapi ia
dapat menolong menjembataninya dengan penduduk lokal jika ia bersedia
untuk menahan kepahitan.
7) Kesabaran dan ketekunan: Tugas misionaris tidaklah untuk mengubah dunia
misionaris adalah melamban (s-l-o-w d-o-w-n). Oleh karena itu, dalam semua aspek kehidupan dan pekerjaannya dibutuhkan kesabaran dan ketekunan.
8) Tanpa merasa unggul diri: Ada seratus satu jalan bagi misionaris
menunjukkan rasa unggul dirinya tanpa disadari. Ada godaan yang sulit
ditahan untuk membandingkan rendahnya kualitas dan keterampilan antara
penduduk lokal dan misionaris yang berasal dari luar negeri, misal Amerika.
Selain itu, misionaris dengan gelarnya yang tinggi serta keahliannya dapat
dengan mudah menjadi sombong dan berpikiran bahwa ia memiliki semua
jawaban dan semua pemimpin nasional harus mendengarkan dan mengikuti
sarannya. Setiap hari dalam kehidupannya para misionaris harus berhati-hati
dengan sifat merasa unggul diri.
9) Tanpa prasangka rasial: dalam bentuk yang menyolok rasisme sudah hilang
dari tugas pelayanan, tetapi ada seratus satu bentuk halus rasisme yang masih
dapat dilihat. Tidak terlalu kelihatan dalam pekerjaan ataupun dalam berbagai
aspek kehidupan sosialnya. Namun, masih terdapat kecenderungan bagi para
misionaris untuk mencari rombongan rekan-rekan misionaris lainnya yang
bertempat tinggal di kota besar. Ujian sebenarnya terhadap kasih misionaris
bagi orang-orang adalah ketika berbagi dengan teman-temannya di waktu
senggang. Prasangka rasial sangat tidak menguntungkan dalam penyebaran
ajaran agama Kristen karena pertama, hal tersebut merupakan penyangkalan
ajaran Kristus dan kedua, hal tersebut mengasingkan orang lain dimana ia
e. Kualifikasi Spiritual: Kualifikasi terpenting adalah spiritual, yang terdiri atas aspek-aspek:
1) Pengalaman perubahan sungguh-sungguh: untuk menjadi misionaris seseorang
harus memiliki semangat penginjilan yang tumbuh dari pengalaman
perubahan kehidupannya, misalnya misionaris yang paling bersemangat
biasanya datang dari latar belakang penyembah berhala yang terpanggil dan
masuk agama Kristen. Misionaris yang tidak yakin akan keselamatan dirinya
sendiri tidak boleh memimpin orang lain menuju pengetahuan penyelamatan
oleh Kristus.
2) Pengetahuan tentang Alkitab: tugas utama misionaris adalah mengenalkan
Yesus Kristus pada dunia non-Kristen. Semua yang ia ketahui mengenai
Kristus dipelajarinya dari Alkitab. Maka dari itu dia harus memiliki
pengetahuan mendalam mengenai Alkitab yang mampu membuat orang lain
menuju keselamatan. Lebih jauh lagi Alkitab adalah sumber dimana dia
mendapatkan makanan yang diperlukan untuk kehidupan spiritualnya.
Singkatnya, Alkitab dasar dimana ia membangun kehidupan dan
pekerjaannya.
3) Jaminan bimbingan akan hal-hal yang bersifat Ketuhanan: jika misionaris
memiliki kedalaman, keyakinan penuh bahwa ia berada di ladang misi atas
kehendak Tuhan maka ia tidak akan kembali dan lari ketika pertama kali
melihat atau mendengar adanya bahaya, atau ia tidak akan menyerah ketika
kesulitan menghadang berkali-kali lipat dan frustasi nyaris membuatnya gila.
sampai matahari menghilang, hanya jika ia yakin bahwa ia berada di sana atas
kehendak Tuhan.
