• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Saat globalisasi dan pasar bebas mulai merambah Indonesia, terjadilah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Saat globalisasi dan pasar bebas mulai merambah Indonesia, terjadilah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat globalisasi dan pasar bebas mulai merambah Indonesia, terjadilah persaingan ekonomi dan teknologi untuk menjadi yang terbaik. Hal ini terutama terlihat jelas di bidang industri dan jasa. Kebutuhan akan tenaga kerja professional berkualitas semakin signifikan seiring dengan persaingan yang makin ketat dan mengglobal.

Globalisasi juga memusatkan perhatian pada perbedaan-perbedaan antara orang dari Negara-negara berbeda. Organsiasi harus mampu menempuh suatu usaha untuk meleburkan perbedaan-perbedaan, dengan mengandaikan orang yang memiliki kebudayaan berbeda secara otomatis ingin berasimilasi. Namun harus diakui juga bahwa manusia tidak mengesampingkan nilai budaya dan pilihan gaya hidup saat bekerja. Maka merupakan suatu tantangan bagi organisasi untuk lebih bsia mengakomodir perbedaan dengan mengajukan gaya hidup, kebutuhan keluarga dan gaya kerja yang berbeda

Perubahan situasi dunia yang mengalami perubahan ke ekonomi global, membuat organisasi saat ini mempunyai tantangan untuk mengadopsi budaya organisasi yang tidak hanya harus fleksibel, tetapi juga harus sensitive terhadap

(2)

berbagai perbedaan budaya yang dihadapi oleh anggota organisasi baik di dalam dan antar masyarakat.

Kondisi ini membuat setiap organisasi berupaya keras untuk mencapai target yang mereka patok. Untuk mencapai target-target tersebut, berbagai macam cara diupayakan, salah satunya dnegan merekrut profesional-profesional handal sesuai dengan kebutuhan organisasi. Hal ini termasuk profesional lokal dan ekspatriat. Hal ini memungkinkan tenaga kerja asing untuk ikut bersaing dalam kompetisi penerimaan tenaga kerja

Justifikasi yang sering dikemukakan dalam memperkerjakan tenaga kerja asing adalah karena mereka dinilai mempunyai keterampilan dan ilmu pengetahuan yang cenderung lebih maju dan diharapan dapat melakukan transfer pengetahuan kepada pegawai lokal. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa posisi tenaga kerja asing biasanya menduduki tingkat top level management atau memimpin karyawan pribumi dalam suatu tipe pekerjaan.

Memimpin meliputi kegiatan mengarahkan, mempengaruhi dan memotivasi karyawan untuk melaksanakan tugas yang dapat menggerakan organisasi kearah sasaran yang telah dirumuskan sebagai tujuan yang harus dicapai. Namun kenyataan lain yang harus dipertimbangkan adalah adanya pencampuran kebudayaan antara karyawan lokal dengan tenaga kerja asing. Melihat dan memahami dunia dari sudut pandang lain menjadi syarat mutlak bagi organiasi. Hal ini memuat organisasi harus siap berhadapan dengan

(3)

keanekaragaman dalam organisasi dan memanfaatkan kapasitas dari seluruh karyawan untuk mencapai tujuan organisasi

Usaha untuk mewujudkan kerja sama antar anggota dalam suatu organiasi yang mempunyai latar belakang pegawai dari berbagai macam budaya tidaklah mudah karena seiring dengan itu, terjadi pula pertemuan individu dari berbagai latar belakang budaya. Dalam konteks sebuah pertemuan budaya terjadilah pertemuan sistem orientasi yang berbeda, sesuatu semuala sangat dikenal menjadi berubah arti atau bahkan tidak dikenali sama sekali sehingga respon individu menjadi tidak efektif untuk lingkungannya. Akibatnya konflik dan friksi antar individu lebih mudah terjadi.

Menurut Adler (2002) permasalahan yang muncul dalam kelompok kerja multinasional biasanya terkait dengan komunikasi (salah paham, akurasi peran rendah, dsb), perspesi sosial (stereotipe, distrust, dsb) dan meningkatnya ketegangan kelompok. Namun jika permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik, kelompok kerja multinasional memiliki sebuah kekuatan strategis.

Hal serupa juga dikatakan oleh Cox (1994), dimana jika diatur secara benar, kelompok atau organisasi yang memiliki anggota berbeda budaya memiliki keuntungan lebih jika dibandingkan dengan kelompok atau organisasi yang hanya beranggotakan satu budaya tertentu. Organisasi akan mendapatkan keuntungan yang berasal dari keragaman dan proses bertemunya kedua budaya (synergistic), seperti meningkatnya fleksibilitas dan keterbukaan terhadap hal

(4)

baru atau berasal dari budaya tertentu (culture-specific) seperti meningkatnya kemampuan untuk lebih mengerti suatu budaya tertentu, termasuk juga meningkatnya kreatifitas dan kemampuan problem solving.

