• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A. Penggunaan Ruang

Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini ”mobilitas” dan ”luas” serta ”komposisi daerah jelajah” merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwaliar (Santosa 1990). Kegiatan primata berupa makan, berpindah, istirahat dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan.

Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah: daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan. Wilayah jelajah (home range) adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin sedangkan teritori merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan secara lebih teratur dibanding bagian lainnya (Chalmers 1980). Penggunaan ruang dalam penelitian ini mencakup penggunaan ruang secara vertikal dan horizontal, dalam hal ini adalah wilayah jelajah.

1. Penggunaan Ruang secara Horizontal a. Monyet Ekor Panjang

Rata-rata wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP adalah 13,06 Ha. Luas wilayah jelajah tersebut berbeda dengan Rowe (1996) yaitu 113 ha dan terjadi penurunan luas wilayah jelajah apabila dibandingkan Mukhtar (1982) yaitu sebesar 23,2 ha. Luas wilayah tersebut juga berbeda dengan Sularso (2004) bahwa wilayah jelajah monyet ekor panjang di Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo 27,71 ha, Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Diantara 4 (empat) koloni yang diamati terdapat perbedaan luas wilayah jelajah yang kemungkinan dipengaruhi oleh ukuran koloni, kerapatan tumbuhan pakan dan perilaku. Luas wilayah masing- masing koloni monyet ekor panjang di CAP seperti disajikan pada Tabel 1.

(2)

Tabel 1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP

No Koloni luas (Ha) Jumlah individu (ekor)

1 Pasir Putih Utara 8,13 44

2 Pasir Putih Selatan 20,48 19

3 Goa Rengganis 17,97 26

4 Cihaur 5,65 16

Jumlah 52,25 105

Rata-rata 13,06 26

Sistem kekerabatan primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Pemisahan area pencarian pakan dapat secara horizontal berupa wilayah jelajah dan secara vertikal berupa perbedaan penggunaan strata tajuk.

Tabel 2. Ukuran populasi masing-masing koloni monyet ekor panjang

No Koloni

Jumlah individu (ekor)

Kelas umur dan jenis kelamin Keterangan 1 Pasir Putih Utara 44 4A, 14MJ,7MB,5DJ,4DB,6TB,4TJ A = Anak , J = Jantan 2 Pasir Putih Selatan 19 2A,3MJ,2MB,4DJ,2DB,2TB,4TJ M = Muda, B = Betina 3 Goa Rengganis 26 2A,6MJ,5MB,4DJ,4DB,3TB,2TJ D = Dewasa

4 Cihaur 16 2A,4MJ,3MB,2DJ,1DB,2TB,2TJ T = Jantan

Ukuran koloni monyet ekor panjang yang diamati rata-rata terdiri dari 26 ekor dan sebagian besar termasuk kelas umur muda dan anak dengan persentase jantan lebih banyak. Jumlah individu anggota tersebut lebih kecil daripada Rowe (1996) yaitu rata-rata sebesar 29 ekor dan Sularso (2004) yaitu rata-rata 39 ekor. Kemungkinan hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku, baik perilaku seksual (Engelhardt 2004), startegi makan (Purnama 1998), perilaku antipredator (van Schaik & van Noordwijk 1985), perilaku sosial (Mukhtar 1982, Watanabe et al. 1996, Ratna 2004) dimana dalam suatu koloni monyet ekor panjang terdapat strata sosial antar individu anggotanya.

(3)

Dengan perilaku satwaliar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan keadaan, baik dari dalam maupun dari luar (Tanudimadja 1978). Hal ini diperkuat pernyataan Bailey (1984) bahwa populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial.

Keberadaan individu tua jantan dalam satu koloni monyet ekor panjang berfungsi sebagai ketua koloni (alpha male) yaitu 1 individu, sedangkan individu tua jantan lainnya berfungsi sebagai subordinat alpha male. Dalam primata yang berkoloni peran alpha male paling dominan dalam semua aktivitas dibandingkan individu jantan lainnya.

Koloni Pasir Putih Utara dengan anggota terbanyak yaitu 44 individu mempunyai luas wilayah jelajah 8,13 ha. Aktivitas pengunjung banyak terjadi pada wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara dan Pasir Putih Selatan. Sebagian kebutuhan pakan koloni ini terpenuhi dari aktivitas pengunjung seperti pemberian pakan oleh pengunjung dan sampah. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku makan sehingga menjadi tidak tergantung lagi pada stok pakan alami. Oleh karena itu luas wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara terkecil diantara koloni lainnya, meskipun ukuran koloninya terbesar. Perubahan perilaku makan akibat aktivitas pengunjung berimbas pada luas wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Utara.

Koloni Pasir Putih Selatan beranggotakan 19 individu dan mempunyai wilayah jelajah terluas yaitu 20,48 ha. Aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni ini relatif kurang intensif dibandingkan dengan koloni Pasir Putih Utara, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan koloni Goa Cirengganis dan Cihaur. Mencermati ukuran populasi dan luas wilayah koloni ini diketahui bahwa intensitas pengunjung tidak begitu berpengaruh pada perilaku makannya, sehingga masih tergantung pada ketersediaan sumber pakan alami.

Berbeda dengan koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Utara dan Selatan, wilayah jelajah koloni Goa Cirengganis dan Cihaur intensitas pengunjung sangat kurang. Koloni Goa Cirengganis sekitar pukul 11.00 – 13.00 WIB hampir bisa

(4)

dipastikan selalu berada di sekitar Goa Cirengganis meskipun wilayah jelajah hariannya berubah-ubah. Hal ini terjadi karena “pengelola” Goa Cirengganis biasanya memberi pakan koloni ini. Oleh karena itu wilayah sekitar Goa Cirengganis merupakan daerah teritori koloni monyet ekor panjang ini.

Wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang Cihaur bebas dari pengaruh aktivitas pengunjung. Oleh karena itu koloni ini masih liar, perilaku tidak berubah dan tingkat ketergantungan pada sumber pakan alami masih sangat tinggi. Sebaran koloni dan wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP yang diamati disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang

Vegetasi yang terdapat pada wilayah jelajah monyet ekor panjang dianalisis dengan menggunakan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Analisis vegetasi pada wilayah jelajah menunjukkan bahwa jenis tumbuhan sumber pakan yang disukai monyet ekor panjang (Lampiran 17) seperti kikores Psychotria valentonic, kirinyuh

(5)

Eupashorium odoratum, harendong Melastoma polyantum, popohan Buchanania arborescens, jejerukan Acronychya laurifolia mempunyai kerapatan relatif tinggi. hasil analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

b. Lutung

Penggunaan ruang secara horizontal atau luas wilayah jelajah masing-masing koloni lutung di CAP disajikan pada Tabel 3. Rata-rata wilayah jelajah koloni lutung yang diamati yaitu 10,07 ha.

Tabel 3. Luas wilayah jelajah setiap koloni lutung di CAP

No Koloni luas (Ha) Jumlah individu (ekor)

1 Pasir Putih Utara 8,44 13

2 Pasir Putih Selatan 9,48 10

3 Goa Rengganis 16,09 24

4 Cihaur 6,28 10

Jumlah 40,29 57

Rata-rata 10,07 14

Luas wilayah jelajah tersebut lebih besar dibandingkan dengan wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2,78–6,67 ha atau rata-rata 3,46 ha (Husodo & Megantara 2002) dan sebesar 4,7–8,8 ha (Brotoisworo 1991 dan Megantara 1992). Namun apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah lutung di kawasan hutan jati Jawa Tengah sebesar 32-43 ha (Djuwantoko 1994) dan Rowe (1996) sebesar 13 ha maka luas wilayah jelajah lutung tersebut lebih kecil. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah monyet ekor panjang, luas wilayah jelajah lutung di CAP lebih kecil dan sesuai dengan hasil penelitian Rowe (1996). hasil tersebut juga berbeda dengan kepadatan populasi lutung di Taman Nasional Alas Purwo sebesar 50 ekor per km2 (Susetyo 2004). Berdasarkan data pembanding tersebut maka diduga kerapatan relatif dan frekuensi relatif tumbuhan sumber pakan lutung di CAP lebih rendah daripada wilayah TWA Pangandaran. Ukuran koloni lutung yang diamati berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.