4) Kehidupan kebaktian yang kuat: kehidupan kebaktian misionaris sangat
penting. Ia akan menjadi orang utusan Tuhan bila kehidupan spiritualnya
secara sistematis berkembang dengan pembelajaran Alkitab, berdoa, meditasi,
dan penyembahan secara rutin.
5) Disiplin diri: misionaris sangat tergantung pada disiplin diri. Jika misionaris
bermalas- malasan dengan pekerjaannya atau malas dalam fisik maupun
pikiran maka ia dapat dengan mudah melarikan diri dari peran dan tugas
kemisionarisannya.
6) Hati penuh dengan kasih: misionaris tidak perlu terlalu pintar atau berani
untuk sukses (walaupun kedua hal tersebut sangat diinginkan), tetapi mereka
harus memiliki kasih. Penduduk lokal akan mengabaikan
kelemahan-kelemahan dan memaafkan kesalahan besar jika mereka diyakinkan bahwa
misionaris memiliki hati penuh kasih.
7) Kesuksesan dalam pelayanan Kristen: misionaris sebelum berangkat ke luar
negeri harus memiliki beberapa bukti atas berkat Tuhan dalam kehidupannya
dan beberapa bukti atas kekuatan Roh Kudus dalam pelayanannya. Sebelum di
tempatkan di daerah yang jauh, ia harus diakui terlebih dulu oleh gereja atau
lembaga pelayanan di daerah asalnya. Satu hal yang bisa diyakini adalah
3. Karakteristik Misionaris
Surjantoro (2005) memaparkan 7 karakteristik seorang nelayan yang
paling tidak adalah gambaran karakter dasar yang dimiliki oleh misionaris atau
untuk menjadi utusan Injil. Karakteristik tersebut antara lain:
a. Memiliki fokus yang jelas: sebagai seorang murid Kristus, selalu “berfokus
pada jiwa-jiwa terhilang untuk diselamatkan” dalam hal apapun yang
dilakukannya, dalam cara dan profesi apapun dalam kehidupannya.
b.Terbiasa hidup sederhana: orang biasa hidup sederhana akan terbiasa
menghadapi penderitaan dan masa krisis. Dalam peperangan rohani, yang
diperlukan adalah bekal-bekal rohani dan jasmani seperlunya.
c. Rajin: orang-orang yang rajin bekerja keras, berinisiatif, dan kreatif dalam
pekerjaanNya akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Orang yang malas
mempunayi banyak alasan dan melakukan hal- hal yang bukannya membangun
melainkan meresahkan banyak orang. Bagi orang yang rajin bekerja di ladang
Tuhan, tidak ada waktu untuk mengganggu orang lain tetapi menjadi berkat
bagi orang lain.
d.Sabar: untuk memenangkan jiwa harus sabar. Seringkali pekerjaan memerlukan
waktu yang lama untuk melihat hasil yang kasat mata. Kesabaran menolong
dalam menghadapi tantangan dan penderitaan.
e. Berani dalam tugas dan profesinya: perlu keberanian untuk melakukan
tugasNya. Berani mengatakan kebenaran, berani bertindak benar dalam
f. Beriman: beriman kepada Tuhan berarti mempertaruhkan seluruh kehidupan
kepadaNya. Berserah dan percaya total kepadaNya. Rasa aman dan damai
sejahtera akan menyertai jika dapat senantiasa memercayakan hidup dan
pelayanan kepadaNya.
g. Suka bekerja sama: dalam melakukan pekerjaannya, “penjala manusia” atau
misionaris harus suka bekerja sama untuk mencapai tujuan akhir yang penting,
yaitu jiwa-jiwa yang dimenangkan ke dalam kerajaan terangNya. Bukannya
membangun kerajaan-kerajaan kecil sendiri-sendiri tapi bersama membangun
Kerajaan Allah.
h. Mencintai dan setia kepada profesinya: sekalipun pekerjaan itu berat, namun
dia tetap setia. Itu semua dilakukan karena kecintaan dan kesetiaannya terhadap
profesinya.