Adanya pertemuan antara variabel kepemimpinan, ekpatriat dan budaya organisasi membuat peneliti ingin melihat pembauran dari kepempinan seorang ekspatriat yang notabene bekerja di Indonesia dengan mayoritas karyawan berkebangsaan Indonesia dan sudah memupuk budaya Indonesia sejak lahir, sehingga melahirkan budaya organisasi yang diadopsi untuk mencapai tujuan organisasi

Untuk menggali hal tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif. Moh. Nazir (2005) berpendapat metode deskriptif dapat dilakukan dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa masa sekarang dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deksripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian diatas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Sejauhmana budaya asing yang dibawa oleh pekerja ekspatriat memiliki pengaruh terhadap lingkungan kerja pegawai lokal?

(5)

2. Sejauhmana pembauran antara budaya yang dipengaruhi oleh kepemimpin ekpatriat dengan karyawan local dalam membentuk suatu budaya organiasi?

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih terarah, terfokus dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Masalah yang dipilih untuk diteliti oleh penuli adalah hubungan antara kepemimpinan ekspatriat dengan budaya organisasi di tempat yang dipimpinnya.

Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada menfokuskan kepada pembatasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari:

1. Hubungan dimensi budaya antara kepemimpinan ekpatriat dengan karyawan lokal

2. Hubungan antara kepemimpinan ekpatriat dengan budaya organisasi yang dibangunnya

Selanjutnya untuk lebih memperdalam penelitian, dipilih dua variable yang relevan dengan permasalahan pokok, yaitu kepemimpinan ekspatriat sebagai variable bebas (X), dan budaya organisasi sebagai variable terikat (Y). Penulis juga membatasai responden pada penelitian ini hanya pada karyawan tetap IHPCP-AusAID yang berada di wilayah kerja DKI Jakarta. Serta analisis dilakukan dengan metode

(6)

D. Tujuan dan Kegunaan penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk mengetahui apakah kepemimpinan ekspatriat mempunyai pengaruh terhadap budaya organisasi di lembaga donor IHPCP.

Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui nilai kepemimpinan yang diterapkan di lembaga donor IHPCP

2. Untuk mengetahui karakteristik budaya organisasi yang berkembang di lembaga donor IHPCP

3. Untuk mengatahui sejauh mana budaya organisasi membawa pengaruh positif dalam mencapai tujuan organisasi

Sedangkan bila dilihat dari sisi kegunaannya, melalui hasil dari kuesioner yang menjadi bagian dari penelitian ini akan didapat data yang bisa dijadikan acuan dalam menilai hasil yang didapat dari budaya organisasi yang terinduksi oleh gaya kepemimpinan orang asing, sehingga dapat dijadikan pembanding untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Penelitian ini juga diharapkan bisa digunakan sebagai rujukan oleh organisasi lain yang mempunyai karyawan multikultural sehingga dapat dijadikan salah satu acuan dalam mengembangkan budaya organsasinya.

(7)

E. Kerangka Pemikiran

Sejalan dengan itu globalisasi turut berperan dalam mengakomodir pekerja dari luar negeri untuk bekerja di Indonesia. Pekerja asing atau ekspatriat, menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Gitamedia Pres, 2005) memiliki arti: tindakan meninggalkan negara atau tanah air untuk selamanya karena berdiam di negara lain. Ekspatriat dinilai mempunyai wawasan yang lebih luas dan up to date untuk kemajuan organisasi, maka jabatan yang diberikan senantiasa berada di tingkatan top manager atau pimpinan organisasi. Setiap Negara memiliki ciri khas dan karakter budaya masing-masing. Perbedaan tersebut dapat menjadi sumber yang menguntungkan bagi organisasi dengan dukungan dari lingkungan kerja.

Schneider (2003) berpendapat bahwa peran pimpinan organisasi adalah memilah dan mengevaluasi mana budaya lokal atau budaya Negara lain yang sesuai dan dapat berkontribusi untuk kemajuan organisasi. Ini juga berarti seorang pemimpin harus mampu memahami bagaimana karyawan dari budaya yang berbeda memandang dan menterjemahkan tindakan mereka. Pengertian kepemimpinan sendiri menurut menurutVeitzal Rivai (2003) adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dapat disimpulkan bahwa ekpatriat sebagai pimpinan organisasi akan bekerja sama dengan karyawan lokal yang akan dipimpinnya. Proses kerja sama dan mempengaruhi ini menjadi bagian dari proses kepemimpinan.