(6)

Tabel 4. Ukuran populasi masing-masing koloni lutung

No Koloni

Jumlah individu (ekor)

Kelas umur dan jenis kelamin Keterangan 1 Pasir Putih Utara 13 1MB,2MJ,4DB,1DJ,4TB,1TJ A = Anak , J = Jantan 2 Pasir Putih Selatan 10 1MB,1MJ,6DB,1TB,1TJ M = Muda, B = Betina 3 Goa Rengganis 24 4A,6MB,3MJ,5DB,1DJ,4TB,1TJ D = Dewasa

4 Cihaur 10 1MJ,6DB,2TB,1TJ T = Jantan

Seperti halnya pada koloni monyet ekor panjang, intensitas aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni lutung Pasir Putih Utara dan Selatan tinggi. Pada wilayah jelajah koloni lutung Goa Cirengganis dan Cihaur aktivitas pengunjung relatif tidak ada. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hanya terdapat 1 ekor individu tua jantan yang bertindak sebagaialpha male namun juga terdapat individu jantan lain sebagai subordinatnya. Hal ini sesuai dengan Kool (1989) namun berbeda dengan Kartikasari (1982). Menurut Kartikasari (1982), dalam suatu koloni lutung hanya terdapat 1 ekor jantan. Pada koloni Goa Cirengganis yang merupakan koloni terbesar, jumlah anggota koloni adalah 24 ekor. Jumlah tersebut berbeda dengan Medway (1970) yang menyatakan bahwa individu anggota koloni lutung budeng antara 6 – 23 ekor. Jumlah anggota koloni tersebut lebih besar dari Rowe (1996) yaitu 13 ekor.

Mencermati data pada Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat bahwa ukuran koloni berpengaruh kuat pada luas wilayah jelajah dibandingkan pengaruh perilaku, kerapatan relatif dan frekuensi relatif tumbuhan sumber pakan. Intensitas aktivitas pengunjung yang tinggi, khususnya pada koloni Pasir Putih Utara, tidak merubah perilaku lutung terutama perilaku makan. Aktivitas pengunjung menyebabkan koloni ini relatif tidak begitu takut dengan kehadiran manusia dibandingkan dengan koloni lainnya.

Berbeda dengan monyet ekor panjang, lutung cenderung berada pada ketinggian dan sebagian besar pakannya berupa dedauan dan pucuk yang tersedia setiap saat tanpa mengenal musim. Oleh karena itu wilayah jelajah lutung pada umumnya lebih sempit daripada wilayah jelajah monyet ekor panjang.

(7)

Untuk mengetahui pengaruh vegetasi terhadap wilayah jelajah lutung maka dilakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung diambil dengan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi yang berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Tumbuhan sumber pakan yang disukai lutung (Lampiran 17) seperti V. pubescens, bayur Pterospermum javanicum, kiara beas Ficus sumatrana, kiandong Rhodamnia cinerea dan B. arborescens mempunyai kerapatan relatif tinggi. Hasil analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Sebaran koloni dan wilayah jelajah koloni lutung yang diamati disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta wilayah jelajah koloni lutung c. Derajat Asosiasi Penggunaan Ruang secara Horizontal

Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdaya oleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan (resemblance function) adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit contoh dalam kaitannya dengan

(8)

komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989).

Jumlah pohon yang digunakan untuk aktivitas monyet ekor panjang pada kawasan CAP yaitu sebanyak 581 batang yang terdiri dari 71 jenis, 10 jenis diantaranya hanya digunakan monyet ekor panjang. Jumlah pohon yang digunakan lutung beraktivitas yaitu sebanyak 773 batang yang terdiri dari 84 jenis, 23 jenis diantaranya hanya digunakan oleh lutung. Jumlah jenis pohon yang digunakan bersama adalah 61 jenis. Berdasarkan frekuensi penggunaan jenis pohon yang tersebar pada wilayah jelajah kedua primata tersebut maka diperoleh asosiasi interspesifik menurut Indeks Jaccard yaitu 0,96. Jumlah jenis pohon yang digunakan bersama antara monyet ekor panjang dengan lutung sangat besar, sehingga persaingan interspesifik diantara keduanya juga besar. Hal ini mengindikasikan adanya preferensi kedua primata ini terhadap jenis-jenis pohon tertentu. Indeks Jaccard dipilih karena tidak bias bahkan pada jumlah sampel kecil (n < 10) (Goodall 1973).

d. Tumpang Tindih Relung Penggunaan Ruang secara Horizontal

Besarnya tumpang tindih relung penggunaan ruang secara horizontal diperoleh dengan cara menampalkan wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan wilayah jelajah lutung. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung rata-rata sebesar 54,10% dengan rincian lengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung

No Daerah tumpang tindih luas

(ha)

Persentase (%) 1 Lutung – Monyet Pasir Putih Utara 5,42 65,39 2 Lutung – Monyet Pasir Putih Selatan 4,43 29,54 3 Lutung – Monyet Goa Rengganis 10,93 64,15

4 Lutung – Monyet Cihaur 2,31 38,75

5 Lutung Cihaur – Monyet Goa Rengganis 1,80 14,83 6 Lutung Pasir Putih Utara – Monyet Pasir Putih Selatan 0,54 3,76

Jumlah 25,43

Rata-rata tumpang tindih 54,10

Analisis tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung disajikan pada Gambar 7.

(9)

G am bar 7. Peta tum pang tindih w ilayah jelajah m onyet ekor panjang dengan lutung

Tumpang tindih terbesar terdapat pada koloni monyet ekor panjang Goa Cirengganis dengan koloni lutung Goa Cirengganis dan koloni lutung Cihaur yaitu sebesar 70,84%. Hal ini menunjukkan bahwa 12,73 ha dari 17,97 ha wilayah jelajah monyet ekor panjang Goa Cirengganis digunakan bersama dengan koloni lutung Goa Cirengganis dan lutung Cihaur. Dengan tingkat tumpang tindih wilayah jelajah tersebut maka amatlah sulit untuk membedakan pemisahan wilayah jelajah. Hal ini berbeda dengan Alikodra (1990) yang menyatakan bahwa pada hutan tropis basah terdapat pemisahan penggunaan ruang horizontal dan vertikal yang jelas antara monyet ekor panjang dengan lutung. Namun demikian, jarang sekali monyet ekor panjang dan lutung pada ruang dan waktu yang sama teramati memanfaatkan sumberdaya yang sama pula.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya segregasi relung pakan dan relung ruang diantara kedua primata ini. Segregasi relung terjadi sebagai akibat adanya kompetisi atau peningkatan efisiensi wilayah pencarian pakan dan perbedaan

(10)

bagian tumbuhan yang dimakan. Dalam kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut (Garcia & Arroyo 2005).

Analisis vegetasi pada area tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung diambil dengan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi yang berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Dari analisis vegetasi tersebut diperoleh data kerapatan relatif dan frekuensi relatif tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. hasil analisis vegetasi pada area tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung disajikan pada Lampiran 16. 2. Penggunaan Ruang secara Vertikal

Penggunaan ruang secara vertikal pada satwa yang berkohabitasi biasanya berupa pembagian strata tajuk dalam melakukan aktivitas (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Posisi ketinggian semua aktivitas monyet ekor panjang pada pohon baik sendiri maupun bersama lutung adalah 11,968 m. Data ini sesuai dengan Anwar et al. (1984) dimana posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon yaitu antara 10 – 20 m.

Posisi ketinggian semua aktivitas lutung pada pohon baik sendiri maupun bersama monyet ekor panjang adalah 12,821 m. Analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung dengan Independent-Samples T Test menunjukkan hasil berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig. 2_tailed 0,000 atau < a“(0,025). Analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung disajikan pada Lampiran 3. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penggunaan ruang secara vertikal antara monyet ekor panjang dengan lutung dalam beraktivitas.

Data stratifikasi vertikal aktivitas monyet ekor panjang dan lutung di CAP berguna untuk membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan strategi pengelolaan. Hal ini sesuai dengan Singh et al. (2000) yang menyatakan bahwa informasi tentang substrata pemanfaatan pakan, jenis pakan, aktivitas dan lain-lain dapat membantu dalam membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan strategi pengelolaan.

(11)

a. Monyet Ekor Panjang

Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari makan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur tangan/gangguan (Isbell 1991). Monyet ekor panjang adalah satwa teresterial dan analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas menunjukkan bahwa monyet ekor panjang cenderung menempati strata tajuk yang lebih rendah daripada lutung. Oleh karena itu aktivitas harian monyet ekor panjang banyak dilakukan pada atau dekat dengan permukaan tanah. Persentase aktivitas harian monyet ekor panjang pada permukaan tanah dengan di pohon berdasarkan waktu disajikan pada Gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas monyet ekor panjang. Posisi ketinggian aktivitas harian setiap koloni monyet ekor panjang yang diamati disajikan secara lengkap pada Gambar 9 sampai dengan Gambar 12. Koloni Cihaur memulai aktivitasnya antara pukul 5.20-5.46 WIB pada cuaca cerah dan berakhir pada pukul 18.10-18.21 WIB. Individu anggota koloni ini mulai beraktivitas di tanah pada pukul 7.26-10.35 WIB. Pada sela-sela aktivitas pada permukaan tanah, monyet ekor panjang juga melakukan aktivitas pada pohon. Koloni Ciahur ini tidak menggunakan pohon sarang yang sama setiap harinya.

