B
B
a
a
b
b
8
8
A
A
s
s
p
p
e
e
k
k
L
L
i
i
n
n
g
g
k
k
u
u
n
n
g
g
a
a
n
n
d
d
a
a
n
n
S
S
o
o
s
s
i
i
a
a
l
l
D
D
a
a
l
l
a
a
m
m
P
P
e
e
m
m
b
b
a
a
n
n
g
g
u
u
n
n
a
a
n
n
B
B
i
i
d
d
a
a
n
n
g
g
C
C
i
i
p
p
t
t
a
a
K
K
a
a
r
r
y
y
a
a
d
d
i
i
K
K
a
a
b
b
u
u
p
p
a
a
t
t
e
e
n
n
L
L
a
a
b
b
u
u
h
h
a
a
n
n
b
b
a
a
t
t
u
u
S
S
e
e
l
l
a
a
t
t
a
a
n
n
8.1. Gambaran Umum dan Kondisi Eksisting Lingkungan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan Timur Sumatera
Utara yang berbatasan langsung dengan propinsi Riau.Labusel yang beribukota di Kota Pinang adalah kabupaten
yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhanbatu sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2008 pada 24 Juni 2008
tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Labuhanbatu Selatan memiliki konsekuensi logis terhadap pentingnya kualitas dan kejujuran dalam
melaksanakan penilaian analisa dampak lingkungan (AMDAL) dalam setiap rencana pembangunan fisik sarana
dan prasarana fisik diwilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Perlunya peningkatan komitmen pemerintah
daerah dan masyarakat Labuhanbatu Selatan terhadap pembangunan wilayah berbasiskan ramah lingkungan
untuk meminimalkan tingkat pencemaran air yang dewasa ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan
berbagai pihak pencinta lingkungan hidup.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan da makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakuknya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU Nomor 23/1997). Lingkungan hidup dalam pengertian
ekologi tidaklah mengenal batas wilayah baik wilayah negara maupun wilayah administratif, akan tetapi jika
lingkungan hidup dikaitkan dengan pengelolaannya maka harus jelas batas
Pembangunan diperlukan untuk mengatasi banyak permasalahan, termasuk masalah lingkungan,
namun pengalaman menunjukkan, pembangunan dapat dan telah mempunyai dampak negatif. Dengan adanya
dampak negatif tersebut, haruslah diwaspada. Pada suatu pihak kita tidak boleh takut untuk melakukan
pembangunan, karena tanpa pembangunan kita pasti ambruk. Pada lain pihak kita harus memperhitungkan
dampak negatif dan berusaha untuk menekannya menjadi sekecil-kecilnya. Pembangunan harus berwawasan
lingkungan, yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi
pembangunan itu. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan dapat berkelanjutan.
Setiap kegiatan dalam bangunan atau lingkungan yang mengganggu dan menimbulkan dampak penting
diperkirakan memiliki dampak penting terhadap perkotaan, yaitu kegiatan yang menyebabkan perubahan fisik dan
atau hayati lingkungan, kegiatan yang menyebabkan perubahan pada komponen lingkungan, kegiatan yang
menyebabkan spesies langka dan endemik terancam punah, kegiatan yang menimbulkan kawasan cagar alam,
taman nasional, kegiatan yang merusak peninggalan benda bersejarah, menimbulkan konflik atau kontroversi
dengan masyarakat/pemerintah. Bangunan atau lingkungan yang menimbulkan dampak tidak penting terhadap
lingkungannya tidak perlu dilengkapi AMDAL, tetapi harus melakukan UKL (Unit Pengelolaan Lingkungan) dan
UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan). Pengelolaan lingkungan untuk daerah bencana, daerah banjir dan
sejenisnya perlu ditetapkan larangan membangun atau menetapkan persyaratan khusus dalam membangun
dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan lingkungan. Sementara untuk lingkungan yang
baru mengalami kebakaran dapat ditetapkan sebagai daerah tertutup dalam jangka waktu tertentu, dibatasi
atau dilarang.
