• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Anak Jalanan

UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai those who have abandoned their home, school, and immediate communities before they are sixteen yeas of age have drifted into a nomadic street life (anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah). Anak jalanan merupakan anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial, 2005).

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Penampilan anak jalanan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, dan sampah masyarakat yang harus diasingkan (Arief, 2002).

Pusdatin Kesos Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Zulfadli (2004) menjelaskan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan di jalanan atau di tempat-tempat umum, dengan usia antara 6 sampai 21 tahun yang melakukan kegiatan di jalan atau di tempat umum seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, dan lain-lain.Kegiatan yang dilakukan dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum. Anak jalananan merupakan anak yang berkeliaran dan tidak jelas kegiatannya dengan status pendidikan masih sekolah dan ada pula

(2)

yang tidak bersekolah. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Berdasarkan intensitasnya di jalanan, anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama (Depdiknas, 2002), yaitu:

1. Chidren of the street

Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun kereta api, emperan toko dan kolong jembatan.

2. Children on the street

Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak teratur yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik.

3. Vulberable children to be street children

Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih sekolah dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal) dengan orang tuanya.

Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta menjual sapu atau lap kaca mobil.

2. Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek.

3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain.

4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2008) memaparkan bahwa pola kerja anak jalanan dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk strategi bertahan hidup yaitu bertahan hidup kompleks, sedang dan sederhana. Sebagian besar anak

(3)

jalanan memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang dengan jenis pekerjaan pengamen.

Menurut Sanusi sebagaimana dikutip Yudi (2006), latar belakang anak turun ke jalan secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kondisi ekonomi keluarga

Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan keluarga di mana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dari anggota keluarganya sehingga dengan terpaksa ataupun sukarela mencari penghidupan di jalan untuk membantu orangtua. 2. Konflik dengan/antar orangtua

Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar orangtua (disharmoni keluarga) menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan. 3. Mencari pengalaman

Tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan mencari pengalaman untuk memperoleh penghasilan sendiri. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Jakarta yang pergi ke Jakarta untuk mencari pengalaman baru dan kehidupan baru yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka tidak datang bersama orangtua, melainkan saudara atau teman sebaya.Hal ini berhubungan dengan motivasi untuk bekerja.

Menurut Suhartini (2008) karakter anak jalanan dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan alasan anak turun ke jalan. Usia anak jalanan berusia 13 sampai 18 tahun. Sebagian besar anak jalanan adalah laki-laki dengan jenis pekerjaan sebagai pengamen. Alasan anak turun ke jalan sangat bervariasi, sebagian dari mereka turun ke jalan karena kesulitan ekonomi dan sebagian lagi untuk tambahan uang saku dan rekreasi. Sebagian besar anak jalanan hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), diantara SD dan SMP tersebut ada yang tidak tamat sekolah. Pada kategori pekerjaan, mayoritas anak jalanan adalah pengamen.

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Menurut Zulfadli (2004) keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anaknya, atau ayah

(4)

dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keluarga berkaitan erat dengan perginya anak ke jalanan.

Pada anak jalanan, salah satu permasalahan yang dihadapi mereka adalah telah bergesernya fungsi keluarga, salah satu contohnya fungsi ayah sebagai pencari nafkah yang digantikan oleh anak-anak mereka. Orang tua sangat mempengaruhi keputusan anak dalam rangka mencari nafkah. Dukungan ini dapat berupa dukungan langsung maupun tidak langsung. Dukungan ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang meminta uang „setoran‟ pada anak jalanan. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang serba kekurangan mendorong anak jalanan untuk mendapatkan penghasilan lebih. Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat dilihat salah satunya melalui pekerjaan orang tua (Purwaningsih, 2003). Selain itu, berdasarkan penelitian Suhartini (2008) tingkat ekonomi keluarga anak jalanan dapat dilihat dari jumlah penghasilan orangtua anak jalanan.

Hartini dkk. sebagaimana dikutip oleh Pramuchtia (2008) menyatakan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang dialami anak jalanan dibagi ke dalam empat jenis, yaitu:

1. Kekerasan ekonomi

Kekerasan ekonomi cenderung dilakukan oleh anak jalanan laki-laki yang lebih tua darinya dan atau oleh aparat keamanan. Secara tidak langsung kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh orang tua mereka. Kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri dapat berupa pemaksaan terhadap anak-anaknya yang masih di bawah usia untuk ikut serta memberi sumbangan secara ekonomi bagi keluarga. Kekerasan orang tua biasanya dilakukan dengan memarahi anak mereka jika beristirahat atau harus cepat-cepat berlari mendekati mobil apabila lampu merah menyala agar mendapat uang lebih banyak.