4. Macam-macam Misionaris
a. Misionaris Lajang (Single Missionary/Unmarried Missionary)
Seorang wanita bujang yang pergi ke ladang misi untuk pelayanan harus
meyakinkan hatinya bahwa ia kemungkinan terpanggil untuk hidup melajang.
Hidup bujang dalam Kristus dan dipenuhi oleh Roh Kudus bukan berarti tidak
memiliki hasrat untuk menikah dan menjalin relasi dengan seorang pendamping
hidup. Tidak berarti pula bahwa dorongan-dorongan (keinginan) biologis
dihilangkan. Keinginan itu, tempat yang kosong itu tetap ada, tetapi dari
secara berangsur-angsur mendapat dan dipenuhi berkat rohani seiring dengan
berlanjutnya kehidupan.
Masa cuti adalah waktu yang sangat sulit bagi seorang misionaris lajang.
Tahun berlalu, menyebabkan berkurangnya perkumpulan misionaris lajang
dengan teman-temannya berkurang. Orang tua meninggal; relasi dengan yang lain
tidak begitu dekat; serta tidak tertarik dengan hal- hal yang umum. Kebanyakan
sahabat dan teman-teman misionaris lajang ini berada di ladang misi, baik
penduduk lokal maupun rekan sesama misionaris.
Kesulitan-kesulitan misionaris yang melajang tidak mungkin dapat
disembunyikan, terutama ketika bercampur dengan masalah atau kekecewaan
terhadap orang lain. Jika hidup melajang tidak dapat diterima dalam hati, maka
pertumbuhan spiritual akan melambat atau terhambat. Depresi kemungkinan
terjadi dan timbul keinginan untuk meninggalkan ladang misi.
Menurut Hale (1995), ada 4 (empat) kerugian menjadi lajang di ladang
misi, yaitu:
1) Misionaris lajang tidak dapat memilih teman sekamar. Ketidakrukunan dengan
teman sekamar biasanya merupakan masalah besar bagi para misionaris lajang,
2) Sebagai misionaris lajang sangat besar kemungkinannya untuk ditempatkan dan
dipindahkan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Memindahkan seorang
misionaris lajang lebih mudah daripada misionaris yang telah berkeluarga,
sehingga dalam hal ini para lajang merasa diperlakukan berbeda
3) Melajang di budaya Dunia Ketiga tidak diterima sebagai keadaan yang normal.
Misionaris lajang selalu ditanyai terus menerus tentang usia mereka, tentang
mengapa mereka tidak menikah, apa yang salah dengan mereka. Pada akhirnya
orang akan segera menerima status lajang tersebut sampai ketika misionaris itu
pindah ke lokasi baru, dimana inti dari pertanyaan yang sama kembali ditanyakan,
4) Hal yang sangat merugikan menjadi misionaris lajang adalah kesepian.
Pengalihan utama dari perasaan ini adalah dengan bekerja. Setiap orang
membutuhkan paling tidak seorang yang dekat dan teman untuk berbagi, dan di
waktu yang bersamaan cocok. Di ladang misi, tidak selalu mungkin untuk
menyatukan setiap misionaris lajang dengan teman sekamar yang tepat karena
petugas administrasi harus memilih dari jumlah orang yang terbatas; ditambah ada
yang cuti, terserang penyakit, dan kemungkinan akan dipindahkan.