RPI2JM Bidang Cipta Karya Kabupaten Labuhanbatu Selatan membutuhkan kajian pendukung
dalam hal lingkungan dan sosial untuk meminimalisir pengaruh negatif pembangunan infrastruktur Bidang
Cipta Karya terhadap lingkungan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kajian aspek lingkungan
dan sosial meliputi acuan peraturan perundang-undangan, kondisi eksisting lingkungan dan sosial, analisis
dengan instrumen, serta pemetaan antisipasi dan rekomendasi perlindungan lingkungan dan sosial yang
dibutuhkan. Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan RPI2JM Bidang Cipta
Karya Kabupaten Labuhanbatu Selatan telah mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Adapun amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah sebagai berikut:
1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Instrumen Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas antara lain Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), ANalisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan
Lingkungan, Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL – UPL) dan SUrat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH)
3. UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
4. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip – prinsip
pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang
5. Peraturan PResiden Nomor 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014
8.2. Analisis Perlindungan Lingkungan dan Sosial
Analisis ini dilakukan untuk mengenali karakteristik sumber daya fisik lingkungan, ekonomi dan sosial
budaya daerah sehingga pemanfaatan lahan dalam pengembangan wilayah dan kawasan dapat dilakukan secara
analisa untuk mengenali karakteristik sumber daya alam dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian
lahan agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan
ekosistem. Analisis aspek sosial budaya adalah analisa struktur social budaya serta prasarana dan sarana
budaya untuk mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang bersifat lahiriah, batiniah, atau spiritual.
Tabel 8.1
Kriteria Penapisan Usulan Program/Kegiatan Bidang Cipta Karya
Tabel 8.2
Pengembangan Permukiman Penataan existing bangunan di
8.2.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Seiring dengan semakin meningkatnya masalah lingkungan hidup di seluruh pelosok bumi yang
terbentang dari lokal hingga global, langkah-langkah pencegahan timbulnya dampak negatif terhadap kerusakan
sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi semakin mendesak untuk ditempuh. Penanggulangan dan
pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan hidup serta isu keberlanjutan lingkungan hidup terasa tidak
cukup dan kurang efektif jika dilakukan pada saat kegiatan telah memasuki masa operasi dan sepenuhnya hanya
diamanahkan oleh Undang‐Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal penting yang tertuang
di dalam UU PPLH diantaranya adalah kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyelenggarakan KLHS
terhadap Kebijakan, Rencana dan/atau Program yang disusunnya, khususnya yang berpeluang menimbulkan
dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Dengan demikian, KLHS berperan sebagai salah satu instrumen atau
approach untuk aspek lingkungan yang berfungsi menjembatani pengintegrasian konsep pembangunan
berkelanjutan dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan upaya terobosan yang berupa rangkaian analisis
yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
sudah diintegrasikan dalam kebijakan, rencana dan/atau program Kajian Lingkungan Hidup Strategis dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pembuat kebijakan, rencana dan/atau program, sebagai bagian dari
akuntabilitas pembuat Kebijakan, rencana dan/atau program (KRP) kepada publik. Untuk itu dibutuhkan political
will pembuat KRP untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, termasuk
memperhatikan kepentingan lingkungan hidup, dalam penyusunan kebijakan, rencanadan/atau program.
Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup diamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan
atau evaluasi :
a. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional,provinsi dan kabupaten/kota;
dan
b. Kebijakan, rencana dan/atau program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dan/atauprogram yang
berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
KLHS memuat kajian antara lain kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi
pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan/atau
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati (Pasal 16 UU 32/2009) KLHS dilaksanakan dengan
mekanisme (Pasal15 ayat 3 UU 32/2009):
a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup wilayah;
b. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program; dan
c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana dan/atauprogram yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dokumen penyelenggaraan KLHS merupakan dokumen publik yang dapat diakses oleh setiap orang dengan
memperhatikan peraturan perundang‐undangan di bidang keterbukaan informasi publik. KLHS penting karena:
b. Pengambil keputusan harus semakin mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kumulatif secara
sistematis dan menyeluruh terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;
c. KLHS suatu K/R/P selain dapat menelaah secara efektif dampak yang bersifat strategik, juga dapat
memperkuat dan mengefisienkan proses penyusunan AMDAL suatu rencana kegiatan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. KLHS digunakan untuk merencanakan
dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang akan atau sudah ditetapkan. Dalam penyusunan
kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan,
rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan,
sedangkan dalam evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk mengidentifikasi dan
memberikan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program yang menimbulkan dampak dan/atau
risiko negatif terhadap lingkungan.
KLHS ditujukan untuk menjamin pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan.
Tiga nilai penting dalam penyelenggaraan KLHS yang mencerminkan penerapan prinsip pembangunan
berkelanjutan adalah;
1. Keterkaitan (interdependency),
Keterkaitan (interdependency) dimaksudkan agar penyelenggaraan KLHS menghasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, antar wilayah, dan global- lokal. Nilai ini juga
be rmakna holistik dengan adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
2. Keseimbangan (equilibrium)
Keseimbangan (equilibrium) bermakna agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai keseimbangan antar kepentingan, seperti antara kepentingan sosial-ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup,
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang dan kepentingan pembangunan pusat dan daerah.
