• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Semen Segar Kelinci Lop dan Rex

Evaluasi terhadap semen sangat diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai kualitas semen. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan kualitas spermatozoa (Brun et al. 2002). Perbedaan karakteristik semen pada berbagai inidividu dipengaruhi oleh breed, genetik, pakan, status kesehatan, kondisi pemeliharaan, musim, umur, dan frekuensi koleksi semen (Alvarino 2000).

Evaluasi semen dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan secara makroskopis meliputi pengukuran volume semen, konsistensi, warna semen, dan pH, sedangkan pemeriksaan secara mikroskopis meliputi pemeriksaan terhadap gerakan massa, motilitas, skor individu, konsentrasi, viabilitas, dan morfologi spermatozoa (Tabel 1).

Tabel 1 Karakteristik semen segar kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan

Parameter Breed

Lop Rex

Makroskopis

Volume (mL) 0.47±0.23 0.44±0.24

Warna putih-krem putih-krem

Konsistensi encer-kental encer-kental

pH 7.28±0.44 7.38±0.19 Mikroskopis Gerakan Massa 2.33±0.71a 2.67±0.50b Motilitas (%) 40.00±9.35a 61.67±12.58b Skor Individu (0-5) 3.67±0.50a 4.00±0.43b Konsentrasi (106/mL) 123.89±107.67 280.56±237.71 Viabilitas (%) 47.94±15.02 61.40±18.10 Morfologi normal (%) 87.93±2.06 91.27±3.27 Morfologi abnormal (%) 12.07±2.06 8.73±3.27

Superskrip dengan notasi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Makroskopis

Volume semen yang diperoleh dari kelinci Lop dan Rex adalah sebanyak 0.47±0.23 mL dan 0.44±0.24 mL. Hasil ini menunjukkan bahwa volume kelinci

(2)

Lop lebih banyak dibandingkan kelinci Rex, tetapi secara statistik tidak berbeda (P>0.05). Garcia-Tomas et al. (2006) memperoleh nilai yang lebih tinggi, yaitu 1.19±0.43 mL. Ogbuewu et al. (2009) dan El-Azim dan El-Kamash (2011) juga memperoleh nilai yang lebih tinggi, yaitu sebesar 0.51-0.64 mL, akan tetapi nilai tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil yang diperoleh dari penelitian. Perbedaan volume yang diperoleh setiap peneliti terutama disebabkan karena adanya perbedaan breed kelinci yang digunakan. Variasi umur, bobot badan, status kesehatan dan reproduksi, kualitas pakan, serta frekuensi koleksi semen juga berpengaruh terhadap volume semen yang dihasilkan (Johnson et al. 2000).

Gambar 7 Hasil koleksi semen kelinci.

Konsistensi dan warna semen yang teramati pada kelinci Lop dan Rex adalah sama, yaitu encer hingga kental dengan semen berwarna putih hingga krem (Gambar 7). Garner dan Hafez (2000) menjelaskan bahwa warna dan konsistensi dipengaruhi oleh riboflavin (hasil sekresi kelenjar vesikularis) dan banyaknya jumlah spermatozoa yang terkandung dalam semen. Kedua parameter ini dapat digunakan untuk memprediksi secara cepat konsentrasi spermatozoa dalam semen. Semen dengan konsistensi kental dan berwarna keruh menunjukkan bahwa semen memiliki konsentrasi spermatozoa yang tinggi.

Sekresi prostat yang bersifat asam dan sekresi kelenjar vesikularis yang bersifat basa berhubungan dengan pH semen. Pengukuran pH sangat penting mengingat pH merupakan faktor pembatas kelangsungan hidup spermatozoa

(3)

dalam semen. Kelinci memiliki pH basa (El-Azim & El-Kamash 2011), pH yang asam dapat menurunkan kelangsungan hidup spermatozoa. Adanya penimbunan asam laktat (produk sampingan metabolisme spermatozoa) atau karena adanya disfungsi dari salah satu atau kedua kelenjar aksesori pada saluran reproduksi jantan dapat menyebabkan pH menjadi asam. Pada penelitian ini semen kelinci Lop dan Rex memiliki pH yang sama (P>0.05), yaitu 7.28±0.44 dan 7.38±0.19. Nilai ini hampir sama dengan pH kelinci Sinai dan Balady yang diteliti oleh El-Azim dan El-Kamash (2011) dan Garcia-Tomas et al. (2006), yaitu 7.33 hingga 7.63. Perbedaan pH disebabkan karena perbedaan breed dan faktor lingkungan termasuk pakan.

Mikroskopis

Gerakan massa merupakan gerakan spermatozoa dalam kelompok sehingga membentuk gelombang menyerupai awan. Gerakan massa yang teramati pada kelinci Rex dan Lop adalah 2.67±0.50 dan 2.33±0.71, kedua nilai ini berbeda (P<0.05) secara statistika. Motilitas dan skor individu merupakan gerakan dan kecepatan spermatozoa secara individual. Spermatozoa motil dan skor individu pada kelinci Rex adalah 61.67±12.58% dan 4.00±0.43. Nilai ini berbeda (P<0.05) dengan kelinci Lop, yaitu sebesar 40.00±9.35% dan 3.67±0.50.