Kekerasan ekonomi juga dilakukan oleh aparat yang sering dilakukan cakupan pada anak jalanan. Cakupan dilakukan oleh petugas keamanan seperti Polisi Kotamadya (maksud Satpol PP) dan Hansip. Penangkapan yang dilakukan oleh petugas sebagai wujud pemerintah kota untuk menjaga ketertiban dan salah satu solusi yan dapat menyelesaikan permasalahan kota besar, sebaliknya justru dianggap sebagai tindak kekerasan ekonomi dan psikis bagi anak jalanan karena jika mereka sampai tertangkap, anak jalanan akan dimintai uang. Jika tidak diberi

(5)

uang, anak jalanan tersebut diancam akan dimasukkan ke tempat penampungan-penampungan yang ada di daerah tersebut.

2. Kekerasan psikis

Bentuk kekerasan ini adalah berupa ancaman tidak diperbolehkan beroperasi/mengamen/mengemis di tempat tertentu, dimaki-maki dengan kata kasar sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam. Kekerasan psikis yang dilakukan baik oleh sesama anak jalanan atau aparat, cenderung memberikan dampak yang sangat traumatik.

3. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang sangat mudah diketahui dengan melihat akibat yang ditimbulkan. Kekerasan fisik ini biasanya berupa tamparan, tendangan, gigitan, benturan dengan benda keras, sampai luka akibat terkena senjata tajam.

4. Kekerasan seksual

Kekerasa seksual merupakan bentuk pelecehan seksual yang dialami anak jalanan mulai yang sangat sederhana seperti mencolek pantat, pegang-pegang payudara sampai diajak ke tempat-tempat yang biasa digunakan untuk melakukan hubungan seksual (losmen atau hotel-hotel kecil). Kekerasan seksual yang sering terjadi pada anak jalanan perempuan di Surabaya lebih sering dilakukan pada anak jalanan perempuan yang telah menginjak remaja (12 tahun ke atas).

Marliana (2006) membagi kekerasan ke dalam dua kategori yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Emotional abuse dan verbal ebuse dapat dikategorikan sebagai kekerasan non-fisik yang dapat berakibat pada psikis anak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan anak. Sedangkan physical abuse dan sexual abuse dapat dikategorikan sebagai kekerasa fisik yang berakibat pada jasmani anak. Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan dalam penelitiannya tegolong dalam kategori rendah. Bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan antara lain diejek teman, dimarahi teman karena melewati batas wilayah, dipaksa teman untuk menuruti kata-katanya, dipukul orang tua karena tidak memberi uang, digebukin teman karena melanggar wilayah kerja, dihajar preman karena tidak membayar uang keamanan dan pelecehan seksual.

(6)

2.1.2 Model Penanganan Anak Jalanan

Departemen Sosial sebagaimana dikutip Krismiyarsi dkk (2004) menjelaskan bahwa penanganan anak jalanan dilakukan dengan metode dan teknik pemberian pelayanan yang meliputi:

1. Street based

Street based merupakan pendekatan di jalanan untuk menjangkau dan mendampingi anak di jalanan. Tujuannya yaitu mengenal, mendampingi anak, mempertahankan relasi dan komunikasi, dari melakukan kegiatan seperti: konseling, diskusi, permainan, literacy dan lain-lain. Pendampingan di jalanan terus dilakukan untuk memantau anak binaan dan mengenal anak jalanan yang baru. Street based berorientasi pada menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan membekali mereka nilai-nilai dan wawasan positif.

2. Community based

Community based adalah pendekatan yang melibatkan keluarga dan masyarakat tempat tinggal anak jalanan. Pemberdayaan keluarga dan sosialisasi masyarakat, dilaksanakan dengan pendekatan ini yang bertujuan mencegah anak turun ke jalanan dan mendorong penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak. Community based mengarah pada upaya membangkitkan kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi anggota keluarga dan masyarakat dalam mengatasi anak jalanan.

3. Bimbingan sosial

Metode bimbingan sosial untuk membentuk kembali sikap dan perilaku anak jalanan sesuai dengan norma, melalui penjelasan dan pembentukan kembali nilai bagi anak, melalui bimbingan sikap dan perilaku sehari-hari dan bimbingan kasus untuk mengatasi masalah kritis.

4. Pemberdayaan

Metode pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anak jalanan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Kegiatannya berupa pendidikan, keterampilan, pemberian modal, alih kerja dan sebagainya.