3. Keadilan (justice).
Keadilan (justice) dimaksudkan agar penyelenggaraan KLHS menghasilkan kebijakan, rencana dan/atau program yang tidak mengakibatkan marjinalisasi sekelompok atau golongan tertentu masyarakat karena
adanya pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam, modal atau pengetahuan
KLHS dibangun melalui pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan masukan berbagai
kepentingan. Makna pendekatan tersebut adalah bahwa penyelenggaraan KLHS tidak ditujukan untuk menolak
atau sekedar mengkritisi kebijakan, rencana dan/atau program, melainkan untuk meningkatkan kualitas proses
dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program, khususnya dari perspektif pembangunan berkelanjutan.
KLHS bersifat “persuasif” dalam pengertian lebih mengutamakan proses pembelajaran dan pemahaman para
pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program
agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Adapun 6 (enam) prinsip KLHS adalah:
Makna prinsip ini adalah sikap dan kesadaran yang muncul dari diri pemangku kepentingan yang terlibat
dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program agar lebih memperhatikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap
keputusannya. KLHS menjadi media atau katalis agar kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam
proses dan terformulasikan dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, rencana, dan/atau
program.
Prinsip 2: Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
Prinsip ini menekankan pada upaya penyempurnaan pengambilan keputusan suatu kebijakan, rencana,
dan/atau program. Berdasarkan prinsip ini, KLHS tidak dimaksudkan untuk menghambat proses perencanaan
kebijakan, rencana, dan/atau program. Prinsip ini berasumsi bahwa perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau
program di Indonesia selama ini belum mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan secara optimal.
Prinsip 3: Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial
Prinsip ini menekankan bahwa integrasi KLHS dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program
menjadi media untuk belajar bersama khususnya tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan, baik bagi
masyarakat umum maupun para birokrat dan pengambil keputusan. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS
memungkinkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau
program untuk meningkatkan kapasitasnya mengapresiasi lingkungan hidup dalam keputusannya. Melalui
KLHS diharapkan masyarakat, birokrat, dan pengambil keputusan lebih cerdas dan kritis dalam menentukan
keputusan pembangunan agar berkelanjutan.
Prinsip 4: Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan pengaruh positif pada pengambilan keputusan.
Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada akhirnya dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan, khususnya untuk memilih atau menetapkan kebijakan, rencana, dan/atau program yang lebih
menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip 5: Akuntabel
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus diselenggarakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip tata pemerintahan yang
baik (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab tuntutan para pihak. Dengan prinsip ini
pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin akuntabilitas perumusan kebijakan, rencana, dan/atau program bagi
seluruh pihak.
Prinsip 6: Partisipatif
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program.
mendapatkan legitimasi atau kepercayaan publik. Tahapan pelaksanaan KLHS diawali dengan penapisan usulan
rencana/program dalam RPI2JM per sektor dengan mempertimbangkan isu- isu pokok seperti:
1) Perubahan iklim;
2) Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
3) Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan
dan lahan;
4) Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
5) Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
6) Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok
masyarakat; dan/atau;
7) Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Isu-isu tersebut menjadi kriteria
apakah rencana/program yang disusun teridentifikasi menimbulkan resiko atau dampak terhadap isu- isu
tersebut.
Tahap ke-2 setelah penapisan terdapat dua kegiatan. Jika melalui proses penapisan di atas tidak
teridentifikasi bahwa rencana/program dalam RPI2JM tidak berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka
berdasarkan Permen Lingkungan Hidup Nomor 9/2011 tentang Pedoman Umum KLHS, Kabupaten/Kota dapat
menyertakan Surat Pernyataan bahwa KLHS tidak perlu dilaksanakan, dengan ditandatangani oleh Ketua Satgas
RPI2JM dengan persetujuan BPLHD, dan dijadikan lampiran dalam dokumen RPI2JM. Namun, jika teridentifikasi
bahwa rencana/program dalam Namun, jika teridentifikasi bahwa rencana/program dalam RPI2JM berpengaruh
terhadap kriteria penapisan di atas maka Satgas RPI2JM didukung dinas lingkungan hidup (BPLHD) dapat
menyusun KLHS dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pengkajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui
4 (empat) tahapan sebagai berikut:
a) Identifikasi Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lainnya
Tujuan identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan adalah:
1) Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan KLHS;
2) Menjamin diterapkannya azas partisipasi yang diamanatkan UU NoMOR 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3) Menjamin bahwa hasil perencanaan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program
memperoleh legitimasi atau penerimaan oleh publik;
4) Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk menyampaikan
informasi, saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pembangunan berkelanjutan melalui proses
penyelenggaraan KLHS.
b) Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan:
1) Tujuan identifikasi isu pembangunan berkelanjutan:
lingkungan hidup atau keterkaitan antar ketiga aspek tersebut;
3) Pembahasan fokus terhadap isu signifikan; dan
4) membantu penentuan capaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
KLHS fokusnya adalah pada tataran konsep dan bukan pada tataran disain teknis yang bersifat
fisik, yang terakhir ini menjadi tekanan/fokus studi AMDAL.