Motilitas digunakan sebagai acuan kualitas semen dan indikasi fertilitas, meskipun motilitas tidak secara langsung mempengaruhi hasil kebuntingan pada teknik fertilisasi in vitro maupun intra cytoplasmic sperm injection (ICSI) (Moghadam et al. 2005). Motilitas sangat erat hubungannya dengan fertilitas, karena hanya spermatozoa yang memiliki motilitas progressive yang dapat mencapai tempat terjadinya fertilisasi. Beberapa peneliti melaporkan hasil pemeriksaan motilitas yang beragam. Kelinci New Zealand White memiliki motilitas 74.50% (Ogbuewu et al. 2009), 60.27% (El-Haekam et al. 1992), dan 68.21% (El-Azim & El-Kamash 2011), Balady 63.21%, sedangkan Sinai 63.11% (El-Azim & El-Kamash 2011). Perbedaan motilitas berhubungan dengan breed, perlakuan, dan metode koleksi semen.

Konsentrasi semen kelinci Lop adalah 123.89±107.67 x 106/mL dan Rex adalah 280.56±237.71 x 106/mL, tidak ada perbedaan (P>0.05) meskipun secara rataan konsentrasi spermatozoa Rex lebih tinggi. Nilai konsentrasi kedua breed

(4)

tersebut hampir sama dengan laporan Garcia-Tomas et al. (2006), yaitu 245.35±227.08 x 106/mL. Perbedaan konsentrasi dipengaruhi oleh teknik koleksi semen, breed, umur, dan status kesehatan hewan (Setiadi et al. 2006).

Viabilitas spermatozoa kelinci Lop (47.94±15.02%) lebih rendah daripada kelinci Rex (61.40±18.10%), akan tetapi keduanya lebih rendah dibandingkan dengan temuan Garcia-Tomas et al. (2006) dan El-Azim dan El-Kamash (2011), yaitu sebesar 81.14-86.17% (Gambar 8).

Gambar 8 Spermatozoa hidup (kepala berwarna putih) dan spermatozoa mati (kepala berwarna merah, tanda panah), pewarnaan eosin nigrosin.

Seluruh parameter evaluasi dari kelinci Lop dan Rex yang diteliti menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil penelitian lainnya. Meskipun demikian, kedua kelinci tersebut terbukti fertil, karena secara in vivo telah menghasilkan banyak anak melalui perkawinan alami. Sehingga kemungkinan kualitas tersebut normal dan merupakan karakteristik dari semen pada kedua kelinci tersebut.

Morfologi Spermatozoa Segar Kelinci Lop dan Rex

Morfologi spermatozoa menunjukkan kualitas semen serta status kesehatan tubuli seminiferi dan epididimis. Kelainan pada morfologi atau abnormalitas dapat terjadi pada sebagian atau seluruh bagian spermatozoa baik kepala, leher, atau ekor. Abnormalitas spermatozoa secara alami dapat ditemukan akibat proses spermatogenesis yang kurang sempurna. Abnormalitas spermatozoa yang tinggi akan berdampak pada keberhasilan fertilisasi.

(5)

Abnormalitas Spermatozoa Primer

Abnormalitas pada bagian kepala spermatozoa atau abnormalitas spermatozoa primer terjadi karena adanya kelainan saat proses spermatogenesis dalam tubuli seminiferi (Chenoweth 2005). Abnormalitas spermatozoa primer yang ditemukan adalah pearshaped, taperred, narrow, abnormal contour, round head, macrocephalus, microcephalus, double head, knobbed acrosome defect (KA defect), dan detached head (Tabel 2 dan Gambar 10).

Tabel 2 Jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%)

No Jenis abnormalitas L1 L2 L3 Rataan R1 R2 R3 Rataan

1 Pear shaped 0.65 1.14 0.00 0.60 ± 0.57 0.80 1.01 1.48 1.10 ± 0.35 2 Taperred 0.39 0.79 2.27 1.15 ± 0.99 0.11 1.44 0.74 0.77 ± 0.66 3 Narrow 2.60 1.75 2.56 2.31 ± 0.48 1.49 1.44 2.23 1.72 ± 0.44 4 Abnormal contour 1.69 1.23 2.84 1.92 ± 0.83 1.49 1.58 1.48 1.52 ± 0.06 5 Round head 0.78 0.79 0.57 0.71 ± 0.13 0.23 1.15 0.00 0.46 ± 0.61 6 Macrocephalus 0.13 0.70 0.85 0.56 ± 0.38 0.92 0.43 0.00 0.45 ± 0.46 7 Microcephalus 1.04 1.14 0.57 0.92 ± 0.31 0.69 0.72 0.74 0.72 ± 0.03 8 Double head 0.00 0.18 0.85 0.34 ± 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 ± 0.00 9 K A defect 0.91 1.40 0.00 0.77 ± 0.71 1.03 1.44 2.23 1.56 ± 0.61 10 Detached head 5.86 4.39 1.99 4.08 ± 1.95 2.63 3.60 2.60 2.94 ± 0.57 Ket : L (kelinci Lop), R (kelinci Rex)