(7)

2.1.3 Rumah Singgah

Munajat (2001) menjelaskan rumah singgah merupakan perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu mereka. Rumah singgah bertujuan membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian rumah singgah bukan merupakan lembaga pelayanan sosial yang membantu menyelesaikan masalah, namun merupakan lembaga pelayanan sosial yang memberikan proses informal dengan suasana resosialisasi bagi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Depsos sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2004) mendefinisikan rumah singgah sebagai berikut:

a. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan, misalnya: karena tidak punya rumah, ancaman di jalan, ancaman/kekerasan dari orang tua dan lain-lain. Biasanya hal ini dihadapi anak yang hidup di jalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal.

b. Pada saat tinggal sementara mereka memperoleh intervensi yang intensif dari pekerja sosial sehingga tidak tergantung terus kepada rumah singgah. c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat,

bermain, mengikuti kegiatan dan lain-lain.

d. Rumah singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal selamanya.

e. Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua atau saudaranya atau sudah mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok tidak diperkenankan menetap di rumah singgah, kecuali ada beberapa situasi yang bersifat darurat.

f. Anak jalanan yang sudah mempunyai tempat tinggal tetap merupakan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan rumah singgah sebagai tempat tinggal sementara, seperti: kelompok anak yang hidup di jalanan.

Melalui proses informal dalam resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, diharapkan mampu mencapai tujuan penyelenggaraan rumah singgah. Tujuan penyelenggaraan rumah singgah itu

(8)

sendiri ada dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Adapun tujuan khusus rumah singgah adalah:

a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau di panti dan lembaga pengganti lainya jika diperlukan.

c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak.

Departemen Sosial RI sebagaimana dikutip oleh Triyanti (2001) mengemukakan fungsi rumah singgah sebagai berikut:

1. Tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dengan anak jalanan Dalam fungsi ini, rumah singgah merupakan merupakan tempat bertemu antara pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan, assessment dan melakukan program kegiatan.

2. Pusat assessment dan rujukan

Rumah singgah menjadi tempat asesmen (assessment) terhadap masalah dan kebutuhan anak jalanan serta melakukan rujukan (refeal) pelayanan sosial bagi anak jalanan.

3. Fasilitator

Rumah singgah memiliki fungsi sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus-menerus bergantung pada rumah singgah, melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalani.

4. Perlindungan

Rumah singgah dianggap sebagai tempat perlindungan anak dari kekerasan, penyimpangan seks dan bentuk-bentuk lain yang terjadi di jalanan.

(9)

5. Pusat informasi

Dalam fungsi ini, Rumah singgah menyediakan informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain.

6. Kuratif-Rehabilitatif

Rumah singgah diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak.

7. Akses terhadap pelayanan

Sebagai persinggahan, rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pekerja sosial membantu anak mencapai pelayanan tersebut.

8. Resosialisasi

Lokasi rumah singgah berada di lingkungan masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Dengan harapan adanya pengakuan, tujuan dan upaya dari warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak.

Prinsip-prinsip rumah singgah yang dikemukakan Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi (2009), yaitu:

1. Semi institusional

Anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan.

2. Terbuka 24 jam

Anak jalanan boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari, terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah. Anak jalanan yang sedang dibina atau dilatih datang pada jam yang telah ditentukan, misalnya paling malam pukul 22.00 waktu setempat. Hal ini memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk memperoleh perlindungan kapan pun. Para pekerja sosial siap dikondisikan untuk menerima anak dalam 24 jam tersebut, oleh karena itu harus ada pekerja sosial yang tinggal di rumah singgah.

(10)

3. Hubungan informal (kekeluargaan)

Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal seperti perkawanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat. Dengan cara ini diharapkan anak-anak mudah mengadukan keluhan, masalah, dan kesulitan sehingga memudahkan penanganan masalahnya.

4. Bebas terbatas untuk apa saja bagi anak

Anak dibebaskan untuk melakukan apa saja di rumah singgah seperti: tidur, bermain, bercanda, bercengkrama, mandi, dan sebagainya. Tetapi anak dilarang untuk perilaku yang negatif, seperti: perjudian, merokok, minuman, keras dan sejenisnya. Dengan cara ini diharapkan anak-anak betah dan terjaga dari pengaruh buruk. Peraturan dibuat dan disepakati oleh anak-anak.

5. Persinggahan dari jalanan ke rumah atau alternatif lain

Rumah singgah merupakan persinggahan anak jalanan dari situasi jalanan menuju situasi lain yang dipilih dan ditentukan oleh anak, misalnya kembali ke rumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali ke sekolah, alih kerja ke tempat lain, dan sebagainya.