8.2.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
Semua kegiatan investasi di bidang keciptakaryaan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup memerlukan kajian lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Rencana kegiatan yang wajib AMDAL tertuang dalam keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi
dengan AMDAL, maka pihak pemilik kegiatan (pemrakarsa) wajib melaksanakan studi AMDAL. Studi AMDAL
akan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya dampak penting terhadap lingkungan hidup, baik lingkungan
alam maupun sosial di sekitar lokasi kegiatan. Sedangkan kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL
dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia tetap menyusun kajian lingkungan berupa
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sebagai upaya
dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh pemilik kegiatan (pemrakarsa). Pedoman pelaksanaan
UKL-UPL tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan:
1. Izin Lingkungan adalah: izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupsebagai
prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai
dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. Menurut UU
Nomor 32 Tahun 2009, usaha dan/atau kegiatan wajib amdal adalah kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup
3. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. Berdasarkan Pasal 34 UU Nomor 32 Tahun
2009, usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal wajib memiliki UKL-UPL
4. SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan dan Pemantuaan Lingkungan Hidup (SPPL) Berdasarkan
Pasal 35 UU 32/2009, Kegiatan tidak wajib UKL/UPL & tidak berdampak penting serta Kegiatan usaha mikro
Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL atau SPPL ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota berdasarkan hasil penapisan. Penapisan dilakukan sesuai dengan pedoman penapisan UKL-UPL
merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga
bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin
bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan
tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang
telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila
usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL
diterbitkan.
8.3. Perlindungan Sosial Pada Tahap Perencanaan, Pelaksanaan Maupun Paska Pelaksanaan
Pembangunan Bidang Cipta Karya
8.3.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya kepada masyarakat
pada taraf perencanaan, pembangunan, maupun pasca pembangunan/pengelolaan. Pada taraf perencanaan,
pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh aspek-aspek sosial yang terkait dan sesuai
dengan isu-isu yang marak saat ini, seperti pengentasan kemiskinan serta pengarusutamaan gender.
Sedangkan pada saat pembangunan kemungkinan masyarakat terkena dampak sehingga diperlukan proses
konsultasi, pemindahan penduduk dan pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada
paska pembangunan atau pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan infrastruktur Bidang Cipta Karya
tersebut membawa manfaat atau peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya memperhatikan aspek sosial adalah sebagai
berikut:
1. UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
o Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan dengan
memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk
masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah
bencana.
o Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan
daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
2. UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan
3. Peraturan Presiden Nomor 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2010-2014.
o Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah program pembangunan untuk
penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang
pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.
o Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses dan partisipasi
perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.
4. Peraturan Presiden Nomor 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan.
o Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin
melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil,
serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.
5. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
o Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang Pedoman Penyusunan RPI2JM Bidang Cipta Karya berperspektif gender
sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing- masing.
Tugas dan wewenang pemerintah Kabupaten terkait aspek sosial Bidang Cipta Karya adalah:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum di kabupaten/kota;
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum di kabupaten/kota;
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka peningkatan ekonomi di
tingkat kabupaten/kota;
d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat kabupaten/kota berperspektif
gender, khususnya untuk Bidang Cipta Karya.
8.3.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi
berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak
maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian
1. Konsultasi masyarakat
Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama
kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan Bidang Cipta Karya di
wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta
saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan
pada saat persiapan program Bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan. Adapun tujuan dari
konsultasi masyarakat adalah:
o Pengenalan dan pemberitahuan rencana kegiatan pembangunan kepada masyarakat;
o Menumbuhkan rasa ketertarikan dan kepemilikan terhadap rencana kegiatan pembangunan;
o Mengurangi kesenjangan (gap) antara pemilik proyek (pemerintah/swasta) dengan penerima manfaat/penduduk terkena proyek (masyarakat);
o Menyiapkan dukungan untuk keberhasilan implementasi rencana kegiatan pembangunan.
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan
Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika
kegiatan pembangunan Bidang Cipta Karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah
ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa
semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar
kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement)
Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan
pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan,
rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan
mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas
kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru.
Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan
dan sesuai persyaratan.
8.3.3 Aspek Sosial pada Paska Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Output kegiatan pembangunan Bidang Cipta Karya seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat.
Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur,
seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang menjadi lebih singkat,
hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk endapatkan akses pelayanan
Tabel 8.3
Identifikasi Kebutuhan Penanganan Aspek Sosial Paska Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
No. Sektor Program/Kegiatan Lokasi Tahun Jumlah