Jenis abnormalitas spermatozoa primer yang paling banyak ditemukan pada kedua breed kelinci adalah detached head, yaitu sebesar 4.08±1.95% pada kelinci Lop dan 2.94±0.57% pada kelinci Rex. Detached head ditandai dengan kepala spermatozoa tanpa ekor karena tidak sempurnanya membran plasma yang menghubungkan bagian posterior kepala dengan basal ekor. Spermatozoa tanpa ekor menyebabkan spermatozoa tidak dapat bergerak. Hal ini disebabkan karena fungsi ekor adalah sebagai penggerak spermatozoa (Schatten & Gheorghe 2007). Detached head diakibatkan oleh hipoplasia testis, degenerasi testis, atau akibat peradangan pada ampula dan epididimis. Predisposisi kejadian detached head adalah faktor genetik (McGowan et al. 1995). Secara fisiologis, abnormalitas kepala tanpa ekor dapat terjadi terkait dengan pematangan sel sertoli (Shimomura et al. 2008).

Abnormal contour dan KA defect merupakan jenis abnormalitas spermatozoa primer yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan spermatozoa

(6)

dalam membuahi sel telur. Penyebab utama kedua jenis abnormalitas ini adalah kelainan genetik (Barth & Oko 1989). Pada abnormal contour, terjadi perubahan struktur kepala spermatozoa menjadi tidak rata dan tidak teratur. Adanya perubahan struktur ini menyebabkan spermatozoa kehilangan kemampuannya dalam melakukan fungsi fertilisasi (Barth & Oko 1989). Abnormalitas ini terjadi karena degenerasi sel primordial pada tubuli seminiferi testis. Abnormal contour pada kelinci Lop ditemukan sebesar 1.92±0.83%, sedangkan pada kelinci Rex sebesar 1.52±0.06%.

Jenis abnormalitas KA defect ditandai dengan adanya lekukan ke bagian dalam atau luar kepala spermatozoa pada daerah akrosom. Berlebihnya matriks akrosomal dari kepala spermatozoa dan terlambatnya pembentukan fase akrosomal saat spermiogenesis menjadi penyebab terjadinya KA defect (Barth & Oko 1989). Struktur akrosom yang tidak utuh menyebabkan enzim-enzim pada kepala spermatozoa tidak mampu menginduksi sel telur, akibatnya tidak ada spermatozoa yang berhasil berpenetrasi masuk ke dalam zona pelusida (Thundathil et al. 2000). Jenis abnormalitas ini ditemukan pada kelinci Lop sebesar 0.77±0.71% dan 1.56±0.61% pada kelinci Rex.

Gambar 9 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex.

Jenis abnormalitas spermatozoa primer berikutnya adalah perubahan bentuk kepala spermatozoa menjadi narrow, taperred, dan pearshaped. Ketiga bentuk

(7)

abnormalitas spermatozoa ini berpengaruh terhadap kemampuan fertilitas (Barth & Oko 1989; Chenoweth 2005). Bentuknya yang berbeda, lebih kecil, dan ramping menyebabkan pergerakan ketiga bentuk spermatozoa ini lebih progressive. Hal ini dapat diamati pada saat pemeriksaan motilitas spermatozoa. Pada kelici Lop dan Rex narrow ditemukan sebesar 2.31±0.48 dan 1.72±0.44%. Narrow ditandai dengan penyempitan pada bagian kepala spermatozoa secara menyeluruh karena tidak sempurnanya fase spermatosit primer dan tidak meratanya penyebaran substansi spermatozoa pada daerah kepala.

Taperred memiliki morfologi yang hampir sama dengan narrow, akan tetapi penyempitan pada taperred hanya terjadi pada bagian post akrosom dengan batas yang tidak jelas. Persentase abnormalitas yang terjadi pada Lop dan Rex adalah 1.15±0.99 dan 0.77±0.66%. Pearshaped ditandai dengan pembesaran pada bagian akrosom yang berisi kromatin dan penyempitan bagian post akrosom dengan batasan yang jelas (Barth & Oko 1989). Abnormalitas ini disebabkan karena tidak sempurnanya pembentukan akhir tudung akrosom akibat gangguan regulasi panas dan hormonal pada testis saat proses spermiogenesis (McGowan et al. 1995). Pearshaped bersifat genetik (Chenoweth 2005), pada kelinci Lop dan Rex ditemukan sebesar 0.60±0.57 dan 1.01±0.35%.

Round head merupakan jenis abnormalitas kepala yang ditandai dengan bentuk kepala spermatozoa menjadi bulat tanpa adanya batasan akrosom yang jelas. Abnormalitas ini merupakan kelainan yang disebabkan karena faktor genetik. Round head yang ditemukan pada kelinci Lop sebesar 0.71±0.13% dan pada kelinci Rex sebesar 0.46±0.61%.

Variabel size adalah jenis abnormalitas spermatozoa primer yang ditandai dengan ukuran kepala mengecil (microcephalus) atau membesar (macrocephalus). Perbedaan ukuran kepala spermatozoa dipengaruhi oleh jumlah kromosom yang dikandungnya. Abnormalitas jenis ini terjadi akibat defisiensi atau kelebihan kromatin inti (bahan pembentuk kromosom) yang terjadi saat metafase pada fase meiosis. Variabel size bersifat genetik, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, adanya luka, demam, dan orchitis kronis (Barth & Oko 1989). Kedua jenis variabel size dapat menurunkan kemampuan fertilitas dari spermatozoa.