(8)

Dimensi kebudayaan kepemimpinan ekspatriat dengan budaya lokal karyawan perlu dibedakan untuk mengetahui karakteristik masing-masing negara. Acuan yang sering digunakan dalam penelitian lintas budaya mengenai kepemimpinan adalah hasil penelitian Hofstede (1994). Edisi revisi dikeluarkan pada tahun 2005 oleh penerbit New York: McGraw-Hill. Hasil penggabungan dari kedua penelitian tersebut di tahun 1994, didapat pengelompokan empat dimensi utama dalam mengatasi perbedaan budaya di tempat kerja: Jarak kekuasaan (power distance), Individualisme dan kolektivisme, Kesetaraan gender (masculinity vs feminism) dan Peghindaran ketidakpastian (Uncertainty Avoidance). Definisi dari dimensi budaya Hofstede adalah:

a. Jarak kekuasaan

Batasan di mana orang menerima perbedaan dalam kekuasaan dan status antar diri mereka sendiri. Pemimpin memiliki kewenangan lebih banyak, berhak atas hak dan keistimewaan khusus, sulit diakses dan tidak diharapkan untuk berbagi kekuasaan dengan bawahan.

b. Individualisme

Batasan dimana kebutuhan dan kewenangan perorangan lebih penting dibandingkan kebutuhan kolektif dari unit kerja atau masyarakat.

c. Penghindaran ketidakpastian

Batasan di mana orang merasa nyaman dengan situasi ambigu dan ketidakmampuan untuk memprediksi peristiwa mendatang.

(9)

d. Maskulinitas vs Feminitas

Batasan di mana terdapat pembagian peran jender yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini juga memperlihatkan bahwa suatu Negara dapat memiliki sisi jender yang dominan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.

Bedasarkan penelitian tersebut, didapatlah perbandingan dimensi budaya antara Negara Australia tempat pimpinan organisasi berasal dengan Negara Indonesia tempat kepemimpinan tersebut diterapkan.

Table 1.1

Perbandingan dimensi budaya menurut Hofstede

Sumber: penelitian dimensi budaya Hofstede

Menurut Sondang P. Siagian (2004), pemahaman budaya nasional oleh para manajer internasional mutlak karena:

a. Mempunyai implikasi yang sangat luas dalam menciptakan, menumbuhkan dan memelihara budaya organisasi

b. Menghindari kebiasaan menjatuhkan vonis yang mengatakan bahwa suatu budaya nasional tertentu baik atau tidak baik dengan menggunakan takaran yang berlaku di negara asalnya, sebab baik buruknya suatu budaya ditentukan oleh penerimaan berbagai elemen budaya dimaksud oleh karyawan yang menganutnya

(10)

c. Membantu penyesuaian yang dituntut oleh lingkungan tempat mereka bekerja sehingga akan terbentuk interaksi yang berjalan mulus

Diketahui bahwa kepemimpinan bisa membentuk budaya organisasi, Pengertian budaya organisasi sendiri adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan. Djokosantosa Moeljono-2004 mengemukakan bahwa budaya organisasi juga dapat berfungsi sebagai sistem perekat sehingga dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan). Menurut Victor Tan (2002) organisasi yang memiliki budaya organisasi akan memiliki karakteristi-karakteristik yang diterapkan dan disepakati oleh karyawannya, yaitu: inisiatif Individu, toleransi terhadap resiko, arah organisasi, integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem imbalan, toleransi terhadap konflik, dan pola komunikasi

Berdasarkan teori diatas, maka didapat kerangka berpikir mengenai hubungan kepemimpinan ekspatriat dengan budaya organisasi (gambar 1.1)

(11)

Gambar 1.1

Model Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu teknik untuk menekan populasi dari serangga hama kutu putih adalah melalui penggunaan perangkap sintetis dengan menggunakan chery glue.. Penggunaan perangkap sintetis

Ia berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dari kegiatan sosial masyarakat, tidak hanya itu saja sebagai sistem

Untuk mendapatkan model terbaik yang dapat diterakan pada kasus jumlah kematian ibu dan jumlah kematian bayi di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan melakukan

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan peneliti lain atau akademisi dalam bidang manajemen sumber daya manusia terutama yang

Mampu menerapkan penguasaan konsep-konsep biologi dan ilmu pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran biologi dalam bahasa Indonesia dan atau salah satu bahasa

Untuk membantu anak dalam bersosialisasi, program bimbingan dan konseling di sekolah dasar sebaiknya memasukan kegiatan permainan kelompok, hasil penelitian Landreth

Hal itu menunjukkan bahwa cerita-cerita misteri pada majalah bobo lebih condong pada cerita mistik yang membahas tentang ketakutan, kegelisahan, kecemasan yang

Berdasarkan penuturan dari bapak Mailul bahwa kendala-kendala yang menghambat kelancaran proses penyelenggaraan program layanan bimbingan konseling Islam ialah