• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks terhadap Motivasi Wanita Usia Subur dalam Melakukan Pemeriksaan Pap Smear di Wilayah Kerja Puskesmas Labuhan Deli"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep kanker serviks

1.1. Pengertian kanker serviks

Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim, yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita usia 35-55 tahun. Hampir 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks. Sedangkan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lender pada saluran servikal yang menuju rahim (Nasedul, 2008 dalam Prayitno, 2014).

Kanker serviks akan muncul jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali. Apabila sel serviks terus membelah, maka akan terbentuk suatu massa jaringan yang disebut tumor. Tumor ini bisa bersifat jinak atau ganas. Jika kondisi tumor ganas maka disebut kanker serviks (Prayitno, 2014).

1.2. Faktor penyebab kanker serviks

Faktor penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus(HPV). HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 merupakan tipe yang

(2)

sama seperti yang ditemukan oleh Koss, dkk dengan menggunakan mikroskop elektron pada penderita dengan kondiloma akuminata yang mengandung partikel HPV. Setelah penemuan ini banyak sekali ahli yang berusaha mendeteksi partikel virus dengan menggunakan teknik biomolekuler. Hingga kini terdapat 138 strain HPV yang telah teridentifikasi dan HPV yang bersifat memicu terjadinya keganasan dapat terdeteksi pada 90-95% lesi prakanker mulut rahim (Iman dan Henri, 2007).

Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012), ada beberapa faktor risiko dan

predisposisi yang menyebabkan perempuan terpapar HumanPappiloma Virus

diantaranya yaitu:

1.2.1. Hubungan seksual

Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda seorang wanita melakukan

hubungan seksual, semakin besar pula risiko mengalami kanker serviks (Kumalasari

dan Andhyantoro, 2012). Wanita dengan partner seksual yang banyak juga akan meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual (Rasjidi, 2008).

1.2.2. Jumlah kehamilan dan partus

Kanker serviks terbanyak dijumpai pada perempuan yang sering partus.

Semakin sering partus semakin besar kemungkinan risiko mengalami karsinoma

serviks.

1.2.3. Perilaku seksual

Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali

bila berhubungan dengan enam atau lebih mitra seks atau bila berhubungan seks

(3)

1.2.4. Riwayat infeksi di daerah kelamin dan radang panggul

Infeksi menular seksual (IMS) dapat menjadi peluang meningkatnya risiko

terkena kanker serviks.

1.2.5. Sosial ekonomi

Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah

mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas, dan kebersihan

perseorangan.

1.2.6. Hygiene dan sirkumsisi

Diduga adanya hubungan terjadinya kanker serviks pada perempuan yang

pasangannya belum dilakukan sirkumsisi. Hal ini karena pada prianonsirkumsisi,

hygiene penis tidak terawat sehingga banyak terdapat kumpulan smegma.

1.2.7. Pemakaian alat kontrasepsi

Pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap kanker serviks yaitu bermula

dari adanya erosi di serviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang

terus-menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.

1.2.8. Merokok

(4)

Rokok sebagai salah satu penyebab kanker serviks dan merokok berhubungan dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari perokok (Rasjidi, 2008).

1.2.9. Pemakaian DES (Dietilstilbestrol)

Wanita yang menggunakan DES untuk mencegah keguguran berisiko mengalami kanker serviks (Prayitno, 2014). Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in utero telah dibuktikan (Rasjidi, 2008).

1.2.10.Defisiensi zat gizi

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dan pada

wanita yang rendah konsumsi beta karoten dan vitamin (A,C,dan E) dapat

meningkatkan risiko terkena kanker serviks.

1.3. Faktor pelindung kanker serviks

Ada beberapa faktor pelindung yang dapat menurunkan risiko seorang wanita mengalami kanker serviks yaitu (Rasjidi, 2008):

1.3.1. Kontrasepsi barier

(5)

1.3.2. Subtipe histologi

Dysplasia serviks sering didiagnosis pada wanita usia 20-an; kanker insitu pada usia 30-an; dan kanker invasif pada usia >40 tahun. Karsinoma sel skuamosa dijumpai pada 90% dari semua kasus kanker seviks, 10% lainnya dibagi antara adenokarsinoma dan adenoskuamosa karsinoma. Kanker serviks biasanya muncul pada pertemuan antara kanalis servikalis dan ektoserviks dimana epitel kolumnar diganti epitel skuamosa pada usia dewasa dan kehamilan. Skuamokolumnar junction ini merupakan zona transformasi. Terdapat bukti histokimia, sitokimia, epidemiologi yang menunjukkan bahwa intraepitelial neoplasia serviks (CIN) akan berlanjut.