(8)

Gambar 10 Morfologi kepala spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abnormal contour, (c) KA defect, (d) detached head, (e) macrocephalus, (f) microcephalus, (g) narrow, (h) taperred, (i) pearshaped, (j) roundhead

(perbesaran 1000X). a g f e d c b j h i

(9)

Microcehalus dapat menyebabkan terlihatnya progressive movement saat pemeriksaan motilitas spermatozoa akibat ukuran kepala yang kecil dan kemampuan ekor yang meningkat, sedangkan macrocephalus dapat menyebabkan melambatnya pergerakan spermatozoa karena ketidakmampuan ekor melakukan pergerakan dengan ukuran kepala spermatozoa yang besar. Microcephalus dan macrocephalus yang ditemukan pada kelinci Lop adalah sebesar 0.92±0.31% dan 0.56±0.38%, sedangkan pada kelinci Rex sebesar 0.72±0.03% dan 0.45±0.46%.

Jenis abnormalitas terakhir yang ditemukan adalah double head yang ditandai dengan kepala ganda berukuran sama atau berbeda pada satu ekor. Double head hanya ditemukan pada kelinci Lop, yaitu sebesar 0.34±0.45%. Abnormalitas ini disebabkan karena kelainan genetik pada sel primordial dan kesalahan pada saat spermiogenesis.

Tingginya abnormalitas spermatozoa primer pada semen berhubungan dengan menurunnya fertilitas pejantan (Saacke 2008; Sarder 2004). Hal ini terjadi karena kepala spermatozoa berisi nukleus sebagai pembawa materi genetik dan acrosomal enzyme untuk melakukan fertilisasi.

Abnormalitas Spermatozoa Sekunder

Abnormalitas pada bagian leher dan ekor spermatozoa atau abnormalitas spermatozoa sekunder terjadi setelah proses spermiasi, yaitu saat perjalanan spermatozoa dari tubuli seminiferi testis menuju epididimis (Chenoweth 2005). Pemeriksaan terhadap ekor dapat dengan mudah teramati saat melakukan evaluasi motilitas spermatozoa, yaitu ditemukannya pergerakan spermatozoa tidak progressive. Abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan adalah distal midpiece reflex abnormality (DMPR abnormality), segmental aplasia of mitokondrial sheat (SA mitokondrial), bowed midpiece, bent principal piece (bent PP), coiled principal piece (coiled PP), abaxial tail, double tail, dan teratoid forms (Tabel 3 dan Gambar 12).

Abaxial tail merupakan abnormalitas spermatozoa sekunder yang paling banyak ditemukan pada kelinci Lop, yaitu sebesar 3.93±2.21%. Pada kelinci Rex, abnormalitas ini hanya ditemukan sebesar 0.85±0.57%. Abaxial tail merupakan abnormalitas genetik yang bersifat herediter (Barth & Oko 1989) dan tidak mempengaruhi fertilitas karena kepala spermatozoa tetap utuh. Abaxial tail

(10)

dicirikan dengan letak pangkal ekor yang bergeser dari tengah kepala spermatozoa ke samping dan membentuk fosa implantasi di tempat tersebut. Jenis abnormalitas ini normal ditemukan pada babi (McIntosh 1990).

Tabel 3 Jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%)

No Jenis abnormalitas L1 L2 L3 L R1 R2 R3 R 1 DMPR abnormality 0.28 1.01 2.03 1.10 ± 0.88 0.24 2.24 1.14 1.21 ± 1.00 2 SA mitokondrial 0.28 0.46 2.32 1.02 ± 1.13 1.53 2.39 0.00 1.19 ± 1.69 3 Bowed midpiece 1.38 1.47 4.35 2.40 ± 1.69 0.35 0.60 0.38 0.44 ± 0.13 4 Bent PP 0.69 0.46 2.61 1.25 ± 1.18 0.71 1.19 1.52 1.14 ± 0.41 5 Coiled PP 0.00 0.00 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 0.75 1.14 0.63 ± 0.58 6 Abaxial tail 5.67 4.68 1.45 3.93 ± 2.21 1.18 1.19 0.19 0.85 ± 0.57 7 Double tail 0.14 0.64 0.29 0.36 ± 0.26 0.12 0.30 0.00 0.14 ± 0.15 8 Teratoid forms 0.69 1.19 0.29 0.72 ± 0.45 0.47 0.15 0.95 0.52 ± 0.40 Ket : L (Kelinci Lop), R (Kelinci Rex)

Abnormalitas midpiece yang ditemukan adalah bowed midpiece dan DMPR abnormality. Abnormalitas pada midpiece atau leher spermatozoa merupakan abnormalitas genetik yang bersifat kongenital dan herediter (Chenoweth 2005). Kedua abnormalitas ini terjadi akibat preparasi yang salah, proses abnormal selama ejakulasi (Bloom 1968), dan tidak sempurnanya proses pematangan spermatozoa (Barth & Oko 1989).