6. Partisipasi kegiatan yang dilaksanakan di rumah singgah didasarkan pada prinsip partisispasi dan kebersamaan. Pekerja sosial dan anak jalanan memahami masalah, merencanakan dan merumuskan kegiatan penanganan. Dengan cara ini anak dilatih belajar mengatasi masalahnya dan merasa memiliki atau memikirkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

7. Belajar bermasyarakat

Anak jalanan seringkali menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda dengan norma masyarakat karena lamanya mereka tinggal di jalanan. Rumah singgah ditempatkan di tengah-tengah masyarakat agar mereka

(11)

kembali belajar norma dan menunjukkan sikap dan perilaku yang berlaku dan diterima masyarakat

2.1.4 Pemberdayaan

Pemberdayaan secara konseptual pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan merupakan the missing ingrident dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas sumberdaya yang penting. Oleh karena itu, pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas merupakan dua konsep yang erat kaitannya dalam konteks ini pernyataan Craig dan Mayo, bahwa empowerment is road to participation adalah sangat relevan (Nasdian, 2006).

Ife sebagaimana dikutip Suharto (2005) pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidunya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mandiri dalam melaksanakan kegiatan sosial dan tugas-tugas kehidupannya.

Person et.al. sebagimana dikutip Soeharto (2005) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Namun dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas; dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem di luar dirinya.

(12)

Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting), yaitu:

1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task center approach).

2. Aras mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya,

3. Aras makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large sistem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan kepada sistem lingkungan yang lebih luas. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri. Dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

2.1.5 Perilaku

Walgito (2002) menjelaskan perilaku yang dilakukan seseorang disebut sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku juga dikaitkan sebagai reaksi yang terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antar individu dengan lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan. Calhoun dan Joan sebagaimana dikutip Prayifto (2010) menjelaskan bahwasannya perilaku seseorang terhadap suatu objek dapat dilihat dari beberapa dimensi, yakni:

1. Frekuensi

Menunjukkan jumlah atau kuantitas dari perilaku seseorang. 2. Kepada siapa berperilaku

Perilaku yang dilakukan biasanya tidak hanya ditujukan untuk diri sendiri tetapi juga dilakukan bagi orang lain.

(13)

3. Untuk apa

Perilaku yang dilakukan seseorang itu mempunyai manfaat dan tujuan untuk dirinya sendiri ataupun orang lain.

4. Bagaimana

Menunjukkan upaya atau cara yang dilakukan oleh seseorang dalam berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Perilaku merupakan suatu rangkaian aktivitas, yang dapat berubah apabila kebutuhan yang ada meningkat kekuatannya, sehingga menjadi motif yang paling tinggi. Lima konsep penguatan utama yang dapat membantu dalam upaya mengubah perilaku adalah: penguatan positif (positive reinforcement) terhadap perilaku baru yang diinginkan sesegera mungkin, penguatan negatif (negatif reinforcement), hukuman (punisment), pemunahan, dan jadwal penguatan. Hal ini terkait dengan teori modifikasi perilaku yang memusatkan perhatian pada perilaku yang diamati dan menggunakan tujuan atau ganjaran di luar diri seseorang untuk memodifikasi dan membentuk perilaku ke arah prestasi yang diinginkan (Hersey dan Blanchard yang dikutip Sugiharto, 2004).

Perubahan perilaku hanya bisa terjadi apabila dua faktor yaitu pribadi yang bersangkutan dan orang-orang di sekelilingnya sama-sama dalam situasi menginginkan perubahan tersebut terjadi. Adapun faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya perubahan perilaku pada diri seseorang pada dasarnya ada dua, yaitu : a) kesadaran yang timbul dari dirinya sendiri, dengan ini perubahan yang terjadi lebih bersifat menetap, karena perubahan tanpa adanya kesadaran hanya bersifat sementara (palsu) dan b) pengaruh dari lingkungan dengan cara; ajakan (persuative) dengan menerapkan metode edukatif, bersifat manusiawi tetapi memerlukan waktu yang relatif lama namun hasilnya akan lebih mantap dan meyakinkan; paksaan dengan menggunakan metode indoktrinasi (brainwashing) ialah dengan jalan mengisolasi orang yang dikehendaki dari semua perangsang dan pengaruh, kepadanya hanya diberikan ide-ide tertentu supaya tumbuh dan merasuk dalam jiwa orang yang bersangkutan (Sugiharto, 2004).