1.4. Gejala kanker serviks

(6)

1.5. Stadium kanker serviks

Stadium kanker serviks dapat ditetapkan secara klinis. Stadium klinis yang banyak digunakan adalah stadium kanker serviks menurut Federation International of Gynecology and Obstetrics (FIGO) yang dikembangkan pada tahun 1950an (Dunleavey, 2009). Stadium klinis FIGO membutuhkan pemeriksaan pelvik, jaringan serviks (biopsi konisasi untuk stadium IA dan biopsi jaringan serviks untuk stadium klinik lainnya), foto paru-paru, pielografi intravena atau CT-Scan. Sedangkan untuk kasus kanker serviks yang lebih lanjut diperlukan pemeriksaan sistoskopi, proktoskopi dan barium enema (Anwar, 2011).

Tabel 2. Stadium kanker serviks menurut FIGO tahun 2000 Stadium 0

Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri diabaikan).

Invasi kanker ke stroma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopik. Lesi yang dapat diilihat secara makroskopik walau dengan invasi yang superfisial dikelompokkan pada stadium I B. Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3,0 mm dan lebar horizontal lesi tidak lebih dari 7 mm.

Invasi ke stroma lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm.

Lesi yang tampak terbatas pada serviks atau secara mikroskopik lesi lebih luas dari stadium I A2.

Lesi yang tampak tidak lebih dari 4 cm dari dimensi terbesar. Lesi yang tampak lebih dari 4 cm dari dimensi terbesar.

Tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi belum mengenai dinding panggul atau sepertiga distal/ bawah vagina.

(7)

Stadium III sepertiga bawah vagina dan/ atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.

Tumor telah meluas ke sepertiga bawah vagina dan tidak menginvasi ke parametrium tidak sampai dinding panggul.

Tumor telah meluas ke dinding panggul dan/ atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.

Tumor meluas ke luar dari organ reproduksi

Tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih atau rektum dan/ atau keluar dari rongga panggul minor.

Metastatis jauh penyakit mikroinvasif: invasi stroma dengan kedalaman 3 mm atau kurang dari membrana basalis epitel tanpa invasi ke rongga pembuluh limfe/ darah atau melekat dengan lesi kanker serviks

1.6. Deteksi dini kanker serviks

Deteksi dini kanker serviks merupakan aplikasi sistematis sebuah pemeriksaan untuk mengidentifikasi kondisi serviks yang abnormal pada suatu populasi. Wanita sebagai target untuk dilakukan deteksi dini mungkin merasa sehat secara fisik dan tidak merasakan tanda dan gejala apapun sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan pemeriksaan (WHO, 2013).

(8)

mempunyai cara pengobatan dan bila digunakan pada kasus yang ditemukan melalui skrining, efektivitasnya harus lebih tinggi, penyakit tersebut harus memiliki fase praklinik yang panjang dan prevalensi yang tinggi di antara populasi yang dilakukan skrining, jika prevalensi rendah maka yang terdeteksi juga akan rendah serta tes yang dipakai harus memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta biaya pemeriksaan tidak mahal (Rasjidi, 2008).

Ada beberapa jenis deteksi dini kanker serviks yang dapat dipilih oleh wanita usia subur untuk mengidentifikasi kondisi serviks yang abnormal. Adapun jenis-jenis deteksi dini kanker serviks yaitu (Rasjidi, 2008):

1.6.1. Tes pap smear

Deteksi dini penyakit kanker serviks dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan sitologi menggunakan tes pap smear. American College of Obstetrician and Gynecologist (ACS) dan US Preventive Task Force (USPSTF) mengeluarkan panduan bahwa setiap wanita seharusnya melakukan tes pap smear dalam upaya deteksi dini kanker serviks sejak 3 tahun pertama dimulainya aktivitas seksual atau saat usia 21 tahun (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007).

Tes pap smearadalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio. Untuk mengetahui adanya tanda-tanda awal keganasan serviks (prakanker) yang ditandai dengan adanya perubahan pada lapisan epitel serviks (displasia) (Rasjidi, 2008).

1.6.2. Tes IVA

(9)

displasia sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. Tes ini lebih cocok digunakan di negara yang sedang berkembang (Rasjidi, 2008).