(12)

Gambar 9. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Cihaur berdasarkan kelas umur

Aktivitas koloni Goa Cirengganis dimulai pada pukul 5.20-5.46 WIB saat cuaca cerah dan berakhir pada pukul 18.10-18.25 WIB. Aktivitas pada permukaan tanah dimulain pada pukul 7.27-10.26 WIB. Keunikan koloni ini yaitu pada sekitar pukul 11.00-13.00 WIB semua anggota koloni berkumpul dan beraktivitas di sekitar Goa Cirengganis. Perilaku ini berlangsung rutin setiap hari, meskipun wilayah jelajah harian yang digunakan berbeda-beda.

Gambar 10. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Goa Cirengganis berdasarkan kelas umur

(13)

Pada awal pengambilan data lapangan koloni ini menggunakan wilayah jelajah di sebelah utara Goa Cirengganis, sedangkan pada akhir pengambilan data lapangan koloni ini menggunakan wilayah jelajah di sebelah selatan Goa Cirengganis. Koloni ini tidak mempunyai pohon sarang yang tetap. Diduga perilaku ini merupakan strategi anti predator dan juga untuk mendekati keberadaan tumbuhan sumber pakan.

Gambar 11. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Utara berdasarkan kelas umur

Ukuran koloni monyet Pasir Putih Utara merupakan terbesar diantara koloni yang diamati, namun luas wilayah jelajahnya lebih kecil dibandingkan dengan koloni Pasir Putih Selatan dan Goa Cirengganis. Individu anggota koloni ini pada kondisi cuaca cerah memulai aktivitasnya antara pukul 5.20-5.26 WIB dan berakhir sekitar pukul 18.11-18.30 WIB. Aktivitas di tanah koloni Pasir Putih Utara ini dimulai antara pukul 6.17-8.46 WIB. Koloni ini selama pengambilan data lapangan berlangsung diketahui hanya menggunakan satu pohon sarang yaitu F. sumatrana, teramati sebanyak 2 kali melakukan aktivitas renang/mandi dan mempunyai wilayah jelajah harian tetap. Koloni Pasir Putih Utara ini paling banyak melakukan aktivitas di tanah dibandingkan dengan koloni monyet ekor panjang lainnya (Gambar 11).

(14)

Berbeda dengan koloni Pasir Putih Utara, koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Selatan mempunyai wilayah jelajah paling luas diantara koloni lain yang diamati yaitu 20,48 ha. Aktivitas individu anggota koloni ini pada kondisi cuaca cerah dimulai sekitar pukul 5.20-5.30 WIB dan pada kondisi cuaca mendung sekitar pukul 5.36-5.40 WIB. Aktivitas harian koloni ini berakhir antara pukul 18.10-18.45 WIB. Aktivitas pada permukaan tanah dimulai sekitar pukul 6.41-8.06 WIB. Berbeda dengan koloni tetangganya yaitu koloni Pasir Putih Utara, koloni ini selama pengambilan data lapangan tidak mempunyai pohon sarang yang tetap.

Gambar 12. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Selatan berdasarkan kelas umur

Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang masing-masing koloni disajikan pada Gambar 13. Intensitas penggunaan pohon dalam aktivitas monyet ekor panjang mencapai puncaknya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur dan pada sore hari menjelang tidur.

(15)

Gambar 13. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang berdasarkan koloni

Posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon baik sendiri maupun bersama lutung berdasarkan frekuensinya disajikan pada Tabel 6. Sebanyak 70,42% aktivitas monyet ekor panjang di pohon berada pada strata C yaitu ketinggian 4 -18 m dari permukaan tanah.

Tabel 6. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang pada pohon berdasarkan frekuensi

No Strata Tajuk

Monyet ekor panjang

Sendiri Bersama lutung Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

1 Strata A (>30 m) 0 0 0 0 2 Strata B (18 - 30 m) 238 16,73 24 1,69 3 Strata C (4 - 18 m) 831 58,40 171 12,02 4 Strata D (1 - 4 m) 89 6,25 58 4,08 5 Strata E (0 - 1) 5 0,35 7 0,49 Jumlah 1163 81,73 260 18,27

Posisi ketinggian monyet ekor panjang pada pohon seperti aktivitas berpindah, makan, istirahat dan sosial disajikan pada Tabel 7.

(16)

Tabel 7. Rata-rata posisi ketinggian setiap aktivitas monyet ekor panjang pada pohon

No Aktivitas Rata-rata Posisi Ketinggian (m) Selang ketinggian (m) 1 2 3 4 Berpindah Makan Istirahat Sosial 10, 98 12,54 12,23 10,63 0 - 30 1 - 30 1 - 30 0 - 30

Berdasarkan analisis statistik perbandingan rata-rata setiap aktivitas dengan menggunakan Independent- Samples T Test dengan a+=0,05 diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas makan monyet ekor panjang pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig.2-tailed 0,000 atau < a+(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 4. Posisi ketinggian monyet ekor panjang dalam melakukan aktivitas berpindah berbeda dengan posisi ketinggian pada saat makan. Sebagian besar aktivitas berpindah antar pohon pada monyet ekor panjang berada lebih rendah dibandingkan dibandingkan dengan posisi makan.

2. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas istirahat monyet ekor panjang pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig.2-tailed 0,007 atau < a (0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 5. Aktivitas istirahat monyet ekor panjang pada pohon berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berpindah.

3. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas sosial monyet ekor panjang pada pohon tidak berbeda nyata atau H0 diterima dengan Sig.2-tailed 0,530 atau > aI (0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 6. Sebagian besar aktivitas sosial monyet ekor panjang dilakukan pada cabang pohon yang rendah, biasanya pada pangkal cabang. Kondisi ini berkaitan dengan unsur keamanan dan kenyamanan dalam melakukan aktivitas sosial.

4. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan aktivitas istirahat monyet ekor panjang pada pohon tidak berbeda nyata atau H0 diterima dengan Sig.2-tailed 0,552 atau > aU(0,025). Analisis disajikan pada

(17)

Lampiran 7. Pada umumnya aktivitas istirahat dilakukan di sela-sela aktivitas makan, sehingga posisi ketinggian satwa cenderung tidak berubah

5. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan aktivitas sosial monyet ekor panjang pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig.2-tailed 0,002 atau < a« (0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 8. Aktivitas makan banyak dilakukan pada ujung tajuk, sedangkan aktivitas sosial dilakukan pada cabang atau pangkal cabang. Data tersebut menunjukkan bahwa posisi ketinggian aktivitas makan dengan sosial berbeda.

6. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan aktivitas sosial monyet ekor panjang pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig.2-tailed 0,012 atau < aH(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 9. Gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya disebut perilaku. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002).

Gambar 14. Aktivitas sosial monyet ekor panjang

Gambar 15. Lutung istirahat

Pengetahuan tentang perilaku penting dalam pengelolaan satwaliar yang berkoeksitensi. Pada kasus monyet ekor panjang dan lutung di CAP, monyet ekor

(18)

panjang lebih agresif dibandingkan lutung. Lutung cenderung menghindar dari monyet ekor panjang apabila terjadi tumpang tindih ruang, waktu dan sumberdaya secara bersamaan meskipun kondisi tersebut jarang sekali ditemui.

Perilaku yang diamati yaitu aktivitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon. Aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Selanjutnya, aktivitas istirahat meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social self-grooming, kawin, bermain, berkelahi, belajar berkelahi dan belajar kawin.

Gambar 16. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang

Persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang meliputi berpindah 26,51%, makan 29,47 %, istirahat 26,67 % dan sosial 17,34 %, data tersebut berbeda dengan Ratna (2004) bahwa aktivitas berpindah yaitu 25,99%, makan 24,63%, istirahat 27,76% dan sosial 21,61%. Hasil tersebut juga berbeda dengan Callithrix geoffroyi di Brazil bahwa persentase waktu aktivitas istirahat yaitu 29%, makan 34,7%, berpindah 20,4%, sosial 13% dan lain-lain 2,9% (Passamani 1998).

(19)

Gambar 17. Monyet minum air sungai Gambar 18. Monyet menggendong anak

Gambar 19. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin

Semakin muda kelas umur maka aktivitas makan hariannya semakin besar. Hal ini sesuai dengan penelitian Hashimoto (1991) bahwa ukuran tubuh kecil dan kurangnya kemampuan makan menyebabkan aktivitas makan kelas umur anak tidak secepat kelas umur dewasa. Persentase aktivitas berpindah tertinggi yaitu pada individu dewasa jantan (DJ) yaitu 34 %. Individu DJ merupakansubordinat sehingga harus bersaing dengan alpha male terutama dalam aktivitas seksual (sosial). Oleh karena itu persentase waktu aktivitas sosial individu DJ terendah daripada kelas umur lainnya (Gambar 19).