Self learning atau belajar mandiri diharapkan anak jalanan dapat memodifikasi perilakunya karena kesadaran dan keinginan sendiri untuk berubah,

(14)

sehingga terjadi perubahan yang terinternalisasi di dalam dirinya. Juga terjadi pembiasaan dan penyesuaian dalam diri anak jalanan. Diharapkan dengan adanya kesadaran tersebut pada akhirnya penyandang masalah (termasuk anak jalanan) dapat mengubah diri atau mengubah perilakunya. Kesediaan anak jalanan untuk berubah dengan kesadaranya sendiri ini, merupakan langkah awal dalam upaya mereka kelak menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, manakala ia tidak lagi hidup di jalanan (Sugiharto, 2004)

Dari kondisi seperti digambarkan di atas, hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa anak jalanan dapat dirubah perilakunya melalui aktivitas kegiatan yang modifikasi dengan melibatkan keinginan dan kesadarannya untuk mau belajar dan mempelajari perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara mandiri, agar tidak lagi maladjusment dan anormatif. Melalui proses belajar mandiri atau self learning, anak juga dibiasakan untuk dapat mengatasi hambatan yang terjadi dalam upayanya menyesuaikan diri dan merubah perilakunya. Sehingga diharapkan dihasilkan perilaku baru yang terinternalisasi untuk dapat digunakan saat mereka keluar dari kehidupannya di jalanan (Sugiharto, 2004).

Penelitian Munajat (2001) mengkaji mengenai efektivitas rumah singgah terhadap perubahan sikap dan perilaku anak jalanan. Untuk melihat perkembangan perilaku anak jalanan dapat dilihat dari; lokasi tidur, lama di jalanan, pekerjaan yang dilakukan, kebiasaan dalam berpakaian, hubungannya dengan oran tua, status pendidikan, kebiasaan negatif, hubungan sosial, kegiatan keagamaan, sopan santun, kebiasaan makan, kebiasaan bangun tidur, kebiasaan mandi, kebiasaan berobat, dan kelompok sosial. Sedangkan perubahan sikap dilihat dari berbagai aspek, antara lain; pandangan mengenai pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial, perilaku kriminal, perilaku anti sosial, dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan rumah singgah efektif untuk mengubah sikap dan perilaku anak jalanan.

2.1.6 Penilaian

Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah didasarkan pada kepuasan yang mereka rasakan ketika menerima pelayanan rumah singgah. Menurut Kotler sebagaimana dikutip Listiawati (2010) kepuasan adalah perasaan senang atau

(15)

kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas atau senang.

Rangkuti (2008) menjelaskan kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respons pelanggan terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut.

Tingkat kepentingan pelanggan diukur berdasarkan persepsi pelanggan. Dari berbagai persepsi tingkat kepentingan pelanggan kita dapat merumuskan tingkat kepentingan yang paling dominan. Diharapkan dengan memakai konsep tingkat kepentingan ini, kita dapat menangkap persepsi yang lebih jelas mengenai pentingnya variabel tersebut di mata pelanggan. Selanjutnya, kita dapat mengkaitkan pentingnya variabel ini dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan.

Menurut Gerson yang dikutip oleh Listiawati (2010), terdapat tujuh alasan utama mengapa perlu dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:

a. Mempelajari persepsi pelanggan

b. Menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan c. Menutup kesenjangan

d. Memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan sesuai harapan pelanggan atau tidak

e. Peningkatan kinerja membawa peningkatan laba

f. Mempelajari bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dan apa yang harus dilakukan perusahaan di masa depan

g. Menerapkan proses perbaikan berkesinambungan

(16)

Rangkuti (2008) menjelaskan ada beberapa cara untuk mengukur tingkat kepuasan, yaitu:

1. Traditional Approach

Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (pada umumnya dengan skala Likert), yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Selanjutnya konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan.

2. Analisis secara Deskriptif

Analisis statistik secara deskriptif, misalnya melalui penghitungan nilai rata-rata, nilai distribusi serta standar deviasi. Analisis ini sebaiknya dilakukan dengan cara membandingkan hasil kepuasan tahun lalu dengan tahun ini, sehingga kecenderungan perkembangannya dapat ditentukan. 3. Pendekatan secara Terstruktur (Structured Approach)

Pendekatan ini paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik yang paling popular adalah dengan menggunakan prosedur scaling. Caranya responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap suatu produk atu fasilitas dengan produk atau fasilitas lainnya, dengan variabel yang diukur sama.

4. Analisis Tabel Kontingensi

Jika ingin mengetahui apakah perbedaan jenis kelamin mempengaruhi tingkat kepuasan yang pelanggan rasakan pada waktu menggunakan suatu produk atau jasa, maka dapat digunakan analisis tabel kontingensi. Selanjutnya untuk melihat seberapa jauh hubungan antara jenis kelamin dan tingkat kepuasan tersebut kita dapat melakukan pengujian dengan menggunakan analisis Chi-Square.

5. Analisis Importance dan Performance Matrix yang sudah disempurnakan. Tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi. Selanjutnya,

(17)

tingkat kepentingan pelanggan dikaitkan dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pelayanan sosial rumah singga yang baik menuntut untuk dapat memberikan kepuasan kepada anak jalanan. Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah dapat diketahui dengan melihat tingkat kepuasan anak jalanan terhadap fungsi rumah singgah. Penilaian anak jalanan dilakukan terhadap delapan fungsi rumah singgah, yaitu: sebagai tempat pertemuan, pusat asesmen dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi.

Penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah diduga dipengaruhi oleh karakteristik anak jalanan. Karakteristik anak jalanan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri yang melekat dalam diri anak jalanan yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan utama menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan dan pengalaman menjadi anak jalanan. Faktor eksternal terdiri atas tingkat kekerasan dan tingkat interaksi anak jalanan dalam rumah singgah.

Anak jalanan dengan usia yang lebih dewasa memiliki kebutuhan yang lebih kompleks dibanding dengan anak jalanan berusia lebih muda. Hal ini diduga akan berpengaruh kepada penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Sebagian besar anak jalanan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Anak jalanan sangat membutuhkan pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan. Terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan anak jalanan maka penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah semakin positif.

Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial yang dikutip oleh Yudi (2006) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: usaha dagang, usaha di bidang jasa, pengamen, dan kerja serabutan. Pekerjaan yang dijalani anak jalanan memiliki banyak resiko. Diduga terdapat perbedaan penilaian anak jalanan berdasarkan jenis pekerjaan anak jalanan.

(18)

Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi anak turun ke jalan, yakni kondisi ekonomi keluarga, disharmoni keluarga, dan mencari pengalaman kerja (Sanusi yang dikutip Yudi, 2006). Alasan menjadi anak jalanan karena ekonomi yang rendah diduga akan merasa senang mendapatkan pelayanan rumah singgah karena kebutuhan hidup mereka data tercukupi, seperti kebutuhan makan, pakaian dan uang saku. Anak jalanan dengan kondisi keluarga yang disharmonis, merasa rumah singgah ialah keluarga baru mereka di mana mereka dapat merasakan kasih sayang. Anak jalanan yang dilatarbelakangi oleh motivasi mencari pengalaman kerja yang tinggi merasa rumah singgah dapat memberikan tempat untuk berlindung ketika mereka selesai bekerja. Diduga terdapat perbedaan penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah berdasarkan alasan utama mereka turun ke jalan.

Depdiknas (2002) membagi tipe anak jalanan berdasarkan hubungannya dengan keluarga dan dikategorikan menjadi tiga tipe yaitu children of the street, children on the street dan vulnerable to be street children. Anak jalanan yang tidak memiliki keluarga (children of the street) memenuhi segala kebutuhannya sendiri dan sangat membutuhkan perlindungan baik secara fisik maupun psikologi. Maka terlihat kecenderungan semakin tinggi hubungan anak jalanan dengan keluarganya maka semakin baik penilaian anak jalanan.

Anak jalanan mendapatkan berbagai pelayanan sosial di dalam rumah singgah. Semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka pelayanan yang didapatkan semakin banyak. Oleh karena itu, diduga semakin lama pengalaman anak jalanan di rumah singgah maka semakin positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.

Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat umum untuk tinggal, bekerja dan bermain. Kondisi seperti ini membuat anak jalanan rentan mendapatkan kekerasan dari berbagai pihak, yakni teman, preman, petugas keamanan maupun mayarakat umum. Rumah singgah memberikan tempat tinggal sebagai sarana untuk melindungi dari kekerasan yang ada di jalanan. Diduga semakin tinggi tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan maka positif penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.

(19)

Anak jalanan sebagai penerima pelayanan rumah singgah bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya untuk mengikuti kegiatan. Hubungan-hubungan yang terjadi di rumah singgah bersifat informal seperti pertemanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai anggota keluarga besar di mana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat (Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagaimana dikutip oleh Krismiyarsi, 2009). Pola interaksi yang terjadi di rumah singgah berupa kehadiran dalam kegiatan rumah singgah maupun keakraban dengan pembina maupun dengan anak binaan lainnya tersebut diduga berhubungan dengan tingkat kepuasan anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah. Semakin tinggi tingkat interaksi anak jalanan di dalam rumah singgah maka semakin positif pula penilaian anak jalanan terhadap pelayanan rumah singgah.

(20)

Keterangan

: berhubungan

2.3 Hipotesis Penelitian

1. Faktor internal anak jalanan (usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, alasan menjadi anak jalanan, tipe anak jalanan, pengalaman di rumah singgah) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah.

2. Faktor eksternal anak jalanan (tingkat interaksi dalam rumah singgah dan tingkat kekerasan) diduga berhubungan dengan penilaiannya terhadap pelayanan rumah singgah.