Bowed midpiece ditemukan pada kelinci Lop dan Rex sebesar 2.40±1.69 dan 0.44±0.13%. Bowed midpiece ditandai dengan adanya lengkungan membentuk huruf U pada bagian leher spermatozoa, sedangkan DMPR abnormality ditandai dengan melingkarnya leher spermatozoa. Bowed midpiece tidak menyebabkan penurunan fertilitas, begitu juga DMPR abnormality. Kedua jenis abnormalitas ini hanya menyebabkan penurunan motilitas karena terdapat membran yang membungkus bagian leher yang melingkar. Pada kelinci Rex, DMPR abnormality merupakan jenis abnormalitas sekunder yang paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 1.21±1.00%.

Abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan berikutnya adalah bent PP dan coiled PP. Bent PP terjadi akibat disfungsi testis dan epididimis. McGowan et al. (1995) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya bent PP adalah

(11)

akibat cold shock dan perbedaan tekanan osmotik dengan lingkungan. Bent PP ditemukan pada kelinci Lop dan Rex sebesar 1.25±1.18% dan 1.14±0.41%.

Coiled PP ditandai dengan ekor yang menggulung sederhana pada bagian ujung. Abnormalitas ini disebabkan karena preparasi yang kurang tepat dan pematangan yang tidak sempurna pada spermatozoa (Barth & Oko 1989). Coiled PP dapat menyebabkan terganggunya motilitas spermatozoa akibat adanya membran yang membungkus bagian melingkar tersebut. Pada kelinci Lop coiled PP tidak ditemukan, sedangkan pada kelinci Rex jenis abnormalitas ini ditemukan sebesar 0.63±0.58%.

Gambar 11 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex.

Abnormalitas jenis SA mitokondrial ditemukan sebesar 1.02±1.13% pada kelinci Lop dan 1.19±1.69% pada kelinci Rex. Abnormalitas ini bersifat serius karena mitokondria diperlukan sebagai tempat mengkonversi adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP) menjadi energi yang diperlukan untuk pergerakan spermatozoa (Silva & Gadella 2006). Pergerakan spermatozoa sangat berpengaruh terhadap fertilitas.

Double tail ditandai dengan adanya dua ekor pada satu kepala spermatozoa. Sama halnya dengan double head, abnormalitas ini terjadi akibat kelainan genetik. Pada kelinci Lop dan Rex, abnormalitas ini ditemukan sebesar 0.36±0.26% dan 0.14±0.15%. Teratoid form ditandai dengan adanya ekor di dalam kepala

(12)

spermatozoa. Teratoid form pada kelinci Lop dan Rex ditemukan sebesar 0.72±0.45% dan 0.52±0.40%. Teratoid form merupakan abnormalitas genetik dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Gambar 12 Morfologi ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abaxial tail, (c) bowed midpiece, (d) DMPR abnormality, (e) teratoid form, (f) bent PP, (g) coiled PP, (h) double tail (perbesaran 1000X).

Tingginya abnormalitas spermatozoa sekunder dipengaruhi oleh ejakulasi yang tidak sempurna dan akibat perlakuan yang tidak tepat saat koleksi semen, seperti pemanasan, pendinginan, penambahan antibiotik, atau terkontaminasi zat

a b

e f

g h

d c

(13)

berbahaya (Barth & Oko 1989). Arifiantini dan Ferdian (2004) juga menjelaskan bahwa kesalahan preparasi spermatozoa dapat menyebabkan peningkatan jumlah abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan.

Abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kelinci Lop dan Rex tidak berbeda (P>0.05), baik abnormalitas spermatozoa primer maupun sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kedua breed kelinci jika dilihat dari tingkatan abnormalitas yang teramati sama, meskipun jumlah abnormalitas pada kelinci Lop lebih tinggi dibandingkan pada kelinci Rex.

Tabel 4 Morfologi kepala dan ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%)

Pejantan Kepala Ekor Total Spermatozoa

Abnormal Normal Abnormal Normal Abnormal

L1 85.94 ± 5.92 14.06 ± 5.92 90.87 ± 6.12 9.13 ± 6.12 11.60 ± 3.49 L2 86.49 ± 8.16 13.51 ± 8.16 90.09 ± 6.79 9.91 ± 6.79 11.71 ± 2.55 L3 87.50 ± 1.69 12.50 ± 1.69 86.67 ± 8.71 13.31 ± 8.71 12.92 ± 0.59 Rata-Rata 86.64 ± 0.79 13.36 ± 0.79 89.21 ± 2.23 10.79 ± 2.23 12.07 ± 2.06 R1 90.62 ± 2.39 9.38 ± 2.39 95.42 ± 0.55 4.58 ± 0.55 6.98 ± 3.39 R2 87.19 ± 2.55 12.81 ± 2.55 91.19 ± 2.59 8.81 ± 2.59 10.81 ± 2.83 R3 88.5 ± 2.92 11.5 ± 2.92 94.67 ± 1.58 5.33 ± 1.58 8.42 ± 4.36 Rata-Rata 88.77 ± 1.73 11.23 ± 1.73 93.76 ± 2.26 6.24 ± 2.26 8.74 ± 3.27

Ket: L (kelinci Lop), R (Kelinci Rex)