(20)

a. Lutung

Menurut Lekagul & McNeely (1977) lutung adalah satwa arboreal yang beraktivitas pada siang hari. Sebagai satwa arboreal lutung melakukan semua aktivitasnya di pohon, namun hal ini tidak berlaku pada populasi lutung di CAP.

Gambar 20. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas lutung

Lutung di CAP acap kali terlihat beraktivitas pada permukaan tanah, terutama untuk aktivitas makan, berpindah dan istirahat meskipun dalam satuan waktu yang tidak lama. Berdasarkan waktu perbandingan aktivitas harian lutung pada permukaan tanah dengan pada pohon adalah 0,41% berbanding 99,59%, seperti yang disajikan pada Gambar 20.

Aktivitas makan lutung pada permukaan tanah dilakukan karena merasa aman dan keberadaan sumber pakan. Sumber pakan lutung tersebut antara lain P. valentonic, paku hata Lygodium circinatum dan serangga (semut dan rayap).

(21)

Gambar 21. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Cihaur berdasarkan kelas umur

Ketinggian aktivitas harian individunya sebagian besar dilakukan pada ketinggian sekitar 10 m dari permukaan tanah dan relatif seragam. Akan tetapi individu dewasa betina (DB) pernah terlihat makanP. valentonic pada permukaan tanah. Ketinggian aktivitas individu anggota koloni Cihaur antara 2,5 – 32m.

Gambar 22. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Goa Cirengganis berdasarkan kelas umur

(22)

Berbeda dengan koloni lutung Cihaur, koloni Goa Cirengganis yang merupakan koloni terbesar diantara koloni lainnya, aktivitas masing-masing kelas umur pada ketinggian yang beragam (Gambar 22). Ketinggian aktivitas harian koloni Goa Cirengganis antara 2,5 -27 m. Kemungkinan hal ini disebabkan karena ukuran koloni yang besar sehingga terjadi persaingan intespesifik dalam berbagai aktivitas. Hal tersebut berhubungan dengan strata sosial dan ukuran tubuh individu anggotanya seperti yang diungkapkan Shelleyet al. (2004) bahwa ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya. Namun demikian ukuran tubuh juga menjadi kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak (Julien-Laferriere 1999).

Gambar 23. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Pasir Putih Utara berdasarkan kelas umur

Ketinggian aktivitas koloni lutung Pasir Putih Utara yaitu antara 6 – 24 m. Aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni ini tinggi namun hal itu tidak begitu berpengaruh pada perilaku, terutama perilaku makan. Posisi ketinggian aktivitas koloni lutung Pasir Putih Selatan yaitu antara 7 – 24 m, seperti disajikan pada Gambar 24. Dalam melakukan aktivitas hariannya semua kelas umur pada koloni ini selalu berada pada ketinggian diatas 7 m.

(23)

Gambar 24. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Pasir Putih Selatan berdasarkan kelas umur

Gambar 25. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung berdasarkan koloni

Ketinggian aktivitas harian lutung masing-masing koloni maksimal yaitu 29 m (kelas umur tua pada koloni Cihaur) dan terendah yaitu 2,5 m (kelas umur dewasa koloni Cihaur dan koloni Goa Cirengganis). Perbedaan posisi ketinggian aktivitas antar koloni baik monyet ekor panjang maupun lutung ini karena penyebaran dan kelimpahan sumber pakan. Weathley (1974) menyatakan bahwa

(24)

prinsip penting perilaku satwa berhubungan dengan penyebaran dan kelimpahan sumber pakan.

Posisi ketinggian aktivitas harian setiap koloni lutung yang disajikan pada Gambar 25 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ketinggian aktivitas pada pagi hari dengan sore hari menjelang tidur. Hal ini terjadi karena keempat koloni tersebut tidak pernah menggunakan pohon sarang yang tetap dan tidur secara menyebar (tidak berkumpul dalam satu pohon sarang).

Ketinggian aktivitas harian lutung pada pohon baik sendiri maupun bersama dengan monyet ekor panjang berdasarkan frekuensinya disajikan pada Tabel 8. Tabel tersebut menunjukkan bahwa strata C merupakan strata tajuk yang paling sering digunakan untuk beraktivitas lutung baik sendiri maupun bersama moyet ekor panjang.

Tabel 8. Posisi ketinggian aktivitas harian lutung pada pohon berdasarkan frekuensi.

No Strata Tajuk

Lutung

Sendiri Bersama monyet Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

1 Strata A (>30 m) 3 0,32 4 0,32 2 Strata B (18 - 30 m) 162 10,33 71 4,53 3 Strata C (4 - 18 m) 1077 68,64 179 11,41 4 Strata D (1 - 4 m) 61 3,89 6 0,38 5 Strata E (0 - 1) 6 0,38 0 0 Jumlah 1309 83,56 260 16,63

Berdasarkan jenis aktivitasnya, posisi ketinggian aktivitas harian lutung dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu berpindah, makan, istirahat dan sosial. Posisi ketinggian lutung berdasarkan jenis aktivitasnya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata posisi ketinggian setiap aktivitas lutung pada pohon

No Aktivitas Rata-rata posisi ketinggian (m) Selang ketinggian (m) 1 2 3 4 Berpindah Makan Istirahat Sosial 11,29 13,71 12,76 13,09 2 - 33 1 - 34 0 - 33 0 - 26

(25)

Analisis statistik perbandingan rata-rata setiap aktivitas lutung dengan menggunakanIndependent- Samples T Test dengan aB= 0,05 yaitu :

1. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas makan lutung pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig. 2-tailed 0,000 atau < aQ(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 10. Posisi ketinggian lutung saat berpindah berbeda dengan posisi ketinggian saat makan. Rata-rata ketinggian aktivitas makan lebih tinggi daripada aktivitas berpindah. Kebanyakan aktivitas makan dilakukan pada ujung tajuk sebagai akibat keberadaan sumber pakan lutung yang mayoritas berupa daun muda dan pucuk.

2. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas istirahat lutung pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig. 2-tailed 0,000 atau < aH(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 11. Perbedaan rata-rata ketinggian aktivitas berpindah dan istirahat ini karena pada saat berpindah lutung sering menggunakan sisi tajuk yang terdekat dengan dengan pohon tujuan dan kebanyakan bukan bagian puncak tajuk pohon. Aktivitas istirahat lutung lebih sering menggunakan pangkal cabang atau cabang yang relatif datar dan teduh.

3. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas berpindah dengan aktivitas sosial lutung pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig. 2-tailed 0,001 atau < aî (0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 12. Posisi ketinggian aktivitas berpindah lebih rendah daripada aktivitas sosial. 4. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan aktivitas istirahat

lutung pada pohon berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig. 2-tailed 0,013 atau < a„(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 13.Pada saat beraktivitas aktivitas makan, lutung jarang terlihat beristirahat. Kondisi tersebut terjadi karena waktu istirahat dan makan individu anggota koloni lutung lebih teratur dan seragam.

5. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan aktivitas sosial lutung pada pohon tidak berbeda nyata atau H0 diterima dengan Sig. 2-tailed 0,275 atau > a (0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 14. Lutung terlihat melakukan aktivitas sosial setelah aktivitas makan selesai.

(26)

Aktivitas sosial lutung jarang terjadi dan frekuensinya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan monyet ekor panjang.

6. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan aktivitas sosial lutung pada pohon tidak berbeda nyata atau H0 diterima dengan Sig. 2-tailed 0,551 atau > aQ(0,025). Analisis disajikan pada Lampiran 15. Aktivitas sosial dilakukan pada saat lutung mulai atau sesudah istirahat. Aktivitas istirahat pada lutung mayoritas dihabiskan untuk tidur. Frekuensi aktivitas istirahat lutung dalam sehari yaitu antara 2-3 kali.

Aktivitas lutung didominasi aktivitas makan dan istirahat. Pada umumnya aktivitas istirahat lutung yaitu tidur dengan frekuensi 2-3 kali dalam sehari dengan lama istirahat (tidur) berkisar 1-2 jam. Kondisi tersebut kemungkinan dipengaruhi proses fermentasi pakan pada lambung lutung.

Gambar 26. Lutung makan daun kopeng

Gambar 27. Lutung istirahat

Menurut Kool (1993), pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak. Buah-buahan dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Berdasarkan Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) bahwa kadar tanin berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Supriatna & Hendras (2000) terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan lutung sering

(27)

buang air besar dan buang air kecil serta banyak beristirahat (tidur). Hal ini didukung oleh Kay (1984) bahwa satwa bertubuh kecil yang membutuhkan energi tinggi cenderung lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa bertubuh besar yang tidak memerlukan energi tinggi cenderung memakan dedaunan. Persentase alokasi waktu aktivitas harian lutung disajikan pada Gambar 28 berikut ini.