Hale (1995) juga mengungkapkan lima keuntungan menjadi seorang
misionaris lajang, yaitu:
1) Misionaris lajang mempunyai lebih banyak waktu bebas; mereka bebas dari
tanggung jawab keluarga, bebas dari beban pikiran yang tak terelakkan yang
menjadi bagian dari kehidupan berkeluarga. Mereka mempunyai waktu lebih
banyak untuk belajar bahasa,
2) Misionaris lajang rata-rata punya kemampuan untuk menjalin relasi yang lebih
dekat dengan masyarakat setempat. Masyarakat bebas terjun di antara para
misionaris; misionaris lajang dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk
mengikuti gaya hidup masyarakat setempat yang akan mebantu dalam pembinaan
hubungan di antara mereka,
3) Misionaris lajang lebih fleksibel. Kefleksibelan ini menguntungkan, tetapi
ketika dianggap perlu untuk pindah atau mengubah rencana, maka kefleksibelan
tersebut akan lebih memudahkan misionaris lajang tersebut,
4) Lebih murah menanggung hidup para lajang (karena mereka tidak punya anak),
ditambah lagi mereka lebih banyak bekerja,
5) Bagi misionaris lajang ada upah spiritual yang berlimpah. Misionaris lajang
yang berada di ladang misi biasanya lebih cakap, stabil, sukses, dan dipenuhi Roh
Kudus.
b. Misionaris yang menikah (Married Missionary)
Baik buruk misionaris yang menikah di ladang misi adalah kebalikan dari
baik buruknya misionaris lajang. Kecuali ada dua tambahan keuntungan bagi
misionaris yang menikah (Hale, 1995), yaitu pertama adalah di dalam setiap
perkawinan yang berbahagia, setiap pasangan secara emosional dan psikologis
dikuatkan dan ditingkatkan oleh hubungan. Keuntungan kedua yang harus
dilakukan sebagai saksi perkawinan Kristen adalah saling memiliki kele mbutan
hati yang mendalam di antara suami dan istri, hormat pada kaum wanita,
mendisiplikan anak-anak dengan cinta, akrab, tentram, dan harmonis. Kesaksian
teladan Allah melalui misionaris yang menikah sangat penting dalam masyarakat
yang kaum wanitanya dianggap rendah dan anak-anak yang tidak disiplin.
Menjadi seorang misionaris adalah pekerjaan yang penuh dengan stres
perkawinan misionaris walaupun demikian menjadi pasangan misionaris yang
menikah adalah petualangan yang menyenangkan. Dalam perkawinan, suami dan
istri menjadi satu tim. Kesaksian keindahan dan keberhasilan sebuah perkawinan
Kristen ditentukan dengan cara bekerja bersama antara suami dan istri. Suami dan
istri adalah rekan yang setara meskipun peran-perannya berbeda; dan sebagai
rekan yang seimbang, mereka harus menyumbang secara seimbang juga
usaha-usaha sebagai misionaris (Hale,1995)
5. Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman)
Banyak para misionaris yang menikah, namun dalam beberapa bidang,
banyak juga-khususnya wanita muda- yang menjalankan pelayanan sebagai
seorang misionaris yang melajang.
Misionaris lajang tidak pernah meragukan bahwa Allah selalu memenuhi
semua kebutuhannya, apakah itu berupa kebutuha n rohani, badani atau emosi,
teristimewa dalam satu jabatan yang penuh tantangan seperti misalnya pekerjaan
misionaris. Meskipun ketetapan Allah yang berkuasa, para wanita misionaris
lajang ini terus saja menghadapi tantangan-tantangan unik atau bahkan berbagai
persoalan aneh atau yang tidak menyenangkan dalam ladang misi mereka
masing-masing atau juga di rumah tempat para masyarakatnya berorientasikan
perkawinan.