Faktor Eksternal a. Tingkat kekerasan b. Tingkat interaksi

Gambar 1. Kerangka Berpikir Faktor Internal

a. Usia

b. Tingkat pendidikan c. Jenis pekerjaan d. Alasan menjadi anak

jalanan

e. Tipe anak jalanan f. Pengalaman di rumah

singgah

Penilaiam Anak Jalanan a. Tempat pertemuan

b. Pusat assessment dan rujukan c. Fasilitator

d. Perlindungan e. Pusat informasi f. Kuratif-Rehabilitatif g. Akses terhadap pelayanan h. Resosialisasi

(21)

3. Penilaian anak jalanan terhadap rumah singgah diduga berhubungan dengan perilaku anak jalanan.

2.4 Definisi Operasional

1. Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Usia responden berada pada selang 15 tahun sampai 22 tahun dan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

a. 15 sampai 18 tahun b. 19 sampai 22 tahun

2. Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan responden. Dan dikategorikan menjadi:

a. Rendah : Tidak lulus SD hingga tamat SD b. Sedang : Lulus SMP

c. Tinggi : Lulus SMA

3. Jenis pekerjaan adalah cara yang paling sering digunakan reponden untuk mendapatkan penghasilan. Jenis pekerjaan responden dibagi ke dalam empat jenis, yaitu:

a. Usaha dagang : pedagang asongan, penjual koran, majalah, serta menjual sapu atau lap kaca mobil

b. Usaha di bidang jasa : pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kenek atau calo

c. Pengamen

d. Kerja serabutan, yaitu berganti-ganti pekerjaan.

4. Alasan utama menjadi anak jalanan adalah hal utama yang melatarbelakangi responden untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat umum. Alasan utama menjadi anak jalanan dibagi ke dalam tiga kategori yaitu:

a. Ekonomi keluarga yang rendah b. Disharmoni keluarga

(22)

5. Tipe anak jalanan adalah karakteristik anak jalanan berdasarkan pola hubungannya dengan keluarga. Anak jalanan dibagi ke dalam tiga tipe yaitu:

a. Children of the street¸ yaitu anak yang hidup dan bekerja di jalanan dan tidak ada hubungan dengan keluarganya.

b. Children on the street, yaitu anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarganya namun tidak teratur. c. Vulnerable to be street children, yaitu anak yang rentan menjadi anak

jalanan dan masih memiliki hubungan teratur dengan keluarganya. 6. Pengalaman di rumah singgah adalah lama responden menjadi anak binaan

rumah singgah. RSBAP telah berdiri selama 12 tahun. Pengalaman anak jalanan di rumah singgah dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

a. < 5 tahun

b. 5 tahun sampai 8 tahun c. > 8 tahun

7. Tingkat kekerasan yang dialami anak jalanan adalah frekuensi kekerasan berupa kekerasan fisik dan non-fisik yang dialami responden selama menjadi anak jalanan. Terdapat 20 pertanyaan yang diajukan kepada responden dan akan direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2) atau sering (skor 3). Kemudian skor dari jawaban responden diakumulasikan dan dikategorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 33,3

b. Sedang : skor antara 33,4 sampai 46,6 c. Tinggi : skor > 46,6

8. Tingkat kekerasan non-fisik adalah tingkat kekerasan terhadap mental responden yang dilakukan oleh orang tua, teman ataupun petugas keamanan, dan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 16,7

b. Sedang : skor antara 16,8 sampai 23,3 c. Tinggi : skor > 23,3

(23)

9. Tingkat kekerasan fisik adalah tingkat kekerasan terhadap fisik responden yang dilakukan oleh orang tua, teman ataupun petugas keamanan, dan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 16,7

b. Sedang : skor antara 16,8 sampai 23,3 c. Tinggi : skor > 23,3

10.Tingkat interaksi dalam rumah singgah adalah frekuensi aktivitas yang dilakukan anak jalanan di dalam rumah singgah yang dilihat dari tingkat kehadiran dan tingkat keakraban. Terdapat 13 pertanyaan yang diajukan kepada responden dan akan direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2) atau sering (skor 3). Kemudian skor dari jawaban responden diakumulasikan dan dikategorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 21,7

b. Sedang : skor antara 21,8 sampai 30,3 c. Tinggi : skor > 30,3

11.Tingkat kehadiran adalah frekuensi kehadiran responden dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh rumah singgah. Tingkat kehadiran dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 10

b. Sedang : skor 10,1 sampai 14 c. Tinggi : skor > 14

12.Tingkat keakraban adalah tingkat kedekatan hubungan responden dengan pembina dan anak binaan lainnya di rumah singgah. Tingkat keakraban dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan interval kelas, yaitu:

a. Rendah : skor ≤ 11,7

b. Sedang : skor antara 11,8 sampai 16,3 c. Tinggi : skor < 16,3

13.Penilaian terhadap rumah singgah dioperasionalkan sebagai tingkat kepuasan anak jalanan mengenai fungsi (pelayanan) rumah singgah yang diterima oleh anak jalanan. Fungsi rumah singgah yang dinilai oleh anak jalanan, antara lain:

(24)

1) Tempat pertemuan (meeting point) yaitu rumah singgah merupakan tempat bertemu antara pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan dan kegiatan.