Gambar 28. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung

Seperti halnya pada primata lain yaitu Callithrix geoffroyi (Passamani 1998), aktivitas harian lutung diawali dengan aktivitas makan. Aktivitas selanjutnya yaitu istirahat yang biasanya terjadi sekitar pukul 07.00-09.00 WIB. Aktivitas sosial dilakukan sebelum atau sesudah aktivitas istirahat. Aktivitas berpindah, lutung melakukannya secara efektif dan efisien. Pergerakan lutung dilakukan dari tumbuhan sumber pakan ke tumbuhan sumber pakan lain sehingga lutung jarang terlihat berpindah dengan jarak yang jauh. Oleh karena itu luas wilayah jelajah harian lutung lebih sempit dibandingkan luas wilayah jelajah harian monyet ekor panjang.

Aktivitas individu anggota koloni lutung lebih kompak dan seragam (Gambar 29) dibandingkan monyet ekor panjang (Gambar 17). Pada lutung peranan alpha male lebih dominan dibandingkan pada monyet ekor panjang. Alpha male lutung bertugas memberi tanda bahaya (alarming), memanggil apabila ada anggota yang tertinggal, memberi tanda waktu istirahat atau makan dan mengawal individu betina yang menggendong anak yang baru lahir.

(28)

Gambar 29. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin

Gambar 30. Pengasuhan bersama anak lutung

Pada koloni lutung terdapat perilaku pengasuhan bersama oleh semua individu betina pada anak yang baru lahir. Menurut Kool (1989), anak lutung yang baru lahir diasuh secara bergantian oleh individu-individu betina yang ada dalam koloni selain juga oleh betina induknya sampai berumur 3 hari. Namun penelitian ini megidentifikasi bahwa pengasuhan bersama akan berakhir apabila anak sudah dapat berpegangan sendiri pada pengasuhnya. Ciri-ciri anak lutung yang sudah dapat berpegangan sendiri yaitu apabila individu pengasuh berpindah secara quadropedal sambil menggendong. Selama pengasuhan bersama

(29)

berlangsung individu betina yang menggendong anak selalu didampingi individu jantan tua (JT). Semakin tua umur anak, frekuensi pergantian pengasuhan semakin berkurang dan menyebabkan rata-rata waktu pergantian bertambah. Frekuensi dan lama pengasuhan bersama disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengasuhan bersama anak lutung dalam koloni

No

Umur (hari)

Frekuensi pergantian

Rata-rata waktu pergantian (menit)

1 2 62 12

2 3 45 15

3 4 21 32

b. Derajat Asosiasi Penggunaan Ruang secara Vertikal

Berdasarkan ketinggian strata tajuk yang digunakan, frekuensi posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada saat sendiri dan bersama dapat dibedakan menjadi 5 strata, seperti yang disajikan pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Persentase posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada strata tajuk berdasarkan frekuensi

No Strata Tajuk Monyet Lutung Sendiri (%) Bersama Lutung (%) Sendiri (%) Bersama Monyet (%) 1 Strata A (>30 m) 0 0 0.19 0.25 2 Strata B (18 - 30 m) 16,73 1,69 10,33 4,53 3 Strata C (4 - 18 m) 58,40 12,02 68,64 11,41 4 Strata D (1 - 4 m) 6,25 4,08 3,89 0,38 5 Strata E (0 - 1) 0,35 0,49 0,38 0 Jumlah 81,73 18,27 83,43 16,57

Pada saat sendiri maupun bersama monyet ekor panjang tidak sampai pada strata A sedangkan lutung dalam beraktivitas baik sendiri maupun bersama monyet ekor panjang sampai pada strata A. Strata E ditempati monyet ekor panjang dalam beraktivitas sendiri maupun bersama lutung. Hal ini sesuai dengan perilaku monyet ekor panjang yang teresterial. Pada lain pihak, strata E ditempati lutung pada saat beraktivitas sendiri, sedangkan pada saat bersamaan dengan

(30)

monyet ekor panjang, lutung menghindar/berpindah ke strata yang lebih tinggi atau berpindah ke pohon lain.

Berdasarkan frekuensinya diketahui bahwa asosiasi interspesifik penggunaan ruang secara vertikal oleh monyet ekor panjang dengan lutung menurut Indeks Jaccard sebesar 0,09. Hal ini berarti bahwa persaingan interspesifik penggunaan ruang secara vertikal antara monyet ekor panjang dengan lutung di CAP sangatlah kecil. Penelitian lain pada burung menunjukkan bahwa sebesar 55,8% waktu aktivitasCyanoramphus malherbi dan sebesar 61,5% waktu aktivitas Cyanoramphus auriceps berada pada strata tajuk yang sama yaitu pada 20% strata tajuk atas (Kearvellet al. 2002)

Pengamatan posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung baik sendiri maupun bersamaan ini dilakukan pada 1354 batang pohon dimana 77 batang diantaranya digunakan secara bersama. Mencermati data di atas keberadaan monyet ekor panjang pada strata B pada saat sendiri (16,73 %) lebih besar daripada saat bersama lutung (1,69%). Artinya bahwa kejadian tersebut hanya menyelingi dan bersifat temporal seperti halnya ketika lutung menempati strata E. Hal ini sesuai dengan penelitian Singh et al. (2000) yang menunjukkan bahwa keberadaan monyet ekor singa pada substrata tajuk yang lebih rendah (termasuk aktivitas makan) merupakan aktivitas selingan ketika lutung Nilgiri tidak ada dan didukung hasil penelitian Porter (2001) di Bolivia Utara yang menyatakan bahwaCallimico goeldii dan Saguinus fuscicollis selalu menghindari Saguinus labiatus. Kondisi tersebut memperkuat hasil penelitian Burton & Chan (1996) yang menyatakan bahwa suatu spesies dapat membentuk asosiasi interspesifik dalam menyelingi/mengisi kekosongan asosiasi spesies dalam sebuah komunitas tanpa terjadi interaksi secara fisik atau asosiasi polyspesifik antar dua spesies yang berinteraksi sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa jarang sekali monyet ekor panjang berkoeksistensi dimana menggunakan ruang, waktu dan sumberdaya yang sama. Seperti halnya hasil penelitian Singh et al. (2000) dan Porter (2001) pada primata lain yang berkohabitasi, pada CAP lutung cenderung menghindari konfrontasi dengan monyet ekor panjang.

(31)

Dari 646,17 jam pengamatan monyet ekor panjang dan lutung di lapangan hanya dijumpai 3 kali berkoeksistensi, yaitu terjadi pada koloni Goa Cirengganis, Pasir Putih Utara dan Pasir Putih Selatan. Pada koloni Goa Cirengganis kedua primata ini ditemukan berkoeksistensi pada pohon kiara keboFicus sp. selama 53 menit. Koloni Pasir Putih Utara ditemukan berkoeksistensi pada pohon F. sumatrana selama 14 menit dan koloni Pasir Putih Selatan ditemukan berkoeksistensi pada pohon beringin Ficus benyamina selama 8 menit. Dibandingkan dengan total waktu pengamatan maka diketahui bahwa koeksistensi monyet ekor panjang dengan lutung hanya 0,19%. Monyet ekor panjang dan lutung ditemukan berkoeksistensi pada sebuah pohon terjadi pada pagi hari, pada pohon yang berdimensi besar dan merupakan tumbuhan sumber pakan bersama. Akan tetapi agresivitas monyet ekor panjang menyebabkan lutung cenderung menghindar baik secara vertikal maupun horizontal. Pada kasus koeksistensi kedua primata ini, lutung menghindar ke strata tajuk yang lebih tinggi.

c. Tumpang Tindih Relung Penggunaan Ruang secara Vertikal

Hasil analisis frekuensi posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada pohon bersama (77 batang) maka diperoleh persentase tumpang tindih relung penggunaan ruang secara vertikal sebesar 17,38% dan dengan Indeks Morisita sebesar 0,58. hasil tersebut berarti bahwa terjadi tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal antara monyet ekor panjang dengan lutung sebesar 0,58 dengan frekuensi tumpang tindih 17,38%. Analisis tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal dapat dilihat pada Lampiran 17.

Monyet ekor panjang cenderung beraktivitas dekat atau pada permukaan tanah sedangkan lutung cenderung berada pada strata tajuk lebih tinggi. Beberapa penelitian terakhir mengindikasikan bahwa spesies primata yang berkohabitasi membagi relungnya pada kanopi atau tajuk pohon dengan pemisahan menurut strata (MacKinnon & MacKinnon 1980). Ungar (1995) menyatakan bahwa pada monyet ekor panjang, gibbon kepala putih, orang utan dan lutung Thomas yang berkohabitasi, pemisahan relung terjadi karena preferensi jenis pakan dan posisi ketinggian aktivitas makan.