Berdasarkan hasil penelitian, persentase morfologi kepala dan ekor spermatozoa normal pada kelinci Lop sebesar 86.64±0.79 dan 89.21±2.23. Kelinci Rex memperoleh persentase morfologi kepala dan ekor spermatozoa normal lebih tinggi secara deskriptif dibandingkan kelinci Lop, yaitu sebesar 88.77±1.73 dan 93.76±2.26 (Tabel 4), tetapi tidak terdapat perbedaan secara statistik (P>0.05). El-Haekam et al. (1992) memperoleh nilai persentase morfologi kepala dan ekor normal kelinci yang hampir sama, yaitu 91.21% dan 91.87% untuk kelinci New Zealand White serta 90.85% dan 91.61% untuk kelinci Californian. Perbedaan persentase normalitas setiap peneliti dapat disebabkan karena perbedaan dalam teknik koleksi dan penanganan semen, breed, kualitas hewan yang digunakan (Toelihere 1993), perbedaan iklim, heat stress, dan musim (Barth & Oko 1989).

Abnormalitas kepala dan ekor yang ditemukan pada kelinci Lop adalah 13.36±0.79 dan 10.79±2.23% dengan total 12.07±2.06%, sedangkan pada kelinci Rex sebesar 11.23±1.73 dan 6.24±2.26% dengan total 8.74±3.27% (Tabel 4).

(14)

Abnormalitas dianggap serius jika abnormalitas yang ditemukan mencapai 18-20% karena dapat menurunkan fertilitas (Barth & oko 1989).

Persentase abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kedua breed kelinci kurang dari 20%. Hasil ini menunjukkan bahwa kelinci yang digunakan secara umum memiliki kualitas spermatozoa yang baik karena kelinci mendapatkan manajemen pakan dan pemeliharaan yang baik. Koleksi semen menggunakan vagina buatan pada hewan yang belum terbiasa juga dapat meningkatkan abnormalitas spermatozoa yang terjadi (Arifiantini & Ferdian 2004). Nilai abnormalitas spermatozoa primer yang tinggi dapat juga dipengaruhi oleh umur. Hewan tua cenderung memiliki abnormalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan muda (Padrik & Jaakma 2002).

Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa

Pengujian membran plasma utuh (MPU) spermatozoa bertujuan untuk mengetahui kualitas spermatozoa (Lodhi et al. 2008). Pengujian ini perlu dilakukan mengingat fungsi membran plasma yang sangat penting. Membran plasma spermatozoa berfungsi sebagai pelindung organel-organel sel spermatozoa terhadap perubahan lingkungan, mengatur keluar masuknya za-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan dalam proses metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit intra dan ekstraseluler, serta menjaga intergritas biokimia dan struktur spermatozoa (Pinto & Kozink 2008; Amorim et al. 2009). Spermatozoa dengan MPU menunjukkan kebengkokan ekor (coil) saat berada dalam larutan hipoosmotik.

Pengujian MPU pada spermatozoa kelinci Lop dan Rex dilakukan dengan menggunakan larutan bertekanan 50 mOsm/kg (TO50), 100 mOsm/kg (TO100), dan

150 mOsm/kg (TO150) pada suhu 37ºC selama satu jam dan diamati setiap 15

menit (Tabel 5). Pemilihan larutan hipoosmotik yang digunakan disesuaikan dengan tekanan osmotik semen kelinci yang diperoleh. Tekanan osmotik semen kelinci Lop adalah 300, 300, dan 320 mOsm/kg, sedangkan tekanan osmotik semen kelinci Rex adalah 270, 290, dan 300 mOsm/kg.

Pada awal pemeriksaan, yaitu pada menit ke-0, persentase spermatozoa coil lebih rendah dibandingkan pemeriksaan pada menit berikutnya baik pada spermatozoa kelinci Lop maupun kelinci Rex. Hasil ini menunjukkan bahwa

(15)

belum banyak spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal ini berkaitan dengan plasma semen yang memberikan efek stabil pada spermatozoa (Setiadi et al. 2006) sehingga reaksi berjalan lambat. Pengencer atau krioprotektan pada semen beku dan cair juga memberikan kestabilan pada spermatozoa di awal pemeriksaan (Rusiyantono 2008).

Tabel 5 MPU semen segar kelinci Lop dan Rex pada beberapa tekanan osmotik yang diinkubasi selama 1 jam (%)

Tekanan Ras Masa inkubasi (menit ke-)

0 15 30 45 60

50 mOsm/kg

Lop 22.42±13.73b 32.09±19.05b 55.03±9.29a 35.02±4.51a,b 32.28±2.43b

Rex 25.99±7.45b 69.77±32.89a 59.52±13.44a 48.63±6.40a,b 37.52±7.99a,b 100

mOsm/kg

Lop 23.36±5.58b 26.33±5.68b 32.82±3.18b 46.29±5.51 a 44.35±4.96 a Rex 24.88±9.02b 35.15±18.68a,b 60.16±22.13a 44.18±8.39a,b 39.79±8.47a,b 150

mOsm/kg

Lop 18.58±9.22 25.82±7.83 27.37±12.17 36.70±21.25 29.33±13.19

Rex 14.50±14.40 34.12±31.07 25.86±5.42 19.83±2.29 16.47±2.97 Superskrip dengan notasi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Saat terpapar larutan hipoosmotik, spermatozoa yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi (hiperosmotik) akan bereaksi terhadap larutan untuk mempertahankan fungsi normalnya. Spermatozoa akan menunjukkan kemampuannya dalam mengatur volume sel, terutama regulatory volume increase (RVI) (Petrunkina et al. 2005). Kemampuan spermatozoa untuk mengatur volume sel didapatkan saat spermatozoa berada dalam epididimis (Yeung et al. 2004). Kegagalan untuk mengatur volume sel dalam keadaan fisiologis dapat menjadi salah satu sumber infertilitas (Yeung et al. 2006).