2. Wanita Usia Subur (WUS)

Wanita Usia Subur adalah wanita yang masih dalam usia reproduktif, yaitu antara usia 15-49 tahun, dengan status belum menikah, menikah atau janda. Wanita Usia Subur ini mempunyai organ reproduksi yang masih berfungsi dengan baik, sehingga lebih mudah untuk mendapatkan kehamilan, yaitu antara umur 20 sampai dengan 45 tahun. Usia subur wanita berlangsung lebih cepat apabila dibandingkan dengan pria. Adapun puncak kesuburan adalah usia 20-29 tahun yang memiliki kesempatan 95% untuk terjadinya kehamilan. Saat wanita berusia sekita 30 tahun presentase untuk menyebabkan kehamilan menurun hingga 90%. Sedangkan saat berusia 40 tahun kesempatan untuk terjadinya kehamilan menurun menjadi 40%. Sedangkan setelah mendekati usia 50 tahun, wanita hanya mempunyai kesempatan hamil dengan persentase 10% (Depkes, 2014).

3. Konsep pendidikan kesehatan 3.1. Definisi pendidikan kesehatan

(10)

Berdasarkan pengertian pendidikan kesehatan diatas tersirat unsur-unsur pendidikan kesehatan yaitu input (sasaran pendidikan yaitu individu, kelompok atau masyarakat dan pendidik yaitu pelaku pendidikan kesehatan), proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan output (hasil proses pendidikan kesehatan yaitu sasaran dapat mengubah perilaku) (Notoatmodjo, 2003).

Pendidikan kesehatan juga berusaha menggali motivasi seseorang untuk menerima proses perubahan perilaku melalui tindakan persuasif secara langsung terhadap sistem nilai, kepercayaan, dan perilaku (Whitehead, 2004).

3.2. Batasan pendidikan kesehatan

Salah satu unsur pendidikan kesehatan yaitu hasil (output). Output yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan kesehatan yaitu perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif. Perubahan perilaku yang belum atau tidak kondusif ke perilaku yang kondusif mengandung beberapa dimensi yaitu (Notoatmodjo, 2003):

3.2.1. Perubahan perilaku

Perubahan perilaku-perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesehatan menjadi perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan atau dengan kata lain perubahan perilaku yang negatif ke perilaku yang positif. Contoh perilaku yang perlu diubah adalah merokok, minum minuman keras, ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan dan lain-lain.

3.2.2. Pembinaan perilaku

(11)

yang harus dipertahankan adalah olahraga teratur, makan dengan makanan yang seimbang, menguras bak mandi, membuang sampah di tempat sampah dan lain-lain.

3.2.3. Pengembangan perilaku

Pengembangan perilaku sehat ini terutama dilakukan untuk membiasakan hidup sehat bagi anak-anak. Perilaku hidup sehat sebaiknya dimulai sejak dini, karena kebiasaan perawatan terhadap anak termasuk perilaku kesehatan yang diberikan orangtua akan langsung berpengaruh pada perilaku sehat pada anak.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa secara konsep pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi dan mengajak orang lain baik individu, kelompok maupun masyarakat agar melaksanakan perilaku hidup sehat. Sedangkan secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat dalam memelihara kesehatannya (Notoatmodjo, 2003).

3.3. Ruang lingkup pendidikan kesehatan

Menurut Setiawati (2008) ruang lingkup pendidikan kesehatan berdasarkan aspek kesehatan yaitu:

3.3.1. Aspek Promotif

Sasarannya adalah masyarakat yang ada dalam rentang sehat, sehingga perlu dipertahankan status kesehatannya

3.3.2. Aspek preventif

(12)

penderita yang mengalami penyakit kronik. Dan sasaran dari pencegahan tersier adalah penderita yang baru sembuh dari sakitnya.

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan (Notoadmodjo, 2007).

Berdasarkan dimensi sasaran pendidikan, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu pendidikan kesehatan individual, pendidikan kesehatan kelompok, dan pendidikan kesehatan masyarakat.

Sedangkan berdasarkan dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat yaitu pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran murid, pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasaran keluarga pasien, dan pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengaan sasaran buruh atau karyawan yang bersangkutan.