2) Pusat asesmen dan rujukan yaitu rumah singgah memetakan kebutuhan dan masalah yang dihadapi anak jalanan serta mencari penyelesaiannya secara tepat dan cepat.

3) Fasilitator yaitu rumah singgah sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lain yang dapat bermanfaat bagi mereka.

4) Perlindungan yaitu rumah singgah sebagai tempat perlindungan anak dari kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di jalanan.

5) Pusat informasi yaitu rumah singgah menyediakan informasi tentang bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan, pendidikan agama serta fasilitas yang menunjang.

6) Kuratif-rehabilitatif yaitu rumah singgah mengatasi permasalahan anak jalanan dan memperbaiki sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan dapat menumbuhkan keberfungsian anak.

7) Akses terhadap pelayanan yaitu rumah singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pelayanan yang diberikan yaitu menyediakan makan tiga kali sehari, tempat berlindung, pelayanan kesehatan, kasih sayang, uang saku dan pakaian.

8) Resosialisasi yaitu rumah singgah mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan.

Sebanyak 26 pertanyaan diajukan kepada responden mengenai penilaian responden akan fungsi rumah singgah yang direspon dengan jawaban sangat tidak puas (skor 1), tidak puas (skor 2), puas (skor 3), dan sangat puas (skor 4). Penilaian anak jalanan terhadap pelayaan rumah singgah akan dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan interval kelas.

a. Sangat tidak puas : skor ≤ 45,5

b. Tidak puas : skor antara 45,6 sampai 65 c. Puas : skor antara 65,1 sampai 84,5 d. Sangat puas : skor > 84,5

(25)

14.Perilaku anak jalanan adalah tindakan yang dilakukan responden dan dapat dilihat dari kebiasaan hidup mereka, yaitu: lokasi tidur, lama di jalanan, kebiasaan dalam berpakaian, kebiasaan negatif seperti merokok dan memakai narkoba, hubungan sosial, kegiatan keagamaan, sopan santun, kebiasaan makan, kebiasaan bangun tidur, kebiasaan mandi, dan kebiasaan berobat. Perilaku anak jalanan diukur menurut sudut pandang anak jalanan bukan dari orang tuanya. Hal ini disebabkan keberadaan orang tua yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia. Sebanyak 20 pertanyaan diajukan mengenai perilaku dan jawaban meliputi: tidak pernah (skor 1), jarang (skor 2), sering (skor 3) dan selalu (skor 4). Kemudian skor jawaban dari setiap pertanyaan diakumulasikan dan dikelompokkan ke dalam empat kategori berdasarkan interval kelas, yaitu:

a. Buruk : skor ≤ 35

b. Kurang baik : skor antara 35,1 sampai 50 c. Baik : skor antara 50,1 sampai 65 d. Sangat baik : skor > 65

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Faktor Internal

Referensi

Dokumen terkait

Jika wasit melihat ada perbedaan antara gerakan yang dilakukan pesenam dengan gambar atau keterangannya, maka wasit harus memotong sesuai dengan ketentuan yang

Hasil : Masalah utama yang ditemukan yaitu gangguan pertukaran gas, pola nafas tidak efektif,nyeri akut, intoleransi aktivitas dan gangguan kebutuhan nutrisi, gangguan pertukaran

Dari hasil analisis statistik dengan uji Chi Square antara masa kerja dengan temuan retikulosit darah, hubungan masa kerja dengan hemoglobin darah, dan hubungan masa

Farmakogenomik merupakan studi variabilitas genetik yang bertujuan menyusun suatu pemetaan variasi DNA pada outcomes terapi spesifik, yang menggambarkan

20 Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian Unit Organisasi : 1. LUDIS, M.Si

Berdasarkan pengertian pendidikan kesehatan diatas tersirat unsur-unsur pendidikan kesehatan yaitu input (sasaran pendidikan yaitu individu, kelompok atau masyarakat dan

Hasil yang diperoleh dari analisis penelitian tersebut adalah adanya pengaruh signifikan positif antara tiap dimensi keadilan organisasi dan kepercayaan organisasi,

26.1 [Untuk pekerjaan yang menggunakan Kontrak Harga Satuan atau Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan pada bagian harga satuan, apabila terdapat perbedaan