(32)

3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

Pengamatan pada pohon yang digunakan untuk beraktivitas monyet ekor panjang dan lutung, baik digunakan sendiri maupun digunakan bersama mendapatkan data peubah pohon terukur. hasil pengamatan peubah pohon terukur disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Rata-rata peubah pohon yang dipergunakan monyet ekor panjang dan lutung

No Jenis Satwa

Rata-rata Peubah Pohon TP (m) DBH (cm) TBC (m) DT (m) TT (m) 1 Monyet ekor panjang 13,527 33,509 4,933 7,234 6,103

2 Lutung 15,885 40,977 6,234 8,189 6,912

3 Bersama 18,376 63,169 5,714 12,870 9,143

Rata-rata semua peubah pohon terukur yang digunakan lutung lebih besar daripada monyet ekor panjang. hasil tersebut mengindikasikan bahwa monyet ekor panjang cenderung menggunakan pohon yang dimensinya lebih kecil dari pohon yang digunakan lutung. Pada pohon yang digunakan bersama hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua peubah pohon terukurnya lebih besar dari rata-rata peubah pohon yang digunakan monyet ekor panjang maupun lutung. Selain dimensinya yang besar, biasanya pohon ini juga merupakan tumbuhan sumber pakan dan digunakan sebagai sarang/tempat tidur kedua satwa tersebut, seperti jenis Ficus spp. Persentase peubah pohon tidak terukur yang digunakan monyet ekor panjang dan lutung seperti bentuk tajuk dan keberadaan pakan disajikan pada Tabel 13.

Persentase peubah bentuk tajuk yang digunakan monyet ekor panjang dan lutung kebanyakan adalah irregular (tidak beraturan) yaitu > 40%. Hal ini wajar terjadi karena penelitian ini dilakukan pada hutan alam, dimana terjadi persaingan antar tumbuhan. Bentuk tajuk asli suatu pohon akan muncul bila pohon tersebut dominan dalam persaingan.

(33)

Tabel 13. Persentase bentuk tajuk dan keberadaan pakan pohon yang digunakan antara monyet ekor panjang dengan lutung

No Jenis Satwa

Bentuk Tajuk (%) Keberadaan Pakan(%) Round Vase Piramidal Oval Weeping Irregular Tidak

ada Ada

1 Monyet 11 20 4 24 1 40 37 63

2 Lutung 14 20 6 12 3 45 24 76

3 Bersama 25 34 5 6 7 23 4 96

Kemudian untuk peubah keberadaan pakan, persentase pohon non pakan yang digunakan monyet ekor panjang lebih besar daripada yang digunakan lutung. Hal ini karena monyet ekor panjang lebih agresif daripada lutung, sehingga tidak semua pohon yang digunakan terdapat pakan/tumbuhan sumber pakan. Data tersebut juga mengindikasikan bahwa lutung sangat selektif dalam menggunakan pohon, yaitu hanya pada pohon-pohon yang sumber pakan saja.

Gambar 31. Pohon kiara digunakan lutung bersama monyet ekor panjang

Gambar 32. Pohon kipapeteh digunakan lutung bersama monyet ekor panjang

Keberadaan pakan pada pohon yang digunakan bersama sangat besar yaitu 96%. Bentuk tajukvase (34 %) adalah persentase terbesar pohon yang digunakan bersama, disusulround, irregular, weeping, oval dan piramidal. Jenis pohon yang digunakan bersama kedua primata tersebut antara lain jenis Ficus spp., kipapeteh Celtis philippensi, V. pubescens dan hantap heulang Sterculia macrophylla.

(34)

B. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan a. Monyet Ekor Panjang

Jenis tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung yang teridentifikasi yaitu 97 jenis yang mana 27 jenis dimanfaatkan monyet ekor panjang saja dan 48 jenis dimanfaatkan bersama (Lampiran 18). Dari 75 jenis tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang tersebut jenis yang sering dimanfaatkan yaitu F. sumatrana, B. arborescens, A. laurifolia dan H. peltata. Tumbuhan sumber pakan perdu dan semak yang sering dimanfaatkan yaitu P. valentonic, M. polyantum, E. odoratum dan C. javanica (Lampiran 19).

Untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan sumber pakan maka dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang. Kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang disajikan secara lengkap pada Lampiran 1.

Pada vegetasi tingkat semai, KR tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang seperti rukemFlacourtia rukam 17,57 batang/ha, ipis kulit Decaspermum fruticosum 11,49 batang/ha, kiandong Rhodamnia cinerea 4,05 batang/ha, kibeusi Memecylon oleaefolium 4,05 batang/ha, jejerukan A. laurifolia 3,38 batang/ha dan huru manuk (Litsea mappaceae) 2,03 batang/ha.

FR tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang seperti F. rukam 9,38 batang/plot, R. cinerea 8,33 batang/plot, D. fruticosum 7,29 batang/plot, M. oleaefolium 5,21 batang/plot, A. laurifolia 3,13 batang/plot dan L. mappaceae) 2,08 batang/plot.

(35)

Pada vegetasi tingkat pancang, KR tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang sepertiR. cinerea yaitu 25,97 batang/ha, E. chasembila 10,39 batang/ha, A. laurifolia 10,39 batang/ha, D. cauliflora 5,59 batang/ha dan F. rukam 3,90 batang/ha.

Untuk FR pada vegetasi tingkat pancang tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang seperti R. cinerea yaitu 15,22 batang/plot, E. chasembila 10,87 batang/plot, A. laurifolia 10,87 batang/plot, F. rukam 6,52 batang/plot dan D. cauliflora 4,35 batang/plot. KR dan FR vegetasi tingkat semai dan pancang tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang berguna untuk mengetahui ketersediaan pakan. Hal ini berkaitan dengan perilaku teresterial monyet ekor panjang, keberadaan pakan yang dekat atau pada permukaan tanah selain disuplai dari anakan pohon juga diperoleh dari perdu, semak dan liana. hasil analisis vegetasi perdu, semak dan liana disajikan pada Lampiran 25.

Pada analisis vegetasi tingkat tiang diketahui bahwa KR tumbuhan pakan monyet ekor panjang seperti R. Cinerea yaitu 31,43 batang/ha, F. rukam 17,14 batang/ha, B. arborescens 8,57 batang/ha, D. fruticosum 2,86 batang/ha dan C. philippensi 2,86 batang/ha.

FR vegetasi tingkat tiang menunjukkan bahwa tumbuhan pakan monyet ekor panjang sepertiR. cinerea sebesar 23,08 batang/plot, F. rukam 19,23 batang/ plot, B. arborescens 11,54 batang/plot, D. fruticosum 3,85 batang/plot dan C. philippensi 3,85 batang/plot.

Pada analisis vegetasi tingkat pohon, KR tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang seperti V. pubescens yaitu 29,41 batang/ha, C. formosum 9,41 batang/ha, B. arborescens 9,41 batang/ha, D. fruticosum 7,06 batang/ha, L. mappaceae 3,53 batang/ha, A. laurifolia dan ceuri Garcinia dioica.

FR vegetasi tingkat pohon tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang seperti V. pubescens yaitu 18,52 batang/plot, C. formosum 11,11 batang/plot, B. arborescens 9,26 batang/plot, D. fruticosum 9,26 batang/plot, L. mappaceae 5,56 batang/plot.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa KR dan FR tumbuhan sumber pakan pada wilayah jelajahnya termasuk tinggi. Hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara luas wilayah jelajah dengan KR dan FR tumbuhan sumber

(36)

pakan. Walker (1996) dan Lindburg (1980) menyebutkan bahwa dasar penggunaan habitat oleh primata tergantung pada besarnya stok pakan, penyebaran pakan, serta interval pergantian musim berbuah. Pada wilayah jelajah yang tumbuhan sumber pakannya sedang berbunga atau berbuah akan sering dikunjungi oleh koloni monyet ekor panjang. Oleh karena itu wilayah jelajah harian dan musiman menjadi berubah-ubah.

Gambar 35. Monyet makan bunga dan buah laban

Gambar 36. Buah jejerukan Mencermati data luas wilayah jelajah, ukuran koloni dan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang maka diketahui bahwa perubahan perilaku lebih berpengaruh dibandingkan ukuran koloni, KR dan FR tumbuhan sumber pakan terhadap luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP, terutama pada koloni yang aktivitas pengunjungnya tinggi.

b. Lutung

Jenis tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung yang teridentifikasi yaitu 97 jenis yang mana 22 jenis dimanfaatkan lutung saja dan 48 jenis dimanfaatkan bersama (Lampiran 18). Dari 70 jenis tumbuhan sumber pakan lutung tersebut jenis yang sering dimanfaatkan yaitu V. pubescens, F. veriegata, F. sumatrana, S. macrophylla dan P. javanicum (Lampiran 19).

Untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan sumber pakan maka dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung. hasil analisis vegetasi tentang KR dan FR vegetasi disajikan secara lengkap pada Lampiran 2.

KR vegetasi tingkat semai tumbuhan sumber pakan lutung seperti jejebugan Sterculia urceolata yaitu 35,76 batang/ha, L. mappaceae 8,94 batang/ha, P.