Berdasarkan dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five level of prevention) dari Leavel and Clark, yaitu:

a. Promosi Kesehatan (Health promotion)

Dalam hal ini, pendidikan kesehatan yang di perlukan nisalnya dapat berupa dalam hal peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene perorangan dan sebagainya.

b. Perlindungan Khusus (Specific protection)

(13)

pentingnya imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anak masih sangat rendah.

c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (Early diagnosis and prampt treatment)

Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa bahkan tidak mau di obati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan di perlukan pada tahap ini.

d. Pembatasan cacat (Disability limitation)

Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak menuntaskan pengobatannya terhadap suatu penyakit sehingga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan akan beresiko menganlami kecacatan atau ketidakmampuan. Sehingga pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini.

e. Rehabilitasi (Rehabilitation)

(14)

3.4. Visi dan misi pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan harus memiliki visi yang jelas. Yang dimaksud “visi” dalam konteks ini adalah apa yang diinginkan oleh pendidikan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lain. Visi umum pendidikan kesehatan tidak terlepas dari Undang-Undang Kesehatan No. 23/1992 dan WHO yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosial sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial. Pendidikan kesehatan di semua program kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan maupun program kesehatan lainnya bermuara pada kemampuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, baik kesehatan individu, kelompok dan masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

Untuk mencapai visi tersebut, perlu upaya-upaya yang harus dilakukan dan inilah yang disebut dengan “misi”. Misi pendidikan kesehatan adalah upaya yang

harus dilakukan untuk mencapai visi tersebut. Adapun misi pendidikan kesehatan yaitu (Notoatmodjo, 2003):

3.4.1. Advokat (advocate)

(15)

3.4.2. Menjembatani (meditiate)

Menjadi jembatan dan menjalin kemitraan dengan berbagai program dan sektor yang terkait dengan kesehatan. Dalam melaksanakan program-program kesehatan perlu kerjasama dengan program lain di lingkungan kesehatan, maupun sektor lain yang terkait. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan kerjasama atau kemitraan ini diperlukan peran pendidikan atau promosi kesehatan.

3.4.3. Memampukan (enable)

Memberikan kemampuan atau keterampilan kepada masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri secara mandiri. Hal ini berarti masyarakat diberikan kemampuan-kemampuan atau keterampilan agar mereka mandiri di bidang kesehatan, termasuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan mereka. Misalnya pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan keterampilan cara bertani, beternak, bertanam obat-obatan tradisional, koperasi dan sebagainya dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga (income generating). Selanjutnya dengan ekonomi keluarga yang meningkat, maka

kemampuan dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan kelurga juga meningkat.

4. Konsep motivasi 4.1. Pengertian motivasi

Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yakni “movere” yang berarti “menggerakkan” (Winardi, 2007). Motivasi merupakan situasi atau kondisi internal

(16)

energi diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Swanburg (2000) mendefinisikan motivasi sebagai konsep yang menggambarkan baik kondisi ekstrinsik yang merangsang perilaku tertentu dan respon intrinsik yang menampakkan perilaku manusia. Sedangkan menurut Moekijat (2000) dalam bukunya “Dasar-dasar

Motivasi” bahwa motivasi yaitu dorongan/ menggerakkan, sebagai suatu perangsang

dari dalam, suatu gerak hati yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu. 4.2. Jenis-jenis motivasi

Menurut Djamarah (2002) motivasi terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

4.2.1. Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang dirangsang oleh sifat dasar yang melekat dalam aktivitas seseorang (Lahey, 2012). Motivasi instrinsik didasarkan pada faktor-faktor internal, seperti kebutuhan organismik (otonomi, kompetensi, dan keterhubungan), rasa ingin tahu, tantangan, dan usaha. Ketika seseorang termotivasi secara instrinsik kita terlibat dalam perilaku karena kita menikmatinya (King, 2010). Menurut Taufik (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik yaitu:

a. Kebutuhan (need)

(17)

b. Harapan (expectancy)

Seseorang dimotivasi oleh karena keberhasilan dan adanya harapan keberhasilan bersifat pemuasan diri seseorang, keberhasilan dan harga diri meningkat dan menggerakkan seseorang ke arah pencapaian tujuan, misalnya ibu membawa balita ke posyandu untuk imunisasi dengan harapan agar balita tumbuh dengan sehat dan tidak mudah tertular oleh penyakit-penyakit infeksi.

c. Minat

Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keinginan pada suatu hal tanpa ada yang menyuruh, misalnya ibu membawa balita ke posyandu tanpa adanya pengaruh dari orang lain tetapi karena adanya minat ingin bertemu dengan teman-teman maupun ingin bertemu dengan tenaga kesehatan (dokter, bidan dan perawat).