Reaksi spermatozoa diawali dengan terjadinya aliran air dari larutan hipoosmotik ke dalam sel spermatozoa melalui membran plasma. Hal ini menyebabkan komposisi air bertambah pada spermatozoa sehingga terjadi perubahan ukuran dan bentuk spermatozoa, serta penurunan tekanan osmotik spermatozoa (Fonseca et al. 2005). Pembengkakan terus terjadi dan semakin memuncak hingga mencapai ekor. Akibatnya, coil terjadidi ujung hingga tengah atau tepat di bawah kepala spermatozoa (Gambar 13). Coil terjadi akibat gangguan kontraksi dan relaksasi ekor karena aliran ion dari ekor ke medium

(16)

hipoosmotik. Proses tersebut terus berlangsung hingga tercapai keseimbangan antara kompartemen dalam spermatozoa dengan lingkungan ekstraseluler.

 

Gambar 13 Respon spermatozoa (coil) saat terpapar larutan hipoosmotik (tanda panah).

Dalam TO50, spermatozoa kelinci Lop mengalami coil dari menit ke-0

hingga menit ke-30, lalu mengalami penurunan pada menit berikutnya. Pada menit ke-30, persentase spermatozoa coil mencapai 55.03±9.29%, berbeda (P<0.05) dengan menit sebelumnya (Gambar 14). Hasil ini menunjukkan bahwa pemeriksaan MPU spermatozoa kelinci Lop dalam TO50, sebaiknya dilakukan

pada menit ke-0 hingga menit ke-30 dan optimal dilakukan pada menit ke-30. Hal berbeda ditunjukkan oleh spermatozoa kelinci Rex, kenaikan persentase spermatozoa coil hanya terjadi hingga menit ke-15, yaitu mencapai 69.77±32.89%, lalu mengalami penurunan hingga menit ke-60 (Gambar 14). Hasil ini menunjukkan bahwa pemeriksaan MPU spermatozoa kelinci Rex dalam TO50 sebaiknya dilakukan pada menit ke-0 hingga menit ke-15, dengan hasil

optimal pada menit ke-15 (Tabel 6).

Dalam TO100 dan TO150, spermatozoa kelinci Rex juga mencapai respon

tertinggi atau puncak coil lebih cepat dibandingkan kelinci Lop, yaitu pada menit ke-30 (60.16±22.13%) dalam TO100 dan pada menit ke-15 (34.12±31.07%) dalam

(17)

menit ke-45 (Gambar 15 dan 16). Hasil ini menunjukkan bahwa pemeriksaan MPU spermatozoa kelinci Rex sebaiknya dilakukan pada menit ke-0 hingga menit ke-30 dengan waktu optimal pada menit ke-30 (TO100) dan pada menit ke-15

(TO100), sedangkan kelinci Lop sebaiknya diperiksa pada menit ke-0 hingga menit

ke-45 dengan waktu optimal pada menit ke-45 dalam TO100 dan TO150 (Tabel 6).

 

Gambar 14 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 50 mOsm/kg.

Gambar 15 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 100 mOsm/kg.

(18)

Gambar 16 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 150 mOsm/kg.

Perbedaan waktu yang diperlukan spermatozoa kelinci Lop dan Rex untuk mencapai puncak persentase coil sangat bergantung pada kondisi membran plasma spermatozoa (Herdis et al. 2004). Struktur membran plasma spermatozoa yang dimiliki kelinci Rex diduga lebih tipis dibandingkan kelinci Lop, sehingga kelinci Rex selalu mencapai puncak coil lebih cepat dibandingkan kelinci Lop. Faktor lain yang mempengaruhi hasil ini adalah cairan dari kelenjar asesoris yang membentuk plasma semen. Cairan ini diduga bertanggung jawab terhadap kestabilan membran plasma spermatozoa ejakulat yang diperlihatkan dengan lebih banyaknya MPU (Setiadi et al. 2006).

Tabel 6 Waktu optimal pengujian MPU semen segar kelinci Lop dan Rex pada beberapa larutan hipoosmotik

Larutan Hipoosmotik Menit ke- Lop Rex 50 mOsm/kg 30’ 15’ 100 mOsm/kg 45’ 30’ 150 mOsm/kg 45’ 15’

Pada pemeriksaan MPU, terdapat perbedaan persentase spermatozoa yang mengalami coil antara spermatozoa kelinci Lop dan Rex. Perbedaan persentase MPU ini berhubungan erat dengan perbedaan breed, musim (Kale et al. 2000),

(19)

gerakan massa, motilitas, konsentrasi, total spermatozoa utuh (Prasad et al. 1999), dan tingkat fertilitas individual (Jayendran et al. 1984). Hasil HOS test juga berhubungan dengan viabilitas dan morfologi spermatozoa normal (Jayendran et al. 1984; Mantovani et al. 2002; Fonseca et al. 2005).