Wanita misionaris lajang dalam pelayanan mempunyai keuntungan dan
kerugian. Tanggung jawab tetap besar walaupun ada potensi yang tidak terbatas
mengindikasikan bahwa depresi mengganggu misionaris wanita yang melajang
(http:/www.necf.org.my/newsmaster.cfm?&menuid=12&action=view&retrieveid
=571)
Menurut The National Evangelical Christian Fellowship atau NECF
Malaysia (2004), tantangan-tantang unik bagi wanita misionaris lajang
diantaranya:
a. Wanita misionaris lajang, tanpa seorang pasangan tempat untuk berbagi
kegembiraan dan frustasi membutuhkan lebih dari sekedar keamanan finansial
dan dukungan doa. Beberapa dari mereka berada dalam tekanan masyarakat
lokal yang memandang rendah para wanita lajang. Sikap terhadap hidup
melajang, peranan budaya, dan perilaku gender dalam kebudayaan lokal dapat
menjadi hambatan amat besar terhadap tugas-tugas pelayanan wanita
misionaris lajang ini.
b. Tantangan lain muncul dari dalam tim sepelayanan, baik yang di tempat asal
maupun yang di luar negeri. Sepanjang menyangkut kepemimpinan dalam
bidang misi, kebanyakan wanita misionaris lajang seringkali terlihat sebagai
orang-orang yang tidak penting, diabaikan dalam pengambilan keputusan,
pembuatan strategi dan komunikasi. Kadang-kadang keputusan yang dibuat
untuk wanita misionaris yang melajang tidak dikonsultasikan terlebih dulu
dengan mereka. Selain itu, hal ini juga tampak dimana laki- laki memimpin
banyak perwakilan-perwakilan dimana wanita (kebanyakan lajang) mayoritas.
c. Saat beberapa wanita mempunyai kecenderungan untuk membuktikan bahwa
dengan teman sekerja laki- laki, wanita yang lain mungkin terpaksa
mengerjakan tugas-tugasnya yang memerlukan keterampilan secara teknis dan
kekuatan secara fisik yang besar ketika tidak ada satupun laki- laki di
sekitarnya. Aspek keamanan yang keadaan kebudayaannya berlainan
merupakan masalah lain yang khas, misalnya kesusahan transportasi di
beberapa daerah pedalaman, lingkungan yang berbahaya, dll. Bepergian
sendiri di masyarakat tertentu yang tidak dapat diterima dan dimengerti oleh
masyarakat setempat..
d. Talenta dan godaan wanita misionaris lajang berbeda dari rekan laki- laki
mereka. Wanita secara sosial diakui lebih relasional daripada laki- laki. Mereka
mungkin merasa kurang mendapat ancaman daripada laki- laki dari beberapa
budaya dan mempunyai akses yang lebih mudah kepada wanita-wanita dan
anak-anak di hampir semua masyarakat. Wanita misionaris lajang dalam
kenyataannya menemukan kesulitan melayani lawan jenisnya dan kadang
merasa tertantang oleh wanita yang menikah. Godaan seksual dapat menjadi
masalah yang berarti bagi kebanyakan wanita misionaris lajang. Sekalipun
kemampuan mereka adalah menghabiskan banyak waktu untuk memberikan
perhatian, pengertian dan disiplin pada orang lain tanpa keseimbangan dengan
kebutuhan-kebutuhan dan kerja bagi keluarga, mungkin tanpa disadari
menambahkan beban kerja yang lebih berat untuk dipikul sehingga terlalu
banyak beban kerja bagi mereka.
e. Pokok persoalan wanita misionaris lajang pertengahan hidup (usia 40-60
perubahan secara fisik dan penyesuaian terhadap orang tua yang makin tua
mengambil bagian dalam tahap kehidupan. Hal ini menyampaikan bahwa
masalah wanita dewasa pertengahan bukan karena menopause atau sudah
lanjut usia, tetapi merawat orang tua mereka, karena hampir selalu anak
perempuanlah selalu menjadi pengurus yang utama. Beberapa wanita
misionaris lajang melayani atau diharapkan oleh saudara-saudara kandungnya
untuk mengurus orang tua mereka. Di waktu yang bersamaan, wanita
misionaris lajang seperti wanita yang menikah lainnya, berdukacita karena
kehilangan masa muda dan kesuburan yang menyebabkan pergolakan secara
emosi, psikologis, dan spiritual.