(37)

javanicum 4,30 batang/ha, R. cinerea 3,97 batang/ha dan carelang Pterospermum diversifolium 3,97 batang/ha.

Analisis vegetasi tingkat semai menunjukkan bahwa FR tumbuhan sumber pakan lutung seperti L. mappaceae yaitu 5,88 batang/plot, P. javanicum 5,88 batang/plot, R. cinerea 5,88 batang/plot, B. javanica 4,71 batang/ha dan S. urceolata 4,71 batang/plot.

Pada analisis vegetasi tingkat pancang diperoleh hasil bahwa KR tumbuhan sumber pakan lutung seperti B. javanica yaitu 9,80 batang/ha, R. cinerea 7,84 batang/ha,C. philippensi 5,88 batang/ha, D. caulostachyum 5,88 batang/ha dan P. diversifolium sebesar 5,88 batang /Ha.

Hasil analisis vegetasi tingkat pancang menunjukkan bahwa FR tumbuhan sumber pakan lutung seperti B. javanica yaitu 6,67 batang/plot, R. Cinerea 6,67 batang/plot, C. philippensi 6,67 batang/plot, D. caulostachyum 6,67 batang/plot danP. diversifolium sebesar 6,67 batang/plot.

Analisis vegetasi pada tumbuhan tingkat semai dan pancang perlu dilakukan karena di CAP meskipun lutung adalah arboreal namun acap kali terlihat beraktivitas pada permukaan tanah. Hal ini terjadi karena koridor antar tajuk terlalu jauh atau lutung merasa aman dari predator dan gangguan. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi aktivitas gerak satwaliar yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer yaitu dorongan bergerak untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu makan, minum dan aktivitas seksual, sedangkan faktor sekunder yaitu modifikasi pergerakan karena pengaruh lapangan, resiko predator atau pesaing dan resiko terkena penyakit (Schaik, Amoregen & Mouton 1985).

Pada vegetasi tingkat tiang diperoleh hasil bahwa KR tumbuhan sumber pakan lutung seperti B. javanica yaitu 29,79 batang/ha, C. philippensi 10,64 batang/ha, D. caulostachyum 10,64 batang/ha, B. arborescens 6,38 batang/ha dan R. cinerea 4,26 batang/ha.

Analisis vegetasi tingkat tiang menunjukkan bahwa FR tumbuhan sumber pakan lutung seperti B. javanica yaitu 21,62 batang/plot, C. philippensi 10,81 batang/plot, B. arborescens 8,11 batang/plot, D. caulostachyum 5,41 batang/plot danR. cinerea 5,41 batang/plot.

(38)

Gambar 37. Aktivitas berpindah dan istirahat lutung di tanah

Analisis vegetasi tingkat pohon menunjukkan bahwa KR tumbuhan sumber pakan lutung seperti V. pubescens sebesar 16,09 batang/ha, D. caulostachyum 13,79 batang/ha, R. cinerea 6,90 batang/ha, manggis hutan Garcinia lateriflora 6,90 batang/ha danD. fruticosum 4,60 batang/ha.

Pada analisis vegetasi tingkat pohon menunjukkan bahwa FR tumbuhan sumber pakan lutung seperti V. pubescens sebesar 16,00 batang/plot, D. caulostachyum 10,00 batang/plot, D. fruticosum 8,00 batang/plot, R. cinerea 6,00 batang/plot dan manggis hutanG. lateriflora 6,90 batang/plot.

Berdasarkan pembahasan data luas wilayah jelajah, ukuran koloni dan analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung diketahui bahwa luas wilayah jelajah lutung di CAP lebih dipengaruhi oleh ukuran koloni, KR dan FR tumbuhan sumber pakan daripada oleh perubahan perilaku lutung.

(39)

c. Derajat Asosiasi Jenis Tumbuhan Sumber Pakan

Hasil pengamatan lapangan menemukan 97 jenis tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dengan lutung. Dari 97 jenis tumbuhan sumber pakan tersebut 27 jenis diantaranya hanya dimakan monyet ekor panjang dan 22 jenis hanya dimakan lutung dan 48 jenis dimakan oleh keduanya. Sayangnya tidak ditemukan data pembanding pada kohabitasi primata lainnya. Namun jumlah tersebut masih lebih banyak apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Kearvell et al. (2002) pada burung dimana dari 90% frekuensi pengamatan jenis tumbuhan sumber pakanC. malherbi dan C. auriceps terdiri dari 4 jenis tumbuhan sumber pakan bersama. Berdasarkan data pembanding tersebut maka persaingan interspesifik monyet ekor panjang dengan lutung terhadap sumber pakan relatif lebih rendah karena adanya preferensi dan perbedaan bagian yang dimakan pada jenis tumbuhan sumber pakan bersama (Lampiran 19).

Gambar 39. Daun dan pucuk kondang Gambar 40. Buah kimokla

Tabel 14. Derajat asosiasi jenis pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung

No Jenis Satwa

Bagian yang dimakan Jenis pakan

Indeks Jaccard Batang Pucuk Daun Bunga Buah

1 monyet 6 25 12 10 59 27 0,49

2 lutung 1 49 27 10 40 22

3 keduanya 0 19 8 4 30 48

Hasil analisis asosiasi jenis tumbuhan sumber pakan antara lutung dengan monyet ekor panjang berdasarkan Indeks Jaccard yaitu sebesar 0,49. hasil tersebut menunjukkan bahwa persaingan interspesifik tumbuhan sumber pakan antara

(40)

kedua primata tersebut sedang. Daftar pakan monyet ekor panjang dan lutung dapat dilihat pada Lampiran 18.

d. Kesamaan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan

Daftar pakan monyet ekor panjang dengan lutung seperti yang disajikan pada Lampiran 18 dan perhitungan kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan (Lampiran 19) menunjukkan bahwa persentase kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan sebesar 48,45 % dan berdasarkan Indeks Morisita yaitu 0,47. Data tersebut berarti bahwa 48,45% tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang juga merupakan tumbuhan sumber pakan lutung. Sayangnya tidak ditemukan data pembanding penelitian sejenis, namun pada burung C. malherbi dan C. auriceps ditemukan kesamaan jenis sumber pakan sebesar 90% (Kearvell et al. 2002). Penelitian lain pada karnivora menunjukkan bahwa Sarcophilus laniarius jantan dan Dasyurus maculates jantan saat musim panas menunjukkan bahwa indeks tumpang tindih pakan sebesar 0,20 pada indeks normal (normalized index/B)(Jones & Barmuta 1998) serta pada C. cyaneus dan C. pygargus sebesar 55% sampai 95% pada indeks tumpang tindih simetris (symmetrical overlap index/Ov)(Garcia & Arroyo 2005).

Berdasarkan kesamaan tumbuhan sumber pakan tersebut maka diperlukan pengelolaan tumbuhan sumber pakan bersama antara monyet ekor panjang dengan lutung secara menyeluruh. Pengelolaan tumbuhan sumber pakan bersama secara menyeluruh lebih menguntungkan daripada pengelolaan tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung secara parsial. Keuntungan tersebut antara lain meningkatkan konservasi sumberdaya, mengurangi biaya pengelolaan dan pengelolaan akan lebih terfokus pada satwa yang berkohabitasi serta dapat memberikan keuntungan lebih pada kegiatan konservasi (Forsythet al. 2000).

Analisis vegetasi yang dilakukan pada daerah tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung disajikan secara lengkap pada Lampiran 16. hasil analisis vegetasi tingkat semai menunjukkan bahwa KR dan FR tumbuhan sumber pakan bersama antara monyet ekor panjang dan lutung termasuk tinggi. KR tumbuhan sumber pakan bersama seperti P. javanicum yaitu 10,91 batang/ha, D. caulostachyum 4,72 batang/ha dan P. diversifolium 3,54

(41)

batang/ha sedangkan frekuensi relatifnya berturut-turut sebesar 6,45 batang/plot, 4,03 batang/plot dan 1,61 batang/plot.

Adanya perbedaan penggunaan ruang secara vertikal antara monyet ekor panjang dengan lutung menyebabkan keberadaan tumbuhan sumber pakan yang dekat atau berada pada permukaan tanah seperti perdu, semak dan liana menjadi sangat penting. Contoh tumbuhan sumber pakan bersama jenis perdu dan liana yaituP. valentonic, L. circinatum dan areuy kilaleur Milletia sericae.

Pada vegetasi tingkat pancang menunjukkan KR jenis-jenis tumbuhan sumber pakan bersama seperti D. caulostachyum sebesar 20,75 batang/ha, B. javanica 11,32 batang/ha dan E. chasembila 3,77 batang/ha dengan FR-nya berturut-turut 14,29 batang/plot, 8,57 batang/plot dan 5,71 batang/plot.