Semen segar kelinci Rex memiliki gerakan massa, motilitas, konsentrasi, viabilitas, dan morfologi spermatozoa normal lebih tinggi dibandingkan semen segar kelinci Lop. Hasil ini berkorelasi positif dengan hasil MPU yang menunjukkan bahwa spermatozoa kelinci Rex juga memperoleh persentase MPU yang lebih tinggi dibandingkan kelinci Lop.

Keutuhan membran plasma juga berkorelasi positif dengan motilitas spermatozoa (Hashinuma & Sekine 2003; Yu & Leibo 2002). Korelasi ini menunjukkan kemampuan spermatozoa untuk hidup. Akan tetapi, kualitas membran plasma spermatozoa dapat tetap dipertahankan meskipun motilitas menurun secara drastis, yaitu dengan menambahkan bahan pengencer yang tepat (Setiadi et al. 2006). Setiadi et al. (2006) menduga krioprotektan yang terdapat dalam bahan pengencer ikut berperan dalam mempertahankan keutuhan membran plasma tersebut.

Setelah mencapai puncak persentase coil, terjadi penurunan pada pemeriksaan di menit berikutnya. Secara fisiologis, penurunan persentase ini terjadi karena spermatozoa berusaha menurunkan volumenya kembali akibat kebengkakan yang terjadi. Spermatozoa akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan regulatory volume decrease (RVD), proses ini akan menyebabkan ekor spermatozoa lurus kembali (Petrunkina et al. 2004).

Penurunan persentase juga dapat terjadi karena adanya kerusakan pada membran plasma spermatozoa. Jika terjadi kerusakan pada membran plasma, maka reaksi spermatozoa terhadap larutan menjadi tidak sempurna karena membran plasma tidak dapat lagi mempertahankan keseimbangan osmotik dan terjadi pengerasan pada lapisan phospolipid (Sankai et al. 2002). Kerusakan membran plasma menyebabkan spermatozoa tidak dapat menjalankan fungsinya dengan normal sehingga kualitas spermatozoa yang bersangkutan akan menurun (Arifiantini et al. 1999). Pada keadaan lebih lanjut, kerusakan ini dapat menyebabkan terganggunya metabolisme spermatozoa, akibatnya spermatozoa

(20)

mulai kehilangan motilitas dan keutuhan akrosom yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian spermatozoa (Iguer-ouada & Verstegen 2001; Yu & Leibo 2002; Yulnawati & Setiadi 2005).

Kerusakan membran plasma dapat terjadi pada bagian kepala dan ekor spermatozoa. Kerusakan membran plasma spermatozoa pada bagian kepala biasanya disertai dengan kerusakan pada tudung akrosom. Keadaan ini menyebabkan keluarnya enzim-enzim yang diperlukan untuk proses fertilisasi, sehingga spermatozoa kehilangan kemampuan untuk membuahi ovum (Herdis et al. 2004). Kerusakan membran plasma pada bagian ekor berpengaruh terhadap mitokondria yang terletak pada bagian ekor spermatozoa. Mitokondria berfungsi sebagai penghasil ATP dan ADP untuk motilitas spermatozoa. Gangguan fungsi mitokondria menyebabkan spermatozoa kehilangan daya geraknya.

Gambar

Tabel 1   Karakteristik  semen segar  kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi   menggunakan  vagina buatan
Gambar 8   Spermatozoa hidup (kepala berwarna putih) dan spermatozoa mati   (kepala  berwarna merah, tanda panah), pewarnaan eosin nigrosin
Gambar 9   Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci   Lop dan   Rex
Gambar 10  Morfologi kepala spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu dengan adanya public goods yang disediakan oleh Pemerintah akibat adanya TPST Bantar Gebang tersebut juga menyebabkan eksternalitas positif di masyarakat

Hal ini ditunjukkan dengan pendapatan ANTM yang cenderung mengikuti pertumbuhan ekonomi, permintaan produk ANTM cenderung meningkat akibat meningkatnya pertumbuhan industri

Ikan yang memiliki kemungkinan meloloskan diri pada hasil tangkapan tersebut sebanyak 5 ekor sehingga diduga tertangkap oleh ukuran mata jaring 3,5 inci dengan

4.2.2 Pengaruh pemberian ekstrak jahe berbagai dosis yang berbeda terhadap pemulihan jumlah, morfologi, motilitas, dan viabilitas spermatozoa mencit setelah terpapar

Setiap peningkatan satu orang jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan akan menyebabkan nilai harapan jumlah penderita gizi buruk meningkat sebesar exp( ) =

Buah jejerukan Mencermati data luas wilayah jelajah, ukuran koloni dan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang maka diketahui bahwa perubahan perilaku

Dari Tabel IV.3 terlihat bahwa dengan penyisipan kation logam tanah jarang (RE) menyebabkan penurunan ukuran sekitar 3% dari ukuran kristalit tanpa dopan. Selain itu pada

Hal ini menyebabkan tubuh tetap berada dalam kondisi anemia karena eritrosit yang telah dikeluarkan tidak dapat bekerja secara optimal akibat infestasi Babesia sp.. Kondisi