4.2.2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang atau pengaruh dari luar sehingga seseorang berbuat sesuatu (Lahey, 2012). Ketika seseorang termotivasi secara ekstrinsik maka seseorang akan terlibat dalam perilaku tertentu karena ganjaran eksternal (King, 2010). Menurut Taufik (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik yaitu:

a. Dorongan keluarga

(18)

balitanya. Dorongan positif yang diperoleh ibu, akan menimbulkan kebiasaan yang baik pula, karena dalam setiap bulannya kegiatan posyandu dilaksanakan ibu akan dengan senang hati membawa balitanya tersebut.

b. Lingkungan

Lingkungan adalah tempat dimana seseorang tinggal. Lingkungan dapat mempengaruhi seseorang sehingga dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu. Selain keluarga, lingkungan juga mempunyai peran yang besar dalam memotivasi seseorang dalam merubah tingkah lakunya. Dalam sebuah lingkungan yang hangat dan terbuka, akan menimbulkan rasa kesetiakawanan yang tinggi. Dalam konteks pemanfaatan posyandu, maka orang-orang di sekitar lingkungan ibu akan mengajak, mengingatkan, ataupun memberikan informasi pada ibu tentang pelaksanaan kegiatan posyandu.

c. Imbalan

Seseorang dapat termotivasi karena adanya suatu imbalan sehingga orang tersebut ingin melakukan sesuatu, misalnya ibu membawa balita ke posyandu karena ibu akan mendapatkan imbalan seperti mendapatkan makanan tambahan berupa bubur, susu ataupun mendapatkan vitamin A. Imbalan yang positif ini akan semakin memotivasi ibu untuk datang ke posyandu, dengan harapan bahwa anaknya akan menjadi lebih sehat.

4.3. Tujuan motivasi

(19)

Setiap tindakan motivasi seseorang mempunyai tujuan yang akan dicapai. Makin jelas tujuan yang diharapkan atau akan dicapai, maka semakin jelas pula bagaimana tindakan memotivasi itu dilakukan. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuannya jelas dan didasari oleh yang dimotivasi. Oleh karena itu, setiap orang yang akan memberikan motivasi pada seseorang harus mengenal dan memahami benar-benar latar belakang kehidupan, kebutuhan, serta kepribadian orang yang akan dimotivasi (Taufik, 2007).

4.4. Unsur-unsur motivasi

Unsur-unsur motivasi terdiri dari sikap positif, orientasi pada pencapaian tujuan, dan daya dorong. Sedangkan unsur-unsur utama motivasi yaitu daya dorong, daya fokus atau perhatian, dan daya topang atau penguatan. Daya dorong untuk melakukan suatu tindakan tertentu, daya fokus untuk memberikan perhatian khusus terhadap suatu tindakan tertentu, dan daya topang untuk memperkuat atau memberi alasan pembenar bagi tindakan tertentu (Denny, 1992 dalam Suharsono M., dan Caroline M., 2008).

(20)

sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam dari diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/ terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan yang akan dicapai oleh orang tersebut.

4.5. Fungsi motivasi

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi VoIP adalah cara berkomunikasi suara ( voice ) melalui jaringan Internet, sehingga komunikasi jarak jauh SLJJ maupun SLI dapat dilakukan dengan biaya

Secara Parsial, faktor penghargaan finansial, pelatihan profesional, nilai-nilai social, pertimbangan pasar kerja dan personalitas memiliki pengaruh yang signifikan

MOTIF PENONTON SURABAYA DALAM MENONTON PROGRAM ACARA CAMPURSARI TAMBANE ATI DI TVRI1.

Surat Keputusan Mahkamah Agung No.144 tentang keterbukaan Informasi di Pengadilan merupakan terobosan dan warisan berarti dari Ketua MA periode yang lalu, Bagir Manan.

Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah

Pada bab tinjauan'pustaka ini, uraian terdiri dari empat bagian meliputi tinjauan teoritis.. meliputi: pengendalian intern ditinjau dari pengertiannya, pembagiannya

Berdasarkan Permasalahan ini penelitian menganalisis lebih lanjut faktor status gizi dan vitamin A terhadap kejadian pneumonia pada Balita di Puskesmas

Konsentrasi Minimum Asam Bensoat dan Asam Sorbat vang Diperlukan untuk Menghambat Pertumbuhan Kharnir dalam Makanan dan rninuman pada pH 5,0-5,5.. Khamir vang Terdapat