Analisis vegetasi tingkat tiang mengidentifikasi KR tumbuhan sumber pakan bersama seperti B. javanica yaitu sebesar 25,81 batang/ha, D. caulostachyum 16,13 batang/ha, D. amorroides 6,45 batang/ha, C. philippensi 6,45 batang/ha dan P. javanicum 3,23 batang/ha dengan frekuensi relatifnya berturut-turut sebesar 21,74 batang/plot, 8,70 batang/plot, 8,70 batang/plot, 8,70 batang/plot dan 4,35 batang/plot.

Untuk tingkat pohon diperoleh KR tumbuhan sumber pakan bersama seperti D. caulostachyum 15,28 batang/ha, T. grandis yaitu 13,89 batang/ha, D. amorroides 12,50 batang/ha, P. javanicum 9,72 batang/ha dan B. javanica 5,56 batang/ha.

Selanjutnya, pada analisis vegetasi tingkat pohon diperoleh bahwa FR tumbuhan sumber pakan bersama seperti D. amorroides yaitu sebesar 13,33 batang/plot,D. caulostachyum 11,11 batang/plot, P. javanicum 11,11 batang/plot, T. grandis 6,67 batang/plot dan V. pubescens 6,67 batang/plot.

Perbedaan penggunaan ruang secara vertikal, perbedaan bagian tumbuhan pakan yang di makan dan perbedaan agresivitas perilaku diantara kedua primata tersebut menunjukkan adanya segregasi relung (Garcia & Arroyo 2005). Pemisahan relung tersebut mengakibatkan persaingan interspesifik antara monyet ekor panjang dengan lutung di CAP tidak begitu berpengaruh pada populasi. Pada CAP terjadi eksploitasi jenis tumbuhan sumber pakan tertentu oleh kedua primata tersebut (Lampiran 19), sehingga diperlukan penelitian tentang pengaruh

(42)

persaingan eksploitasi sumberdaya oleh spesies yang berkohabitasi karena data tersebut masih sangat sedikit (Connell 1981). Informasi tersebut sangat penting untuk mendesain strategi pembinaan habitat dan pengelolaan kawasan konservasi seperti pada CA dan TWA Pangandaran. Jenis-jenis tumbuhan yang menjadi tumbuhan sumber pakan bersama tersebut harus diperkaya kerapatan dan frekuensinya dengan mempertimbangkan besarnya konsumsi pakan, ukuran populasi, sebaran koloni dan wilayah jelajah serta preferensi pakan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya dukung kawasan dan mengurangi jumlah pohon-pohon yang tertekan akibat eksploitasi yang berlebihan (Gambar 41 dan Gambar 42).

Gambar 41. Pohon ketapang tertekan Gambar 42. Pohon kopeng tertekan

Untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung juga dilakukan analisis vegetasi pada daerah yang bukan wilayah jelajah monyet ekor panjang dan lutung. Penentuan daerah tersebut berdasarkan pengamatan langsung, informasi petugas BBKSDA Jawa Barat, dan informasi masyarakat.

Pengumpulan data analisis vegetasi dilakukan pada 3 (tiga) lokasi yang berbeda dengan setiap lokasi dibuat 5 (lima) plot pengamatan. Hasil analisis vegetasi pada daerah yang bukan wilayah jelajah monyet ekor panjang dan lutung disajikan pada Lampiran 20. Hasil analisis vegetasi pada daerah ini tidak begitu berbeda dengan hasil analisis vegetasi pada wilayah jelajh lutung, monyet atau daerah tumpang tindih. Faktor yang membedakan daerah ini adalah jaraknya terhadap sumber air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa

(43)

habitat monyet ekor panjang (Crockett & Wilson 1977) dan lutung (Napier & Napier 1977) adalah daerah riparian.

Dengan menggabungkan keempat hasil analisis vegetasi (analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang, pada wilayah jelajah lutung, pada daerah tumpang tindih wilayah jelajah dan daerah yang bukan wilayah jelajah keduanya) maka diperoleh potensi tumbuhan sumber pakan kedua primata tersebut di seluruh kawasan CAP. hasil analisis vegetasi seluruh kawasan CAP disajikan secara lengkap pada Lampiran 21 s.d. Lampiran 25.

Jenis tumbuhan sumber pakan yang sering dimanfaatkan monyet ekor panjang yaitu F. sumatrana, P. valentonic, M. polyantum, E. odoratum dan B. arborescens. Kerapatan relatif (KR) P. valentonic 17,81 batang/ha, M. polyantum 2,73 batang/ha dan E. odoratum 4,91 batang/ha. Jenis perdu dan semak sering dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang, hal ini berhubungan dengan perilaku teresterial. Alokasi waktu monyet ekor panjang beraktivitas pada permukaan tanah yaitu sebesar 46,97%. Untuk B. arborescens, meskipun pada tingkat semai dan pancang kerapatan relatifnya rendah namun pada tingkat tiang dan pohon termasuk dalam sepuluh besar tumbuhan dengan KR tertinggi. Demikian halnya F. sumatrana, kerapatan relatifnya juga rendah namun pada umumnya jenis ini adalah tumbuhan dominan dengan tajuk yang besar.

Pada lutung, jenis tumbuhan sumber pakan yang sering dimanfaatkan yaitu V. pubescens, F. veriegata, F. sumatrana, S. macrophylla dan P. javanicum. Pada analisis vegetasi tingkat pohon, kelima jenis tumbuhan sumber pakan lutung tersebut mempunyai KR rendah kecuali V. pubescens yaitu 16,24 batang/ha. Kelima tumbuhan sumber pakan tersebut mempunyai lebih dari satu bagian yang sering dimakan lutung.

Mencermati jenis tumbuhan sumber pakan yang sering dimanfaatkan monyet ekor panjang dan lutung (Lampiran 19) dan hasil analisis vegetasi seluruh kawasan CAP (Lampiran 21 s.d Lampiran 25) maka diketahui bahwa potensi tumbuhan sumber pakan masih tinggi. Namun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang daya dukung kawasan CAP terhadap kedua primata yang berkohabitasi ini.

(44)

Berdasarkan penggunaan ruang dan pemanfaatan jenis tumbuhan pakan diketahui bahwa wilayah jelajah monyet ekor panjang lebih besar daripada lutung. Menurut Lekagul & Mc Neely (1977) monyet ekor panjang memakan buah– buahan, biji–bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska. Urutan sumber pakan monyet ekor panjang dari yang terbesar yaitu buah (86%), daun, bunga insekta, jamur dan lumpur (Wheatley 1974, Yeager 1976). Jadi, meskipun monyet ekor panjang lebih omnivora daripada lutung (Lekagul & Mc Neely 1977) namun preferensi pakan dan agresivitasnya menyebabkan wilayah jelajahnya menjadi besar. Hal ini karena buah-buahan tidak tersedia sepanjang tahun atau bersifat musiman.

Preferensi pakan juga berpengaruh pada luas wilayah jelajah lutung. Jenis pakan lutung di CAP teridentifikasi sebanyak 70 jenis tumbuhan sumber pakan yang terdiri dari 0,8% batang, 38,5% pucuk, 21,3 daun, 7,9% bunga dan 31,5% buah. Data ini berbeda dengan penelitian Supriatna & Hendras (2000) bahwa jenis pakan lutung terdiri dari 66 jenis tumbuhan, 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Menurut Kool (1993) preferensi pakan lutung dari yang terbesar yaitu dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga. Konsumsi buah-buahan oleh lutung hanya sebesar 27–37% yang terdiri dari 5– 27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak. Oleh karena itu wilayah jelajah lutung lebih sempit daripada monyet ekor panjang karena dedaunan tersedia sepanjang tahun dan tidak mengenal musim.

Gambar

Tabel 1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP
Gambar 5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang
Tabel 3. Luas wilayah jelajah setiap koloni lutung di CAP
Tabel 4. Ukuran populasi masing-masing koloni lutung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah pengaruh penurunan aktivitas ALP pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian

i. &amp;azimnya, istilah sol digunakan untuk menyatakan sistem koloid yang terbentuk dari fase terdispersi berupa zat padat di dalam medium pendispersi berupa zat 'air

pendukung kehidupan bayi anda (plasenta, rahim, membrane, cairan dan pasokan darah ibu) bertumbuh selama kehamilan, berkembang sesuai yang dibutuhkan untuk memenuhi

Berdasarkan hasil pemahaman karakter peralatan dan metode analisis di atas, maka dibuat sistem perangkat lunak alat alat surface area meter, dimana sistem perangkat

Apakah ada sumur pencemar lain pada radius 10 m disekitar sumur, misalnya kotoran hewan, sampah, genangan air, dll.. Apakah saluran pembuangan air limbah

Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila

KODE SERI Nama Produk Lebar pagar (cm) Tinggi (cm) H... KODE SERI NAMA PRODUK Lebar Pagar (cm) Tinggi

The act of running the Program is not restricted, and the output from the Program is covered only if its contents constitute a work based on the Program (independent of having