f. Seperti orang lain pada umumnya, wanita misionaris lajang juga mengalami
krisis identitas dan cenderung untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan
dalam karakter mereka. “Tetapi orang-orang cenderung untuk menceritakan
perjuangan kami sebagai suatu hasil menjadi orang yang tidak menikah” kata
beberapa wanita yang diwawancara oleh Research Commission NECF
Malaysia. Sekalipun menopause tidak sinonim dengan proses penuaan, hal itu
secara nyata menentukan pengalaman misionaris wanita secara fisik,
psikologis, sosial dan spiritual. Umumnya, semua wanita berjalan melalui
jalan kehidupan sambil menegaskan kembali diri mereka sendiri dan
peran-peran mereka, namun wanita misionaris lajang secara stereotipe digambarkan
sebagai orang neurotik, emosional dan sengsara oleh kebanyakan orang.
g. Banyak wanita misionaris lajang juga yang menemukan kesulitan dalam
mengundurkan diri dari masing- masing ladang misi mereka dimana mereka
telah menghabiskan waktu bertahun-tahun beralkulturasi melalui usaha yang
disadari. Kebanyakan misionaris wanita mengungkapkan perhatian mereka
untuk menghidupkan kembali jaringan sosial mereka karena hubungan dengan
teman-teman lama dan beberapa anggota gereja telah kelihatan tidak
mendalam. Oleh karena identitas wanita misionaris lajang dihubungkan
dengan relasi, keterkaitan dengan orang lain dan intim, beberapa akan
berjuang untuk membangkitkan kembali jaringan yang baru dalam
persahabatan walaupun itu harus dilakukan dengan susah payah.
h. Tantangan lain yang dihadapi oleh wanita misionaris lajang adalah
menemukan suatu tempat yang tetap untuk masa pensiun mereka. Beberapa
perwakilan (agencies) telah memberitahu atau tepatnya meminta agar
misionaris yang mereka kirim membayar iuran lebih besar dalam membangun
sumber keuangan meskipun ini bermaksud baik untuk mencegah persoalan
tempat tinggal pada masa depan, namun pokok persoalan bagi wanita
misionaris lajang adalah mereka harus bekerja keras untuk mengumpulkan
dukungan finansial mereka. Jaminan keuangan setelah purna karya, misalnya
pensiun atau Dana Kesejahteraan Pegawai, masih merupakan suatu kenyataan
C. Gambaran Kepribadian Wanita Misionaris Lajang (Single Missionary Woman) Ditinjau dari Teori Viktor Frankl
Seperti sudah ditulis di awal bahwa cara individu menangani
masalah-masalahnya ditentukan oleh kepribadiannya. Individu dianggap dapat
menyesuaikan diri jika individu dapat memecahkan masalahnya secara normal
dan sebaliknya dianggap tidak dapat menyesuaikan diri jika individu bereaksi
terhadap tekanan-tekanan dari kehidupan sehari- hari dengan suatu simtom khusus
(Semiun, 2006). Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kepribadian
sangatlah penting bagi setiap individu. Manusia memiliki kepribadian agar ia
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dapat menyelesaikan
masalah- masalahnya.
Para misionaris dalam kenyataannya banyak mengalami kendala atau
masalah- masalah yang kadang menimbulkan kesulitan, sakit hati, dan
keputusasaan. Hal ini seperti yang dialami oleh para wanita misionaris lajang
(Single missionary woman). Persoalan hidup wanita misionaris lajang yang sering dialami adalah status yang tidak menikah selalu memunculkan pertanyaan atau
menjadi tanda tanya bagi orang di daerah tempatnya melayani. Selain itu,
orang-orang pada umumnya terutama yang berada di Dunia Ketiga melihat bahwa masih
banyak pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang jauh lebih baik
daripada menjadi misionaris. Wanita misionaris lajang juga sering mengalami
tantangan seperti kesepian dan adanya tekanan lintas budaya yakni perbedaan